REVISI MAKALAH 13.pdf
Transcript of REVISI MAKALAH 13.pdf
-
7/26/2019 REVISI MAKALAH 13.pdf
1/31
MAKALAH
Mewujudkan Pribadi yang Berwawasan Keislaman,
Kemodernan dan Ke-Indonesiaan
Makalah disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Studi Islam semester dua.
Disusun oleh :
(Kelompok 13, Kelas Farmasi B)
Fella Salinda Putri 11151020000058
Rifka Annisa 11151020000064
Habibah Sabrina H. 11151020000091
Dosen Pengampuh : Siti Nadroh M,Ag
PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2016
-
7/26/2019 REVISI MAKALAH 13.pdf
2/31
2 | P a g e
KATA PENGANTAR
Puji syukur senantiasa kita panjatkan kehadirat Allah SWT, atas berkat rahmat serta
hidayah-Nya sehingga dalam pembuatan makalah ini dapat terselesaikan dengan baik. Salam danshalawat semoga tetap tercurahkan kepada Rasul kita Rasulullah Muhammad SAW, kepada
sahabat-sahabatnya, dan kepada umatnya hingga akhir zaman. Semoga kita mendapat
syafaatnya di Yaumul kiyamah nanti, Amin.
Pertama-tama kami mengucapkan terima kasih kepada dosen yang dengan kegigihan dan
keikhlasannya telah membimbing kami sehingga kami bisa mengetahui sedikit demi sedikit apa
yang sebelumnya kami tidak ketahui pada materi ini. Juga tak lupa teman-teman seperjuangan
yang telah membantu kami dalam pembuatan makalah ini.
Makalah ini kami buat dengan sedemikian mungkin dan jika ada kesalahan dalam penulisan
pada makalah ini, kami mohon maaf dan berharap serta memohon saran serta kritikan dari
pembaca demi kesempurnaan makalah ini kedepannya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi kita semua.
Ciputat, 20 Maret 2016
Penyusun
-
7/26/2019 REVISI MAKALAH 13.pdf
3/31
3 | P a g e
DAFTAR ISI
Kata Pengantar.................................................................................................................2
Daftar isi............................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN
A. LatarBelakang..........................................................................................................4
B. RumusanMasalah.....................................................................................................4
C. TujuanMakalah........................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN
A. Ajaran-Ajaran Umat Islam Dalam Memajukan Umat Islam Menghadapi Tantangan Era
Globalisasi............................................................................................................................5
B. Islam dan KeIndonesiaan...................................................................................................11
C. Tipologi masyarakat yang Islami, Modern dan berkepribadian Indonesia........................28
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan............................................................................................................32
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................33
-
7/26/2019 REVISI MAKALAH 13.pdf
4/31
4 | P a g e
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada zaman yang serba modern ini pengaruh-pengaruh dari agama sudah mulai
memudar dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Pribadi yang bersifat keislaman sudahmulai ditinggalkan masyarakat Indonesia, karena pengaruh rasionalisasi teknologi saat
ini.
Hal inilah yang mengharuskan haluan pendekatan keislaman dirubah dari yang
kurang rasional menjadi pendekatan ilmiah, rasional tanpa harus lepas atau menyimpang
dari nilai-nilai dasar keislaman itu sendiri. Hal ini dilakukan untuk mengembalikan
pengaruh agama Islam di masyarakat.
Pengembalian keislaman ini adalah langkah awal dalam mengukuhkan pondasi
keagamaan seseorang yang merupakan dasar dalam menghadapi modernisasi. Tidak
hanya itu kaum agama khususnya Islam jua mempunyai peran penting dalam kehidupan
kenegaraan Indonesia yang multikultural ini. Kemajemukan semacam ini harus juga
diperkokoh sebagai ciri khas dan nilai-nilai luhur yang juga harus dihormati, baik dalam
beragama maupun bermasyarakat.
B. Rumusan Masalah
a.
Mengetahui nilai-nilai ajaran Islam dalam memajukan kehidupan umat Islam
mengadapi tantangan globalisasi.
b. Mengetahui apa saja yang akan dihadapi umat Islam untuk tetap tegar
melawan arus globalisasi yang ada di Indonesia
C. Tujuan Makalah
Setelah terselesainya makalah ini, kami berharap makalah ini bermanfaat bagi
semua pihak untuk dapat lebih memahami dan menerapkan pribadi yang berwawasan
keislaman, kemodernan dan keindonesiaan.
BAB II
-
7/26/2019 REVISI MAKALAH 13.pdf
5/31
5 | P a g e
PEMBAHASAN
A. Ajaran-Ajaran Umat Islam Dalam Memajukan Umat Islam Menghadapi Tantangan
Era Globalisasi
Era Globaloisasi
Era dapat ditafsirkan masa, musim, kurun, atau pun,lingkup waktu, atau masa
tertentu.Misalnya,satu abad,satu kurun,atau satu zaman.Globalisasi berasal dari kata global
atau globe.Globe ialah bumi tempat hunian manusia,al-ardh.Kata global sering
diidentifikasikan dengan kata internasional,yaitu hubungan antar bangsa atau antar negara
(nations)1.Worldwide berasal dari kata world,yaitu dunia,disusul oleh the hereafter,yakni
akhirat.Maka dikenal dengan istilah duniawi atau ukhrawi. Worldwide atau globalwide
berarti selingkup atau seluruh bumi tempat barbagai bangsa berada.Regionwide adalah
lingkup kawasan ,misalnya kawasan Asia,Timur Tengah,Eropa,Atlantik Utara,atau Asia
Pasifik.Sedangkan nationwide adalah lingkup nasioanal atau senegara.Kadang-kadang
disebut lingkup dalam negeri atau domestik2.
Menurut David Held dan Anthony Mc Grew tidak ada definisi globalisasi yang tepat
yang disepakati bersama.Globalisasi dapat dipahami dalam pemahaman yang beragam
sebagai kedekatan jarak, ruang, waktu yang menyempit, pengaruh yang cepat, dan dunia
yang menyempit.Perbedaannya hanya terletak pada penekanan dan sudut pandang material,
ruangan dan waktu, serta aspek-aspek kognitif dan globalisasi.Dan sudut pengistilahan, kata
globalisasi sebenarnya masih mengalami problem karena relativitas serta subyektivitas
pemakaian kata tersebut.Namun globalisasi secara sederhana dapat ditunjukan dalam bentuk
perluasan skala, pengembangan wilayah, dan percepatan pengaruh dan arus dan pola-pola
inter-regional dalam interaksi sosial3.
1 Prof.Dr.M.Solly Lubis,SH,Umat Islam Dalam Globalisasi,Jakarta:Gema Insani Press,1997,hal.46.
2Prof.Dr.M.Solly Lubis,SH,Umat Islam Dalam Globalisasi,Jakarta:Gema Insani Press,1997,hal.46.
3David Held dan Anthony Mc Gre, The Global Tranformation Reder, Malden: Blackwell Publisher Ltd., 2000,
hal. 3.
-
7/26/2019 REVISI MAKALAH 13.pdf
6/31
6 | P a g e
Ahli ekonomi dan sosiologi Dr. Jalal Amin mengatakan, istilah aulamah globalisasi
adalah baru, namun fenomenanya cukup lama.Ia berkata, maka kita memahami bahwa
globalisasi adalah penyempitan jarak secara cepat antara masyarakat manusia, baik yang
berkaitan dengan perpindahan barang, orang, modal, informasi, pemikiran maupun nilai-
nilai. Sehingga tampak globalisasi bagi kita adalah sepertinya mengiringi perkembangan
peradaban manusia4. Perkataan Dr. Jalal Amin di atas tampaknya mengarah pada
Taaulamah bukan kepada aulamah.Taaulamah adalah dampak atau pengaruh aulamah
(globalisasi) seperti kata taallum (belajar) masdar (akar kata) dari talim
(mengajar/pengajaran).Karena penyempitan jarak seperti yang dikatakan Dr. Jalal merupakan
dampak bagi globalisasi itu sendiri.
Menurut Anthony Giddens bahwa sebagian aspek globalisasi diperdebatkan:
bagaimana seharusnya istilah itu dipahami apakah istilah itubaru atau tidak dan apa
konsekuensinya. Ada pula yang memandang bahwa globalisasi merupakan kelanjutan dari
tren yang telah lama mapan, yaitu liberarisasi seperti dianut oleh kaum neo-liberal.Namun
menurut Paul Rust dan Graham Thompson seperti dikutip oleh Giddens bahwa globalisasi
merupakan kelanjutan fenomena ekonomi yang kini menuju pada arah global.Tetapi kedua
pandangan di atas tidaklah merepresentasikan globalisasi secara utuh mengingat cakupannya
sangat luas dan menggejala ke dalam berbagai sektor.Globalisasi pada kenyataannya bukan
hanya tentang saling ketergantungan ekonomi, tetapi tentang transformasi ruang dan waktu
yang berskala luas dalam kehidupan kita5.
Jadi, globalisasi mengandung arti menghilangkan batas-batas kenasionalan dalam
bidang ekonomi (perdagangan) dan membiarkan sesuatu bebas melintas dunia dan
menembus level internasional, sehingga terancamlah nasib suatu bangsa atau negara6.
4Ibid. hal. 22.
5 Anthony Giddens, The Third Way, Jakarta: Gramedia, 2000, hal. 32.
6Yusuf Qardhawi, Islam dan Globalisasi Dunia, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, tt. hal. 22.
-
7/26/2019 REVISI MAKALAH 13.pdf
7/31
7 | P a g e
Globalisasi juga bisa berarti eliminasi batas-batas teritorial antara suatu bangsa dengan
bangsa yang lain, antara tanah air yang satu dengan tanah air yang lain, antara kebudayaan
yang satu dengan kebudayaan yang lain7
.Hal itu terjadi dikarenakan adanya perkembangan
secara pesat teknologi komunikasi, transformasi, dan informasi.Pada tataran konsep,
globalisasi tidak bertentangan dengan Islam.Bahkan Islam sejalan dengan globalisasi karena
Islam adalah universal dan rahmatan lil alamin. Globalisasi juga dapat berarti arah
perkembangan atau kecendrungan untuk menyatukan gerak serta hubungan hidup bangsa-
bangsa di dunia,di berbagai bidang kehidupan,yang didukung oleh sarana dan
prasaranatertentu,terutama kemajuan teknologi informasi,komunikasitransportasi,bahkan
ideologi.Maka dikenallah beberapa faktor global,seperti politilk global,ekonomi global,dan
komunikasi global8.
Namun globalisasi yang terjadi akhir-akhir ini adalah globalisasi yang lebih
merupakan konsep dan beranjak dari terminologi Barat.Globalisai pada yang terakhir ini,
lebih mengarah pada pemaksaan hegemoni politik, ekonomi, sosial, dan budaya AS kepada
dunia, khususnya dunia Timur atau dunia ketiga, dan lebih khusus lagi dunia Islam.Oleh
karena itu, dapat dikatakan bahwa dalam konsep versi Barat, globalisasi berarti
westernisasi dunia. Konsep ini merupakan istilah santun bagi imperialisme gaya baru
yang telah menanggalkan baju lama dan cara-cara kunonya, untuk memainkan hegemoni
baru dengan payung istilah yang lembut, yakni globalisasi. Peluang Dan Tantangan
Dalam Menghadapi Globalisasi
Memasuki abad XXI ini, dunia ditandai dengan pesatnya perkembangan dibidang
komunikasi dan teknologi sehingga dunia telah menjadi komunitas global yang menyatu.
Satu sama lain tak terpisahkan dan saling bergantung.
7Yusuf Qardhawi, Ummat Islam menyongsong Abad 21 (Ummatan aina Qornain), Solo: Era Intermedia,
2001, hal. 301
8Prof.Dr.M.Solly Lubis,SH,Umat Islam Dalam Globalisasi,Jakarta:Gema Insani Press,1997,hal.46.
-
7/26/2019 REVISI MAKALAH 13.pdf
8/31
8 | P a g e
2. Peluang Ekspor
Ekspor membuka peluang pasar baru di luar negeri. Ini tidak hanya berlaku bagi
pengusaha-pengusaha besar, tetapi juga pengusaha kecil di pedesaan. Modal
1. Peluang Pasar Bebas
Masing-masing negara akan berlomba-lomba menaikkan mutu dan menurunkan harga
produknya di pasar internasional. Produk yang paling murah dan bermutu akan paling
banyak dibeli. Ini menguntungkan bukan saja negara maju tetapi juga negara
berkembang.
Pembangunan Kesalinghubungan dan kesalingtergantungan antarnegara memungkinkan
Indonesia untuk meminta bantuan modal pembangunan dari negara lain.
3. Membuka Lapangan Kerja
Globalisasi memungkinkan berbagai perusahaan mancanegara beroperasi di Indonesia
sehingga dapat menambah kesempatan kerja. Menambah Pendapatan Negara Pajak dari
investasi asing dapat digunakan untuk membangun sarana dan prasarana masyarakat.
Mengurangi Pinjaman Dengan meningkatnya pendapatan negara, maka peminjaman
modal kepada negara lain akan berkurang. Tantangan Globalisasi Pasar Bebas Yang
Timpang Banyak negara yang melindungi produk ekspor negaranya dengan memberikansubsidi dan bea masuk yang tinggi. Masih banyak juga negara yang melarang negara lain
untuk memberikan subsidi dan bea masuk untuk berbagai produk negaranya, namun di
lain sisi mereka memberikan subsidi terhadap petani di negaranya. Terancamnya
Perusahaan Kecil Dengan modal yang besar, perusahaan multinasional dapat membangun
pusat perbelanjaan yang mewah dan besar. Dengan jenis barang dan kualitas yang
terjamin, serta ruangan yang nyaman, akan membuat masyarakat lebih senang berbelanja
disana, sehingga mengancam pasar tradisional menjadi sepi pengunjung. Pelarian Modal
Perusahaan multinasional sewaktu-waktu bisa memindahkan tepat operasi perusahaannya
karena situasi politik yang tidak mendukung, banyak pungutan tidak resmi, pajak tinggi,
dll, sehingga negara dapat kehilangan salah satu penyumbang pendapatan negaranya.Pengangguran Perpindahan tempat operasi suatu perusahaan internasional dapat
menyebabkan para karyawannya kehilangan pekerjaan9.
9AliHanapiah2011http://alimuhi.staff.ipdn.ac.id/wp-
content/uploads/2011/08/PELUANG.TANTANGAN.GLOBALISASI.pdf
http://alimuhi.staff.ipdn.ac.id/wp-content/uploads/2011/08/PELUANG.TANTANGAN.GLOBALISASI.pdfhttp://alimuhi.staff.ipdn.ac.id/wp-content/uploads/2011/08/PELUANG.TANTANGAN.GLOBALISASI.pdfhttp://alimuhi.staff.ipdn.ac.id/wp-content/uploads/2011/08/PELUANG.TANTANGAN.GLOBALISASI.pdfhttp://alimuhi.staff.ipdn.ac.id/wp-content/uploads/2011/08/PELUANG.TANTANGAN.GLOBALISASI.pdfhttp://alimuhi.staff.ipdn.ac.id/wp-content/uploads/2011/08/PELUANG.TANTANGAN.GLOBALISASI.pdf -
7/26/2019 REVISI MAKALAH 13.pdf
9/31
9 | P a g e
4. Terancamnya Kaum Buruh
Perusahaan multinasional yang hendak beroperasi di Indonesia seringkali menuntut
syarat-syarat tertentu agar biaya produksinya rendah dan keuntungannya melimpah. Salah
satunya adalah syarat upah buruh yang rendah sehingga dapat merugikan kaum buruh
Menyikapi peluang & tantangan globalisasi bidang ekonomi mengembangkan
akses pasar mengupayakan peningkatan arus investasi asing mengembangkan kerja sama
teknik dan jasa ekonomi meningkatkan kualitas produk pengusaha kecil bidang politik
meningkatkan kesiapan dalam segala bidang untuk menghadapi perdagangan bebas
menegaskan politik luar negeri bebas aktif dan berorientasi pada kepentingan nasional
meningkatkan solidaritas antar negara mendukung perjuangan kemerdekaan bangsa-
bangsa menolak penjajahan memperkuat kelembagaan, sumber daya manusia, serta
sarana dan prasarana umum. Bidang agama meningkatkan peran dan fungsi lembaga-
lembaga keagamaan meningkatkan kualitas pendidikan agama melalui penyempurnaan
sistem pendidikan agama bidang sosial budaya mengembangkan dan membinakebudayaan nasional bangsa indonesia memberantas secara sistematis perdagangan dan
penyalahgunaan narkotika dan obat-obat terlarang bidang pendidikan meningkatkan
kemampuan akademik dan kesejahteraan tenaga kependidikan meningkatkan kualitas
lembaga pendidikan meningkatkan penguasaan ilmu pengetahuan meningkatkan disiplin
nasional.
Globalisasi dapat pula dipandang sebagai sesuatu tantangan. Dalam konteks globalisasi
sebagai tantangan merupakan cara pandang yang optimis, dimana memandang globalisasi
sebagai suatau yang menantang. Sesuatu yang menantang mengandung makna bahwa
sesuatu tersebut harus disikapi dan dihadapi dengan bebagai upaya dan strategi.
Globalisasi tidak bisaditolak atau dihindari, dia hadir seiring perkembangan peradaban
manusia, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu, yang harus
dilakukan adalah menghadapinya dengan seksama, turut serta memainkan peran dalam
setiap tantangan dan peluang yang tersedia. Salah satu faktor yang menentukan dalam
daya saing suatu produk adalah mutu produk. Mutu merupakan bagian isu kritis yang
menantang dalam persaingan global. Tantangan lainnya dalam menghadapi pasar dan
persaingan bebas adalah bagaimana menciptakan sektor pertanian dan industri yang
efisien, efektif, dinamis, dan berkelanjutan. Penyebarluasan teknologi dan inovasi yang
terkait dengan sistem produksi, packaging, serta pemasaran
10
.
10AliHanapiah2011http://alimuhi.staff.ipdn.ac.id/wp-
content/uploads/2011/08/PELUANG.TANTANGAN.GLOBALISASI.pdf
http://alimuhi.staff.ipdn.ac.id/wp-content/uploads/2011/08/PELUANG.TANTANGAN.GLOBALISASI.pdfhttp://alimuhi.staff.ipdn.ac.id/wp-content/uploads/2011/08/PELUANG.TANTANGAN.GLOBALISASI.pdfhttp://alimuhi.staff.ipdn.ac.id/wp-content/uploads/2011/08/PELUANG.TANTANGAN.GLOBALISASI.pdfhttp://alimuhi.staff.ipdn.ac.id/wp-content/uploads/2011/08/PELUANG.TANTANGAN.GLOBALISASI.pdfhttp://alimuhi.staff.ipdn.ac.id/wp-content/uploads/2011/08/PELUANG.TANTANGAN.GLOBALISASI.pdfhttp://alimuhi.staff.ipdn.ac.id/wp-content/uploads/2011/08/PELUANG.TANTANGAN.GLOBALISASI.pdf -
7/26/2019 REVISI MAKALAH 13.pdf
10/31
10 | P a g e
Dampak Positif Dan Negatif Globalisasi Bagi Umat Islam
Dapak positifnya antara lain, informasi dari belahan dunia yang jauh dapat segera
diletahui oleh manusia dibelahan dunia yang lain.
Manusia dengan mudah berkomunikasi, termasuk dapat dengan cepat mengembangkan
ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga merata di seluruh dunia.Di samping dampak
positif, arus Globalisasi juga menimbulkan dampak negatif yang sangat perlu mendapatkan
perhatian.
Adapun dampak negatifnya antara lain, ledakan informasi yang menguasai
kehidupan manusia,yang mengusai media informasi, akan jadi penentu mempengaruhi
masyarakat dunia. Pengaruh negative dari luar dengan leluasa masuk menusuk jantung rumah
tangga kita, dan mempengaruhi sendi kehidupan masing-masing keluarga. Kehidiupan
manusia semakin didorong individualistis, sangat menonjolkan hak individunya.Kehidupan
beragama hanya diambil ritualnya saja, dan agama hanya dipahami hanya untuk aspek
individual belaka.Dengan demikian, arus globarisasi itu dapat mengancam kehidupan apabila
tidak waspada menghadapinya.
Ajaran-Ajaran Umat Islam Dalam Menghadapi Globalisasi
Bagi Umat Islam, menghadapi arus Globalisasi ini merupakan tantangan,
sekaligus sebagai peluang untuk dapat dengan cerdas, syiasyah, dan trampil memanfaatkan
untuk Jihad ( berjuang sungguh-sungguh ) menyampaikan aspek-aspek ajaran Islam sebagai
Rahmat Lilalamien, memberikan kesejahteran bagi seluruh alam. Dalam menhhadapi
tantangan arus Globalisasi, umat Islam perlu giat memperkokoh Benteng dengan
memperkuat fondasi Aqidah, Syariah-Ibadah, Amaliah, dan Akhlaqul Karimah. Dengan
fondasi ajaran Islam ini insyaAllah akan mempu menjadi filter dan punya daya tangkal
terhadap arus negative Globalisasi atau arus popularitas zaman. Dengan memahami dan
menghayati serta mengamalkan ajaran Islam dengan benar, akan mahir mengendalikan diri
dan menyeleksi pengaruh arus Globalisasi, sehingga dapat selamat, dan justeru dapat
memanfaatkannya sebagai sarana dakwah dan pengembangan Islam di dunia yang lebih luas.
Dalam rangka untuk menguatkan umat menghadapi arus Globalisasi, maka perlu
dipahami dan dihayati ajaran Allah Swt. Dalam kitabullah Al Quran sebagai pedoman hidup
manusia ini untuk menghadapi era globalisasi,antara lain :
-
7/26/2019 REVISI MAKALAH 13.pdf
11/31
11 | P a g e
Pertama, Umat Islam harus memperkuat Iman dan juga harus memiliki Ilmu Pengetahuan
yang luas, sehingga Ilmu dan Teknologi yang tumbuh dan berkembang dilandasi oleh Iman
yang kokoh, akan barokah dan mamfaat bagi kehidupan peradaban manusia11
.
Kedua, Umat dapat mengamalkan konsep hidum manusia dalam mempunyai
orientasi hidup yang jelas bahagia di akhirat, dengan mengupayakan berbuat baik dan
bahagia sejahtera di dunianya.Bebuat kebaikan pada sesama manusia dengan amal
sholehnya.Tidak membuat kerusakan di bumi12
.
Ketiga, Memperkokoh Rumah Tangga Sakinah dengan landasan Cinta-Kasih-
Sayang, membangun masyarakat yang Marhammah-Qoryatan Toyyibah ( tentram-damai ),
berlandaskan Taawun atau gotong-royong. Kesemuanya itu saling menjaga, agar jangan
sampai dirinya, keluarganya, dan masyarakatnya, terperosok dalam neraka11
.
Keempat, Memperkokoh Istiqomah Umat Islam pada pengetahuan-pemahaman-
serta mengamalan ajaran Islam, sehingga benar-benar Muttaqin (bertaqwa) dan sampai akhir
hayat tetap dalam keadaan muslimin13
.
Dengan demikian itu, Umat Islam akan tegar berani menghadapi arus Globalisasi,
dan bahkan dapat tampil dengan mahir menggguna Ilmu-Pengetahuan & Teknologi sebagai
sarana dan prasarana perjuangan dakwah-Amar makruf nahi mungkar, sehingga bermanfaat
bagi kesejahteraan kehidupan umat manusia di seluruh dunia.
10 Q.S.Al-Mujadallah (58):11
11Q.S Al-Qoshos (28):77
12Q.S At-Tahrim (66) :6
13Q.S Ali Imron (3):102
-
7/26/2019 REVISI MAKALAH 13.pdf
12/31
12 | P a g e
B.Islam Dan Keindonesiaan
Keindonesiaan
Dalam perjalananan Republik Indonesia selama 69 tahun, upaya memadukan
keindonesiaan dan keislaman sungguh menarik perhatian. Penuh dengan dinamika dan
masih terus mengalami proses.
Sejak sebelum pernyataan kemerdekaan, hubungan agama (Islam) dan negara (Indonesia)
menjadi masalah pelik. Itu terlihat kalau kita menyimak persidangan Badan Penyelidik
Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI), 28 Mei hingga 22 Agustus 1945.
BPUPKI membentuk Panitia Sembilan yang dipimpin Bung Karno membahas dasar
negara. Panitia kecil itu berhasil merumuskan Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945 yang
menjadi Pembukaan UUD. Pada 18 Agustus 1945 Rancangan UUD itu rencananya disahkan
dalam persidangan PPKI. Tetapi, pada 17 Agustus 1945 sore sekelompok pemuda yang
mengaku mewakili umat Kristen dari Indonesia Timur mendatangi Bung Hatta
menyampaikan aspirasi mereka.Mereka menyatakan, umat Kristiani tidak akan bergabung
dengan Republik Indonesia yang belum berusia sehari. Sikap itu diambil karena Pembukaan
UUD yang dikenal sebagai Piagam Jakarta di dalamnya mengandung kalimat "Ketuhanan
dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya".
Esoknya Bung Hatta lalu mengadakan pertemuan dengan sejumlah tokoh Islam yaitu Ki
Bagus Hadikusumo, KHA Wahid Hasyim, Mr Kasman Singodimedjo, dan Teuku Mohamad
Hasan membahas masalah rumit dan mendesak itu.
-
7/26/2019 REVISI MAKALAH 13.pdf
13/31
13 | P a g e
Berminggu-minggu para tokoh pendiri bangsa itu berdebat alot memilih Pancasila atau
Islam sebagai dasar negara. Dan akhirnya musyawarah menghasilkan titik temu berupa dasar
negara Pancasila dengan mencantumkan tujuh kata Piagam Jakarta pada sila pertama, dan
kini hasil musyawarah itu ditolak pada hal esoknya harus disahkan.
Maka, langkah pertama memadukan Indonesia dan Islam berhasil dilakukan tokoh-tokoh
IslamTerintegrasinya antara pemikiran keislaman dan keindonesiaan diatas titik temu
Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang harmonis. Tidak
terdapat kesenjangan anatara keislaman dan keindonesiaan, antara Islam dengan Pancasila,
selaras dengan realitas sosial budaya bangsa Indonesia dengan ciri utama, kemajemukan dan
perkembangan.
Hubungan Islam Dan Keindonesiaan
Mengiringi krisis ekonomi tahun 1997-1998 dan kekecewaan para mahasiswa dan
berbagai elemen bangsa atas rapuhnya moralitas dan hegemoni struktural dan kultural yang
cenderung bersifat homogenisasi dan standardisasi regim Orde Baru, Indonesia seolah-olah
memasuki babak baru sejarah memperbaharui keIndonesiaan. Umat Islam yang sudah
majemuk sejak sangat lama secara orientasi keagamaan, budaya, bahasa, sosio-ekonomik,
dan politik, pun bergerak lagi, memunculkan kemajemukan yang lebih terbuka dan vokal di
ranah publik.
Sekarang, titik balik (turning point) sejarah itu sudah terlewatkan lebih dari sepuluh
tahun, dan berbagai elemen masyarakat, termasuk yang menganggap diri mereka sebagai
bagian dari umat Islam, masih terus mencari makna Islam di tengah keIndonesiaan, lokalisasi
dan globalisasi: bagaimana menjadi manusia Muslim (being Muslim), dan menjadi manusia
Indonesia (being Indonesian). Sebagian juga mencoba menemukan kembali (reinvent)
identitas lokal: menjadi Jawa, menjadi Aceh, menjadi Papua, dan sebagainya.
-
7/26/2019 REVISI MAKALAH 13.pdf
14/31
14 | P a g e
Pencarian dan penegasan kembali berbagai identitas (agama, suku, bangsa, jender, kelas
sosial, ideologi politik) berlangsung sebagai respons terhadap tantangan-tantangan baru.
Dalam wacana global, ada citra umat Islam di Indonesia yang toleran, demokratis, dan
akomodatif terhadap Budaya-budaya lokal, tapi di sini lain, sebagian umat Islam terlibat aksi
kekerasan dan terorisme, memiliki dan menganjurkan ideologi kekerasan, dan masih terlibat
dalam tindak pidana korupsi dan penyakit-penyakit moralainnya. Karena itu, upaya
merekonstruksi hubungan Islam dan KeIndonesian yang bhineka itu tetap penting baik bagi
sarjana maupun tenaga pendidikan, dan para pemimpin dan masyarakat luas.
Keterkaitan Islam Nusantara Dengan Hubungan Islam Dan Indonesia
Agama (Islam) merupakan bidang yang dapat dibedakan dengan keindonesiaan dan
kebudayaannya, tetapi tidak dapat dipisahkan. Agama (Islam) bernilai mutlak, tidak berubah
karena perubahan waktu dan tempat. Sedangkanperaturan indonesia, sekalipun berdasarkan
agama dapat berubah dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. Menurut Taufik
Abdullah memang benar Islam sudah datang ke Indonesia (Nusantara-pen) sejak abad
pertama Hijriah atau abad ke-7 atau 8 Masehi, tetapi baru dianut oleh para pedagang Timur
Tengah di pelabuhan-pelabuhan. Barulah Islam masuk secara besar-besaran dan mempunyai
kekuatan politik pada abad ke-13 dengan berdirinya kerajaan Samudera Pasai14
.
Menurut Azyumardi Azra, penerimaan mereka terhadap Islam lebih tepat disebut
Adhesi daripada Konversi.Menurut Gus Dur, Islamisasi baru benar-benar terjadi pada
abad ke-13 M dengan terbentuknya komunitas Islam di ujung utara Sumatera. Secara
berturut-turut, Islam telah menyebar di pantai barat Malaka, pantai timur kalimantan, bagian
utara Sulawesi, pulau utara Maluku, dan pantai utara Jawa.
14
FajarKurniantohttp://documents.tips/download/link/keislaman-dan-keindonesiaan_555081aa33311376f511af5i,diakses pada 24 Mei 2016,jam 11.30 WIB
http://documents.tips/download/link/keislaman-dan-keindonesiaan_555081aa33311376f511af5ihttp://documents.tips/download/link/keislaman-dan-keindonesiaan_555081aa33311376f511af5ihttp://documents.tips/download/link/keislaman-dan-keindonesiaan_555081aa33311376f511af5ihttp://documents.tips/download/link/keislaman-dan-keindonesiaan_555081aa33311376f511af5ihttp://documents.tips/download/link/keislaman-dan-keindonesiaan_555081aa33311376f511af5ihttp://documents.tips/download/link/keislaman-dan-keindonesiaan_555081aa33311376f511af5i -
7/26/2019 REVISI MAKALAH 13.pdf
15/31
15 | P a g e
Segenap gelombang Islamisasi ini terjadi dan memuncak pada pembentukan kerajaan-
kerajaan Islam, sejak di Pasai, Perlak, Goa, Kerajaan Aceh, Demak dan Mataram.
Keragaman wilayah yang diislamkan telah melahirkan keragaman corak keislaman yang
membekaskan corak budaya Islam, hingga saat ini
Dua kekayaan manusia yang paling utama ialah akal dan budi atau yang lazim disebut
pikiran dan perasaan. Di satu sisi akal dan budi atau pikiran dan perasaan tersebut telah
memungkinkan munculnya tuntutan-tuntutan hidup manusia yang lebih daripada tuntutan
hidup makhluk yang lain. Dari sifat tuntutan itu ada yang berupa tuntutan jasmani dan ada
pula tuntutan rohani. Di sisi lain akal dan budi memungkinkan munculnya karya-karya
manusia yang sampai kapan pun tidak akan dapat dihasilkan oleh makhluk lain. Cipta, karsa
dan rasa pada manusia sebagai buah akal budinya terus melaju tanpa hentinya berusaha
menciptakan benda-benda baru untuk memenuhi hajat hidupnya; baik yang bersifat jasmani
maupun rohani. Dari proses ini maka lahirlah apa yang disebut kebudayaan. Jadi kebudayaan
hakikatnya tidak lain adalah segala sesuatu yang dihasilkan oleh akal budi manusia.
Agama (Islam) dan budaya yang ada di nusantara memiliki wilayahnya sendiri-sendiri,
tetapi pada saat yang sama berhubungan secara tumpang tindih. Demikianlah agama dan
budaya. Demikianpun budaya yang merupakan kreasi dan ranah kehidupan manusia. Ia tentu
bukan agama dan tidak bisa ditempatkan sebagai agama. Namun independensi masing-
masing agama dan budaya ini tidak menutup kemungkinan bagi manifestasi kehidupan
beragama dalam bentuk budaya. Artinya, agama sebagai aturan normatif tentu bukan budaya.
Tetapi pelaksanaan dan pengamalannya, dalam arti, penerapan aturan ke dalam realitas, tentu
membutuhkan kebudayaan.15
15FajarKurniantohttp://documents.tips/download/link/keislaman-dan-
keindonesiaan_555081aa33311376f511af5i,diakses pada 24 Mei 2016,jam 11.30 WIB
http://documents.tips/download/link/keislaman-dan-keindonesiaan_555081aa33311376f511af5ihttp://documents.tips/download/link/keislaman-dan-keindonesiaan_555081aa33311376f511af5ihttp://documents.tips/download/link/keislaman-dan-keindonesiaan_555081aa33311376f511af5ihttp://documents.tips/download/link/keislaman-dan-keindonesiaan_555081aa33311376f511af5ihttp://documents.tips/download/link/keislaman-dan-keindonesiaan_555081aa33311376f511af5ihttp://documents.tips/download/link/keislaman-dan-keindonesiaan_555081aa33311376f511af5i -
7/26/2019 REVISI MAKALAH 13.pdf
16/31
16 | P a g e
Menurut Gus Dur memiliki dua pendekatan di dalam melihat Islam di Nusantara.
Pendekatan pertama bersifat preskriptif, dengan melihat perspektif tertentu di dalam melihat
Islam di Nusantara. Dari pendekatan Preskriptif ini lahirlah terma Islam Nusantara, yang
perlu dibedakan dengan Islam di Nusantara. Islam Nusantara adalah corak keislaman yang
khas Nusantara.. Dengan demikian, Islam Nusantara adalah corak keislaman yang terbentuk
oleh Pribumisasi Islam, sementara Pribumisasi Islam merupakan mekanisme islamisasi yang
khas di Nusantara. Dengan pendekatan preskriptif ini, Islam Nusantara akhirnya perlu
dibedakan dengan Islam Arab yang merupakan corak khas Islam di Arab.
Pendekatan kedua, dekskriptif. Dalam pendekatan ini, Islam di Nusantara tersebar
di berbagai wilayah geo-kultural yang beragam dan akhirnya membentuk pola Islamisasi dan
corak keislaman yang beragam. Islam di Aceh bisa menjadi konstitusi Negara karena sejak
awal Islam berkembang dari komunitas cultural hingga menjadi institusi kekuasaan. Hal ini
yang berbeda dengan Minangkabau yang tidak memungkinkan hegemoni Islam sebab sejak
awal terdapat hukum adat Minang yang mengakar di masyarakat. Di wilayah Goa dan Jawa
situasinya hampir serupa, dimana tradisi mistik bertemu dengan tasawuf, sehingga Islam dan
mistik lokal bisa berdampingan di dalam struktur kekuasaan. Tentu jawa yang dimaksud
adalah jawa pedalaman, bukan jawa pesisir. Sebab jawa pesisir telah melahirkan corak
keislaman sufistik yang memusat tidak di dalam kerajaan, melainkan pesantren. Melalui
pendekatan deskriptif ini, menandaskan keragaman Islam, sehingga upaya menciptakan
homogenisasi kultur Islam yang dilakukan oleh kaum fundamentalis, tentu bertentangan
dengan realitas keislaman itu sendiri.
Islam nusantara sendiri yang memiliki unsur keindonesian saling memiliki keterkaitan
yang simbiosis dan saling melengkapi antar keduanya. Sebelum Islam datang, di Indonesia
sudah memiliki peraturan dan ciri khasnya tersendiri. Baru setelah Islam datang ke indonesia,
Islam tidak menghilangkan budaya yang ada dan tidak menghilangkan total segala tatanan
yang sudah terbentuk di Indonesia tetapi Islam ikut membaur dan menciptakan perpaduan
yang sempurna antar tatanan lokal dan Islam.
Pada konteks selanjutnya, akan tercipta pola-pola keberagamaan (Islam) yang sesuai
dengan konteks lokalnya, dalam wujud Islam Pribumi. Islam Pribumi justru memberi
keanekaragaman interpretasi dalam praktik kehidupan beragama (Islam) di setiap wilayah
yang berbeda-beda. Dengan demikian, Islam tidak lagi dipandang secara tunggal, melainkan
-
7/26/2019 REVISI MAKALAH 13.pdf
17/31
17 | P a g e
beraneka ragam. Oleh karenanya, Islam Indonesia tidak kalah Islamnya dengan Arab Saudi,
Iran, Sudan, Pakistan, dan negeri muslim lainnya. Atau dengan kata lain, pribumisasi Islam
merupakan gagasan yang menandai suatu bentuk Islam Indonesia, di mana keberislaman
secara inheren telah melekat dengan keindonesiaan.
Empat Orientasi Ideologis Hubungan Islam dan Keindonesiaan:
Pertama, Islamization Yes, Indonesianization No
Menurut kerangka hubungan Islam dan keIndonesian, setidaknya ada
empat orientasi ideologis di tengah masyarakat Indonesia kontemporer.
Pertama : mereka yang berkeyakinan Islam itu satu dan Indonesia itu satu. Di antara
mereka, ada yang berpendapat Islam dan Indonesia adalah dua identitas yang bertentangan,dan tidak ada persinggungan atau kesesuaian antara keduanya. Bagi kelompok-kelompok
seperti Hizbut Tahrir (HT), Islam adalah wahyu Allah, sementara Indonesia adalah buatan
manusia, yang meskipun lahir dalam konteks melawan penjajahan (kolonialisme dan
imperialisme), tidak lahir atas landasan syariat Islam dan kekhilafahan (seperti yang mereka
pahami)16
.
16Persoalan identitas, jati diri, adalah perennial dan universal di semua masyarakat. Di Amerika Serikat, di
Palestina, di Irak, di Iran, di Saudi Arabia, untuk menyebut beberapa saja, persoalan identitas mengenai siapa
orang Amerika itu, Siapa orang Palestina, Siapa orang Irak, dan sebagainya, jauh dari selesai. Di Amerika,
Samuel Huntington misalnya menulis buku Who are We?: The Challenges to Americas National Identity
(New York: Simon & Schuster, 2005), dan berpendapat budaya nasional Amerika adalah Anglo-Protestant, dan
imigrasi dari berbagai ras dan budaya merupakan tantangan yang bisa mengancam budaya nasional itu.
-
7/26/2019 REVISI MAKALAH 13.pdf
18/31
18 | P a g e
Namun, zaman sekarang, upaya itu redup dan harus dihidupkan kembali, bersamaan di
belahan dunia lain. Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) mengutip potongan-potongan sejarah
Islam dan menafsirkannya untuk menunjukkan bahwa perjuangan menegakkan syariat dan
khilafah Islam mereka saat ini tidaklah a-historis.Mereka, misalnya, mencoba menunjuk
adanya hubungan Khalifah Usmani dengan sultan-sultan di Nusantara, adanya ancaman
kolonial Belanda, termasuk melalui ordonansi-ordonansi seperti peradilan agama,
perkawinan, pendidikan, guru, sekolah liar, yang menghambat perkembangan Islam di
Nusantara.
Indonesia bagi mereka sekedar tempat dimana syariat Islam dan khilafah sebagaimana
yang mereka pahami harus ditegakkan.Mereka menolak UUD 45, Pancasila, Demokrasi,
partai politik sekuler, dengan landasan keyakinan Islam sebagai ideologi satu-satunya yang
tidak bisa digandengkan apalagi dinomorduakan dengan kebudayaan.Bagi mereka, Islam
tidak bisa mengikuti perkembangan zaman dan tempat.Zaman dan tempatlah yang wajib
mengikuti Islam. Bukan dengan membuat interpretasi baru mengenai Islam agar sesuai
dengan keadaan masyarakat,..karena di sana terdapat masyarakat yang rusak dan hendak
diperbaiki dengan suatu ideologi (mabda) secarainqilabi (revolusioner).17
Karena itu, Indonesia bukan Negara Islam, tapi Negara Kafir.Kebhinekaan diakui sekedar
sebagai wahana dan wadah dimana ideologi Islam diwujudkan.Tidak ada nilai-nilai
intrinstik yang positif dan konstruktif di dalam kebhinekaan Indonesia dan budaya umat
manusia.Tidak ada korelasi positif antara Islam dan keIndonesian.
17Taqiyuddin an-Nabhani, Mafahim Hizbut Tahrir (edisi Mutamadah), terj. (Jakarta: Hizbut TahrirIndonesia,
2004), hal.11.; Muhamad Ali, Hizbut Tahrir Indonesia (the Party of Liberation Indonesia). Editor(s): Henry
Schwarz. Blackwell.Blackwell Encyclopedia of Postcolonial Studies, akan diterbitkan 2012.
-
7/26/2019 REVISI MAKALAH 13.pdf
19/31
19 | P a g e
Kedua: Islam First, Indonesia Second
Sebagai orientasi ideologis kedua, ada kelompok yang terlibat dalam proses demokratisasi di
Indonesia, yang memperjuangkan Islam sebagai sistem yang komprehensif namun dalam
konteks Indonesia yang majemuk secara budaya, agama, dan ideologi. Partai-partai politik
Islamisseperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai-partai lain yang segagasan
dengannya, mengutamakan Islam sebagai sistem yang paling baik dan paling benar, namun
berjuang mewujudkannya dalam konteks falsafah Negara Pancasila, UUD 45 (dan hasil
amandemen) dan peraturan-peraturan lainnya.Namun demikian, mereka memahami konstitusi
dan falsafah ini bukan sebagai prioritas utama
Mereka sering menggunakan teori konspirasi Zionis dan AS yang memerangi
Islam18.
.Mereka setuju dengan toleransi beragama dalam bidang-bidang sosial, ekonomi, dan
politik, bukan pada persoalan aqidah dan ibadah.Melalui politik sebagai dakwah, mreka berusaha
menyebarkan Islam sebagai rahmatan lil-alamin.Bagi mereka, pendidikan (tarbiyah) Islam yang
komprehensif (Islam Kafah) dan anti sistem jahiliyyah tidak menjadikan Indonesia dan
kebhinekaan sebagai sumber nilai yang konstruktif bagi Islam dan keberIslaman. Program utama
mereka, adalah Islamisasi Indonesia, bukan Indonesianisasi, lokalisasi, atau diversifikasi Islam.19
Mereka memformulasikan nilai-nilai moral yang Islamseperti keadilan dan kesejahteraan,
namun menafsirkannya dalam kerangka Islam sebagai jawaban (Islam huwa al-
hal).Hubungannya dengan kelompok lain, mereka memiliki slogan Yakhtalitun walaakin
yatamayyazun (mereka bercampur/bergaul dengan kelompok-kelompok lain, tapi mereka
memiliki identitas yang membedakan).Muatan tarbiyyah mereka adalah tauhid, akhlaq dan
fikrah.
18 Irwan Prayitno,Al-Ghazw al-Fikri, Kepribadian Dai (Bekasi: Pustaka Tarbiatuna, 2003), hal.3-4, dalam Greg
Felly and Virginia Hooker, eds, Voices of Islam in Southeast Asia: A Contemporary Sourcebook (Singapore:
Institute of Southeast Asian Studies, 2006), hal.438-439.
19Lihat misalnya, Yon Mahmudi, Islamising Indonesia: the Rise of Jemaah Tarbiyah and the Prosperous Justice
Party (PKS), tesis Ph.D, Faculty of Asian Studies, Australian National University, Canberra, July 2006.
-
7/26/2019 REVISI MAKALAH 13.pdf
20/31
20 | P a g e
Mereka pun membiasakan pemakaian istilah-istilah Arab, seperti ikhwan dan akhwat,
siyasah, iqtisad, hizb, musyarakah,maisyah, murabbi, mutarabbi, halaqah, dan usrah.Terhadap
formalisasi syariat Islam, PKS melakukan perjuangan bertahap: mereka melakukan dialog
dengan kelompok-kelompok lain, termasuk non-Muslim mengenai konsep dan esensi syariah:
menegakkan keadilan dan kesejahteraan. Secara prinsip, PKS mengakui eksistensi penganut
agama-agama lain sebagai ahlu dhimmah, dan memvisikan jaminan kebebasan beragama dan
hak-hak sipil mereka, seperti dicontohkan Piagam Madinah.20
Dalam hal penekanan dan strategi, PKS berbeda dengan HTI: PKS mengakui dan ikut
proses demokrasi, menjadi partai politik, dan melakukan kompromi-kompromi pragmatis demi
tercapainya tujuan Islamisasi itu. Sementara HTI bergerak di luar proses politik,
menegasikankeabsahan sistem demokrasi, pemilihan umum, dan konstitusi serta peraturan-
peraturan yang dihasilkannya. Bagi PKS, ada hubungan Islam dan keIndonesiaan:.Indonesia
adalah bangsa besar dan majemuk dimana umat Islam menjadi bagian paling utama dan berhak
memimpinnya. Namun demikian, baik HTI maupun PKS, pada prinsipnya menempatkanIslamic
umma first and formost. Mereka tidak menganjurkan kekerasan fisik, menolak terorisme,
meskipun mereka kerap melakukan demonstrasi damai menyuarakan kepedulian mereka
terhadap isu-isu global
20 Lihat. Yon Mahmudi, Islamising Indonesia: the Rise of Jemaah Tarbiyah and the Prosperous Justice Party
(PKS), tesis Ph.D,.
-
7/26/2019 REVISI MAKALAH 13.pdf
21/31
21 | P a g e
Ketiga: Formalistic Islam No, Substantive Islam & Indonesia, Yes
Orientasi ideologis ketiga, ada kelompok yang menyebut diri mereka progresif,
termasuk mereka yang mengusung ide-ide liberalisme, pluralisme, dan sekulerisme, dalam
pengertian yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai substansi Islam. Bagi mereka, Islam,
keIndonesian, dan progresifitas saling mendukung.Bagi mereka, yang mengambil rujukan
pada berbagai sumber baik klasik, pertengahan maupun modern, Muslim dan non-Muslim,
Islam memiliki nilai-nilai universal dan nilai-nilai partikular.Mereka lebih mengutamakan
nilai-nilai universal itu, seperti keadilan, persamaan hak, kesejahteraan, kesetaraan.
Bagi kalangan progresif, nilai-nilai yang universal bisa diterapkan dalam konteks
Indonesia, dan setiap nilai universal dengan sendirinya adalah Islami, tanpa harus diberi
label Islam. Nilai-nilai Islam bagi mereka bersumber dari Al-Quran, Sunnah, dan sejarah
serta dari tokoh-tokoh zaman dan tempat yang terus berkembang, memberikan tempat
terhormat bagi akal pikiran yang kritis terhadap sumber-sumber itu.Mereka menolak
teokrasi, mempromosikan ide-ide demokrasi, hak-hak minoritasnon-Muslim dan Muslim,
hak-hak perempuan, dan kebebasan berpikir.21
Bagi sebagian kalangan mereka, seperti yang tergabung dalam Jaringan Islam
Liberal (JIL), syariat Islam itu sudah liberal dan liberatif asalkan dipahami secara tepat
dalam konteks ruang dan waktu Indonesia. . Berbeda dengan HTI dan PKS, JIL dan
kalangan yang seide dengan mereka, melakukan kritik terhadap cara pandangan keIslaman
yang menurut mereka kaku dan tertutup dan anti pemikiran dan penafsiran rasional dan
progresif.
21 Lihat antara lain, Charles Kurzman, ed., Liberal Islam: A Sourcebook (New York & Oxford:
Oxford University Press, 1998); Abd Moqsith Ghazali, ed., Ijtihad Islam Liberal: Upaya
Merumuskan Keberagamaan Yang Dinamis (Jakarta: Penerbit Jaringan Islam Liberal, 2005);
Muhamad Ali, the Rise of Liberal Islam Network (JIL) in Contemporary Indonesia, American
Journal of Islamic Social Sciences,22,1, 2005, hal.1-27
-
7/26/2019 REVISI MAKALAH 13.pdf
22/31
22 | P a g e
Pendidikan karakter bangsa bagi kalangan progresif lebih merupakan penerjemahan
nilai-nilai Islam dan agama-agama yang bersifat universal seperti keadilan, persamaan hak
manusia, perdamaian, kasih sayang, dan kemajuan.Karena Indonesia sudah majemuk, maka
Islam tidak bisa tidak kecuali berwajah majemuk, atau multi-kultural.umat.Islam.Sebagian
mereka, Indonesia meskipun beragama, tidak memiliki sejarah Negara agama.
Baginya, dan bagi penulis dan aktifis progresif lainnya, keIslaman dan
Keindonesian (dan bahkan kemanusiaan yang lebih luas dan global) tidak bisa dipisahkan,
seperti telah dirumuskan Kiai Ahmad Siddiq, yang sering dikutip Abdurrahman Wahid
dalam ungkapan ukhuwwah Islamiyah, ukhuwwah wataniyyah, dan ukhuwwah
basyariyyah. Di akhir kesimpulan modul ini, penulis menutup dengan kalimat kaum
Muslim di Indonesia berkewajibab untuk menerima Indonesia sebagai sebuah Negara-
bangsa yang terdiri dari kelompok-kelompok agama yang berbeda.22
.Menurut salah satu
rujukan tulisan ini, Islam tidak dapat dipisahkan dari kebangsaan, identitas orang Islam
yang Indonesia dan orang Indonesia yang Islam.23
Di sini pendidikan karakter bangsa, meski tidak secara eksplisit, berarti
pendidikan yang berorientasi kemajemukan, dan bagi umat Islam, pendidikannya adalah
pendidikan kemajemukan yang dilandasi nilai-nilai universal Islam, bukan semata-mata
simbol-simbol dan bentuk-bentuk lahiriyah keagamaan.
Keempat: Islamization Yes, Indonesianization Yes
Orientasi ideologis keempat, dianggap mainstream, yaitu Nahdlatul Ulama dan
Muhammadiyah, dan masyarakat yang berkembang dari tradisi madrasah, pesantren, dan
IAIN (termasuk UIN dan STAIN) dan PTAI lainnya.
22Ihsan Ali-Fauzi, Kaum Muslim di Indonesia sebagai Bagian dari Ummahdan Bangsa, hal.183.
23Ahmad Suedy, Keislaman dan Keindonesiaan Tak Bisa Dipisahkan, Kompas, 17 Juli 2007, dalam Ihsan Ali-Fauzi,
hal. 183-184
-
7/26/2019 REVISI MAKALAH 13.pdf
23/31
23 | P a g e
Kelompok mainstream di Indonesia yang sering disebut moderat itu memiliki jasa yang
besar dalam pembentukan karakter masyarakatMuslim dan bangsa Indonesia.
Rumusan Muhammadiyah tahun 1959 menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam
sehingga terwujud masyarakat Islam yan sebenar-benarnya, menunjukkan tujuan ormas ini yang
tidak berorientasi pada politik kekuasaan, tapi pada masyarakat. Secara umum, Muhammadiyah
menjaga keseimbangan antara purifikasi aqidah dan dinamisasi muamalah, keuniversalan Islam
dan partikularitas budaya lokal, sambil terus menitikberatkan visi dan misi dakwah dan
pendidikan yang berpegang pada amar maruf nahi munkar, yang moderat, tidak radikal,
membela bangsa, mempertahankan Pancasila, UUD 45, Bhineka Tunggal Ika, dan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).24
Buku Pedoman ini memuat Pandangan Islam tentang kehidupan, kehidupan Islami warga
Muhammadiyah, mencakup kehidupan pribadi, kehidupan dalam keluarga, kehidupan
bermasyarakat, kehidupan berorganisasi, berbisnis, berprofesi, melestarikan lingkungan,
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan kehidupan dalam seni dan budaya. Buku
Pedoman ini mengandung prinsip-prinsip nilai dan norma, aktual, memberikan arah, ideal,
rabbani/ketuhanan, dan bersifat memudahkan (taisir). Dalam kehidupan beramasyarakat,
Pedoman ini menekankan bahwa Islam mengajarkan agar setiap Muslim menjalin persaudaraan
dan kebaikan dengan sesama seperti dengan tetangga maupun anggota masyarakat lainnya
masing-masing dengan memelihara hak dan kehormatan baik dengan sesama
24Lihat Suyoto et al, Pola Gerakan Muhammadiyah Ranting: Ketegangan antara Purifikasi dan Dinamisasi
(Jogjakarta: IRCiSoD, 2005); Muhamad Ali, Gerakan Islam Moderat di Indonesia Kontemporer, dalam Rizal Sukma
& Clara Joewono, eds, Gerakan & Pemikiran Islam Indonesia Kontemporer (Jakarta: Center for Strategic and
International Studies, 2007), hal. 211
-
7/26/2019 REVISI MAKALAH 13.pdf
24/31
24 | P a g e
Muslim maupun dengan non-Muslim. Di tengah bermunculannya ormas-ormas dan
komunitas-komunitas sosial keagamaan baru setelah 1998, Muhammadiyah dituntut melakukan
reposisi identitas dan perjuangannya.Misalnya, Muhammadiyah dituntut menjaga jarak dari
radikalisme agama, sambil terus meneguhkan dirinya sebagai agen Islam moderat. Secara lebih
strategis Muhammadiyah harus menghadapi tantangan pluralisme, spiritualisme, demokratisasi,
gerakan formalisasi syariat Islam, terorisme global dan regional, kekerasan atas nama agama,
liberalisasi Islam, dan sebagainya.25
Kemudian, Nahdlatul Ulama, yang dianggap mewakili tradisionalisme Islam karena lahir dari
kalangan ulama pesantren, mengemban visi dan misi keislaman yang berada di tengah-tengah
dalam pengertian melestarikan teologi Ahlussunnah waljamaah yang akomodatif terhadap
budaya lokal, dibandingkan dengan Muhammadiyah yang lebih puritanistik.
Perjalanan NU sejak awal hingga sekarang bersifat kompleks dan dinamis, meskipun terus
dianggap sebagai wakil Islam tradisionalis yang moderat. Secara khusus, NU lahir sebagai
respons terhadap dua peristiwa besar: penghapusan khalifah oleh Turki dan serbuan kaum
Wahabi ke Mekkah. NU lahir untuk mempertahankan tata cara ibadah keagamaan yang dikecam
Wahabi ketika itu seperti berkaitan dengan kuburan, ziarah, doa tahlil, kepercayaan kepada para
wali, dan semacamnya. NU juga harus hadir untuk menjaga mazhab Ahlussunnah wal-jamaah
dan mazhab fiqih Syafii yang sudah dianut banyak ulama dan pesantren di Jawa khususnya. NU
pun harus memperbanyak pondok-pondok, madrasah-madrasah, mesjid, langgar, seperti halnya
mengurus anak yatim dan fakir miskin, serta memajukan urusan pertanian.
25Lihat perdebatan hal ini di Mukhaer & Nur Ahmad (eds.), Muhammadiyah Menjemput Perubahan: Tafsir
Baru Gerakan Sosial-Ekonomi-Politik (Jakarta: Penerbit Buku Kompas & STIE Ahmad Dahlan Jakarta, 2005).
-
7/26/2019 REVISI MAKALAH 13.pdf
25/31
25 | P a g e
Seperti terbaca dalam lambangnya, Muslimat NU meneladani metode dakwah
Wali Songo atau Wali sembilan yang damai dan bijaksana tanpa kekerasan. Muslimat NU
melaksanakan berbagai program dan kegiatan sosial, keagamaan, dan kebudayaan,
khususnya yang terkait dengan pengembangan kaum perempuan NU dan umat Islam pada
umumnya.
Dengan demikian, keislaman dan keIndonesian bagi Muhammadiyah dan
Nahdlatul Ulama tidak bisa dipisahkan, keduanya saling melengkapi dan menyokong,
karena kedua ormas ini lahir di Jawa yang kemudian merebak ke seluruh daerah di nusantara
dan bahkan ke luar negeri. Pendidikan Islam yang mereka kembangkan cukup berbeda
dalam hal penekanan dan strateginya, namun orientasi keagamaan mereka tidak
menegasikan keIndonesian. Keindonesian yang mereka bayangkan adalah paham
kebangsaan yang memiliki nilai instrinsik positif dan konstruktif bagi kehidupan umat Islam
yang relatif homogen di satu sisi (Sunni dan Syafii) tapi tetap bisa berdialog dengan
kelompok lain seperti Syiah dan mazhab-mazhab lainnya, dan bahkan dalam banyak
kesempatan juga dengan agama-agama lain baik di Indonesia dan maupun di manca Negara.
Maka, ketika banyak orang mereka menyuarakan dan mengadakan program
pendidikan karakter, mereka sudah memiliki paradigma dan program konkrit, meskipun
terus melakukan pembaharuan-pembaharuan. NU dan Muhammadiyah telah dan terus
berjasa membangun karaketer umat Islam dan karakter bangsa, juga dalam hubungannya
dengan penganut-penganut agama lain dan bangsa-bangsa lain pula. Dari paparan empat
orientasi keagamaan dan visi pendidikan karakter yang mereka perjuangkan diatas, penulis
menawarkan beberapa pemikiran hubungan yang dinamis antara keIslaman dan
keIndonesiaan dalam rangka pendidikan karakter bangsa. Meskipun mereka berbeda,
mereka umumnya memperhatikan pendidikan. Jika pendidikan karakter diartikan sebagaipendidikan akhlaq, atau pendidikan kepribadian (tarbiyah syakhshiyyah), maka mereka
memiliki konsep-konsep itu, meskipun berbeda.
-
7/26/2019 REVISI MAKALAH 13.pdf
26/31
26 | P a g e
C.Tipologi Masyarakat Islam yang modern
Tipologi
Pada dasarnya masyarakat Islami adalah sistem sosial yang tumbuh dan berkembang
ataupun ditumbuhkan menurut nilai-nilai(values),akidah-akidah(principles),dan norma-
norma yang Islami.Dengan kaya lain,manusia dengan cara hidup dan berkehidupannya harus
menurut ajaran islam.Dilahat dari sudut budaya (tamaddun) dan sikap hidup (peradaban
civilization),yang meliputi cara.rasa,dan karsa(daya pikir kreatif,sentimental,keinginan,dan
aspirasinya),masyarakat itu dinamakan masyarakat Islami jika cara berpikir,cara
mengendalikan sentiment dan menumbuhkan kembangkancita-cita dan tujuannya
berdasarkan ajaran Islam,baik lahirlah maupun batiniah.Dilihat dari intensitas dan efektivitas
pengahayatan dan pengalaman ajaran Islam,kehidupan masyarakat Islam itu mengenal
gradasi atau peringkat,yakni: peringkat taqqiyah,peringkat ajadiyah,dan peringkat qiyan.26
Masyarakat Islami dengan peringkat taqiyyah adalah tingkat yang lebih tinggi,karena
pada masyarakat taqiyyah itu ajaran islam berperan sepenehnya sebagai acuan dan pedoman
hidup.Lahannya begitu subur untuk tumbuhnya kehidupan yang islami, terbuka sepenuhnya
dengan penuh keimanan dan ketakwaan untuk menghayati (internalisasi) ajaran-ajaran
islam. Jika ajaran islam itu di ibaratkan sebagai curahan hujan, maka masyarakat taqiyyah
merupakan lahan yang tipe tanahnya cukup mesra menyerap ajaran-ajaran islam.27
Pada masyarakat ajadiyb, tipe tanah lahan itu tidak begitu terbuka untuk menerima dan
menyerap ajaran islam, meskipun disana-sini terdapat bagian-bagian yang pori-porinya
masih terbuka untuk menyerap agama islam.Pada masyarakat qiyan, sifatnya sudah mutlak
menolak, seperti lahan dengan tanah padas yang licin dan tak sedikit pun ada lagi sifat
absorbsinya terhadap ajaran agama islam.28
26Prof.Dr.M.Solly Lubis,SH. 1997. Umat Islam Dalam Globalisasi. Jakarta:Gema Insani Press.Hal:55
27Ibid.hal:56
28Ibid.hal:57
-
7/26/2019 REVISI MAKALAH 13.pdf
27/31
27 | P a g e
Sementara masyarakat taqiyyah menerima ajaran islam secara menyeluruh dan
sepenuhnya, completely, kaaffah. Bahkan menjadikan ajaran islam sebagai dasar filasafat
dan ideologi untuk semua dimensi kehidupannya, baik kehidupan sosial politik, sosial
ekonomi, maupun sosial budaya.Namun, pada masyarakat ajadiyb, disana sini kehidupannya
masih berbaur dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip lain yang belum tentu sesuai dengan
ajaran islam. Sedangkan pada msyarakat qiyan , total berbeda dengan nilai-nilai dan ajaran
islam.29
Kearah tipe mana suatu masyarakat akan tumbuh dan berkembang, tergantung pada
kemungkinan-kemungkinan dan prasyaratnya. Yakni, antara lain :a). internal , yakni potensi
dari dalam masyarakat sendiri. b). eksternal, yakni
faktor-faktor peluang yang berupa faktor pendukung dan faktor penghambat
dari luar.30
Mempermasalahkan prasyarat (a) adalah mengingat perkembangan dunia masa kini,
terutama perkembangan iptek dan manajemen, termasuk komunikasi. Potensi masyarakat
islam itu memerlukan kecanggihan iptek, keterampilan manajemen, bahkan juga potensi
modal, baik modal spiritual maupun modal material. Tanpa mnguasai iptek, bukan hanya
pengetahuan agama, umat dan masyarakat islam tak mungkin mempertahankan eksitensi dan
identitasnya, apalagiuntuk mengembangkan dirinya sesuai dengan perkembangan global
dewasa ini dan yang akan dating. Tanpa menguasai fungsi-fungsi manajemen, baik teoritis
maupun praktis, umat atau masyarakat islam tidak akan menjadi barisan yang teratur dan
tertib, terencana dan kompak, apalagi untuk terkondisi dengan baik. Tanpa modal-modal
spiritual dan material yang cukup, setiap manajemen akan kurang terdukung untuk mendapat
peningkatan dan kemajuan31
29Ibid.hal:57
30 Ibid.hal:59
31Ibid.hal:60
-
7/26/2019 REVISI MAKALAH 13.pdf
28/31
28 | P a g e
Oleh karena itulah maka generasi penerus dan pembangun masyarakat islam harus
dibekali dengan iptek yang islami, baik secara epismologis dan aksiologis. Masyarakat islam
juga harus dibekali dengan penengetahuan dan keterampilan manajemen, dengan organisasi
dan administrasi yang baik, bahkan harus memiliki kemandirian untuk membentuk faktor-
faktor modalnya sendiri, baik spiritual maupun material.32
Untuk mengkondisikan tiga prasyarat itu, perlu kerja sama terpadu antara (a) potensi
manajemen yang mempunyai wewenang dan wibawa, (b) potensi ulama dan cendekiawan
muslim, (c) potensi hartawan dermawan (aghniya). Juga, yag tak kurang pentingnya, doa
dari semua pihak, terutama kalangan yang lemah. Apapun pada unsur-unsur masyarakat
umat itu, posisi mana yang dpilihnya untuk berfungsi dan berperan apakah sebagai umat,
sebagai ulama, sebagai aghniya, atau posisi dan fungsi campuran.Padapokonya, masing-
masing harus berpartisipasi, aktif, dan tidak sekedar penonton yang menumpang pada
keberhasilan dan mengelak dari risko ketidakberuntungan perjuangan umat.33
Generasi penerus dan pembangun umat serta msayarakat islam itu juga harus jeli
mempelajari masa lampau umat, jeli memantau dan mngevaluasi situasi masa kini, dan jeli
melihat dan mngantisipasi masa depan dengan tatapan jauh ke masa yang akan dating. Ini
tentu juga dengan perencanaan konseptual strategis.
Dalam konteks pembangunan masyarakat, generasi umat pembangunan itu harus menjadi
generasi zamannya, dalam arti dipengaruhi oleh zamannya, sekaligus merekayasa
masyarakat zamannya.Generasi umat itu harus dibangun, tetapi sekaligus turt aktif
membangun.Generasi umat itu harus mampu berperan sebagai sutradara tetapi juga
sekaligus sebagai aktor.Untuk kesemua peran ini, perlu dipenuhi tiga prasyarat yang telah
dipaparkan diatas, yakni kemampuan iptek, kemampuan manajerial, dan kemampuan modal
spiritual serta material. Juga perlu didukung bersama serta digotong-royongkan oleh semau
potensi umara, ulama,aghniyadan dhuafa.
32Ibid.hal:59
33 Ibid.hal:60
-
7/26/2019 REVISI MAKALAH 13.pdf
29/31
29 | P a g e
Dan ini memerlukan metoda pendekatan. Kemajuan dan kemunduran dalam
mengkondisikan keterpaduan antara potensi-potensi itu, dan juga kemajuan dan kemunduran
dalam mengandalkan prasyarat yang dimiliki, akan mementukan tipe masyarakat islami
yang akan lahir dan terbentuk.
Dimensi
Sebagaiman keadaan masyarakat umumnya, ataupun satu bangsa, atau suatu kelompok
sosial adalah satu system, satu entitas, satu kebulatan, yang terdiri dari beberapa subsisten,
beberapa komponatau unsur, dan disebut juga beberapa dimensi atau matra, yang satu sama
lain bertalian erat, bahkan saling mempengaruhi. Masyarakat yang beragama islam itu juga
mempunyai beberapa dimensi yang harus dilihat sekaligus secara global. Tatapi, dalam
beberapa hal, ia juga harus dilihat secara satu persatu, dimensi per dimensi.34
1. Dimensi Manusianya
Mengenai dimensi manusia ini, yang dilihat ialah populasinya, baik secara kuantitas
maupn kualitas, baik bobot fisik maupun bobot mentak-spiritual. Dalam hal ini dilihat
kedalman pengetahuan agama: keimanan, ketakwaan, penguasaan ilmu pengetahuan dan
teknologi (iptek), serta nilai-nilai sosial yang mengitarinya, yang bersifat menunjang dan
menghalang pertumbuhan serta perkembangan untuk menjadi umat islam yang baik.35
2. Dimensi L ingkungan
Dlam hal ini, umat islam itu dilihat menurut lingkungannya yang meliputi masyarakat
manusia lain yang ada disekitarnya, serta alam tempat ia berkediaman, hidup, dan
berkehidupan sehari-hari, harus diperhitungkan faktor-faktor sosial dan alam yang mungkin
mempengaruhi dirinya, baik yang sifatnya positif maupun negative. Harus diteliti, aspek
kehidupannya yang mana pengaruh itu berlangsung.Apakah terhadap faktor fisik atau
terhadap faktor rohaniah, spiritual, misalnya perkembangan mental religiositasnya36.
34Ibid.hal:61
35 Ibid.hal:62
36Ibid.hal:62
-
7/26/2019 REVISI MAKALAH 13.pdf
30/31
30 | P a g e
PENUTUP
A. Kesimpulan
Globalisasi merupakan eliminasi batas-batas teritorial antara suatu bangsa dengan
bangsa yang lain, antara tanah air yang satu dengan tanah air yang lain, antara kebudayaan
yang satu dengan kebudayaan yang lain yang ada di Indonesia.Hal itu terjadi dikarenakan
adanya perkembangan secara pesat teknologi komunikasi, transformasi, dan informasi. Umat
Islam khususnya harus siap melawan arus globalisasi yang semakin kuat ini dengan
berpegang tegung pada Islam dan pancasila yang merupakan dasar keindonesiaan karena
keduanya berjalan beriringan.Pada tataran konsep, globalisasi tidak bertentangan dengan
Islam.Bahkan Islam sejalan dengan globalisasi karena Islam adalah universal dan rahmatan
lil alamin.
-
7/26/2019 REVISI MAKALAH 13.pdf
31/31
DAFTAR PUSTAKA
Feillard, Andre. 1999.NU vis--vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk dan Makna terj.
Lesmana. Yogyakarta: LKiS
Anwar, M Syafii. 1995.Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian tentang
Cendekiawan Muslim Orde Baru . Jakarta: Penerbit Paramadina
Prof.Dr.M.Solly Lubis,SH. 1997. Umat Islam Dalam Globalisasi. Jakarta:Gema Insani Press
Qardhawi,Yusuf. 2001. Ummat Islam menyongsong Abad 21 (Ummatan aina Qornain).
Solo: Era Intermedia