Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum

85
PENATALAKSANAAN SEPSIS NEONATORUM 2007 HEALTH TECHNOLOGY ASSESSMENT INDONESIA DEPARTEMEN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

description

anak

Transcript of Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum

Page 1: Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum

1

PENATALAKSANAAN SEPSIS NEONATORUM

2007

HEALTH TECHNOLOGY ASSESSMENT INDONESIA DEPARTEMEN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

Page 2: Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum

2

PANEL AHLI

Prof. dr. Asril Aminullah, Sp.A (K) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSCM-Jakarta

dr. Djayadiman Gatot, Sp.A (K) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSCM-Jakarta

dr. M. Sholeh Kosim, Sp.A (K) Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, RS Dr. Kariadi-Semarang dr. Rina Rohsiswatmo, Sp.A (K) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSCM-Jakarta dr. Fatimah Indarso, Sp.A (K) Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, RS Dr. Soetomo-Surabaya Prof. Dr.dr. Rahajuningsih Dharma, Sp.PK Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSCM-Jakarta

dr. Noroyono Wibowo, Sp.OG (K) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSCM-Jakarta

dr. Retno Kadarsih, Sp.MK Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSCM-Jakarta

dr. Risma Kaban, Sp. A (K) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSCM-Jakarta

Ns. Yeni Rustina, S.Kep, MappSc.,PhD Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, RSCM-Jakarta

TIM TEKNIS

Prof. Dr. dr. Sudigdo Sastroasmoro, Sp.A (K) Ketua

dr. Ratna Rosita, MPHM Anggota

dr. Santoso Soeroso, Sp.A (K), MARS Anggota

dr. N. Soebijanto, SpPD Anggota

dr. Suginarti, M.Kes Anggota

dr. Diar Wahyu Indriati, MARS Anggota

dr. Syanti Ayu Anggraini Anggota

dr. Melani Marissa Anggota

dr. Titiek Resmisari Anggota

dr. Aini Bachruddin Bachtiar Anggota

Page 3: Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum

3

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sepsis neonatorum sampai saat ini masih merupakan masalah utama di

bidang pelayanan dan perawatan neonatus. Menurut perkiraan World Health

Organization (WHO), terdapat 5 juta kematian neonatus setiap tahun dengan angka

mortalitas neonatus (kematian dalam 28 hari pertama kehidupan) adalah 34 per

1000 kelahiran hidup, dan 98% kematian tersebut berasal dari negara berkembang.1

Secara khusus angka kematian neonatus di Asia Tenggara adalah 39 per 1000

kelahiran hidup.2 Dalam laporan WHO yang dikutip dari State of the world’s mother

2007 (data tahun 2000-2003) dikemukakan bahwa 36% dari kematian neonatus

disebabkan oleh penyakit infeksi, diantaranya : sepsis; pneumonia; tetanus; dan

diare. Sedangkan 23% kasus disebabkan oleh asfiksia, 7% kasus disebabkan oleh

kelainan bawaan, 27% kasus disebabkan oleh bayi kurang bulan dan berat badan

lahir rendah, serta 7% kasus oleh sebab lain.3 Sepsis neonatorum sebagai salah

satu bentuk penyakit infeksi pada bayi baru lahir masih merupakan masalah utama

yang belum dapat terpecahkan sampai saat ini. WHO juga melaporkan case fatality

rate pada kasus sepsis neonatorum masih tinggi, yaitu sebesar 40%. Hal ini terjadi

karena banyak faktor risiko infeksi pada masa perinatal yang belum dapat dicegah

dan ditanggulangi.4 Selanjutnya dikemukakan bahwa angka kematian bayi dapat

mencapai 50% apabila penatalaksanaan tidak dilakukan dengan baik.5

Angka kejadian/insidens sepsis di negara berkembang cukup tinggi yaitu 1,8-

18 per 1000 kelahiran hidup dengan angka kematian sebesar 12-68%, sedangkan di

negara maju angka kejadian sepsis berkisar antara 3 per 1000 kelahiran hidup

dengan angka kematian 10,3%.6,7 Di Indonesia, angka tersebut belum terdata. Data

yang diperoleh dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta periode Januari-

September 2005, angka kejadian sepsis neonatorum sebesar 13,68% dengan angka

kematian sebesar 14,18%.8

Seringkali sepsis merupakan dampak atau akibat dari masalah sebelumnya

yang terjadi pada bayi maupun ibu. Hipoksia atau gangguan sistem imunitas pada

bayi dengan asfiksia dan bayi berat lahir rendah/bayi kurang bulan dapat mendorong

terjadinya infeksi yang berakhir dengan sepsis neonatorum. Demikian juga masalah

pada ibu, misalnya ketuban pecah dini, panas sebelum melahirkan, dan lain-lain.

berisiko terjadi sepsis. Selain itu, pada bayi sepsis yang dapat bertahan hidup, akan

terjadi morbiditas lain yang juga tinggi. Sepsis neonatorum dapat menimbulkan

Page 4: Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum

4

kerusakan otak yang disebabkan oleh meningitis, syok septik atau hipoksemia dan

juga kerusakan organ-organ lainnya seperti gangguan fungsi jantung, paru-paru,

hati, dan lain-lain.9

Masih tingginya angka kematian bayi di Indonesia (50 per 1000 kelahiran

hidup) mendorong Health Technology Assessment (HTA) Indonesia untuk

melakukan kajian lebih lanjut mengenai permasalahan yang ada, sebagai dasar

rekomendasi bagi pembuat kebijakan demi menurunkan angka kematian bayi secara

umum dan insidens sepsis neonatorum secara khusus. 10

1.2. Permasalahan

Sepsis neonatorum, merupakan penyumbang tertinggi angka kematian bayi.

Penyakit ini sering tidak terdeteksi dan menyebabkan kematian dalam waktu singkat.

Pada pasien sepsis neonatorum masalah yang sering dihadapi antara lain angka

kematian yang tinggi, diagnosis yang sulit ditegakkan, serta pemberian antibiotik

spektrum luas yang berpotensi menimbulkan resistensi jangka panjang. Dalam

tulisan ini, kami membatasi permasalahan menjadi tiga, yaitu: (1) permasalahan

penegakan diagnosis; (2) penatalaksanaan; dan (3) pencegahan (profilaksis) sepsis

neonatorum.

Diagnosis sepsis neonatorum sering sulit ditegakkan karena gejala klinis

yang aspesifik. Pada neonatus, gejala sepsis klasik jarang terlihat. Gambaran

penyakit dapat menyerupai kelainan non-infeksi lain pada neonatus. Oleh karena itu,

pemeriksaan penunjang seperti biakan darah perlu dilakukan. Pemeriksaan kultur

merupakan baku emas dalam menegakkan diagnosis sepsis. Namun, pemeriksaan

tersebut hasilnya baru dapat diketahui setelah 48-72 dan sering memberikan hasil

yang kurang memuaskan. Selain itu, kuman penyebab infeksi tidak selalu sama, baik

antar klinik, antar waktu, ataupun antar negara.

Dalam penatalaksanaan sepsis sering terjadi keterlambatan pengobatan

sehingga memperburuk keadaan bayi dan dapat menyebabkan kematian. Gambaran

klinis yang aspesifik dapat menimbulkan penanganan yang berlebihan dan terjadi

penggunaan antibiotik spektrum luas yang berdampak buruk, mengingat pola

resistensi dan toksisitasnya dikemudian hari. Selain itu, perawatan di Rumah Sakit

menjadi lebih lama dan berdampak pada biaya serta meningkatkan risiko infeksi

nosokomial.8,11

Perkembangan teknologi kedokteran yang tersedia saat ini telah

menghadirkan berbagai pilihan pemeriksaan laboratorium yang canggih seperti

pemeriksaan Interleukin, PCR, Procalcitonin, C-Reactive Protein, dan lain

sebagainya pada sepsis neonatorum. Pemeriksaan tersebut memerlukan analisa

Page 5: Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum

5

kritis berdasarkan Evidence-based dalam mempertimbangkan risiko, keuntungan

dan kerugiannya.

Masalah pencegahan (profilaksis) pada sepsis neonatorum juga perlu

diangkat ke permukaan. Risiko dan manfaat profilaksis pada sepsis neonatorum

sudah banyak diteliti namun belum mendapatkan perhatian yang semestinya di

Indonesia.

Semua permasalahan tersebut di atas menjadi kendala dalam pelayanan

yang optimal penderita sepsis neonatorum. Dalam 5 -10 tahun terakhir, terdapat

informasi baru dalam upaya mengatasi masalah sepsis neonatorum. Hal ini telah

memberikan cakrawala baru dalam pencegahan dan manajemen neonatus agar

dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Beberapa studi yang dilaporkan

akhir-akhir ini telah memungkinkan diagnosis tata laksana sepsis neonatorum yang

lebih efisien dan efektif pada bayi yang berisiko. Walaupun cara terakhir ini

membutuhkan teknologi kedokteran yang lebih canggih dan mahal yang mungkin

belum dapat terjangkau untuk negara berkembang, hal ini patut untuk diketahui dan

dikembangkan dikemudian hari. 12,13,14

1.3. Tujuan

1.3.1. Tujuan Umum

Menurunkan angka mortalitas dan morbiditas pada penderita sepsis

neonatorum dengan cara pencegahan dan diagnosis dini serta penatalaksanaan

yang lebih efisien dan efektif berdasarkan kajian ilmiah yang sesuai dengan kondisi

Indonesia.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Tersusunnya kajian ilmiah berdasarkan Kedokteran berbasis-bukti (Evidence-

based medicine) tentang penegakan diagnosis, tatalaksana dan pencegahan

sepsis neonatorum.

2. Tersusunnya rekomendasi pemerintah dalam menetapkan kebijakan

proGramyang berkenaan dengan kesehatan neonatal khususnya tentang

diagnosis, tatalaksana dan pencegahan infeksi, serta sepsis neonatus.

Page 6: Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum

6

BAB II

METODOLOGI PENILAIAN

2.1. Strategi penelusuran kepustakaan

Penelusuran artikel dilakukan secara manual dan melalui kepustakaan

elektronik: Pubmed, Cochrane Library, American Academy of Pediatrics, New

England Journal of Medicine, Iranian Journal Public Health, Archives of Disease

Child Fetal Neonatal, American Association for Clinical Chemistry, Sri Lanka Journal

of Child Health, Turkey Journal of Pediatrics, dalam 20 tahun terakhir (1986-2006)

serta World Health Organization tentang “Neonatal Problems” tahun 2003. Kata

kunci yang digunakan adalah sepsis neonatorum, neonatal sepsis, infection in

newborn, SGB (Group B Streptococcus).

2.2. Tingkat pembuktian dan tingkat rekomendasi

Setiap literatur yang diperoleh dilakukan penilaian kritis (critical appraisal)

berdasarkan kaidah kedokteran berbasis bukti (evidence-based medicine), kemudian

ditentukan tingkatannya. Rekomendasi yang ditetapkan akan ditentukan tingkat

rekomendasinya. Tingkat pembuktian dan tingkat rekomendasi diklasifikasikan

berdasarkan definisi dari Scottish Intercollegiate Guidelines Network, sesuai dengan

kriteria yang ditetapkan US Agency for Health Care Policy and Research.

Tingkat pembuktian (Level of evidence)

Ia. Meta-analisis randomized controlled trials.

Ib. Minimal satu randomized controlled trials.

IIa. Minimal satu non-randomized controlled trials.

IIb. Studi kohort dan/atau studi kasus kontrol.

IIIa. Studi cross-sectional.

IIIb. Seri kasus dan laporan kasus.

IV. Konsensus dan pendapat ahli.

Tingkat rekomendasi

A. Pembuktian yang termasuk dalam tingkat Ia atau Ib.

B. Pembuktian yang termasuk dalam tingkat IIa atau IIb.

C. Pembuktian yang termasuk dalam tingkat IIIa, IIIb, atau IV.

Page 7: Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum

7

BAB III

SEPSIS NEONATORUM

3.1. Definisi

Sepsis bakterial pada neonatus adalah sindrom klinis dengan gejala infeksi

sistemik dan diikuti dengan bakteremia pada bulan pertama kehidupan.15 Dalam

sepuluh tahun terakhir terdapat beberapa perkembangan baru mengenai definisi

sepsis. Salah satunya menurut The International Sepsis Definition Conferences

(ISDC,2001), sepsis adalah sindrom klinis dengan adanya Systemic Inflammatory

Response Syndrome (SIRS) dan infeksi. Sepsis merupakan suatu proses

berkelanjutan mulai dari infeksi, SIRS, sepsis, sepsis berat, renjatan/syok septik,

disfungsi multiorgan, dan akhirnya kematian.16

3.2. Klasifikasi

Berdasarkan waktu terjadinya, sepsis neonatorum dapat diklasifikasikan

menjadi dua bentuk yaitu sepsis neonatorum awitan dini (early-onset neonatal

sepsis) dan sepsis neonatorum awitan lambat (late-onset neonatal sepsis).5

Sepsis awitan dini (SAD) merupakan infeksi perinatal yang terjadi segera

dalam periode postnatal (kurang dari 72 jam) dan biasanya diperoleh pada saat

proses kelahiran atau in utero. Di negara maju, kuman tersering yang ditemukan

pada kasus SAD adalah Streptokokus Grup B (SGB) [(>40% kasus)], Escherichia

coli, Haemophilus influenza, dan Listeria monocytogenes, sedangkan di negara

berkembang termasuk Indonesia, mikroorganisme penyebabnya adalah batang

Gramnegatif.17,18 Sepsis neonatorum awitan dini memiliki kekerapan 3,5 kasus per

1000 kelahiran hidup dengan angka mortalitas sebesar 15-50%.19

Sepsis awitan lambat (SAL) merupakan infeksi postnatal (lebih dari 72 jam)

yang diperoleh dari lingkungan sekitar atau rumah sakit (infeksi nosokomial).20,21

Proses infeksi pasien semacam ini disebut juga infeksi dengan transmisi horizontal.

Angka mortalitas SAL lebih rendah daripada SAD yaitu kira-kira 10-20%. Di negara

maju, Coagulase-negative Staphilococci (CoNS) dan Candida albicans merupakan

penyebab utama SAL, sedangkan di negara berkembang didominasi oleh

mikroorganisme batang Gram negatif (E. coli, Klebsiella, dan Pseudomonas

aeruginosa).22 Tabel di bawah ini mencoba menggambarkan klasifikasi sepsis

berdasarkan awitan dan sumber infeksi.

Page 8: Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum

8

Tabel 1. Klasifikasi sepsis berdasarkan awitan dan sumber infeksi20

Dini Lambat

Awitan

Sumber infeksi

<72 jam

Jalan lahir

>72 jam

Lingkungan (nosokomial)

Sumber: Mupanemunda RH, Watkinson M.. Key topics in Neonatology 1999; 143-6.

Di negara berkembang pembagian SAD dan SAL tidak jelas karena sebagian

besar bayi tidak dilahirkan di rumah sakit. Oleh karena itu, penyebab infeksi tidak

dapat diketahui apakah berasal dari jalan lahir (SAD) atau diperoleh dari lingkungan

sekitar (SAL).9

3.3. Etiologi

Berbagai macam kuman seperti bakteri, virus, parasit, atau jamur dapat

menyebabkan infeksi berat yang mengarah pada terjadinya sepsis. Dalam kajian ini,

kami hanya membahas sepsis yang disebabkan oleh bakteri.

Pola kuman penyebab sepsis pun berbeda-beda antar negara dan selalu

berubah dari waktu ke waktu. Bahkan di negara berkembang sendiri ditemukan

perbedaan pola kuman, walaupun bakteri Gramnegatif rata-rata menjadi penyebab

utama dari sepsis neonatorum.23

Perbedaan pola kuman penyebab sepsis antar negara berkembang telah

diteliti oleh World Health Organization Young Infants Study Group pada tahun 1999

di empat negara berkembang yaitu Ethiopia, Philipina, Papua New Guinea dan

Gambia. Penelitian tersebut mengemukakan bahwa kuman isolat yang tersering

ditemukan pada kultur darah adalah Staphylococcus aureus (23%), Streptococcus

pyogenes (20%) dan E. coli (18%). Pada cairan serebrospinal yang terjadi pada

meningitis neonatus awitan dini banyak ditemukan bakteri Gram negatif terutama

Klebsiella sp dan E. Coli, sedangkan pada awitan lambat selain bakteri Gram negatif

juga ditemukan Streptococcus pneumoniae serotipe 2. E.coli biasa ditemukan pada

neonatus yang tidak dilahirkan di rumah sakit serta pada usap vagina wanita di

daerah pedesaan. Sementara Klebsiella sp biasanya diisolasi dari neonatus yang

dilahirkan di rumah sakit. Selain mikroorganisme di atas, patogen yang sering

ditemukan adalah Pseudomonas, Enterobacter, dan Staphylococcus aureus.24

Perubahan pola kuman penyebab sepsis dari waktu ke waktu dapat dilihat

pada tabel 2. Di RSCM telah terjadi 3 kali perubahan pola kuman dalam 30 tahun

terakhir. Di Divisi Neonatologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM pada

tahun 2003, kuman terbanyak yang ditemukan berturut-turut adalah Acinetobacter

sp, Enterobacter sp, Pseudomonas sp. Data terakhir bulan Juli 2004-Mei 2005

Page 9: Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum

9

menunjukkan Acinetobacter calcoacetius paling sering (35,67%), diikuti Enterobacter

sp (7,01%), dan Staphylococcus sp (6,81%).25, 26

Tabel 2. Perubahan pola kuman penyebab sepsis neonatorum berdasarkan kurun waktu26

1975-1980 1985-1990 1995-2003

RSCM/FKUI

(Monintja, 1981;

Amir Aminullah

1993, I 2003)

Amerika Serikat

(Texas Univ.; CDC

Atlanta)

(Shattuck 1992;

Schuchat 1997)

Inggris

(Health PT 2003)

Salmonella sp

Klebsiella sp

Group B Strep.

E. coli

Listeria sp

Pseudomonas sp

Klebsiella sp

E. coli

Group B Strep.

Listeria sp

Enterovirus

Group B Strep.

E. coli

Listeria sp

Enterovirus

Acinetobacter sp

Enterobacter sp

Pseudomonas sp

Serratia sp

E. coli

Group B Strep

Listeria sp

Strep. Pneumoniae

Group B Strep

Listeria sp

E. coli

Enterovirus

Sumber: Aminullah A. Perinatologi: Dari rahim ibu menuju sehat sepanjang hayat 2004

Dari tabel 2, terlihat bahwa penyebab sepsis di negara maju yang tersering

adalah Streptokokus Grup B, Escherichia coli, Haemophilus influenzae, dan Listeria

monocytogenes.27 Di FKUI/RSCM selama tahun 2002, kuman yang ditemukan

berturut-turut adalah Enterobacter sp., Acinetobacter sp., dan Coli sp., Coagulase-

negative staphylococci, Staphylococcus aureus, E. coli, Klebsiella, Pseudomonas,

Candida, Streptokokus Grup B, Serratia, Acinetobacter, dan bakteri anaerob. Koloni-

koloni kuman dapat ditemukan di kulit, saluran napas, saluran cerna, konjungtiva,

dan umbilikus yang selanjutnya dapat menyebabkan SAL dari mikroorganisme yang

invasif.4

Pola penyebab sepsis ternyata tidak hanya berbeda antar klinik dan antar

waktu, tetapi terdapat perbedaan pula bila awitan sepsis tersebut berlainan. Dari

survei yang dilakukan oleh NICHD Neonatal Network Survey pada tahun 1998-2000

terhadap 5447 pasien BBLR (BL<1500 gram) dengan SAD dan pada 6215 pasien

BBLR dengan SAL, didapatkan hasil bakteremia sebanyak 1,5% pada SAD dan

21,1% pada SAL. Pada SAD, ditemukan bakteri Gram negatif pada 60,7% kasus

bakteremia, dan pada SAL bakteremia lebih sering disebabkan oleh bakteri Gram

positif (70,2%). Bakteri Gram negatif tersering pada SAD adalah E.coli (44%)

sedangkan Coagulase-negative Staphylococcus merupakan penyebab tersering

(47,9%) pada SAL (tabel 3).28

Page 10: Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum

10

Tabel 3. Kuman penyebab dan rasio kematian yang berhubungan dengan infeksi hematogen pada

BBLR ( < 1500 Gram)28

Organisme

SAD

SAL

Jumlah infeksi

(% of total)

Mortalitas

(%)b

Jumlah infeksi

(% of total)

Mortalitas

(%)b

Gram-positive bacteria

(total)

31 (36.9) 26 922 (70.2) 11.2

SGB 9 (10.7) 30 (2.3) 21.9

Viridans streptococcus 3 (3.6)

Other streptococci 4 (4.8)

Listeria monocytogenes 2 (2.4)

Coagulase-negative

Staphylococcus

9 (10.7) 629 (47.9) 9.1

Staphylococcus aureus 1 (1.2) 103 (7.8) 17.2

Enterococcus species 43 (3.3)

Other 3 (3.6) 117 (8.9)

Gram-negative bacteria

(total)

51 (60.7) 41 231 (17.6) 36.2

Escherichia coli 37 (44.0) 64 (4.9) 34.0

Haemophilus influenzae 7 (8.3)

Citrobacter 2 (2.4)

Bacteroides 2 (2.4)

Klebsiella 1 (1.2) 52 (4.0) 22.6

Pseudomonas 35 (2.7) 74.4

Enterobacter 33 (2.5) 26.8

Serratia 29 (2.2) 35.9

Other 2 (2.4) 18 (1.4)

Page 11: Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum

11

Fungi (total) 2 (2.4) 160 (12.2) 31.8

Candida albicans 2 (2.4) 76 (5.8) 43.9

Candida parapsilosis 54 (4.1) 15.9

Other 30 (2.3)

a NICHD Neonatal Network Survey, th 1998 - 2000 (453, 454). Jumlah pasien seluruhnya adalah 5447

orang dengan SAD dan 6215 orang dengan SAL .

b Semua penyebab kematian .

Sumber: D Kaufman et al. Clin Microb Rev 2004; 641

Dari pembicaraan di atas, dapat disimpulkan bahwa etiologi penyebab sepsis

neonatorum berlainan antar negara dan dari waktu ke waktu. Selain itu, kuman

penyebab antara SAD dan SAL pun berbeda. Oleh karena itu, pemeriksaan pola

kuman secara berkala pada masing-masing klinik dan rumah sakit memegang

peranan yang sangat penting.

3.4. Perjalanan Penyakit/Patogenesis

Infeksi bukan merupakan keadaan yang statis. Adanya patogen di dalam

darah (bakteremia, viremia) dapat menimbulkan keadaan yang berkelanjutan dari

infeksi (FIRS: Fetal Inflammatory Response Syndrome/SIRS:Systemic Inflammatory

Response Syndrome) ke sepsis, sepsis berat, syok septik, kegagalan multi organ,

dan akhirnya kematian (tabel 4).16

Tabel 4. Perjalanan penyakit infeksi pada neonatus16

Bila ditemukan dua atau lebih keadaan:

Laju nafas >60x/m dengan/tanpa retraksi

dan desaturasi O2

Suhu tubuh tidak stabil (<36ºC atau

>37.5ºC)

Waktu pengisian kapiler > 3 detik

Hitung leukosit <4000x109/L atau

>34000x109/L

CRP >10mg/dl

IL-6 atau IL-8 >70pg/ml

16 S rRNA gene PCR : Positif

FIRS/

SIRS

Terdapat satu atau lebih kriteria FIRS disertai

dengan gejala klinis infeksi seperti terlihat

dalam Tabel 5.

SEPSIS

Sepsis disertai hipotensi dan disfungsi organ

tunggal

SEPSIS BERAT

Sepsis berat disertai hipotensi dan kebutuhan

resusitasi cairan dan obat-obat inotropik

SYOK

SEPTIK

Page 12: Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum

12

Terdapat disfungsi multi organ meskipun telah

mendapatkan pengobatan optimal

SINDROM DISFUNGSI

MULTIORGAN

↓ KEMATIAN

Sumber: Haque KN.Pediatr Crit Care Med 2005; 6(3): S45-9

Sesuai dengan proses tumbuh kembang anak, variabel fisiologis dan

laboratorium pada konsep SIRS akan berbeda menurut umur pasien. Pada

International Concensus Conference on Pediatric Sepsis tahun 2002, telah dicapai

kesepakatan mengenai definisi SIRS, Sepsis, Sepsis berat, dan Syok septik (Tabel 5

dan 6).29

Berdasarkan kesepakatan tersebut, definisi sepsis neonatorum ditegakkan

bila terdapat SIRS yang dipicu oleh infeksi, baik tersangka infeksi (suspected)

maupun terbukti infeksi (proven).30

Tabel 5. Kriteria SIRS 29

Usia Neonatus Suhu Laju Nadi per

menit

Laju napas

per menit

Jumlah leukosit X

103/mm

3

Usia 0-7 hari >38,5ºC atau <36ºC >180 atau <100 >50 >34

Usia 7-30 hari >38,5ºC atau <36ºC >180 atau <100 >40 >19,5 atau <5

Catatan: Definisi SIRS pada neonatus ditegakkan bila ditemukan 2 dari 4 kriteria dalam tabel (salah

satu di antaranya kelainan suhu atau leukosit)

Sumber: Goldstein B, Giroir B, Randolph A.Pediatr Crit Care Med 2005; 6(1): 2-8

Tabel 6. Kriteria infeksi, sepsis, sepsis berat, syok septik29

Infeksi

Sepsis

Sepsis berat

Syok septik

Terbukti infeksi (proven infection) bila ditemukan kuman penyebab atau

Tersangka infeksi (suspected infection) bila terdapat sindrom klinis (gejala

klinis dan pemeriksaan penunjang lain).

SIRS disertai infeksi yang terbukti atau tersangka.

Sepsis yang disertai disfungsi organ kardiovaskular atau disertai

gangguan napas akut atau terdapat gangguan dua organ lain (seperti

gangguan neurologi, hematologi, urogenital, dan hepatologi).

Sepsis dengan hipotensi (tekanan darah sistolik <65 mmHg pada bayi <7

hari dan <75 mmHg pada bayi 7-30 hari).

Sumber: Goldstein B, Giroir B, Randolph A.Pediatr Crit Care Med 2005; 6(1): 2-8

3.5. Patofisiologi

Selama dalam kandungan, janin relatif aman terhadap kontaminasi kuman

karena terlindung oleh berbagai organ tubuh seperti plasenta, selaput amnion,

Page 13: Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum

13

khorion, dan beberapa faktor anti infeksi pada cairan amnion. Walaupun demikian

kemungkinan kontaminasi kuman dapat timbul melalui berbagai jalan yaitu: 5,31

1. Infeksi kuman, parasit atau virus yang diderita ibu dapat mencapai janin melalui

aliran darah menembus barier plasenta dan masuk sirkulasi janin. Keadaan ini

ditemukan pada infeksi TORCH, Triponema pallidum atau Listeria dll.

2. Prosedur obstetri yang kurang memperhatikan faktor a/antisepsis misalnya saat

pengambilan contoh darah janin, bahan villi khorion atau amniosentesis.

Paparan kuman pada cairan amnion saat prosedur dilakukan akan menimbulkan

amnionitis dan pada akhirnya terjadi kontaminasi kuman pada janin.

3. Pada saat ketuban pecah, paparan kuman yang berasal dari vagina akan lebih

berperan dalam infeksi janin. Pada keadaan ini kuman vagina masuk ke dalam

rongga uterus dan bayi dapat terkontaminasi kuman melalui saluran pernafasan

ataupun saluran cerna. Kejadian kontaminasi kuman pada bayi yang belum lahir

akan meningkat apabila ketuban telah pecah lebih dari 18-24 jam.

Gambar 1. Penjalaran infeksi pada neonatus di dalam kandungan

Sumber : Baltimore R. Neonatal sepsis: epidemiology and management. Paediatr Drugs 2003;5:723

Setelah lahir, kontaminasi kuman terjadi dari lingkungan bayi baik karena

infeksi silang ataupun karena alat-alat yang digunakan bayi, bayi yang mendapat

prosedur neonatal invasif seperti kateterisasi umbilikus, bayi dalam ventilator, kurang

memperhatikan tindakan a/anti sepsis, rawat inap yang terlalu lama dan hunian

terlalu padat, dll.31

Bila paparan kuman pada kedua kelompok ini berlanjut dan memasuki aliran

darah, akan terjadi respons tubuh yang berupaya untuk mengeluarkan kuman dari

tubuh. Berbagai reaksi tubuh yang terjadi akan memperlihatkan pula bermacam

gambaran gejala klinis pada pasien. Tergantung dari perjalanan penyakit, gambaran

INFEKSI

INTRANATAL

INFEKSI

PRANATAL

Page 14: Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum

14

klinis yang terlihat akan berbeda. Oleh karena itu, pada penatalaksanaan selain

pemberian antibiotik, harus memperhatikan pula gangguan fungsi organ yang timbul

akibat beratnya penyakit.32

3.5.1 Respons inflamasi

Sepsis terjadi akibat interaksi yang kompleks antara patogen dengan pejamu.

Meskipun memiliki gejala klinis yang sama, proses molekular dan selular yang

memicu respon sepsis berbeda tergantung dari mikroorganisme penyebab,

sedangkan tahapannya sama dan tidak bergantung pada organisme penyebab.33

Respon sepsis terhadap bakteri Gram negatif dimulai dengan pelepasan

lipopolisakarida (LPS), yaitu endotoksin dari dinding sel bakteri. Lipopolisakarida

merupakan komponen penting pada membran luar bakteri Gram negatif dan memiliki

peranan penting dalam menginduksi sepsis. Lipopolisakarida mengikat protein

spesifik dalam plasma yaitu lipoprotein binding protein (LPB). Selanjutnya kompleks

LPS-LPB ini berikatan dengan CD14, yaitu reseptor pada membran makrofag. CD14

akan mempresentasikan LPS kepada Toll-like receptor 4 (TLR4) yaitu reseptor untuk

transduksi sinyal sehingga terjadi aktivasi makrofag.32

Bakteri Gram positif dapat menimbulkan sepsis melalui dua mekanisme,

yakni (1) dengan menghasilkan eksotoksin yang bekerja sebagai superantigen dan

(2) dengan melepaskan fragmen dinding sel yang merangsang sel imun.

Superantigen mengaktifkan sejumlah besar sel T untuk menghasilkan sitokin

proinflamasi dalam jumlah yang sangat banyak. Bakteri Gram positif yang tidak

mengeluarkan eksotoksin dapat menginduksi syok dengan merangsang respon imun

non spesifik melalui mekanisme yang sama dengan bakteri Gram negatif.16, 34

Kedua kelompok organisme diatas, memicu kaskade sepsis yang dimulai

dengan pelepasan mediator inflamasi sepsis (Gambar 2). Mediator inflamasi primer

dilepaskan dari sel-sel akibat aktivasi makrofag. Pelepasan mediator ini akan

mengaktivasi sistem koagulasi dan komplemen.33,35

Page 15: Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum

15

Gambar 2. Patofisiologi kaskade sepsis33

Sumber : Short MA. Adv Neonat Care 2004; 5:258-73

Infeksi akan dilawan oleh tubuh, baik melalui sistem imunitas selular yang

meliputi monosit, makrofag, dan netrofil serta melalui sistem imunitas humoral

dengan membentuk antibodi dan mengaktifkan jalur komplemen. Seperti telah

dijelaskan sebelumnya, pengenalan patogen oleh CD14 dan TLR-2 serta TLR-4 di

membran monosit dan makrofag akan memicu pelepasan sitokin untuk mengaktifkan

sistem imunitas selular. Pengaktifan ini menyebabkan sel T akan berdiferensiasi

menjadi sel T helper-1 (Th1) dan sel T helper-2 (Th2). Sel Th1 mensekresikan sitokin

proinflamasi seperti tumor necrosis factor (TNF), interferon γ (IFN- γ), interleukin 1-β

(IL-1β), IL-2, IL-6 dan IL-12 serta menjadi. Sel Th2 mensekresikan sitokin

antiinflamasi seperti IL-4, -10, dan -13. Pembentukan sitokin proinflamasi dan anti

inflamasi diatur melalui mekanisme umpan balik yang kompleks. Sitokin proinflamasi

terutama berperan menghasilkan sistem imun untuk melawan kuman penyebab.

Namun demikian, pembentukan sitokin proinflamasi yang berlebihan dapat

membahayakan dan dapat menyebabkan syok, kegagalan multi organ serta

kematian. Sebaliknya, sitokin anti inflamasi berperan penting untuk mengatasi proses

inflamasi yang berlebihan dan mempertahankan keseimbangan agar fungsi organ

vital dapat berjalan dengan baik.36 Sitokin proinflamasi juga dapat mempengaruhi

fungsi organ secara langsung atau secara tidak langsung melalui mediator sekunder

(nitric oxide, tromboksan, leukotrien, platelet activating factor (PAF), prostaglandin),

dan komplemen. Kerusakan utama akibat aktivasi makrofag terjadi pada endotel dan

Page 16: Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum

16

selanjutnya akan menimbulkan migrasi leukosit serta pembentukan mikrotrombi

sehingga menyebabkan kerusakan organ.33

Aktivasi endotel akan meningkatkan jumlah reseptor trombin pada

permukaan sel untuk melokalisasi koagulasi pada tempat yang mengalami cedera.

Cedera pada endotel ini juga berkaitan dengan gangguan fibrinolisis. Hal ini

disebabkan oleh penurunan jumlah reseptor pada permukaan sel untuk sintesis dan

ekspresi molekul antitrombik. Selain itu, inflamasi pada sel endotel akan

menyebabkan vasodilatasi pada otot polos pembuluh darah.33

3.5.2. Aktivasi inflamasi dan koagulasi

Pada sepsis terlihat hubungan erat antara inflamasi dan koagulasi. Mediator

inflamasi menyebabkan ekspresi faktor jaringan (TF). Ekspresi TF secara langsung

akan mengaktivasi jalur koagulasi ekstrinsik dan melalui lengkung umpan balik

secara tidak langsung juga akan mengaktifkan jalur instrinsik. Kaitan antara jalur

ekstrinsik dan intrinsik adalah melalui faktor VIIa dan faktor IXa. Hasil akhir aktivasi

kedua jalur tersebut saling berkaitan dan sama; protrombin diubah menjadi trombin

dan fibrinogen diubah menjadi fibrin (Gambar 3). Kolagen dan kalikrein juga

mengaktivasi jalur intrinsik.33

Trombin mempunyai pengaruh yang beragam terhadap inflamasi dan

membantu mempertahankan keseimbangan antara koagulasi dan fibrinolisis.

Trombin memiliki efek proinflamasi pada sel endotel, makrofag dan monosit untuk

menyebabkan pelepasan TF, faktor pengaktivasi trombosit dan TNF-α. Selain itu,

trombin merangsang chemoattractant bagi neutrofil dan monosit untuk memfasilitasi

kemotaksis serta merangsang degranulasi sel mast yang melepaskan bioamin untuk

meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan menyebabkan kebocoran kapiler.33

Pada sepsis, aktivasi kaskade koagulasi umumnya diawali pada jalur ekstrinsik yang

terjadi akibat ekspresi TF yang meningkat akibat rangsangan dari mediator inflamasi.

Selain itu, secara tidak langsung TF juga akan megaktifkan jalur intrinsik melalui

lengkung jalur umpan balik. Terdapat kaitan antara jalur ekstrinsik dan intrinsik dan

hasil akhir aktivasi kedua jalur tersebut adalah pembentukan fibrin.

Page 17: Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum

17

Gambar 3. Kaskade koagulasi. Disalin dengan izin dari Eli lIly dan Company33

Sumber : Short MA.Adv Neonat Care 2004 ; 5:258-73

3.5.3. Gangguan fibrinolisis

Fibrinolisis adalah respon homeostasis tubuh terhadap aktivasi sistem

koagulasi. Penghancuran fibrin penting bagi angiogenesis (pembentukan pembuluh

darah baru), rekanalisasi pembuluh darah, dan penyembuhan luka.33

Aktivator fibrinolisis [tissue-type plasminogen activator (t-PA) dan urokinase-

type plasminogen activator (u-PA)] akan dilepaskan dari endotel untuk merubah

plasminogen menjadi plasmin. Jika plasmin terbentuk, akan terjadi proteolisis

fibrin.33,37,38

Tubuh juga memiliki inhibitor fibrinolisis alamiah yaitu plasminogen activator

inhibitor-1 (PAI-1) dan trombin-activatable fibrinolysis inhibitor (TAFI). Aktivator dan

inhibitor diperlukan untuk mempertahankan keseimbangan.33

Sepsis mengganggu respons fibrinolisis normal dan menyebabkan tubuh

tidak mampu menghancurkan mikrotrombi. TNF-α menyebabkan supresi fibrinolisis

akibat tingginya kadar PAI-1 dan menghambat penghancuran fibrin.33,35,39,40 Hasil

pemecahan fibrin dikenal sebagai fibrin degradation product (FDP) yang mencakup

D-dimer, dan sering diperiksa pada tes koagulasi klinis. Mediator proinflamasi (TNF-α

dan IL-6) bekerja secara sinergis meningkatkan kadar fibrin, sehingga menyebabkan

trombosis pada pembuluh darah kecil hingga sedang dan selanjutnya menyebabkan

Page 18: Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum

18

disfungsi multi organ. Secara klinis, disfungsi organ dapat bermanifestasi sebagai

gangguan napas, hipotensi, gagal ginjal dan pada kasus yang berat dapat

menyebabkan kematian.33

Pada sepsis, saat aktivasi koagulasi maksimal, sistem fibrinolisis akan

tertekan. Respon akut sistem fibrinolisis adalah pelepasan aktivator plasminogen

khususnya t-PA dan u-PA dari tempat penyimpanannya dalam endotel. Namun,

aktivasi plasminogen ini dihambat oleh peningkatan PAI-1 sehingga pembersihan

fibrin menjadi tidak adekuat, dan mengakibatkan pembentukan trombus dalam

mikrovaskular.

Gambar 4. Supresi Fibrinolisis

Sumber:......................................

Disseminated intravascular coagulation (DIC) atau Pembekuan intravaskular

menyeluruh (PIM) merupakan komplikasi tersering pada sepsis. Konsumsi faktor

pembekuan dan trombosit akan menginduksi komplikasi perdarahan berat. PIM

secara bersamaan akan menyebabkan trombosis mikrovaskular dan perdarahan.

Pada pasien PIM, kadar PAI-1 yang tinggi dihubungkan dengan prognosis

buruk.33,Error! Bookmark not defined.

Efek kumulatif kaskade sepsis menyebabkan ketidakseimbangan mekanisme

inflamasi dan homeostasis. Inflamasi yang lebih dominan terhadap anti inflamasi dan

koagulasi yang lebih dominan terhadap fibrinolisis, memudahkan terjadinya

trombosis mikrovaskular, hipoperfusi, iskemia dan kerusakan jaringan. Sepsis berat,

syok septik, dapat menyebabkan kegagalan multi organ, dan berakhir dengan

kematian.41 Patofisiologi sepsis terdiri dari aktivasi inflamasi, aktivasi koagulasi, dan

gangguan fibrinolisis. Hal ini mengganggu homeostasis antara mekanisme

Page 19: Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum

19

prokoagulasi dan antikoagulasi. Dapat dilihat pada Gambar 5 di bawah ini yang

memperlihatkan hilangnya homeostasis akibat mekanisme ini.33

Gambar 5. Mekanisme proagulasi dan antikoagulasi33

Sumber : Short MA.Adv Neonat Care 2004 ; 5:258-73

3.6 DIAGNOSIS

Berbagai penelitian dan pengalaman para ahli telah digunakan untuk

menyusun kriteria sepsis neonatorum baik berdasarkan anamnesis (termasuk

adanya faktor risiko ibu dan neonatus terhadap sepsis), gambaran klinis dan

pemeriksaan penunjang. Kriteria sepsis berbeda antara satu tempat dengan tempat

lainnya.8

3.6.1. Faktor Risiko

Terjadinya sepsis neonatorum dipengaruhi oleh faktor risiko pada ibu, bayi

dan lain-lain.

Faktor risiko ibu:

1. Ketuban pecah dini dan ketuban pecah lebih dari 18 jam. Bila ketuban pecah

lebih dari 24 jam, kejadian sepsis pada bayi meningkat sekitar 1% dan bila

disertai korioamnionitis, kejadian sepsis akan meningkat menjadi 4 kalinya.27,42,43

2. Infeksi dan demam (>38°C) pada masa peripartum akibat korioamnionitis, infeksi

saluran kemih, kolonisasi vagina oleh Streptokokus grup B (SGB), kolonisasi

perineal oleh E. coli, dan komplikasi obstetrik lainnya.42,44,45

3. Cairan ketuban hijau keruh dan berbau.27,42

4. Kehamilan multipel.42,44,46

5. Persalinan dan kehamilan kurang bulan.47

Page 20: Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum

20

6. Faktor sosial ekonomi dan gizi ibu.47

Faktor risiko pada bayi:

1. Prematuritas dan berat lahir rendah.42,43,46,48

2. Dirawat di Rumah Sakit.49

3. Resusitasi pada saat kelahiran, misalnya pada bayi yang mengalami fetal

distress dan trauma pada proses persalinan.42,43,48

4. Prosedur invasif seperti intubasi endotrakeal, pemakaian ventilator, kateter, infus,

pembedahan, akses vena sentral, kateter intratorakal.42,43,48

5. Bayi dengan galaktosemia (predisposisi untuk sepsis oleh E. coli), defek imun,

atau asplenia.42,46

6. Asfiksia neonatorum.27,43,48

7. Cacat bawaan.27,43,48

8. Tanpa rawat gabung.43

9. Tidak diberi ASI.49

10. Pemberian nutrisi parenteral.50,51

11. Perawatan di bangsal intensif bayi baru lahir yang terlalu lama.50

12. Perawatan di bangsal bayi baru lahir yang overcrowded.49

13. Buruknya kebersihan di NICU.49

Faktor risiko lain:

Beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa sepsis neonatorum lebih sering

terjadi pada bayi laki-laki daripada perempuan, pada bayi kulit hitam daripada kulit

putih, pada bayi dengan status ekonomi rendah, dan sering terjadi akibat prosedur

cuci tangan yang tidak benar pada tenaga kesehatan maupun anggota keluarga

pasien, serta buruknya kebersihan di NICU.27,42,46,48

Faktor-faktor di atas sering dijumpai dalam praktek sehari-hari dan masih

menjadi masalah sampai saat ini. Hal ini merupakan salah satu penyebab tidak

adanya perubahan pada angka kejadian sepsis neonatal dalam dekade terakhir ini.

Faktor-faktor risiko ini walaupun tidak selalu berakhir dengan infeksi, harus tetap

mendapatkan perhatian khusus terutama bila disertai gambaran klinis.

3.6.2. Gambaran Klinis

Gambaran klinis pasien sepsis neonatus tidak spesifik. Gejala sepsis klasik

yang ditemukan pada anak jarang ditemukan pada neonatus, namun keterlambatan

dalam menegakkan diagnosis dapat berakibat fatal bagi kehidupan bayi. Gejala klinis

yang terlihat sangat berhubungan dengan karakteristik kuman penyebab dan respon

Page 21: Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum

21

tubuh terhadap masuknya kuman. Gambaran klinik yang bervariasi tersebut dapat

dilihat dalam tabel 7.6,52

Janin yang terkena infeksi akan menderita takikardia, lahir dengan asfiksia

dan memerlukan resusitasi karena nilai Apgar rendah. Setelah lahir, bayi tampak

lemah dan tampak gambaran klinis sepsis seperti hipo/hipertermia, hipoglikemia dan

kadang-kadang hiperglikemia. Selanjutnya akan terlihat berbagai kelainan dan

gangguan fungsi organ tubuh. Selain itu, terdapat kelainan susunan saraf pusat

(letargi, refleks hisap buruk, menangis lemah kadang-kadang terdengar high pitch

cry, bayi menjadi iritabel dan dapat disertai kejang), kelainan kardiovaskular

(hipotensi, pucat, sianosis, dingin dan clummy skin). Bayi dapat pula memperlihatkan

kelainan hematologik, gastrointestinal ataupun gangguan respirasi (perdarahan,

ikterus, muntah, diare, distensi abdomen, intoleransi minum, waktu pengosongan

lambung yang memanjang, takipnea, apnea, merintih dan retraksi).53,54

Tabel 7. Gambaran klinis pasien sepsis/meningitis neonatus 25

Gejala klinis

Frekuensi

Aminullah ,

1993

Shattuck,

1992

Pong A,

2003

Gangguan minum 100% 35% 48%

Letargi/tampak sakit berat 100%

Gangguan nafas/dispnea 59% 27% 33%

Ikterus/hiperbilirubinemia 55%

Jittery/Iritabel 16% 62% 60%

Kejang 48% 19% 42%

Gangguan serebral (spastis, paresis) 23%

Hipertermia/hipotermia 34% 46% 60%

Serangan apnea 20% 15% 31%

Gangguan gastrointestinal 14% 12% 20%

Sumber : Aminullah A. Masalah terkini sepsis neonatorum. 2005. hlm 17-31

Selain itu, menurut Buku Pedoman Integrated Management of Childhood

Illnesses tahun 2000 mengemukakan bahwa kriteria klinis Sepsis Neonatorum Berat

bila ditemukan satu atau lebih dari gejala-gejala berikut ini:55

• Laju napas > 60 kali per menit

• Retraksi dada yang dalam

• Cuping hidung kembang kempis

• Merintih

• Ubun ubun besar membonjol

• Kejang

• Keluar pus dari telinga

Page 22: Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum

22

• Kemerahan di sekitar umbilikus yang melebar ke kulit

• Suhu >37,7°C (atau akral teraba hangat) atau < 35,5°C (atau akral teraba

dingin)

• Letargi atau tidak sadar

• Penurunan aktivitas /gerakan

• Tidak dapat minum

• Tidak dapat melekat pada payudara ibu

• Tidak mau menetek.

Beberapa rumah sakit di Indonesia mengacu pada buku Panduan

Manajemen Masalah Bayi Baru Lahir untuk Dokter, Perawat dan Bidan di Rumah

Sakit tahun 2003 untuk menentukan kriteria sepsis neonatorum. Pada buku ini

gambaran klinis pada sepsis dibagi menjadi dua kategori (Tabel 8). Penegakan

diagnosis ditentukan berdasarkan usia pasien dan gambaran klinis sesuai dengan

kategori tersebut.56

Tabel 8. Kelompok temuan klinis yang berhubungan dengan sepsis 8

Kategori A Kategori B

Gangguan napas (misalnya: apnea,

frekuensi napas > 60 atau <30 kali/menit,

retraksi dinding dada, merintih pada waktu

ekspirasi, sianosis sentral)

Kejang

Tidak sadar

Suhu tubuh tidak normal (tidak normal sejak

lahir dan tidak memberi respons terhadap

terapi atau suhu tidak stabil sesudah

pengukuran suhu normal selama tiga kali

atau lebih, menyokong ke arah sepsis)

Persalinan di lingkungan yang kurang

higienis (menyokong ke arah sepsis)

Kondisi memburuk secara cepat dan

dramatis (menyokong ke arah sepsis)

Tremor

Letargi atau lunglai/layuh

Mengantuk atau kurang aktif

Iritabel atau rewel

Muntah (menyokong ke arah sepsis)

Distensi abdomen (menyokong ke arah

sepsis)

Tanda mulai muncul sesudah hari ke 4

(menyokong ke arah sepsis)

Air ketuban bercampur mekonium

Malas minum, sebelumnya minum dengan

baik (menyokong ke arah sepsis)

Sumber: Rohsiswatmo R. Kontroversi diagnosis sepsis neonatorum. 2005. hlm 32-43

Neonatus diduga mengalami sepsis (tersangka sepsis) bila ditemukan tanda-

tanda dan gejala yang akan dijelaskan sebagai berikut:56

Untuk bayi berumur sampai dengan tiga hari

Bila ada riwayat ibu dengan infeksi intrauterin, demam yang dicurigai

sebagai infeksi berat atau KPD (ketuban pecah dini);

Bila bayi mempunyai dua tanda atau lebih pada Kategori A (tabel 6), atau

tiga tanda atau lebih pada Kategori B (tabel 6);

Page 23: Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum

23

Bila bayi mempunyai satu tanda pada Kategori A dan satu tanda pada

Kategori B, atau dua tanda pada Kategori B;

Bila selama pengamatan terdapat tambahan tanda sepsis, kapan saja

timbulnya;

Bila selama pengamatan tidak terdapat tambahan tanda sepsis, tetapi

tanda awalnya tidak membaik, lanjutkan pengamatan selama 12 jam lagi.

Bayi berumur lebih dari tiga hari

Bila bayi mempunyai dua tanda atau lebih pada Kategori A atau tiga tanda

atau lebih pada Kategori B;

Bila bayi mempunyai satu tanda pada Kategori A dan satu tanda pada

Kategori B, atau dua tanda pada Kategori B.

Namun demikian, seringkali gambaran klinis sepsis pada neonatus tidak

menunjukkan gejala yang khas. Dibawah ini merupakan gambaran klinis sepsis

neonatorum yang tidak spesifik yang dikemukakan oleh Vergnano S et al.57

Clinical signs and symptoms

Not able to feed

Not attaching to the breast

No suckling at all

Temperature >37.7°C or

<35.5°C

Respiratory rate >60 breaths/min.

Severe chest indrawing

Nasal flaring

Grunting

Reduced movements

Crepitations

Lethargic or unconscious

Convulsions

Bulging fontanelle

Cyanosis

Reduced digital capillary refill

time

Pus draining from the ear

Redness around umbilicus

extending to the skin

Sumber : Vergnano S et al. Neonatal sepsis: an international perspective

NON SPECIFIC

Bervariasinya gejala klinik ini merupakan penyebab sulitnya diagnosis pasti

pada pasien. Oleh karena itu, pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan

laboratorium ataupun pemeriksaan khusus lainnya perlu dilakukan.

Page 24: Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum

24

3.6.3. Pemeriksaan Penunjang

3.6.3.1 Laboratorium

3.6.3.1.1 Pemeriksaan Kuman

A. Kultur Darah

Sampai saat ini pemeriksaan biakan darah merupakan baku emas dalam

menentukan diagnosis sepsis. Pemeriksaan ini mempunyai kelemahan

karena hasil biakan baru akan diketahui dalam waktu minimal 3-5 hari.58

Hasil kultur perlu dipertimbangkan secara hati-hati apalagi bila ditemukan

kuman yang berlainan dari jenis kuman yang biasa ditemukan di masing-

masing klinik. Kultur darah dapat dilakukan baik pada kasus sepsis

neonatorum awitan dini maupun lanjut.

Survei hasil otopsi tahun 1999 pada 111 BBLR menemukan bahwa

infeksi merupakan penyebab tersering kematian BBLR dan diagnosis

sepsis tidak dapat ditegakkan pada 61% kasus tersebut. Pada

pemeriksaan kultur darah masih banyak ditemukan kasus hasil kultur

negatif, meski telah didukung oleh gejala klinis dan hasil otopsi yang jelas.

Pemberian antibiotik pada sebagian besar ibu hamil untuk mencegah

persalinan prematur diduga sebagai penyebab tidak tumbuhnya bakteri

pada media kultur. Selain itu hasil kultur juga dipengaruhi oleh

kemungkinan pemberian antibiotik sebelumnya pada bayi yang dapat

menekan pertumbuhan kuman. Hasil kultur negatif palsu juga dapat

disebabkan akibat sedikitnya jumlah sampel darah yang diperiksa. Suatu

penelitian menemukan 60% pemeriksaan kultur darah dapat memberikan

hasil negatif palsu apabila volume darah yang diperiksa hanya 0,5 ml

dengan hitung koloni <4 CFU/ml darah. Penghitungan jumlah koloni

bakteri pada bakteremia membutuhkan minimal 1mL darah.59,28 Jumlah

koloni pada neonatus dengan bakteremia diharapkan lebih banyak

dibandingkan pada dewasa. Hasil kultur positif palsu dapat terjadi akibat

kontaminasi saat pengambilan sampel. Kultur bakteri aerob bermakna

untuk seluruh etiologi bakteri penyebab sepsis neonatorum; sedangkan

kultur bakteri anaerob diindikasikan untuk neonatus yang disertai dengan

abses, hemolisis masif dan pneumonia yang tidak membaik dengan

pengobatan.28

Kemungkinan terjadinya meningitis pada sepsis neonatorum adalah 1-

10%. Bayi dengan meningitis mungkin saja tidak menunjukkan gejala

spesifik. Pungsi lumbal dilakukan untuk menegakkan diagnosis atau

Page 25: Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum

25

menyingkirkan sepsis neonatorum bila dicurigai terdapat meningitis.

Pemeriksaan ini dilakukan baik pada sepsis neonatorum awitan dini

maupun lanjut. Kemudian dilakukan pemeriksaan kultur dari cairan

serebrospinal (LCS). Apabila hasil kultur positif, pungsi lumbal diulang 24-

36 jam setelah pemberian antibiotik untuk menilai apakah pengobatan

cukup efektif. Apabila pada pengulangan pemeriksaan masih didapatkan

kuman pada LCS, diperlukan modifikasi tipe antibiotik dan dosis.5 Dari

penelitian, terdapat 15% bayi dengan meningitis yang menunjukkan kultur

darah negatif.9

Kultur urin dilakukan pada anak yang lebih besar. Pemeriksaan ini untuk

mengetahui ada atau tidaknya infeksi di saluran kemih. Kultur urin lebih

baik dilakukan pada kasus sepsis neonatorum awitan lambat.5,22

Spesimen urin diambil melalui kateterisasi steril atau aspirasi suprapubik

kandung kemih.60

Kultur lainnya seperti kultur permukaan kulit, endotrakea dan cairan

lambung menunjukkan sensitivitas dan spesifisitas yang kurang baik.28

B. Pewarnaan Gram

Selain biakan kuman, pewarnaan Gram merupakan teknik tertua

dan sampai saat ini masih sering dipakai di laboratorium dalam

melakukan identifikasi kuman. Pemeriksaan dengan pewarnaan Gram ini

dilakukan untuk membedakan apakah bakteri penyebab termasuk

golongan bakteri Gram positif atau Gram negatif.5 Walaupun dilaporkan

terdapat kesalahan pembacaan pada 0,7% kasus, pemeriksaan untuk

identifikasi awal kuman ini dapat dilaksanakan pada rumah sakit dengan

fasilitas laboratorium terbatas dan bermanfaat dalam menentukan

penggunaan antibiotic pada awal pengobatan sebelum didapatkan hasil

pemeriksaan kultur bakteri.61

Pada rumah sakit dengan fasilitas laboratorium yang lebih memadai,

seperti inkubator, pemeriksaan kultur darah harus dilakukan karena

merupakan pemeriksaan baku emas untuk diagnosis bakteremia.

Automated blood culture system yaitu kultur darah dengan medium cair

dari sistem deteksi cepat dan automated seperti Bactec™ dan BacT

Alert™ dapat digunakan apabila tersedia anggaran yang memadai.

Dari penjelasan diatas terlihat bahwa masih banyak ditemukan

kekurangan pada pemeriksaan identifikasi kuman. Oleh karena itu,

Page 26: Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum

26

berbagai upaya penegakan diagnosis dengan mempergunakan petanda

sepsis banyak dilakukan oleh para peneliti. Berbagai petanda sepsis

banyak dilaporkan di kepustakaan dengan spesifisitas dan sensitivitas

yang berbeda-beda. Ng et al melakukan studi kepustakaan berbagai

petanda sepsis tersebut dan mengemukakan sejumlah petanda infeksi

yang sering dipakai sebagai penunjang diagnosis sepsis pada neonatus

dan bayi prematur (tabel 9).62

Tabel 9. Pemeriksaan petanda infeksi untuk neonatus dan bayi prematur62

Haematological tests

Total white blood cell count

Total neutrophil count

Immature neutrophil count

Immature/total neutrophil ratio

Neutrophil morphology: vacuolisation, toxic granulations, Do¨hle

bodies, intracellular bacteria

Platelet count

Granulocyte colony-stimulating factor (G-CSF)

D-dimer

Fibrinogen

Thrombin-antithrombin III complex (TAT)

Plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1)

Plasminogen tissue activator (tPA)

Acute phase proteins and other proteins

a1 Antitrypsin

C Reactive protein (CRP)

Fibronectin

Haptoglobin

Lactoferrin

Neopterin

Orosomucoid

Procalcitonin (PCT)

Components of the complement system

C3a-desArg

C3bBbP

sC5b-9

Chemokines, cytokines and adhesion molecules

Interleukin (IL)1b, IL1ra, IL2, sIL2R, IL4, IL5, IL6, IL8, IL10

Tumour necrosis factor a (TNFa), 11sTNFR-p55, 12sTNFR-p75

Interferon c (IFNc)

E-selectin

L-selectin

Soluble intracellular adhesion moleucule-1 (sICAM-1)

Page 27: Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum

27

Vascular cell

adhesion molecule-1 (VCAM-1)

Cell surface markers

Neutrophil Lymphocyte Monocyte

CD11b CD3 HLA-DR

CD11c CD19

CD13 CD25

CD15 CD26

CD33 CD45RO

CD64 CD69

CD66b CD71

Others

Lactate

Micro-erythrocyte sedimentation

Superoxide anion (respiratory burst)

Sumber : Ng PCArch Dis Child Fetal Neonatal Ed 2004; 89: F229-F235

3.6.3.1.2 Pemeriksaan Hematologi

Beberapa parameter hematologi yang banyak dipakai untuk menunjang

diagnosis sepsis neonatorum adalah sebagai berikut:

Hitung trombosit.

Pada bayi baru lahir jumlah trombosit yang kurang dari 100.000/μL jarang

ditemukan pada 10 hari pertama kehidupannya. Pada penderita sepsis

neonatorum dapat terjadi trombositopenia (jumlah trombosit kurang dari

100.000/μL), MPV (mean platelet volume) dan PDW (platelet distribution width)

meningkat secara signifikan pada 2-3 hari pertama kehidupan.5

Hitung leukosit dan hitung jenis leukosit.

Pada sepsis neonatorum jumlah leukosit dapat meningkat atau menurun,

walaupun jumlah leukosit yang normal juga dapat ditemukan pada 50% kasus

sepsis dengan kultur bakteri positif. Pemeriksaan ini tidak spesifik. Bayi yang

tidak terinfeksi pun dapat memberikan hasil yang abnormal, bila berkaitan

dengan stress saat proses persalinan. Jumlah total neutrofil (sel-sel PMN dan

bentuk imatur) lebih sensitif dibandingkan dengan jumlah total leukosit (basofil,

eosinofil, batang, PMN, limfosit dan monosit). Jumlah neutrofil abnormal yang

terjadi pada saat mulainya onset ditemukan pada 2/3 bayi. Walaupun begitu,

jumlah neutrofil tidak dapat memberikan konfirmasi yang adekuat untuk diagnosis

sepsis. Neutropenia juga ditemukan pada bayi yang lahir dari ibu penderita

hipertensi, asfiksia perinatal berat, dan perdarahan periventrikular serta

intraventrikular.5

Page 28: Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum

28

Rasio neutrofil imatur dan neutrofil total (rasio I/T).

Pemeriksaan ini sering dipakai sebagai penunjang diagnosis sepsis neonatorum.

Semua bentuk neutrofil imatur dihitung, dan rasio maksimum yang dapat diterima

untuk menyingkirkan diagnosis sepsis pada 24 jam pertama kehidupan adalah

0,16. Pada kebanyakan neonatus, rasio turun menjadi 0,12 pada 60 jam pertama

kehidupan. Sensitivitas rasio I/T berkisar antara 60-90%, dan dapat ditemukan

kenaikan rasio yang disertai perubahan fisiologis lainnya; oleh karena itu, rasio

I/T ini dikombinasikan dengan gejala-gejala lainnya agar diagnosis sepsis

neonatorum dapat ditegakkan.5

Pemeriksaan hematologi sebaiknya dilakukan serial agar dapat dilihat perubahan

yang terjadi selama proses infeksi, seperti trombositopenia, neutropenia, atau

peningkatan rasio I/T. Pemeriksaan secara serial ini berguna untuk mengetahui

sindrom sepsis yang berasal dari kelainan nonspesifik karena stress pada saat

proses persalinan.

Pemeriksaan kadar D-dimer.

D-dimer merupakan hasil pemecahan cross-linked fibrin oleh plasmin. Oleh

karena itu, D-dimer dipakai sebagai petanda aktivasi sistem koagulasi dan sistem

fibrinolisis.63 Pada sepsis, kadar D-dimer meningkat tetapi pemeriksaan ini tidak

spesifik untuk sepsis karena peningkatannya juga dijumpai pada DIC oleh

penyebab lain seperti trombosis, keganasan dan terapi trombolitik.64, 65,66, 67

Pemeriksaan kadar D-dimer dapat dikerjakan dengan berbagai metode antara

lain, aglutinasi lateks, enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) dan whole

blood agglutination (WBA). Pemeriksaan dengan aglutinasi lateks menggunakan

antibodi monoklonal terhadap D-dimer yang dilekatkan pada partikel lateks.

Metode ini sederhana, mudah dikerjakan, hasilnya cepat dan relatif tidak mahal,

namun kurang sensitif untuk pemeriksaan penyaring. Pemeriksaan dengan cara

ELISA konvensional dianggap merupakan metode rujukan untuk penetapan

kadar D-dimer, tetapi cara ini tidak praktis karena memerlukan waktu yang relatif

lama dan mahal. Terdapat beberapa cara cepat berdasarkan prinsip ELISA

antara lain, Nycocard D-dimer, Vidas D-dimer dan Instant IA D-dimer. Dengan

cara ini, hasil dapat diperoleh dalam waktu singkat dan sensitivitasnya mendekati

cara ELISA konvensional. Pemeriksaan D-dimer dengan metode yang berbeda

bisa memberikan hasil yang berbeda pula. Hal ini disebabkan oleh perbedaan

spesifisitas antibodi yang dipakai pada masing-masing metode, belum ada

satuan yang baku dan belum adanya konsensus tentang nilai batas abnormal.

Page 29: Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum

29

3.6.3.1.3 Pemeriksaan C-reactive protein (CRP)

C-reactive protein (CRP) merupakan protein yang disintesis di hepatosit dan

muncul pada fase akut bila terdapat kerusakan jaringan. Protein ini diregulasi oleh IL-

6 dan IL-8 yang dapat mengaktifkan komplemen. Sintesis ekstrahepatik terjadi di

neuron, plak aterosklerotik, monosit dan limfosit. CRP meningkat pada 50-90% bayi

yang menderita infeksi bakteri sistemik. Sekresi CRP dimulai 4-6 jam setelah

stimulasi dan mencapai puncak dalam waktu 36-48 jam dan terus meningkat sampai

proses inflamasinya teratasi. Cut-off yang biasa dipakai adalah 10 mg/L.

Pemeriksaan kadar CRP tidak direkomendasikan sebagai indikator tunggal pada

diagnosis sepsis neonatorum, tetapi dapat digunakan sebagai bagian dari septic

work-up atau sebagai suatu pemeriksaan serial selama proses infeksi untuk

mengetahui respon antibiotik, lama pengobatan, dan/atau relapsnya infeksi. Faktor

yang dapat mempengaruhi kadar CRP adalah cara melahirkan, umur kehamilan,

jenis organisme penyebab sepsis, granulositopenia, pembedahan, imunisasi dan

infeksi virus berat (seperti HSV, rotavirus, adenovirus, influenza).5,68,69

Menurut Mustafa dkk., untuk diagnosis sepsis neonatorum, CRP mempunyai

sensitivitas 60%, spesifisitas 78,94%, nilai prediksi negatif 66,66% dan nilai prediksi

positif 48,77%.70 Jika CRP dilakukan secara serial, nilai prediksi negatif untuk sepsis

awitan dini adalah 99,7% sedangkan untuk sepsis awitan lanjut adalah 98,7%.71

Alur pemeriksaan CRP serta indikasi pemberian antibiotikpada sepsis awitan

dini dan sepsis awitan lambat dapat dilihat pada Gambar 7 dan Gambar 8 berikut ini.

Gambar 7. Alur pemeriksaan CRP pada SAD dan kaitannya dengan pemberian antibiotik72

Sumber: http://neoreviews.aappublications.org

Page 30: Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum

30

Gambar 8. Alur pemeriksaan CRP pada SAL dan kaitannya dengan pemberian antibiotik72

Sumber: Kruger M, et al. Biol Neonate 2001; 80: 118-123

3.6.3.1.4 Procalcitonin (PCT)

PCT merupakan protein yang disusun oleh 116 asam amino, memiliki berat

13 kDa dan merupakan prohormon dari kalsitonin yang diproduksi oleh sel

parafolikuler kelenjar tiroid, yang dalam keadaan normal tidak akan terdeteksi dalam

darah. Secara fisiologis kadarnya meningkat pada neonatus. Pada hari pertama

bervariasi antara 0,1-21 ng/mL dengan median 2 ng/mL. Kemudian kadarnya

menurun dan setelah 48 jam nilainya normal yakni <2 ng/mL.

PCT bereaksi lebih cepat terhadap rangsangan inflamasi dari CRP,

mempunyai sensitivitas 92,6% dan spesifisitas 97,5% untuk sepsis awitan dini, serta

sensitivitas dan spesifisitas 100% untuk sepsis awitan lambat. Selain itu, dapat

membedakan infeksi bakterial dari viral. Pada infeksi bakterial, mean PCT 29,7

ng/mL sedangkan pada infeksi viral, mean PCT 0,28 (0–1,5) ng/mL. Pengukuran

kadarnya dapat dikerjakan secara imunologis dengan alat Vidas.

3.6.3.1.5 Pemeriksaaan kemokin, sitokin dan molekul adhesi

Modalitas pemeriksaan terkini dalam mengevaluasi sepsis neonatorum

adalah dengan menggunakan petanda infeksi (infection markers) seperti CD11b,

CD64, Interleukin-6 (IL-6) yang dapat membantu sebagai petanda tambahan.

Pemeriksaan petanda-petanda infeksi tersebut secara serial dikombinasikan dengan

beberapa tes sehingga dapat memberikan hasil yang baik. Sayangnya, pemeriksaan

petanda infeksi tersebut tidak dianjurkan untuk dijadikan pemeriksaan tunggal. Pada

Page 31: Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum

31

beberapa kasus, pemeriksaan ini dapat menunjukkan kapan pemberian antibiotik

dapat dihentikan.5

IL-6 adalah sitokin pleiotropik yang terlibat dalam berbagai aspek sistem

imunitas. IL-6 disintesis oleh berbagai macam sel seperti monosit, sel endotel dan

fibroblas, setelah ada rangsangan TNF dan IL-1. Petanda ini menginduksi sintesis

protein fase akut termasuk CRP dan fibrinogen. Pada sebagian besar kasus sepsis

neonatorum, IL-6 meningkat cepat yang terjadi dalam waktu beberapa jam sebelum

peningkatan konsentrasi CRP dan akan menurun sampai ke kadar yang tidak

terdeteksi dalam waktu 24 jam. IL-6 ini memiliki waktu paruh yang singkat serta

memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang baik sebagai petanda infeksi. Dari

penelitian didapatkan kesimpulan bahwa pemeriksaan IL-6 atau IL-8 dikombinasikan

dengan pemeriksaan CRP dapat dijadikan pegangan untuk menyingkirkan

kemungkinan sepsis neonatorum sehingga secara keseluruhan menurunkan biaya

dan risiko pemberian antibiotik.73,74 Waktu pemeriksaan sangat berpengaruh

terhadap hasil yang diperoleh, sebagaimana dapat dilihat pada gambar 9.

Penggunaan IL-6 dan CRP secara simultan memiliki sensitivitas 100% pada bayi

terinfeksi dengan usia pascanatal berapapun karena peningkatan CRP plasma

terjadi pada waktu 12-48 jam setelah awitan infeksi, saat level IL-6 telah menurun.

Perbandingan waktu dan konsentrasi IL-6, IL-8, dan CRP diperlihatkan pada gambar

9.

Gambar 9. Waktu Pemeriksaan dan Konsentrasi IL-6, IL-8, dan CRP

Page 32: Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum

32

3.6.3.1.6 Pemeriksaan Biomolekuler/Polymerase Chain Reaction (PCR)

Akhir-akhir ini di beberapa negara maju, pemeriksaan biomolekular berupa

Polymerase Chain Reaction (PCR) dikerjakan guna menentukan diagnosis dini

pasien sepsis. Dibandingkan dengan biakan darah, pemeriksaan ini dilaporkan

mampu lebih cepat memberikan informasi jenis kuman. Di beberapa kota besar

Inggris, pemeriksaan cara ini telah dilakukan pada semua fasilitas laboratorium guna

mendeteksi dini kuman tertentu antara lain N.meningitidis dan S.pneumoniae. Selain

bermanfaat untuk deteksi dini, PCR juga dapat digunakan untuk menentukan

prognosis pasien sepsis neonatorum.

Pemeriksaan ini merupakan metode pemeriksaan yang sensitivitas dan

spesifisitasnya hampir mencapai 100% dalam mendiagnosis sepsis yang disebabkan

oleh bakteri dalam waktu singkat. Metode ini merupakan diagnosis molekular yang

menggunakan amplifikasi PCR dari 16S rRNA pada bayi baru lahir dengan faktor

risiko sepsis ataupun memiliki gejala klinis sepsis.75

PCR juga mempunyai kemampuan untuk menentukan prognosis pasien

sepsis neonatus. Selanjutnya dikemukan bahwa studi PCR secara kuantitatif pada

kuman dibuktikan mempunyai kaitan erat dengan beratnya penyakit. Apabila studi

dan sosialisasi pemeriksaan semacam ini telah berkembang dan terjangkau,

diharapkan cara pemeriksaan ini bermanfaat untuk penatalaksanaan dini dan

memperbaiki prognosis pasien.23

Pemeriksaan diagnostik molekular menggunakan teknik PCR juga

bermanfaat untuk deteksi infeksi virus pada neonatus. Walaupun diagnostik

molekular pada bakteri menggunakan PCR dengan daerah target 16S rRNA telah

terbukti cepat dan akurat (sensitivitas 96%, spesifisitas 99,4% nilai prediksi positif

88,9% dan nilai prediksi negatif 99,8%), masih dibutuhkan penelitian klinis dengan

lingkup yang besar untuk menentukan apakah teknik PCR dapat menjadi adjunctive

test untuk diagnostik cepat bakteremia pada neonatus risiko tinggi dengan gejala

sepsis.

Diagnostik molekular menggunakan 18S rRNA juga dapat digunakan untuk

mendeteksi jamur invasif di dalam darah neonatus dengan risiko tinggi infeksi jamur.

Dibandingkan dengan kultur, PCR mempunyai sensitivitas 100% dan spesifisitas

98% dalam menentukan infeksi jamur invasif. Namun pemeriksaan ini masih sangat

terbatas di Indonesia, dan hanya bisa dilakukan di Pusat Pendidikan atau Rumah

Sakit Rujukan Propinsi.

Page 33: Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum

33

3.6.3.2 Pencitraan

Pemeriksaan radiografi toraks dapat menunjukkan beberapa gambaran,

misalnya:

- Menunjukkan infiltrat segmental atau lobular, yang biasanya difus, pola

retikulogranular, hampir serupa dengan gambaran pada RDS

(Respiratory Distress Syndrome).

- Efusi pleura juga dapat ditemukan dengan pemeriksaan ini.5

- Pneumonia. Penting dilakukan pemeriksaan radiologi toraks karena

ditemukan pada sebagian besar bayi, meninggal akibat sepsis awitan

dini yang telah terbukti dengan kultur.22

Pemeriksaan CT Scan diperlukan pada kasus meningitis neonatal kompleks

untuk melihat hidrosefalus obstruktif, lokasi obstruksi dan melihat infark

ataupun abses.5

USG kepala pada neonatus dengan meningitis dapat menunjukkan

ventrikulitis, kelainan ekogenesitas parenkim, cairan ekstraselular dan

perubahan kronis. Secara serial, USG kepala dapat menunjukkan

progresivitas komplikasi.5

3.6.4. Pendekatan Diagnosis

Dengan memperhatikan berbagai penjelasan di atas, upaya penegakan

diagnosis tampaknya sangat tergantung dari fasilitas yang tersedia di rumah sakit.

Beberapa pemeriksaan laboratorium hanya dapat dilakukan di rumah sakit besar.

Oleh karena itu, beberapa klinik melakukan upaya penegakan diagnosis dengan

berbagai cara. Ada klinik yang mempergunakan faktor-faktor risiko, ada pula yang

mempergunakan gabungan beberapa gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang

ataupun kombinasi berbagai pemeriksaan penunjang dalam melakukan pendekatan

diagnosis. Divisi Perinatologi FKUI/RSCM mencoba melakukan pendekatan

diagnosis dengan menggunakan faktor risiko dan mengelompokkan faktor risiko

tersebut dalam risiko mayor dan risiko minor (lihat tabel 10).76

Tabel 10. Pengelompokan faktor risiko 77

Risiko mayor

1. Ketuban pecah > 24 jam

2. Ibu demam; saat intrapartum suhu > 38 C

3. Korioamnionitis

4. Denyut jantung janin yang menetap > 160x/menit

5. Ketuban berbau

Page 34: Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum

34

Risiko minor

1. Ketuban pecah > 12 jam

2. Ibu demam; saat intrapartum suhu > 37,5 C

3. Nilai Apgar rendah ( menit ke-1< 5 , menit ke-5< 7 )

4. Bayi berat lahir sangat rendah ( BBLSR ) < 1500 gram.

5. Usia gestasi < 37 minggu.

6. Kehamilan ganda.

7. Keputihan pada ibu.

8. Ibu dengan infeksi saluran kemih (ISK) / tersangka ISK yang tidak diobati.

Sumber : Pusponegoro HD, et al. Sepsis neonatorum.2004. h 286-90

Bila terdapat satu faktor risiko mayor dan dua faktor risiko minor maka

pendekatan diagnosis dilakukan secara aktif dengan melakukan pemeriksaan

penunjang (septic work-up) sesegera mungkin. Pendekatan khusus ini diharapkan

dapat meningkatkan identifikasi pasien secara dini dan penatalaksanaan yang lebih

efisien sehingga mortalitas dan morbiditas pasien diharapkan dapat membaik.76

Pada tahun 1981, Spector dkk. menggunakan sistem skoring dengan

memakai kombinasi gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang untuk pendekatan

diagnosis sepsis. Adapun faktor yang digunakan terlihat dalam tabel 11. Selanjutnya

dikemukakan bayi mempunyai risiko menderita infeksi apabila skor lebih besar atau

sama dengan 3. Pada keadaan ini pasien harus segera mendapat antibiotik. Sistem

skoring yang dipakai disini tampaknya hanya dipergunakan untuk pendekatan

diagnosis sepsis awitan lambat.77

Tabel 11. Sistem skoring untuk prediksi sepsis neonatal77

Penemuan Skor

Lebih dari 2 sistem organ terlibat (yaitu terdapat tanda infeksi pada sistem pernafasan,

gastrointestinal, hematologi, kardiovaskular, dan kulit).

Jumlah leukosit total <10.000 atau ≥20.000 / mm3.

Jumlah neutrofil absolut <1000 / mm3.

Rasio neutrofil batang : neutrofil matur ≥0.1

Usia >1 minggu.

1

1

1

1

1

Sumber: Spector SA, Ticknor W, Grossman M. Clin Pediatr 1981; 95: 803-6

Berlainan dengan Spector dkk, beberapa peneliti lain memilih kombinasi

beberapa pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan hematologi dan protein

tertentu sebagai faktor penentu dalam sistem skoring.

Philip dan Hewitt pada tahun 1980 melakukan penapisan sepsis neonatorum

awitan dini berdasarkan kombinasi 5 pemeriksaan laboratorium yaitu :78

1. Jumlah leukosit <5.000 / mm3

2. Rasio neutrofil imatur : total neutrofil ≥0,2

Page 35: Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum

35

3. Laju endap darah ≥15 mm/jam

4. Lateks C-Reactive Protein positif (> 0,8 mg/100 mL)

5. Lateks haptoglobin positif (>25 mg/100 mL)

Pasien ditetapkan sepsis bila terdapat 2 atau lebih faktor tersebut dan hal ini

mempunyai sensitivitas 93% dan spesifisitas 88%. Kriteria di atas ternyata juga

dapat mendeteksi sepsis neonatorum awitan lambat, dengan sensitivitas dan

spesifisitas berturut-turut 83% dan 74%.78

Skoring sistem berdasarkan beberapa faktor laboratorium ini juga

dikemukakan oleh Rodwell dkk (1987). Faktor yang dipakai adalah beberapa hasil

pemeriksaan hematologik dan karenanya dikenal dengan istilah hematologic scoring

system (HSS) seperti terlihat dalam tabel 12.79

Tabel 12. Sistem skoring hematologis untuk menegakkan diagnosis dini sepsis neonatorum awitan dini

dan lambat80

Penemuan Skor

Rasio imatur : total neutrofil (rasio I:T) meningkat.

Jumlah total PMN (polymorphonuclear) meningkat atau menurun.

Rasio imatur : matur neutrofil (rasio I:M) ≥ 0,3

Jumlah imatur PMN meningkat.

Jumlah total leukosit menurun atau meningkat (≤5000/mm3 atau ≥25.000, 30.000, dan

21.000/mm3 pada saat lahir, 12-24 jam, dan usia 2 hari).

Terdapat perubahan degeneratif pada PMN ≥3+ untuk vakuolisasi, granulasi toksik, dan

badan Dohle.

Jumlah trombosit ≤150.000 / mm3.

1

1

1

1

1

1

1

Sumber : Rodwell RL, Leslie AL, Tudehope DI. J Pediatr 1998; 112: 761-7

Sistem skoring cara ini dapat dipakai baik pada pasien sepsis neonatorum

awitan dini ataupun awitan lambat. Selanjutnya dikemukan bahwa semakin besar

jumlah skor, kemungkinan sepsis juga akan meningkat. Apabila jumlah skor ≥3 maka

sensitivitas dapat mencapai 96%, spesifisitas 78%, PPV 31%, dan NPV 99%.79

Sistem ini mempunyai kelebihan antara lain mudah dilakukan, sederhana

karena hanya melakukan 1 jenis pemeriksaan darah perifer dan hasil pemeriksaan

darah juga tidak memerlukan waktu lama. Selain itu beberapa peneliti lain telah

mencoba melakukan studi dengan kriteria yang sama dan memberikan hasil yang

menunjang sistem skoring tersebut.79

Saat ini, upaya penegakan diagnosis sepsis mengalami beberapa

perkembangan. Pada tahun 2004, The International Sepsis Forum mengajukan

usulan kriteria diagnosis sepsis pada neonatus berdasarkan perubahan klinis sesuai

dengan perjalanan infeksi. Gambaran klinis sepsis neonatorum dikelompokkan

Page 36: Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum

36

menjadi 4 variabel, yaitu variabel klinik, variabel hemodinamik, variabel perfusi

jaringan, dan variabel inflamasi (tabel 13).16

Tabel 13. Kriteria diagnosis sepsis pada neonatus 16

Variabel Klinik

Suhu tubuh tidak stabil

Laju nadi > 180 kali/menit, < 100 kali/menit

Laju nafas > 60 kali/menit, dengan retraksi atau desaturasi oksigen

Letargi

Intoleransi glukosa ( plasma glukosa > 10 mmol/L )

Intoleransi minum

Variabel Hemodinamik

TD < 2 SD menurut usia bayi

TD sistolik < 50 mmHg ( bayi usia 1 hari )

TD sistolik < 65 mmHg ( bayi usia < 1 bulan )

Variabel Perfusi Jaringan

Pengisian kembali kapiler > 3 detik

Asam laktat plasma > 3 mmol/L

Variabel Inflamasi

Leukositosis ( > 34000x109/L )

Leukopenia ( < 5000 x 109/L )

Neutrofil muda > 10%

Neutrofil muda/total neutrofil ( I/T ratio ) > 0,2

Trombositopenia <100000 x 109/L

C Reactive Protein > 10 mg/dL atau > 2 SD dari nilai normal

Procalcitonin > 8,1 mg/dL atau > 2 SD dari nilai normal

IL-6 atau IL-8 >70 pg/mL

16 S rRNA gene PCR : positif

Sumber : Haque KN.Pediatr Crit Care Med 2005; 6: S45-9

3.7. Penatalaksanaan

Eliminasi kuman penyebab merupakan pilihan utama dalam tata laksana

sepsis neonatorum, sedangkan penentuan kuman penyebab membutuhkan waktu

dan mempunyai kendala tersendiri. Hal ini merupakan masalah dalam melaksanakan

pengobatan optimal karena keterlambatan pengobatan akan berakibat peningkatan

komplikasi yang tidak diinginkan. Sehubungan dengan hal tersebut, penggunaan

antibiotik secara empiris dapat dilakukan dengan memperhatikan pola kuman

penyebab yang tersering ditemukan di klinik tersebut.25 Antibiotik tersebut segera

diganti apabila sensitivitas kuman diketahui. Selain itu, beberapa terapi suportif

(adjuvant) juga sudah mulai dilakukan walaupun beberapa dari terapi tersebut belum

terbukti menguntungkan. Terapi suportif meliputi transfusi granulosit, intravenous

Page 37: Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum

37

immune globulin (IVIG) replacement, transfusi tukar (exchange transfusion) dan

penggunaan sitokin rekombinan.5

3.7.1 Pemberian antibiotik

Sepsis merupakan keadaan kedaruratan dan setiap keterlambatan

pengobatan dapat menyebabkan kematian.17,80 Pada kasus tersangka sepsis, terapi

antibiotik empirik harus segera dimulai tanpa menunggu hasil kultur darah. Setelah

diberikan terapi empirik, pilihan antibiotik harus dievaluasi ulang dan disesuaikan

dengan hasil kultur dan uji resistensi. Bila hasil kultur tidak menunjukkan

pertumbuhan bakteri dalam 2-3 hari dan bayi secara klinis baik, pemberian antibiotik

harus dihentikan.187

Permasalahan resistensi antibiotik merupakan masalah yang bersifat

universal. Penggunaan antibiotik yang berlebihan akan menimbulkan masalah

resistensi di kemudian hari. Antibiotik spektrum luas lebih sering menimbulkan

resistensi daripada antibiotik spektrum sempit.19 Oleh karena itu, kebijakan dalam

pemberian antibiotik harus ada pada setiap unit perawatan neonatus. Surveilans

bakteri dan pola resistensi juga harus secara rutin dilakukan di tiap unit neonatal

untuk menetapkan kebijakan penggunaan antibiotik di masing-masing unit.19,52

Upaya untuk menurunkan resistensi bakteri memerlukan dua strategi utama yaitu,

mengontrol infeksi dan mengontrol pemakaian antibiotik.81 Pemakaian antibiotik

secara bergantian dilaporkan efektif menurunkan resistensi di beberapa tempat.19,82

Seperti telah dijelaskan di atas, penyalahgunaan pemberian antibiotik akan

menimbulkan resistensi bakteri. Hal ini terjadi karena bakteri Gram negatif seperti

Klebsiella pneumoniae dan E. Coli dapat memproduksi extended spectrum beta

lactamase (ESBL) sehingga resisten terhadap hampir semua antibiotik. Sedangkan

bakteri Gram positif dapat membawa gen yang menyebabkan resistensi terhadap

vankomisin dalam bentuk vancomycin resistant enterococci (VRE) dan gen yang

mengkode resistensi terhadap metisilin seperti methicillin resistant Staphylococcus

aureus (MRSA) serta methicillin resistant Staphylococcus epidermidis (MRSE). 53,83

Akhir-akhir ini, dikhawatirkan terjadi peningkatan resistensi bakteri Gram

negatif terhadap hampir semua antibiotika. Resistensi terhadap amikasin kira-kira

50%, netilmisin lebih tinggi dan gentamisin lebih dari 75%. Resistensi terhadap

sefalosporin generasi ketiga lebih dari 80%. Resistensi terhadap piperasilin-

tazobaktam 30-46%, sedangkan resistensi terhadap imipenem sudah mulai muncul

(kira-kira 20%).53

Di negara berkembang, dilaporkan bahwa multiresisten yang terjadi pada

bakteri penyebab sepsis semakin meningkat, terutama Klebsiella sp. dan

Page 38: Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum

38

Enterobacter sp.84 Multiresisten yang terjadi pada Acinetobacter sp. (termasuk

terhadap karbapenem) juga mulai bermunculan di seluruh dunia dengan berbagai

angka prevalensi di tiap negara.84 Di Pakistan, E.coli dan Pseudomonas sp.

menunjukkan resistensi derajat tinggi terhadap ampisilin, amoksisilin klavulanat dan

gentamisin; resistensi derajat sedang terhadap sefotaksim, seftazidim dan

seftriakson; dan resistensi derajat rendah terhadap golongan kuinolon.81 Data

terakhir pada bulan Juli 2004 - Mei 2005 di Divisi Neonatologi Departemen IKA FKUI-

RSCM, menunjukkan bakteri Gram negatif dan positif memiliki resistensi derajat

tinggi terhadap antibiotiklini pertama (ampisilin, gentamisin) dan lini kedua

(sefotaksim, seftriakson) serta derajat rendah-sedang terhadap antibiotik lini ketiga

(imipenem, meropenem). Hanya 61,7% A. Calcoaceticus dan 45,71% Enterobacter

sp. yang masih sensitif terhadap seftazidim, dan juga sekitar 44,1% Staphylococcus

sp. masih sensitif terhadap amikasin.82

Pemberian ampisilin profilaksis intrapartum dapat menurunkan insidens

sepsis neonatorum SGB secara drastis, namun di sisi lain akan meningkatkan

insidens sepsis yang disebabkan oleh bakteri Gram negatif dan yang resisten

terhadap ampisilin.80,85 Ampisilin dan sefalosporin generasi ketiga (sefotaksim,

seftriakson, seftazidim) dilaporkan dapat menyebabkan organisme Gram negatif

memproduksi ESBL yang selanjutnya menimbulkan masalah resistensi. Oleh karena

itu, terapi kombinasi antibiotik betalaktam dan aminoglikosida sangat dianjurkan

untuk mencegah resistensi tersebut. 86

Karbapenem digunakan di laboratorium untuk menginduksi organisme

pembawa gen beta-laktamase yang terekspresi agar mengekspresikan gen dan

memproduksi beta-laktamase. Jadi, penggunaan imipenem dan meropenem secara

berlebihan justru akan menyebabkan organisme memproduksi beta-laktamase.53

Oleh karena itu, karbapenem tidak boleh digunakan secara luas di unit perawatan

intensif neonatus (UPIN), dan penggunaannya harus dibatasi hanya pada kasus

berat, yakni pada organisme yang memproduksi ESBL dan sefalosporinase.87

Antibiotik tidak boleh digunakan sebagai terapi profilaksis (pada bayi dengan

intubasi, memakai kateter vaskular sentral, chest drain) karena terbukti tidak efektif

untuk pencegahan sepsis. Bila bakteri tumbuh pada pipa endotrakeal, hal itu berarti

telah terjadi kolonisasi dan pengobatan profilaksis tidak akan mengurangi kolonisasi

(kultur pipa endotrakeal akan tetap positif) serta tidak akan mencegah sepsis, tetapi

justru meningkatkan resistensi terhadap antibiotik.54,87

Page 39: Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum

39

3.7.1.1 Pemilihan antibiotik untuk sepsis awitan dini

Pada bayi dengan SAD, terapi empirik harus meliputi SGB, E. coli, dan

Listeria monocytogenes.18 Kombinasi penisilin atau ampisilin ditambah

aminoglikosida mempunyai aktivitas antimikroba lebih luas dan umumnya efektif

terhadap semua organisme penyebab SAD.18,22 Kombinasi ini sangat dianjurkan

karena akan meningkatkan aktivitas antibakteri.18

3.7.1.2 Pemilihan antibiotik untuk sepsis awitan lambat

Kombinasi penisilin atau ampisilin dengan aminoglikosida dapat juga

digunakan untuk terapi awal SAL. Pada beberapa rumah sakit, strain penyebab

infeksi nosokomial telah mengalami perubahan selama 20 tahun terakhir ini karena

telah terjadi peningkatan resistensi terhadap kanamisin, gentamisin, dan tobramisin.

Oleh karena itu, pada infeksi nosokomial lebih dipilih pemakaian netilmisin atau

amikasin. Amikasin resisten terhadap proses degradasi yang dilakukan oleh

sebagian besar enzim bakteri yang diperantarai plasmid, begitu juga yang dapat

menginaktifkan aminoglikosida lain.18

Pada kasus risiko infeksi Staphylococcus (pemasangan kateter vaskular),

obat anti stafilokokus yaitu vankomisin ditambah aminoglikosida dapat digunakan

sebagai terapi awal. Pada kasus endemik MRSA dipilih vankomisin. Pada kasus

dengan risiko infeksi Pseudomonas (terdapat lesi kulit tipikal) dapat diberikan

piperasilin atau azlosilin (golongan penisilin spektrum luas) atau sefoperazon dan

seftazidim (sefalosporin generasi ketiga). Secara in vitro, seftazidim lebih aktif

terhadap Pseudomonas dibandingkan sefoperazon atau piperasilin.18

Di beberapa tempat, kombinasi sefalosporin generasi ketiga dengan penisilin

atau ampisilin, digunakan sebagai terapi awal pada SAD dan SAL. Keuntungan

utama menggunakan sefalosporin generasi ketiga adalah aktivitasnya yang sangat

baik terhadap bakteri-bakteri penyebab sepsis, termasuk bakteri yang resisten

terhadap aminoglikosida. Selain itu, sefalosporin generasi ketiga juga dapat

menembus cairan serebrospinal dengan sangat baik. Walaupun demikian,

sefalosporin generasi ketiga sebaiknya tidak digunakan sebagai terapi awal sepsis

karena tidak efektif terhadap Listeria monocytogenes, dan penggunaannya secara

berlebihan akan mempercepat munculnya mikroorganisme yang resisten

dibandingkan dengan pemberian aminoglikosida.

Infeksi bakteri Gram negatif dapat diobati dengan kombinasi turunan penisilin

(ampisilin atau penisilin spektrum luas) dan aminoglikosida. Sefalosporin generasi

ketiga yang dikombinasikan dengan aminoglikosida atau penisilin spektrum luas

dapat digunakan pada terapi sepsis yang disebabkan oleh bakteri Gram negatif.

Page 40: Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum

40

Pilihan antibiotik baru untuk bakteri Gram negatif yang resisten terhadap antibiotik

lain adalah karbapenem, aztreonam, dan isepamisin. Enterokokus dapat diobati

dengan a cell-wall active agent (misal: penisilin, ampisilin, atau vankomisin) dan

aminoglikosida. Staphilococci sensitif terhadap antibiotik golongan penisilin resisten

penisilinase (misal: oksasiklin, nafsilin, dan metisilin).18

Pemberian antibiotik pada SAD dan SAL di negara-negara berkembang tidak

bisa meniru seperti yang dilakukan di negara maju. Pemberian antibiotik hendaknya

disesuaikan dengan pola kuman yang ada pada masing-masing unit perawatan

neonatus. Oleh karena itu, studi mikrobiologi dan uji resistensi harus dilakukan

secara rutin untuk memudahkan para dokter dalam memilih antibiotik.

3.7.2 Terapi suportif (adjuvant)

Pada sepsis neonatorum berat mungkin terlihat disfungsi dua sistem organ

atau lebih yang disebut disfungsi multi organ, seperti gangguan fungsi respirasi,

gangguan kardiovaskular dengan manifestasi syok septik, gangguan hematologik

seperti koagulasi intravaskular diseminata (KID), dan/atau supresi sistem imun. Pada

keadaan tersebut dibutuhkan terapi suportif seperti pemberian oksigen, pemberian

inotropik, dan pemberian komponen darah.88,89,90 Terapi suportif ini dalam

kepustakaan disebut terapi adjuvant dan beberapa terapi yang dilaporkan di

kepustakaan antara lain pemberian intravenous immunoglobulin (IVIG), pemberian

transfusi dan komponen darah, granulocyte-macrophage colony stimulating factor

(G-CSF dan GM-CSF), inhibitor reseptor IL-1, transfusi tukar (TT) dan lain-lain.

3.7.2.1 Intravenous immune globulin (IVIG)

Pemberian intravenous immune globulin (IVIG) replacement telah diteliti

merupakan terapi yang memungkinkan untuk sepsis neonatorum. Upaya ini

dilakukan dengan harapan untuk memberikan antibodi spesifik yang berguna pada

proses opsonisasi dan fagositosis organisme bakteri dan juga untuk mengaktivasi

komplemen serta proses kemotaksis neutrofil pada neonatus.5 Manfaat pemberian

IVIG sebagai tatalaksana tambahan pada penderita sepsis neonatal masih bersifat

kontroversi. Boehme U et al melaporkan bahwa terdapat penurunan mortalitas bayi

prematur secara bermakna pada pemberian IVIG, sedangkan peneliti lain tidak

memperlihatkan perbedaan.91 Studi multisenter yang dilakukan oleh Weisman,dkk.

melaporkan terdapat penurunan mortalitas pasien pada 7 hari pertama tetapi

kelangsungan hidup selanjutnya tidak berbeda bermakna.92

Dalam upaya menunjang peran IVIG dalam tatalaksana sepsis, telah

dilakukan dua studi meta-analisis. Pada meta-analisis pertama (n=7 RCT)

didapatkan penurunan angka mortalitas yang signifikan pada neonatus yang diduga

Page 41: Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum

41

terinfeksi.93 Namun, bila diperhitungkan hanya pada kasus yang terbukti sepsis,

angka tersebut menjadi tidak signifikan. Sehingga disimpulkan bahwa bukti yang ada

belum cukup kuat untuk menjadikan IVIG sebagai terapi rutin pada semua kasus

Sepsis Neonatorum. Meta-analisis kedua (n=23 RCT) menunjukkan penurunan

angka mortalitas secara signifikan pada kasus sepsis berat dan syok septik setelah

pemberian IVIG poliklonal.94

Pemberian IVIG terbukti memiliki keuntungan untuk mencegah kematian dan

kerusakan otak bila diberikan pada sepsis neonatorum awitan dini. Dosis yang

dianjurkan adalah 500-750mg/kgBB IVIG dosis tunggal.95 Pemberian IVIG terbukti

aman dan dapat menurunkan angka kematian sampai 45%.96

3.7.2.2 Granulocyte-macrophage colony stimulating factor (G-CSF dan GM-

CSF)

Sistem granulopoetik pada bayi baru lahir khususnya bayi kurang bulan

masih belum berkembang dengan baik. Neutropenia sering ditemukan pada pasien

sepsis neonatal dan keadaan ini terutama terjadi karena defisiensi G-CSF dan GM-

CSF.97 Padahal neonatus yang menderita sepsis dengan neutropenia memiliki angka

mortalitas lebih tinggi dibandingkan yang tidak mengalami neutropenia.98 G-CSF

merupakan regulator fisiologis terhadap produksi dan fungsi neutrofil. Fungsinya

adalah untuk menstimulasi proliferasi prekursor neutrofil dan meningkatkan aktivitas

kemotaksis, fagositosis, memproduksi superoksida dan bakterisida. Berdasarkan

fungsi tersebut, G-CSF digunakan sebagai terapi adjuvant pada sepsis

neonatorum.99 Pemberian G-CSF secara langsung akan memperbanyak neutrofil di

dalam sirkulasi karena pembentukan dan pelepasan neutrofil dari sumsum tulang

meningkat.100 Berbagai studi telah membuktikan bahwa pemberian G-CSF walaupun

dapat meningkatkan konsentrasi neutrofil di dalam darah tepi maupun sumsum

tulang dan dapat menurunkan angka infeksi nosokomial secara bermakna, namun

tidak memperlihatkan perbaikan dalam angka kematian pasien.100,101 Oleh karena

itu, pemberian rutin G-CSF sampai saat ini tidak dianjurkan tetapi beberapa klinik

menggunakannya dengan dosis 10 μg/kg/hari pada pasien dengan neutropenia yang

tidak memperlihatkan perbaikan dengan pemberian IVIG.90 Dari Cochrane review

disimpulkan bahwa belum tersedia evidence-based yang cukup untuk menurunkan

angka mortalitas dan morbiditas pada penggunaan G-CSF secara rutin dalam

mengatasi sepsis dengan neutropenia. Namun, bila dibandingkan dengan pemberian

IVIG, transfusi G-CSF lebih menurunkan angka mortalitas.95

Dilaporkan bahwa transfusi granulosit memberikan hasil cukup baik, tetapi

jarang digunakan karena teknik filtrasi yang sulit dan memerlukan biaya yang tinggi.

Page 42: Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum

42

Beberapa penelitian melaporkan bahwa pemberian G-CSF dan GM-CSF dapat

meningkatkan kualitas dan kuantitas imunitas selular serta mencegah infeksi

nosokomial pada neonatus, tetapi preparat ini masih dalam penelitian lebih lanjut dan

membutuhkan biaya yang mahal.89

3.7.2.3 Tansfusi Tukar (TT)

Transfusi tukar pada tatalaksana sepsis neonatorum masih kontroversial,

sedangkan data EBM masih belum memuaskan beberapa pihak dengan berbagai

pertimbangan keuntungan dan kerugiannya. Angka keberhasilan masih hampir sama

antara yang dilakukan TT dengan yang tidak dilakukan.

Transfusi tukar adalah prosedur untuk menukarkan sel darah merah dan

plasma resipien dengan sel darah merah dan plasma donor.102,103,104,105 Tujuan TT

pada sepsis adalah untuk memutuskan rantai reaksi inflamasi sepsis dan

memperbaiki keadaan umum pasien.88,102,104 Dikatakan demikian karena berdasarkan

penelitian-penelitian yang pernah ada telah menunjukkan kesimpulan bahwa TT

dapat meningkatkan kadar IgG, IgA dan IgM dalam waktu 12-24 jam; meningkatkan

fungsi granulosit; meningkatkan aktivitas opsonisasi antibodi dan fungsinya serta

jumlah neutrofil; mengeluarkan endotoksin dan mediator inflamasi; meningkatkan

oxygen-carrying capacity darah; memperbaiki perfusi jaringan; meningkatkan

konsentrasi oksihemoglobin di otak; serta memperbaiki perfusi perifer dan distres

pernapasan. Darah yang digunakan untuk TT adalah darah lengkap. Volume darah

yang diperlukan untuk tindakan TT adalah 80-85 ml/kgBB untuk bayi cukup bulan

atau 100 ml/kgBB untuk bayi prematur dan ditambah lagi 75-100 ml untuk priming

the tubing. Metode yang paling disukai untuk prosedur TT adalah isovolumetric

exchange, yaitu mengeluarkan dan memasukkan darah yang dilakukan bersama-

sama melalui kateter arteri umbilikalis (dipakai untuk mengeluarkan darah pasien)

dan kateter vena umbilikalis (dipakai untuk memasukkan darah donor). Kontra

indikasi TT adalah ketidakmampuan untuk memasang akses arteri atau vena dengan

tepat, omphalitis, omphalocele/gastroschisis, necrotizing enterocolitis, bleeding

diathesis, infeksi pada tempat tusukan serta kurang baiknya aliran pembuluh darah

kolateral dari arteri ulnaris atau arteri dorsalis pedis.106

TT cukup efektif sebagai terapi alternatif pada sepsis neonatorum yang gagal

ditatalaksana secara konvensional. Penelitian meta-analisis mengenai penggunaan

TT memang masih ditunggu, namun beberapa data yang telah ada cukup

menjanjikan dan menunjukkan manfaat terapi ini pada bayi dengan neutropenia,

sklerema, DIC dan asidosis berat. Tabel 14 di bawah ini, menunjukkan survival dari

beberapa penelitian kasus yang dilakukan TT. Namun demikian, perlu diperhatikan

Page 43: Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum

43

juga mengenai efek samping seperti gangguan hemodinamik yang dapat

menyebabkan kematian.107

Tabel 14. Angka Survival bayi yang dilakukan TT108

Peneliti Survival (n) (%)

Dilakukan TT Tidak dilakukan TT

Prodhom et al, 1974 7/8 (88) 0/8(0)

Tollner et al, 1977 10/10 (100) 5/10(50)

Pearse et al, 1978 13/19(68) 7/17(41)

Belohradsky et al, 1978 37/74 (50) 60/132 (45)

Countney et al, 1979 23/34 (68) 4/14 (29)

Lemos, 1981 8/8 (100) 0/14 (0)

Bassi et al, 1981 12/22 (55) 7/13 (54)

Narayanan et al, 1984 8/20 (40) 2/20 (10)

Xanthou et al, 1985 25/44 (57) 18/62

Gross et al, 1987 7/11 (64) 8/11 (73)

Total 150/250 (60) 111/311 (35.69)

Sumber : Vaidya U . Prematurity and infection in newborns. 2002

3.7.2.4 Pemberian Fresh Frozen Plasma (FFP)

Pada bayi dengan sepsis, pemberian FFP biasanya diberikan apabila

ditemukan gangguan koagulasi. Gangguan koagulasi yang sering dihadapi pasien

adalah Koagulasi Diseminasi Intravaskular/KID (Disseminated Intravascular

Coaagulation/DIC). Di samping faktor koagulasi, FFP juga mengandung antibodi,

komplemen, dan protein lain seperti C-reactive protein dan fibronectin. Walaupun

FFP mengandung antibodi protektif tertentu, namun dalam dosis 10 mL/kg, jumlah

antibodi tidak adekuat untuk mencapai kadar proteksi pada tubuh bayi. Pada

pemberian secara kontinyu (seperti 10 mL/kg setiap 12 jam), kadar proteksi baru

dapat dicapai. Studi yang dilaporkan oleh Acuna et al mengemukakan bahwa pada

kenyataannya FFP hanya meningkatkan IgA dan IgM bayi tanpa meningkatkan kadar

IgG. Selanjutnya dikemukakan dengan tersedianya gammaglobulin intravena

(Intravena Immunoglobulin-IVIG), pemberian IVIG ini akan lebih aman dalam

menghindarkan efek samping pemberian FFP.97

3.7.2.5 Pemberian Pentoxifilin

Pentoxifilin merupakan turunan xantin yang memiliki aktivitas inhibitor

fosfodiesterase yang membuatnya mampu memodulasi proses inflamasi. Cochrane

Page 44: Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum

44

review menyatakan bahwa pentoxifilin sebagai terapi adjuvant sepsis neonatorum

terbukti dapat menurunkan angka kematian tanpa menyebabkan efek samping.108

3.7.2.6 Pemberian Melatonin

Di dalam patogenesis sepsis neonatorum terdapat implikasi timbulnya radikal

bebas. Melatonin merupakan antioksidan endogen hasil produksi indoamin yang

dirancang untuk menjadi salah satu alternatif terapi adjuvant untuk mengatasi sepsis

neonatorum. Melatonin diberikan secara oral dengan dosis 2 X 10 mg per hari.

Pemakaian melatonin tersebut masih dalam tahap uji klinik dan penelitian ini

merupakan penelitian pertama pada manusia. Hasil penelitian tersebut menunjukkan

perbaikan kondisi klinik pada kelompok yang diterapi dibandingkan kelompok kontrol.

Namun, masih perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai hal ini dengan sampel

yang lebih besar.109

3.7.2.7 Penatalaksanaan imunologik

Seperti telah dikemukakan terdahulu bahwa dalam 10 tahun terakhir ini telah

diajukan konsep baru dalam bidang infeksi yang dikenal dengan "systemic

inflammatory response syndrome" (SIRS). Konsep ini menggambarkan patofisologi

baru dalam kaskade inflamasi yang agak berbeda dengan gambaran yang dianut

sebelumnya. Pada pasien SIRS ditemukan perubahan fisiologik sistem imun, baik

humoral maupun selular, yang berupaya untuk mengimbangi atau melakukan reaksi

eliminasi mikroba melalui pembentukan berbagai komplemen dan antibodi.

Pelaporan ini mempunyai arti yang penting dalam manajemen pasien. Pada bayi

dengan risiko, dimungkinkan merencanakan penatalaksanaan sepsis secara lebih

efisien dan efektif sehingga komplikasi jangka panjang yang mengganggu tumbuh

kembang bayi dapat dihindarkan. Berbagai penelitian eksperimental maupun studi

klinis banyak dilakukan untuk menghambat kaskade inflamasi ini. Salah satu cara

adalah dengan menurunkan aktivitas biologis dari IL-1 dan TNF-α. Dalam suatu studi

eksperimental pada hewan coba, penyuntikan TNF-α dan IL-1 memperlihatkan

perubahan fisiologis yang sejalan dengan kaskade inflamasi. Selanjutnya apabila

dilakukan rintangan terhadap aktivitas IL-1 dengan reseptor antagonis IL-1 (IL-1ra)

ternyata dapat melindungi binatang dari kematian akibat bakteremia dan

endotoksemia.13,110,111 Hasil ini memperkuat hipotesis yang mengemukakan bahwa

pengurangan tingkat sirkulasi TNF-α dan IL-1 di dalam sirkulasi akan memperlemah

perkembangan kaskade sepsis. Penelitian ini juga memperkuat kemungkinan

penggunaan terapi antisitokin dalam menurunkan angka kematian karena syok

septik pada pasien sepsis. Studi klinis pemberian terapi IL-1ra dan anti TNF-α pada

penderita sepsis baru merupakan penelitian pendahuluan. Apabila studi klinik ini

Page 45: Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum

45

dapat dilakukan pada pasien dengan hasil seperti pada penelitian eksperimental,

diharapkan tata laksana pasien akan menjadi lebih optimal.25

3.7.2.8 Pemberian Kortikosteroid pada Sepsis Neonatorum

Telaah pustaka dan meta-analisis mengenai pemakaian kortikosteroid untuk

sepsis sejak awal tahun 1950-an sampai dengan tahun 1990-an umumnya

menunjukkan bahwa kortikosteroid tidak memberikan manfaat untuk pengobatan

sepsis dan syok septik. Kortikosteroid tersebut diberikan dalam dosis tinggi untuk

mengatasi inflamasi dengan pertimbangan mekanisme kerja kortikosteroid yang

sangat dominan sebagai antiinflamasi. Telaah saat ini menunjukkan bahwa hal

tersebut dapat menimbulkan rebound respons inflamasi sistemik dengan berbagai

bahaya yang menyertainya.112 Beberapa meta-analisis telah menunjukkan secara

konsisten bahwa pemberian glukokortikoid dosis tinggi (lebih dari 42.000 mg

equivalen hidrokortison) telah terbukti tidak bermanfaat dan membahayakan.113

Pada saat ini pemberian kortikosteroid pada pasien sepsis lebih ditujukan

untuk mengatasi kekurangan kortisol endogen akibat insufisiensi renal. Kortikosteroid

dosis rendah bermanfaat pada pasien syok sepsis karena terbukti memperbaiki

status hemodinamik, memperpendek masa syok, memperbaiki respon terhadap

katekolamin dan meningkatkan survival. Pada keadaan ini dapat diberikan

hidrokortison dengan dosis 2 mg/kgBB/hari.109,114 Sebuah meta-analisis memperkuat

hal ini dengan menunjukkan penurunan angka mortalitas 28 hari secara signifikan.115

3.7.2.9 Dukungan Nutrisi

Sepsis merupakan keadaan stress yang dapat mengakibatkan perubahan

metabolik tubuh. Pada sepsis terjadi hipermetabolisme, hiperglikemia, resistensi

insulin, lipolisis, dan katabolisme protein. Pada keadaan sepsis kebutuhan energi

meningkat, protein otot dipergunakan untuk meningkatkan sintesis protein fase akut

oleh hati. Beberapa asam amino yang biasanya non-esensial menjadi sangat

dibutuhkan, diantaranya glutamin, sistein, arginin dan taurin pada neonatus. Pada

keadaan sepsis, minimal 50% dari energy expenditure pada bayi sehat harus

dipenuhi atau dengan kata lain minimal sekitar 60 kal/kg/hari harus diberikan pada

bayi sepsis. Kebutuhan protein sebesar 2,5-4 g/kg/hari, karbohidrat 8,5-10 g/kg/hari

dan lemak 1 g/kg/hari. Pemberian nutrisi pada bayi pada dasarnya dapat dilakukan

melalui dua jalur, yaitu parenteral dan enteral. Pada bayi sepsis, dianjurkan untuk

tidak memberikan nutrisi enteral pada 24-48 jam pertama. Pemberian nutrisi enteral

diberikan setelah bayi lebih stabil.116

Page 46: Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum

46

3.8. Pencegahan dan Penanggulangan

Menurut Lancet Neonatal Survey Series tahun 2005, terdapat beberapa

intervensi pencegahan berdasarkan Kedokteran Berbasis Bukti, yang dapat

dilakukan pada periode yang berbeda yaitu pada periode intrapartum dan

postpartum. Intervensi pencegahan tersebut dapat dilihat pada tabel 15.117

Tabel 15. Evidence of efficacy for interventions at different time periods 118

Intrapartum

Amount of evidence

Reduction (%)in all-cause neonatal

mortality or morbidity/major risk factor if

specified (effect range)

Antibiotics for preterm

premature rupture of

membranes

Corticosteroids for preterm

labour

Detection and management

of breech (caesarian

section)

Labour surveillance

(including partograph) for

early diagnosis of

complications

Clean delivery practices

IV

IV

IV

IV

IV

Incidence of infections: 32%(13 .47%)

40%(25 .52%)

Perinatal/neonatal death: 71%(14.90%)

Early neonatal death: 40%

58 .78%

Incidence of neonatal tetanus:55 .99%

Postpartum

Amount of evidence

Resuscitation of newborn

baby

Breastfeeding

Prevention and

management of

hypothermia

Kangaroo mother care (low

birthweight infants in health

facilities)

Community-based

IV

V

IV

IV

V

6 .42%

55 .87%

18 .42%

Incidence of infections:51% (7.75%)

27%(18 .35%)

Page 47: Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum

47

pneumonia case

management

Sumber : Lancet Neonatal Survival Series 2005

3.8.1. Pencegahan Sepsis Awitan Dini

Pencegahan sepsis neonatorum awitan dini dapat dilakukan dengan

pemberian antibiotik. Dengan pemberian ampisilin 1 gram intravena yang diberikan

pada awal persalinan dan tiap 6 jam selama persalinan, dapat menurunkan risiko

terjadinya infeksi awitan dini (early-onset) sampai 56% pada bayi lahir prematur

karena ketuban pecah dini, serta menurunkan risiko infeksi SGB sampai 36%. Pada

wanita dengan korioamnionitis dapat diberikan ampisilin dan gentamisin, yang dapat

menurunkan angka kejadian sepsis neonatorum sebesar 82% dan infeksi SGB

sebesar 86%. Sedangkan wanita dengan faktor risiko seperti korioamnionitis atau

ketuban pecah dini serta bayinya, sebaiknya diberikan ampisilin dan gentamisin

intravena selama persalinan. Antibiotik tersebut diberikan sebagai obat profilaksis.

Bagi ibu yang pernah mengalami alergi terhadap penisilin dapat diberikan

cefazolin.118

3.8.2. Pencegahan Sepsis Awitan Lanjut

Pencegahan untuk sepsis neonatorum awitan lanjut yang berhubungan

dengan infeksi nosokomial antara lain :

Pemantauan yang berkelanjutan

Surveilans angka infeksi, data kuman dan rasio jumlah tenaga medis

dibandingkan jumlah pasien

Bentuk ruang perawatan

Sosialisasi insidens infeksi nosokomial kepada pegawai

Program untuk meningkatkan kepatuhan mencuci tangan

Perhatian terhadap penanganan dan perawatan kateter vena sentral

Pemakaian kateter vena sentral yang minimal

Pemakaian antibiotik yang rasional

Program pendidikan

Meningkatkan kepatuhan pegawai berdasarkan hasil program

kontrol.119

3.8.2.1. Antibiotik Profilaksis

Terapi pencegahan atau antibiotik profilaksis pada bayi baru lahir tidak

dilakukan lagi. Pemberian antibiotik harus dibatasi serta memperhatikan faktor ibu

Page 48: Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum

48

dan bayi. Antibiotik hanya boleh diberikan pada BBLR dengan berat <1250 Gram

tanpa memandang ke dua faktor tersebut.52

Penelitian meta-analisis pada neonatus kurang bulan terhadap pemberian

antibiotik profilaksis diantaranya dari 5 RCT yang dianalisis tampak adanya

penurunan insidens terjadinya sepsis dan sepsis akibat coagulase negative

staphylococcal (CoNS) pada neonatus yang mendapat profilaksis vankomisin.

Didapatkan hasil lebih baik dengan pemberian secara infus kontinyu. Namun, tidak

ada bukti bahwa pemberian profilaksis vankomisin dapat menurunkan angka

mortalitas ataupun mempengaruhi lama masa perawatan di NICU. Dari hasil analisis

yang sama juga tidak menunjukkan adanya gangguan pendengaran yang signifikan

akibat efek samping ototoksisitas dari vankomisin. Hingga saat ini belum ada bukti

cukup untuk menunjang hipotesis adanya peningkatan resistensi mikroba terhadap

vankomisin.120 Selain mengetahui berat bayi, perlu diketahui ada tidaknya riwayat

infeksi intrauterin dengan menanyakan apakah ibu demam selama proses persalinan

sampai tiga hari pasca persalinan atau ketuban pecah dini 18 jam atau lebih sebelum

bayi lahir. Setelah itu, antibiotik baru dapat diberikan.121

3.8.2.2. Kebersihan Tangan

Mencuci tangan adalah cara paling sederhana dan merupakan tindakan

utama yang penting dalam pengendalian infeksi nosokomial. Namun, kepatuhan

dalam pelaksanaannya sangat sulit oleh karena beberapa hal yaitu iritasi kulit,

sarana tempat dan peralatan cuci tangan yang kurang, pemakaian sarung tangan,

terlalu sibuk, dan juga tidak terpikir untuk melakukan cuci tangan.122

Adapun hal-hal yang perlu diketahui dalam mencuci tangan adalah:

1. Mikroorganisme kulit

2. Tipe, tujuan dan metode mencuci tangan

3. Kepatuhan mencuci tangan

4. Jenis cairan dan lokasi tempat mencuci tangan

5. Kapan wajib mencuci tangan

6. Tujuh langkah mencuci tangan

7. Prosedur standar mencuci tangan rutin

Prosedur standar mencuci tangan rutin adalah sebagai berikut :

Gulung lengan baju hingga siku dan lepaskan semua perhiasan.

Sebelum masuk ruangan, cuci tangan secara seksama selama tiga menit

dengan larutan pencuci tangan antiseptik. Mulai dari tangan, bawah kuku dan

bagian sisi jari.

Bilas dengan air mengalir.

Page 49: Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum

49

Basahi tangan setinggi pertengahan lengan bawah dengan air mengalir

Taruh cairan sabun/sabun antiseptik dibagian tangan yang telah basah

Buat busa secukupnya

Gosok kedua tangan termasuk kuku dan sela jari selama 10-15 detik

Bilas kembali dengan air bersih

Tutup kran dengan siku

Keringkan tangan dengan tissue

Hindari menyentuh benda sekitarnya setelah mencuci tangan.

Kepatuhan para tenaga medis dalam mencuci tangan sangat rendah, namun ada

alternatif untuk mengatasi hal tersebut, antara lain dengan menggosok tangan (hand-

rubbing) dengan menggunakan cairan pembersih mengandung alkohol.123 Alternatif

ini cukup menjanjikan karena tidak sulit dikerjakan, sehingga tingkat kepatuhan para

tenaga medis bertambah dan dampak yang ditimbulkannya sama dengan mencuci

tangan dengan sabun antiseptik.124,125,126 Hand-rubbing dilakukan sesudah

memegang satu bayi dan sebelum memegang bayi lain, sedangkan pada saat awal

masuk ke ruang perawqtan cuci tangan sebaiknya cuci tangan dengan sabun

antiseptik dan air mengalir. Dengan diberlakukannya kebijakan mengenai cuci

tangan, dapat meningkatkan kepatuhan para tenaga medis.127 Penelitian Chelly

Gunawan tentang efektifitas Etil Alkohol Gliserin 69% Hand Rub, dengan uji acak

buta, didapatkan hasil yang tidak ada perbedaan bermakna pemakaian bahan

tersebut dengan Alkohol Based Handrub yang digunakan di Eropa.128 Hand Rub

diletakkan disetiap tempat tidur bayi agar memudahkan tenaga medis menggunakan

dan mencegah penurunan kepatuhan dalam penggunaannya.

Gambar 10. Tujuh langkah mencuci tangan129

Sumber: Hegar B, Trihono PP, Ifran EB. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM 2005

Page 50: Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum

50

Kepatuhan mencuci tangan sangat penting dalam mencegah infeksi

nosokomial. Hal yang sering ditemui adalah terbatasnya tempat cuci tangan, serta

rasio pasien dan tenaga kesehatan. Oleh karena itu, Hand Rub dan sosialisasi

pentingnya mencegah infeksi sangat diperlukan. Selain itu, sangat membantu

menurunkan kejadian luar biasa infeksi sepsis dan selulitis di bangsal seperti

kejadian di Surabaya yang tercantum pada tabel dibawah ini.

Tabel 16. Pengamatan Pencegahan Penularan Infeksi pada Dokter dan Perawat dan Bidan di Ruang

Neonatus Periode Mei 2002 ( 30 orang )

KRITERIA MEDIS

BENAR

MEDIS

SALAH

PARAMEDIS

BENAR

PARAMEDIS

SALAH

TPP

BENAR

TPP

SALAH

1 30 70

2 40 60 50 50 30 70

3 40 60 30 70

4 20 80 20 80 0 100

5 80 20

KRITERIA :

a. Mengambil darah/liq/feses pakai sarung tangan

b. Memegang bayi cuci tangan/semprot tangan terlebih dahulu

c. Tindakan medis lain pakai sarung tangan

d. Batuk pilek memakai masker

e. Disinfeksi kulit prosedural

Tabel 17. Pengamatan Pencegahan Penularan Infeksi pada Tenaga Medis dan Paramedis di Ruang

Neonatus Pasca Komunikasi dan Pengelolaan KLB ( 30 orang )

KRITERIA MEDIS

BENAR

MEDIS

SALAH

PARAMEDIS

BENAR

PARAMEDIS

SALAH

TPP

BENAR

TPP

SALAH

1 90 10

2 90 10 90 10 80 20

3 90 10 50 50

4 80 20 80 20 50 50

5 90 10

KRITERIA :

a. Mengambil darah/liq/feses pakai sarung tangan

b. Memegang bayi cuci tangan/semprot tangan terlebih dahulu

c. Tindakan medis lain pakai sarung tangan

d. Batuk pilek memakai masker

e. Disinfeksi kulit prosedural

Page 51: Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum

51

Tabel 18. Sepsis, Sepsis dengan Selulitis dan Kematian Sebelum dan Sesudah Intervensi pada Saat

KLB

SEBELUM INTERVENSI

BULAN SEPSIS

DENGAN

SELULITIS

KEMATIAN

SEPSIS DG

SELULITIS

JANUARI 1 1(100%)

FEBRUARI 11 6(46%)

MARET 7 4(57%)

APRIL 4 1(25%)

47,4%

SESUDAH INTERVENSI

BULAN SEPSIS

DENGAN

SELULITIS

KEMATIAN

SEPSIS DG

SELULITIS

MEI 0 0

JUNI 0 0

JULI 1 0

AGUSTUS 0 0

SEPTEMBER 0 0

OKTOBER 0 0

3.8.2.3. Penggunaan Air Susu Ibu (ASI)

Penggunaan Air Susu Ibu (ASI) sudah dibuktikan dapat mencegah terjadinya

infeksi pada bayi. Bayi yang mendapat ASI mempunyai risiko lebih kecil untuk

memperoleh infeksi daripada bayi yang mendapat susu formula. Efektifitas ASI

tergantung dari jumlah yang diberikan, semakin banyak ASI yang diberikan semakin

sedikit risiko untuk terkena infeksi. Insidensi infeksi nosokomial pada bayi prematur

yang mendapat ASI (29,3%) lebih kecil dibandingkan dengan bayi prematur yang

mendapat susu formula (47,2%).130

Penelitian acak buta ganda pre dan post test control group design dengan

pemberian probiotik selama 14 hari pada bayi prematur, dapat meningkatkan kadar

imunoglobulin A sekretori feses sebanyak 19,7% dibanding yang tidak diberi

probiotik. Diduga bakteri probiotik yang diberi sejak dini setelah lahir, mempunyai

efek protektif terhadap infeksi dini yang umumnya terjadi di mukosa

gastrointestinal.131

3.8.2.4. Pencegahan dengan menggunakan IVIG

Dalam suatu studi meta-analisis yang dilakukan terhadap 4933 bayi yang

mendapatkan profilaksis IVIG dan 110 bayi menerima IVIG sebagai terapi sepsis

Page 52: Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum

52

dilaporkan bahwa pemberian IVIG tersebut lebih bermanfaat sebagai profilaksis

sepsis neonatal (khususnya pada bayi BBLR) dibandingkan bila dipakai sebagai

terapi standar sepsis.96

3.8.2.5. Ruang Perawatan

Bentuk, konstruksi dan suasana ruang perawatan yang baik dan memadai

dapat mengurangi insidens infeksi nosokomial. Jumlah pasien yang terlalu banyak,

kurangnya tempat dan sabun untuk mencuci tangan, kurangnya handuk atau tissue,

tempat penyimpanan sarana kesehatan yang tidak nyaman, perawatan yang tidak

baik terhadap ruangan, buruknya ventilasi aliran udara dan fasilitas ruangan isolasi,

dapat meningkatkan angka kejadian sepsis neonatorum. Setiap ruang perawatan

terutama NICU memerlukan paling sedikit 1 ruangan isolasi untuk 2 pasien yang

terinfeksi, dan ruangan untuk cuci tangan, ruangan tempat memakai baju steril untuk

tindakan invasif, dan tempat penyimpanan alat-alat atau material yang sudah

dibersihkan. Menurut American Academic Pediatric, 2004 pelayanan kesehatan

neonatus dibagi menjadi beberapa tingkatan (lihat tabel 19).132

Tabel 19. Tingkat Pelayanan Kesehatan Neonatus 133

Pelayanan Kesehatan Dasar Neonatus (Perawatan neonatus level I) :

- Perawatan bayi normal

- Resusitasi neonatus dan stabilisasi neonatus sebelum rujukan

Pelayanan Kesehatan Spesialistik Neonatus (Perawatan Neonatus level II) :

- Level I + bayi berat lahir >1500 g

- Resusitasi dan stabilisasi sebelum dirujuk ke level III

Pelayanan Kesehatan Subspesialistik Neonatus (Perawatan Neonatus level III) :

- Level IIIA Level II + ventilasi mekanik

- Level IIIB Ventilasi mekanik lanjut dan tindakan bedah minor

- Level IIIC Tindakan bedah lanjut (eg, omphalocele, tracheoesophageal fistula,

esophageal atresia, myelomeningocele, ventriculoperitoneal shunt, dll)

- Level IIID Tindakan bedah lanjut – bedah kelainan jantung bawaan dan ECMO

Sumber : AAP Committee on Fetus and Newborn : Levels of Neonatal Care Pediatrics 2004;114:1341–7

Secara lebih rinci, lingkungan perawatan bayi harus memenuhi kriteria berikut :

Ruang bayi harus terpisah dari lingkungan jalan dan tidak ada jendela

yang terbuka ke daerah luar.

Semua jalan masuk ke ruang bayi harus ada wastafel dengan kran yang

bisa dibuka/ditutup dengan siku atau kaki dan sabun cair serta handuk

sekali pakai untuk cuci tangan yang benar sebelum masuk ruang bayi.

Menghindari terlalu banyak orang di ruang bayi.

Harus ada ruang atau daerah isolasi yang digunakan dengan benar.

Page 53: Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum

53

Gaun penutup dan fasilitas untuk membuang benda sekali pakai harus

ada di dekat pintu masuk.

Lantai ruang bayi harus disapu setiap 8 jam untuk menghilangkan debu

dan dipel sekali sehari dan/atau jika terlihat kotor.

Linen di dalam inkubator harus diganti sekali sehari jika terkontaminasi.

Inkubator harus dilap dengan air steril sekali sehari atau jika

terkontaminasi.

Inkubator harus diganti supaya bisa dibersihkan secara menyeluruh

dengan larutan hipoklorida 10%.

Label untuk menuliskan tanggal pembersihan harus ditempel pada setiap

inkubator.

Harus ada area yang khusus untuk melakukan desinfeksi inkubator.

Harus ada wastafel dinding di dalam ruang bayi, satu untuk setiap tiga

inkubator.

Permukaan di ruang bayi harus dibersihkan dengan seksama sedikitnya

sekali seminggu.

Pemisahan limbah dibagi atas :

a. Sampah infeksius (kantung berwarna kuning)

Dapat berupa dressing bedah, kasa, verband, kateter, swab, plester,

masker, sarung tangan, kapas lidi, kantong urin, sampah yang

terkontaminasi dengan cairan tubuh.

b. Sampah domestik/rumah tangga (kantong berwarna hitam)

Dapat berupa kertas, plastik, plastik bungkus spuit/infus, kardus,

kayu, kaleng, daun, sisa makanan, sampah yang tidak terkontaminasi

cairan tubuh pasien.

c. Sampah benda tajam (kotak berwarna kuning)

Seperti jarum suntik, pisau cukur, pecahan ampul, gelas objek, lanset,

sampah yang memiliki permukaan/ujung yang tajam.

Semua limbah cair (darah, cairan suction dan sekresi) dibuang di sanitary

sewer dan digelontor dengan air.

Semua limbah tajam dibuang kedalam penampungan yang tahan tusukan

dan air.

3.8.2.6. Petugas

Jumlah petugas yang memadai diperlukan untuk memberikan asuhan kepada

bayi dengan waktu cuci tangan yang adekuat diantara kontak dari bayi ke bayi. The

American Academy Pediatrics (AAP) memberikan beberapa rekomendasi di bawah

Page 54: Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum

54

Tabel 20. Jumlah staf berdasarkan level pelayanan 133

Level Neonatal Unit Jumlah Perawat

Unit perawatan bayi normal (Level1) 1 perawat per 6-8 neonatus

Unit Perawatan Transisi (Level II) 1 perawat per 3-4 neonatus

Unit Perawatan Intensif (Level III) 1 perawat per 1-2 neonatus

Sumber : AAP Committee on Fetus and Newborn : Levels of Neonatal Care Pediatrics 2004;114:1341–7

3.9. Komplikasi

Komplikasi sepsis neonatorum antara lain:5,133,134

Meningitis

Neonatus dengan meningitis dapat menyebabkan terjadinya hidrosefalus

dan/atau leukomalasia periventrikular.

Pada sekitar 60 % keadaan syok septik akan menimbulkan komplikasi acute

respiratory distress syndrome (ARDS).

Komplikasi yang berhubungan dengan penggunaan aminoglikosida, seperti

ketulian dan/atau toksisitas pada ginjal.

Komplikasi akibat gejala sisa atau sekuele berupa defisit neurologis mulai

dari gangguan perkembangan sampai dengan retardasi mental

Kematian

3.10. Prognosis

Dengan diagnosis dini dan terapi yang tepat, prognosis pasien baik; tetapi

bila tanda dan gejala awal serta faktor risiko sepsis neonatorum terlewat, akan

meningkatkan angka kematian. Pada meningitis terdapat sekuele pada 15-30%

kasus neonatus. Rasio kematian pada sepsis neonatorum 2–4 kali lebih tinggi pada

bayi kurang bulan dibandingkan bayi cukup bulan. Rasio kematian pada sepsis

awitan dini adalah 15 – 40 % (pada infeksi SBG pada SAD adalah 2 – 30 %) dan

pada sepsis awitan lambat adalah 10 – 20 % (pada infeksi SGB pada SAL kira – kira

2 %).5,135

Page 55: Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum

55

BAB IV

DISKUSI

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, permasalahan seputar sepsis

neonatorum terletak pada permasalahan penegakan diagnosis, penatalaksanaan,

dan pencegahan (profilaksis) sepsis neonatorum.

Dalam hal penegakan diagnosis sepsis neonatorum mengalami kendala

karena gejala dan tanda klinis sepsis tidak spesifik, yaitu dapat menyerupai keadaan

lain yang disebabkan oleh keadaan non-infeksi. Dilain pihak, penegakan diagnosis

secara dini berperan sangat penting karena dapat membantu menurunkan tingkat

mortalitas. Oleh karena itu, para ahli berupaya untuk dapat menegakkan diagnosis

secara dini dengan membuat beberapa kriteria diagnosis untuk sepsis. Saat ini,

banyak sekali ditemukan berbagai kriteria diagnosis yang telah dipergunakan di

berbagai sarana kesehatan. Ada sarana kesehatan yang menggunakan pendekatan

diagnosis berdasarkan faktor risiko dan mengelompokkan faktor risiko tersebut ke

dalam risiko mayor dan risiko minor (lihat tabel 10). Bila terdapat satu faktor risiko

mayor dan dua risiko minor maka pendekatan diagnosis dilakukan secara aktif

dengan melakukan pemeriksaan penunjang (septic work-up) sesegera mungkin.77

Tabel 10. Pengelompokan faktor risiko 77

Risiko mayor

6. Ketuban pecah > 24 jam

7. Ibu demam; saat intrapartum suhu > 38 C

8. Korioamnionitis

9. Denyut jantung janin yang menetap > 160x/menit

10. Ketuban berbau

Risiko minor

9. Ketuban pecah > 12 jam

10. Ibu demam; saat intrapartum suhu > 37,5 C

11. Nilai Apgar rendah ( menit ke-1< 5 , menit ke-5< 7 )

12. Bayi berat lahir sangat rendah ( BBLSR ) < 1500 gram.

13. Usia gestasi < 37 minggu.

14. Kehamilan ganda.

15. Keputihan pada ibu.

16. Ibu dengan infeksi saluran kemih (ISK) / tersangka ISK yang tidak diobati.

Sumber : Pusponegoro HD, et al. Sepsis neonatorum.2004. h 286-90

Selain itu, pada tahun 2004, The International Sepsis Forum mengajukan

usulan kriteria diagnosis sepsis pada neonatus berdasarkan perubahan klinis sesuai

dengan perjalanan infeksi. Gambaran klinis sepsis neonatorum dikelompokkan

Page 56: Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum

56

menjadi 4 variabel, yaitu variabel klinik, variabel hemodinamik, variabel perfusi

jaringan, dan variabel inflamasi (tabel 13).16

Tabel 13. Kriteria diagnosis sepsis pada neonatus 16

Variabel Klinik

Suhu tubuh tidak stabil

Laju nadi > 180 kali/menit, < 100 kali/menit

Laju nafas > 60 kali/menit, dengan retraksi atau desaturasi oksigen

Letargi

Intoleransi glukosa ( plasma glukosa > 10 mmol/L )

Intoleransi minum

Variabel Hemodinamik

TD < 2 SD menurut usia bayi

TD sistolik < 50 mmHg ( bayi usia 1 hari )

TD sistolik < 65 mmHg ( bayi usia < 1 bulan )

Variabel Perfusi Jaringan

Pengisian kembali kapiler > 3 detik

Asam laktat plasma > 3 mmol/L

Variabel Inflamasi

Leukositosis ( > 34000x109/L )

Leukopenia ( < 5000 x 109/L )

Neutrofil muda > 10%

Neutrofil muda/total neutrofil ( I/T ratio ) > 0,2

Trombositopenia <100000 x 109/L

C Reactive Protein > 10 mg/dL atau > 2 SD dari nilai normal

Procalcitonin > 8,1 mg/dL atau > 2 SD dari nilai normal

IL-6 atau IL-8 >70 pg/mL

16 S rRNA gene PCR : positif

Sumber : Haque KN.Pediatr Crit Care Med 2005; 6: S45-9

Pemeriksaan penunjang seperti biakan darah untuk kultur kuman penyebab

merupakan standar baku emas dalam menegakkan diagnosis sepsis. Namun

demikian, terdapat beberapa kendala yaitu kultur kuman penyebab seringkali

menunjukkan hasil yang tidak memuaskan. Selain itu, hasil pemeriksaan baru dapat

diketahui setelah 48-72 jam. Hal yang penting juga diperhatikan bahwa kuman

penyebab infeksi tidak selalu sama, baik antar klinik, antar waktu, ataupun antar

negara. Menurut survei yang dilakukan oleh NICHD Neonatal Network Survey pada

tahun 1998-2000, pada SAD ditemukan bakteri Gram negatif pada 60,7% kasus

bakteremia, dan pada SAL bakteremia lebih sering disebabkan oleh bakteri

Grampositif (70,2%). Bakteri Gramnegatif tersering pada SAD adalah E.coli (44%)

sedangkan Coagulase-negative Staphylococcus merupakan penyebab tersering

(47,9%) pada SAL (tabel 3).28

Page 57: Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum

57

Saat ini, dengan berkembangnya teknologi kedokteran telah menghadirkan

berbagai pilihan pemeriksaan laboratorium yang canggih seperti pemeriksaan CRP,

Interleukin, PCR, Procalcitonin, dan lain sebagainya untuk menunjang diagnosis

sepsis neonatorum. Masing-masing pemeriksaan tersebut memiliki kelebihan dan

kekurangan seperti yang ditunjukkan dalam tabel 21. Pada dasarnya, pemeriksaan

penunjang untuk penegakan diagnosis sepsis dapat dikelompokkan menjadi dua

kelompok yaitu :

Kelompok pemeriksaan penunjang konvensional, yang meliputi pemeriksaan

darah perifer lengkap, kultur darah dan CRP.

Kelompok pemeriksaan penunjang canggih : marker/petanda dan mediator.

Permasalahan terletak pada fasilitas yang ada di tempat pelayanan masing-

masing sangat bervariasi. Oleh karena itu, harus dipilih pemeriksaan penunjang

yang sesuai dengan kebutuhan di setiap sarana kesehatan.

Mengenai penatalaksanaan, ditemukan permasalahan dalam pemberian

antibiotik spektrum luas pada neonatus, mengingat toksisitasnya dan pola resistensi

dikemudian hari. Sehingga perlu sekali untuk memberikan batasan indikasi yang

jelas berdasarkan evidence based medicine mengenai pemberian antibiotik tersebut.

Spektrum mikroorganisme yang menyebabkan sepsis neonatorum sangat

bervariasi dari waktu ke waktu dan juga antar daerah yang satu dengan daerah

lainnya. Bahkan dapat pula berbeda dari rumah sakit satu dengan rumah sakit

lainnya di daerah yang sama. Di sebagian besar negara berkembang, bakteri

Gramnegatif tetap menjadi etiologi utama sepsis neonatorum, terutama pada SAD.

Dari penelitian-penelitian yang dilakukan dalam dua dekade terakhir, tampak telah

terjadi peningkatan multidrugs resistence. Hal tersebut diperkirakan diakibatkan

penggunaan antibiotik yang tidak tepat, penjualan antibiotik secara bebas tanpa

resep dokter, kurangnya peraturan/perundang-undangan yang mengatur

penggunaan antibiotik, sanitasi yang buruk dan tidak efektifnya kontrol terhadap

pelayanan persalinan. Di lain pihak, infeksi yang disebabkan oleh bakteri yang telah

resisten terhadap antibiotik akan mengakibatkan terjadinya kegagalan pengobatan,

peningkatan mortalitas, serta semakin tingginya biaya yang harus dikeluarkan.

Pada kasus tersangka sepsis, pemberian antibiotik diberikan tanpa harus

menunggu hasil kultur darah. Sebaiknya diberikan kombinasi dua antibiotik:

Dapat mencakup sebagian besar penyebab sepsis.

Efek sinergis antibiotik (penisilin dan aminoglikosida untuk SGB).

Beberapa mikro-organisme penyebab infeksi dapat berkembang menjadi

mutan resisten selama terapi (Pseudomonas sp).

Page 58: Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum

58

Aktivitas bakterisidal serum yang lebih tinggi dibandingkan hanya

menggunakan antibiotik tunggal (Enterococci, Listeria).

Adapun kebijakan terapi antibiotik empirik akan berpengaruh pada pola

resistensi kuman. Pemilihan jenis antibiotik empirik harus berdasarkan hal-hal

berikut:

1. Usia saat awitan penyakit, karena mikro-organisme penyebab SAD dan SAL

berbeda, sehingga pilihan antibiotik juga berbeda.

2. Spesies bakteri yang paling sering menyebabkan infeksi.

3. Pola resistensi antibiotik pada masing-masing rumah sakit. Terapi antibiotik

memegang peranan penting pada ekologi flora mikroba di ruang perawatan.

Penggunaan antibiotik berlebihan akan menghilangkan strain sensitif dan

menyebabkan proliferasi strain resisten. Perlu diperhatikan adanya resistensi

silang terhadap antimikroba yang berada dalam satu golongan.

4. Farmakokinetik antibiotik.

5. Faktor spesifik pasien (kondisi klinis pasien termasuk prosedur invasif dan terapi

antibiotik terdahulu).

Berikut ini sepuluh langkah perencanaan penggunaan antibiotik:

1. Kultur darah (dan mungkin cairan serebrispinal dan atau urin) harus dimulai

sebelum memulai terapi antibiotik.

2. Gunakan sedapat mungkin antibiotik spektrum sempit, seperti penisilin

(piperacillin-tazobactam) dan aminoglikosida (amikasin).

3. Jangan memulai terapi dengan sefalosporin generasi ke tiga (sefotaksim,

seftazidim) atau karbapenem (imipenem, meropenem).

4. Kembangkan kebijakan antibiotik lokal dan nasional untuk membatasi

penggunaan antibiotik spektrum luas yang mahal seperti imipenem untuk

pengobatan empirik.

5. Percaya hasil kultur dan laboratorium mikrobiologi.

6. Peningkatan CRP bukan berarti sepsis.

7. Jika kultur darah steril dalam 2-3 hari, penghentian antibiotik hampir selalu aman

dan tepat.

8. Usahakan untuk tidak menggunakan antibotik untuk waktu yang lama.

9. Obati sepsis bukan kolonisasi.

10. Lakukan yang terbaik untuk pencegahan infeksi nosokomial dengan cara

menggalakkan pengendalian infeksi, khususnya mencuci tangan.

Pada kasus sepsis neonatorum berat, selain pemberian antibiotik juga

diberikan terapi suportif. Beberapa terapi suportif yang terbukti memberikan dampak

positif antara lain :

Page 59: Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum

59

Pemberian intravenous immunoglobulin (IVIG), granulocyte-macrophage

colony stimulating factor (G-CSF dan GM-CSF), transfusi tukar (TT),

pemberian fresh frozen plasma, pemberian pentoxifilin.95,96,97,108,109

Masalah pencegahan (profilaksis) juga dinilai perlu untuk diangkat ke

permukaan karena sudah cukup banyak penelitian mengenai risiko dan manfaatnya

di luar negeri namun belum dipakai di Indonesia karena masih diragukan

manfaatnya. Pencegahan dibagi atas pencegahan untuk sepsis awitan dini (SAD)

dan lambat (SAL).

Pencegahan untuk SAD : dapat dilakukan dengan pemberian antibiotik. Dengan

pemberian ampisilin 1 gram intravena yang diberikan pada awal persalinan dan

tiap 6 jam selama persalinan, dapat menurunkan risiko terjadinya infeksi awitan

dini (early-onset) sampai 56% pada bayi lahir prematur karena ketuban pecah

dini, serta menurunkan risiko infeksi SGB sampai 36%. Pada wanita dengan

korioamnionitis dapat diberikan ampisilin dan gentamisin, yang dapat

menurunkan angka kejadian sepsis neonatorum sebesar 82% dan infeksi SGB

sebesar 86%.119

Pencegahan untuk SAL : berhubungan dengan infeksi nosokomial antara lain :

1. Pemantauan yang berkelanjutan

2. Surveilans angka infeksi, data kuman dan rasio jumlah tenaga medis

dibandingkan jumlah pasien

3. Bentuk ruang perawatan

4. Sosialisasi insidens infeksi nosokomial kepada pegawai

5. Program untuk meningkatkan kepatuhan mencuci tangan

6. Perhatian terhadap penanganan dan perawatan kateter vena sentral

7. Pemakaian kateter vena sentral yang minimal

8. Pemakaian antibiotik yang rasional

9. Program pendidikan

10. Meningkatkan kepatuhan pegawai berdasarkan hasil program kontrol.120

Page 60: Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum

60

Tabel 21. Perbandingan Pemeriksaan Penunjang Diagnosis Sepsis Neonatorum

Pemeriksaan

Penunjang

Overview Sensitivitas Spesifisitas Possitive

predictive value

Negative

predictive

value

Kelebihan Kekurangan

Kultur darah 28,59,60

dapat dilakukan pada

SAD maupun SAL

standar baku

emas

hasil baru dapat

dilihat 48-72 jam

cara

pengambilan

spesimen

khusus

jumlah darah

yang diambil

cukup banyak

(1cc)

hasil positif

palsu:

kontaminasi

dalam

pengambilan

sampel

hasil negatif

palsu: sampel

terlalu sedikit

Kultur urin 5,22,61

bila dicurigai terdapat

infeksi saluran kemih

cara

pengambilan

spesimen

Page 61: Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum

61

khusus, yaitu:

kateterisasi steril/

aspirasi

suprapubik

dilakukan pada

anak yang lebih

besar

memberikan

hasil yang lebih

baik pada SAL

Pewarnaan Gram62

membedakan kuman

Gramnegatif atau

positif

dapat digunakan

pada fasilitas lab

yang terbatas

bermanfaat pada

awal pengobatan

terdapat

kesalahan baca

pada 0,7% kasus

Hitung trombosit 5

dapat

mendeteksi

dalam 2-3 hari

pertama

kehidupan.

mudah dilakukan

biaya murah

Hitung leukosit dan

hitung jenis leukosit

5

mudah dilakukan

biaya murah

pemeriksaan

tidak spesifik

Page 62: Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum

62

IT ratio menghitung rasio

neutrofil imatur dan

neutrofil total

60-90%

D-dimer 64,65,66,67,68

hasil pemecahan

cross-linked fibrin

tidak spesifik

untuk sepsis

CRP 72

protein yang disintesis

di hepatosit dan

muncul pada fase akut

bila terdapat kerusakan

jaringan

60%

78,94%

48,77%

66,66%

99,7%

(serial pada

SAD)

98,7%

(serial pada

SAL)

biaya murah tidak

direkomendasika

n sebagai

indikator tunggal

dalam

mendiagnosis

sepsis

Procalcitonin Merupakan protein

yang disusun oleh 116

asam amino, memiliki

berat 13 kDa,

merupakan prohormon

dari kalsitonin yang

diproduksi oleh sel

parafolikuler kelenjar

tiroid, yg dalam

keadaan normal tidak

akan terdeteksi dalam

darah.

92,6% (SAD)

100% (SAL)

97,5% (SAD)

100% (SAL)

bereaksi lebih

cepat daripada

CRP

biaya mahal

Interleukin

IL6, IL8

petanda infeksi yang

100%

tidak direkomen-

dasikan sebagai

Page 63: Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum

63

disintesis oleh sel

monosit, endotel dan

imunitas

indikator tunggal

dalam

mendiagnosis

sepsis

PCR 96% 94% 88,9% 99,8% mampu

memberi-kan

informasi jenis

kuman secara

cepat

dapat

mendeteksi

infeksi jamur

invasif

hanya dapat

dilakukan di RS

Rujukan/

Pendidikan

Page 64: Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum

64

BAB V

ANALISIS BIAYA

Penyusunan suatu analisis biaya, dibutuhkan tiga komponen biaya, yaitu direct cost,

indirect cost dan intangible cost. Komponen direct cost dalam penatalaksanaan

Sepsis Neonatorum di rumah sakit, meliputi:

1. Komponen Diagnostik

Pemeriksaan kultur darah

Pemeriksaan kultur urin

Pemeriksaan kultur LCS

Pewarnaan Gram

Pemeriksaan Hematologi (darah perifer lengkap, IT ratio, D-dimer, Fibrinogen,

Thrombin-antithrombin III complex (TAT), PT, APTT, Analisis Gas Darah dan

elektrolit)

Pemeriksaan Acute phase proteins and other proteins (C Reactive Protein,

Procalcitonin)

Chemokines, cytokines and adhesion molecules (Interleukin – 6 dan

Interleukin – 8)

Laktat

Gula darah

Pemeriksaan Radiografi Thorax

USG Abdomen

CT Scan

Pemeriksaan Radiografi Abdomen 3 posisi

2. Komponen Terapi

Pemberian Antibiotik

Terapi Suportif (Intravenous immunoglobuline, transfusi tukar, pemberian fresh

frozen plasma, pemberian kortikosteroid pada kepsis neonatorum)

3. Jasa Tindakan Medik

Saat ini sedang disusun Sistem Case-mix dalam INA DRG (Indonesian

Diagnosis Regiment Group) oleh Departemen Kesehatan RI untuk Rumah Sakit

Pemerintah sehingga diharapkan di masa depan akan ada kesamaan biaya untuk

suatu penyakit tertentu dengan kategori atau kriteria yang sama.

Page 65: Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum

65

BIAYA PENATALAKSANAAN SEPSIS NEONATORUM DI RS CIPTO MANGUNKUSUMO JAKARTA DAN RS KARIADI SEMARANG.

NO JENIS KEGIATAN RSUPN CM RSUP Kariadi

III II / I / UTAMA PRIVATE / VIP

1 KOMPONEN DIAGNOSTIK

- Pemeriksaan kultur darah Rp 180.000 Rp 122.500 Rp 145.000 Rp 152.000

- Pemeriksaan kultur urin Rp 180.000 Rp 88.000 Rp 125.000 Rp 132.000

- Pemeriksaan kultur jamur Rp 310.000 Rp 53.000 Rp 63.000 Rp 70.000

- Pewarnaan Gram Rp 26.000 Rp 20.500 Rp 31.000 Rp 32.500

- Pemeriksaan Hematologi

a. Darah perifer lengkap Rp 25.000 Rp 48.250 Rp 59.500 Rp 63.000

b. D-dimer Rp 134.000 Rp 218.000 Rp 237.000 Rp 245.000

c. Fibrinogen Rp 51.000 Rp 63.500 Rp 70.000 Rp 75.000

d. Thrombin-antithrombin III complex (TAT) Rp 220.000 Rp. 138.500 Rp 167.000 Rp 175.000

e. PT Rp 86.500 Rp 32.000 Rp 40.000 Rp 42.000

f. APTT Rp 86.500 Rp 32.000 Rp 40.000 Rp 42.000

g. Analisis gas darah dan elektrolit Rp 150.000 Rp 142.500 Rp 165.000 Rp 173.500

h. IT ratio Rp 10.000

Page 66: Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum

66

- Pemeriksaan Acute phase proteins and other proteins

a. C Reactive Protein Rp 30.000 Rp 27.000 Rp 42.000 Rp 49.000

b. Procalcitonin Rp 500.000

- Chemokines, cytokines and adhesion molecules

a. Interleukin – 6 224 USD

b. Interleukin – 8 224 USD

- Laktat Rp 225.000 Rp 67.000 Rp 73.500 Rp 75.000

- Pemeriksaan rdiografi torax Rp 65.000 Rp 75.000 Rp 90.000 Rp 107.000

- USG kepala Rp 190.000 Rp 216.000 Rp 235.000 Rp 285.000

- USG Abdomen Rp 210.000 Rp 216.000 Rp 235.000 Rp 285.000

- CT Scan

a. Tanpa kontras Rp 450.000 Rp 500.000 Rp 600.000 Rp 650.000

b. Dengan kontras Rp 600.000 Rp 868.000 Rp 1.007.000 Rp 1.115.000

- Pemeriksaan Radiografi Abdomen 3 posisi Rp 100.000 Rp 132.000 Rp 155.000 Rp 190.000

KOMPONEN TERAPI

2 - Pemberian Antibiotik

a. Amoxiclav vial @ 1 gram Rp 90.000 Rp 85.021 Rp 85.021 Rp 85.021

b. Garamycin vial

- 20 mg Rp 28.000

Page 67: Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum

67

- 60 mg Rp 58.000

- 80 mg Rp 70.000

c. Ceftazidim vial 1 gram Rp 18.500 Rp 32.604 Rp 32.604 Rp 32.604

d. Piperacillin vial 4,5 gram Rp 363.000

- Terapi Suportif

a. Intravenous immune globulin Rp 750.000

b. Transfusi Tukar Rp. 1.142.400 Rp. 343.902 Rp. 343.902 Rp. 343.902

c. Pemberian Fresh Frozen Plasma Rp. 84.500 Rp. 44.056 Rp. 44.056 Rp. 44.056

JASA TINDAKAN MEDIK

- Untuk tindakan Transfusi tukar Rp 500.000 Rp 134.000 Rp 134.000 Rp 134.000

- Untuk tindakan transfuse Rp 25.000

Page 68: Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum

68

Perhitungan biaya untuk penderita sepsis neonatorum didasarkan pada

berat ringannya penyakit yang diderita. Untuk biaya perawatan dan jasa tindakan

medik, tergantung dari kebijaksanaan pemerintah daerah masing-masing. Perkiraan

biaya yang akan dikeluarkan oleh penderita sepsis neonatorum yaitu :

Sepsis Neonatorum Ringan / Suspek Neonatal Sepsis

pemeriksaan kultur darah dilakukan 2 kali (2 x Rp.180.000) = Rp. 360.000

pemeriksaan kultur urin dilakukan 2 kali (2 x Rp. 180.000) = Rp. 360.000

pewarnaan Gram dilakukan 1 kali (1 x Rp. 26.000) = Rp. 26.000

pemeriksaan darah perifer lengkap (rutin) = Rp. 25.000

pemeriksaan C-Reactive Protein (rutin) = Rp. 30.000

pemeriksaan IT Rasio

(untuk nutrisi : pasien dapat minum biasa rutin )

untuk pemeriksaan radiologi dan USG : tidak diperlukan

= Rp. 10.000

pemberian antibiotik selama 3 - 7 hari

Amoxiclav vial @ 1 gram Rp. 90.000

Garamycin vial

- 20 mg Rp. 28.000

- 60 mg Rp. 58.000

- 80 mg Rp. 70.000

Ceftazidim vial 1 gram Rp. 18.500

Piperacillin vial 4,5 gram Rp. 363.000

Sepsis Neonatorum Sedang

infus 1 set, abocath 4 buah, stopler 2 buah (selama 4 hari)

hari ke-1 : dextrose 10% 2 botol

hari ke-2 dan seterusnya : N 5 + KCl + Ca gluconas 2 botol

pemeriksaan kultur darah dilakukan 2 kali (2 x Rp.180.000) = Rp. 360.000

pemeriksaan kultur urin dilakukan 2 kali (2 x Rp. 180.000) = Rp. 360.000

pewarnaan gram dilakukan 1 kali (1 x Rp. 26.000) = Rp. 26.000

pemeriksaan darah perifer lengkap (rutin) 2 x 25.000 = Rp. 50.000

pemeriksaan C-Reactive Protein (rutin) 2 x 30.000 = Rp. 60.000

pemeriksaan IT Ratio (rutin) 2 x 10.000 = Rp. 20.000

pemberian antibiotik selama 14 hari

Amoxiclav vial @ 1 gram Rp. 90.000

Garamycin vial

- 20 mg Rp. 28.000

- 60 mg Rp. 58.000

Page 69: Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum

69

- 80 mg Rp. 70.000

Ceftazidim vial 1 GramRp. 18.500

Piperacillin vial 4,5 GramRp. 363.000

Pemeriksaan radiologi thorax = Rp. 65.000

Pemeriksaan radiologi abdomen 3 posisi = Rp. 100.000

Pemeriksaan USG kepala = Rp. 190.000

Sepsis Neonatorum Berat

infus 1 set, abocath 4 buah, stopler 2 buah (selama 7 hari)

hari ke-1 : dextrose 10% 2 botol

hari ke-2 dan seterusnya : N 5 + KCl + Ca gluconas 2

botol

pemeriksaan kultur darah dilakukan 2 kali (2x Rp.180.000) = Rp. 360.000

pemeriksaan kultur urin dilakukan 2 kali (2 x Rp. 180.000) = Rp. 360.000

pewarnaan gram dilakukan 1 kali (1 x Rp. 26.000) = Rp. 26.000

pemeriksaan darah perifer lengkap (rutin) 2 x 25.000 = Rp. 50.000

pemeriksaan C Reactive Protein (rutin) 2 x 30.000 = Rp. 60.000

pemeriksaan IT Ratio (rutin) 2 x 10.000 = Rp. 20.000

pemberian antibiotik selama 14 hari

Amoxiclav vial @ 1 GramRp. 90.000

Garamycin vial

- 20 mg Rp. 28.000

- 60 mg Rp. 58.000

- 80 mg Rp. 70.000

Ceftazidim vial 1 GramRp. 18.500

Piperacillin vial 4,5 GramRp. 363.000

Pemeriksaan radiologi thorax = Rp. 65.000

Pemeriksaan radiologi abdomen 3 posisi = Rp. 100.000

Pemeriksaan USG kepala = Rp. 190.000

Pemeriksaan kultur jamur = Rp. 310.000

Pemeriksaan PT = Rp. 86.500

Pemeriksaan APTT = Rp. 86.500

Terapi Suportif

- Intravenous immune globulin = Rp. 750.000

- Transfusi Tukar = Rp. 1.141.560

Page 70: Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum

70

- Pemberian Fresh Frozen Plasma = Rp. 223.000

KONDISI DI INDONESIA

Sepsis neonatorum merupakan masalah kesehatan neonatal dengan angka

kematian yang masih cukup tinggi dengan biaya yang masih cukup mahal

Sistem rujukan neonatal sangat memegang peran penting dalam tinggi

rendah nya angka morbiditas dan mortalitas neonatal. Sistem ini belum

terwujud dan terlaksana dengan baik

Fasilitas Rumah Sakit yang memberikan pelayanan kesehatan neonatal dan

pemeriksaan penunjang sangat berbeda di beberapa daerah atau Rumah

Sakit.

Penggunaan antibiotik secara rasional masih belum memuaskan.

Dukungan nutrisi merupakan salah satu komponen yang penting dalam

menunjang tatalaksana sepsis neonatorum namun kadang justru menambah

infeksi nosokomial karena pemberian total parenteral nutrisi yang tidak tepat.

Salah satu hal yang dapat meninggikan angka infeksi dan sepsis neonatorum

adalah kemasan cairan dalam volume besar (500 cc) yang terlalu besar untuk

kebutuhan harian bagi bayi dengan infeksi atau sepsis neonatorum sehingga

sering dalam memenuhi kebutuhan cairan sering dilakukan penusukan botol

infus yang berulang kali yang menyebabkan infeksi.

Page 71: Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum

71

BAB VI

REKOMENDASI

I. Bahwa sepsis neonatorum masih merupakan masalah pada bayi baru lahir

dengan angka mortalitas yang cukup tinggi. Dalam rangka menurunkan Angka

Kematian Perinatal dan Angka Kematian Neonatal Dini, masalah ini perlu segera

ditanggulangi dengan berbagai macam cara dan usaha mulai dari aspek

promotif, kuratif dan rehabilitatif. [Rekomendasi B]

II. HTA (Health Technology Assessment) yang dilakukan oleh Departemen

Kesehatan RI dengan melibatkan berbagai mitra bestari (stake holder) berusaha

untuk melakukan penilaian dan kajian dari berbagai aspek terutama aspek

teknologi kedokteran sesuai dengan kondisi negara Republik Indonesia yang

diharapkan dapat memberi manfaat dalam penanggulangan masalah sepsis

neonatorum, meliputi :

1. Penegakan diagnosis

2. Penatalaksaan

3. Pencegahan

2.1. Penegakan diagnosis :

Penegakan diagnosis sepsis neonatorum dipilih dengan pendekatan

standar klinis yang menggunakan faktor risiko dan mengelompokkan faktor

risiko tersebut dalam risiko mayor dan risiko minor.

Penegakkan diagnosis dilakukan secara klinis dengan disertai pemeriksaan

penunjang.

Selain itu penegakan diagnosis juga dapat mengacu pada usulan kriteria

diagnosis menurut The International Sepsis Forum. Kriteria diagnosis

sepsis didasarkan pada perubahan klinis sesuai dengan perjalanan infeksi.

Gambaran klinis sepsis neonatorum dikelompokkan menjadi 4 variabel,

yaitu variabel klinik, variabel hemodinamik, variabel perfusi jaringan, dan

variabel inflamasi.

Penajaman tentang pemeriksaan klinis untuk menentukan diagnosis sepsis

atau dugaan sepsis sangat penting.

Pemeriksaan penunjang sangat tergantung dari ketersediaan fasilitas di

tempat pelayanan kesehatan:

Di sarana yang memiliki fasilitas untuk pemeriksaan penunjang

konvensional dianjurkan untuk melakukan :

Skrining Infeksi maternal

Page 72: Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum

72

Pemeriksaan untuk bayi meliputi pemeriksaan darah perifer

lengkap, pemeriksaan kultur/biakan, CRP dan IT ratio.

Di sarana kesehatan yang memiliki fasilitas lengkap untuk pemeriksaan

penunjang canggih, selain melakukan pemeriksaan penunjang

konvensional seperti tersebut di atas, apabila terdapat indikasi dapat

melakukan pemeriksaan penunjang canggih sesuai dengan fasilitas

yang ada, seperti pemeriksaan IgG, IgM, sitokin, interleukin, PCR,

prokalsitonin, dan lain-lain.

2.2. Penatalaksanaan

Mengingat bahwa fasilitas sarana kesehatan dan sumber daya yang bervariasi di

Indonesia maka penatalaksanaan sepsis neonatorum sebaiknya sebagai berikut :

Pada kasus tersangka sepsis, pemberian antibiotik diberikan tanpa harus

menunggu hasil kultur darah. Sebaiknya diberikan kombinasi dua antibiotik:

Dapat mencakup sebagian besar penyebab sepsis.

Efek sinergis antibiotik (penisilin dan aminoglikosida untuk SGB).

Beberapa mikroorganisme penyebab infeksi dapat berkembang menjadi

mutan resisten selama terapi (Pseudomonas sp).

Aktivitas bakterisidal serum yang lebih tinggi dibandingkan hanya

menggunakan antibiotik tunggal (Enterococci, Listeria).

Pada kasus sepsis neonatorum berat, selain pemberian antibiotik juga

diberikan terapi suportif. Beberapa terapi suportif yang terbukti memberikan

dampak positif antara lain :

Pemberian intravenous immunoglobulin (IVIG), granulocyte-macrophage

colony stimulating factor (G-CSF dan GM-CSF), transfusi tukar (TT),

pemberian fresh frozen plasma, pemberian pentoxifilin. [Rekomendasi A]

Adapun kebijakan terapi antibiotik empirik akan berpengaruh pada pola

resistensi kuman. Pemilihan jenis antibiotik empirik harus berdasarkan hal-hal

berikut:

1. Usia saat awitan penyakit, karena mikroorganisme penyebab SAD dan SAL

berbeda, sehingga pilihan antibiotik juga berbeda.

2. Spesies bakteri yang paling sering menyebabkan infeksi.

3. Pola resistensi antibiotik pada masing-masing rumah sakit. Terapi antibiotik

memegang peranan penting pada ekologi flora mikroba di ruang perawatan.

Penggunaan antibiotik berlebihan akan menghilangkan strain sensitif dan

menyebabkan proliferasi strain resisten. Perlu diperhatikan adanya resistensi

silang terhadap antimikroba yang berada dalam satu golongan. Oleh karena

Page 73: Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum

73

itu, diharapkan setiap sarana kesehatan dapat melakukan pemeriksaan

mikroorganisme secara berkala untuk mengetahui pola resistensi kuman.

4. Farmakokinetik antibiotik.

Faktor spesifik pasien (kondisi klinis pasien termasuk prosedur invasif dan

terapi antibiotik terdahulu).

2.3. Pencegahan

Mengingat penyebab sepsis neonatorum adalah multifaktoral maka perlu

dipikirkan pencegahan yang komprehensif dimulai dari masa kehamilan,

persalinan dan beberapa saat setelah persalinan.

Pencegahan secara umum :

o Melakukan pemeriksaan antenatal yang baik dan teratur.

o Skrining infeksi maternal kemudian mengobatinya, misalnya infeksi

TORCH, infeksi saluran kemih, dll.

o Mencegah persalinan prematur atau kurang bulan.

o Meningkatkan status gizi ibu agar tidak mengalami kurang gizi dan

anemia.

o Memberikan terapi kortikosteroid antenatal untuk ibu dengan

ancaman persalinan kurang bulan.

o Konseling ibu tentang risiko kehamilan ganda.

o Melakukan Perawatan Neonatal Esensial yang terdiri dari :

Persalinan yang bersih dan aman

Stabilisasi suhu

Inisiasi pernapasan spontan dengan melakukan resusitasi

yang baik dan benar sesuai dengan kompetensi penolong

Pemberian ASI dini dan eksklusif

Pencegahan infeksi dan pemberian imunisasi

o Membatasi tindakan/prosedur medik pada bayi

Pencegahan secara khusus

Pencegahan dibagi atas pencegahan untuk sepsis awitan dini (SAD) dan

lambat (SAL).

a. Pencegahan untuk SAD : dapat dilakukan dengan pemberian antibiotik.

Dengan pemberian ampisilin 1 gram intravena yang diberikan pada awal

persalinan dan tiap 6 jam selama persalinan, dapat menurunkan risiko

terjadinya infeksi awitan dini (early-onset) sampai 56% pada bayi lahir

prematur karena ketuban pecah dini, serta menurunkan risiko infeksi SGB

sampai 36%. Pada wanita dengan korioamnionitis dapat diberikan ampisilin

dan gentamisin, yang dapat menurunkan angka kejadian sepsis

Page 74: Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum

74

neonatorum sebesar 82% dan infeksi SGB sebesar 86%. [Rekomendasi

B]

b. Pencegahan untuk SAL : berhubungan dengan infeksi nosokomial antara

lain:

1. Pemantauan yang berkelanjutan

2. Surveilans angka infeksi, data kuman dan rasio jumlah tenaga medis

dibandingkan jumlah pasien

3. Bentuk ruang perawatan

4. Sosialisasi insidens infeksi nosokomial kepada pegawai

5. Program untuk meningkatkan kepatuhan mencuci tangan

6. Perhatian terhadap penanganan dan perawatan kateter vena sentral

7. Pemakaian kateter vena sentral yang minimal

8. Pemakaian antibiotik yang rasional

9. Program pendidikan

10. Meningkatkan kepatuhan pegawai berdasarkan hasil program kontrol.

[Rekomendasi A]

III. Departemen Kesehatan RI diharapkan sekuat daya dan tenaga untuk:

Memasukkan Sistem Rujukan dan Transportasi Perinatal ke dalam Sistem

Kesehatan Nasional (SKN) sehingga secara sentral masalah kesehatan

neonatal dapat ditangani secara terpadu dan tuntas.

Membantu melengkapi sumber daya: manusia, fasilitas, sarana, mulai dari

tingkat komunitas, puskesmas, rumah sakit rujukan tingkat kabupaten dan

propinsi.

Melaksanakan program-proGramdi bidang kesehatan neonatal secara

terpadu, kontinyu dan komprehensif untuk kesehatan neonatal.

Bersama-sama dengan mitra bestari (stake holder) memperbaiki Sistem

Rujukan Perinatal termasuk melengkapi infrastruktur, sarana dan lain-lain.

Melalui Direktorat Jenderal Pelayanan Farmasi agar mengupayakan

sediaan cairan infus yang digunakan untuk Nutrisi Parenteral Total pada

bayi baru lahir yang dapat dibuat dalam bentuk dan volume yang kecil : 100

– 125 cc. Hal ini selain berdampak pada efisiensi biaya karena tidak banyak

cairan yang terbuang, juga mempunyai dampak dalam mencegah infeksi

nosokomial dan sepsis neonatorum akibat pemberian infus atau nutrisi

parenteral total.

Page 75: Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum

75

DAFTAR PUSTAKA

1 WHO. Perinatal mortality. Report No.: WHO/FRH/MSM/967. Geneva: WHO, 1996.

2 Darmstadt GL, Bhutta ZA, Cousens S, Adam T, Walker N, Bernis L. Evidence-

based, cost-effective interventions: how many newborn babies can we safe?.

Lancet 2005; 365: 977-88. [Tingkat Pembuktian IV]

3 WHO, Departement of Child and Adolescent Health and Development.

www.who.int/child-adolescent-health/OVERVIEW/CHILD_HEALTH/map_00-03_

world.jpg. [Tingkat pembuktian IIIb]

4 Child Health Research Project Special Report : Reducing Perinatal and Neonatal

mortality, Report of a meeting, Baltimore, Maryland, 1999; 3(1):6-12.

5 Andersen-Berry, AL. Neonatal Sepsis. Diunduh dari: www.emedicine.com. Last

updated August 18th 2006. cited at December 13th 2006. [Tingkat Pembuktian

IV]

6 Shattuck KE, Chonmaitree T. The changing spectrum of neonatal meningitis over

a fifteen-year period. Clin Pediatr 1992, 31:130-136.

7 Watson RS, Carcillo JA, Linde-Zwirble WT, Clermont G, Lidicker J. The

epidemiology of severe sepsis in children in the United States. Am J Respir Care

Med 2003;167:695-701.

8 Rohsiswatmo R. Kontroversi diagnosis sepsis neonatorum. Dalam: Update in

neonatal infection. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM. 2005. hlm 32-

43. [Tingkat Pembuktian IV]

9 Modul Sepsis

10 Departemen Kesehatan RI. Keputusan Menteri Kesehatan No.

1202/MENKES/SK/VIII/2003. Dalam: Indikator Indonesia Sehat dan Pedoman

Penetapan Indikator Provinsi Sehat dan Kabupaten/Kota Sehat. Jakarta:

Departemen Kesehatan RI. 2003.

11 Magudumana MO, Ballot DE, Cooper PA, et al. Serial interleukin 6 measurement

in the early diagnosis of neonatal sepsis. J Trop Pediatr 2000; 46: 267-71.

12 Kuster H, Weiss M, Willeitner AE, et al. Interleukin-1 receptor antagonist and

interleukin-6 for early diagnosis of neonatal sepsis 2 days before clinical

manifestation. Lancet 1998;352:1271-1277.

Page 76: Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum

76

13 Fisher CJ, Agosti JM, Opal SM, et al. Treatment of septic shock with the tumour

necrosis factor: Fc fusion protein. N Engl J Med 1996; 334:1697–702. [Tingkat

Pembuktian Ib]

14 Aminullah A, Rohsiswatmo R, Amir I, Situmeang E, Suradi R,: Etiology of Early

and Late Sepsis in Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital (Preliminary Report).

Abstract 12th National Congress of Child Health and 11th Asean Pediatric

Federation Conference, Bali, 2002; p. 125.

15 Remington, Klein. Bacterial Sepsis and Meningitis. In: Infectious Diseases of the

Fetus and Newborn, Infant. 4th Edition. W. B. Saunders. 1995. h: 836-90.

16 Haque KN. Definitions of Bloodstream Infection in the Newborn.Pediatr Crit Care

Med 2005; 6: S45-9.

17 Gordon A, Jeffery HE. Antibiotic regimens for suspected late onset in newborn

infants. Available at: URL:

http://www.nichd.nih.gov/cochrane/Gordon/GORDON.HTM [Tingkat Pembuktian

Ia]

18 Yurdakok M. Antibiotic use in neonatal sepsis. Turk J Pediatr 1994; 40(1): 17-33.

[Tingkat Pembuktian IV]

19 Schuchat A, Zywicki SS, Dinsmoor MJ, Mercer B, Romaguera J, O’Sullivan MJ, et

al. Risk Factors and Opportunities for Prevention of Early-onset Neonatal Sepsis:

A Multicenter Case-Control Study. Pediatrics 2000; 105: 21-26. [Tingkat

Pembuktian IIb]

20 Mupanemunda RH, Watkinson M. Infection-Neonatal. In: Harvey DR,

Mupanemunda RH, Watkinson M, penyunting. Key topics in Neonatology.

Washington DC: Bios Scientific Publisher Limited; 1999. h. 143-6.

21 Mupanemunda RH, Watkinson M. Infection-Neonatal. In: Harvey DR,

Mupanemunda RH, Watkinson M, penyunting. Key topics in Neonatology.

Washington DC: Bios Scientific Publisher Limited; 1999. h. 147-150.

22 Rodrigo I. Changing patterns of neonatal sepsis. Sri Lanka J Child Health 2002;

31: 3-8.

23 Moodi N, Carr R. Promising stratagems for reducing the burden of neonatal sepsis.

Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 2000; 83:F150-F153.

24 Osrin D, Vergnano S, Costello A. Serious bacterial infections in newborn infants in

developing countries. Curr Opin Infect Dis 2004.17:217-224.

Page 77: Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum

77

25 Aminullah A. Masalah Terkini Sepsis Neonatorum. Dalam: Update in neonatal

infection. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM. 2005. hlm 17-31.

[Tingkat Pembuktian IV]

26 Aminullah A. Perinatologi: Dari rahim ibu menuju sehat sepanjang hayat. Pidato

pengukuhan Guru Besar Tetap FKUI, 28 Januari 2004.

27 Bellig LL, Ohning BL. Neonatal sepsis. Diunduh dari:

http://www.emedicine.com/ped/topic2630.htm

28 D Kaufman et al. clinical microbiology of bacterial and fungal sepsis in vey-low-

birth-weight infants. Clin Microb Rev 2004, 641.

29 Goldstein B, Giroir B, Randolph A. Members of the International Consensus

Conference on Neonatal Sepsis. Definitions for Sepsis and Organ Dysfunction in

Pediatrics. Pediatr Crit Care Med 2005; 6(1): 2-8

30 Opal SM. Concept of PIRO as a new conceptual framework to understand sepsis.

Pediatr Crit Care Med 2005; 6(3): Suppl: S55-60.

31 Baltimore R. Neonatal sepsis: epidemiology and management. Paediatr Drugs

2003;5:723.

32 Bochud PY, Calandra T. Clinical Review: Science, medicine, and the future.

Pathogenesis of sepsis: new concept and implications for future treatment. BMJ

2003;326:262-266.

33 Short MA. Linking The Sepsis Triad of Inflammation, Coagulation and Suppressed

Fibrinolysis to Infants. Adv Neonat Care 2004 ; 5:258-73.

34 Gauser, Crit Care Med 2000.

35 Bone RC. A Continuing evolution in our understanding of the systemic

inflammatory response syndromes (SIRS) and the multiple organ dysfunction

syndromes (MODS). Ann Intern Med 1996; 125: 80-7.

36 Carrigan SD, Scott G, Tabrizian M. Toward resolving the challenges of sepsis

diagnosis. Clinical Chemistry 2004; 50:8:1301-14. [Tingkat Pembuktian IV]

37 Bernard GR. The pathophysiology and treatment of sepsis: a review of current

information CME. Diunduh dari : http://www.medscape.com/viewprogram/1890.

38 Bone RC. Pathogenesis of disseminated intravascular coagulation in sepsis.JAMA

1993;270:975-9.

39 Mathay MA. Severe sepsis: a new treatment with both anticoagulant and anti-

inflammatory properties. N Engl J Med 2001; 44:759-61.

Page 78: Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum

78

40 Levi M. Current understanding of disseminated intravascular coagulation. Br J

Haem 2004;124:567-76.

41 Nystrom P.O. The systemic inflammatory response syndrome: definitions and

aetiology. J Antimicrob Chemother 1998; 41:Suppl A 1-7.

42 Gomella TL. Neonatal Sepsis. Dalam: Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG,

Zenk KE, penyunting. Neonatology management procedures on call problem

diseases drugs. Edisi ke-4. New York: Lange Medical Books/McGrawHill; 1999.

h.408-14.

43 Monintja HE. Infeksi sistemik pada neonatus. Dalam: Yu VY, Monintja HE,

penyunting. Beberapa Masalah Perawatan Intensif Neonatus. Jakarta: Balai

Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 1997. h. 217-30.

44 Gotoff SP. Infections of the neonatal infant. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM,

Jenson HB, penyunting. Textbook of Pediatrics. Edisi ke-16. Philadelphia: WB

Saunders; 2000. h.538-52.

45 Mc Cracken GH. Bacterial and viral infections of the newborn. Dalam: Avery GB,

penyunting. Toronto: JB Lippincott Company; 1981. h.723-33.

46 Speck WT, Aronoff SC, Fanaroff AA. Neonatal infections. Dalam: Klaus MH,

Fanaroff AA, penyunting. Care of the high risk neonates. Edisi ke-3. Philadelphia:

WB Saunders; 1986. h.262-85.

47 Yancey MK, Duff P, Kubilis P, Clark P, Frentzen BH. Risk factors for neonatal

sepsis. Obst Gynecol 87:188-94. 1996.

48 Orlando Regional Health Care, Education & Development. Neonatal sepsis self-

learning packet 2002. Diunduh dari:

http://www.orhs.org/classes/nursing/sepsis02pdf.

49 Saez-Lorenz X, McCracken GH,Jr. Perinatal bacterial disease. Feigin RD, Cherry

JD eds. Textbook of Pediatrics Infectious Diseases. 1998: 892-926. WB Saunders

Philadelphia.

50 Pusponegoro TS. Sepsis pada neonatus (Sepsis Neonatal). Sari Pediatri 2000;

2:96-102.

51 Mahieu LM, Muynck AO, Dooy JJ, Laroche SM, Acker KJ. Prediction of

nosocomial sepsis in neonates by means of a computer-weighted bedside scoring

system (NOSEP Score). Crit Care Med 2000;28:2026-33.

Page 79: Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum

79

52 Pong A, Bradley JS. Bacterial meningitis and the newborn infant. Infect Dis Clin

North Am. 1999; 13:711-33.

53 Isaacs D. Neonatal sepsis: the antibiotic crisis. Indian J Pediatr 2005; 42: 9-13.

[Tingkat Pembuktian IV]

54 Tantaleán JA, León RJ, Santos AA, Sánchez E. Multiple organ dysfunction

syndrome in children. Pedatr Crit Care Med 4(2), 2003. [Tingkat Pembuktian

IIIa]

55 “Integrated Management of Childhood Illnesses tahun 2000.

56 Departemen Kesehatan RI – UKK Perinatologi IDAI –MNH-JHPIEGO. Buku

panduan manajemen masalah bayi baru lahir untuk dokter, perawat, bidan di

rumah sakit. Kosim MS, Surjono A, Setyowireni D, penyunting. Jakarta:

Departemen Kesehatan RI, 2004.

57 Vergnano S, Sharland M, Kazembe P, Mwansambo C, et al. Neonatal sepsis: an

international perspective. Archives of disease in childhood fetal and neonatal

edition 2005;90:F220-FF224. [Tingkat Pembuktian IV]

58 Kumar Y, Qunibi M, Neal TJ, Yoxall CW : Time to positivity of neonatal blood

cultures Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 2001;85:F182-F186 ( November ).

59 Schelonka et al. Volume of blood needed to detect common neonatal pathogens.

J. Pediatr. 129: 275-8, 1996.

60 Kuschel C. National women’s newborn services clinical guidelines. Antibiotics for

neonatal sepsis. August 2003. [Tingkat Pembuktian IV]

61 Rand KH, Tillan M. Errors in interpretation of Gramstains from positive blood

cultures. Am J Clin Pathol.2006;126(5): 686-690.

62 Ng PC. Diagnostic markers of infection in neonates. Arch Dis Child Fetal Neonatal

Ed 2004; 89: F229-F235. doi: 10. 1136/adc.2002.023838.

63 Bauer KA, Weitz JI. Laboratory markers of coagulation and fibrinolysis. In: Colman

RW, Marder VJ, Clowes AW, George JN. Eds. Hemostasis and thrombosis: Basic

Principles and clinical practice. 4th ed. Philadelphia; Lippincott Williams & Wilkins

2001 p. 1113- 29.

64 Rickles FR, Levine MN, Dvorak HF. Abnormalities of hemostasis in malignancy.

In: Colman RW, Marder VJ, Clowes AW, George JN. Eds. Hemostasis and

thrombosis: Basic Principles and clinical practice. 4th ed. Philadelphia; Lippincott

Williams & Wilkins 2001. p. 1132- 52.

Page 80: Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum

80

65 Kolde HJ. Haemostasis: physiology, pathology, diagnostics. 2nd ed. Basel:

Pentapharm Ltd. 2004 p130.

66 Muller-Berghaus G, ten Cate H, Levi M. Disseminated intravascular coagulation:

clinical spectrum and established as well as new diagnostic approach. Thromb

Haemost 1999; 82(2): 706-12.

67 Wells PS, Hirsh J, Anderson DR, et al. Accuracy of clinical assessment of deep

vein thrombosis. Lancet 1995; 345: 1326.

68 Berger C, Uehlinger J, Ghelfi D et al. Comparison of C-reactive protein and white

cell count with differential in neonates at risk for septicaemia. Europ J Pediatr

1995; 154(2) : 138-144.

69 Kawamura M, Nishida H. The usefulness of serial C-reactive protein

measurements in managing neonatal infection. Acta Paediatr 1995; 84: 10-13.

70 Mustafa S, Farooqui S, Waheed S, Mahmood K. Evaluation of C-reactive protein

as early indicator of blood culture positivity in neonates.Pak J Med Sci

2005;21(1):69-73.

71 Weitkamp JH, Aschner JL. Diagnostic use of C-reactive protein (CRP) in

assessment of neonatal sepsis. Amer Acad Ped. 2005;6(11).

72 http://neoreviews.aappublications.org/sub-

journals/neoreviews/html/content/vol6/issue11/images/large/zni0110523810003.jp

eg

73 Kruger M, Nauck MS, Sang S, Hentschel R, Wieland H, Berner R. Cord blood level

of interleukin-6 and interleukin-8 for the immediate diagnosis of early-onset

infection in premature infants. Biol Neonate 2001; 80: 118-123.

74 Franz AR, Steinbach G, Kron M, Pohlandt F. Reduction of unnecessary antibiotic

therapy in newborn infants using interleukin-8 and C-reactive protein as markers of

bacterial infections. Pediatrics 1999; 104 (3): 447-453.

75 Yadav K, Wilson CG, Prasad PL, Menon PK. Polymerase chain reaction in rapid

diagnosis of neonatal sepsis. Indian pediatric 2005; 42: 681-5. [Tingkat

Pembuktian IIIa].

76 Pusponegoro HD, Hadinegoro SRS, Firmanda D, Tridjaja B, et al. Sepsis

neonatorum. Dalam : Standard Pelayanan Medik IDAI.2004. h 286-90.

Page 81: Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum

81

77 Spector SA, Ticknor W, Grossman M. Study of The usefulness of clinical and

hematologic findings in the diagnosis of neonatal bacterial infections. Clin Pediatr

1981; 95: 803-6.

78 Philip AG, Hewitt JR. Early diagnosis of neonatal sepsis. Pediatrics 1980; 65:1036-

41.

79 Rodwell RL, Leslie AL, Tudehope DI. Early diagnosis of neonatal sepsis.using a

hematologic scoring system. J Pediatr 1998; 112: 761-7.

80 Rahman S, Hmeed A, Roghani MT, Ullah Z. Multidrug resistent neonatal sepsis in

Peshawar, Pakistan. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 2002; 87: F52-4. [Tingkat

Pembuktian IIIa]

81 Gould IM. A review of the role antibiotics policies in control of antibiotic resistance.

J Antimicrob Chemother 1999; 43: 459-65.

82 Rohsiswatmo R. Multidrug resistant in a neonatal unit the therapeutic implications.

Paedtr Indones.

83 R Kee TK, Nachal N, Hong MS, Jazilah W, Zakaria SZS, Taib CHM. Rational

antibiotic utilization in selected pediatric condition. Sivatal S, penyunting. Diunduh

dari: http://www.acadmed.org.my/cpg/CPG-RAUP.nachal.pdf.

84 Deorari A. Neonatal Sepsis Update. Dalam: Garna H, Nataprawira HMD, Alam A,

penyunting. Proceedings book 13th National Congress of Child Health KONIKA

XIII, Bandung: Hasan Sadikin General Hospital, 2005.h.61-9.

85 Levine EM, Ghai V, Barton JJ, Strom CM. Intrapartum antibiotics prophylaxis

increases the incidence of Gramnegative neonatal sepsis. Infect Dis Obstet

Gynecol 1999; 7: 210-3.

86 Garges HP, Alexander KA. Newer antibiotics: imipenem/cilastatin and meropenem.

Neo Rev 2003; 4: e364-8.

87 Isaacs D. Rationing antibiotics use in neonatal units. Arch Dis Child Fetal Neonatal

Ed 2000; 82: F1-2.

88 Perez MM, Weisman LE. Novel Approaches to the prevention and therapy of

neonatal bacterial sepsis. Clin Perinatol 1997; 24: 213-29.

89 Weiss MD.;. Burchfield DJ. Adjunct therapies to bacterial sepsis in the neonate.

NBIN 2004; 4(1):46-50.

90 Carcillo JA . New developments in the management of newborn sepsis, shock and

multiple organ failure. Ital J Pediatr 2004; 30: 383-392. [Tingkat Pembuktian IV]

Page 82: Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum

82

91 Boehme U, Sidiropoulos, Muralt GV, et al. Immunoglobulin supplementation in

prevention and treatment of neonatal sepsis. Pediatr Infect Dis J 1986; 5 : S193-

95.

92 Weisman LE, Stoll BJ, Kueser TJ, et al. Intravenous immune globulin therapy for

early onset sepsis in premature neonates. J Pediatr 1992; 121 : 431-43.

93 Ohlsson A, Lacy JB. Intravenous Immunoglobulin for Suspected or Subsequently

Proven Infection in Neonates. The Cohcrane Library 2000; issue 2.

94 Alejandria MM, Lansang MA, Dans LF, Mantaring JBV. Intravenous Imunoglobulin

for treating Sepsis and Septic Shock. The Cochrane Library 2000; issue 2.

95 Jenson HB, Pollock BH. Meta-analyses of the effectiveness of intravenous immune

globulin for prtevention and treatment of neonatal sepsis. American Academic of

Pediatrics 1997; 99(2). [Tingkat Pembuktian Ia]

96 Acunas BA, Peakman M, Liossis G, et al. Effect of fresh frozen plasma and

gammaglobulin on humoral immunity in neonatal sepsis. Arch Dis Child Fetal

Neonatal Ed 1994;70:F182-F187.

97 Mathur NB, Singh A, Sharma VK, et al. Evaluation of risk factors for fatal neonatal

sepsis. Indian Pediatr 1996;33:817-822.

98 Mohan P, Brocklehurst P. Granulocyte transfusions for Neonates with confirmed or

suspected sepsis and neutropaenia (Cochrane Review). The Cochrane Library

2003; issue 4. [Tingkat Pembuktian Ia]

99 Miura E, Procianoy RS, Bittar C, Miura CS, Melo C, Miura MS. Assessing the

efficacy of the recombinant human granulocyte colony-stimulating factor in the

treatment of early neonatal sepsis in premature neonates. Journal de Pediatria

2000; 76(3): 193-9. [Tingkat Pembuktian Ib]

100 Murray JC, McClain KL, Wearden ME, et al. Using granulocyte colony-stimulating

factor for neutropenia during neonatal sepsis. Arch Pediatr Adolesc Med

1994;148:764-766.

101 Bedford Russel AR, Emmerson AJ, Wilkinson N. A trial of recombinant human

granulocyte colony stimulating factor for the treatment of very low birthweight infant

with presumed sepsis and neutropenia. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 2001;

84: F172-6.

Page 83: Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum

83

102 Jones LL, Schwartz AL, Wilson DB. Blood component therapy for the neonate.

Dalam: Fanaroff AA, Martin RJ, penyunting. Neonatal-perinatal medicine: disease

of the fetus and infant. Edisi kelima. St.Louis: Mosby, Inc; 2002. h. 1239-47.

103 Pearson AH. The Rise and fall of exchange transfusion. Neo Rev 2003; 4: 169-

74e.

104 Olewnik AB. Exchange transfusion. Dalam: Spitzer AR, Penyunting Intensive Care

of The Fetus and Neonates. Edisi ke-2. St.Louis: Mosby,inc;1991.h.1192-4.

105 Murray NA, Roberts IAG. Neonatal transfusion practice. Arch Dis Child Fetal

Neonatal Ed 2004; 89:F101-7.

106 Rohsiswatmo R. Indikasi transfusi tukar pada sepsis neonatorum. Dalam: Update

in neonatal infection. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM. 2005. hlm

92-98. [Tingkat Pembuktian IV]

107 Vaidya U . Prematurity and infection in newborns. Presentation at the Fifth

National Conference of Pediatric Infectious Diseases, Surat, Nov 29 to Dec 1,

2002 Available in : http//www. \Meta nalysis Prematurity and infection in newborns

-- Indian Academy of Pediatrics, Surat CME.htm

108 Haque K, Mohan P. Pentoxifylline for neonatal sepsis. Reviewed by Vogin GD.

Pediatr Infect Dis J. 2004; 23: 346-9. [Tingkat Pembuktian Ia]

109 Gitto E, Karbownik M, Reiter RJ, TanDX, Cuzzocrea S, Chiurazzi P, et al. Effects

of melatonin treatment in septic newborns. Pediatric Research 2001; 50: 756-60.

[Tingkat Pembuktian IIb]

110 Gerard C, Bruyns C, Marchant A, et al. Interleukin 10 reduces the release of tumor

necrosis factor and prevents lethality in experimental endotoxemia. J Exp

Med1993;177:547–50.

111 Howard M, Muchamuel T, Andrade S, et al. Interleukin 10 protects mice from lethal

endotoxemia. J Exp Med 1993;177:1205–8.

112 Akib AAP. Pemberian kortikosteroid pada pasien dengan sepsis. In: Update in

Neonatal Infection. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM. 2005. hlm

117-122. [Tingkat Pembuktian IV]

113 Keh D. Corticosteroid therapy in sepsis: where are we? Adv Sepsis 2006; 5(4):

138-40. [Tingkat Pembuktian IV]

114 Seri I, Tan R, Evans J, et al. Cardiovascular effects of hydrocortisone in preterm

infants with pressor-resistant hypotension. Pediatrics 2001;107:1070-1074.

Page 84: Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum

84

115 Annane D, Sebille V, Charpentier C etal. Effect of treatment with low doses of

hydrocortisone and fludrocortisone on mortality in patients with septic shock. JAMA

2002; 288: 862-71.

116 Hendarto A, Prawitasari T. Dukungan nutrisi pada sepsis neonatorum. In: Update

in Neonatal Infection. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM. 2005. hlm

111-6. [Tingkat Pembuktian IV]

117 Lancet Neonatal Survival Series, Series 2. Diunduh dari http://www.thelancet.com.

Maret. 2005.

118 Benitz WE, Gould JB, Druzin ML. Antimicrobial prevention of early-onset group b

streptococcal sepsis: estimates of risk reduction based on a critical literature

review. Pediatrics 1999; 103; 78. [Tingkat Pembuktian IIa]

119 Clark R. Power R, White R, bloom B, Sanchez P, Benjamin DK. Prevention and

treatment of nosocomial sepsis in the NICU. Journal of perinatology 2004; 24: 446-

53. [Tingkat Pembuktian Ia]

120 Craft AP, Finer NN, Barrington KJ. Vancomycin for Prophylaxis against sepsis in

preterm neonates: meta-analysis. The Cohcrane Lybrary, issue 1, 2000. [Tingkat

Pembuktian Ia]

121 Short MA. Guide to a systematic physical assessment in the infant with suspected

infection and/or sepsis. Adv Neonat Care 2004 ; 4(3):141-153.

122 Larson EL. APIC guideline for handwashing and hand antisepsis in healthcare

setting. AJIC AM J InfectControl 1995; 23: 251-69.

123 Furtado GHC, Santana SL, Coutinho AP, Perdiz LB, Wey SB, Medeiros EAS.

Compliance with handwashing at two intensive care units in Sao Paulo. Braz J

Infect Dis 2006; 10 (1).

124 Doebbeling BN, Stanley GL, Sheetz CT, Pfaller MA, Houston AK, Annis L, et al.

Comparative efficacy of alternative hand-washing agents in reducing nosocomial

infections in intensive care units. NEJM 1992 ; 327(2) :88-93.

125 Parienti JJ, Thibon P, Heller R, et al. Hand-rubbing with an aqueous alcoholic

solution vs traditional surgical hand-scrubbing and 30-day surgical site infection

rates: a randomized equivalence study. JAMA 2002 ; 288 : 722-7. [Tingkat

Pembuktian IIa]

126 Girou E, Loyeau S, Legrand P, et al. Efficacy of handrubbing with alcohol based

solution versus standard handwashing with alcohol based solution versus standard

Page 85: Penatalaksanaan Sepsis Neonatorum

85

handwashing with antiseptic soap: randomized clinical trial. BMJ 2002; 325 : 362-

5. [Tingkat Pembuktian IIa]

127 Sharek PJ, Benitz WE, Abel NA, Freeburn MJ, Mayer ML, Bergman DA. Effect of

an evidence-based hand washing policy on hand washing rates and false-positive

coagulase negative staphylococcus blood and cerebrospinal fluid culture rates in a

level iii nicu. Journal of Perinatology 2002 ; 22(2) : 137-43.

128 Gunawan C. Efficacy of ethyl alcohol glycerin 69% in neonatal ward Dr.Sutomo

Hospital. ISSN 0303-7932 . 2004 ; 40(3):121-31.

129 Hegar B, Trihono PP, Ifran EB. Update in neonatal infections. Departemen Ilmu

Kesehatan Anak FKUI-RSCM. Cetakan Pertama 2005.

130 Kaban RK. Pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial. In: Update in

Neonatal Infection. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM. 2005. hlm 49-

58. [Tingkat Pembuktian IV]

131 Lucia P.R. Pengaruh Pemberian Probiotik Terhadap Kadar Imunoglobulin A

Sekretori Feses Bayi Prematur [disertasi]. Jakarta: Universitas Indonesia; 2007.

132 AAP Committee on Fetus and Newborn : Levels of Neonatal Care Pediatrics

2004;114:1341–1347.

133 Paterson RL,Webster NR. Sepsis and the systemic inflammatory response

syndrome. J.R.Coll.Surg.Edinb.2004:45:178-82.

134 Hotchkiss RS, Karl IE. Tha pathophysiology and treatment of sepsis. N Eng J Med

2003;384:138-50.