Pendarahan Masif Pada Sectio Cesarea Dengan Atonia Uteri
Embed Size (px)
Transcript of Pendarahan Masif Pada Sectio Cesarea Dengan Atonia Uteri

Pendarahan Masif Pada Sectio Cesarea
Dengan Atonia Uteri
dr. Ida Bagus Gde Sujana,SpAn,MSi
DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
FK UNUD/RSUP SANGLAH DENPASAR
2018

DAFTAR ISI
COVER .................................................................................................................. i
DAFTAR ISI ......................................................................................................... ii
BAB I Pendahuluan ......................................................................................... 1
BAB II Tinjauan Pustaka .................................................................................. 3
2.1 Definisi .......................................................................................... 3
2.2 Epidemiologi .................................................................................. 4
2.3 Etiologi .......................................................................................... 5
2.4 Patofisiologi .................................................................................... 5
2.5 Penyebab Pendarahan ..................................................................... 7
2.6 Manifestasi Klinis ........................................................................... 8
2.6 Diagnosis ........................................................................................ 8
2.8 Penatalaksanaan ............................................................................. 9
2.9 Managemen Anestesi ...................................................................... 12
2.9 Pendarahan massif dan Tranfusi masif ........................................... 12
BAB III Laporan Kasus ...................................................................................... 23
3.1 Identitas Pasien .............................................................................. 23
3.2 Anamnesis ..................................................................................... 23
3.3 Pemeriksaan Fisik .......................................................................... 24
3.4 Pemeriksaan Penunjang ................................................................. 25
3.5 Managemen Anestesi...................................................................... 26
3.6 Folow up di ICU ............................................................................. 29
BAB IV Pembahasan .......................................................................................... 34
BAB V Simpulan ............................................................................................... 37
DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I
PENDAHULUAN
Perdarahan obstetrik adalah penyebab paling umum kematian ibu di seluruh dunia,
dimana perdarahan postpartum adalah salah satu penyebabnya, pendarahan postpartum adalah
perdarahan atau hilangnya darah sebanyak lebih dari 500cc yang terjadi setelah anak lahir
baik sebelum, selama, atau sesudah kelahiran plasenta. Menurut waktu kejadiannya,
perdarahan postpartum sendiri dapat dibagi atas perdarahan postpartum primer yang terjadi
dalam 24 jam setelah bayi lahir, dan perdarahan postpartum sekunder yang terjadi lebih dari
24 jam sampai dengan 6 minggu setelah kelahiran bayi. Kematian ibu hamil dapat
diklasifikasikan menurut penyebab mediknya sebagai obstetric “langsung” dan “tidak
langsung”. Menurut laporan WHO (2008) bahwa kematian ibu di dunia disebabkan oleh
perdarahan sebesar 25%, penyebab tidak langsung 20%, infeksi 15%, aborsi yang tidak aman
13%, eklampsia 12%, penyulit persalinan 8% dan penyebab lain 7% Atonia uteri
menjadi penyebab lebih dari 90% perdarahan pasca persalinan. Lebih dari separuh jumlah
seluruh kematian ibu terjadi dalam waktu 24 jam setelah melahirkan, sebagian besar karena
terlalu banyak mengeluarkan darah. Walaupun seorang perempuan dapat bertahan hidup
setelah mengalami perdarahan setelah persalinan, namun akan menderita anemia berat.
Insidensi perdarahan postpartum pada 3etabo maju sekitar 5% dari persalinan, sedangkan
pada Negara berkembang 3eta mencapai 28% dari persalinan dan menjadi masalah utama
dalam kematian ibu. Penyebabnya 90% dari atonia uteri, 7% robekan jalin lahir, sisanya
dikarenakan retensio plasenta dan gangguan pembekuan darah. Di Indonesia diperkirakan ada
14 juta kasus perdarahan dalam kehamilan. Setiap tahunnya paling sedikit 128.000
perempuan mengalami perdarahan sampai meninggal. Perdarahan pasca persalinan terutama
perdarahan postpartum primer merupakan perdarahan yang paling banyak menyebabkan
kematian ibu. Perdarahan postpartum primer yaitu perdarahan pasca persalinan yang terjadi
dalam 24 jam pertama kelahiran. Menurut WHO, Negara yang berkembang memiliki angka
kematian ibu 25% kematian ibu itu disebabkan oleh Perdarahan Post Partum. Terhitung lebih
dari 100.000 kematian maternal pertahun. Menurut bulletin “American Collage of
Obstetrician and Gynecologists” menempatkan perkiraan 140.000 kematian ibu pertahun

4
Pada pasien dengan pendarahan 4etabo harus di tanggani secara cepat dan tepat untuk
mencegah komplikasi bahkan kematian. Pada pendarahan 4etabo mungkin dapat
dipertimbangkan untuk “ Transfusi Masif Protokol “.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. Definisi
Perdarahan pasca persalinan adalah perdarahan yang terjadi sesudah sesaat
proses persalinan berlangsung dengan volume perdarahan melebihi dari 500 ml.
Kondisi dalam persalinan menyebabkan kesulitan untuk menentukan volume
perdarahan yang terjadi karena tercampur dengan air ketuban, dan serapan pakaian
atau kain alas tidur. Oleh sebab itu operasional untuk periode pasca persalinan
adalah setelah bayi lahir. Sedangkan tentang jumlah perdarahan, disebutkan sebagai
perdarahan yang lebih dari normal dimana dapat menyebabkan perubahan tanda
vital, seperti; pasien mengeluh lemah, berkeringat dingin, menggigil, hiperpnea,
sistolik <90 mmHg, nadi >100 x/menit, dan kadar Hb <8 g%.1,2
Perdarahan pasca persalinan adalah perdarahan yang terjadi setelah bayi
lahir yang melewati batas fisiologis normal. Pada umumnya seorang ibu melahirkan
akan mengeluarkan darah secara fisiologis sampai jumlah 500 ml tanpa
menyebabkan gangguan homeostasis. Dengan demikian secara konvensional
dikatakan bahwa perdarahan yang melebihi 500 ml dapat dikategorikan sebagai
perdarahan pasca persalinan dan perdarahan yang secara kasat mata mencapai 1000
ml harus segera ditangani secara serius.1,2
Definisi baru mengatakan bahwa setiap perdarahan yang dapat
mengganggu homeostasis tubuh atau mengakibatkan tanda 5etabolism5 termasuk
dalam kategori perdarahan pasca persalinan. Perdarahan sebanyak lebih dari 1/3
volume darah atau 1000 ml harus segera mendapatkan penanganan. Perdarahan
pasca persalinan dapat terjadi segera setelah janin lahir, selama pelepasan plasenta
atau setelah plasenta lahir.1,2
Perdarahan 5etabolis dapat terjadi setiap saat, baik selama kehamilan,
persalinan, maupun masa nifas. Oleh karena itu, setiap perdarahan yang terjadi

6
dalam masa kehamilan, persalinan dan nifas harus dianggap sebagai suatu keadaan
akut dan serius, karena dapat membahayakan ibu dan janin.1,2
Berdasarkan waktu kejadiannya perdarahan pasca persalinan dibagi dua
bagian, yaitu 1,2:
1. Perdarahan pasca persalinan dini (Early Post Partum haemorrhage, atau
Perdarahan Pasca persalinan Primer, atau perdarahan pasca persalinan segera).
Perdarahan pasca persalinan primer terjadi dalam 24 jam pertama. Penyebab utama
perdarahan pasca persalinan primer adalah atonia uteri, retensio plasenta, robekan
jalan lahir.
2. Perdarahan masa nifas (PPH kasep atau Perdarahan Persalinan Sekunder atau
perdarahan pasca persalinan lambat, atau Late PPH). Perdarahan pasca persalinan
sekunder terjadi setelah 24 jam pertama. Perdarahan pasca persalinan sekunder
sering diakibatkan oleh infeksi, penyusutan 6etab yang tidak baik, atau sisa plasenta
yang tertinggal.
Faktor-faktor risiko yang dapat menyebabkan terjadinya perdarahan
pasca persalinan adalah grandemultipara, jarak persalinan pendek kurang dari 2
tahun, dan persalinan yang dilakukan dengan tindakan yakni; pertolongan kala uri
sebelum waktunya, pertolongan persalinan oleh dukun, persalinan dengan tindakan
paksa dan persalinan dengan narkosa atau persalinan yang dilakukan dengan
menggunakan anastesi yang terlalu dalam.
Sebagian besar kehilangan darah terjadi akibat arteriol spiral 6etabolism dan vena
desidua yang sebelumnya dipasok dan didrainase ruang intervilus plasenta. Karena
kontraksi pada 6etab yang sebagian kosong menyebabkan pemisahan plasenta,
terjadilah perdarahan dan berlanjut hingga otot 6etab berkontraksi di sekitar pembuluh
darah dan bekerja sebagai pengikat fisiologi-anatomi. Kegagalan kontraksi 6etab
setelah pemisahan plasenta (atonia uteri) mengakibatkan perdarahan yang terlalu
banyak di tempat plasenta .

7
III. Epidemiologi
Di Amerika Serikat, pendarahan Menyumbang 12,5% kematian terkait
kehamilan (1,8 Kematian terkait kehamilan akibat perdarahan per 100.000 Kelahiran
hidup) . Data dari Inggris menunjukkan Kematian akibat perdarahan peripartum terjadi
pada 0,39 per 100.000 persalinan. Perdarahan adalah yang paling umum penyebab
masuknya pasien obstetrik ke ruang perawatan intensif dan merupakan faktor risiko
iskemia miokard dan Infark dan stroke.
Bukti menunjukkan tingkat perdarahan dan morbiditas berat karena perdarahan
meningkat di amerika serikat dan 7etabo berkembang lainnya, terutama penyebab
peningkatan pendarahan postpartum, bukan antepartum, Perdarahan postpartum terjadi
berhubungan dengan Antonia uteri. Komplikasi Antonia uteri kira-kira, 4% dari
kehamilan,mengakibatkan kejadian kematian pada ibu sebesar 0,9% dan 17% sampai
26% kejadian kematian perinatal.2
IV. Etiologi
Overdistensi uterus merupakan 7etabo resiko yang paling sering mengakibatkan
terjadinya atonia uteri. Overdistensi uterus dapat disebabkan oleh kehamilan ganda,
janin makrosomia, polihidramnion, abnormalitas janin, kelainan struktur uterus, atau
distensi akibat akumulasi darah di uterus baik sebelum mapun sesudah plasenta lahir.
Pada kala III yang salah, dengan memijat-mijat dan mendorong uterus. Lemahnya
kontraksi 7etabolism merupakan akibat dari kelelahan karena persalinan lama atau
persalinan yang memerlukan tenaga yang banyak, umur yang terlalu muda dan terlalu
tua, terutama apabila diberikan stimulasi pada ibu. Selain itu pengaruh obat-obatan
yang dapat mengakibatkan inhibisi kontraksi seperti : Anastesi yang terhalogenisasi,
nitrat, obat-obatan anti inflamasi nonsteroid, magnesium sufat dan nipedipin.1,9
Ibu dengan keadaan umum yang buruk, anemis, atau menderita penyakit yang
menahun. Penyebab lain yaitu: plasenta letak rendah, partus lama (terlantar) toksin
bakteri (korioamnionitis, endometritis, 7etabolism), hipoksia akibat hipoperfusi atau
uterus couvelaire pada 7etabolis plasenta.1

8
V. Patofisiologi Perdarahan Pasca Persalinan
Pada dasarnya perdarahan terjadi karena pembuluh darah didalam uterus
masih terbuka. Pelepasan plasenta memutuskan pembuluh darah dalam stratum
spongiosum sehingga sinus-sinus maternalis ditempat insersinya plasenta terbuka.
Pada waktu uterus berkontraksi, pembuluh darah yang terbuka tersebut akan
menutup, kemudian pembuluh darah tersumbat oleh bekuan darah sehingga
perdarahan akan terhenti. Adanya gangguan retraksi dan kontraksi otot uterus, akan
menghambat penutupan pembuluh darah dan menyebabkan perdarahan yang
banyak. Keadaan demikian menjadi 8etabo utama penyebab perdarahan pasca
persalinan.
Perlukaan yang luas akan menambah perdarahan seperti robekan servix, vagina dan
perineum.1,2,3
Diagnosis yang dapat ditegakkan terhadap perdarahan pasca persalinan
ditandai dengan :
a. Perdarahan banyak yang terus-menerus setelah bayi lahir.
b. Pada perdarahan melebihi 20% volume total, timbul gejala penurunan
tekanan darah, nadi, dan napas cepat, pucat, ekstremitas dingin sampai
terjadi syok.
c. Perdarahan sebelum plasenta lahir biasanya disebabkan retensio plasenta
atau laserasi jalan lahir.
d. Perdarahan setelah plasenta lahir. Perlu dibedakan sebabnya 8etabo atonia
uteri, sisa plasenta, atau trauma jalan lahir.
e. Riwayat partus lama, partus presipitatus, perdarahan antepartum atau penyebab
lain.
Perdarahan pasca persalinan juga dapat disertai dengan komplikasi
disamping dapat menyebabkan kematian. Perdarahan pasca persalinan memperbesar
kemungkinan infeksi puerperal karena daya tahan tubuh penderita berkurang.
Perdarahan banyak, kelak 8eta menyebabkan sindrom Sheehan sebagai akibat
nekrosis pada hipofisis pars anterior sehingga terjadi insufisiensi bagian tersebut.

9
Gejala-gejalanya adalah 9etaboli, hipotensi, anemia, turunnya berat badan sampai
menimbulkan kakeksia, penurunan fungsi seksual dengan atrofi alat-alat genital,
kehilangan rambut pubis dan ketiak, penurunan 9etabolism dengan hipotensi,
amenorea, dan kehilangan fungsi laktasi.2,3
V. Penyebab Perdarahan Pasca Persalinan
Penyebab terjadinya perdarahan pasca persalinan adalah
• Atonia Uteri
Atonia uteri adalah suatu kondisi dimana myometrium tidak dapat
berkontraksi dan bila ini terjadi maka darah yang keluar dari bekas tempat
melekatnya plasenta menjadi tidak terkendali. Pada kehamilan cukup bulan aliran
darah ke uterus sebanyak 500-800 cc/menit. Jika uterus tidak berkontraksi dengan
segera setelah kelahiran plasenta, maka ibu dapat mengalami perdarahan sekitar
350-500 cc/menit dari bekas tempat melekatnya plasenta. Bila uterus berkontraksi
maka miometrium akan menjepit anyaman pembuluh darah yang berjalan diantara
serabut otot tadi
Beberapa faktor predisposisi yang terkait dengan perdarahan pasca persalinan
yang disebabkan oleh atonia uteri adalah;
a) uterus membesar lebih dari normal selama kehamilan.
b) Kala I atau II yang memanjang.
c) Persalinan cepat (partus presipitatus).
d) Persalinan yang diinduksi atau dipercepat dengan oksitosin (augmentasi).
e) Infeksi intrapartum.
f) Multiparitas tinggi.
g) Magnesium sulfat digunakan untuk mengendalikan kejang pada pre-
eklampsia/eklampsia
Seorang ibu dapat meninggal karena perdarahan pasca persalinan dalam
waktu kurang dari 1 jam. Atonia uteri menjadi penyebab lebih dari 90%

10
perdarahan pasca persalinan yang terjadi dalam 24 jam setelah kelahiran bayi .
Atonia uteri dapat terjadi sebagai akibat dari terjadinya ;
a) Partus lama.
b) Pembesaran uterus yang berlebihan pada waktu hamil; seperti pada
kehamilan kembar, hidramnion atau janin besar.
c) Multiparitas.
d) Anestesi yang dalam.
e) Anestesi lumbal.
Atonia uteri juga dapat terjadi karena salah dalam penanganan kala III persalinan,
dengan cara memijat uterus dan mendorongnya ke bawah dalam usaha melahirkan plasenta,
sedang sebenarnya belum terlepas dari uterus.2,3,9
VI. Manifestasi Klinis
1. Uterus tidak berkontraksi dan lembek
2. Perdarahan segera setelah anak lahir (post partum primer)
Tanda dan gejala atonia uteri yaitu 2,3 :
1. perdarahan pervaginam
Perdarahan yang sangat banyak dan darah tidak merembes. Peristiwa sering terjadi
pada kondisi ini adalah darah keluar disertai gumpalan disebabkan tromboplastin
sudah tidak mampu lagi sebagai anti pembeku darah
2. konsistensi rahim lunak
Gejala ini merupakan gejala terpenting/khas atonia dan yang membedakan atonia
dengan penyebab perdarahan yang lainnya
3. fundus uteri naik
4. terdapat tanda-tanda syok yaitu :
a. nadi cepat dan lemah (110 kali/ menit atau lebih)

11
b. tekanan darah sangat rendah : tekanan sistolik < 90 mmHg
c. pucat
d. keriangat/ kulit terasa dingin dan lembap
e. pernafasan cepat frekuensi30 kali/ menit atau lebih
f. gelisah, binggung atau kehilangan kesadaran
g. urine yang sedikit ( < 30 cc/ jam)
VII. Diagnosis
Perdarahan pasca persalinan ditandai juga dengan timbulnya perdarahan
banyak dalam waktu pendek. Tetapi bila perdarahan sedikit dalam waktu lama, tanpa
disadari penderita telah kehilangan banyak darah sebelum tampak pucat. Nadi serta
pernapasan menjadi lebih cepat dan tekanan darah menurun. Seorang wanita hamil yang
sehat dapat kehilangan darah sebanyak 10% dari volume total tanpa mengalami gejala-
gejala klinik, gejala tersebut baru tampak pada kehilangan darah 20%. Jika perdarahan
berlangsung terus, dapat timbul syok.1,2
Diagnosis perdarahan pasca persalinan dipermudah apabila pada tiap-tiap
persalinan - setelah anak lahir, secara rutin diukur pengeluaran darah dalam kala III dan
1 jam sesudahnya.
Apabila terjadi perdarahan pasca persalinan dan plasenta belum lahir, perlu
diusahakan untuk melahirkan plasenta dengan segera. Jikalau plasenta sudah lahir, perlu
dibedakan antara perdarahan akibat atonia uteri atau perdarahan akibat perlukaan jalan
lahir. Pada perdarahan karena atonia, uterus membesar dan lembek pada palpasi,
sedangkan pada perdarahan akibat perlukaan, uterus berkontraksi dengan baik. Dalam
hal uterus berkontraksi dengan baik perlu diperiksa lebih lanjut tentang adanya dan
dimana letaknya perlukaan dalam jalan lahir.2,8
Pada persalinan di rumah sakit, dengan fasilitas yang baik untuk melakukan
transfusi darah, seharusnya kematian karena perdarahan pasca persalinan dapat dicegah.

12
Tetapi kematian tidak selalu dapat dihindarkan, terutama apabila penderita masuk
rumah sakit dalam keadaan syok karena sudah kehilangan darah banyak. Perdarahan
pasca persalinan merupakan sebab utama kematian dalam persalinan.1,2,3
VIII. Penanganan Atonia Uteri
Anemia dalam kehamilan harus diobati karena perdarahan dalam batas-batas
normal dapat membahayakan penderita yang sudah menderita anemia. Apabila
sebelumnya penderita sudah pernah mengalami perdarahan pasca persalinan,
persalinan harus berlangsung di rumah sakit. Kadar fibrinogen perlu diperiksa pada
perdarahan banyak, kematian janin dalam uterus dan solusio plasenta.
Langkah berikutnya dalam upaya mencegah atonia uteri ialah melakukan
penanganan kala tiga secara aktif, yaitu 1,2,3;
1) Menyuntikan Oksitosin; sebelum menyuntikkan oksitosin lakukakan
terlebih dahulu pemeriksaan fundus uteri untuk memastikan kehamilan tunggal.
Selanjutnya suntikkan oksitosin 10 IU secara intramuskuler pada bagian luar paha
kanan 1/3 atas setelah melakukan aspirasi terlebih dahulu.
2) Peregangan Tali Pusat Terkendali; peregangan tali pusat ini dilakukan
dengan memindahkan klem pada tali pusat hingga berjarak 5-10 cm dari vulva atau
menggulung tali pusat. Meletakan tangan kiri di atas simpisis menahan bagian
bawah uterus, sementara tangan kanan memegang tali pusat menggunakan klem
atau kain kasa dengan jarak 5-10 cm dari vulva. Saat uterus kontraksi, menegangkan
tali pusat dengan tangan kanan sementara tangan kiri menekan uterus dengan hati-
hati ke arah dorso-kranial.
Tindakan selanjutnya yang dapat dilakukan adalah dengan mengeluarkan
plasenta; jika dengan penegangan tali pusat terkendali, tali pusat terlihat bertambah
panjang dan terasa adanya pelepasan plasenta, minta ibu untuk meneran sedikit
sementara tangan kanan menarik tali pusat ke arah bawah kemudian ke atas sesuai
dengan kurve jalan lahir hingga plasenta tampak pada vulva.

13
Bila tali pusat bertambah panjang tetapi plasenta belum lahir, pindahkan kembali
klem hingga berjarak ± 5-10 cm dari vulva. Bila plasenta belum lepas setelah
mencoba langkah tersebut selama 15 menit, suntikkan ulang 10 IU Oksitosin
intramuskuler. kemudian periksa kandung kemih dan lakukan kateterisasi bila
penuh, tunggu 15 menit, bila belum lahir lakukan tindakan plasenta manual.
Setelah plasenta tampak pada vulva, teruskan melahirkan plasenta dengan hati-hati.
Bila terasa ada tahanan, penegangan plasenta dan selaput secara perlahan dan sabar
untuk mencegah robeknya selaput ketuban.
3) Masase Uterus; segera setelah plasenta lahir, melakukan masase pada
fundus uteri dengan menggosok fundus secara sirkuler menggunakan bagian palmar
4 jari tangan kiri hingga kontraksi uterus baik (fundus teraba keras).
Kemudian dilakukan pemeriksaan kemungkinan adanya perdarahan pasca
persalinan; kelengkapan plasenta dan ketuban; kontraksi uterus dan perlukaan jalan
lahir.
Atonia uteri terjadi jika uterus tidak berkontraksi dalam 15 detik setelah
dilakukan taktil (masase) fundus uteri, maka sebaiknya segera lakukan langkah-
langkah berikut :
a. Bersihkan bekuan darah dan/atau selaput ketuban dari vagina dan lubang
serviks yang dapat menghalangi uterus berkontraksi dengan baik.
b. Pastikan bahwa kandung kemih kosong. Jika penuh dan dapat dipalpasi,
lakukan katerisasi dengan menggunakan teknik aseptik sehingga uterus
berkontraksi secara baik.
c. Lakukan kompresi bimanual internal selama 5 menit untuk memberikan
tekanan langsung pada pembuluh darah dinding uterus dan juga merangsang
miometrium untuk berkontraksi, jika kompresi bimanual tidak berhasil
setelah 5 menit, maka diperlukan tindakan lain
d. Anjurkan keluarga untuk mulai membantu melakukan kompresi bimanual
eksternal.

14
e. Keluarkan tangan perlahan-lahan.
f. Berikan ergometrin 0,2 mg secara intramuskular (kontraindikasi hipertensi)
atau misoprostol 600-1000 mcg, sehingga dalam 5-7 menit kemudian uterus
akan berkontraksi.
g. Pasang infus menggunakan jarum ukuran 16 atau 18 dan berikan 500 cc
Ringer Laktat + 20 unit oksitosin. Habiskan 500 cc pertama secepat mungkin,
sehingga dapat membantu memulihkan volume cairan yang hilang selama
perdarahan dan merangsang kontraksi uterus.
h. Ulang kompresi bimanual internal agar uterus berkontraksi dengan baik.
i. Rujuk segera. Jika uterus tidak berkontraksi dalam waktu 1 sampai 2 menit,
hal ini menunjukkan bukan atonia sederhana, sehingga ibu membutuhkan
perawatan gawat darurat di fasilitas yang mampu melaksanakan tindakan
bedah dan transfusi darah.
j. Dampingi ibu ke tempat rujukan dan teruskan melakukan kompresi bimanual
internal.
k. Lanjutkan pemberian Ringer Laktat + 20 unit oksitosin dalam 500 cc larutan
dengan laju 500/jam hingga tiba di tempat rujukan atau hingga menghabiskan
1,5 L infus. Kemudian berikan 125 cc/ jam.
IX. Manajemen anestesi
Manajemen anestesi memerlukan perencanaan pra operasi yang teliti. Faktor
manajemen yang penting meliputi: optimalisasi hemoglobin, akses intravena yang
memadai, ketersediaan infus yang cepat, pemantauan hemodinamik (termasuk arteri vena
sentral dan perifer akses), ketersediaan produk darah yang cepat, stoking kompresi,
bantalan dan posisi untuk mencegah kompresi saraf, dan penghindaran dan pengobatan
hipotermia.9
Anestesi regional atau umum dapat digunakan tergantung pada kehilangan darah yang
diantisipasi dan banyaknya pendarahan dan durasi prosedur. Anestesi regional dapat
memberikan kontrol nyeri pascaoperasi yang lebih baik, mengurangi risiko aspirasi,

15
mengurangi perdarahan, memungkinkan ikatan ibu-bayi yang lebih baik, dan mengurangi
paparan janin terhadap obat-obatan. Kekurangan mencakup risiko ketidakstabilan
hemodinamik. Selain itu, pengelolaan jalan napas berpotensi secara simultan selama
operasi jelas merupakan situasi yang tidak diinginkan.9
Anestesi umum memungkinkan kontrol ventilasi lebih baik serta stabilitas
hemodinamik yang lebih baik jika terjadi perdarahan masif. Durasi histerektomi jauh
lebih lama daripada operasi caesar, yang menyebabkan kegelisahan pasien, dan
penarikkan sering menyebabkan rasa sakit, mual, dan muntah. Juga, viscera pelvis
hyperemic memerlukan pembedahan yang hati-hati dengan lapangan operasi yang tenang
dan relaksasi otot yang baik. Sebuah studi oleh Chestnut dkk menunjukkan bahwa
histerektomi sesar elektif bukanlah kontraindikasi terhadap anestesi epidural kontinyu.1
Pada atonia uteri biasanya banyak terjadi pendarahan dari pembuluh darah rahim,
sehingga penjepitan arteri rahim bisa mengendalikan perdarahan hebat. Namun, atonia
uteri yang disebabkan karena rahim tidak berkontraksi secara maksimal yang dapat
membuat risiko perdarahan hebat. Perdarahan semacam itu tidak dapat dikendalikan oleh
ligasi arteri rahim ataupun dilakuakn histerektomi. Ini, bersamaan dengan kebutuhan akan
pembedahan dan relaksasi otot yang berkepanjangan, membuat anestesi umum menjadi
pilihan yang lebih baik daripada anestesi regional.9
X. Pendarahan Masif dan Transfusi Masif
Pendarahan masif adalah kehilangan satu volume darah dalam periode 24 jam, normalnya
volume darah sekitar 7 % dari berat badan ideal pada dewasa dan 8-9 % pada anak-anak.
Defenisi alternatif lainnya adalah kehilangan 50 % volume darah dalam 3 jam atau rata-
rata kehilangan 150 ml/menit.6 Definisi tersebut menekankan pentingnya pengenalan dini
kehilangan darah dan kebutuhan utama untuk tindakan efektif untuk mencegah goncangan
dan konsekuensinya. Prioritas manajemen adalah:
• Restorasi volume darah untuk menjaga perfusi jaringan dan oksigenasi
• Mencapai hemostasis dengan:

16
✓ Mengobati setiap sumber perdarahan bedah
✓ Memperbaiki koagulopati dengan penggunaan terapi komponen darah secara
bijaksana
Hasil yang sukses memerlukan tindakan segera dan komunikasi yang baik antara
spesialisasi klinis, laboratorium diagnostik, staf bank darah dan pusat darah lokal.
Dukungan komponen darah memerlukan waktu untuk mengatur dan pusat darah bisa
sampai 2 jam dari rumah sakit. Konsultasi awal dengan bedah, anestesi dan hematologi
dianjurkan, dan pentingnya komunikasi dan koorperasi yang baik dalam situasi ini tidak
dapat terlalu ditekankan. Seorang anggota tim klinis harus dinominasikan untuk
bertindak sebagai koordinator yang bertanggung jawab atas keseluruhan organisasi,
penghubung, komunikasi dan dokumentasi. Ini adalah peran penting bagi anggota staf
klinis permanen yang ditunjuk.6
Resusitasi
Syok hipovolemik yang berkepanjangan mengakibatkan tingkat kematian yang tinggi
karena kegagalan organ dan koagulasi intravaskular diseminata. Restorasi volume
sirkulasi pada awalnya dicapai dengan infus kristaloid atau koloid yang cepat melalui
kanula perifer besar (14 Gauge atau lebih besar). Penggunaan albumin dan albumin non
koloid versus kristaloid untuk penggantian volume baru-baru ini menjadi bahan
perdebatan setelah dua meta-analisis kontroversial, dan penggunaan koloid tidak
disarankan dalam koleksi.6
Transfusi cepat dalam volume besar produk darah diperlukan pada pasien dengan syok
perdarahan yang dapat menyebabkan serangkaian komplikasi yang buruk. Baru-baru ini,
pengelolaan berbasis protokol dari pasien yang menggunakan protokol transfusi besar
telah menunjukkan hasil yang lebih baik.
Berbagai definisi transfusi darah masif (MBT) telah dipublikasikan dalam
literatur medis seperti:10
➢ Penggantian satu seluruh volume darah dalam waktu 24 jam
➢ Transfusi> 20 unit PRBCs dalam 24 jam

17
➢ Transfusi> 4 unit PRBCs dalam 1 jam saat kebutuhan sedang berjalan dapat
diperkirakan
➢ Penggantian 50% dari total volume darah (TBV) dalam 3 jam.
PRINSIP-PRINSIP MANAJEMEN TRANSFUSI DARAH MASIF
Pengelolaan kehilangan volume intravaskular :10
➢ Ini adalah komponen vital pengelolaan kehilangan darah. Secara fisiologis,
mekanisme kompensasi hemodinamik menjaga perfusi organ vital sampai sekitar 30%
kehilangan TBV, lebih dari itu ada risiko hipoperfusi kritis. Resusitasi yang tidak
adekuat pada tahap ini menyebabkan syok.
➢ Penting untuk diingat bahwa resusitasi yang terlalu tinggi yang menyebabkan tekanan
arteri dan vena tinggi mungkin mengganggu karena dapat menyingkirkan gumpalan-
gumpalan hemostatik dan menyebabkan lebih banyak perdarahan.
Kerugian komponen darah selama kehilangan darah masif paling baik dilakukan dengan
mengikuti protokol transfusi besar (mTP). Kehilangan darah ringan sampai sedang dapat
dikelola dengan infus kristaloid atau koloid saja. Namun, dengan meningkatnya
kehilangan darah, anemia dilusi dan koagulopati dilusi dapat terjadi. Selain itu, pengganti
plasma mungkin memiliki efek langsung pada sistem koagulasi terutama jika digunakan
dalam volume> 1,5 L. Dalam sebuah penelitian pada pasien bedah dengan faktor
koagulasi normal, tingkat kritis hemostatik dari platelet (50 × 103 / mm3), fibrinogen (1,0
g / L) dan faktor koagulasi II, V dan VII masing-masing mencapai kehilangan darah>
200%, 150% dan 200%. Oleh karena itu, Umumnya dianjurkan agar penggantian
komponen darah dipandu oleh tes laboratorium.10
Namun dalam situasi kehilangan darah besar, pendekatan uji coba berbasis laboratorium
untuk penggantian faktor pembekuan dapat menyebabkan keterlambatan dalam
pengenalan. Hal ini dapat menyebabkan perdarahan yang dahsyat. Oleh karena itu,
penggantian empiris berbasis koagulasi berdasarkan mekanisme dianjurkan mengalami
kerugian darah masif.10
Dengan pemahaman yang lebih baik tentang patofisiologi syok perdarahan, resusitasi
pasien dengan perdarahan masif telah meningkat dari pengobatan reaktif dan suportif

18
dengan penggunaan indikator koagulasi berbasis kristaloid, PRBC, dan penggunaan
protokol standar proaktif yang disebut MTP. “ Transfusi Masif Protokol “ dirancang
untuk mengganggu tiga serangkai asidosis, hipotermia dan koagulopati yang berkembang
dengan transfusi masif sehingga meningkatkan hasil. MTP menggambarkan proses
pengelolaan kebutuhan transfusi darah pada episode perdarahan mayor, membantu
interaksi dokter yang merawat dan bank darah dan memastikan penggunaan komponen
darah dan darah secara bijaksana. Dengan mengembangkan panduan yang disepakati
secara lokal dan spesifik yang mencakup tanggapan klinis, laboratorium, bank darah dan
logistik, dokter dapat memastikan pengelolaan kehilangan darah secara efektif dan
memperbaiki hasilnya.10
Penatalaksanaan agresif koagulopati terkait cedera telah dipromosikan dalam beberapa
tahun terakhir dengan kehilangan darah secara masif. Studi telah menunjukkan
peningkatan ketahanan hidup dengan menggunakan rasio FFP yang lebih tinggi terhadap
transfusi RBC dibandingkan dengan pendekatan konvensional. Transfusi seluruh darah
segar akan terasa ideal namun waktu yang dibutuhkan untuk melakukan tes keselamatan
pada darah cukup lama sehingga menimbulkan signifikan Penipisan faktor koagulasi.
Oleh karena itu, pemberian sel darah merah, faktor koagulasi dan trombosit bersama-sama
mempertahankan konstitusi fisiologis darah dan mencegah defisit satu atau lebih
konstituen.
Protokol transfusi besar-besaran diaktifkan oleh seorang dokter dalam menanggapi
perdarahan hebat. Umumnya ini diaktifkan setelah transfusi 4-10 unit. MTP memiliki
rasio standar unit sel darah merah, FFP / kriopresipitat dan platelet (platelet donor acak) di
setiap kemasan (misalnya rasio 1: 1: 1 atau 2: 1: 1) untuk transfusi.11,12 Begitu pasien
berada dalam Protokolnya, bank darah memastikan penyampaian cepat semua komponen
darah bersamaan untuk memfasilitasi resusitasi. Hal ini mengurangi ketergantungan pada
pengujian laboratorium selama fase resusitasi akut dan mengurangi kebutuhan akan
komunikasi antara bank darah, laboratorium dan dokter.

19

20

21
KOMPLIKASI TRANSFUSI MASIF
Segera
Masalah sekunder akibat resusitasi volume10
➢ Resusitasi yang tidak adekuat: Hipoperfusi menyebabkan asidosis laktat, sindrom
respons inflamasi sistemik (SIRS), koagulasi intravaskular diseminata dan disfungsi
multiorgan. Ini juga meningkatkan ekspresi trombomodulin pada endotelium, yang
kemudian kompleks dengan trombin, yang pada gilirannya menyebabkan jumlah
trombin berkurang yang tersedia untuk menghasilkan fibrin dan meningkatkan
konsentrasi protein antikoagulan aktif Anticoagulant, yang memperburuk koagulopati.
➢ Resusitasi yang berlebihan
Transfusi terkait sirkulasi berlebihan adalah kondisi yang terkenal yang terjadi
karena transfusi darah atau produk darah yang cepat. Padahal ini terlihat biasa pada
pasien lansia , anak kecil dan pasien dengan fungsi ventrikel kiri yang terganggu, juga
dapat dilihat pada pasien yang membutuhkan transfusi masif. Pada pasien dengan syok
hemoragik, kristaloid dan koloid digunakan untuk resusitasi awal. Ketika produk darah
dan darah tersedia, pasien ditransfusikan dengan komponen yang dibutuhkan yang
kemudian dapat menyebabkan kelebihan muatan peredaran darah.
Edema interstisial akibat peningkatan tekanan hidrostatik yang dapat
menyebabkan sindrom kompartemen abdomen.
Masalah dilusi
➢ Koagulopati dilusi: Selama syok perdarahan, terjadi pergeseran cairan dari interstisial
ke kompartemen intravaskular yang menyebabkan pengenceran faktor koagulasi. Hal
ini semakin ditekankan saat darah yang hilang diganti dengan faktor pembekuan
kekurangan cairan. Studi juga menunjukkan bahwa infus koloid dan kristaloid
menginduksi koagulopati sampai batas yang lebih tinggi daripada yang dijelaskan
dengan pengenceran sederhana.
➢ Tekanan onkotik koloid rendah menyebabkan edema interstisial

22
Masalah yang berkaitan dengan transfusi volume besar darah yang tersimpan:10
A. Toksisitas sitrat: 80 ml larutan adenin sitrat fosfat dekstrosa hadir dalam setiap kantong
darah mengandung kira-kira 3 g sitrat. Orang dewasa yang sehat dapat memetabolisme beban
ini dalam 5 menit. Namun, hipoperfusi atau hipotermia yang terkait dengan kehilangan darah
secara besar-besaran dapat menurunkan tingkat metabolisme yang menyebabkan toksisitas
sitrat. Sitrat tak jenuh kemudian dapat menyebabkan hypocalcaemia, hypomagnesemia dan
memperburuk asidosis. Hipokalsemia dapat menyebabkan depresi miokard yang berawal
lebih awal dari koagulopati hypocalcaemic. Hipotensi yang tidak merespons cairan harus
mengingatkan dokter terhadap komplikasi ini. Suplemen kalsium dibutuhkan dalam
kebanyakan kasus MBT.
B. Konsentrasi kalium di PRBCs dapat berkisar antara 7 sampai 77 mEq / L tergantung pada
lama darah yang tersimpan. Perkembangan hiperkalemia akan tergantung pada fungsi ginjal
yang mendasarinya, tingkat keparahan cedera jaringan dan laju transfusi. Pada tingkat
transfusi melebihi 100-150 ml / menit, hiperkalemia transien sering terlihat. Juga, asidosis
sekunder akibat hipoperfusi dapat memperburuk hiperkalemia. Efek jantung hiperkalemia
ditandai dengan hypocalcaemia.
C. Hipotermia: Faktor yang berkontribusi terhadap hipotermia meliputi infus cairan dingin
dan darah dan produk darah, pembukaan rongga abdomen dan penurunan produksi panas.
Hipotermia menyebabkan penurunan metabolisme sitrat dan pembersihan obat dan yang lebih
penting, berkontribusi pada pengembangan koagulopati. Perlambatan aktivitas enzim dan
penurunan fungsi trombosit secara individual telah terbukti berkontribusi terhadap
koagulopati hipotermia pada suhu inti di bawah 34 ° C. Koagulopati karena hipotermia tidak
tercermin dalam tes laboratorium karena sampelnya menghangat selama pemrosesan.

23
D. Hipomagnesemia: Sitrat juga mengikat magnesium dan dapat menyebabkan
hypomagnesaemia yang dapat lebih menonjolkan efek hipokalsemia. Infus cairan magnesium
dalam jumlah besar juga dapat menyebabkan hypomagnesemia.
E. Asidosis: Setelah 2 minggu penyimpanan, PRBC memiliki pH di bawah 7,0, dan setiap
unit memiliki muatan asam sekitar 6 mEq. Salah satu mEq asam ini berasal dari fakta bahwa
PRBCs dibuat dari darah vena dengan pH awal 7,35, mEq kedua diperoleh dalam buffer asam
sitrat dalam antikoagulan, dan 4 mEq dihasilkan oleh glikolisis selama penyimpanan PRBC.
Asidosis secara langsung mengurangi aktivitas jalur koagulasi ekstrinsik dan intrinsik.
Penurunan pH dari 7,4 menjadi 7,0 mengurangi aktivitas FVIIa dan FVIIa / TF masing-
masing lebih dari 90% dan 60%
Komplikasi terlambat
1. Kegagalan pernafasan
Transfusi terkait cedera paru akut (TRALI): Risiko TRALI meningkat dengan jumlah
darah allogen dan produk darah yang ditransfusikan. Mekanisme patologis yang tepat dari
TRALI belum dipahami secara jelas dan mekanisme imunologis dan nonimunologis telah
disarankan
2. SIRS
3. Sepsis
4. Komplikasi trombolitik
Monitoring
Pemantauan klinis: Elektrokardiogram, capnometri, oksimetri nadi, tekanan darah arteri, suhu
inti, dan keluaran urin.
Tekanan arteri invasif: Pengukuran tekanan arteri invasif memungkinkan pengukuran
tekanan denyut ke denyut dan memiliki akurasi yang lebih tinggi daripada pengukuran
berbasis cuff. Selain itu, kateter arteri memungkinkan pengambilan sampel darah arterial
yang sering berguna dalam membimbing terapi. Banyak pemantau hemodinamik modern
menghitung variasi tekanan nadi yang merupakan indikator responsif volume yang lebih

24
spesifik.10
Peranan pemantauan tekanan vena sentral: Kateter vena sentral, karena panjang dan
resistansi tinggi, memungkinkan laju aliran infus daripada lubang bor lebar.Namun, mereka
berguna untuk penilaian status hemodinamik, pemberian agen vasoaktif dan pengambilan
sampel darah.10
Pemantauan laboratorium: Nilai laboratorium harus sering didapat. Tes laboratorium
yang direkomendasikan meliputi Hb, jumlah trombosit, waktu protrombin, waktu
tromboplastin parsial (PTT), fibrinogen, potasium, kalsium terionisasi, ABG untuk status
dasar asam dan saturasi oksigen vena sentral / laktat sebagai indikator hipoperfusi jaringan.
Keterbatasan pengujian laboratorium konvensional: Jeda waktu antara pengumpulan sampel
dan mendapatkan laporan adalah keterbatasan serius dalam utilitas mereka selama terjadi
kehilangan darah yang cepat.
➢ Sasaran resusitasi dalam kehilangan darah masif
Tekanan arteri rata-rata (MAP) sekitar 60 mmHg, tekanan arteri sistolik 80-100
mmHg (pada pasien hipertensi seseorang mungkin perlu menargetkan MAP yang lebih
tinggi):10
➢ Hb 7-9 g / dl
➢ INR <1,5; Diaktifkan PTT <42 s
➢ Fibrinogen> 1,5-2 g / L
➢ Platelet> 50 × 109 / L
➢ PH 7,35-7,45
➢ Suhu inti> 35,0 ° C
➢ Defisit dasar <3.0 / laktat <2 mEq / L.

25

26
BAB III
LAPORAN KASUS
A. EVALUASI PRAANESTESIA
Identitas
➢ Identitas : Ni Wayan Balik Budiasih
➢ Usia : 30 tahun
➢ Jenis Kelamin : Perempuan
➢ Nomor RM : 17048984
➢ Cara Pembayaran : BPJS
➢ Alamat : : Br. Tengkulak, Sukawati – Gianyar
➢ MRS : Pukul 14:13 Wita (14/11/2017)
➢ Diagnosa : G2P1000 Gemeli H-H (Letkep – Letsu) + Preeklampsia
Berat + Partial HELLP syndrome + Antonia Uteri
➢ Tindakan : SC CITO + Histerektomy
Anamnesis
Pasien rujukan RS Premagana dengan usia kehamilan 38 – 39 minggu datang dengan keluhan
nyeri perut hilang timbul sejak 2 jam SMRS. Keluhan keluar cairan dari jalan lahir disangkal.
Gerak anak dikatakan normal. Pasien diketahui gemeli sejak tanggal 6/5/2017 (usia
kehamilan 12-13 minggu). Pasien diketahui tekanan darah tinggi sejak 13/11/2017 saat
kontrol ke Sp.OG, dengan fluktuasi tekanan darah 130-140/70-80 diberikan terapi nifedipine
10 mg tablet tiap 24 jam..
Ini adalah kehamilan kedua pasien, HPHT: 19/2/2017, TP: 26/11/2017
Riwayat kehamilan : anak pertama persalinan spontan tahun 2012, perempuan, BBL 3200
gram, hidup
Riwayat alergi ampicillin.
Riwayat pemakaian KB suntik, berhenti menggunakan 1,5 tahun yang lalu.

27
Riwayat operasi tidak ada.
Riwayat diabetes mellitus, penyakit jantung, maupun asma tidak ada. Riwayat kebiasaan
merokok, minum-minuman keras, maupun pemakaian obat-obatan terlarang tidak ada.
Makan dan minum terakhir pkl. 21.00 wita (14/11/2017)
Riwayat terapi di Triage Kebidanan, pasien mendapat terapi dari TS Obgyn :
- IVFD NaCl 0.9% 20 tpm
- IVFD RL 500 cc + MgSO4 6 gram 28 tpm 1x/hari sejak tgl 14/11/2017
- Injeksi MgSO4 4 gram IV bolus 1x tanggal 14/11/2017
- Nifedipin 10 mg tablet tiap 8 jam bila MAP > 125 mmHg
- Injeksi dexamethasone 10 mg tiap 12 jam IV
- Pasang dower catheter, produksi urin 3000ml/29 jam
- Terminasi kehamilan dengan SC
- Transfusi TC (50ml) tgl 15/11/17 pk. 11.00 wita
- Transfusi TC apheresis (283,4 ml) tgl 15/11/2017 pk. 12.05 wita
Pemeriksaan Fisik:
Berat badan: 70 kg; Tinggi badan 160 cm; BMI : 27,3kg/ m2 ; NRS diam : 1/10 cm; NRS
bergerak 2/10 cm; Tax 36,8 oC
• Sistem saraf pusat : GCS E4V5M6
• Respirasi : frekuensi nafas 20 kali permenit, tidak ada rhonki dan wheezing, saturasi
oksigen perifer 98% room air
• Kardiovaskuler : tekanan darah 140/100 mmHg; nadi 92 kali permenit, Bunyi jantung
1 dan 2 tunggal, reguler, tidak ada murmur
• Abdomen : Bising usus positif normal, TFU sesuai usia kehamilan, DJJ bayi I 130 x /
menit, DJJ bayi II 140 x / menit
• Urogenital : buang air kecil via DK

28
• Muskuloskeletal: Flexi dan deflexi leher normal, Mallampati II, gigi geligi utuh
Pemeriksaan Penunjang :
Pemeriksaan Penunjang
Darah
lengkap
14/11/2017
pukul 12:19
15/11/2017
pukul 01:24
15/11/2017
pukul 13:59
(pasca
transfusi TC
2 kolf)
WBC 8.36 6.38 5.34
Hb 10.88 10.06 9.36
HCT 34.74 33.13 30.34
PLT 65.27 70 122.2
Faal Hemostasis (14/11/2017 pukul 12:19)
- INR 1,0
- PPT 12.6 (10,8-14,4) detik
- APTT 29.7 (24-36) detik
Kimia darah (14/11/2017 pukul 12:19)
- SGOT 16.4 U/L (11-33)
- SGPT 6.1 U/L (11-50)
- Albumin 2.9 g/dL (3,4-4,8);
- GDS 58 mg/dL (70-140)
- SC 0.48 SC mg/dL (0,7-1,2)
- K 3.51 mmol/L (3,5-5,1)
- Permasalahan actual pasien :

29
- Gravida + Gemeli + Preeklampsia Berat + Partial HELLP syndrome (HGB 9.36 g/dL;
HCT 30.34 %; PLT 122.20 x103µL pasca transfusi TC 2 kolf)
Permasalahan pembedahan
Lokasi : Regio abdomen
Durasi : 1-2 jam
Posisi : supine
Manipulasi : manipulasi pada usus
Permasalahan Potensial:
Pendarahan, Syok hipovolemik, Gangguan Hemodinamik
Pasien disimpulkan dengan ASA IVE
B. PERSIAPAN PRAANESTESIA
➢ Informed consent mengenai tindakan operasi dan anestesi, resiko anestesi dan rencana
anestesi yang akan dilakukan dan menandatangani surat perjanjian persetujuan operasi
dan anestesi
➢ Persiapan fisik berupa puasa 8 jam untuk makanan dan 2 jam untuk puasa minum air
putih
➢ Persiapan darah PRC 4 kolf , TC 10 kolf dan FFP 10 kolf
C. MANAJEMEN ANESTESIA
- Pra anestesia :
Pasien disiapkan untuk dilakukan anestesi umum GA – OTT Rapid Sequence
Intubation (RSI) persiapan darah Packed Red Cell 4 kolf ( Cross match 2 kolf ) + Transfusi
concentrate 10 kolf + Fresh Frozen Plasma 10 kolf. Packed Red Cell dibawa bersama pasien
ke ruangan operasi.
- Di ruang persiapan :

30
Pukul 16.17 WITA pasien diterima masuk di ruang persiapan dan kemudian dilakukan vital
sign Tekanan Darah : 114 / 67 mmHg, Heart rate : 92 x / menit, Respirasi rate: 18 x / menit,
SpO2 : 99% dengan NRM 6 lter/ menit
- Di kamar operasi :
Pukul 17.15 WITA pasien tiba di ruang operasi dan dilakukan pemasangan monitor dengan
vital sign Tekanan Darah : 112 / 55 mmHg, Heart rate : 101 x / menit, Respirasi rate: 18 x /
menit, SpO2 : 99% room air. Pasien di posisi head up 30 O, diberikan premedikasi
dexamethasone 10 mg IV, dipenhidramin 10 mg IV, ondansetron 8 mg IV. Pasien dilakukan
preoksigenasi O2 100 % 8 lpm dengan sungkup selama 2 menit, lalu diberikan agen
analgetika fentanyl 100 mcg. Bersamaan dengan itu operator melakukan desinfeksi lapangan
operasi dan pemasangan duk operasi. Pasien dilakukan anestesia umum dengan teknik GA-
OTT RSI dengan induksi propofol 100 mg dan dilakukan Sellick’s maneuver saat pasien
sudah terhipnosis, lalu diberikan agen pelumpuh otot rocuronium 50 mg, ditunggu 1 menit
sampai nafas spontan pasien hilang. Pasien dilakukan intubasi dengan tube 6,5 cuff dan
level di bibir 20 cm. Operator mulai melakukan incisi laparotomy median. Medikasi lain di
berikan asam tranexamat 1000 mg IV, Hemodinamik selama induksi TD: 118-124 / 76-84
mmHg, HR: 72-84 x / ment, SpO2 : 99% On bagging.
Pukul 17.25 WITA Pukul 17.27 WITA
Lahir bayi laki-laki I, BBL 2700 gram, PBL
45 cm, Apgar Score 7, perdarahan 500 cc,
cairan masuk kristaloid 1000 cc.
Lahir bayi laki-laki II, BBL 2450 gram, PBL
47 cm, Apgar Score 7, perdarahan 1000 cc,
cairan masuk kristaloid 2000 cc
Pukul 17.30-19.40 WITA: Tampak perdarahan aktif dari plasental bed, dilakukan hemostasis.
Kontraksi uterus tidak baik, dilakukan massage uterus namun kontraksi uterus tetap kurang.
Diberikan injeksi oxytocin intramural 4 ampul (40 IU), namun evaluasi ulang kontraksi uterus
tetap kurang baik. Diberikan injeksi methergin 0.2 mg intramural, evaluasi ulang kontraksi
uterus kurang baik, perdarahan 4000 cc. TS Obgyn konsultasi dengan chief jaga dan
kemudian dilakukan ligase arteri uterina, evaluasi 10 menit, kontraksi uterus tetap kurang

31
baik. TD mulai turun < 100 mmHg, HR > 120 x / menit; resusitasi cairan kristaloid 2500 cc
dan koloid 1000 cc, diberikan norepinefrin titrasi mulai dosis 0,2 mcg/kgbb/menit hingga
tercapai MAP > 65 mmHg.
Karena kontraksi uterus tetap jelek, diputuskan oleh DPJP Obgyn untuk histerektomi,
tampak perdarahan massif. Durante operasi diberikan transfusi darah PRC 1 kolf.
Durante operasi :
• Fluktuasi : TD 70-115 / 45-87 mmHg; HR 95-122 kali / menit, SpO2 98-99% on
bagging
• Cairan : Kristaloid 5500 mL, Koloid 1000 mL, PRC 1 bag 250 ml
• Perdarahan : ± 6000 ml
• Urin : 150 ml
• Lama operasi : 2 jam 20 menit
Laboratorium :
Darah
lengkap
15/11/2017
pukul 18:34
(durante op)
15/11/2017
pukul 19:11
(durante op)
WBC 5.59 21.59
Hb 3.33 4.05
HCT 10.77 13.14
PLT 60.13 86.96
Pukul 19.40 WITA: Operasi selesai dan pasien dilakukan nafas kendali, dilakukan persiapan
transport pasien dari OK IGD ke RTI Timur.

32
Pukul.19.45 WITA: Pasien dikirim ke RTI Timur dengan oksigen transport dan ventilasi
dengan ambubag, dengan vital sign saat itu HR: 84 x / menit, TD 115 / 65 mmHg (dengan
norepinefrin 0.4 µg / kgBB / menit), SpO2 99% on bagging
Pukul. 19.50 WITA: Pasien tiba di RTI Timur dan disambungkan ke mesin ventilator dengan
mode PC-BIPAP dengan FiO2 55%, SatO2 99% on ventilator, diberikan analgetika pasca
operasi Fentanyl 300 mcg dalam 50cc NaCl 0.9% kecepatan 2.1 cc / jam via syringe pump,
Paracetamol 1 gr tiap 8 jam IV.
Pukul 21.00 WITA: dilakukan observasi ulang di RTI Timur, GCS: dalam pengaruh obat,
HR: 95 kali / menit, terpasang ventilator dengan saturasi O2 98% mode PC-BIPAP.
Follow Up di Ruang Terapi Intensif
Hari I
Status Fisik Terapi Laboratorium
BB 70 kg, TB 165 cm
Susunan saraf pusat : DPO
Respirasi : On Ventilator mode PC
BIPAP, FiO2 60%, Pinsp 14; Ti
1.4; RR 12; PEEP 5, ASB 10, Ves
+/+, rh -/-, wh -/-
Kardiovaskular: TD 118-123 /62 -
72 mmHg; Nadi 110- 126 x/min;
S1 S2 tunggal, regular, murmur (-)
Gastrointestinal : Distensi tidak
ada.
Urogenital : BAK via DC
Muskuloskeletal: Akral Hangat
CM 2429 mL
F: Ringer Fundin 1000 mL/24
jam.
A: Fentanyl 300 mcg/24 jam;
Paracetamol 1000 mg tiap 8 jam
S: Midazolam titrasi, target RASS
-2
T: -
H: Head up 30-45oC
U: Ranitidin 50 mg tiap 12 jam
G: -
Terapi lain:
Cefotaxim 1 gram tiap 12 jam (
H1 )
Asam Tranexamat 1 gram tiap 8
jam
Darah Lengkap
(15.11.17) : WBC
38.59; HB 3.7; HCT
12.65; PLT 91.98
Transfusi PRC II
Faal Hemostasis
(15.11.17) : PPT 21.6;
INR 1.97; APTT 34.7
Kimia Darah
(15.11.17) : SGOT 22.8
; SGPT 6.6 ; Albumin
1.6 ; BUN 11.8 ; SC
0.47 ; GDS 490.
AGD (15.11.17 pkl
22.21) (PC BIPAP,

33
CK 900 mL
IWL 262 mL / 9 jam
BC + 1267 mL / 9 jam
Norpeinefrin titrasi, target MAP ≥
65 mmHg
Transfusi PRC, target HB ≥ 10
g/dL
FiO2 80%, Pinsp 14,
RR 12, PEEP 5, ASB
10) : pH 7.24 ; pCO2
33.3; pO2 291.7; BEecf
-13.3; HCO3- 14.0;
SO2c 99.6; TCO2 15.1;
Na 134; K 3.34; Cl 121.
PC BIPAP, FiO2
50%, Pinsp 14, RR 12,
PEEP 5, ASB 10
Hari ke 2
Status Fisik Terapi Laboratorium
BB 70 kg, TB 165 cm
Susunan saraf pusat : DPO
Respirasi : On Ventilator mode PC
BIPAP, FiO2 60%, Pinsp 14; Ti
1.4; RR 12; PEEP 5, ASB 10, Ves
+/+, rh -/-, wh -/-
Kardiovaskular: TD 132- 141/60-
78 mmHg; Nadi 123- 139 x/min;
S1 S2 tunggal, regular, murmur (-)
Gastrointestinal : Distensi tidak
ada.
Urogenital : BAK via DC
Muskuloskeletal: Akral Hangat
CM 4751 mL
CK 2865 mL
F: Ringer Fundin 1000 mL/24
jam.
A: Fentanyl 300 mcg/24 jam;
Paracetamol 1000 mg tiap 8 jam
S: Midazolam titrasi, target RASS
-2
T: -
H: Head up 30-45oC
U: Ranitidin 50 mg tiap 12 jam
G: -
Terapi lain:
Cefotaxim 1 gram tiap 12 jam (
H2 )
Asam Tranexamat 1 gram tiap 8
jam
Norpeinefrin titrasi, target MAP ≥
AGD (16.11.17 pkl
8.46) (PC BIPAP, FiO2
50%, Pinsp 14, RR 12,
PEEP 5, ASB 10) : pH
7.38; pCO2 30.2; pO2
86.9; BEecf -7.9;
HCO3- 17.3; SO2c 96.5;
TCO2 18.2; Na 143; K
4.06; Cl 101. PC
BIPAP, FiO2 40%,
Pinsp 10, RR 14, PEEP
5, ASB 8
Thorax PA (16.11.17
pkl 14.01) :
Cardiomegaly. Pulmo

34
IWL 700 mL
BC +615 mL
65 mmHg
Transfusi PRC, target HB ≥ 10
g/dL
tak tampak kelaianan.
Terpasang CVC dengan
tip terproyeksi setinggi
CV Th 8 sisi kanan.
Terasang ETT dengan
tip terproyeksi setinggi
CV Th 4.
Darah Lengkap
(16.11.17 pkl 15.04) :
WBC 20.5; HB 5.69;
HCT 17.79; PLT 91.58
Transfusi PRC
II
Transfusi FFP
II
Faal Hemostasis
(16.11.17 pkl 15.04) :
PPT 17.0; INR 1.46;
APTT 29.6.
Kimia Darah (16.11.17
pkl 15.04) : BUN 13.0;
SC 0.61; LDH 609.
AGD (16.11.17 pkl
15.04) (PC BIPAP,
FiO2 40%, Pinsp 10,
RR 14, PEEP 5, ASB
8) : pH 7.46; pCO2
29.8; pO2 185.5; BEecf
-2.8; HCO3- 21.0; SO2c
99.4; TCO2 21.9; Na

35
142; K 3.77; Cl 100.
PC BIPAP, FiO2 40%,
Pinsp 10, RR 14, PEEP
5, ASB 7
Thorax PA (16.11.17 pkl 14.01)
Hari ke 3
Status Fisik Terapi Laboratorium
BB 70 kg, TB 165 cm
Susunan saraf pusat : Compos
Mentis
Respirasi : Spontan Face Mask 6
Lpm; RR 14-16x/menit; Ves +/+,
rh -/-, wh -/-
Kardiovaskular:
TD 158/69 mmHg; Nadi 80 x/min;
F: Ringer Fundin 1000 mL/24
jam.
A: Fentanyl 150 mcg/24 jam;
Paracetamol 1000 mg tiap 8 jam
S: -
T: -
H: Head up 30-45oC
U: Ranitidin 50 mg tiap 12 jam
Darah Lengkap
(17.11.17 Pkl 08.33) :
WBC 19.05; HB 7.05;
HCT 21.45; PLT
91.03
Transfusi PRC
I
AGD (17.11.17 Pkl

36
S1 S2 tunggal, regular, murmur (-)
Gastrointestinal : Distensi tidak
ada.
Urogenital : BAK via DC
Muskuloskeletal: Akral Hangat
G: -
Terapi lain:
Cefotaxim 1 gram tiap 12 jam (
H3 )
Asam Tranexamat 1 gram tiap 8
jam
Norpeinefrin titrasi, target MAP ≥
65 mmHg
Transfusi PRC, target HB ≥ 10
g/dL
Metylprednisolong 62.5 mg tiap
12 jam
Ca Gluconas 1 gram tiap 8 jam
Nebulizer Ventolin tiap 8 jam
Furosemid 20 mg tiap 12 jam
Alinamin F 1 vial tiap 8 jam
08.33) (PC BIPAP,
FiO2 40%, Pinsp 10,
RR 14, PEEP 5, ASB
7) : pH 7.4; pCO2 36.1;
pO2 125.9; BEecf -2.7;
HCO3- 22.0; SO2c
98.5; TCO2 23.1; Na
136; K 3.66; Cl 118.
T Piece 8 lpm.
Kimia Darah
(17.11.17 Pkl 08.33) :
SGOT 31.7; SGPT
12.7; LDH 671; Mg
1.68
AGD (17.11.17 Pkl
14.52) T Piece 8 lpm:
pH 7.5; pCO2 29.8;
pO2 192.9; BEecf -0.8;
HCO3- 22.5; SO2c
99.4; TCO2 23.4; Na
133; K 3.27; Cl 121.
Spontan Face Mask 6
lpm
USG Oleh TS Obgyn :
Dilatasi usus, lain-lain
dalam batas normal.
Hari ke 4

37
Status Fisik Terapi Laboratorium
BB 70 kg, TB 165 cm
Susunan saraf pusat : Compos
Mentis
Respirasi : Spontan Face Mask 6
Lpm; RR 14-16x/menit; Ves +/+,
rh -/-, wh -/-
Kardiovaskular: TD 140- 158/61-
69 mmHg; Nadi 70- 80 x/min; S1
S2 tunggal, regular, murmur (-)
Gastrointestinal : Distensi tidak
ada.
Urogenital : BAK via DC
Muskuloskeletal: Akral Hangat
F: Ringer Fundin 1000 mL/24
jam.
A: Fentanyl 150 mcg/24 jam;
Paracetamol 1000 mg tiap 8 jam
S: -
T: -
H: Head up 30-45oC
U: Ranitidin 50 mg tiap 12 jam
G: -
Terapi lain:
Cefotaxim 1 gram tiap 12 jam (
H3 )
Asam Tranexamat 1 gram tiap 8
jam
Norpeinefrin titrasi, target MAP ≥
65 mmHg
Transfusi PRC, target HB ≥ 10
g/dL
Metylprednisolong 62.5 mg tiap
12 jam
Ca Gluconas 1 gram tiap 8 jam
Nebulizer Ventolin tiap 8 jam
Furosemid 20 mg tiap 12 jam
Alinamin F 1 vial tiap 8 jam
Foto BOF 3 Posisi
(18.11.17 pkl 05.01) :
Menyokong gambaran
ileus paralitik.
Darah Lengkap
(18.11.17 Pkl 06.13) :
WBC 14.62; HB 7.91;
HCT 24.68; PLT 134.3.
AGD (18.11.17 Pkl
06.13) Spontan Face
Mask 6 Lpm : pH 7.4;
pCO2 40.6; pO2 118.6;
BEecf 0.0; HCO3- 24.8;
SO2c 98.3; TCO2 26.0;
Na 132; K 3.24; Cl 110.
Kimia Klinik (18.11.17
Pkl 11.01): Albumin
2.3; Kolesterol Total
124; HDL 25; LDL 61,
TG 237
Urine Lengkap
(18.11.17 Pkl 11.01) :
Eritrosit Sedimen: 1-2;
Leukosit Sedimen: 7-10;
Berat Jenis: 1.010;
Nitrit: Negatif; Protein:
Negatif; Keton: 150
(3+); Glukosa: Normal;
Urobilinogen: Normal;

38
Leukosit: 100 (2+);
Biliubin: Negatif:
Warna: P. Yel; Darah:
25 (2+); pH 7.0.
Foto BOF 3 Posisi (18.11.17 pkl 05.01)
Status Fisik Terapi Laboratorium
BB 70 kg, TB 165 cm
Susunan saraf pusat :
Compos Mentis
Respirasi : Spontan nasal
kanul 2 Lpm; RR 18x/menit;
Ves +/+, rh -/-, wh -/-
Kardiovaskular: TD 141/71
mmHg; Nadi 74 x/min; S1 S2
F: Ringer Fundin 1000
mL/24 jam.
A: Fentanyl 150 mcg/24 jam;
Paracetamol 500 mg tiap 6
jam po
S: -
T: -
H: Head up 30-45oC
U: Ranitidin 50 mg tiap 12
Darah Lengkap (19.11.17
Pkl 08.17) : WBC 10.69; HB
7.91; HCT 24.4; PLT 206.7
AGD (18.11.17 Pkl 06.13)
Spontan Face Mask 6 Lpm :
pH 7.4; pCO2 40.6; pO2
118.6; BEecf 0.0; HCO3-
24.8; SO2c 98.3; TCO2 26.0;

39
tunggal, regular, murmur (-)
Gastrointestinal : BU (+),
Distensi tidak ada.
Urogenital : BAK via DC
Muskuloskeletal: Akral
Hangat
jam
G: -
Terapi lain:
Cefotaxim 1 gram tiap 12
jam ( H5 )
Asam Tranexamat 1 gram
tiap 8 jam
Transfusi PRC, target HB ≥
10 g/dL
Metylprednisolon 62.5 mg
tiap 12 jam
Ca Gluconas 1 gram tiap 8
jam
Nebulizer Ventolin tiap 8 jam
Furosemid 20 mg tiap 12 jam
Alinamin F 1 vial tiap 8 jam
Pasien BPD ODHU
Na 132; K 3.24; Cl 110.

40
BAB IV
PEMBAHASAN
Masalah Pasien Teori
Atonia Uteri Tampak perdarahan aktif dari
plasental bed, dilakukan
hemostasis. Kontraksi uterus
tidak baik, dilakukan massage
uterus namun kontraksi uterus
tetap kurang. Diberikan injeksi
oxytocin intramural 4 ampul (40
IU), dan methergin 0.2 mg
intramural, evaluasi ulang
kontraksi uterus kurang baik,
perdarahan 6000 cc dilakukan
ligase arteri uterina, evaluasi 10
menit, kontraksi uterus tetap
kurang histerektomi
Atonia uteri adalah suatu
kondisi dimana
myometrium tidak dapat
berkontraksi dan bila ini
terjadi maka darah yang
keluar dari bekas tempat
melekatnya plasenta
menjadi tidak terkendali.
Pada kehamilan cukup
bulan aliran darah ke
uterus sebanyak 500-800
cc/menit. Jika uterus tidak
berkontraksi dengan
segera setelah kelahiran
plasenta, maka ibu dapat
mengalamiperdarahan
sekitar 350-500 cc/menit
dari bekas tempat
melekatnya plasenta.
Persiapan Dua IV line bore besar
Puasa 8 jam pra anestesi
Perhitungan kebutuhan cairan
Persiapan Crossmatch
Komponen Darah

41
Persiapan komponen darah
Premedikasi Loading Cairan 20 ml/kgBB Acute Normovolemic
Hemodilution dan Acute
Hypervolemic
Hemodilution dapat
dilakukan pada operasi-
operasi dengan resiko
perdarahan 1200-1500 ml
Antifibrinolitik Pemberian asam traneksamat
1000 mg IV
Dilanjutkan 500 mg setiap 8 jam
post operasi hingga produksi
drain minimal, dan tidak ada
perdarahan dari luka operasi
Asam traneksamat
menghambat fibrinolisis
dengan mengikat
plasminogen dan plasmin,
sehingga mengurangi
penghancuran fibrin.
Asam traneksamat dengan
loading dose 20 mg/kgBB
diberikan selama 10 menit
dilanjutkan maintenance 2
mg/kgBB/jam selama 8
jam
Pemberian
cairan
Jumlah perdarahan 6000 ml dan
produksi urin 150 ml (1
ml/kgBB/jam), dengan cairan
Kristaloid 5500 mL, Koloid 1000
mL, PRC 1 bag 250 ml
Kebutuhan cairan 1 jam
Pertama= 970 ml +
perdarahan dan
Kebutuhan cairan jam 2 =
750 ml + perdarahan dan
cairan jam 3= 750 ml +
perdarahan
Pemberian Perdarahan 800 ml durante Estimated blood volume

42
PRC operasi
PRC diberikan 500 ml pada saat
durante operasi, kemudian
dilanjutkan di ruangan sesuai
dengan target hemoglobin
70 ml x 35 kg = 2450 ml
Allowed Blood Loss 15%
dari EBV = 367 ml
Total PRC yang
diperlukan 2450 x (40-24)
: 60 = 653 ml
Protokol
transfusi
massif
Tidak dilakukan protokol
transfusi masif
Transfusi sel darah merah
(PRC) sebesar 50% dari
total volume darah (TBV)
dalam 3 jam,
Transfusi PRC 100% dari
volume darah total dalam
3 jam,
PRC transfusi lebih dari
10% dari total volume
darah per menit
Pada pasien ini mengapa di pilih anestesi umum di bandingkan dengan
anestesi regional karena pertimbangan efek anestesi umum lebih baik
dibandingkan dengan anestesi regional dimana pada anestesi umum lebih
menguntungkan karena kontrol ventilasi lebih baik serta hemodinamik yang lebih
baik jika terjadi pendarahan massif, selain itu keuntungan lain menggunakan
anestesi umum dimana kondisi pasien terhipnosis sehingga pasien tertidur tidak
gelisah yang dapat menyebabkan demand oksigen menurun, kerja otot-otot
pernafasan kita ambil alih sehingga dapat menyebabkan demand oksigen
menurun, Oksigen dapat di optimalkan dengan mencukupi minute volum sehingga
dapat meningkatkan fraksi oksigen, blockade simpatis untuk mencegah
peningkatan pada demand yang diakibatkan dari stress pembedahan.

43
BAB V
KESIMPULAN
Gravida dengan atonia uteri dapat memberikan kesulitan-kesulitan dan tantangan bagi seorang
anestesiologis. Seorang dokter Anestesi harus dapat memberikan penangganan yang cepat dan tepat
karena efek dari pendarahan masif yang mengancam jiwa dan komplikasi yang berat. Dokter anestesi
harus Antisipasi terhadap masalah potensial perioperative dan komunikasi dengan ahli bedah,
hematologi, laboratorium, bank darah dan petugas logistik adalah hal yang utama dalam menangani
pasien tersebut. Oleh karena itu seorang dokter anestesi harus meberikan inform consent yang baik
pada pasien dan keluarga pasien akan resiko dan komplikasi yang mungkin akan terjadi. Pada
pendarahan masif yang di tanggani dengan tranfusi masif dapat memberikan hasil yang lebih baik
pada pasien.

44
DAFTAR PUSTAKA
1. Chesnut David H, Wong Cynthia A,Tsen Lawrence C, Ngan Kee Warwick D,Beilin
Yaakov,Mhyre Jill M,Obstetric Anesthesia Principles And Practice.Ed 5th.China:
Elsevier;2014. P 880-884;900-905
2. Cunningham, F. G. 2006. Wiliam Obstetrics 21th edition. Jakarta : EGC
3. Prawirohardjo,Sarwono.Pendarahan Antepartum.Ilmu Kandungan.Jakarta. 2005
4. Barash Paul G, Cullen Bruce F, Stoelting Robert K, Cahalan Michael K,Stock M
Christine,Ortega Rafael, Hemostasis and Transfusion medicine. Obstetrical Anetshesia.
Clinical Anesthesia.Ed 7th .United States Of America:Lippincott Wiliams & Wilkin.2013.P
421-429,1159-1161
5. Miller Ronald D,Perioperative Fluid And Electrolyte Therapy.Anesthesia.Ed 8th .Canada:
Elsevier.2015. P 1844-1861
6. Hanadi M Aljedani, Farzal Anwar. Literature Reviem For Management Of Massive
Hemorrhage.Hemato Transfusion International Journal: marc 2016
7. Stainsby D,Maclennan S, Hamilton P J. Management Of Massive Blood Loss : A Template
Guideline. British Journal of Anesthesia volume 85 March 2000: P 487-491
8. Pei Shan Lim. Uterine Atony: Management Strategies.
https://www.researchgate.net/publication/221929161
9. Sivasankar Chitra. Perioperative Management of undiagnosed atonia uteri: Case Report and
Management Strategies. International Journal of Women’s Health. Agustus 2012.P 451- 454
10. Guterrez M C, Goodnough L T, Druzin M, Butwick A J. Postpartum Hemorrhage Treated
With A Massive Transfusion Protocol at a Tertiary Obstetric Center: A Restropective Study.
International Journal of Obstetric Anesthesia volume 21. 2012.P 230-235
11. Patil Vijaya, Shetmahaja Madhavi. Massive Transfusion and Massive transfusion Protocol.
Indian Journal Of Anesthesia.Sept 2014.P 590-595.
12. Nunez TC, Young PP, Holcomb JB, Cotton BA. Creation, implementation, and maturation

45
of a massive transfusion protocol for the exsanguinating trauma patient. J Trauma.
2010;68:1498–505.
13. O’Keeffe T, Refaai M, Tchorz K, Forestner JE, Sarode R. A massive transfusion protocol to
decrease blood component use and costs. Arch Surg. 2008;143:686–90.
14. Flood Pamela, Rathmell James P, Shafer Stevent. Physiology and Management of Massive
Transfusion. Pharmacology & Physiology in Anesthetic Practice Ed 5 th . United States Of
America. 2015. P 661 - 667