preskes anak

64
Presentasi Kasus SEORANG ANAK USIA 3,5 BULAN DENGAN PENYAKIT JANTUNG BAWAAN ASD II, VSD PMO, PS RELATIF, PNEUMONIA, DAN GIZI BURUK TIPE MARASMIK Oleh : Dian Ajeng AtikaningrumG9911112049 / F-15-12 Katia Amanda Sinoel G9911112084 / F-16- 12 Pembimbing : Sri Lilijanti W., dr., Sp. A. (K)

Transcript of preskes anak

Presentasi Kasus SEORANG ANAK USIA 3,5 BULAN DENGAN PENYAKIT JANTUNG BAWAAN ASD II, VSD PMO, PS RELATIF, PNEUMONIA, DAN GIZI BURUK TIPE MARASMIK

Oleh : Dian Ajeng Atikaningrum Katia Amanda Sinoel G9911112049 / F-15-12 G9911112084 / F-16-12

Pembimbing : Sri Lilijanti W., dr., Sp. A. (K)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA 2012

BAB I PENDAHULUAN Dalam beberapa dasawarsa terakhir ini, angka kejadian beberapa penyakit noninfeksi, termasuk penyakit kongenital, makin menonjol baik di negara maju maupun di negara berkembang. Di dalam bidang kardiologi, jumlah pasien penyakit jantung bawaan makin meningkat Penyakit jantung bawaan (PJB) adalah penyakit dengan kelainan pada struktur jantung atau fungsi sirkulasi jantung yang dibawa dari lahir. Penyakit ini merupakan jenis penyakit yang cukup banyak diderita. Insidens PJB berkisar 8-10 bayi per 1000 kelahiran hidup dan 30% diantaranya memberikan gejala pada minggu pertama kehidupan. Lima puluh persen kematiannya akan terjadi pada bulan pertama kehidupan bila tidak terdeteksi secara dini dan tidak ditangani dengan baik. Penyakit jantung bawaan dapat diklasifikasikan menjadi 2 kelompok, yaitu penyakit jantung bawaan non-sianotik dan sianotik. Jumlah pasien penyakit jantung bawaan non-sianotik jauh lebih besar dibanding penyakit jantung bawaan sianotik, yakni berkisar antara 3 sampai 4 kali. Oleh karena itu, dokter memiliki peranan untuk deteksi dini kelainan jantung bawaan disamping menangani berbagai masalah terkait gizi maupun penyakit infeksi pada anak. Infeksi berulang sering merupakan masalah besar pada pasien PJB. Lingkaran antara infeksi dan malnutrisi jelas berdampak negatif pada pertumbuhan anak dengan PJB. Pasien PJB yang mengalami infeksi akut misalnya infeksi saluran pernapasan akan menyebabkan anoreksia, malabsorbsi dan gangguan metabolisme. Anoreksia dan sesak napas dapat menyebabkan problem makan pada anak-anak. Pada anak tidak cukupnya konsumsi makanan akan menyebabkan turunnya berat badan, pertumbuhan terhambat, menurunnya imunitas dan kerusakan mukosa. Perubahan dalam sirkulasi paru menyebabkan perubahan sistem pernapasan disertai penurunan kekebalan seluler setempat yang memudahkan pasien terserang infeksi saluran pernapasan.

BAB II

STATUS PASIENI. IDENTITAS PASIEN Nama Umur Jenis Kelamin Nama Ayah Pekerjaan Ayah Nama Ibu Pekerjaan Ibu Agama Alamat Tanggal masuk Tanggal pemeriksaan No. RM II. ANAMNESIS Alloanamnesis diperoleh dari ibu penderita tanggal 8 Juni 2012 A. B. Keluhan Utama : Riwayat Penyakit Sekarang : Sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit, pasien sesak nafas, batuk grok-grok, pilek, panas sumer-sumer, muntah (-), diare (-), pasien masih mau makan dan minum. Kemudian oleh keluarga pasien dibawa ke puskesmas dan diberi obat, tetapi keluhan belum berkurang. Satu minggu sebelum masuk rumah sakit, pasien dibawa kembali ke puskesmas dan diberi obat kembali. Karena keluhan masih belum berkurang, keluarga pasien membawa anaknya kembali ke puskesmah dan akhirnya dirujuk ke RSDM. Saat datang di IGD RSDM, pasien tampak lemah, sesak (+), Sesak nafas. : An. KS : 3,5 bulan : Perempuan : Tn. S : Buruh bangunan : Ny. S : Ibu Rumah Tangga : Islam : Gondang RT 04/01 Manahan Banjarsari Surakarta : 7 Juni 2012 pukul 11.23 WIB : 8 Juni 2012 : 01114498

demam (+), batuk (+) grok-grok. BAK terakhir 1 jam sebelum masuk rumah sakit. BAB 2-3 kali/hari, warna kuning, lendir (-). Ibu pasien mengatakan bahwa pasien memiliki penyakit jantung sejak lahir. Pasien dirawat selama 5 hari di HCU neonatus karena lahir prematur dalam usia kehamilan 7 bulan. Dari pemeriksaan lebih lanjut, diketahui bahwa pasien menderita penyakit jantung bawaan. Pasien telah melakukan pemeriksaan ekokardiografi pada tanggal 3 Maret 2012 dan hasilnya menunjukkan penyakit jantung bawaan ASD II, VSD PMO dan PS relatif. Oleh karena itu pasien rutin periksa ke poli anak RSDM bagian kardiologi. Ibu pasien mengatakan bahwa anaknya tidak pernah tampak biru dan jarang tampak sesak nafas C. Riwayat Penyakit Dahulu : 1. 2. 3. 4. 5. D. 1. 2. 3. E. Ayah Ibu Saudara F. Pemeriksaan di Frekuensi Trimester I Trimester II Riwayat sakit serupa Riwayat sakit jantung Riwayat penyakit kuning Riwayat mondok Riwayat alergi obat dan makanan Riwayat sakit serupa Riwayat sakit jantung Riwayat alergi obat dan makanan Riwayat Kesehatan Keluarga : baik : baik : baik : Bidan : : 3x (sekali perbulan) : 3x (sekali perbulan) Pemeliharaan Kehamilan dan Prenatal : disangkal : (+) : disangkal : (+) : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga

Trimester III

: 3x (sekali perbulan)

Keluhan selama kehamilan : pusing-pusing (-), mual (+), muntah (+) terus menerus (hiperemesis gravidarum) sampai usia kehamilan 6 bulan, dan dirawat di RS. Selama hamil ibu mendapatkan vitamin dari bidan di puskesmas dan tidak minum obat selain dari puskesmas. G. Riwayat Kelahiran : Pasien merupakan anak ke-2, lahir di rumah sakit dengan berat badan lahir 1800 gram dan panjang 47 cm, lahir dengan sectio caesaria, langsung menangis, kebiruan (-), usia kehamilan 7 bulan. Pasien dirawat di HCU neonatus selama 5 hari. H. I. Riwayat Postnatal Status Imunisasi Jenis 1. BCG 2. DPT 3. Polio 4. Campak 5. Hepatiti sB Lahir I 2 bulan 2 bulan lahir II 4 bulan 2 bulan 1 bulan III 4 bulan IV Rutin periksa ke poli anak untuk kontrol penyakit jantung yang diderita.

J. K.

Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan Riwayat Makan Minum Anak

Pasien berusia 3,5 bulan. Pasien sudah bisa tersenyum sejak usia 2 bulan.

Pasien mendapat ASI sejak lahir. ASI diberikan 8-10 kali per hari selama 10-15 menit. Setelah menyusu, pasien tertidur pulas. Semenjak lahir, pasien juga mulai minum susu formula 3-4 botol. Pisang diberikan sejak usia 2,5 bulan sehari 1x. Kesan : kualitas dan kuantitas cukup L. M. I. II. Riwayat Keluarga Berencana Pohon Keluarga Ibu pasien tidak mengikuti program KB

III.

An.KS An.KS, BB: 2,8 kg, TB: 53 cm Penderita merupakan anak ke-2 dari 2 bersaudara. Riwayat anak lahir meninggal tidak ada, riwayat keguguran (-). Ayah dan ibu menikah satu kali. III. PEMERIKSAAN FISIK A. Keadaan Umum : lemah, tampak sakit sedang : compos mentis : kesan gizi kurang : 144x/menit, reguler, isi tegangan cukup Keadaan umum Derajat kesadaran Status gizi B. Tanda vital Nadi

Pernafasan Suhu BB TB C. Kulit

: 56 x/menit, reguler, dalam, tipe thorakoabdominal : 37,6 C (per axiler) : 2,8 kg : 53 cm

Warna sawo matang, kelembaban baik, ujud kelainan kulit (-) D. Kepala

Mesocephal, UUB belum menutup, tidak cekung. Lingkar kepala 36,5 cm (-3 SD < Z-score < -2 SD). E. Mata Konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), mata cekung (-/-), air mata (+/ +), pupil isokor (2mm/2mm), refleks cahaya (+/+). F. Hidung Nafas cuping hidung (+/+), sekret (+/+), darah (-/-) G. H. Mulut Telinga Bibir sianosis (-), mukosa basah (+) Sekret (-/-) I. Tenggorok Uvula di tengah, tonsil T1-T1, tonsil hiperemis (-), kripte melebar (-), detritus (-), mukosa faring hiperemis (-) J. Leher Bentuk normocolli, trakea di tengah, kelenjar getah bening tidak membesar, JVP sulit dievaluasi. K. Lymphonodi : tidak membesar : tidak membesar : tidak membesar : tidak membesar : tidak membesar Preaurikuler Retroaurikular Submental Submandibular Jugularis superior

Jugularis media Jugularis inferior Supraklavikula Cervical posterior L. Thorax

: tidak membesar : tidak membesar : tidak membesar : tidak membesar

Bentuk : normochest, retraksi (+) subcostal. Pulmo Palpasi Perkusi Auskultasi : : Pengembangan dada kanan = kiri : Fremitus raba sulit dievaluasi : Sonor di semua lapang paru : Suara bronchial (+/+), suara tambahan (+/ +), RBK (+/+), RBH sulit dievaluasi, wheezing (-/-) Cor : Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi : Iktus kordis tidak tampak :.Iktus kordis teraba di SIC V LMCS, tidak kuat angkat : Batas jantung sulit dievaluasi : Bunyi jantung I-II intensitas meningkat, regular, bising (+) sistolik grade III/6 dengan punctum maksimum di SIC II-III Linea.Parasternalis Sinistra, tidak dijalarkan. M. Abdomen : Dinding perut sejajar dinding dada : Bising usus (+), frekuensi normal : Timpani, pekak alih (-) : Supel, hepar dan lien tidak teraba, turgor kulit abdomen kembali cepat, undulasi (-). N. Ekstremitas Edema Akral dingin Inspeksi Auskultasi Perkusi Palpasi

Inspeksi

Wasting -

-

-

-

Capillary Refill Time < 2 detik Arteri dorsalis pedis teraba kuat O. Perhitungan Status Gizi 1. Kepala Mata Mulut Kulit Dada Abdomen Ekstremitas Secara klinis : rambut jagung (-), mudah dicabut (-) : konjungtiva pucat (-/-), cowong (-/-) : mukosa basah (+), pucat (-) : kulit keriput (-), dermatitis (-) : iga gambang (-) : lipatan lemak subkutan (-), hepatomegali (-), splenomegali (-) : wasting Status gizi secara klinis : gizi kesan kurang 2. Secara Antropometris Umur : 3,5 bulan BB : 2,8 kg TB : 53 cm BB : 2,8 x 100% = 44,8% U U TB 6,25 TB/U< -3 SD BB/TB< -3 SD 61 4 TB : 53 x 100% = 86,8% BB : 2,8 x 100% = 70 % BB/U< -3 SD baggy pant (-)

Status gizi secara antropometri : gizi buruk

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG Laboratorium Darah Pemeriksaan Hb Hct AE AL AT MCV MCH MCHC RDW MPV PDW Eosinofil Basofil Netrofil Limfosit Monosit LUC Gol Darah 8/6/12 12,6 38 4,09 13,5 264 92.4 30.8 33.4 13.4 9.2 16 0.50 0.30 26.30 63.40 9.50 9.10 B Nilai Rujukan 9.4-13.0 28-42 3.10-4.30 5.0-19.5 150-440 80,0-96,0 28,0-33,0 33,0-36,0 11,6-14,6 7,2-11,1 25-65 1.00-2,00 0,00-1,00 18,00-74,00 60,00-66,00 0,00-6,00 Satuan gr/dl % 106/uL 103/uL 103/uL /um pg d/dl % fl % % % % % % %

A. Urinalisa pada tanggal 8 Juni 2012 Warna Kejernihan BJ pH Leukosit Nitrit Protein Keton Urobilinogen Bilirubin Eritrosit : Kuning : Cloudy : 1,020 :6 : (-) : (-) : 25 mg/dl : (-) :N : (-) : 10/ul

B. Feces Rutin pada tanggal 8 Juni 2012 Makroskopis Warna Kuning Konsistensi Lunak Lendir Pus Darah Makanan tidak tercerna Kuman + Mikroskopis Sel epitel Lekosit Eritrosit Protozoa Telur cacing Lain-lain Kesimpulan : tinja lunak warna kuning, tidak ditemukan parasit maupun jamur patogen C. Pemeriksaan EKG tanggal 8 Juni 2012 Frekuensi QRS Tinggi P Interval PR Interval QRS di V1 dan V6 QoTC Rasio R/S di V1 : 125 kali/menit : 1 mm : 0,08 detik (tidak memanjang) : 0,04 : tidak memanjang : 0,41

Kelainan ST, gel. P, dan gel. T : Kesimpulan: kesan terdapat LVH D. Pemeriksaan Ekokardiografi tanggal 3 Maret 2012 Kesimpulan hasil pemeriksaan ekokardiografi: ASD II (0,4 cm) VSD PMO (0,53 cm) PS relatif ringan dengan PG : 25,74 mmHg IV. RESUME

Sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit, pasien sesak nafas, batuk grok-grok, pilek, panas sumer-sumer, muntah (-), diare (-), pasien masih mau makan dan minum. Kemudian oleh keluarga pasien dibawa ke puskesmas dan diberi obat, tetapi keluhan belum berkurang. Pasien dibawa kembali ke puskesmas, tetapi keluhan juga belum berkurang dan akhirnya dirujuk ke RSDM. Saat datang di IGD RSDM, pasien tampak lemah, sesak (+), demam (+), batuk (+) grok-grok. BAK terakhir 1 jam sebelum masuk rumah sakit. BAB 2-3 kali/hari, lembek, warna kuning, lendir (-). Pasien masih mau minum ASI dan susu formula. Pasien pernah diopname di HCU neonatus karena BBLR dan lahir prematur. Dari hasil pemeriksaan selanjutnya pasien didiagnosis dengan penyakit jantung bawaan. Pasien telah melakukan pemeriksaan ekokardiografi dan hasilnya adalah ASD II, VSD, dan PMO relatif. Pasien tidak pernah tampak biru dan jarang tampak sesak nafas. Riwayat pemeliharaan prenatal baik. Riwayat kelahiran dengan sectio cesaria, dengan usia kehamilan 7 bulan dan berat saat lahir 1800 gram. Riwayat pemeliharaan postnatal baik. Riwayat imunisasi hingga usia 3,5 bulan sudah lengkap. Pada pemeriksaan tanda vital ditemukan suhu yang tinggi dan takipneu sedangkan nadi dalam batas normal. Pada auskultasi jantung didapatkan bising sistolik grade III/6 di SIC II-III LPSS, tidak dijalarkan. Terdapat tanda klinis gizi kurang seperti tidak adanya lipatan lemak subkutan. Pada pemeriksaan status gizi dengan menggunakan Z-score didapatkan gizi kesan buruk. Pada pemeriksaan laboratorium darah rutin didapatkan Hb, AE, AT, AL, an Hct dalam batas normal. Pemeriksaan mikroskopis urin dalam batas normal. Pemeriksaan feses dalam batas normal. Pemeriksaan ekokardiografi didapatkan ASD II, VSD, dan PMO relatif.

V.

DAFTAR MASALAH

1. Sesak nafas 2. Demam 3. Retraksi subcostal

4. Ronkhi basah kasar 5. Bising sistolik grade III/6 6. Ekokardiografi tampak ASD II, VSD PMO. PS relatif. 7. Berat badan sulit naik VI. DIAGNOSIS BANDING

1. Pneumonia 2. Bronkiolitis 3. Penyakit jantung bawaan (PDA, ASD, VSD) 4. Gizi buruk tipe marasmik VII. DIAGNOSIS KERJA 1. Pneumonia 2. DE DA DF : PJB asianotik : ASD II, VSD PMO, PS Relatif : Ross I

3. Bhleparitis ods 4. Gizi buruk tipe marasmik VIII. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. PENATALAKSANAAN Teruskan pemberian ASI Diet F75 12 x 20 cc O2 Nasal 2 lpm IVFD RLD 1,6 cc/jam Inj Ampicillin 150 mg/6 jam Inj Gentamicin 15 mg/24 jam Paracetamol 30 mg (1/4 cth) p.o. Digoxin 2 x 1/15 tab Furosemide 2 x 1 mg p.o. Aldacton 2 x 3,125 p.o. Vit C 1 x 40 mg p.o.

12. 13. 14. IX.

Asam folat 1 x 1 mg p.o. Mineral mix 1 x 1 cth p.o. Nebulizer NaCl 0,9% 5 cc + Pulmicort 1/3 respule tiap 8 jam PLANNING

1. Gambaran Darah Tepi 2. Kultur darah 3. Foto thorax X. 1. 2. 3. XI. MONITORING KU/VS/4 jam BC/D/8 jam Analisis diet EDUKASI

Pasien disarankan untuk tidak mengkonsumsi makanan yang mengandung garam dan air yang terlalu banyak. LEMBAR MONITORINGTanggal 07-06-12 Jam 14.0 0 16.0 0 18.0 0 20.0 0 Pemeriksaan KU/VS HR = 130 x/1 RR = 56 x/1 S = 37,8oC (peraxiler) HR = 128 x/1 RR = 52 x/1 S = 37,0oC (peraxiler) HR = 132 x/1 RR = 58 x/1 S = 36,8 C (peraxiler) HR = 130 x/1 RR = 50 x/1 S = 36,7oC (peraxiler)o

Tanggal 08-03-12

Jam 14.00

Pemeriksaan KU/VS HR = 138 x/1 RR = 52 x/1 S = 36,3oC (peraxiler) HR = 140 x/1 RR = 56 x/1 S = 36,7oC (peraxiler) HR = 142 x/1 RR = 56 x/1 S = 36,1oC (peraxiler) HR = 138 x/1 RR = 54 x/1 S = 36,5oC (peraxiler)

18.00

22.00

02.00

22.0 0 00.0 0 02.0 0 04.0 0 06.0 0 08-06-12 07.0 0

HR = 138 x/1 RR = 50 x/1 S = 36,6oC (peraxiler) HR = 138 x/1 RR = 44 x/1 S = 36,8oC (peraxiler) HR = 140 x/1 RR = 48 x/1 S = 36,4 C (peraxiler) HR = 146 x/1 RR = 56 x/1 S = 36,6 C (peraxiler) HR = 134 x/1 RR = 60 x/1 S = 36,2oC (peraxiler) HR = 140 x/1 RR = 54 x/1 S = 37,0oC (peraxiler)o o

06.00

HR = 136 x/1 RR = 50 x/1 S = 36,3oC (peraxiler) HR = 134 x/1 RR = 50 x/1 S = 36,6oC (peraxiler) HR = 132 x/1 RR = 46 x/1 S = 36,8oC (peraxiler) HR = 134 x/1 RR = 48 x/1 S = 36,5oC (peraxiler) HR = 128 x/1 RR = 44 x/1 S = 36,3oC (peraxiler) HR = 130 x/1 RR = 44 x/1 S = 36,7oC (peraxiler)

09-06-12

14.00

18.00

22.00

02.00

06.00

FOLLOW UP PASIENFollow up S O Tanda Vital DPH II (9 Juni 2012) Sesak (+), batuk (+), pilek (-), demam (+), minum (+), BAK (+), BAB (+), muntah (-) Tampak lemah, composmentis, rewel, gizi kurang HR : 128 x/menit RR : 60 x/menit t Kepala Telinga Mata : 37,7oC (per axiler) SiO2: 98% Mesocephal Sekret (-/-) Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor (2 mm/2 mm), reflek cahaya (+/+) DPH III (10 Juni 2012) Sesak (+), batuk (+), pilek (-), demam (-), minum (+), BAK (+), BAB (+), muntah (-) Tampak lemah, composmentis, rewel, gizi kurang HR : 150 x/menit RR : 54 x/menit t : 37,3oC (per axiler) SiO2: 99% Mesocephal Sekret (-/-) Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor (2 mm/2 mm), reflek cahaya (+/+), sekret (+/+) warna kuning, tampak kemerahan, udem palpebra (+/+). Hidung Napas cuping hidung (+/+), sekret (-/-) Napas cuping hidung (+/+), sekret (-/-) Mukosa basah (+), sianosis (-) Mulut Mukosa basah (+), sianosis (-) Thorax ) epigastrial dan subcostal ) epigastrial dan subcostal Cor : : Ictus cordis tidak tampak, IC teraba di SIC V LMCS, tidak kuat angkat, BJ I-II intensitas normal, reguler, bising (+), sistolik grade III/6, p.m di SIC II Linea parasternalis Cor : : Ictus cordis tidak tampak, IC teraba di SIC V LMCS, tidak kuat angkat, BJ I-II intensitas normal, reguler, bising (+), sistolik grade III/6, p.m di SIC II Linea parasternalis

sinistra, tidak dijalarkan. Pulmo: SD bronchial (+/+), RBK(+/+), RBH Abdomen sde, wheezing (-/-) Supel, Dinding perut // dinding dada, pekak alih (-), hepar dan lien tidak teraba, turgor kembali Ekstremitas cepat, peristaltik (+) normal. Akral dingin (-) Edema (-) CRT < 2 detik, ADP teraba kuat Asessment 1. 2. Pneumonia DE : PJB asianotik

sinistra, tidak dijalarkan. Pulmo: SD bronchial (+/+), RBK(+/+), RBH sde, wheezing (-/-) Supel, Dinding perut // dinding dada, pekak alih (-), hepar dan lien tidak teraba, turgor kembali cepat, peristaltik (+) normal. Akral dingin (-) Edema (-) CRT < 2 detik, ADP teraba kuat 1. 2. 3. Pneumonia DE : PJB asianotik Bhleparitis ods Gizi Buruk tipe marasmik fase

DA : ASD II, VSD PMO, PS relatif

DA : ASD II, VSD PMO, PS relatif

3.Terapi

Gizi Buruk tipe marasmik fase stabilisasi hari ke I 1. 2. 3. Teruskan pemberian ASI Diet F 75 12x20 cc O2 nasal 2 lpm IVFD RLD 6 cc/jam Inj Ampicilin 150 mg/6 jam 6. 7. 8. Inj Gentamicin 15 mg/24 jam Paracetamol 30 mg (1/4 cth) k/p Nebulizer NaCl 0,9 % 5 cc/6 jam

4.1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.

stabilisasi hari ke II Teruskan pemberian ASI Diet F 75 12x20 cc O2 nasal 2 lpm IVFD RLD 6 cc/jam Inj Ampicilin 150 mg/6 jam Inj Gentamicin 15 mg/24 jam Paracetamol 30 mg (1/4 cth) k/p Nebulizer NaCl 0,9 % 5 cc + pulmicort 1/3 respule /8 jam Digoxin 2 x 1/15 tab Furosemid 2 x 1 mg Aldacton 2 x 3,125 mg Asam folat 1 x 5 mg Vit C 1 x 40 mg

4.5.

9.10. 11. 12. 13. 14. Plan Monitoring

Digoxin 2 x 1/15 tab Furosemid 2 x 1 mg Aldacton 2 x 3,125 mg Vit A 1 x 200.000 Asam folat 1 x 5 mg Vit C 1 x 40 mg

14. Mineral mix 1 x 1 cth

15. Mineral mix 1 x 1 cth GDT, kultur darah, Ro thorax- KU/VS/TD tiap 4 jam - BC/D tiap 8 jam - Analisis diet, BB, histagram tiap hari

GDT, kultur darah, Ro thorax - KU/VS/TD tiap 4 jam - BC/D tiap 8 jam - Analisis diet, BB, histagram tiap hari

Follow up S O Tanda Vital

DPH IV (11 Juni 2012) Sesak (+), batuk (+), pilek (-), demam (-), minum (+), BAK (+), BAB (+), muntah (-) Tampak lemah, composmentis, gizi kurang HR : 150 x/menit

DPH V (12 Juni 2012) Sesak (+), batuk (+), pilek (-), demam (-), minum (+), BAK (+), BAB (+), muntah (-) Tampak lemah, composmentis, gizi kurang HR : 128 x/menit

RR : 44 x/menit Kepala Telinga Mata t : 36,5oC (per axiler) Mesocephal Sekret (-/-) Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor (2 mm/2 mm), reflek cahaya (+/+), sekret (+/+) warna kuning, tampak kemerahan,

RR : 36 x/menit t : 36,7oC (per axiler) Mesocephal Sekret (-/-) Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor (2 mm/2 mm), reflek cahaya (+/+), sekret (+/+) warna kuning, tampak kemerahan,

udem palpebra (+/+). udem palpebra (-/-). Hidung Napas cuping hidung (+/+), sekret (-/-) Napas cuping hidung (-/-), sekret (-/-) Mukosa basah (+), sianosis (-) Mulut Mukosa basah (+), sianosis (-) Thorax ) epigastrial dan subcostal ) subcostal Cor : : Ictus cordis tidak tampak, IC teraba di SIC V LMCS, tidak kuat angkat, BJ I-II intensitas normal, reguler, bising (+), sistolik grade III/6, p.m di SIC II Linea parasternalis sinistra, tidak dijalarkan. Pulmo: SD bronchial (+/+), RBK(+/+), RBH Abdomen sde, wheezing (-/-) Supel, Dinding perut // dinding dada, pekak alih (-), hepar dan lien tidak teraba, turgor kembali Ekstremitas cepat, peristaltik (+) normal. Akral dingin (-) Edema (-) CRT < 2 detik, ADP teraba kuat Asessment 1. 2. 3. Pneumonia DE : PJB asianotik Bhleparitis ods Gizi Buruk tipe marasmik fase Cor : : Ictus cordis tidak tampak, IC teraba di SIC V LMCS, tidak kuat angkat, BJ I-II intensitas normal, reguler, bising (+), sistolik grade III/6, p.m di SIC II Linea parasternalis sinistra, tidak dijalarkan. Pulmo: SD bronchial (+/+), RBK(+/+) berkurang, RBH (-/-), wheezing (-/-) Supel, Dinding perut // dinding dada, pekak alih (-), hepar dan lien tidak teraba, turgor kembali cepat, peristaltik (+) normal. Akral dingin (-) Edema (-) CRT < 2 detik, ADP teraba kuat 1. 2. 3. Pneumonia DE : PJB asianotik Bhleparitis ods Gizi Buruk tipe marasmik fase stabilisasi hari ke IV Teruskan pemberian ASI Diet F 75 10 x 40 cc O2 nasal 2 lpm Inj Ampicilin 150 mg/6 jam Inj Gentamicin 15 mg/24 jam Paracetamol 30 mg (1/4 cth) k/p Nebulizer NaCl 0,9 % 5 cc + pulmicort 1/3 respule /8 jam 8. 9. 10. 11. 12. Digoxin 2 x 1/15 tab Furosemid 2 x 1 mg Aldacton 2 x 3,125 mg Asam folat 1 x 5 mg Vit C 1 x 40 mg

DA : ASD II, VSD PMO, PS relatif

DA : ASD II, VSD PMO, PS relatif

4.Terapi 1.

4.1.

stabilisasi hari ke III Teruskan pemberian ASI Diet F 75 12 x 30 cc O2 nasal 2 lpm IVFD RLD 6 cc/jam Inj Ampicilin 150 mg/6 jam Inj Gentamicin 15 mg/24 jam Paracetamol 30 mg (1/4 cth) k/p Nebulizer NaCl 0,9 % 5 cc + pulmicort 1/3 respule /8 jam Digoxin 2 x 1/15 tab Furosemid 2 x 1 mg Aldacton 2 x 3,125 mg Asam folat 1 x 5 mg Vit C 1 x 40 mg

2.3.

2.3. 4. 5. 6. 7.

4.5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. Plan

13. Mineral mix 1 x 1 cthGDT, kultur darah, Ro thorax

14. Mineral mix 1 x 1 cth GDT, kultur darah, Ro thorax

Monitoring

- KU/VS/TD tiap 4 jam - BC/D tiap 8 jam - Analisis diet, BB, histagram tiap hari

- KU/VS/TD tiap 4 jam - BC/D tiap 8 jam - Analisis diet, BB, histagram tiap hari

BAB III TINJAUAN PUSTAKA VENTRICULAR SEPTAL DEFECT 1. Definisi Ventricular Septal Defect (VSD) atau defek septum ventrikel merupakan kelainan jantung berupa terdapatnya satu atau lebih lubang pada septum interventrikuler yang menyebabkan adanya hubungan aliran darah antara ventrikel kanan dan kiri. Defek septum ventrikel adalah salah satu kelainan jantung bawaan (kongenital) yang paling banyak (Webb et al., 2011).

Defek septum ventrikel disebabkan oleh keterlambatan penutupan sekat interventrikuler sesudah kehidupan intrauterin 7 minggu pertama, alasan penutupan terlambat atau tidak sempurna belum diketahui. Kemungkinan faktor keturunan berperan dalam hal ini (Fyler, 1996). 2. 2007): a. Tipe perimembranous (60%), bila lubang terletak di daerah pars membranaceae septum interventrikularis. b. Tipe subarterial doubly commited (37%), bial lubang terletak di daerah septum infundibuler dan sebagian dari batas defek dibentuk oleh terusan jaringan ikat katup aorta dan katup pulmonal c. Tipe muskuler (3%) bial lubang terletak di daerah septum muskularis interventrikularis. Menurut besarnya defek septum ventrikel diklasifikasikan menjadi defek septum ventrikel kecil (luas defek kurang dari 5 mm2/m2 luas permukaan tubuh), sedang (luas defek 5-10 mm2/m2 luas permukaan tubuh), dan besar (luas defek lebih dari setengah diameter aorta atau lebih dari 10 mm2/m2 luas permukaan tubuh) (Sastroasmoro et al., 1994). Klasifikasi Berdasarkan lokasi lubang, dibagi 3 (Chandrasoma, 2006; Purwaningtyas,

Klasifikasi Anatomik Defek Septum Ventrikel 3. Etiologi Dan Faktor Risiko

Etiologi dari penyakit ini masih belum jelas. Diperkirakan bahwa pada penyakit ini terdapat 4% kasus kelainan kromosom atau genetik. Faktor lingkungan dan paparan bahan kimia juga berperan dalam timbulnya penyakit jantung bawaan ini. Selain itu, penyebab lain adalah penyakit ibu misalnya diabetes melitus, infeksi, demam, serta terapi terkait penyakit tersebut. Disebutkan pula bahwa paparan prenatal oleh cyclooxygenase (COX) inhibitors, terutama aspirin dan ibuprofen, meningkatkan risiko terjadinya defek septum ventrikel (Burdan, 2006). 4. Hemodinamik Pada defek kecil hanya terjadi pirau dari kiri ke kanan yang minimal, sehingga tidak terjadi gangguan hemodinamik yang berarti. Kira-kira 70% pasien menutup spontan dalam 10 tahun, sebagian besar dalam 2 tahun pertama. Bila setelah 2 tahun belum menutup, maka kemungkinan menutup spontan adalah kecil. Pada defek sedang dan besar terjadi pirau yang bermakna dari ventrikel kiri ke ventrikel kanan. Pada hari-hari pertama pasca lahir belum terdapat pirau kiri ke kanan yang bermakna karena resistensi vaskular paru masih tinggi. Hal inilah yang menyebabkan bising baru terdengar antara minggu ke-2 sampai ke-6 setelah bayi lahir karena telah timbul pirau yang bermakna akibat tahanan vaskular paru yang menurun. Pirau kiri ke kanan yang besar menyebabkan meningkatnya tekanan ventrikel kanan, yang bila tidak terdapat obstruksi jalan keluar ventrikel kanan akan diteruskan ke arteri pulmonalis. Pada defek besar dapat terjadi perubahan hemodinamik akibat peningkatan tekanan terus-menerus pada ventrikel kanan yang diteruskan ke a. pulmonalis. Pada suatu saat terjadi perubahan dari pirau kiri ke kanan menjadi kanan ke kiri sehingga pasien menjadi sianosis. Hal ini disebut sebagai sindrom Eisenmenger (Morales, 2006; Sastroasmoro, 1994). 5. Manifestasi Klinis Defek Septum Ventrikel Kecil

Biasanya asimtomatik. Jantung normal atau sedikit membesar dan tidak ada gangguan tumbuh kembang. Bunyi jantung biasanya normal, dapat ditemukan bising sistolik dini pendek yang mungkin didahului early systolic click. Ditemukan pula bising pansistolik yang biasanya keras disertai getaran bising dengan pungtum maksimum di sela iga III-IV garis parasternal kiri dan menjalar ke sepanjang sternum kiri, bahkan ke seluruh prekordium (Sastroasmoro, 1994). Defek Septum Ventrikel Sedang Gejala timbul pada masa bayi berupa sesak napas saat minum atau memerlukan waktu lebih lama/tidak mampu menyelesaikan makan dan minum, kenaikan berat badan tidak memuaskan, dan sering menderita infeksi paru yang lama sembuhnya. Infeksi paru ini dapat mendahului terjadinya gagal jantung yang mungkin terjadi pada umur 3 bulan. Bayi tampak kurus dengan dispneu, takipneu, serta retraksi. Bentuk dada biasanya masih normal. Pada pasien yang besar, dada mungkin sudah menonjol. Pada auskultasi terdengar bising pansistolik yang keras dan kasar disertai getaran bising dengan pungtum maksimum di sela iga III-IV garis parasternal kiri yang menjalar ke seluruh prekordium. Bising middiastolik di daerah mitral dapat terjadi oleh karena flow murmur pada fase pengisian cepat dari atrium ke ventrikel kiri (Sastroasmoro, 1994). Defek Septum Ventrikel Besar Gejala dapat timbul pada masa neonatus. Pada minggu I sampai III dapat terjadi pirau kiri ke kanan yang bermakna dan sering menimbulkan dispneu. Gagal jantung biasanya timbul setelah minggu keenam, sering didahului infeksi saluran napas bawah. Bayi sesak napas saat istirahat, kadang tampak sianosis karena kekurangan oksigen akibat gangguan pernapasan. Gangguan pertumbuhan sangat nyata. Biasanya bunyi jantung masih normal, dapat didengar bising pansistolik, dengan atau tanpa getaran bising, melemah pada akhir sistolik karena terjadi tekanan sistolik yang sama besar pada kedua ventrikel. Bising mid-diastolik di daerah mitral

mungkin terdengar akibat flow murmur pada fase pengisian cepat(Sastroasmoro, 1994).

Pada defek septum ventrikel besar dapat terjadi perubahan hemodinamik dengan penyakit vaskular paru (sindrom Eisenmenger). Pada fase peralihan antara pirau kiri ke kanan dan kanan ke kiri, seringkali pasien tampak lebih aktif, dengan toleransi latihan yang relatif lebih baik dibanding sebelumnya. Saat terjadi pirau terbalik dari kanan ke kiri, pasien tampak sianotik dengan keluhan dan gejala yang lebih berat dibanding sebelumnya. Anak gagal tumbuh, sianotik, dengan jari-jari tabuh (clubbing fingers). Dada kiri membonjol dengan peningkatan aktivitas ventrikel kanan yang hebat. Bunyi jantung I normal, akan tetapi bunyi jantung II mengeras dengan split yang sempit. Bising yang sebelumnya jelas menjadi berkurang intensitasnya; kontur bising yang semula pansistolik berubah menjadi ejeksi sistolik. Tak jarang bising menghilang sama sekali. Hati menjadi teraba besar akibat bendungan sistemik, namun edema jarang ditemukan (Mansjoer, 2000). 6. Pemeriksaan Penunjang a. Foto Thorax

Pada defek yang kecil gambaran radiologi thorax

menunjukkan besar jantung normal dengan atau tanpa corakan pembuluh darah berlebih.

Pada defek sedang dan besar akan menunjukkan: Hipertrofi biventricular dengan variasi dari ringan sampai sedang.

Pembesaran atrium kiri. Pembesaran batang a.pulmonalis sehingga tonjolan pulmonal prominen.

Peningkatan vaskularisasi paru

Foto Thorax Anteroposterior Defek Septum Ventrikuler b. Elektrokardiografi Pada bayi dan anak dengan defek kecil gambaran EKG Pada neonatus dengan defek sedang dan besar gambaran normal tau sedikit terdapat peningkatan aktivitas ventrikel kiri. EKG normal, namun pada bayi yang lebih besar terdapat kelainan. Pada defek sedang terdapat peningkatan aktivitas ventrikel kiri dan kanan, didominasi oleh ventrikel kiri. Pada defek besar biasanya gambaran EKG memperlihatkan hipertrofi biventrikular dengan hipertrofi atrium kiri (P mitral). Bila telah terjadi hipertensi pulmonal hipertrofi ventrikel kanan makin menonjol. Pada sindrom Eisenmenger dominasi kanan makin jelas dan dapat disertai hipertrofi atrium kanan (P pulmonal).

EKG pasien VSD. Menunjukkan deviasi aksis ke kiri dan pembesaran ventrikel kiri.

c. Ekokardiografi Ekokardiografi pada defek septum ventrikel didapat dengan menggunakan M-mode dan dapat diukur dimensi atrium kiri dan ventrikel kiri. Dengan ekokardiografi dua dimensi, dapat dideteksi dengan tepat ukuran dan lokasi defek septum ventrikel. Sedangkan dengan efek Doppler dan warna, dapat dipastikan arah dan besarnya aliran yang melewati defek tersebut (Cheng, 2005).

Large Ventricular Septal Defect in Echocardiography d. Kateterisasi Jantung Dengan kateterisasi jantung dapat dibuktikan kenaikan saturasi oksigen di ventrikel kanan, serta tekanan diruang jantung, dan pembuluh darah besar. Pada defek septum ventrikel kecil tekanan ruang jantung dan pembuluh darah dalam batas normal. Pada defek sedang, tekanan arteri pulmonalis mungkin masih dalam batas normal pada waktu bayi, akan tetapi meningkat dengan bertambahnya umur(Sastroasmoro, 1994).

7.

Penatalaksanaan Pasien dengan defek kecil tidak memerlukan pengobatan apapun,

Medikamentosa kecuali pemberian profilaksis terhadap terjadinya endokarditis infektif terutama bila akan dilakukan tindakan operatif didaerah rongga mulut atau tindakan pada traktus gastrointestinal atau urogenital. Infeksi saluran napas

diatasi dengan pemberian antibiotik dini yang adekuat (Sastroasmoro, 1994). Pada pasien dengan gagal jantung, tata laksana yang ideal adalah memperbaiki kelainan struktural jantung yang mendasarinya. Obat-obat yang digunakan pada gagal jantung antara lain (Djer, 2000): a. Obat inotropik seperti digoksin atau obat inotropik lain seperti dobutamin atau dopamin. Digoksin untuk neonatus misalnya, dipakai dosis 30 g/kg. Obat inotropik isoproterenol dengan dosis 0,05-1 g/kg/menit diberikan bila terdapat bradikardia, sedangkan bila terdapat takikardia diberikan dobutamin 5-10 g/kg/menit atau dopamin bila laju jantung tidak begitu tinggi dengan dosis 2-5 g/kg/menit. b. Vasodilator, yang biasa dipakai adalah kaptopril dengan dosis 0,10,5 mg/kg/hari terbagi 2-3 kali per oral. c. Diuretik, yang sering digunakan adalah furosemid dengan dosis 12 mg/kg/hari per oral atau intravena. Tindakan Bedah Tidak semua pasien dengan defek septum ventrikel harus di operasi. Tindakan operasi pada kasus-kasus dengan gejala klinis yang menonjol terutama pada defek sedang atau besar yang tidak mempunyai respon yang baik terhadap pengobatan (Mansjoer, 2000). Penutupan defek yang dilakukan untuk memperpanjang umur harapan hidup, dilakukan pada umur muda, yaitu dengan 2 cara:

Pembedahan:

menutup

defek

dengan

dijahit

melalui

cardiopulmonal bypass.

Non pembedahan: menutup defek dengan alat melalui kateterisasi Prognosis Kemungkinan penutupan spontan defek kecil cukup besar, terutama

jantung 8.

pada tahun pertama kehidupan. Kemungkinan penutupan spontan sangat berkurang setelah pasien berusia 2 tahun, dan umumnya tidak ada

kemungkinan lagi di atas usia 6 tahun. Secara keseluruhan penutupan spontan berkisar 40 - 50% kasus (Sastroasmoro, 1994). ATRIAL SEPTAL DEFECT Definisi Atrial Septal Defect (ASD) atau defek septum atrium adalah lubang abnormal pada sekat yang memisahkan kedua atrium sehingga terjadi pengaliran darah dari atrium kiri yang bertekanan tinggi ke dalam atrium kanan yang bertekanan rendah. Klasifikasi Menurut lokasi defek, ASD dikelompokkan menjadi: Defek septum atrium primum (ASD I): bagian dari defek septum atrioventrikular dan pada bagian atas berbatas dengan fosa ovalis sedangkan bagian bawah dengan katup atrioventrikular. Defek septum atrium sekundum (ASD II): defek terjadi pada fosa ovalis dan sering disertai dengan aneurisma fosa ovalis. Tipe ini merupakan 80% dari seluruh defek septum atrium (Sastroasmoro,1994). Defek septum atrium dengan defek sinus venosus superior: defek terjadi dekat muara vena kava superior sehingga terjadi koneksi biatrial. Sering vena pulmonalis dari paru-paru kanan juga mengalami anomali. Dapat juga terjadi defek sinus venosus tipe vena kava inferior, denganlokasi di bawah foramen ovale dan bergabung dengan dasar vena kava inferior (Markham, 2012). Etiologi dan Faktor Risiko Beberapa penyakit jantung bawaan mungkin memiliki link genetik, baik yang terjadi karena cacat pada gen, kelainan kromosom, atau paparan lingkungan, menyebabkan masalah jantung lebih sering terjadi dalam keluarga tertentu. Faktor-faktor penyebab tersebut diantaranya (Forrester, 2004; Mone, 2004): Faktor Prenatal

Ibu menderita infeksi Rubella Ibu alkoholisme Umur ibu lebih dari 40 tahun Ibu menderita IDDM Ibu meminum obat-obatan penenang atau jamu Faktor genetik Anak yang lahir sebelumnya menderita PJB Ayah atau ibu menderita PJB Kelainan kromosom misalnya Sindroma Down Lahir dengan kelainan bawaan lain Defek Septum Atrium Sekundum (ASD II) Hemodinamik Pada defek septum atrium sekundum terdapat lubang patologis di fossa ovalis. Akibatnya terdapat pirau dari atrium kiri ke atrium kanan sehingga beban pada sisi kanan jantung lebih kuat. Beban tersebut merupakan beban volume (volume overload). Aliran dari atrium kiri ke atrium kanan disebabkan karena tekanan atrium kiri yang agak melebihi tekanan atrium kanan, sehingga terjadi peningkatan aliran darah yang kaya oksigen kedalam sisi kanan jantung. Karena perbedaan tekanan rendah, kecepatan aliran yang tinggi tetap dapat terjadi karena rendahnya tahanan vaskular paru dan semakin besarnya daya kembang atrium kanan yang selanjutnya akan mengurangi resistensi aliran. Volume darah ini ditoleransi dengan baik oleh ventrikel kanan karena dialirkan dengan tekanan yang jauh lebih rendah dibandingkan pada defek septum ventrikel (VSD). Meskipun terjadi pembesaran atrium dan ventrikel kanan, gagal jantung jarang terjadi pada ASD yang tidak mengalami komplikasi (Markham, 2012; Mansjoer, 2000).

Defek Septum Atrium Sekundum Manifestasi Klinis Pasien defek septum atrium sekundum mungkin tidak menunjukkan gejala (asimtomatik) terutama bayi dan anak kecil. Defek ini dapat mengalami penutupan spontan pada 14%-66% bayi berusia kurang dari tiga bulan. Bila defek berukuran besar dan tidak menutup spontan akan mengalami hipertensi pulmonal yang merupakan hipertensi pulmonal sekunder karena meningkatnya aliran darah pulmonal akibat adanya pirau kiri ke kanan yang besar. Pada pasien ini akan mengalami sesak napas, sering mengalami infeksi paru, dan berat badan akan sedikit berkurang. Pada pasien ini juga dapat terjadi gagal jantung dan berisiko untuk mengalami disritmia atrium (Saxena, 2005; Hanslick, 2006). Jantung umumnya normal atau hanya sedikit membesar dengan pulsasi ventrikel kanan teraba. Terdengar bising jantung yang khas. Komponen aorta dan pulmonal bunyi jantung II terbelah lebar (wide split) yang tidak berubah saat inspirasi maupun ekspirasi (fixed split). Pada defek sedang sampai besar bunyi jantung I mengeras dan terdapat bising ejeksi sistolik di daerah pulmonal akibat aliran darah yang berlebih melalui katup pulmonal (stenosis pulmonal relatif). Selain itu terdapat bising diastolik di daerah trikuspid akibat aliran darah yang berlebihan melalui katup trikuspid pada fase pengisian cepat ventrikel kanan (Sastroasmoro, 1994). Pemeriksaan Penunjang

Foto Thorax Pada penderita defek septum atrium dengan pirau yang bermakna, foto toraks AP menunjukkan atrium kanan yang menonjol, dan dengan konus pulmonalis yang menonjol. Jantung hanya sedikit membesar dan vaskularisasi paru yang bertambah sesuai dengan besarnya pirau (Wahab, 2009).

Foto Thorax Anteroposterior Defek Septum Atrium Elektrokardiografi Pada berikut: Right axis deviation (deviasi sumbu QRS ke kanan) Pola RBBB yang menunjukkan terdapatnya beban volume ventrikel kanan (adanya hipertrofi ventrikel kanan), terdapat pada 95% kasus. Pola rSR' di lead prekordial kanan dengan durasi QRS normal. Keterlambatan aktivasi ventrikel kanan merupakan manifestasi dari kelebihan beban volume ventrikel kanan atau gangguan konduksi di cabang berkas kanan dan sistem Purkinje perifer masih belum jelas. Blok AV derajat 1 (pemanjangan interval PR) terdapat pada 10% kasus pada defek sekundum (Wahab, 2009). pasien dengan defek septum atrium sekundum, elektrokardiografi (EKG) biasanya menunjukkan hasil sebagai

EKG pasien ASD di atas menunjukkan adanya pembesaran atrium kanan, yaitu tampak gelombang P yang tinggi (P pulmonal, lebih dari 2-3 mm) serta gelombang R slurred (rsR' pattern) di V1, V2 dan aVR. Ekokardiografi Tujuan utama pemeriksaan ekokardiografi pada ASD adalah untuk mengevaluasi pirau dari kiri ke kanan di tingkat atrium, antara lain adalah: Mengidentifikasi secara tepat defek diantara ke dua atrium Memvisualisasikan hubungan seluruh vena pulmonalis Menyingkirkan lesi tambahan lainnya Menilai ukuran ruang-ruang jantung (dilatasi)

Ekokardiografi pada Defek Septum Atrium Sekundum

Kateterisasi Jantung Penderita di operasi tanpa katerisasi jantung, katerisasi hanya dilakukan apabila terdapat keraguan akan adanya penyakit penyerta atau hipertensi pulmonal (Sastroasmoro, 1994). Penatalaksanaan Pembedahan Jika Qp:Qs kurang dari 1,5:1 maka defek septum sekundum umumnya tidak perlu dikoreksi, melainkan dibiarkan dengan pengawasan. Indikasi dilakukan pembedahan adalah ukuran defek Qp:Qs > 1,5:1, volume jantung kanan yang overload, dan gejala yang semakin memburuk. Jika Qp:Qs lebih besar dari 2:1, defek harus ditutup pada usia 4-5 tahun (Dardas, 2010). Penutupan Defek dengan Kateter Penutupan defek dengan keteter menggunakan alat yang berbentuk seperti payung tertutup dari atrium kanan ke atrium kiri, kemudian dibuka dan ditarik sampai menutup defek dan septum atrium membonjol ke atrium kanan. Contoh penutupan defek dengan kateter adalah penutupan dengan Amplatzar Septal Occluder (ASO) yang merupakan prosedur alternatif yang aman dan efektif (Huang, 2004). Prognosis Secara umum prognosis pada anak dapat dikatakan baik. Pada sebagian besar kasus, meski tidak dioperasi,pasien dapat melakukan aktivitasnya dengan normal atau hampir normal (Sastroasmoro, 1994). PNEUMONIA Definisi Secara kinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan paru yang disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit). Pneumonia yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis tidak termasuk.

Etiologi Sebagian besar pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme dan sebagian kecil disebabkan oleh hal lain misalnya bahan kimia/benda asing yang teraspirasi (Sectish dan Puber, 2003). Pada masa neonatus, Streptococcus group B dan Listeriae monocytogenes merupakan penyebab pneumonia terbanyak. Virus adalah penyebab terbanyak pada anak usia prasekolah dan berkurang dengan bertambahnya usia. Selain itu, Streptococcus pneumoniae merupakan penyebab paling utama pneumonia bakterial. Mycoplasma pneumonia dan Chlamydia pneumoniae merupakan penyebab yang sering didapatkan pada anak di atas 5 tahun (Sectish dan Puber, 2003). Faktor Risiko Beberapa keadaan seperti malnutrisi, usia muda, kelengkapan imunisasi, kepadatan hunian, defisiensi vitamin A, defisiensi zinc, paparan asap rokok secara pasif dan faktor lingkungan (polusi udara) merupakan faktor risiko untuk terjadinya pneumonia. Faktor predisposisi yang lain adalah kelainan anatomi kongenital (contoh fistula trakeaesofagus, penyakit jantung bawaan), gangguan fungsi imun (penggunaan sitostatistika dan steroid jangka panjang, gangguan system imun berkaitan penyakit tertentu seperti HIV), campak, pertusis, gangguan neuromuskuler, kontaminasi perinatal dan gangguan klirens mucus/sekresi seperti pada fibrosis kistik, aspirasi benda asing atau disfungsi silier. Patogenesis Dan Patofisiologi Sebagian besar pneumonia timbul melalui aspirasi kuman atau penyebaran langsung kuman dari saluran respiratorik atas. Dalam keadaan normal saluran respiratorik bawah mulai dari sublaring hingga unit terminal adalah steril. Paru terlindung dari infeksi melalui beberapa mekanisme termasuk barier anatomi dan mekanik diantaranya adalah filtrasi partikel di hidung, pencegahan aspirasi dengan refleks epiglotis, ekspulsi benda asing melalui refleks batuk, pembersihan kearah cranial 32

oleh lapisan mukosilier. System pertahanan tubuh yang terlibat baik sekresi lokal immunoglobulin A maupun respon inflamasi oleh sel-sel leukosit, komplemen, sitokin, immunoglobulin, alveolar makrofag dan cell mediated immunity. Pneumonia terjadi bila satu atau lebih mekanisme di atas mengalami gangguan sehingga kuman pathogen dapat mencapai saluran nafas bawah. Inokulasi pathogen penyebab pada saluran nafas menimbulkan respon inflamasi akut pada penjamu yang berbeda sesuai dengan pathogen penyebabnya. Pada pneumonia terjadi gangguan pada komponen volumedari ventilasi akibat kelainan langsung di parenkim paru. Terhadap gangguan ventilasi akibat gangguan volume ini tubuh akan berusaha mengkompensasinya dengan cara meningkatkan volume tidal dan frekuensi nafas sehingga secara klinis terlihat takipnea dan dispnea dengan tanda-tanda inspiratory effort. Akibat penurunan ventilasi maka rasio optimal antara ventilasi perfusi tidak tercapai (V/Q 15.000/UL seringkali dijumpai. Dominasi neutrofil pada hitung jenis atau adanya pergeseran ke kiri menunjukkan bakteri sebagai penyebab. Leukosit > 30.000/UL dengan dominasi netrofil mengarah ke pneumonia streptococcus dan stafilococcus. Laju Endap Darah dan C-reaktif protein (CRP) merupakan indicator inflamasi yang tidak khas sehingga hanya sedikit membantu. Adanya CRP positif dapat mengarah pada infeksi bakteri (Lakhanpaul, 2004). Biakan darah merupakan cara spesifik untuk diagnosis tapi hanya positif pada 10-15% kasus terutama pada anak kecil. Kultur darah sangat membantu pada penanganan kasus pneumonia dengan dugaan penyebab stafilokokus dan pneumokokus yang tidak menunjukkan respon baik terhadap penanganan awal. Kultur darah juga direkomendasikan pada kasus pneumonia yang berat dan pada bayi usia kurang dari 3 bulan. Pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR) bermanfaat untuk diagnosis Streptococcus pneumoniae dan infeksi karena mikoplasma. Pemeriksaan PCR mahal, tidak tersedia secara luas serta tidak banyak berpengaruh terhadap penanganan awal pneumonia sehingga pemeriksaan ini tidak direkomendasikan (Lakhanpaul, 2004). Bila fasilitas memungkinkan, pemeriksaan analisis gas darah menunjukkan keadaan hipoksemia.

34

Tata Laksana Pencegahan : a. Pencegahan Primer

Pencegahan primer bertujuan untuk menghilangkan faktor risiko terhadap kejadian pneumonia. Upaya yang dapat dilakukan antara lain: Memberikan imunisasi campak pada usia 9 bulan dan imunisasi DPT (Diphteri, Pertusis, Tetanus) sebanyak 3 kali yaitu pada usia 2, 3, dan 4 bulan. Menjaga daya tahan tubuh anak dengan cara memberikan ASI pada bayi neonatal sampai berumur 2 tahun dan makanan yang bergizi pada balita.Di samping itu, zat-zat gizi yang dikonsumsi bayi dan anak-anak juga perlu mendapat perhatian. Mengurangi polusi lingkungan seperti polusi udara dalam ruangan dan polusi di luar ruangan. Mengurangi kepadatan hunian rumah. b. Pencegahan Sekunder Tingkat pencegahan kedua ini merupakan upaya manusia untuk mencegah orang yang telah sakit agar sembuh, menghambat progresifitas penyakit, menghindari komplikasi, dan mengurangi ketidakmampuan. Pencegahan sekunder meliputi diagnosis dini dan pengobatan yang tepat sehingga dapat mencegah meluasnya penyakit dan terjadinya komplikasi. Upaya yang dapat dilakukan antara lain: Pneumonia berat : dirawat di rumah sakit, diberikan antibiotik parenteral dan penambahan oksigen. Pneumonia : diberikan antibiotik kotrimoksasol oral, ampisilin atau amoksilin. Bukan Pneumonia : perawatan di rumah saja. Tidak diberikan terapi antibiotik. Bila demam tinggi diberikan parasetamol. Bersihkan hidung pada anak yang mengalami pilek dengan menggunakan lintingan kapas yang diolesi air garam. Jika anak

35

mengalami nyeri tenggorokan, beri penisilin dan dipantau selama 10 hari ke depan. c. Pencegahan Tertier Tujuan utama dari pencegahan tertier adalah mencegah agar tidak munculnya penyakit lain atau kondisi lain yang akan memperburuk kondisi balita, mengurangi Pada pencegahan tingkat kematian serta usaha rehabilitasinya. ini dilakukan upaya untuk mencegah

proses penyakit lebih lanjut seperti perawatan dan pengobatan. Upaya yang dilakukan dapat berupa: Melakukan perawatan yang ekstra pada balita di rumah, beri antibiotik selama 5 hari, anjurkan ibu untuk tetap kontrol bila keadaan anak memburuk. Bila anak bertambah parah, maka segera bawa ke sarana kesehatan terdekat agar penyakit tidak bertambah berat dan tidak menimbulkan kematian. Idealnya, tata laksana pneumonia sesuai dengan penyebabnya. Namun karena berbagai kendala diagnostic etiologi, untuk semua pasien pneumonia diberikan antibiotika secara empiris. Golongan beta laktam biasanya digunakan untuk terapi pneumonia yang disebabkan oleh bakteri seperti Streptococcus pneumoniae, Haemophillus influenza, dan Staphylococcus aureus. Pada kasus yang berat digunakan golongan sefalosporin sebagai pilihan, terutama bila penyebabnya belum diketahui. Sedangkan pada kasus yang ringan sedang, dipilih golongan penisilin. Streptokokus dan pneumokkus merupakan kuman gram positif yang dapat dicakup oleh ampisilin, sedangkan hemofilus sebagai kuman gram negative dapat dicakup oleh ampisilin dan kloramfenikol. Dengan demikian keduanya dapat dipakai sebagai antibiotika lini pertama untuk kasus pneumonia anak tanpa komplikasi. Pada pasien pneumonia yang community acquired , umumnya ampisilin dan kloramfenikol masih sensitive. Pilihan berikutnya adalah obat golongan sefalosporin.

36

Penanganan pneumonia pada neonates serupa dengan penanganan infeksi neonates pada umumnya. Antibiotika yang diberikan harus dapat mencakup kuman kokus gram positif terutama Streptococcus group B dan batang gram negative. Penisilin dan derivatnya merupakan pilihan utama untuk gram positif sedangkan untuk kuman gram positif sedangkan untuk kuman gram negative terutama E.coli dan Proteus mirabilis digunakan golongan aminoglikosida. Kombinasi kloksasin dan gentamisin efektif untuk terapi pneumonia di bawah 3 bulan karena dapat mencakup kuman Staphylococcus aureus. Umur kehamilan, berat badan lahir dan umur bayi akan menentukan dosis dan frekuensi pengobatan khususnya untuk pemberian aminoglikosida. Sefalosporin generasi 3 dapat digunakan jika ada kecurigaan

BAB IV 37

ANALISIS KASUS Pasien adalah seorang bayi perempuan An. KS berusia 3,5 bulan yang didignosis dengan pneumonia, penyakit jantung bawaan ASD II (Atrial Septal Defect), VSD (Ventricular Septal Defect), PS (Pulmonal Stenosis) relatif, dan gizi buruk. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang relevan. Pasien datang dengan keluhan sesak nafas. Sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit, pasien sesak nafas, batuk grok-grok, pilek, panas sumer-sumer, muntah (-), diare (-), pasien masih mau makan dan minum. Kemudian oleh keluarga pasien dibawa ke puskesmas dan diberi obat, tetapi keluhan belum berkurang. Pasien dibawa kembali ke puskesmas, tetapi keluhan juga belum berkurang dan akhirnya dirujuk ke RSDM. Saat datang di IGD RSDM, pasien tampak lemah, sesak (+), demam (+), batuk (+) grok-grok. BAK terakhir 1 jam sebelum masuk rumah sakit. BAB 2-3 kali/hari, warna kuning, lendir (-). Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya pasien tampak lemah, demam, takipneu, napas cuping hidung, retraksi subcostal dan ronkhi basah kasar (+). Adanya trias pneumonia pada pasien ini yaitu demam, takipneu, dan retraksi ditambah dengan keadaan umum pasien yang letargis dan adanya keluhan batuk pilek yang tak kunjung sembuh selama 2 minggu lamanya mengarahkan diagnosis pasien yaitu pneumonia. Pasien An. KS sebenanrnya merupakan pasien yang rutin datang ke poli kardiologi anak karena memiliki penyakit jantung bawaan berupa ASD II, VSD, dan PS relatif. Hal tersebut ditegakkan dari anamnesis, hasil pemeriksaa fisik dan hasil ekokardiografi pada saat anak diopname di HCU neonatus. Ibu pasien mengatakan bahwa anaknya tidak pernah tampak biru. Dari pemeriksaan fisik didapatkan bising sistolik grade IV/6, PM di SIC II-III LPSS. Pasien dikategorikan dalam Ross I karena tidak ada pembatasan aktivitas fisik, aktivitas biasa tidak menyebabkan sesak nafas, pasien masih mau minum seperti biasa. Penyakit jantung bawaan secara garis besar dibagi menjadi penyakit jantung bawaan non sianotik (antara lain defek septum atrium, defek septum

38

ventrikel, defek septum atrioventrikularis, PDA, stenosis pulmonal, stenosis aorta, dan koarktasio aorta) dan penyakit jantung bawaan sianotik (tetralogi Fallot, atresia pulmonal dengan/tanpa defek septum ventrikel, atresia tricuspid, trunkus arteriosus, dan anomaly Ebstein). Penyakit jantung bawaan dapat mengakibatkan gagal jantung dengan manifestasi klinis berupa sesak nafas, biasanya ditandai dengan peningkatan frekuensi nafas dan denyut jantung, retraksi pada dinding dada, nafas cuping hidung, dan batuk. Sistem skor Ross digunakan untuk mengklasifikasikan gagal jantung secara klinis pada bayi.

Dalam kasus ini ada kaitan antara adanya penyakit jantung bawaan yang diderita dengan timbulnya pneumonia dan gizi buruk pada pasien. Pasien dengan penyakit jantung dengan pirau kiri ke kanan seringkali mendapat infeksi saluran

39

napas, dan bila terkena lebih lama sembuh dibanding pada anak normal. Perubahan dalam sirkulasi paru menyebabkan perubahan sistem pernapasan disertai penurunan kekebalan seluler setempat yang memudahkan pasien terserang infeksi saluran pernapasan. Infeksi saluran nafas yang berulang ini dapat berlanjut menjadi pneumonia yang kadang sangat sulit dibedakan dengan gagal jantung. Infeksi saluran napas sering terjadi pada bayi usia kurang dari satu tahun. Belum sempurnanya sistem imunitas bayi, refleks batuk yang belum baik, dan adanya malnutrisi atau gizi yang buruk juga turut memperparah derajat infeksi yang diderita. Lingkaran antara infeksi dan malnutrisi jelas berdampak negatif pada pertumbuhan anak dengan PJB. Pasien PJB yang mengalami infeksi akut misalnya infeksi saluran pernapasan akan menyebabkan anoreksia, malabsorbsi dan gangguan metabolisme. Anoreksia dan sesak napas dapat menyebabkan problem makan pada anak-anak. Pada anak tidak cukupnya konsumsi makanan akan menyebabkan turunnya berat badan, pertumbuhan terhambat, menurunnya imunitas dan kerusakan mukosa. Kelainan jantung bawaan yang disertai adanya peningkatan aliran darah ke paru seperti pada kasus ini, seringkali menyebabkan gangguan pertumbuhan fisis. Pada umumnya kurangnya tinggi atau panjang badan pasien tidak terlalu nyata apabila dibandingkan dengan kurangnya berat badan. Adanya pirau dari kiri ke kanan menyebabkan aliran darah ke paru yang meningkat dan menurunnya aliran darah ke seluruh tubuh. Hal tersebut menyebabkan pasokan nutrisi ke seluruh tubuh menjadi berkurang dan dapat berakibat adanya keluhan berat badan yang sulit naik seperti pada pasien ini. Secara umum, dapat dikatakan bahwa pada penyakit jantung dengan pirau dari kiri ke kanan, berat badan yang makin menyimpang dari nilai normal merupakan petunjuk bahwa kompensasi tidak dapat dicapai sepenuhnya sehingga diperlukan terapi yang lebih intensif. Selain penyakit jantung bawaan dan penumonia, pasien ini juga menderita gizi buruk. Status gizi ditentukan berdasarkan kondisi klinis pasien dan dari status antropometri. Status gizi pasien berdasarkan kondisi klinis menunjukkan gizi kesan kurang, namun bila dicocokkan menggunakan chart WHO, pasien termasuk

40

dalam kategori gizi buruk. Pasien didiagnosis dengan gizi buruk tipe marasmik dan mendapatkan tata laksana gizi buruk. Gizi buruk pada pasien ini juga dapat berakibat pada menurunnya imunitas pasien. Pasien menjadi rentan terhadap serangan berbagai penyakit termasuk dalam kasus ini adalah infeksi pernapasan. Defisiensi zat gizi ini apabila tidak ditangani dengan tepat dapat memperburuk keadaan pasien.

DAFTAR PUSTAKA Burdan F., Szumilo J., Dudka J., Korobowicz A. and Klepacz R. 2006. Congenital Ventricular Septal Defects And Prenatal Exposure To Cyclooxygenase Inhibitors. Braz J Med Biol Res. Vol.39, no. 7.

41

Chandrasoma dan Taylor. 2006. Ringkasan Patologi Anatomi. Ed: ke-2.Jakarta : EGC. Cheng T.O., Xie M.X., Wang X.F., Wang Y., Lung Q. 2005. Real time 3dimensional echocardiography in assessing atrial and ventricular septal defects: an echocardiographic surgical correlative study. Am Heart J. Vol. 149(2),pp: 208. Dardas P., Vlasis N., Ninios, Nikolaos E., Mezilis, Vasilis D. 2010. Percutaneous Closure of Atrial Septal Defects: Immediate and Mid-Term Results. Hellenic J Cardiol. Vol. 51, pp: 104-112. Djer M.M. dan Madiyono B. 2000. Tatalaksana Penyakit Jantung Bawaan. Sari Pediatri, Vol. 2, No.3, pp: 155-162. Forrester M. and Merz R. 2004. Descriptive epidemiology of selected congenital heart defect, Hawaii, 1986-1999. Paediatric and Perinatal Epidemiology. Vol. 18, pp: 415-424. Fyler, D. 1996. Kardiologi Anak Nadas. Yogyakarta : Gajah Mada University Press. Gittens M.M. 2002. Pediatric Pneumonia. Clin Ped Emerg Med. Vol. 3(3), pp: 200-214. Hanslick A., Pospisil U., Muhar U.S., Platzer S.G., Male C. 2006. Predictors of spontaneous closure of isolated secundum atrial septal defect in children: a longitudinal study. Pediatrics. Vol. 118, pp: 1560-1565. Huang C., LiangLee C., Hsieh S. 2004.Transcatheter Closure of AtrialSeptal Defects with the Amplatzer Septal Occluder Clinical Results. Acta Cardiol Sin. Vol. 20, pp: 223-228. Lakhanpaul M., Atkitson M., Stephenson T. 2004. Community Acquired Pneumonia in Children: a Clinical Update. Arch Dis Child Ed Pract. Vol. 89, pp: 29-34. Mansjoer et al. 2000. Kapita selekta kedokteran Edisi 3 jilid 2. Media Aesculapius. Jakarta. Markham L. 2012. Atrial Septal Defect. http://emedicine.medscape.com/article/162914-overview#a0102 (Diunduh tanggal 21 Juni 2012). Mone S., Gillman M., Miller T., Herman E., Lipshultz S. 2004. Effects of environmental exposures on the cardiovascular system: prenatal period through adolescence. Pediatrics. Vol. 113, No. 4.

42

Morales, D.L. and Fraser, C.D. 2006. Ventricular Septal Defects. Congenital Cardiac Surgery TechBooks Chapters: CH-57, page: 1077-1089. Purwaningtyas, N. 2008. Klasifikasi Klinis Penyakit Jantung Anak Kongenital. Dalam: Cardiology After Mid. Surakarta : Filamen 05. Sastroasmoro S., dan Madiyono B. 1994. Buku Ajar Kardiologi Anak. Jakarta : IDAI. Saxena A., Divekar A., Soni N.R. 2005. Natural history of secundum atrial septal defect revisited in the era of transcatheter closure. Indian Heart J. Vol.57, pp: 35-38. Sectish T.C., Prober T.C. 2003. Pneumonia. Dalam: Behrman R.E., Kleigman R.M., Jenson H.B., penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke17. Philadelpia: WB Saunders, pp: 1432-1435. Wahab A. S. 2009. Kardiologi Anak Penyakit Jantung Kongenital yang Tidak Sianotik. Jakarta : EGC. Webb G.D., Smallhorn J.F., Therrien J., Redington A.N.. 2011. Congenital heart disease. In: Bonow RO, Mann DL, Zipes DP, Libby P, eds. Braunwald's Heart Disease: A Textbook of Cardiovascular Medicine. 9th ed. Philadelphia, Pa: Saunders Elsevier: chap 65.

43