REFRESHING - DERMATOFITOSIS.doc

download REFRESHING - DERMATOFITOSIS.doc

of 19

description

r

Transcript of REFRESHING - DERMATOFITOSIS.doc

BAB I

PENDAHULUAN

Istilah dermatofitosis harus dibedakan dengan dermatomikosis. Dermatofitosis adalah penyakit yang menyerang jaringan dengan zat tanduk sedangkan, dermatomikosis mempunyai arti umum, yaitu semua penyakit jamur yang menyerang kulit. Dermatofitosis adalah salah satu kelompok dermatomikosis superfisialis yang disebabkan oleh jamur dan akibat invasi oleh suatu organisme pada jaringan hidup. Terdapat tiga langkah utama terjadinya infeksi dermatofit, yaitu perlekatan dermatofit pada keratin, penetrasi melalui dan di antara sel, serta terbentuknya respon host. Patogenesis dermatofitosis tergantung pada faktor lingkungan, antara lain iklim yang panas, hygiene perseorangan, sumber penularan, penggunaan obat steroid, antibiotik dan sitostatika, imunogenitas, kemampuan invasi organisme, lokasi infeksi serta respon imun dari pasien. 1Pengobatan untuk dermatofitosis mengalami kemajuan sejak tahun 1958. Pada tahun 1982 CENTLES dan MARTIN secara terpisah melaporkan, bahwa griseofulvin per oral dapat menyembuhkan dermatofitosis yang ditimbulkan pada binatang percobaan. Sebelum era griseofulvin pengobatan dermatofitosis hanya dilakukan pengobatan topikal disertai penyinaran dengan sinar x untuk merontokkan rambut di bagian yang sakit. Cara penyinaran diberikan dengan dosis tunggal dan memerlukan perhitungan yang cermat. Persiapan melindungi bagian yang sehat juga sangat rumit. Selain itu efek samping penyinaran yang mungkin terjadi dikemudian hari cukup berbahaya. Hal ini dibuktikan oleh ALBERT dan BURTON. Menurut penelitian retrospektif yang dilakukan mereka, anak-anak yang telah mendapat penyinaran dikemudian hari mendapat kemungkinan menderita keganasan 10x lebih besar daripada anak-anak yang tidak mendapat penyinaran untuk pengobatan tinea kapitis. 1BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISIDermatofitosis adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk, misalnya stratum korneum pada epidermis, rambut, dan kuku, yang disebabkan golongan jamur dermatofita. Dermatofitosis bisa juga didefinisikan sebagai penyakit yang disebabkan oleh kolonisasi jamur dermatofit yang menyerang jaringan dengan keratin seperti stratum korneum kulit, rambut dan kuku pada manusia dan hewan. Dermatofit adalah sekelompok jamur yang memiliki kemampuan membentuk molekul yang berikatan dengan keratin dan menggunakannya sebagia sumber nutrisi untuk membentuk kolonisasi. 1,2B. EPIDEMIOLOGIUsia, jenis kelamin, dan ras merupakan factor epidemiologi yang penting, dimana prevalensi infeksi dermatofit pada laki-laki lima kali lebih banyak dari wanita. Namun demikian tinea kapitis karena T.tonsurans lebih sering pada wanita dewasa dibandingkan laki-laki dewasa, dan lebih sering terjadi pada anak-anak Afrika Amerika. Hal ini terjadi karena adanya pengaruh kebersihan perorangan, lingkungan yang kumuh dan padat serta status sosial ekonomi dalam penyebaran infeksinya. Jamur penyebab tinea kapitis ditemukan pada sisir, topi, sarung bantal, mainan anak-anak atau bahkan kursi di gedung teater.2Perpindahan manusia sangat cepat mempengaruhi penyebaran endemik dari jamur. Pemakaian bahan-bahan material yang sifatnya oklusif, adanya trauma, dan pemanasan dapat meningkatkan temperatur dan kelembaban kulit sehingga kejadian infeksi tinea meningkat. Alas kaki yang tertutup, adanya tekanan temperatur, kebiasaan penggunaan pelembab, dan kaos kaki yang berkeringat meningkatkan kejadian tinea pedis dan onikomikosis.2C. ETIOLOGI Dermatofita ialah golongan jamur yang menyebabkan dermatofitosis. Golongan jamur ini mempunyai sifat mencernakan keratin. Dermatofita termasuk kelas Fungi immperfecti, yang terbagi dalam 3 genus, yaitu Microsporum, Trichophyton, dan Epidemophyton . Selain sifat keratofilik masih banyak sifat yang sama di antara dermatofita, misalnya sifat faali, taksonomis, antigenic, kebutuhan zat makanan untuk pertumbuhannya, dan penyebab penyakit.2,5,9Hingga kini dikenal sekitar 41 spesies dermatofita, masing-masing 2 spesies Epidermophyton, 17 spesis Microsporum, dan 21 spesies Trichophyton. Pada tahun-tahun terakhir ditemukan bentuk sempurna (perfect stage), yang terbentuk oleh dua koloni yang berlainan jenis kelaminnya. Adanya bentuk sempurna ini menyebabkan dermatofita dapat dimasukkan ke dalam family Gymnoascaceae. Dikenal genus Nannizzia dan Arthrodema yang masing-masing dihubungkan dengan genus Microsporum dan Trichophyton.5,6,8,10,11D. FAKTOR RISIKOFaktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit atau yang memudahkan penyebaran penyakit :

1. Kebersihan badan yang kurang

2. Penggunaan antibiotika yang berlebihan atau pemakaian sitostatika yang lama

3. Alat yang dipakai manusia, misalnya : topi dari karet yang tidak menyerap

4. Populasi ternak yang banyak

5. Urbanisasi dan migrasi penduduk

Beberapa factor lain yang berkaitan dengan dermatofitosisProduksi substansi mannan, yaitu suatu komponen glikoprotein dinding sel jamur, dapat menekan respons inflamasi terutama pada kondisi atopic atau kondisi lain. Mannan dapat menekan pembentukan limfoblast, menghambat respon proliferasi limfosit terhadap berbagai rangsangan antigenik, serta menghambat proliferasi keratinosit yang memperlambat pemulihan epidermis.7Tidak ada bukti yang menyokong adanya kerentanan secara khusus pada kelompok golongan darah ABO, dan pada penderita diabetes. Pada kondisi malnutrisi dan sindroma Chusing mudah mengalami infeksi dermatofit dimungkinkan karena depresi imunitas seluler.3,5Kemampuan spesies dermatofit tertentu untuk memproduksi penicillin-like antibiotics memungkinkan jamur ini memanfaatkan flora normal, Staphylococcus aureus dapat bertindak sebagai ko-patogen yang meningkatkan derajat keradangan infeksi dermatofit.5Gambaran klinis yang bervariasi pada infeksi dermatofit merupakan hasil dari kombinasi kerusakan jaringan keratin secara langsung oleh karena dermatofit, dan proses kearadangan akibat respon host.5Pada bentuk klasik tinea yang annular, tepi lingkaran lesi ditandai oleh adanya infiltrate limfosit perivascular, karena proses pembersihan jamur dari stratum korneum akibat surveilans system imun, dan pertumbuhan jamur yang sentrifugal. Kecepatan epidermal turn over berjalan normal di dalam area cincin, namun pada daerah infeksi bisa menjadi lebih dari 4 kali lipat. Pada tinea imbrikata karena T. concentricum, terjadi semacam gelombang pertumbuhan jamur pada kulit dengan perluasan infeksi yang sentrifugal.5E. PATOFISIOLOGI

Terjadinya penularan dermatofitosis adalah melalui 3 cara yaitu :2,3,6,9a. Antropofilik, transmisi dari manusia ke manusia. Ditularkan baik secara langsung maupun tidak langsung melalui lantai kolam renang dan udara sekitar rumah sakit/klinik, dengan atau tanpa reaksi keradangan (silent carrier)

b. Zoofilik, transmisi dari hewan ke manusia. Ditularkan melalui kontak langsung maupun tidak langsung melalui bulu binatang yang terinfeksi dan melekat dipakaian, atau sebagai kontaminan pada rumah/ tempat tidurn hewan, tempat makanan dan minuman hewan. Sumber penularan utama adalah anjing, kucing, sapi, kuda dan mencit.

c. Geofilik, transmisi dari tanah ke manusia. Secara sporadic menginfeksi manusia dan menimbulkan reaksi radang.6Untuk dapat menimbulkan suatu penyakit, jamur harus dapat mengatasi pertahanan tubuh non spesifik dan spesifik. Jamur harus mempunyai kemampuan melekat pada kulit dan mukosa host, serta kemampuan untuk menembus jaringan host, dan mampu bertahan dalam lingkungan host., menyesuaikan diri dnegan suhu dan keadaan biokimia host untuk dapat berkembang biak dan menimbulkan reaksi jaringan atau radang. Terjadiya infeksi dermatofit melalui tiga langkah utama yaitu : perlekatan pada keratinosit, penetrasi melewati dan di antara sel serta pembentukan respon host.3,4,6,8,13Perlekatan dermatofit pada keratinosit

Perlekatan artrokonidia pada jaringan keratin tercapai maksimal setelah 5 jam, dimediasi oleh serabut dinding terluar dermatofit yang memproduksi keratinase (keratolitik) yang dapat menghidrolisis keratin dan memfasilitasi pertumbuhan jamur ini di stratum korneum. Dermatofit juga melakukan aktivitas proteolitik dan lipolitik dengan mengeluarkan serine proteinase (urokinase dan activator plasminogen jaringan) yang menyebabkan katabolisme protein ekstrasel dalam menginvasi host. Proses ini dipengaruhi oleh kedekatan dinding dari kedua sel, dan pengaruh sebum antara artrospor dan korneosit yang dipermuda oleh adanya proses trauma atau lesi pada kulit. Tidak semua dermatofit melekat pada korneosit karena tergantung pada jenis strainnya.14Penetrasi dermatofit melewati dan di antara sel

Spora harus tumbuh dan menembus masuk stratum korneum dengan kecepatan melebihi proses deskuamasi. Proses penetrasi menghasilkan proteinase, lipase, dan enzim musinolitik yang menjadi nutrisi bagi jamur. Diperlukan waktu 4-6 jam untuk germinasi dan penetrasi ke stratum korneum setelah spora melekat pada keratin.3,6,14Dalam upaya bertahan dalam menghadapi pertahanan imun yang terbentuk tersebut jamur pathogen menggunakan beberapa cara :13,141. Penyamaran, antara lain dengan membentuk polisakarida yang tebal, memicu pertumbuhan filament hifa, sehingga glucan yang terdapat pada dinding sel jamur tidak terpapar oleh dectin-I dan dengan membentuk biofilamen, suatu polimer ekstra sel, sehingga jamur dapat bertahan terhadap fagositosis.

2. Pengendalian, dengan sengaja mengaktifkan mekanisme penghambatan imun host atau secara aktif mengendalikan respon imun mengarah kepada tipe pertahanan yang tidak efektif, contohnya Adhesin pada dinding sel jamur berikatan dengan CD14 dan komplemen C3 (CR3, MAC1) pada dinding makrofag yang berakibat aktivasi makrofag akan terhambat.

3. Penyerangan dengan memproduksi molekul yang secara langsung merusak atau memaski pertahanan imun spesifik dengan mensekresi toksin atau protease. Jamur mensintesa katalase dan superoksid dismutase, mensekresi protease yang dapat menurunkan barrier jaringan sehingga memudahkan proses invasi oleh jamur dan memproduksi siderospore (suatu molekul penangkap zat besi yang dapat larut) yang digunakan untuk menangkap zat besi untuk kehidupan aerobic.

Kemampuan spesies dermatofit menginvasi stratum korneum bervariasi dan dipengaruhi oleh daya tahan host yang dapat membatasi kemampuan dermatofit dalam melakukan penetrasi pada stratum korneum.5Respon Imun HostTerdiri dari dua mekanisme, yaitu imunitas alami yang memberikan respon cepat dan imunitas adaptif yang memberikan respon lambat.3,7Pada kondisi individu dengan system imun yang lemah (immunocompromised), cenderung mengalami dermatofitosis yang berat atau menetap. Pemakaian kemoterapi, obat-obatan transplantasi dan steroid membawa dapat meningkatkan kemungkinan terinfeksi oleh dermatofit non patogenik.3Mekanisme pertahanan non spesifik

Pertahanan non spesifik atau dikenal sebagai pertahanan alami terdiri dari :71. Struktur, keratinisasi, dan protliferasi, epidermis bertindak sebagai barrier terhadap masuknya dermatofit. Stratum kornem secara kontinyu diperbaui dengan keratinisasi sel epidermis sehingga dapat menyingkirkan dermatofit yang menginfeksinya. Proliferasi epidermis menjadi benteng pertahanan terhadap dermatofitosis, termasuk proses keradangan sebagai bentuk proliferasi akibat reaksi imun yang dimediasi sel T.

2. Adanya akumulasi netrofil di epidermis secara makroskopi berupa pustule, secara mikroskopis berupa mikroabses epidermis yang terdiri dari kumpulan netrofil di epidermis, dapat menghambat pertumbuhan dermatofit melalui mekanisme oksidatif.

3. Adanya substansi anti jamur, antara lain unsaturated transferrin dan 2-makroglobulin keratinase inhibitor dapat melawan invasi dermatofit. Mekanisme pertahanan spesifik

Lokasi infeksi dermatofit yang superfisial tetap dapat membangkitkan baik imunitas humoral maupun cell-mediated immunity (CMI). Pembentukan CMI yang berkorelasi dengan Delayed Type Hypersensitivity (DTH) biasanya berhubungan dengan penyembuhan klinis dan pembentukan stratum korneum pada bagian yang terinfeksi. Kekurangan CMI dapat menegah suatu respon efektif sehingga berpeluang menjadi infeksi dermatofit kronis atau berulang. Respons imun spesifik ini melibatka antigen dermatofit dan CMI.7Antigen dermatofit

Dermatofit memiliki banyak antigen yang tidak spesifik menunjukkan spesies tertentu. Dua kelas utama antigen dermatofit adalah : glikopeptida dan keratinase, di mana bagian protein dari glikopeptida menstimulasi CMI, dan bagian polisakarida dari glikopeptida menstimulasi imunitas humoral. Anitibodi menghambat stimulasi akivitas proteolitik yang disebabkan oleh keratinase, yang dapat memberikan respons DTH yang kuat. pertahanan utama dalam membasmi infeksi dermatofit adalah CMI, yaitu T cell-mediated DTH. Kekurangan sel T dalam system imun menyebabkan kegagalan dalam membasmi infeksi dermatofit. Penyembuhan suatu penyakit infeksi pada hewan dan manusia, baik secara alamiah dan eksperimental, berkorelasi dengan pembentukan respons DTH. Infeksi yang persisten seringkaliterjadi karena lemahnya respon transformasi limfosit in vitro, tidak adanya respon DTH, dan peningkatan proliferasi kulit dalam respon DTH. Reaksi DTH di mediasi oleh sel Th1 dan makrofag, serta peningkatan proliferasi kulit akibat respon DTH merupakan mekanisme terakhir yang menyingkirkan dermatofit dari kulit melalui deskuamasi kulit. Respon sel Th1 yang ditampilkan dengan ciri pelepasan interferon gamma (IFN-), ditengarai terlibat dalam pertahanan host terhadap dermatofit dan penampilan manifestasi klinis dalam dermatofitosis.7Respon T Helper-1 (Th1). Sitokin yang diproduksi oleh sel T (Sitokin Th1) terlibat dalam memunculkan respon DTH, dan IFN- dianggap sebagai factor utama dalam fase efektor dari reaksi DTH. Pada penderita dermatofitosis akut, sel mononuclear memproduksi sejumlah besar IFN- untuk merespon infeksi dermatofit. Hal ini dibuktikan dengan ekspresi mRNA IFN- pada lesi kulit dermatofitosis. Sedangkan pada penderita dermatofitosis kronis produksi IFN- secara nyata sangat rendah yang terjadi akibat ketidakseimbangan system imun karena respon Th2.6,14,15Sel Langerhans. Infiltrate radang pada dermatofitosis terutama terdiri dari sel T CD4+ dan sel T CD8+ yang dilengkapi oleh makrofag CD68+ dan sel Langerhans CD1a+. sel Langerhans dapat menginduksi respon sel T terhadap trichophytin, serta bertanggung jawab dalam pengambilan dan pemrosesan antigan pada respon Th1 pada lesi infeksi dermatofit.6,15Imunitas humoral. Host dapat membentuk bermacam antibody terhadap infeksi dermatofit yang ditunjukkan dengan teknik ELISA. Imunitas humoral tidak berperan menyingkirkan infeksi, hal ini dibuktikan dengan level antibody tertinggi pada penderita infeksi kronis.5,7F. KLASIFIKASI Klasifikasi dermatofita berdasarkan morfologi penyebab2,3,41. Genus Mikrosporom menyerang lapisan tanduk kulit dan rambut

2. Genus Epidermofiton, menyerang kulit sampai stratum spinosum dan kuku

3. Genus Trikofiton, menyerang kulit sampai stratum germinativum, kuku dan rambut

Sistematika yang banyak dipakai didasarkan pada lokasi tubuh yang terkena dengan alasan :2,3,41. Satu spesies jamur dapat menyebabkan berbagai macam bentuk klinis.

2. Gambaran klinis yang sama dapat disebabkan oleh bermacam-macam dermatofita dengan spesies yang berlainan.

3. Penentuan spesies dengan biakan butuh waktu lama (antara 10 14 hari) sedang pengobatan penderita tidak tergantung pada spesies atau genus penyebabnya

Pembagian dermatofitosis berdasarkan lokasi tubuh yang terserang2,3,41. Tinea kapitis : menyerang kepala

2. Tinea barbae ; menyerang jenggot, cambang dan kumis

3. Tinea korporis : menyerang badan

4. Tinea kruris : menyerang inguinal dan anogenital

5. Tinea pedis dan manum : menyerang kaki dan tangan

6. Tinea unguium : menyerang kukuTabel 1. Klasifikasi Dermatofitosis Berdasarkan Lokasi atau Ciri Tertentu dan Jamur PenyebabNama PenyakitLokasi infeksi/ciri tertentuJamur penyebab

Tinea KapitisKulit dan rambut kepalaMicrosporum (beberapa spesies)

Trichophyton (beberapa spesies kecuali T.consentricum)

Tinea favosa*secara klinis berbentuk skutula dan berbau seperti tikus (mousy odor)T. schoenleinii

T. violaceum (jarang)

M. gypseum (jarang)

Tinea barbaeDagu dan jenggotT. mentagrophytes, T.rubrum, T violaceum, T.verrucosum, T.megninii, M.canis

Tinea korporisPada permukaan kulit yang tidak berambut kecuali telapak tangan, telapak kaki dan bokongT.rubrum, T.mentagropnytes, M.audouinii, M.canis

Tinea imbrikata*susunan skuama yang konsentrisT. concentricum

Tinea krurisBokong, genitalia, area pubis, perineal dan perianalE. floccosumT. rubrum

T. mentagrophytes

Tinea pedisPada kakiT. rubrumT. mentagrophytes

E. floccosum

Tinea manuumTanganT. rubrumE. floccosum

T. mentagrophytes

Tinea unguiumKuku jari tangan dan jari kakiT. rubrumT. mentagrophytes

G. GEJALA KLINIS Tinea Kapitis 2,4,5Berdasarkan bentuk yang khas Tinea Kapitis dapat dibedakan atas

1. Bentuk yang tidak meradang

a. Grey patch ringworm

Penyebab : Mikrosporon kanis, M. ypseum

Lesi berupa suatu bercak pada kepala berambut, berwarna kelabu. Biasanya beberapa buah berukuran 2-4 cm. rambut di daerah tersebut putus beberapa millimeter di atas kulit, tertutup oleh sisik halus berwarna putih-kelabu sehingga menyebabkan alopesia setempat.

Pada pemeriksaan dengan lampu wood akan tampak ujung-ujung rambut yang putus tersebut berfluoresensi hijau

Dengan sediaan KOH 10-20% dari rambut yang dicabut terlihat tumpukan spora diluar batan rambut (infeksi ektotriks).

b. Black dot ringworm

Penyebab : trikofiton tonsurans, trikofiton violaseum. Lesi berupa bercak kecil-kecil di kepala dengan rambut yang putus tepat dipermukaan kulit pada muara folikel rambut dan yang tertinggal adalah ujung rambut yang penuh spora, sehingga terlihat sebagai bintik-bintik hitam pada bercak tersebut yang disebut black dots.

Pada pemeriksaan dengan lampu wood tidak timbul fluoresensi dan pada sediaan KOH menunjukkan tumpukan spora di dalam dan di luar batang rambut (infeksi endotriks dan eksotriks).

2. Bentuk yang meradang 2,4,5Kerion selsi :

Penyebab : M.kanis, M. gipseum

Terlihat bercak yang kemerahan pada kepala, kadang-kadang eksudat dan tertutup krusta, menyerupai sarang lebah, rambut biasanya rontok karena rusaknya folikel rambut sehingga dapat terjadi alopesia areata yang permanen. Bila reaksi radang sangat hebat bisa timbul abses dibawah lesi tersebut sehingga kulit tampak menonjol, basah dan teraba lunak. Keadaan ini disebut kerion yang biasanya sangat gatal dan nyeri. Bila ditekan tampak pus keluar lewat beberapa fistula.

3. Bentuk Favus

Penyebab T. Schoenleini Magypseum

Timbul bercak yang tertutup oleh krusta yang tebal dan berbentuk seperti cawan (skutula) serta berbau seperti tikus (mousy odor). Kadang-kadang meluas sampai di luar daerah rambut, bersifat progresif dan menimbulkan banyak sikatriks. Rambut jadi tidak bercahaya, namun biasanya tidak terputus. Dengan lampu wood terlihat fluoresensi hijau sepanjang rambut dan bila dibuat sediaan KOH tampak gambaran khas yakni adanya gelembung-gelembung udara di dalam batang rambut disertai miselia dari jamur.

Tinea Barbae 2,4,5Adalah infeksi jamur dermatofita pada daerah janggut, cambang dan kumis.

1. Bentuk superfisial

Lesi eritro-papulo-skuamosa, mula-mua kecil lalu melebar ke perifer dengan tepi polisiklis. Bentuk ini sama dengan tinea korporis biasa.

2. Bentuk karion

Prosesnya sama dengan pembentukan kerion pada tinea kapitis. Timbul lesi yang basah dengan perifolikkulitis dan abses.

3. Bentuk sikosis

Suatu bentuk yang jarang dijumpai, secara klinik tidak dapat dibedakan dengan folikulitis bakteri yang kronis. Lesi berupa pustule yang folikuler dengan rambut dipusatnya. Bila menyembuh terlihat krusta, rambut mudah dicabut (pada infeksi bakteri rambut sulit dicabut).

Tinea Korporis (T. Sirsinata, T. glabrosa) 2,4,5Adalah infeksi jamur dermatofita pada klit halus (glabrous skin) di daerah muka, leher, badan, lengan dan pantat. Penyeba oleh T.rubrum, T.mentagrofites

Gejala klinis :

Bentuk klasik biasanya berupa lesi anuler dengan tepi polisiklis, bisa didapatkan vesikel kecil-kecil serta skuama yang halus. Di daerah tengah biasanya mnipis dan terjadi penyembuhan, sementara bagian tepi aktif dan malin meluas ke perifer. Kadang-kadang bagian tengahnya tidak menyembuh tetapi tetap meninggi dan tertutup skuama sehingga menjadi bercak yang besar.

Di daerah wajah kadang-kadang disebut juga T. fasei, sedangkan di daerah paha dan gluteal menjadi bagian dari T. kruris

Disamping bentuk yang klasik bisa didapatkan variasi seperti bentuk eksematoid, herpetiform dan lain-lain.

Tinea Kruris (Eczema marginatum, dhobie itch, jockey itch)2,4,5Adalah dermatofitosis pada lipat paha, daerah perineum dan sekitar anus.

Gejala Klinis :

Biasanya sebagai lesi yang simetris pada lipat paha kiri dan kanan. Mula-mula sebagai bercak eritematosa yang gatal, kemudian dapat meluas sampai skrotum, pubis, gluteal bahkan sampai ke paha. Tepi lesi sering aktif, berbentuk polisiklis kadang-kadang dengan banyak vesikel-vesikel kecil.

Bila penyakit ini menjadi menahun, dapat berupa bercak hitam disertai sedikit sisik.

Dengan sediaan KOH dari kerokan bagian tepi lesi mudah ditemukan elemen-elemen jamur.

Tinea Pedis dan Tinea Manum 2,4,5Dikenal 3 bentuk gejala klinis yang sering dijumpai :

1. Intertriginosa

Manifestasi berupa maserasi, deskuamasi dan erosi pada sela-sela jari. Tampak berwarna keputihan yang basah, bisa terjadi fisura yang nyeri bila disentuh. Infeksi sekunder dapat menyertai fisura tersebut dan lesi dapat meluas sampai ke kuku dan kulit jari. Pada kaki sering dimulai pada sela jari antara jari IV-V.

2. Vesikuler yang akut

Ditandai dengan terbentuknya vesikel atau bula yang terletak agak dalam di bawah kulit (deep seated vesiculae). Biasanya akut dan sangat gatal. Lokasi yang sering adalah telapak kaki bagian tengah dan kemudian melebar serta vesikelnya pecah. Infeksi sering memperburuk keadaan ini. Jamur terdapat pada bagian atap vesikel atau bula untuk diperiksa dengan sediaan langsung atau biakan.

3. Hiperkeratotik atau skuamosa yang kronis

Yang menonjol adalah terjadinya pengelupasan kulit yang terus menerus, kadang-kadang dengan eritema dan hyperkeratosis. Lokalisasi yang sering yaitu pada telapak kaki, tepi sampai punggung kaki, terlihjat kulit menebal dan bersisik, disebut moccasin foot. Bila hiperkeratosisnya hebat terjadi fissure yang dalam. Sering kuku terkena bersama-sama. Penyakit berlangsung kronis, bertahun-tahun diselingi masa tenang serta eksaserbasi. Bentuk kronis ini sering disebabkan oleh T. rubrum yang sulit diobati.

Tinea Unguium 2,4,51. Bentuk subungual distalis

Bentuk ini mulai dari tepi distal atau distolateral kuku. Proses ini menjalar ke proksimal dan di bawah kuku terbentuk sisa kuku yang rapuh yang disebut detritus. Kalau proses berjalan terus maka permukaan kuku bagian distal akan hancur dan yang terlihat hanya kuku rapuh yang menyerupai kapur.

2. Leukonika trikofita = leukonika mikotika

Kelainan kuku pada bentuk ini merupakan leukonika atau warna keputihan dipermukaan kuku yang dapat dikerok untuk dibuktikan adanya elemen jamur. Kelainan ini dihubungkan dengan T. mentagrofites sebagai penyebabnya.

3. Bentuk subungal proksimalis

Bentuk ini mulai dari pangkal kuku bagian proksimal terutama menyerang kuku dan membentuk gambaran klinis yang khas, yaitu terlihat kuku dibagian distal masih utuh, sedangkan bagian proksimal rusak.

Biasanya penderita tinea unguium mempunyai dermatofitosis ditempat lain yang sudah sembuh atau belum. Kuku kaki lebih sering diserang dibandingkan kuku tangan.

H. DIAGNOSIS1. Anamnesis

2. Pemeriksaan Fisik

3. Pemeriksaan PenunjangTabel 2. Karakteristik Dermatofit terbanyakMorfologi koloniGambaran mikroskopikketerangan

Epidermophyton floccosumKoloni :

seperti bulu datar dengan lipatan central dan warna kuning kehijauan, kuning kecoklatan

Gambaran mikrosopik :

tidak ada mikrokonidia, beberapa dinding tipis dan tebal. Makronidia berbentuk gada

Microsporum audouniiKoloni :

datar dan berwarna putih keabuan dengan celah radial yang lebar. Berwarna pink salmon pada media PDA.

Gambaran mikroskopik :

terminal klamidoko-nidia dan hifa berbentuk seperti sisir.

M. canisKoloni :

datar, warna putih hingga kuning, kasar dan berambut, dengan celah radial yang rapat. Berwarna kuning pada PDA.

Gambaran mikroskopik :

beberapa mikrokonidia, sejumlah dindint tebal dan makrokonidia bergerigi dengan knob pada ujungnya.

M.gypseumKoloni :

datar dan granuler dengan pigmen coklat hingga berwarna seperti kambing.

Gambaran mikroskopik :

beberapa mikrokonidia, sejumlah makrokonidia berdindint tipis tanpa knob.

I. DIAGNOSIS BANDING 5,6Tinea Kapitis Tinea Pedis dan Manum

Psoriasis

Dermatitis seboroik

Alopesia areata

Pioderma

Bentuk-bentuk alopesia yang menimbulkan sikatriks, misal Lupus eritematosus, Pseudopelade Brocq Dermatitis kontak

Scabies

Pomfoliks

Pioderma

Lues II psoriasiform

Psoriasis pustulosa

Kandidiasis

Tinea korporisTinea Unguium

Pitriasis rosea gilbert

Psoriasis

Lues II makulo-papuler

Dermatitis kontak

Dermatitis seboroik

Morbus Hansen tipe tuberkuloid Psoriasis

Kandidiasis

Paronikia

Trauma

Akrodermatitis perstans

Tinea KrurisTinea Barbae

Kandidiasis inguinalis

Psoriasis

Dermatitis seboroik

Pitriasis rosea Sikosis barbae

Mikosis profunda

Karbunkel

J. PENATALAKSANAAN 61) Sistemika. Griseofulvin (0,5 1 gram/hari untuk dewasa; 0,25 0,5 gram/hari anak-anak) selama 4 minggu, kecuali pada tinea kapitis, dosis untuk dewasa 0,5 gram/hari selama 6-8 minggu.b. Ketokonasol (200 mg/hari dewaasa).c. Terbinafine (250 mg/hari dewasa)

d. Itraconazole PO (200 mg 3x sehari selama 2-3 minggu)2) Topikal Butenafine (area yang terkena 2x sehari)

Clotrimazole 1% (area yang terkena 2x sehari)

Ketoconazole 2% (area yang terkena 2x sehari) Miconazole (area yang terkena 2x sehari)

Econazole (area yang terkena 1x sehari)

Naftin (area yang terekena 1x sehari)

Oxiconazole (area yang terkena 1-2x sehari)

Tolnaftat (area yang terkena 2x sehari)

Ciclopirox (area yang terkena 1x sehari)

Sulconazole (area yang terkena 2x sehari)K. PROGNOSIS

Beberapa sebab kegagalan pengobatan 2,61. Bentuk klinik tertentu :

Diabetes mellitus

Hipertiroid, menyebabkan banyak keringat / hyperhidrosis

Keganasan

Pemakaian obat-obatan : antibiotika, kortikosteroid, sitostatika

Infeksi berat : AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome)

Kehamilan

Iritasi setempat pada tubuh misalnya urine, keringat, air

2. Lingkungan : iklim tropis banyak keringat, jamur akan tumbuh dengan subur

3. Pekerjaan yang berhubungan dengan air : ibu rumah tangga, pembantu rumah tangga. Pada tinea pedis air yang berlebihan akan menyebabkan pembengkakan stratum korneum, hifa jamur tumbuh dengan subur.

4. Pemakaian pakaian dalam /celana ketat dari bahan sintetis

5. Kebiasaan pinjam meminjam alat, misal sepatu, sisir

6. Adanya sumber infeksi lain, misal binatang piaraan : anjing, kucing, kelinci menyebabkan infeksi ping-pong

BAB III

KESIMPULAN

Dermatofitosis merupakan kelompok penyakit yang disebabkan oleh jamur dermatofit dari tiga genus, Epidermophyton, Trichophyton, dan Microsporum, yang bersifat keratinofilik mengenai stratum korneum pada kulit, rambut dan kukuj dengan cara transmisi melalui zoofilik, antropofilik dan geofilik.Di Indonesia insiden dermatofitosis paling tinggi di antara kelompok dematomikosis superfisialis, dan di RS Dr. Soetomo dengan distribusi usia terbanyak pada rentang usia produktif.

Klasifikasi penyakit ini digolongkan berdasarkan lokasi atau ciri khusus tertentu, dan jenis struktur keratin yang terlibat yaitu kulit, kuku dan rambut.

Terjadinya dermatofitosis melalui 3 tahap utama, yaitu perlekatan, dengan keratinosit, penetrasi melewati dalam sel dan pembentukan respon imun. Adanya virulesi jamur, mekanisme penghindaran, kondisi imunitas host yang lemah memudahkan infeksi dermatofit.

Mekanisme pertahanan host terhadap infeksi dermatofit terediri dari pertahanan non spesifik dan spesifik yang melibatkan surveilan system imun.DAFTAR PUSTAKA1. Adiguna MS. Epidemiologi Dermatomikosis di Indoneisa. Dalam: Budimulya U, Kuswadji, Bramono K, Menaldi SL, Dwihastuti P, Widati S, editor, Dermatomikosis Superfisialis. Edisi ketiga Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2004.h. 1-6

2. Rippon JW. Medical Mycology The Pathogenic Fungi 3rd ed. Philadelphia : WB Saunders Company; 1988. Dermatophytosis, Onichomycosis, Tinea Nigra Piedra. In: Wolff K, Goldsmith L, Katz S, Gilchrest B, Paller A, Leffell O, editors. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. 7th ed. New York : McGraw-Hill;2008. P. 1807-21.

3. Verma S, Hefferman MP. Superficial Fungal Infection : Dermatophytosis, Onichomycosis, Tinea Nigra, Piedra. In : Wolff K, Goldsmith L, Katz S, Gilchrest B, Paller A, Leffell O, editors. Fitzpatricks Dermatology in Genera Medicine 7th ed. New York: McGraw-Hill;2008.p.1807-21.

4. Cholis M. Imunologi Dermatomikosis Superfisialis. Dalam: Budimulya U, Kuswadji, Bramono K, Menaldi SL, Dwihastuti P, Widati S, editor. Dermatomikosis Superfisialis. Edisi ketiga. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2004 h.7-18.

5. Hay RJ, Moore M. Mycology. In : Champion RH, Burton JL, Durns DA, Breathnach SDM, editors. Text book of Dermatology. 6th ed. Oxford: Blackwell Science; 1998. P. 1277-350

6. Ervianti E, Martodiharjo S, Murtiastutik D, editor. Etiologi dan Patogenesis Dermatomikosis Superfisialis. Simposium Penatalaksanaan Dermatomikosis Superfisialis Masa Kini; 11 Mei 2002; Surabaya, Indonesia.

7. Koga T. Immune Surveillance against Dermatophytes Infection. In: Fidel PL,Jr.,Huffnagle G.B, editors. Fungal Imunologi from Organ Perspective. Netherlands: Springer; 2005.p.443-9.

8. Budimulya U. Mikosis. Dalam: Djuanda A, Hamzah Has, Aisah S, editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kealmin. Edisi kelima. Jakarta Balai Penerbit FKUI;2007.h.89-105.9. Wolf K, Johnson RA, Suurmond D. Fitzpatricks Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology 5th ed. New York : McGraw-Hill;2005.10. Siregar R.S. Penyakit Jamur Kulit. Edisi kedua. Jakarta: EGC;2004.

11. Fauzi N, Suyoso S. Penelitian Retrospektif Mikosis Superfisialis di Divisi Mikologi URJ Penyakit Kulit dan Kelamin RSU Dr. Soetomo Surabaya Periode 2006-2007 (2 tahun). Surabaya; 2008. Belum dipublikasikan.12. Richardson MD, Warnock DW. Fungal Infection Diagnosis and Management. 3rd ed. Massachusser: Blackwell Publishing; 2003.

13. Underhill. DM. Escape Mechanism from the Immun Respons. In: Brown GD, Nitea MG, editors. Immunology of fungal Infection. Oxford: Springer; 2007.p.429-42.

14. Richardson M, Edwart M. Model System for the Study of Dermatophyte and Non-dermatophyte Invasion of Human Keratine. Revista Iberoamericana de Micologia 2000: 115-21.

15. Robert C, Kuffer TS. Inflamatory Skin Disease, T cells, Immune Surveilance. NEJM 1999; 341(24):1817-28.

16