129850938-7598629AERY Q5E42-iugr-atonia
-
Upload
yogie-permana-agusta -
Category
Documents
-
view
25 -
download
0
description
Transcript of 129850938-7598629AERY Q5E42-iugr-atonia
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pertumbuhan Janin Terhambat (PJT) atau Intrauterine Growth
Restriction (IUGR)
1. Definisi
Pertumbuhan janin terhambat adalah janin dengan berat badan
kurang dari atau sama dengan 10 persentil, atau lingkaran perut kurang atau
sama dengan 5 persentil atau FL/AC > 24. Biometri tidak berkembang
setelah 2 minggu.
Janin kecil masa kehamilan (KMK) adalah janin yang berat
badannya sama atau kurang dari 10 persentil atau yang lingkaran perutnya
sama atau kurang dari 5 persentil (Himpunan Fetomaternal POGI, 2006).
Empat puluh persen pertumbuhan janin terhambat (PJT) karena
perfusi plasenta yang menurun atau insufisiensi utero-plasenta.Dua puluh
persen hambatan pertumbuhan karena potensi tumbuh yang kurang karena
kelainan genetik atau kerusakan lingkungan.PJT tidak selalu KMK dan
begitu sebaliknya.KMK yang disebabkan oleh PJT hanya mencapai 15
persen (Himpunan Fetomaternal POGI, 2006).
2. Klasifikasi PJT
a. Tipe I Simetris : Ukuran badannya secara proporsional kecil, gangguan
pertumbuhan terjadi sebelum usia kehamilan 20 minggu, dan sering
disebabkan oleh kelainan kromosom atau infeksi. Jika terjadi pada
awal kehamilan saat hiperplasia, jumlah sel berkurang secara
permanen dan memiliki prognosis buruk. Penampilan klinisnya
proporsional dengan gangguan yang sama pada panjang dan beratnya
sehingga indeks ponderal normal.
b. Tipe II Asimetris : Ukurannya badannya tidak proporsional, gangguan
pertumbuhan janin terjadi pada kehamilan trimester III, dan sering
disebabkan oleh insufisiensi plasenta. Jika gangguan terjadi pada
kehamilan lanjut saat hipertrofi, ukuran selnya berkurang, dan
prognosis lebih baik. Lingkaran perut janin dengan gangguan ini
5
berukuran kecil dengan skeletal dan kepala normal sehingga indeks
ponderal abnormal (Himpunan Fetomaternal POGI, 2006).
3. Faktor Risiko PJT
a. Lingkungan Sosioekonomi rendah
b. Riwayat PJT dalam keluarga
c. Riwayat Obstetri yang buruk
d. Berat badan sebelum hamil dan selama kehamilan rendah
e. Komplikasi obstetrik dalam kehamilan
f. Komplikasi medik dalam kehamilan (Himpunan Fetomaternal POGI,
2006).
4. Faktor-faktor risiko PJT yang terdeteksi sebelum hamil:
a. Riwayat PJT sebelumnya
b. Riwayat Penyakit Kronis
c. Riwayat APS (Antiphospholipid Syndrome)
d. Indeks Massa Tubuh rendah
e. Maternal Hipoksia (Himpunan Fetomaternal POGI, 2006).
5. Faktor –Faktor risiko PJT yang terdeteksi selama kehamilan
a. Peninggian MSAFP/hCG
b. Riwayat makan obat-obatan tertentu (Coumarin, hydantoin)
c. Perdarahan pervaginam
d. Kelainan plasenta
e. Partus prematurus
f. Kehamilan ganda
f. Kurangnya pertambahan berat badan selama kehamilan (Himpunan
Fetomaternal POGI, 2006).
6. Etiologi
a. Maternal : hipertensi dalam kehamilan, penyakit jantung sianosis, DM
kelas lanjut, hemoglobinopati, penyakit autoimun, malnutrisi,
merokok, narkotik, kelainan uterus, trombofili.
b. Plasenta dan tali pusat : sindroma twin-twin transfusion, kelainan
plasenta, solusio plasenta kronik, plasenta previa, kelainan insersi tali
pusat, kelainan tali pusat, kembar.
6
c. Infeksi : HIV, cytomegalovirus, rubella, herpes, toksoplasmosis, sifilis.
g. Kelainan Kromosom/ genetic : trisomi 13, 18, dan 21, triploidi,
sindrom turner, penyakit metabolik (Himpunan Fetomaternal POGI,
2006).
IUGR atau PJT dicurigai atau didiagnosis jika terdapat janin kecil
namun, sehat atau merupakan konsekuensi dari berbagai kondisi. Kondisi
abnormal tersebut antara lain dapat berupa kondisi maternal seperti
hipertensi kronik, pre-gestasional diabetes, penyakit kardiovaskuler,
penyalahgunaan senyawa tertentu, kondisi autoimun, dan lain-lain.
Kondisi fetal dapat berupa infeksi, malformasi, aberasi kromosom, dan
lain-lain. Kondisi plasenta dapat berupa chorioangioma, plasenta
sirkumvalata, confined placenta mosaicsm, vaskulopati obliteratif pada
pijakan plasenta, dan lain-lain. Etiologi tersering adalah berasal dari
kondisi plasenta (Mandruzzato et al., 2008). Adapun yang merincinya
lebih banyak yaitu menurut Peleg et al. (1998) pada tabel 2.1.
Tabel 2.1. Etiologi Intrauterine Growth Restriction
Etiologi PJT atau IUGR
Insufisiensi Plasenta
Unexplained Peningkatan kadar alpha- fetoprotein
maternal
Idiopatik
Preeklampsia
Penyakit Kronik Maternal
Pneyakit kardiovaskuler
Diabetes
Hipertensi
Plasentasi Abnormal
Abruptio placentae
Placenta previa
Infark
Circumvallate placenta
Placenta accreta
Hemangioma
Kelainan Genetik
Family history
Trisomi 13, 18 and 21
Triploidi
Turner's syndrome (beberapa kasus)
Malformasi janin
7
Imunologik
Antiphospholipid syndrome
Infeksi
Cytomegalovirus
Rubella
Herpes
Toxoplasmosis
Metabolik
Phenylketonuria
Poor maternal nutrition
Substance abuse (smoking, alcohol, drugs)
Multiple gestation
Status Ekonomi rendah
(Dikutip dari : Plege et al., 1998).
7. Patogenesis dan Patofisiologi
Ukuran maternal berinteraksi dengan kedua genotip maternal dan
fetus. Hal ini bertujuan untuk mengendalikan ukuran dan penambahan dari
pertumbuhan fetus. Area diffusa besar dari allantochorion yang
mempengaruhinya akan berkaitan dengan besar densitas, kompleksitas, dan
kedalaman mikrokotiledon (Allen et al., 2002).
Gambar 2.1. Mekanisme IUGR dengan Preeklampsia (Dikutip dari : Irani et
al., 2009)
8
IUGR dengan pre-eklampsia diketahui memiliki hubungan dengan
AT1 receptor agonist autoantibodies (AT1-AAs). Autoantibodi ini tampak
menembus plasenta ke tali pusat dan masuk ke tubuh janin. Autoantibodi
ini menyebabkan kegagalan plasentasi dengan meningkatkan mekanisme
apoptosis. Autoantibodi ini banyak didapatkan pada trofoblas dan tali
pusat. Reaksi imunitas oleh AT1-AAs ini menyebabkan reaksi imunologis
dan aktivasi imun berupa reactive oxygen species (ROS) dan reaksi
apoptosis, serta aktivasi TNF, antiangiogenic factors. Pada janin yang
mengalami IUGR, konsentrasi AT1-AAs ini tinggi dibandingkan wanita
normotensif tanpa penyulit. Pada janin, autoantibodi ini akan
meningkatkan reaksi imunitas pada hepar sehingga perkembangannya
abnormal serta pada ginjal. Selain itu, janin akan mengalami gangguan
tumbuh IUGR (Irani et al., 2009).
8. Diagnosis
Diagnosis suspek PJT dilakukan jika terdapat satu atau lebih tanda-tanda
di bawah ini:
a. TFU 3 cm atau di bawah normal
b. Pertambahan berat badan < 5 kg pada UK (usia kehamilan) 24 minggu
atau < 8 kg pada UK 32 minggu (untuk ibu dengan BMI < 30)
c. Estimasi berat badan < 10 persentil
d. HC/AC > 1
e. AFI (amniotic fluid index) 5 cm atau kurang
f. Sebelum UK 34 minggu plasenta grade 3
g. Ibu merasa gerakan janin berkurang (Himpunan Fetomaternal POGI,
2006).
9
Gambar 2.2 Grafik Pertumbuhan Janin (Dikutip dari: Peleg et al.,
1998).
Diagnosis PJT dapat dilihat dari berat badan yang kurang dari 10
persentil. Hal ini dapat diajukan pada grafik pertumbuhan janin pada
gambar 2.2.
9. Cara Diagnosis
a. Palpasi : akurasi pemeriksaan ini terbatas dan membutuhkan
pemeriksaan biometri janin
b. Pengukuran Tinggi Fundus Uteri (TFU) akurasi pengukuran untuk
mendeteksi janin KMK terbatas dengan sensitivitas 56-86 persen dan
spesifisitas 80-93 persen. Pengukuran TFU serial dapat meningkatkan
sensitivitas dan spesifisitas pengukuran TFU.
c. Estimasi berat janin atau estimation of fetal weight (EFW) dan
abdominal circumference (AC) lebih akurat untuk diagnosis KMK.
10
d. Pengukuran volume air ketuban, Doppler, KTG, dan BPS lemah dalam
mendiagnosis PJT (Himpunan Fetomaternal POGI, 2006).
Pemeriksaan pada pre-eclampsia: Pemeriksaan IUGR pada
preeclampsia dapat menggunakan Doppler arteri yang dibarengi dengan
pemeriksaan Placental growth factor (PlGF) dan soluble fms-like tyrosine
kinase 1 (sFlt1) pada sirkulasi ibu. Keduanya terbukti berbeda
dibandingkan ibu preeclampsia dan ibu normotensif. PIGF merupakan
faktor angiogenik plasenta yang pada preeclampsia lebih rendah
dibandingkan ibu normotensif. Kadar sFlt1 pada ibu preeclampsia jauh
lebih tinggi dibandingkan ibu normotensif. Hal ini merupakan faktor
penghambat. Sedangkan, IUGR yang terjadi secara umum dikarenakan
kurangnya nutrisi ibu baik sebelum hamil dan saat hamil (Crispi et al.,
2008).
10. Pemantauan Fungsional Janin
a. Penilaian volume air ketuban
Penilaian ini menggunakan USG secara semikukuantitatif dengan skor
4 kuadran atau pengukuran diameter vertikal kantong amnion
terbesar.Volume normal tidak menyingkirkan PJT. PJT yang disertai
oligohidramnion akan meningkatkan angka kematian perinatal 50 kali
lebih tinggi yang dianggap sebagai indikasi terminasi kehamilan pada
janin viabel. AFI < 5 cm dan diameter kantong < 2 cm memiliki
b. Penilaian kesejahteraan janin
Kesejahteraan janin dinilai dengan mengukur BPS
c. Pengukuran Doppler Velocimetry
d. Pemeriksaan pembuluh darah arteri (Doppler)
e. Pemeriksaan pembuluh darah vena (Doppler) (Himpunan Fetomaternal
POGI, 2006).
f. Non stress test (Himpunan Fetomaternal POGI, 2006).
Non stress test dapat dilakukan jika terjadi perubahan pola gerak atau
gerakan janin yang tidak biasa, saat plasenta dicurigai tidak berfungsi
adekuat, dan dalam keadaan risiko tinggi. Tes ini menggunakan
kardiotokografi. Cara melakukannya adalah dengan memasangkan
11
sabuk untuk mendengar denyut jantung janin (Djj) dan satu buah lagi
untuk mengukur kontraksi. Gerakan, denyut jantung, dan reaktivitas
jantung dari adanya gerakan diukur dalam 20-30 menit. Jika janin tidak
bergerak, tidak selalu terdapat masalah, mungkin janin tidur.
Penggugah dapat dilakukan pada janin untuk membangunkan janin.Tes
ini umumnya dapat dilakukan pada usia kehamilan 28 minggu ke atas
(APA, 2006).
Profil Biofisik (biophysic score)
Kesejahteraan janin dapat dinilai dengan menggunakan skor
biofisik. Pemeriksaan ini menggunakan alat bantu ultrasonografi. Skor
biofisik memiliki 4 komponen yaitu : gerakan napas janin, gerakan
anggota tubuh janin dan tonus otot janin, denyut jantung janin reaktif
dengan NST, dan pengukuran volume cairan amnion semikuantitatif.
Penilaian ini dilakukan dalam 20-30 menit. Skor yang dapat dihasilkan
memiliki rentang 0-10 (Manning, 2011).
Gambar 2.3. Gambaran Status Skor Biofisik dan Keadaan Janin (Dikutip
dari: Manning, 2011).
12
Gerakan janin dinilai dari gerakan satu episode fleksi dan ekstensi anggota gerak
atau gerakan tulang belakang. Gerakan napas dinilai dari gerakan dada dalam
inspirasi dan ekspirasi atau gambaran mengembang dan menguncup badan janin
(rongga dada). Volume cairan amnion atau amniotic fluid volume secara semi
kuantitatif adalah dengan mengukur jarak vertikal kantong gestasi ke fetus di
keempat kuadran uterus kemudian dijumlahkan. Umbilicus menjadi tolak ukur
pembagi uterus. Jika jumlahnya kurang dari 5 cm, hasilnya merupakan
oligohidramnion (Manning, 2011). Pemeriksaan ini dapat dinilai dengan
ketentuan pada table 2.2. berikut ini.
Tabel 2.2. Skor Biofisik Janin
Variabel Biofisik Normal (skor=2) Abnormal (skor=0)
FBM (fetal body
movement)/gerakan
napas janin
Sedikitnya 1 episode (inspirasi
dan ekspirasi) gerakan napas
selama 30 detik dalam
observasi selama 30 menit
Tidak ada gerakan atau
episode yang > 30 detik
dalam 30 menit
Gross Body
movement /
gerakan tubuh janin
Sedikitnya 3 gerakan tubuh
atau anggota gerak terpisah
dalam 30 menit (gerakan aktif
berlanjut dianggap sama
dengan gerakan-gerakan
tunggal)
Dua atau kurang dari
episode tubuh/anggota
gerak dalam 30 menit
Tonus janin Sedikitnya 1 episode ekstensi
aktif dan kembali ke fleksi
dari anggota-anggota gerak
janin atau trunkus; gerakan
membuka dan menutup tangan
juga dianggap
Baik ekstensi lambat
dengan pengembalian
setengah fleksi atau
gerakan anggota gerak
dengan ekstensi penuh;
tidak adanya gerakan janin
Denyut jantung
janin reaktif (DJJ)
reaktif atau reactive
fetal heart rate
(NST reaktif)
Sedikitnya 2 episode
akselerasi >15 kali per menit
dan sedikitnya 15 detik saat
terdapat gerakan janin dalam
30 menit
Kurang dari 2 episode
akselerasi dari DJJ atau
akselerasi < 15 kali per
menit
Volume Cairan
Amnion Kualitatif
atau amniotic fluid
volume qualitative
Sedikitnya 1 jarak kantong
yang diukur minimal berjarak
2 cm pada 2 bidang
perpendikuler
Baik tidak ada gambaran
jarak kantong atau jarak
kantong < 2 cm pada 2
bidang perpendikuler
(Dikutip dari: Manning, 2011).
BPS atau tes biofisik ini dilakukan untuk menentukan adanya kemungkinan
asfiksia janin. BPS dilakukan tergantung indikasi ibu maupun janin. Tes ini
13
dilakukan hanya jika telah mencapai usia kehamilan yang mungkin diintervensi
atau pada pusat-pusat yang memungkinkan penanganan janin setelah lahir,
umumnya setelah janin berusia 26 minggu. Tes ini umumnya tidak dilakukan
hingga terdapat gambaran klinis baik dari maternal (seperti pre-eclampsia) atau
janin (seperti IUGR). Pada kehamilan dengan diabetes, tes ini dilakukan pada usia
kehamilan 28 minggu (diabetes kelas I) dan pada usia 32 minggu (gestasional
diabetics), meskipun tidak ada tanda komplikasi. Tabel 2.3 menerangkan berbagai
interpretasi hasil tes biofisik janin beserta rekomendasi manajemen kasus tersebut
(Manning, 2011).
Tabel 2.3 Interpretasi Skor Profil Biofisik Janin dan Rekomendasi
Manajemen Klinis
(Dikutip dari : Manning, 2011)
11. Dampak PJT
Morbiditas perinatal yang mungkin terjadi antara lain prematuritas,
oligohidramnion, DJJ yang abnormal, peningkatan angka section caecarea,
asfiksia intrapartum, skor APGAR rendah, hipoglikemia, hipokalsemia,
polisitemia, hiperbilirubinemia, hipotermia, apneu, kejang, dan infeksi.
Skor Hasil Tes Interpretasi Manajemen
10/10; 8/10
(cairan normal);
8/8 tanpa NST
Sangat jarang risiko
asfiksia janin
Intervensi pada obstetri saja
dan faktor ibu, tidak ada
indikasi janin
8/10 (cairan
abnormal)
Kemungkinan
kelainan kronis pada
janin
Tentukan adanya kelainan
fungsi jaringan ginjal dan
keintakan ketuban; Jika ya,
lahirkan sesuai indikasi
janin
6/10 (cairan
cukup)
Equivocal test, ada
kemungkinan janin
asfiksia
Jika usia janin matang,
lahirkan; jika imatur, ulangi
tes dalam 24 jam, jika
<6/10, lahirkan
6/10 (cairan
abnormal)
Mungkin janin
asfiksia
Lahirkan karena indikasi
janin
4/10 Kemungkinan
asfiksia lebih besar
Lahirkan karena indikasi
janin
2/10 Hamper pasti
asfiksia
Lahirkan karena indikasi
janin
0/10 Janin pasti asfiksia Lahirkan karena indikasi
janin
14
Mortalitas perinatal dapat terjadi dengan pengaruh beberapa faktor antara
lain derajat keparahan PJT, saat terjadinya PJT, umur kehamilan dan
penyebab dari PJT. Pola kecepatan pertumbuhan bayi KMK
bervariasi.Pertumbuhan tinggi badan dan berat bayi preterm KMK yang
PJT lebih tertinggal dibandingkan dengan bayi preterm appropriate for
gestasional age (AGA) yang tidak PJT.
12. Manajemen PJT
Gambar 2.4. Pengelolaan PJT (Dikutip dari : Peleg et al., 1998).
15
A. Atonia Uteri
1. Definisi
Ketidakmampuan uterus untuk berkontraksi sebagaimana mestinya setelah
plasenta lahir. Perdarahan postpartum secara fisiologis dikontrol oleh kontraksi
serat-serat myometrium terutama yang berada disekitar pembuluh darah yang
mensuplai darah pada tempat perlengketan plasenta. Atonia uteri terjadi ketika
myometrium tidak dapat berkontraksi (Wiknjosastro,2002).
Atonia uteri merupakan kegagalan kontraksi uterus dan gagal retraksi
sehingga penekanan pembuluh darah dan pengendalian kehilangan darah gagal.
Hal ini dapat disebabkan separasi plasenta yang tidak sempurna, retensio
plasenta atau membran, partus precipitatus, partus lama, polihidramnion,
kehamilan ganda, plasenta previa, dan abruptio, anestesi umum, dan kesalahan
penanganan kala tiga serta penuhnya vesica urinaria. Faktor kehamilan dahulu
seperti paritas yang tinggi menyebabkan peningkatan jaringan parut pada
uterus, juga riwayat seksio sesarea. Active management of the third stage of
labour (AMTSL) dengan uterotonika oksitosin merupakan penanganan yang
efektif biaya dan dapat mencegah kejadian sebesar 60 % (Stanford, 2009).
2. Etiologi dan Faktor Risiko
a. Uterus yang terlalu meregang seperti (Overdistensi uterus): gemeli,
makrosomia, polihidramnion, kelainan atau tumor fetus
b. Umur yang terlalu muda atau terlalu tua
c. Multipara dengan jarak kelahiran pendek
d. Partus lama
16
e. Hipertensi dalam kehamilan
f. Anemia
g. Penggunaan oksitosin yang berlebihan dalam persalinan (induksi atau
augmentasi)
h. Riwayat pengeluaran plasenta secara manual
i. Riwayat Sectio Caecarea
( JHPIEGO, POGI, JNKPR (2007) , (Wiknjosastro, 2002)
3. Manifestasi klinis
a. Uterus tidak berkontraksi dan lembek
b. Perdarahan segera setelah anak lahir (post partum primer)
4. Pencegahan atonia uteri
Pemberian oksitosin rutin pada kala III dapat mengurangi risiko perdarahan
pospartum lebih dari 40%, dan juga dapat mengurangi kebutuhan obat
tersebut sebagai terapi. Manajemen aktif kala III dapat mengurangi jumlah
perdarahan dalam persalinan, anemia, dan kebutuhan transfusi darah.
Kegunaan utama oksitosin sebagai pencegahan atonia uteri yaitu onsetnya
yang cepat, dan tidak menyebabkan kenaikan tekanan darah atau kontraksi
tetani seperti ergometrin. Pemberian oksitosin paling bermanfaat untuk
mencegah atonia uteri. Pada manajemen kala III harus dilakukan pemberian
oksitosin setelah bayi lahir. Aktif protokol yaitu pemberian 10 unit IM, 5 unit IV
bolus atau 10-20 unit per liter IV drip 100-150 cc/jam.
Analog sintetik oksitosin, yaitu karbetosin, saat ini sedang diteliti sebagai
uterotonika untuk mencegah dan mengatasi perdarahan pospartum dini.
Karbetosin merupakan obat long-acting dan onset kerjanya cepat, mempunyai
waktu paruh 40 menit dibandingkan oksitosin 4-10 menit. Penelitian di Canada
membandingkan antara pemberian karbetosin bolus IV dengan oksitosin drip
pada pasien yang dilakukan operasi sesar. Karbetosin ternyata lebih efektif
dibanding oksitosin.
5. Manajemen atonia uteri
17
Manajemen atonia uteri dapat dilihat pada gambar 2.3 dan gambar 2.4
untuk penatalaksanaan perdarahan postpartum secara umum (Bobak, 2004).
a. Resusitasi
Apabila terjadi perdarahan pospartum banyak, maka penanganan
awal yaitu resusitasi dengan oksigenasi dan pemberian cairan cepat,
monitoring tanda-tanda vital, monitoring jumlah urin, dan monitoring
saturasi oksigen. Pemeriksaan golongan darah dan crossmatch perlu
dilakukan untuk persiapan transfusi darah.
b. Masase dan kompresi bimanual
Masase dan kompresi bimanual akan menstimulasi kontraksi uterus
yang akan menghentikan perdarahan.
18
Gambar 2.4. Skema penatalaksanaan atonia uteri (Dikutip dari: Saifuddin, 2002)
19
Perdarahan ≥1000 – 1500mL
Perdarahan aktif
Misoprostol 1000meg per rektal
Metilergometrin 0,2mg IM
Karboprost 0,25mg IM
Jahit robekan
evakuasi hematom
koreksi inversion uteri
Manual plasenta
Kuretase
Metrotreksat
Transfusi :
Fresh Frozen Plasma
Faktor rekombinan VIIA
Transfusi trombosit
Tonus (kontraksi)
Trauma (Robekan jalan lahir
inversio)
Tissue (Jaringan, retensio
plasenta)
Trombin (gangguan
pembekuan darah)
Kompresi bimanual eksterna
Oksitosin 20 IU per L dalam NACL
infus kristaloid 500 CC dalam 10
menit
Eksplorasi traktus genitalia
bagian bawah dan uterus
Evakuasi bekuan darah
Periksa plasenta Observasi pembekuan darah
Penatalaksanaan aktif kala III
Oksitosin saat atau setelah persalinan
Tarikan tali pusat terkendali
Masase fundus uteri setelah plasenta lahir
Perdarahan ≥500mL
Perdarahan pasca persalinan
Perdarahan masif
Tekanan darah menurun
Nadi meningkat
(RIMOT)
RESUSITASI
Infus 2 jalur jarum ukuran besar
Monitoring tekanan darah, nadi, produksi urin
Oksigen
TEAM APPROACH
Transfuse RBC, trombosit, dan faktor pembekuan
Pemberian vasopressor
Anestesi, hematologi, pembedahan ICU, tampon uterus
Embolisasi pembuluh darah, ligase dan jahitan kompresi
Histerektomi
20
Gambar 2.5. Skema Penatalaksanaan perdarahan postpartum (Dikutip dari: Mose, 2010)
21
Pemijatan fundus uteri segera setelah lahirnya plasenta (maksimal 15 detik)
1. Jika uterus berkontraksi
Evaluasi, jika uterus berkontraksi tapi perdarahan uterus berlangsung, periksa
apakah perineum, vagina dan serviks mengalami laserasi dan jahit atau rujuk segera
2. Jika uterus tidak berkontraksi maka :
Bersihkanlah bekuan darah atau selaput ketuban dari vagina dan serviks
Pastikan bahwa kandung kemih telah kosong
c. Teknik KBI (Kompresi Bimanual Interna)
1. Pakai sarung tangan disinfeksi tingkat tinggi atau steril, dengan lembut masukkan
tangan (dengan cara menyatukan kelima ujung jari) ke intraktus dan ke dalam vagina
itu.
2. Periksa vagina & serviks. Jika ada selaput ketuban atau bekuan darah pada kavum
uteri mungkin uterus tidak dapat berkontraksi secara penuh.
3. Letakkan kepalan tangan pada fornik anterior tekan dinding anteror uteri sementara
telapak tangan lain pada abdomen, menekan dengan kuat dinding belakang uterus
ke arah kepalan tangan dalam.
Gambar 2.6. Kompresi bimanual internal (Dikutip dari: Bobak, 2004)
22
.
4. Tekan uterus dengan kedua tangan secara kuat. Kompresi uterus ini memberikan
tekanan langsung pada pembuluh darah di dalam dinding uterus dan juga merang-
sang miometrium untuk berkontraksi.
5. Evaluasi keberhasilan:
a) Jika uterus berkontraksi dan perdarahan berkurang, teruskan melakukan KBl
selama dua menit, kemudian perlahan-lahan keluarkan tangan dari dalam
vagina. Pantau kondisi ibu secara melekat selama kala empat.
b) Jika uterus berkontraksi tapi perdarahan terus berlangsung, periksa perineum,
vagina dari serviks apakah terjadi laserasi di bagian tersebut. Segera lakukan si
penjahitan jika ditemukan laserasi.
c) Jika kontraksi uterus tidak terjadi dalam waktu 5 menit, ajarkan keluarga untuk
melakukan kompresi bimanual eksternal kemudian teruskan dengan langkah-
langkah penatalaksanaan atonia uteri selanjutnya. Minta tolong keluarga untuk
mulai menyiapkan rujukan.
Alasan: Atonia uteri seringkali bisa diatasi dengan KBl, jika KBl tidak berhasil dalam
waktu 5 menit diperlukan tindakan-tindakan lain.
6. Berikan 0,2 mg ergometrin IM (jangan berikan ergometrin kepada ibu dengan
hipertensi)
7. Menggunakan jarum berdiameter besar (ukuran 16 atau 18), pasang infus dan
berikan 500 ml larutan Ringer Laktat yang mengandung 20 unit oksitosin.
8. Pakai sarung tangan steril atau disinfeksi tingkat tinggi dan ulangi KBI.
9. Jika uterus tidak berkontraksi dalam waktu sampai 2 menit, segera lakukan rujukan
Berarti ini bukan atonia uteri sederhana. Ibu membutuhkan perawatan gawat-
darurat di fasilitas kesehatan yang dapat melakukan tindakan pembedahan dan
transfusi darah.
10. Dampingi ibu ke tempat rujukan. Teruskan melakukan KBI hingga ibu tiba di tempat
rujukan. Teruskan pemberian cairan IV hingga ibu tiba di fasilitas rujukan:
a) Infus 500 ml yang pertama dan habiskan dalam waktu 10 menit.
b) Kemudian berikan 500 ml/jam hingga tiba di tempat rujukan atau hingga jumlah
cairan yang diinfuskan mencapai 1,5 liter, dan kemudian berikan 125 ml/jam.
c) Jika cairan IV tidak cukup, infuskan botol kedua berisi 500 ml cairan dengan
tetesan lambat dan berikan cairan secara oral untuk asupan
23
d. Kompresi Bimanual Eksternal
1. Letakkan satu tangan pada abdomen di depan uterus, tepat di atas simfisis
pubis.
Gambar 2.7. Kompresi bimanual eksternal (Dikutip dari: Bobak, 2004)
2. Letakkan tangan yang lain pada dinding abdomen (dibelakang korpus uteri),
usahakan memegang bagian belakang uterus seluas mungkin.
3. Lakukan gerakan saling merapatkan kedua tangan untuk melakukan kompresi
pembuluh darah di dinding uterus dengan cara menekan uterus di antara kedua
tangan tersebut.
24
Masase fundus uteri segera sesudah
plasenta lahir(maksimal 15 detik)
ya
Uterus berkontrakasi ? Evaluasi Rutin
-Evaluasi / bersihkan bekuan darah / selaput ketuban
- Kompresi Bimanual Interna(KBI),5mnt
tidak
-Anjurkan keluarga melakukan kompresi bimanual eksterna
-Keluarkan tangan (KBI) secara hati-hari
-Suntikan metilergometrin 0,2 mg IM
-Pasang infus RL + 20 IU oksitosin, 20 tpm
-Lakukan lagi KBI
Uterus berkontrakasi ? -Pertahankan KBI selama 1-2 menit
-Keluarkan tangan secara hati-hati
-Lakukan pengawasan kala IV
Uterus berkontrakasi ? Pengawasan kala IV
tidak
ya
tidak
ya
-Rujuk siapkan laparotomy
-Lanjutkan pemberian infus + 20 IU oksitosin minimal 500cc/jam
hingga mencapai tempat rujukan
-Selama perjalanan dapt dilakukan kompresi aorta abdominal
atau kompresi bimanual eksterna
Ligase arteri uterine dan/atau hipogastrik
B-lynch metod
Perdarahan
Histerektomi
Pertahankan uterus
Tetap
25
Gambar 2.8. Skema Penanganan Atonia Uteri (Dikutip dari: Dinkes Deli Serdang, 2005)
e. Uterotonika
Oksitosin merupakan hormon sintetik yang diproduksi oleh lobus posterior hipofisis.
Obat ini menimbulkan kontraksi uterus yang efeknya meningkat seiring dengan
meningkatnya umur kehamilan dan timbulnya reseptor oksitosin. Pada dosis rendah
oksitosin menguatkan kontraksi dan meningkatkan frekuensi, tetapi pada dosis tinggi
menyebabkan tetani. Oksitosin dapat diberikan secara IM atau IV, untuk perdarahan aktif
diberikan lewat infus dengan ringer laktat 20 IU/mL, jika sirkulasi kolaps bisa diberikan
oksitosin 10 IU intramiometrikal (IMM). Efek samping pemberian oksitosin sangat sedikit
ditemukan yaitu nausea dan vomitus, efek samping lain yaitu intoksikasi cairan jarang
ditemukan.
Metilergonovin maleat (pospargin) merupakan golongan ergot alkaloid yang dapat
menyebabkan tetani uteri setelah 5 menit pemberian IM. Dapat diberikan secara IM 0,25
mg, dapat diulang setiap 5 menit sampai dosis maksimum 1,25 mg, dapat juga diberikan
Berhenti
26
langsung pada miometrium jika diperlukan intramiometrikal (IMM) atau IV bolus 0,125 mg.
obat ini dikenal dapat menyebabkan vasospasme perifer dan hipertensi, dapat juga
menimbulkan nausea dan vomitus. Obat ini tidak boleh diberikan pada pasien dengan
hipertensi.
Uterotonika prostaglandin merupakan sintetik analog 15 metil prostaglandin F2-alfa.
Dapat diberikan secara intramiometrikal, intraservikal, transvaginal, intravenous,
intramuscular, dan rectal. Pemberian secara IM atau IMM 0,25 mg, yang dapat diulang
setiap 15 menit sampai dosis maksimum 2 mg. Pemberian secara rektal dapat dipakai untuk
mengatasi perdarahan pospartum (5 tablet 200 µg = 1 g). Prostaglandin ini merupakan
uterotonika yang efektif tetapi dapat menimbulkan efek samping prostaglandin seperti:
nausea, vomitus, diare, sakit kepala, hipertensi dan bronkospasme yang disebabkan
kontraksi otot halus, bekerja juga pada sistem termoregulasi sentral, sehingga kadang-
kadang menyebabkan muka kemerahan, berkeringat, dan gelisah yang disebabkan
peningkatan basal temperatur, hal ini menyebabkan penurunan saturasi oksigen.
Uterotonika ini tidak boleh diberikan pada pasien dengan kelainan kardiovaskular,
pulmonal, dan disfungsi hepatik. Efek samping serius penggunaannya jarang ditemukan dan
sebagian besar dapat hilang sendiri. Dari beberapa laporan kasus penggunaan prostaglandin
efektif untuk mengatasi perdarahan persisten yang disebabkan atonia uteri dengan angka
kesuksesan 84%-96%. Perdarahan pospartum dini sebagian besar disebabkan oleh atonia
uteri maka perlu dipertimbangkan penggunaan uterotonika ini untuk mengatasi perdarahan
masif yang terjadi.
f. Uterine lavage dan Uterine Packing
Jika uterotonika gagal menghentikan perdarahan, pemberian air hangat ke dalam
cavum uteri mungkin dapat bermanfaat untuk mengatasi atonia uteri. Pemberian 1-2 liter
salin 47°C-50°C langsung ke dalam cavum uteri menggunakan pipa infus. Tangan operator
tidak boleh menghalangi vagina untuk memberi jalan salin keluar. Penggunaan uterine
packing saat ini tidak disukai dan masih kontroversial. Efeknya adalah hiperdistended uterus
dan sebagai tampon uterus.
Prinsipnya adalah membuat distensi maksimum sehingga memberikan tekanan
maksimum pada dinding uterus. Segmen bawah rahim harus terisi sekuat mungkin, anestesi
dibutuhkan dalam penanganan ini dan antibiotika broad-spectrum harus diberikan. Uterine
packing dipasang selama 24-36 jam, sambil memberikan resusitasi cairan dan transfusi darah
27
masuk. Uterine packing diberikan jika tidak tersedia fasilitas operasi atau kondisi pasien
tidak memungkinkan dilakukan operasi.
g. Operatif
Beberapa penelitian tentang ligasi arteri uterina menghasilkan angka keberhasilan
80-90%. Pada teknik ini dilakukan ligasi arteri uterina yang berjalan disamping uterus
setinggi batas atas segmen bawah rahim. Jika dilakukan SC, ligasi dilakukan 2-3 cm dibawah
irisan segmen bawah rahim. Untuk melakukan ini diperlukan jarum atraumatik yang besar
dan benang cutgut yang sesuai. Arteri dan vena uterina diligasi dengan melewatkan jarum 2-
3 cm medial vasa uterina, masuk ke miometrium keluar di bagian avaskular ligamentum
latum lateral vasa uterina. Saat melakukan ligasi hindari rusaknya vasa uterina dan ligasi
harus mengenai cabang asenden arteri miometrium, untuk itu penting untuk menyertakan
2-3 cm miometrium.
Jahitan kedua dapat dilakukan jika langkah diatas tidak efektif dan jika terjadi
perdarahan pada segmen bawah rahim. Dengan menyisihkan vesika urinaria, ligasi kedua
dilakukan bilateral pada vasa uterina bagian bawah, 3-4 cm dibawah ligasi vasa uterina atas.
Ligasi ini harus mengenai sebagian besar cabang arteri uterina pada segmen bawah rahim
dan cabang arteri uterina yang menuju ke servik, jika perdarahan masih terus berlangsung
perlu dilakukan bilateral atau unilateral ligasi vasa ovarian.
g.1 Ligasi arteri Iliaka Interna
Identifikasi bifurkasiol arteri iliaka, tempat ureter menyilang, untuk
melakukannya harus dilakukan insisi 5-8 cm pada peritoneum lateral paralel dengan
garis ureter. Setelah peritoneum dibuka, ureter ditarik ke medial kemudian dilakukan
ligasi arteri 2,5 cm distal bifurkasio iliaka interna dan eksterna. Klem dilewatkan
dibelakang arteri, dan dengan menggunakan benang non absobable dilakukan dua ligasi
bebas berjarak 1,5-2 cm. Hindari trauma pada vena iliaka interna. Identifikasi denyut
arteri iliaka eksterna dan femoralis harus dilakukan sebelum dan sesudah ligasi.
Risiko ligasi arteri iliaka adalah trauma vena iliaka yang dapat menyebabkan
perdarahan. Dalam melakukan tindakan ini dokter harus mempertimbangkan waktu dan
kondisi pasien.
28
g.2 Teknik B-Lynch
Teknik B-Lynch dikenal juga dengan “brace suture”, ditemukan oleh Christopher
B Lynch 1997, sebagai tindakan operatif alternative untuk mengatasi perdarahan
pospartum akibat atonia uteri.
g.3 Histerektomi
Histerektomi peripartum merupakan tindakan yang sering dilakukan jika terjadi
perdarahan pospartum masif yang membutuhkan tindakan operatif. Insidensi mencapai
7-13 per 10.000 kelahiran, dan lebih banyak terjadi pada persalinan abdominal
dibandingkan vaginal.