Refreshing Tht
-
Upload
radityarezha -
Category
Documents
-
view
21 -
download
0
description
Transcript of Refreshing Tht
REFRESHING
Anatomi Hidung, Sinus, dan
Penyakit-penyakit Infeksi pada Hidung
DISUSUN OLEH
Raditya Rezha 2010730086
PEMBIMBING
dr. Rini Febrianti , Sp. THT KL
Stase ilmu kesehatan THT RSUD KOTA BANJAR
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Jakarta
2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayahNya sehingga tugas ini dapat terselesaikan dengan baik.
Tugas ini dimaksudkan untuk memenuhi tugas refreshing “Anatomi Hidung, Sinus, dan
Penyakit-penyakit Infeksi pada Hidung ” pada Stase THT Rumah Sakit Umum Daerah Kota
Banjar. Bahan-bahan dalam pembuatan tugas ini didapat dari buku-buku yang
membahasmengenai telinga, internet, dan beberapa sumber lainnya.
Terima kasih kepada dokter pembimbing di RSUD Kota Banjar, dr. Rini Febrianti
Sp.THT KL yang telah membantu dalam terselesainya tugas ini.
Penulis menyadari bahwa tersusunnya tugas ini masih jauh dari kesempurnaan oleh
karena itu, kritik dan saran dari semua pihak sangat penyusun harapkan. Semoga makalah ini
dapat bermanfaat untuk para pembaca.
Banjar, 8 Januari 2014
Penulis
Anatomi Hidung
Hidung terdiri dari hidung bagian luar atau piramid hidung dan rongga hidung dengan
pendarahan serta persarafannya. Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari
atas ke bawah: 1) pangkal hidung, 2) dorsum nasi, 3) puncak hidung, 4) ala nasi, 5) kolumela dan
6) lubang hidung (nares anterior).1
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi kulit, jaringan
ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang
hidung. Kerangka tulang terdiri dari 1) tulang hidung (os nasalis, 2) prosesus frontalis os maksila
dan 3) prosesus nasalis os frontal. Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari.1) sepasang
kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (kartilago ala
mayor), 3) beberapa pasang kartilago ala minor, dan 4) tepi inferior kartilago septum. 1
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang, dipisahkan
oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang
masuk kavum nasi di bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares
posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. 1
Septum bagian luar dilapisi oleh mukosa hidung. Bagian depan dinding hidung licin, yang
disebut agar nasi dan di belakangnya terdapat konka-konka yang mengisi sebagian besar dinding
lateral hidung.1
Pada dinding lateral terdapat 4 konka, dari yang terbesar sampai yang terkecil adalah konka
inferior, konka media, konka superior, dan konka suprema.. 1
Di antara konka-konka dan dinding laterla hidung terdapat rongga sepit yang disebut
meatus. Terdapat 3 meatus, yaitu meatus inferior, meatus media, dan meatus superior. Pada
meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimaris, pada meatus media terdapat
muara sinus frontalis, sinus maksilaris, dan sinus etmoid anterior. Sedangkan pada meatus
superior bermuara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.1
Pendarahan hidung berasal dari a. maksilaris interna (bagian bawah hidung), a. fasialis
(bagian depan hidung). Bagian depan anastomosis dari cabang a. sfenopalatina, a. etmoid
anterior, a. labialis superior, dan a. palatina mayor, yang disebut pleksus Kieselbach. 1 Vena-vena
membentuk pleksus yang luas di dalam submucosa. Pleksus ini dialirkan oleh vena-vena yang
menyertai arteri.1
Persarafan hidung pada bagian depan dan atas, saraf sensoris n. etmoid anterior (cabang n.
nasolakrimalis, cabang N. oftalmikus). Rongga hidung lainnya saraf sensoris n. maksila. Saraf
vasomotor (autonom) melalui ganglion sfenopalatinum. 1
Gambar 1: Anatomi External Hidung
Gambar 2: Anatomi Dinding Lateral Hidung
Mukosa hidung berdasar histologik dan fungsional dibagi atas mukosa pernapasan dan
mukosa penghidu (olfaktorius). Mukosa pernapasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung
berupa epitel torak berlapis semu yang mempunyai silia dan di antaranya terdapat sel goblet.
Pada bagian yang lebih sering terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang-kadang
berubah menjadi epitel skuamosa. 1
Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh
palut lendir pada permukaannya yang dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel-sel goblet. Silia
yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai arti penting dalam mobilisasi palut lendir di
dalam kavum nasi yang didorong ke arah nasofaring. 1
Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian
atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak berlapis semu yang tidak bersilia. 1
Mukosa sinus paranasal berhubungan langsung dengan mukosa rongga hidung di daerah
ostium. Mukosa sinus menyerupai mukosa hidung, hanya lebih tipis dan sedikit mengandung
pembuluh darah. 1
ANATOMI SINUS PARANASAL
Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit dideskripsi karena
bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Ada empat pasang sinus paranasal, mulai dari
yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri.
Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulag-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di
dalam tulang. Semua sinus mempunyai muara (ostium) ke dalam rongga hidung. 1
Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung dan
perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus sfenoid dan sinus frontal.
Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat bayi lahir, sedangkan sinus frontal berkembang
dari sinus etmoid anterior pada anak yang berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus
sfenoid dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian postero-superior rongga hidung.
Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara 15-18 tahun.1
SINUS MAKSILA
Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus maksila
bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran
maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa.1
Sinus maksila berbentuk piramid. Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os
maksila yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal
maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya ialah dasar
orbita dan dinding inferiornya ialah prossesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila
berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui
infundibulum etmoid.1
Dari segi klinik yang perlu diperhatikan adalah:
a. Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu premolar (P1
dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C) dan gigi molar M3,
bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus, sehingga infeksi gigi
geligi mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis.
b. Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita.
c. Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drenase hanya
tergantung dari gerak silia, lagipula drenase juga harus melalui infundibulum yang
sempit.
d. Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid anterior dan pembengkakan akibat radang
atau alergi pada daerah ini dapat menghalang drenase sinus maksila dan selanjutnya
menyebabkan sinusitis.1
SINUS FRONTAL
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke-empat fetus,
berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum etmoid. Sesudah lahir, sinus
frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan akan mencapai ukuran maksimal sebelum
usia 20 tahun.1
Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar daripada lainnya dan
dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah. Kurang lebih 15% orang dewasa hanya
mempuyai satu sinus frontal dan kurang lebih 5% sinus frontalnya tidak berkembang.1
Ukuran sinus frontal adalah 2,8 cm tingginya, lebarnya 2,4 cm dan dalamnya 2 cm. Sinus
frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk. Tidak adanya gambaran septum-
septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus.
Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior,
sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini.1
Sinus frontal berdrenase melalui ostiumnya yang terletak di resesus frontal, yang
berhubungan dengan infundibulum etmoid.1
SINUS ETMOID
Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir-akhir ini
dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi sinus-sinus lainnya. Pada
orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di bagian posterior.
Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2.4 cm dan lebarnya 0.5 cm di bagian
anterior dan 1.5 cm di bagian posterior.1
Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon, yang
terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak diantara konka media dan
dinding medial orbita. Sel-sel ini jumlahnya bervariasi. Berdasarkan letaknya sinus etmoid
dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior
yang bermuara di meatus superior. Sel-sel sinus etmoid anterior biasanya kecil-kecil dan banyak,
letaknya di depan lempeng yang menghubungkan bagian posterior konka media dengan dinding
lateral (lamina basalis), sedangkan sel-sel sinus etmoid posterior biasanya lebih besar dan lebih
sedikit jumlahnya dan terletak di posterior dari lamina basalis.1
Di bagian terdepan sinus etmoid aterior ada bagian yang sempit, disebut resesus frontal,
yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar disebut bula etmoid. Di daerah
etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuaranya
ostium sinus maksila. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan
sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksila.1
Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina kribrosa.
Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi snus etmoid dari
rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid posterior berbatasan dengan sinus sfenoid.1
SINUS SFENOID
Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior. Sinus sfenoid
dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. ukuranya adalah 2 cm, tingginya 2.3 cm
dan lebarnya 1.7 cm. Volumenya bervariasi dari 5-7.5 ml. Saat sinus berkembang, pembuluh
darah dan nervus di bagian lateral os sfenoid akan menjadi sangat berdekatan dengan rongga
sinus dan tampak sebagai indentasi pada dinding sinus sfenoid.1
Batas-batasnya ialah, sebelah superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofisis,
sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan a.
karotis interna dan di sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah
pons.1
Gambar 1: Anatomi sinus paranasal (potongan koronal)
Gambar 2: Anatomi sinus paranasal (potongan melintang)
Gambar 3: Anatomi sinus paranasal (potongan sagital)
KOMPLEKS OSTEOMEATAL
Pada sepertiga
tengah dinding lateral
hidung yaitu di meatus
medius, ada muara-muara
saluran dari sinus maksila, sinus
frontal dan sinus etmoid
anterior. Daerah ini rumit dan
sempit dan dinamakan
kompleks osteomeatal
(KOM), terdiri dari
infundibulum etmoid yang
terdapat di belakang prosesus unsinatus, resesus frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior
dengan ostiumnya dan ostium sinus maksila.1,2
Penyakit – Penyakit Infeksi Pada Hidung
1. SELULITIS
Etiologi
Penyakit kulit yang disebabkan oleh Staphylococcus, Streptococcus atau oleh
keduanya disebut dengan pioderma. Penyebab utamanya ialah Staphylococcus Aureus,
Streptococcus B hemolyticus, sedangkan Staphylococcus epidermidis merupakan
penghuni normal di kulit dan jarang menyerang infeksi. Faktor predisposisi adalah
higiene yang kurang dan menurunnya daya tahan tubuh.1,2
Selulitis seringkali mengenai puncak hidung dan batang hidung, dapat terjadi
sebagai akibat perluasan furunkel pada vestibulum. Pada pemeriksaan didapatkan tampak
hidung bengkak, berwarna kemerahan dan dirasakan sangat nyeri. 1,2
Terapinya adalah dengan pemberian obat antibiotika secara sistemik dalam dosis
tinggi. 1
Gambar.2. Selulitis
2. VESTIBULITIS
Vestibulitis adalah suatu peradangan atau infeksi pada kulit vestibulum.
Biasanya terjadi karena iritasi dari sekret dari rongga hidung (rinore) akibat inflamasi
mukosa yang menyebabkan hipersekresi sel goblet dan kelenjar seromusinosa. Bisa
juga akibat trauma karena sering dikorek-korek. 1,2
Vestibulitis dapat berupa infeksi pada pangkal akar rambut (folikulitis) atau
keropeng di sekitar lubang hidung. Infeksi yang lebih berat bisa menyebabkan
terjadinya bisul atau furunkel. Infeksi juga bisa menyebar ke lapisan jaringan di
bawah kulit (selulitis), bahkan adakalanya bisa sampai mengenai pembuluh darah
otak dan menyebabkan keadaan yang mengancam nyawa, karena bisa terjadi
sumbatan pada pembuluh darah otak (thrombosis sinus kavernosus) dan penyebaran
infeksi ke otak. 1
Gejala gejala yang dapat ditemukan antara lain ditemukan antara lain adanya
rasa nyeri, kemerahan, atau benjolan pada lubang hidung bagian depan. Jika infeksi
menyebar, maka kulit bisa menjadi sangat merah, membengkak, dan panas. Infeksi
yang mengenai sinus kavernosus bisa menyebabkan pembengkakan atau penonjolan
mata, penglihatan ganda, atau penurunan penglihatan. 1
Menjaga higiene dan pemberian antibiotika dosis tinggi harus dilakukan. 1
Gambar.3. Vestibulitis
3. RINITIS SIMPLEKS
Penyakit ini merupakan penyakit virus yang paling sering ditemukan pada manusia. 1
Etiologi
Penyebabnya ialah beberapa jenis virus dan yang paling penting ialah Rhinovirus.
Virus-virus lainnya adalah Myxovirus, virus Coxsackle dan virus ECHO. 1
Penyakit ini sangat menular dan gejala dapat timbul sebagai akibat tidak adanya
kekebalan atau menurunnya daya tahan tubuh (kedinginan, kelelahan, adanya penyakit
menahun dan lain-lain) 1
Gejala
Pada stadium prodromal yang berlangsung beberapa jam, didapatkan rasa panas,
kering dan gatal didalam hidung. Kemudian akan timbul bersin berulang-ulang, hidung
tersumbat dan ingus encer, yang biasanya disertai dengan demam dan nyeri kepala.
Permukaan mukosa hidung tampak merah dan membengkak. 1
Selanjutnya akan terjadi infeksi sekunder oleh bakteri, sehingga sekret menjadi
kental dansumbatan di hidung bertambah. Bila tidak terdapat komplikasi, gejala
kemudian akan berkurang dan penderita akan sembuh sesudah 5 – 10 hari. 1
Komplikasi yang mungkin ditemukan adalah sinusitis, otitis, media, faringtis,
bronkitis dan pneumonia. 1
Terapi
Tidak ada terapi yang spesifik untuk rinitis simpleks. Di samping istirahat
diberikan obat-obatan simtomatis, seperti analgetik, antipretik dan obat dekongestan.
Antibiotik hanya diberikan bila terdapat komplikasi. 1
1. Rinitis Hipertrofi
Rinitis hipertrofi dapat timbul akibat infeksi berulang dalam hidung dan sinus,
atau sebagai lanjutan dari rinitis alergi dan vasomotor. 1,2
Gejala
Gejala utama adalah sumbatan hidung. Sekret biasanya banyak, mukopurulen dan
sering ada keluhan nyeri kepala. Pada pemeriksaan akan ditemukan konka yang
hipertrofi, terutama konka inferior. Permukaannya berbenjol-benjol ditutupi oleh mukosa
yang juga hipertrofi. Akibatnya saluran udara sangat sempit. Sekret mukopurulen yang
banyak biasanya ditemukan di antara konka inferior dan septum, dan di dasar rongga
hidung. 1,2
Terapi
Harus dicari faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya rinitis hipertrofi dan
kemudian memberikan pengobatan yang sesuai. Untuk mengurangi sumbatan hidung
akibat konka hipertrofi dapat dilakukan kauterisasi konka dengan zat kimia (nitras argenti
atau asam triklor asetat) atau elektrokauter. Bila tak menolong, dilakukan luksasi konka
atau bila perlu dilakukan konkotomi. 1,2
2. Rinitis Atrofi
Rinitis atrofi merupakan infeksi hidung kronik, yang ditandai oleh adanya
atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka. Secara klinis mukosa hidung
menghasilkan sekret yang kental dan cepat mengering sehingga terbentuk krusta yang
berbau busuk. 1
Wanita lebih sering terkena, terutama usia dewasa muda. Sering ditemukan
pada masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi yang rendah dan sanitasi lingkungan
yang buruk. 1
Pada pemeriksaan histopatologi tampak metaplasia epitl torak bersilia menjadi
epitel kubik atau epitel gepeng berlapis, silia menghilang, lapisan submukosa menjadi
lebih tipis, kelenjar-kelenjar berdegenarasi atau atrofi. 1
Etiologi
Banyak teori mengenai etiologi dan patogenesis rinitis atrofi dikemukakan,
antara lain : 1) Infeksi oleh kuman spesifik. Yang tersering ditemukan adalah spesies
Klebsiella, terutama Klebsiella Ozaena. Kuman lainnya yang juga sering ditemukan
adalah Stafilokokus, Streptokokus dan Pseudomonas aeruginosa. 2) Defisiensi FE, 3)
Defisiensi vitamin A, 4) Sinusitis Kronik, 5) Kelainan hormonal 6) Penyakit
Kolagen, yang termasuk penyakit autoimun. Mungkin penyakit ini terjadi karena
adanya kombinasi beberapa faktor penyebab tersebut diatas. 1,2
Gejala dan Tanda Klinis
Keluhan biasanya berupa napas berbau, ada ingus kental yang berwarna hijau,
ada kerak (krusta) hijau, ada gangguan penghidu, sakit kepala dan hidung merasa
tersumbat. 1
Pada pemeriksaan hidung didapatkan rongga hidung sangat lapang, konka
inferior dan media menjadi hipotrofi atau atrofi, ada sekret purulen dan krusta yang
berwarna hjau. 1
Pemeriksaan penunjang untuk membantu menegakkan diagnosis adalah
pemeriksaan histopatologik yang berasal dari biopsi konka media, pemeriksaan
mikrobiologi dan uji resistensi kuman dan tomografi komputer (CT scan) sinus
paranasal. 1
Terapi
Oleh karena etiologinya multifaktorial, maka pengobatannya belum ada yang
baku. Pengobatan ditujukan untuk mengatasi etiologi dan menghilangkan gejala.
Pengobatan yang diberikan dapat bersifat konservatif, atau kalau tidak dapat
menolong dilakukan pembedahan. 1
Pengobatan konservatif. Diberikan antibiotika spektrum luas atau sesuai
dengan uji resistensi kuman, dengan dosis yang adekuat. Lama pengobatan bervariasi
tergantung dari hilangnya tanda klinis berupa sekret purulen kehijauan. 1
Untuk membantu menghilangkan bau busuk akibat hasil proses infeksi serta
sekret purulen dan krusta, dapat dipakai obat cuci hidung. Larutan yang dapat
digunakan adalah larutan garam hipertonik. 1
Pengobatan Operatif. Jika dengan pengobatan konservatif tidak ada perbaikan,
maka dilakukan tindakan operasi. Tekhnik operasi antara lain operasi penutupan
lubang hidung atau penyempitan lubang hidung dengan implantasi atau dengan jabir
osteoperioseal. Tindakan ini diharapkan akan mengurangi turbulensi udara
pengeringan sekret, inflamasi mukosa berkurang, sehingga mukosa akan kembali
normal. Penutupan rongga hidung dapat dilakukan pada nares anterior atau pada
koana selama 2 tahun. Untuk menutup koana dipakai flap palatum. 1
Akhir – akhir ini bedah sinus endoskopik fungsional (BSEF) sering dilakukan
pada kasus rinitis atrofi. Dengan melakukan pengangkatan sekat – sekat tulang yang
mengalami osteomielitis, diharapkan infeksi tereradikasi, fungsi ventilasi dan drenase
sinus kembali normal, sehingga terjadi regenerasi mukosa. 1
3. Rinitis Difteri
Penyakit ini disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae, dapat terjadi
primer pada hidung atau sekunder dari tenggorok, dapat ditemukan dalam keadaan
akut maupun kronik. Dugaan adanya rintis difteri harus dipikirkan pada penderita
dengan riwayat imunisasi yang tidak lengkap. Penyakit ini emakin jarang ditemukan,
karena cakupan program imunisasi yang semakin meningkat. 1
Gejala rinitis difteri akut ialah demam, toksemia, terdapat limfadenitis dan
mungkin ada paralisis otot pernapasan. Pada hidung ada ingus yang bercampur darah,
mungkin ditemukan pseudomembran putih yang mudah berdarah, dan ada krusta
coklat di nares anterior dan rongga hidung. Jika perjalanan penyakitnya menjadi
kronik, gejala biasanya lebih ringan dan mungkin dapat sembuh sendiri, tetapi dalam
keadaan kronik, masih dapat menulari. 1 Diagnosis pasti ditegakkan dengan
pemeriksaan kuman dari sekret hidung. 1
Sebagai terapi diberikan ADS, penisilin lokal dan intramuskuler. Pasien harus
diisolasi sampai hasil pemeriksaan kuman negatif. 1
4. Rinitis Jamur
Dapat terjadi bersama dengan sinusitis dan besifat invasif atau non-invasif.
Rinits jamur nin invasif dapat menyerupai rinolit dengan inflamasi mukosa yang lebih
berat. Rinolit ini sebenarnya adalah gumpalan jamur (fungus ball). Biasanya tidak
terjadi destruksi kartilago dan tulang. 1
Tipe invasif ditandai dengan ditemukannya hifa jamur pada lamina propria.
Jika terjadi invasi jamur pada submukosa dapat mengakibatkan perforasi septum atau
hidung pelana. Jamur sebagai penyebab dapat dilihat dengan pemeriksaan
histopatologi, pemeriksaan sdiaan langsung atau kultur jamur, misalnya Aspergillus,
Candiida, Hystoplasma, Fussarium dan Mucor. 1,2
Pada pemeriksaan hidung terlihat adanya sekret mukopurulen, mungkin
terlihat ulkus atau perforasi pada septum disertai dengan jaringan nekrotik berwarna
kehitaman (black eschar). 1
Untuk rinitis jamur non-invasif, terapinya dengan mengangkat seluruh
gumpalan jamur.pemberian obat jamur sistemik maupun topikal tidak diperlukan.
Terapi untuk rinitis jamur invasif adalah mengeradikasi agen penyebabnya dengan
pemberian anti jamur oral dan topikal. Cuci hidung dan pembersihan hidung secara
rutin dilakukan untuk mengangkat krusta. Bagian yang terinfeksi dapat pula diolesi
dengan gentian violet. Untuk infeksi jamur invaif, kadang – kadang diperlukan
debridement seluruh jaringan yang nekrotik dan tidak sehat. Kalau jaringan nekrotik
sangat luas, dapat terajdi destruksi yang memerlukan tindakan rekonstruksi. 1
5. Rinitis Tuberkulosa
Rinitis tuberkulosa merupakan kejadian infeksi tuberkulosa ekstra pulmoner.
Seiring dengan peningkatan kasus tuberkulosis (new emerging disease) yang
berhubungan dengan kasus HIV-AIDS, penyakit ini harus diwaspadai keberadaannya.
Tuberkulosis pada hidung berbentuk noduler atau ulkus, terutama mengenai tulang
rawan septum dan dapat mengakibatkan perforasi. 1
Pada pemeriksaan klinis terdapat sekret mukopurulen dan krusta, sehingga
menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya
basil tahan asam (BTA) pada sekret hidung. Pada pemeriksaan histopatologi
ditemukan sel datia Langhans dan limfositosis. 1
Pengobatan diberikan antituberkulosis dan obat cuci hidung. 1
6. Rinitis sifilis
Penyakit ini sudah jarang ditemukan. Penyebab rinitis sifilis adalah kuman
Treponema pallidum. Pada rinitis sifilis yang primer dan sekunder gejalanya serupa
dengan rinitis akut lainnya, hanya mungkin dapat terlihat adanya bercak/bintik pada
mukosa. Pada rinitis sifilis tersier dapat ditemukan gumma atau ulkus, yang terutama
mengenai septum nasi dan mengakibatkan perforasi septum. 1
Pada pemeriksaan klinis didapatkan sekret mukopurulen yang berbau dan
krusta. Mungkin terlihat perforasi septum atau hidung pelana. Diagnosis pasti
ditegakkan dengan pemeriksaan mikrobiologik dan biopsi. 1
Sebagai pengobatan diberikan penisilin dan obat cuci hidung. Dan krusta
harus dibersihkan secara rutin. 1
7. Rinoskelroma
Penyakit infeksi granulomatosa kronik pada hidung yang disebabkan
Klebsiella rhinoscleromatis. Penyakit ini endemis di beberapa negara termasuk
indonesia yang kasusnya ditemukan di Indonesia Timur. 1
Perjalanan penyakitnya terjadi dalam 3 tahapan ; 1
1) Tahap kataral atau atrofi.
2) Tahap granulomatosa
3) Tahap sklerotik
Diagnosis rinoskelroma mudah ditegakkan di daerah endemis, tapi
ditempat non endemis perlu diagnosis banding dengan penyakit granulomatosa
lainnya. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis, pemeriksaan
bakteriologik dan gambaran histopatologi yang sangat khas dengan adanya sel –
sel Mikulicz.1
Penatalaksanaannya mencakup terapi antibiotik jangka panjang serta
tindakan bedah untuk obstruksi pernapasan. Antibiotik direkomendasikan antara
lain tetrasiklin, kloramfenikol, trimetropim-sulfametoksazol, siprofloksasin,
klindamisin, sefalosporin. Pemberian antibiotik palingkurang selama 4 minggu,
ada yang sampai berbulan – bulan. 1
Operasi diperlukan untuk mengangkat jaringan granulasi dan sikatriks.
Seringkali juga perlu dilakukan operasi plastik untuk memperbaiki jalan napas
atau deformitas. 1
Penyakit ini jarang bersifat fatal kecuali bila menyumbat saluran napas,
tetapi rekurensinya tinggi, terutama bila pengobatan tidak tuntas. 1
Gambar.4. Rinosklerorma
8. Myiasis Hidung (Larva di dalam hidung)
Merupakan masalah umum untuk daerah tropis, ialah adanya infestasi larva lalat
dalam rongga hidung. Lalat Chrysomia Bezziana dapat bertelur di organ atau jaringan
tubuh manusia, yang kemudian menetas menjadi larva (ulat=belatung). Sering terjadi
pada luka yang bernanah, luka terbuka, terutama jaringan nekrotik dan dapat mengenai
setiap lubang atau rongga, seperti mata, telinga, hidung, mulut, vagina dan anus. Faktor
predisposisinya rhinitis atrofi dan keganasan. 1,2
Perubahan patologis yang terjadi tergantung dari kebiasaan makan ulat tersebut,
ulat membuat lubang sehingga dapat masuk ke dalam jaringan. Gejala klinis yang
terlihat, hidung dan muka menjadi bengkak dan merah, yang dapat meluas ke dahi dan
bibir. Terjadi obstruksi hidung sehingga bernapas melalui mulut dan suara sengau. Dapat
menjadi epitaksis dan mungkin ada ulat yang keluar dari hidung. 1
Pada pemeriksaan rinoskopi terlihat banyak jaringan nekrotik di rongga hidung,
adanya ulserasi membrane mukosa dan perforasi septum. Sekret purulen berbau busuk.
Pada kasus yang lanjut menyebabkan sumbatan duktus nasolakrimalis dan perforasi
palatum. Ulat dapat merayap ke dalam sinus atau menembus ke intrakranial. 1
Pemeriksaan nasoendoskopi memperlihatkan keadaan rongga hidung lebih jelas
tetapi seringkali ulatnya tidak terlihat karena larva cenderung menghindari cahaya. Pada
pemeriksaan tomografi computer dapat terlihat bayangan ulat yang bersegmen – segmen
di dalam sinus. 1
Penderita myiasis sebaiknya dirawat di rumah sakit. Diberikan antibiotika
spectrum luas atau sesuai kultur. Untuk pengobatan local pada hidung, dianjurkan
pemakaian kloroform dan minyak terpentin dengan perbandingan 1:4, diteteskan ke
dalam rongga hidung, dilanjutkan dengan pengangkatan ulat secara manual menggunakan
cunam. 1
Komplikasi dapat terjadi hidung pelana, perforasi septum, sinus paranasal, radang
orbita dan perluasan ke intracranial. Kematian dapat disebabkan oleh sepsis dan
meningitis. 1
Gambar.5. Myiasis Hidung
DAFTAR PUSTAKA
1. Soetjipto Damayanti, Endang Mangunkusumo.. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga-
Hidung-Tenggorok, Kepala Leher. Edisi VI. Jakarta, Balai Penerbit FKUI, 2008; 145-53.
2. Adams Boeis Higler. BOEIS Buku Ajar Penyakit THT, Edisi 6. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta 1997.