Makalah Atonia Uteri
-
Upload
bhubhu-meilianissa-tazkia -
Category
Documents
-
view
981 -
download
14
Embed Size (px)
Transcript of Makalah Atonia Uteri

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang masalah
Atonia uteri merupakan penyebab terbanyak perdarahan pospartum
dini (50%), dan merupakan alasan paling sering untuk melakukan
histerektomi peripartum. Kontraksi uterus merupakan mekanisme utama
untuk mengontrol perdarahan setelah melahirkan. Atonia uteri terjadi karena
kegagalan mekanisme ini.
Perdarahan pospartum secara fisiologis dikontrol oleh kontraksi
serabut-serabut miometrium yang mengelilingi pembuluh darah yang
memvaskularisasi daerah implantasi plasenta. Atonia uteri terjadi apabila
serabut-serabut miometrium tersebut tidak berkontraksi. Batasan atonia uteri
adalah uterus yang tidak berkontraksi setelah janin dan plasenta lahir.
1.2 Rumusan masalah
1.2.1 Apa yang dimaksud dengan atonia uteri?
1.2.2 Apa penyebab dari atonia uteri?
1.2.3 Sebutkan tanda dan gejala dari atonia uteri?
1.2.4 Pencegahan apa yang dapat dilakukan pada atonia uteri?
1.2.5 Bagaimana cara menangani atonia uteri?
1.2.6 Bagaimana peran bidan dalam menangani kasus atoni uteri?
1.3 Tujuan penulisan
Untuk mengetahui tentang atonia uteri baik itu pengertian,
penyebab, tanda dan gejala, penatalaksaannya, maupun peran bidannya.
1.4 Batasan masalah
Atonia Uteri merupakan suatu kondisi kegagalan uterus dalam
berkontraksi dengan baik setelah persalinan.
1

1.5 Metode Penelitian
Pembuatan karya ilmiah yang berjudul “ Atonia Uteri ” itu
menggunakan metode pustaka.
1.6 Sistematika Penulisan
Kata Pengantar
Daftar isi
BAB I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan Penulisan
1.4 Pembatasan Masalah
1.5 Metode Penulisan
1.6 Sistematika Penulisan
BAB II Tinjauan Teori
BAB III Pembahasan
3.1 Pengertian Atonia Uteri
3.2 Penyebab Atonia Uteri
3.3 Tanda dan Gejala Atonia Uteri
3.4 Pencegahan Pada Atonia Uteri
3.5 Penatalaksanaan Atonia Uteri
3.6 Peran Bidan
BAB IV Penutup
4.1 Simpulan
4.2 Saran
Daftar Pustaka
2

BAB II
TINJAUAN TEORI
Perdarahan Post Partum adalah perdarahan lebih dari 500-600 cc
dalam 24 jam setelah anak dan plasenta lahir. Pada kasus perdarahan terutama
perdarahan post partum, Atonia Uteri menjadi penyebab lebih dari 90%
perdarahan pasca persalinan yang terjadi dalam 24 jam setelah kelahiran bayi
(Ripley, 1999).
Atonia Uteri adalah suatu kondisi dimana Myometrium tidak dapat
berkontraksi dan bila ini terjadi maka darah yang keluar dari bekas tempat
melekatnya plasenta menjadi tidak terkendali. (Apri, 2009).
Atonia Uteri juga dapat timbul karena salah penanganan kala III
persalinan, dengan memijat uterus dan mendorongnya ke bawah dalam usaha
melahirkan plasenta, sedang sebenarnya belum terlepas dari uterus.
Atonia uteri merupakan penyebab terbanyak perdarahan pospartum
dini (50%), dan merupakan alasan paling sering untuk melakukan histerektomi
peripartum. Kontraksi uterus merupakan mekanisme utama untuk mengontrol
perdarahan setelah melahirkan. Atonia uteri terjadi karena kegagalan mekanisme
ini.
Perdarahan pospartum secara fisiologis dikontrol oleh kontraksi
serabut-serabut miometrium yang mengelilingi pembuluh darah yang
memvaskularisasi daerah implantasi plasenta. Atonia uteri terjadi apabila serabut-
serabut miometrium tersebut tidak berkontraksi.
3

BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Pengertian Atonia Uteri
Atonia uteria (relaksasi otot uterus) adalah Uteri tidak berkontraksi
dalam 15 detik setelah dilakukan pemijatan fundus uteri (plasenta telah lahir).
(JNPKR, Asuhan Persalinan Normal, Depkes Jakarta ; 2002)
Atonia Uteri didefinisikan sebagai suatu kondisi kegagalan uterus
dalam berkontraksi dengan baik setelah persalinan, sedangkan atonia uteri
juga didefinisikan sebagai tidak adanya kontraksi uterus segera setelah
plasenta lahir.
Sebagian besar perdarahan pada masa nifas (75-80%) adalah akibat
adanya atonia uteri. Sebagaimana kita ketahui bahwa aliran darah
uteroplasenta selama masa kehamilan adalah 500-800 ml/menit, sehingga bisa
kita bayangkan ketika uterus itu tidak berkontraksi selama beberapa menit
saja, maka akan menyebabkan kehilangan darah yang sangat banyak.
Sedangkan volume darah manusia hanya berkisar 5-6 liter saja.
3.2 Penyebab Atonia Uteri
Dalam kasus atonia uteri penyebabnya belum diketahui dengan
pasti. Namun demikian ada beberapa faktor predisposisi yang biasa dikenal.
Antara lain:
1. Distensi rahim yang berlebihan
Penyebab distensi uterus yang berlebihan antara lain:
a. kehamilan ganda
b. poli hidramnion
c. makrosomia janin (janin besar)
Peregangan uterus yang berlebihan karena sebab-sebab tersebut
akan mengakibatkan uterus tidak mampu berkontraksi segera setelah
plasenta lahir.
4

2. Pemanjangan masa persalinan (partus lama) dan sulit
Pada partus lama uterus dalam kondisi yang sangat lelah, sehingga
otot-otot rahim tidak mampu melakukan kontraksi segera setelah plasenta
lahir.
3. Grandemulitpara (paritas 5 atau lebih)
Kehamilan seorang ibu yang berulang kali, maka uterus juga akan
berulang kali teregang. Hal ini akan menurunkan kemampuan
berkontraksi dari uterus segera setelah plasenta lahir.
4. Kehamilan dengan mioma uterus
Mioma yang paling sering menjadi penyebab perdarahan post
partum adalah mioma intra mular, dimana mioma berada di dalam
miometrium sehingga akan menghalangi uterus berkontraksi.
5. Persalinan buatan (SC, Forcep dan vakum ekstraksi)
Persalinan buatan mengakibatkan otot uterus dipaksa untuk segera
mengeluarkan buah kehamilan dengan segera sehingga pada pasca salin
menjadi lelah dan lemah untuk berkontraksi.
6. Persalinan lewat waktu
Peregangan yang berlebihan ada otot uterus karena besarnya
kehamilan, ataupun juga terlalu lama menahan beban janin di dalamnya
menjadikan otot uterus lelah dan lemah untuk berkontraksi.
7. Infeksi intrapartum
Korioamnionitis adalah infeksi dari korion saat intrapartum yang
potensial akan menjalar pada otot uterus sehingga menjadi infeksi dan
menyebabkan gangguan untuk melakukan kontraksi.
8. Persalinan yang cepat
Persalainan cepat mengakibatkan otot uterus dipaksa untuk segera
mengeluarkan buah kehamilan dengan segera sehingga pada pasca salin
menjadi lelah dan lemah untuk berkontraksi.
9. Kelainan plasenta
Plasenta akreta, plasenta previa dan plasenta lepas prematur
mengakibatkan gangguan uterus untuk berkontraksi. Adanya benda asing
menghalangi kontraksi yang baik untuk mencegah terjadinya perdarahan.
5

10. Anastesi atau analgesik yang kuat
Obat anastesi atau analgesi dapat menyebabkan otot uterus menjadi
dalam kondisi relaksasi yang berlebih, sehingga saat dibutuhkan untuk
berkontraksi menjadi tertunda atau terganggu. Demikian juga dengan
magnesium sulfat yang digunakan untuk mengendalikan kejang pada
preeklamsi/eklamsi yang berfungsi sebagai sedativa atau penenang.
11. Induksi atau augmentasi persalinan
Obat-obatan uterotonika yang digunakan untuk memaksa uterus
berkontraksi saat proses persalinan mengakibatkan otot uterus menjadi
lelah.
12. Penyakit sekunder maternal
Anemia, endometritis, kematian janin dan koagulasi intravaskulere
diseminata merupakan penyebab gangguan pembekuan darah yang
mengakibatkan tonus uterus terhambat untuk berkontraksi.
Beberapa faktor Predisposisi yang lainnya yang terkait dengan
perdarahan pasca persalinan yang disebabkan oleh Atonia Uteri, diantaranya
adalah :
1. Yang menyebabkan uterus membesar lebih dari normal selama kehamilan,
diantaranya :
a. Jumlah air ketuban yang berlebihan (Polihidramnion)
b. Kehamilan gemelli
c. Janin besar (makrosomia)
2. Kala satu atau kala 2 memanjang
3. Persalinan cepat (partus presipitatus)
4. Persalinan yang diinduksi atau dipercepat dengan oksitosin
5. Infeksi intrapartum
6. Multiparitas tinggi
7. Magnesium sulfat digunakan untuk mengendalikan kejang pada pre
eklamsi / eklamsia.
Atonia Uteri juga dapat timbul karena salah penanganan kala III
persalinan, dengan memijat uterus dan mendorongnya ke bawah dalam usaha
melahirkan plasenta, sedang sebenarnya belum terlepas dari uterus.
6

Menurut Roestman (1998), faktor predisposisi terjadinya Atonia
Uteri adalah :
1. Umur : umur yang terlalu muda atau tua
2. Paritas : sering dijumpai pada multipara dan grademultipara
3. Obstetri operatif dan narkosa
4. Uterus terlalu diregang dan besar, pada gemeli, hidramnion, atau janin
besar
5. Kelainan pada uterus seperti mioma uteri
6. Faktor sosio ekonomi yaitu mal nutrisi
3.3 Tanda dan Gejala Atonia Uteri
Tanda dan gejala atonia uteri adalah:
1. Perdarahan pervaginam
Perdarahan yang terjadi pada kasus atonia uteri sangat banyak dan
darah tidak merembes. Yang sering terjadi adalah darah keluar disertai
gumpalan, hal ini terjadi karena tromboplastin sudah tidak mampu lagi
sebagai anti pembeku darah.
2. Konsistensi rahim lunak
Gejala ini merupakan gejala terpenting/khas atonia dan yang
membedakan atonia dengan penyebab perdarahan yang lainnya.
3. Fundus uteri naik
Disebabkan adanya darah yang terperangkap dalam cavum uteri
dan menggumpal
4. Terdapat tanda-tanda syok
Tekanan darah rendah, denyut nadi cepat dan kecil, ekstremitas
dingin, gelisah, mual dan lain-lain.
3.4 Pencegahan Pada Atonia Uteri
Pemberian oksitosin rutin pada kala III dapat mengurangi risiko
perdarahan pospartum lebih dari 40%, dan juga dapat mengurangi kebutuhan
obat tersebut sebagai terapi. Menejemen aktif kala III dapat mengurangi
jumlah perdarahan dalam persalinan, anemia, dan kebutuhan transfusi darah.
7

Kegunaan utama oksitosin sebagai pencegahan atonia uteri yaitu
onsetnya yang cepat, dan tidak menyebabkan kenaikan tekanan darah atau
kontraksi tetani seperti ergometrin. Pemberian oksitosin paling bermanfaat
untuk mencegah atonia uteri. Pada manajemen kala III harus dilakukan
pemberian oksitosin setelah bayi lahir. Aktif protokol yaitu pemberian 10 unit
IM, 5 unit IV bolus atau 10-20 unit per liter IV drip 100-150 cc/jam.
Analog sintetik oksitosin, yaitu karbetosin, saat ini sedang diteliti
sebagai uterotonika untuk mencegah dan mengatasi perdarahan pospartum
dini. Karbetosin merupakan obat long-acting dan onset kerjanya cepat,
mempunyai waktu paruh 40 menit dibandingkan oksitosin 4-10 menit.
Penelitian di Canada membandingkan antara pemberian karbetosin
bolus IV dengan oksitosin drip pada pasien yang dilakukan operasi sesar.
Karbetosin ternyata lebih efektif dibanding oksitosin. Prostaglandin
(Misoprostol) akhir-akhir ini digunakan sebagai pencegahan perdarahan
postpartum.
3.5 Penatalaksanaan Atonia Uteri
8

1. Penanganan Umum
a. Mintalah Bantuan. Segera mobilisasi tenaga yang ada dan siapkan
fasilitas tindakan gawat darurat.
b. Lakukan pemeriksaan cepat keadaan umum ibu termasuk tanda
vital(TNSP).
c. Jika dicurigai adanya syok segera lakukan tindakan. Jika tanda -tanda
syok tidak terlihat, ingatlah saat melakukan evaluasi lanjut karena status
ibu tersebut dapat memburuk dengan cepat.
d. Jika terjadi syok, segera mulai penanganan syok.oksigenasi dan
pemberian cairan cepat, Pemeriksaan golongan darah dan crossmatch
perlu dilakukan untuk persiapan transfusi darah.
e. Pastikan bahwa kontraksi uterus baik.
f. Lakukan pijatan uterus untuk mengeluarkan bekuan darah. Bekuan
darah yang terperangkap di uterus akan menghalangi kontraksi uterus
yang efektif. berikan 10 unit oksitosin IM.
g. Lakukan kateterisasi, dan pantau cairan keluar-masuk.
h. Periksa kelengkapan plasenta Periksa kemungkinan robekan serviks,
vagina, dan perineum.
i. Jika perdarahan terus berlangsung, lakukan uji beku darah.
Setelah perdarahan teratasi (24 jam setelah perdarahan berhenti),
periksa kadarHemoglobin:
a. Jika Hb kurang dari 7 g/dl atau hematokrit kurang dari 20%( anemia
berat):berilah sulfas ferrosus 600 mg atau ferous fumarat 120 mg
ditambah asam folat 400 mcg per oral sekali sehari selama 6 bulan.
b. Jika Hb 7-11 g/dl: beri sulfas ferrosus 600 mg atau ferous fumarat 60
mg ditambah asam folat 400 mcg per oral sekali sehari selama 6 bulan.
2. Penanganan Khusus
a. Kenali dan tegakkan diagnosis kerja atonia uteri.
b. Teruskan pemijatan uterus.Masase uterus akan menstimulasi kontraksi
uterus yang menghentikan perdarahan.
c. Oksitosin dapat diberikan bersamaan atau berurutan
9

d. Jika uterus berkontraksi.Evaluasi, jika uterus berkontraksi tapi
perdarahan uterus berlangsung, periksa apakah perineum / vagina dan
serviks mengalami laserasi dan jahit atau rujuk segera.
e. Jika uterus tidak berkontraksi maka :Bersihkanlah bekuan darah atau
selaput ketuban dari vagina & ostium serviks. Pastikan bahwa kandung
kemih telah kosong.
Antisipasi dini akan kebutuhan darah dan lakukan transfusi sesuai
kebutuhan. Jika perdarahan terus berlangsung:
a. Pastikan plasenta plasenta lahir lengkap, Jika terdapat tanda-tanda sisa
plasenta (tidak adanya bagian permukaan maternal atau robeknya
membran dengan pembuluh darahnya), keluarkan sisa plasenta tersebut.
Lakukan uji pembekuan darah sederhana. Kegagalan terbentuknya
pembekuan setelah 7 menit atau adanya bekuan lunak yang dapat pecah
dengan mudah menunjukkan adanya koagulopati. Jika perdarahan terus
berlangsung dan semua tindakan di atas telah dilakukan, lakukan:
Kompresi bimanual internal atau Kompresi aorta abdominalis dan
Lakukan kompresi bimanual internal (KBI) selama 5 menit.
b. Jika uterus berkontraksi, teruskan KBI selama 2 menit, keluarkan
tangan perlahan-lahan dan pantau kala empat dengan ketat.Jika uterus
tidak berkontraksi, maka : Anjurkan keluarga untuk mulai melakukan
kompresi bimanual eksternal; Keluarkan tangan perlahan-lahan;
Berikan ergometrin 0,2 mg LM (jangan diberikan jika hipertensi);
Pasang infus menggunakan jarum ukuran 16 atau 18 dan berikan 500
ml RL + 20 unit oksitosin. Habiskan 500 ml pertama secepat mungkin;
Ulangi KBI,Jika uterus berkontraksi, pantau ibu dengan seksama
selama kala empat.
c. Jika uterus tidak berkontraksi maka rujuk segera
Jika perdarahan terus berlangsung setelah dilakukan kompresi:
a. Lakukan ligasi arteri uterina dan ovarika.
b. Lakukan histerektomi jika terjadi perdarahan yang mengancam jiwa
setelah ligasi.
10

3. Resusitasi
Apabila terjadi perdarahan pospartum banyak, maka penanganan
awal yaitu resusitasi dengan oksigenasi dan pemberian cairan cepat,
monitoring tanda-tanda vital, monitoring jumlah urin, dan monitoring
saturasi oksigen.
Pemeriksaan golongan darah dan crossmatch perlu dilakukan untuk
persiapan transfusi darah.
4. Masase dan kompresi bimanual
Masase dan kompresi bimanual akan menstimulasi kontraksi uterus
yang akan menghentikan perdarahan. Pemijatan fundus uteri segera setelah
lahirnya plasenta (max 15 detik).
a. Jika uterus berkontraksi
Evaluasi : jika uterus berkontraksi tapi perdarahan uterus berlangsung,
periksa apakah perineum / vagina dan serviks mengalami laserasi dan
jahit atau rujuk segera.
b. Jika uterus tidak berkontraksi maka :
1) Bersihkanlah bekuan darah atau selaput ketuban dari vagina dan
lobang serviks.
2) Pastikan bahwa kandung kemih telah kosong
3) Lakukan kompresi bimanual internal (KBI) selama 5 menit.
Jika uterus berkontraksi, teruskan KBI selama 2 menit, keluarkan
tangan perlahan-lahan dan pantau kala empat dengan ketat. Jika uterus
tidak berkontraksi, maka : Anjurkan keluarga untuk mulai melakukan
kompresi bimanual eksternal; Keluarkan tangan perlahan-lahan; Berikan
ergometrin 0,2 mg LM (jangan diberikan jika hipertensi); Pasang infus
menggunakan jarum ukuran 16 atau 18 dan berikan 500 ml RL + 20 unit
oksitosin. Habiskan 500 ml pertama secepat mungkin; Ulangi KBI.
Jika uterus berkontraksi, pantau ibu dengan seksama selama kala
empat. Jika uterus tidak berkontraksi maka rujuk segera.
5. Retensio Plasenta
11

a. Jika plasenta terlihat dalam vagina, mintalah ibu untuk mengedan. Jika
pemeriksa dapat merasakan plasenta dalam vagina, keluarkan plasenta
tersebut.
b. Pastikan kantung kemih kosong. Jika diperlukan, lakukan kateterisasi
kantung kemih.
c. Jika plasenta belum keluar, berikan oksitosin 10 IU secara I.M. jika
belum dilakukan pada penanganan aktif kala.
d. Jika plasenta belum dilahirkan setelah 30 menit pemberian oksitosin
dan uterus terasa berkontraksi, lakukan penarikan tali pusat terkendali.
e. Jika traksi tali pusat terkendali belum berhasil, cobalah untuk
melakukan pengeluaran plasenta secara manual.
f. Jika perdarahan terus berlangsung, lakukan uji pembekuan darah
sederhana
g. Jika terdapat tanda-tanda infeksi, berikan antibiotika.
6. Inversio Uterus
a. Memanggil bantuan anastesi dan memasang infus untuk cairan/darah
pengganti dan pemberian obat.
b. Beberapa memberikan tokolitik untuk melemaskan uterus yang berbalik
sebelum dilakukan reposisi manual yaitu mendorong endometrium ke
atas masuk ke dalam vagina dan terus melewati serviks sampai tangan
masuk ke dalam uterus pada posisi normalnya. Hal itu dapat dilakukan
sewaktu plasenta sudah terlepas atau tidak.
c. Di dalam uterus plasenta dilepaskan secara manual dan bila berhasil
dikeluarkan dari rahim dan sambil memberikan uteronika lewat infus
atau i.m. tangan tetap dipertahankan agar konfigurasi uterus kembali
normal.
d. Pemberian antiobiotika dan tranfusi darah sesuai dengan keperluannya.
e. Intervensi bedah dilakukan bila jepitan serviks yg keras menyebabkan
manuver di atas tidak bisa dikerjakan, maka dilakukan laparotomi untuk
reposisi dan kalau terpaksa dilakukan histerektomi bila uterus sudah
mengalami infeksi dan nekrosis.
7. Uterine lavage dan Uterine Packing
12

Jika uterotonika gagal menghentikan perdarahan, pemberian air
panas ke dalam cavum uteri mungkin dapat bermanfaat untuk mengatasi
atonia uteri. Pemberian 1-2 liter salin 47°C-50°C langsung ke dalam
cavum uteri menggunakan pipa infus. Tangan operator tidak boleh
menghalangi vagina untuk memberi jalan salin keluar.
Penggunaan uterine packing saat ini tidak disukai dan masih
kontroversial. Efeknya adalah hiperdistended uterus dan sebagai tampon
uterus.
Prinsipnya adalah membuat distensi maksimum sehingga
memberikan tekanan maksimum pada dinding uterus. Segmen bawah
rahim harus terisi sekuat mungkin, anestesi dibutuhkan dalam penanganan
ini dan antibiotika broad-spectrum harus diberikan. Uterine packing
dipasang selama 24-36 jam, sambil memberikan resusitasi cairan dan
transfusi darah masuk. Uterine packing diberikan jika tidak tersedia
fasilitas operasi atau kondisi pasien tidak memungkinkan dilakukan
operasi.
8. Operatif
Beberapa penelitian tentang ligasi arteri uterina menghasilkan
angka keberhasilan 80-90%. Pada teknik ini dilakukan ligasi arteri uterina
yang berjalan disamping uterus setinggi batas atas segmen bawah rahim.
Jika dilakukan SC, ligasi dilakukan 2-3 cm dibawah irisan segmen bawah
rahim. Untuk melakukan ini diperlukan jarum atraumatik yang besar dan
benang absorbable yang sesuai.
Arteri dan vena uterina diligasi dengan melewatkan jarum 2-3 cm
medial vasa uterina, masuk ke miometrium keluar di bagian avaskular
ligamentum latum lateral vasa uterina. Saat melakukan ligasi hindari
rusaknya vasa uterina dan ligasi harus mengenai cabang asenden arteri
miometrium, untuk itu penting untuk menyertakan 2-3 cm miometrium.
Jahitan kedua dapat dilakukan jika langkah diatas tidak efektif dan jika
terjadi perdarahan pada segmen bawah rahim. Dengan menyisihkan vesika
urinaria, ligasi kedua dilakukan bilateral pada vasa uterina bagian bawah,
3-4 cm dibawah ligasi vasa uterina atas. Ligasi ini harus mengenai
13

sebagian besar cabang arteri uterina pada segmen bawah rahim dan cabang
arteri uterina yang menuju ke servik, jika perdarahan masih terus
berlangsung perlu dilakukan bilateral atau unilateral ligasi vasa ovarian.
a. Ligasi arteri Iliaka Interna
Identiffikasi bifurkasiol arteri iliaka, tempat ureter menyilang,
untuk melakukannya harus dilakukan insisi 5-8 cm pada peritoneum
lateral paralel dengan garis ureter. Setelah peritoneum dibuka, ureter
ditarik ke medial kemudian dilakukan ligasi arteri 2,5 cm distal
bifurkasio iliaka interna dan eksterna. Klem dilewatkan dibelakang
arteri, dan dengan menggunakan benang non absobable dilakukan dua
ligasi bebas berjarak 1,5-2 cm. Hindari trauma pada vena iliaka interna.
Identifikasi denyut arteri iliaka eksterna dan femoralis harus dilakukan
sebelum dan sesudah ligasi.
Risiko ligasi arteri iliaka adalah trauma vena iliaka yang dapat
menyebabkan perdarahan. Dalam melakukan tindakan ini dokter harus
mempertimbangkan waktu dan kondisi pasien.
b. Teknik B-Lynch
Teknik B-Lynch dikenal juga dengan “brace suture”, ditemukan
oleh Christopher B Lynch 1997, sebagai tindakan operatif alternative
untuk mengatasi perdarahan pospartum akibat atonia uteri.
c. Histerektomi
Histerektomi peripartum merupakan tindakan yang sering
dilakukan jika terjadi perdarahan pospartum masif yang membutuhkan
tindakan operatif. Insidensi mencapai 7-13 per 10.000 kelahiran, dan
lebih banyak terjadi pada persalinan abdominal dibandingkan vaginal.
9. Uterotonika
Oksitosin : merupakan hormon sintetik yang diproduksi oleh lobus
posterior hipofisis. Obat ini menimbulkan kontraksi uterus yang efeknya
meningkat seiring dengan meningkatnya umur kehamilan dan timbulnya
reseptor oksitosin. Pada dosis rendah oksitosin menguatkan kontraksi dan
meningkatkan frekwensi, tetapi pada dosis tinggi menyebabkan tetani.
14

Oksitosin dapat diberikan secara IM atau IV, untuk perdarahan
aktif diberikan lewat infus dengan Larutan Ringer laktat 20 IU perliter,
jika sirkulasi kolaps bisa diberikan oksitosin 10 IU intramiometrikal
(IMM).
Efek samping pemberian oksitosin sangat sedikit ditemukan yaitu nausea
dan vomitus, efek samping lain yaitu intoksikasi cairan jarang ditemukan.
Metilergonovin maleat : merupakan golongan ergot alkaloid yang
dapat menyebabkan tetani uteri setelah 5 menit pemberian IM.
Dapat diberikan secara IM 0,25 mg, dapat diulang setiap 5 menit sampai
dosis maksimum 1,25 mg, dapat juga diberikan langsung pada
miometrium jika diperlukan (IMM) atau IV bolus 0,125 mg.
Obat ini dikenal dapat menyebabkan vasospasme perifer dan
hipertensi, dapat juga menimbulkan nausea dan vomitus. Obat ini tidak
boleh diberikan pada pasien dengan hipertensi.
Prostaglandin (Misoprostol) : merupakan sintetik analog 15 metil
prostaglandin F2alfa. Misoprostol dapat diberikan secara intramiometrikal,
intraservikal, transvaginal, intravenous, intramuscular, dan rectal.
Pemberian secara IM atau IMM 0,25 mg, yang dapat diulang setiap 15
menit sampai dosis maksimum 2 mg. Pemberian secara rektal dapat
dipakai untuk mengatasi perdarahan pospartum (5 tablet 200 µg = 1 g).
Prostaglandin ini merupakan uterotonika yang efektif tetapi dapat
menimbulkan efek samping prostaglandin seperti: nausea, vomitus, diare,
sakit kepala, hipertensi dan bronkospasme yang disebabkan kontraksi otot
halus, bekerja juga pada sistem termoregulasi sentral, sehingga kadang-
kadang menyebabkan muka kemerahan, berkeringat, dan gelisah yang
disebabkan peningkatan basal temperatur, hal ini menyebabkan penurunan
saturasi oksigen.
Uterotonika ini tidak boleh diberikan pada ibu dengan kelainan
kardiovaskular, pulmonal, dan gangguan hepatik.
Efek samping serius penggunaannya jarang ditemukan dan sebagian besar
dapat hilang sendiri. Dari beberapa laporan kasus penggunaan
prostaglandin efektif untuk mengatasi perdarahan persisten yang
15

disebabkan atonia uteri dengan angka keberhasilan 84%-96%. Perdarahan
pospartum dini sebagian besar disebabkan oleh atonia uteri maka perlu
dipertimbangkan pemakaian Uterotonika untuk menghindari perdarahan
masif yang terjadi.
10. Kompresi Uterus Bimanual.
Peralatan : sarung tangan steril; dalam keadaan sangat gawat;
lakukan dengan tangan telanjang yang telah dicuci.
Teknik :
a. Basuh genetalia eksterna dengan larutan disinfektan; dalam kedaruratan
tidak diperlukan,
b. Eksplorasi dengan tangan kiri
c. Sisipkan tinju kedalam forniks anterior vagina.Tangan kanan (luar)
menekan dinding abdomen diatas fundus uteri dan menangkap uterus
dari belakang atas.
d. Tangan dalam menekan uterus keatas terhadap tangan luar,ia tidak
hanya menekan uterus, tetapi juga meregang pembuluh darah aferen
sehingga menyempitkan lumennya.
Kompresi uterus bimanual dapat ditangani tanpa kesulitan dalam
waktu 10-15 menit. Biasanya ia sangat baik mengontrol bahaya sementara
dan sering menghentikan perdarahan secara sempurna.Bila uterus refrakter
oksitosin, dan perdarahan tidak berhenti setelah kompresi bimanual, maka
histerektomi tetap merupakan tindakan terakhir.
3.6 Peran Bidan
1. Masase Fundus Uteri segera setelah lahirnya plasenta
(maksimal 15 detik), Pemijatan merangsang kontraksi
uterus sambil dilakukan penilaian kontraksi uterus.
2. Bersihkan bekuan darah atau selaput ketuban dari vagina
dan lubang serviks. Bekuan darah dan selaput ketuban
dalam vagina dan saluran serviks akan dapat menghalang
kontraksi uterus secara baik.
16

3. Pastikan bahwa kantung kemih kosong. Kandung kemih
yang penuh akan dapat menghalangi uterus berkontraksi
secara baik.
4. Lakukan kompresi bimanual internal selama 5 menit.
Kompresi uterus ini akan memberikan tekanan langsung
pada pembuluh terbuka di dinding dalam uterus dan
merangsang myometrium untuk berkontraksi;
5. Anjurkan keluarga untuk melakukan kompresi bimanual
eksternal. Keluarga dapat meneruskan proses kompresi
bimanual secara eksternal selama anda melakukan
langkah-langkah selanjutnya.
6. Keluarkan tangan perlahan-lahan.
7. Berikan ergometrin 0,2 mg IM (jangan diberikan jika
hipertensi). Ergometrin akan bekerja selama 5-7 menit dan
menyebabkan kontraksi uterus.
8. Pasang infuse menggunakan jarum ukuran 16 atau 18 dan
berikan 500 cc ringer laktat + 20 umit oksitosin.
9. Ulangi kompresi bimanual internal. KBI yang digunakan
bersama dengan ergometrin dan oksitosin akan membantu
uterus berkontraksi.
10. Dampingi ibu ke tempat rujukan. Teruskan melakukan
KBI. Kompresi uterus ini memberikan tekanan langsung
pada pembuluh terbuka dinding uterus dan merangsang
myometrium untuk berkontraksi.
11. Lanjutkan infuse ringer laktat + 20 unit oksitosin dalam
500 ml larutan dengan laju 500 ml/jam hingga tiba di
tempat rujukan. Ringer laktat akan membantu
memulihkan volume cairan yang hilang selama
peredarahan. (APN 2007).
17

BAB IV
PENUTUP
4.1 Simpulan
Atonia Uteri didefinisikan sebagai suatu kondisi kegagalan uterus
dalam berkontraksi dengan baik setelah persalinan, sedangkan atonia uteri
juga didefinisikan sebagai tidak adanya kontraksi uterus segera setelah
plasenta lahir.
Atonia uteri merupakan penyebab terbanyak perdarahan pospartum
dini (50%), dan merupakan alasan paling sering untuk melakukan
histerektomi peripartum. Kontraksi uterus merupakan mekanisme utama
untuk mengontrol perdarahan setelah melahirkan. Atonia uteri terjadi karena
kegagalan mekanisme ini.
Perdarahan pospartum secara fisiologis dikontrol oleh kontraksi
serabut-serabut miometrium yang mengelilingi pembuluh darah yang
memvaskularisasi daerah implantasi plasenta. Atonia uteri terjadi apabila
serabut-serabut miometrium tersebut tidak berkontraksi.
4.2 Saran
Ibu bersalin sebaiknya harus memperhatikan kesehatannya dan
bidan uga harus terus memantau perkembangan ibu bersalin, dan sbaiknya ibu
dibemberian oksitosin rutin pada kala III dapat mengurangi risiko perdarahan
18

pospartum lebih dari 40%, dan juga dapat mengurangi kebutuhan obat
tersebut sebagai terapi.
19