pbl23.doc
-
Upload
baraa-kerinduantigabelas -
Category
Documents
-
view
226 -
download
0
Transcript of pbl23.doc
Trauma Kimia Alkalis
Pendahuluan
Mata adalah organ fotosensitif yang kompleks dan berkembang lanjut yang memungkinkan analisis
cermat tentang bentuk, intensitas cahaya, dan warna yang dipantulkan obyek. Mata terletak di dalam
struktur tengkorak yang melindunginya, yaitu orbita. Banyak sekali penyakit yang bisa menyerang
pada mata salah satu nya adalah trauma kimia. Trauma kimia pada mata merupakan salah satu
keadaan kedaruratan oftalmologi karena dapat menyebabkan cedera pada mata, baik ringan, berat
bahkan sampai kehilangan penglihatan. Trauma kimia pada mata merupakan trauma yang mengenai
bola mata akibat terpaparnya bahan kimia baik yang bersifat asam atau basa yang dapat merusak
struktur bola mata tersebut. Trauma kimia diakibatkan oleh zat asam dengan pH < 7 ataupun zat basa
pH > 7 yang dapat menyebabkan kerusakan struktur bola mata. Tingkat keparahan trauma dikaitkan
dengan jenis, volume, konsentrasi, durasi pajanan, dan derajat penetrasi dari zat kimia tersebut.
Mekanisme cedera antara asam dan basa sedikit berbeda. Trauma bahan kimia dapat terjadi pada
kecelakaan yang terjadi dalam laboratorium, industri, pekerjaan yang memakai bahan kimia,
pekerjaan pertanian, dan peperangan memakai bahan kimia serta paparan bahan kimia dari alat-alat
rumah tangga. Setiap trauma kimia pada mata memerlukan tindakan segera. Irigasi daerah yang
terkena trauma kimia merupakan tindakan yang harus segera dilakukan.1
Anamnesis1
Identitas: Pada identitas jenis kelamin perlu diperhatikan karena ada penyakit yang sering terdapat
pada jenis kelamin tertentu seperti glaukoma kongestif akut buta warna dan lainnya. Pekerjaan
pasien juga dapat menyebabkan beberapa penyakit tertentu seperti trauma didalam pabrik aatau
didapur. Pada skenario identitas pasien: Laki-laki 35 tahun.
KU: sering sekali pasien menceritakan telah tersiram cairan atau tersemprot gas pada mata atau
partikel-partikelnya masuk ke dalam mata. Perlu diketahui apa persisnya zat kimia dan bagaimana
terjadinya trauma tersebut (misalnya tersiram sekali atau akibat ledakan dengan kecepatan tinggi)
serta kapan terjadinya trauma tersebut. Pada Skenario pasien mengeluh pandangan kedua mata kabur
dan nyeri setelah terkena cipratan bahan kimia.
RPS: Perlu diketahui apakah terjadi penurunan visus setelah cedera atau saat cedera terjadi. Onset
dari penurunan visus apakah terjadi secara progresif atau terjadi secara tiba tiba. Nyeri, lakrimasi,
dan pandangan kabur merupakan gambaran umum trauma. Harus dicurigai adanya benda asing
intraokuler apabila terdapat kegiatan memahat, mengasah atau adanya ledakan.
RPK: Adakah riwayat penyakit dalam keluarga? Riwayat masalah penglihatan turunan dalam
keluarga (glaukoma)?
1
RPD: Apakah pasien pernah dirawat di rumah sakit? apakah ada riwayat trauma ? adakah riwayat
masalah penglihatan sebelumnya? riwayat diabetes melitus dan hipertensi? adakah riwayat penyakit
neurologis? terapi mata (laser)? apakah penyakit kronis pada organ-organ (saluran cerna,
kardiovaskuler, organ pernafasan dan ginjal).
RO: obat apa yang sedang dikonsumsi pasien? apakah baru-baru ini ada perubahan penggunaan
obat? adakah respons terhadap terapi terdahulu?. Adakah alergi obat atau antigen lingkungan ?
Adakah paparan bahan kimia?.
RPSOS: Bisa ditanyakan pekerjaan pasien apakah termasuk pekerjaan yang mengharuskan pasien
berkontak dengan bahan kimia dan apakah disertai alat pelindung yang memadai. Bagaimana
lingkungan tempat tinggalnya? Apakah rutin dalam olahraga? Menanyakan aktivitas , makanan
sehari-hari dan ekonomi.
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan yang seksama sebaiknya ditunda sampai mata yang terkena zat kimia sudah terigasi
dengan air dan pH permukaan bola mata sudah netral. Obat anestesi topikal atau lokal sangat
membantu agar pasien tenang, lebih nyaman dan kooperatif sebelum dilakukan pemeriksaan. Setelah
dilakukan irigasi, pemeriksaan dilakukan dengan perhatian khusus untuk memeriksa kejernihan dan
keutuhan kornea, derajat iskemik limbus, tekanan intra okular, konjungtivalisasi pada kornea,
neovaskularisasi, peradangan kronik dan defek epitel yang menetap dan berulang.
Manifestasi fisik umum dari cedera kimia untuk mata meliputi:2
• Penurunan ketajaman visual: visual ketajaman awal dapat menurun karena kerusakan epitel
kornea, kabut, lakrimasi meningkat, atau ketidaknyamanan. Dalam kimia moderat-untuk-sensasi
terbakar parah terlihat segera setelah cedera, kabut kornea mungkin minimal pada presentasi
dengan visi yang baik, tetapi dapat meningkat secara signifikan dengan waktu, sangat menurunkan
penglihatan.
• Peningkatan TIO: Peningkatan TIO secara tiba-tiba bisa disebabkan oleh deformasi dan
pemendekan kolagen, sehingga mempersempit ruang anterior. Peningkatan TIO yang lama secara
mendadak berkaitan dengan tingkat peradangan segmen anterior.
• Inflamasi konjungtiva: Berbagai derajat hiperemis konjungtiva dan pembengkakan adalah hal yang
memungkinkan, dan bahkan cedera kimia ringan dapat menimbulkan respon konjungtiva
berlebihan.
• Partikel dalam konjungtiva forniks: lebih sering ditemukan dengan cedera partikulat, seperti
plester. Jika tidak dikeluarkan, partikel-partikel sisa dapat berfungsi menjadi reservoir untuk
pelepasan kimia lanjutan dan cedera. Partikel-partikel ini harus dikeluarkan sebelum penyembuhan
permukaan mata dimulai.
2
• Iskemia Perilimbal: Tingkat iskemia limbal (pemucatan) mungkin adalah indikator prognosis yang
paling penting untuk penyembuhan kornea masa depan karena sel-sel induk limbal bertanggung
jawab atas repopulasi epitel kornea. Secara umum, semakin besar tingkat kepucatan , semakin
buruk prognosisnya. Namun, adanya sel-sel induk perilimbal yang utuh tidak menjamin
penyembuhan epitel normal. Luasnya kepucatan harus dicatat dalam setiap jam.
• Defek kornea epitel: Kerusakan epitel kornea dapat berkisar dari keratitis epitel pungtata (KEP)
difus ringan dengan defek epitel lengkap. Defek epitel lengkap tidak dapat dilakukan dengan
pewarna fluorescein secepat pada abrasi kornea rutin, sehingga mungkin akan terlewatkan. Jika
diduga defek epitel namun tidak ditemukan pada evaluasi awal, mata harus diperiksa ulang setelah
beberapa menit. Luasnya defek harus dicatat sehingga dapat disimpan untuk rencana pengobatan
pada kunjungan berikutnya.
• Kabut stroma: Kabut dapat berkisar dari kornea jernih (kelas 0) ke kekeruhan lengkap (kelas 5)
tanpa melihat ke dalam ruang anterior.
•Perforasi kornea : Jarang terjadi pada penderita, lebih cenderung terjadi setelah paparan awal (dari
hari sampai minggu) pada cedera mata berat yang memiliki kemampuan penyembuhan yang
buruk4.
• Reaksi inflamasi bilik anterior: hal ini dapat bervariasi dengan melihat sel dan flare pada reaksi
fibrinoid yang kuat ruang anterior. Secara umum, hal ini lebih sering terjadi dengan cedera alkali
karena penetrasi yang lebih dalam.
• Kerusakan adnexal / parut: Mirip dengan cedera kimia pada daerah kulit lainnya, hal ini dapat
mengakibatkan masalah paparan berat jika jaringan parut menghambat penutupan kelopak mata,
karena itu, menunjukkan permukaan mata yang sudah rusak.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dalam kasus trauma kimia mata adalah pemeriksaan pH bola mata secara
berkala dengan kertas lakmus. Irigasi pada mata harus dilakukan sampai tercapai pH normal.
Pemeriksaan bagian anterior mata dengan lup atau slit lamp bertujuan untuk mengetahui lokasi luka.
Pemeriksaan oftalmoskopi direk dan indirek juga dapat dilakukan. Selain itu dapat pula dilakukan
pemeriksaan tonometri untuk mengetahui tekanan intraokular.
Tekanan intraokular diukur dengan tonometer Goldmann. Satu silinder plastik jernih ditekankan
pada kornea yang sudah dianestesi. Cincin pendataran, dilihat melalui silinder, dibuat terlihat adanya
fluoresein pada film air mata. Prisma yang diletakkan secara horizontal dalam silinder, memisahkan
cincin kontak menjadi dua setengah lingkaran. Tekanan yang diberikan ke silinder dapat divariasikan
untuk mengubah tingkat pendataran kornea dan kemudian ukridan cincin. Tekanan disesuaikan
sehingga kedua setengah lingkaran saling bertautan. Ini merupakan titik akhir dari tes, dan tekanan
yang diberikan dikonversi ke dalam satuan tekanan okular (mmHg) yang dapat dilihat di tonometer.3
3
Oftalmoskop merupakan alat untuk melihat bagian dalam mata atau fundus okuli. Pemeriksaan
dengan oftalmoskop dinamakan oftalmoskopi. Oftalmoskopi dibedakan dalama oftalmoskopi
langsung dan tidak langsung. Pemeriksaan kedua jenis oftalmoskop ini adalah bertujuan menyinari
bagian fundus okuli kemudian bagian yang terang di dalam fundus okuli dilihat dengan satu mata
melalui celah alat pada oftalmoskopi langsung dan dengan kedua mata dengan oftalmoskopi tidak
langsung. Perbedaan antara oftalmoskopi langsung adalah pada oftalmoskopi langsung daerah yang
dilihat, paling perifer sampai daerah ekuator, tidak stereoskopis, berdiri tegak atau tidak terbalik, dan
pembesaran 15 kali. Dengan oftalmoskop tidak langsung akan terlihat daerah fundus okuli 8 kali
diameter papil, dapat dilihat sampai daerah ora serata, karena dilihat dengan 2 mata terdapat efek
stereoskopik, dan dengan pembesaran 2-4 kali. Pemeriksaan dengan oftalmoskop dilakukan di kamar
gelap.1
Fluoresein adalah bahan yang berwarna jingga merah yang bila disinari gelombang biru akan
memberikan gelombang hijau. Bahan larutan ini dipakai untuk melihat terdapatnya defek epitel
kornea, fistel kornea atau yang disuntikan intravena untuk dibuat foto pembuluh darah retina.
Aplikasi fluoresein pada mata dapat mengidentifikasi abrasi kornea ( yaitu hilangnya sel epitel
permukaan) dan kebocoran akueous humor dari mata. 3
Diagnosis kerja
Berdasarkan skenario dan hasil dari anamnesis serta pemeriksaan fisik yang dilakukan, serat
pemeriksaan penunjang terlihat bahwa gejala klinis yang ditemukan mirip dengan gejala penyakit
trauma kimia alkali ODS (Okuli Dekstra Sinistra).
Struktur anatomi mata4
Mata terletak ditulang orbita mata terdiri dari beberapa lapisan yaitu dimulai dari kornea (anterior).
Kornea adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus cahaya. Kornea merupakan
lapisan jaringan yang menutupi bola mata sebelah depan dan terdiri atas 5 lapis, yaitu:
1. Epitel, berasal dari ektoderm permukaan
2. Membran Bowman, terletak di bawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolagen
yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma.
3. Stroma
4. Membran Descement, merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma
kornea dihasilkan sel endotel dan merupakan membran basalnya. Bersifat sangat elastis dan
berkembang terus seumur hidup, mempunyai tebal 40 μm.
5. Endotel, trauma atau panyakit yang merusak endotel akan mengakibatkan sistem pompa endotel
terganggu sehingga dekompresi endotel dan terjadi edema kornea. Endotel tidak mempunya
daya regenerasi
4
Aqueous humor mengandung zat-zat gizi untuk kornea dan lensa, keduanya tidak memiliki pasokan
darah. Adanya pembuluh darah di kedua struktur ini akan mengganggu lewatnya cahaya ke
fotoreseptor.
Lensa di dalam bola mata terletak di belakang iris dan terdiri dari zat tembus cahaya (transparan)
berbentuk seperti cakram yang dapat menebal dan menipis pada saat terjadinya akomodasi. Lensa
berbentuk lempeng cakram bikonveks dan terletak di dalam bilik mata belakang. Lensa akan
dibentuk oleh sel epitel lensa yang membentuk serat lensa di dalam kapsul lensa.Secara fisiologis
lensa mempunyai sifat tertentu, yaitu:
• Kenyal atau lentur karena memegang peranan terpenting dalam akomodasi untuk menjadi
cembung
• Jernih atau transparan karena diperlukan sebagai media penglihatan,
• Terletak ditempatnya, yaitu berada antara posterior chamber dan vitreous body dan berada di
sumbu mata.
Badan vitreous menempati daerah mata di balakang lensa. Struktur ini merupakan gel transparan
yang terdiri atas air (lebih kurang 99%), Peranannya mengisi ruang untuk meneruskan sinar dari
lensa ke retina. Kebeningan badan vitreous disebabkan tidak terdapatnya pembuluh darah dan sel.
Vitreous humor penting untuk mempertahankan bentuk bola mata yang sferis.
Retina, terdapar lapisan pembuluh darah dan lapisan saraf penglihatan.
Epidemiologi
Lebih dari 60% dari trauma kimia terjadi dalam kecelakaan kerja, 30% di rumah, dan 10% akibat
kekerasan. Sebanyak 20% trauma kimia secara signifikan mengakibatkan cacat visual dan kosmetik.
Hanya 15% dari pasien dengan trauma kimia berat yang mencapai perbaikan visual yang fungsional.
Secara global, predileksi ras tidak bisa dipastikan, akan tetapi pria muda berkulit hitam lebih
cenderung berpotensi tinggi. Pria 3 kali lebih cenderung mengalami trauma kimia daripada wanita.
Trauma kima dapat menyerang setiap umur, akan tetapi, trauma paling banyak terjadi pada pasien
berusia 16 – 45 tahun2
Etiologi
Zat-zat basa atau alkali yang dapat menyebabkan trauma pada mata antara lain adalah semen, soda
kuat, amonia, NaOH, CaOH, dan cairan pembersih dalam rumah tangga. Ammonia merupakan gas
yang tidak berwarna dipakai sebagai bahan pendingin lemari es, larutan 7% ammonia dipakai
sebagai bahan pembersih. Mudah merusak jaringan bagian dalam mata seperti iris dan lensa.
Ammonia merusak stroma lebih sedikit dibanding dengan NaOH dan CaOH. pH cairan mata naik
beberapa detik setelah trauma. NaOH dikenal dengan kaustik soda, dipakai sebagai pembersih pipa.
pH cairan mata naik beberapa menit sesudah trauma. Ca(OH)2 daya tembus pada mata kurang, hal
5
ini akibat terbentuknya sabun kalsium pada epitel kornea. pH cairan mata menjadi normal kembali
sesudah 30 – 3 jam pasca trauma.
Patogenesis
Bahan alkali atau basa akan mengakibatkan pecah atau rusaknya sel jaringan. Pada pH yang tinggi
alkali akan mengakibatkan persabunan disertai dengan disosiasi asam lemak membrane sel. Akibat
persabunan membrane sel akan mempermudah penetrasi lebih lanjut dari pada alkali.
Mukopolisakarida jaringan oleh basa akan menghilang dan terjadi penggumapalan sel kornea atau
keratosis. Serat kolagen kornea akan bengkak dan stroma kornea akan mati. Akibat edema kornea
akan terdapat serbukan sel polimorfonuklear ke dalam stroma kornea. Serbukan sel ini cenderung
disertai dengan masuknya pembuluh darah baru atau neovaskularisasi. Akibat membrane sel basal
epitel kornea rusak akan memudahkan sel epitel diatasnya lepas. Sel epitel yang baru terbentuk akan
berhubungan langsung dengan stroma dibawahnya melalui plasminogen activator. Bersamaan
dengan dilepaskan plasminogen aktivatir dilepas juga kolagenase yang akan merusak kolagen
kornea. Akibatnya akan terjadi gangguan penyembuhan empitel yang berkelanjutan dengan tukak
kornea dan dapat terjadi perforasi kornea. Kolagenase ini mulai dibentuk 9 jam sesudah trauma dan
puncaknya terdapat pada hari ke 12-21. Biasanya tukak pada kornea mulai terbentuk 2 minggu
setelah trauma kimia. Pembentukan tukak berhenti hanya bila terjadi epitelisasi lengkap atau
vaskularisasi telah menutup dataran depan kornea. Bila alkali sudah masuk ke dalam bilik mata
depan maka akan terjadi gangguan fungsi badan siliar. Cairan mata susunannya akan berubah, yaitu
terdapat kadar glukosa dan askorbat yang berkurang. Kedua unsure ini memegang peranan penting
dalam pembentukan jaringan kornea.1,5
Menurut klasifikasi Thoft maka trauma basa dapat dibedakan dalam :1
1. Derajat 1 : Hiperemi konjungtiva disertai dengan keratitis pungtata.
2. Derajat 2 : Hiperemi konjungtiva disertai dengan hilang epitel kornea.
3. Derajat 3 : Hiperemi disertai dengan nekrosis konjuntiva dan lepasnya epitel
kornea1.
4. Derajat 4 : Konjungtiva perilimal nekrosis sebanyak 50%.
Mungkin diperlukan waktu 48 sampai 72 jam setelah trauma untuk menilai tingkat kerusakan mata
dengan tepat dan memberikan prognosis yang akurat. Dasar evaluasi tersebut adalah derajat
kekeruhan kornea dan pemutihan perilimbal. Representasi yang disederhanakan dari masing-masing
derajat bakar ditunjukkan pada gambar berikut6
Manifestasi Klinis
6
Terdapat manifestasi klinis utama yang muncul pada trauma kimia yaitu, epifora, blefarospasme, dan
nyeri berat. Trauma akibat bahan yang bersifat asam biasanya dapat segera terjadi penurunan
penglihatan akibat nekrosis superfisial kornea. Sedangkan pada trauma basa, kehilangan penglihatan
sering bermanifestasi beberapa hari sesudah kejadian. Namun sebenarnya kerusakan yang terjadi
pada trauma basa lebih berat dibanding trauma asam.
Pada trauma basa, kehilangan penglihatan sering bermanifestasi beberapa hari sesudah kejadian.
Namun sebenarnya kerusakan yang terjadi pada trauma basa lebih berat dibanding trauma asam.
Pada kornea, Trauma bahan kimia dapat terjadi pada kecelakaan yang terjadi di dalam laboratorium,
industri, pekerjaan yang memakai bahan kimia, pekerjaan pertanian, dan peperangan memakai bahan
kimia di abad modren. Setiap trauma kimia pada mata memerlukan tindakan segera. Irigasi daerah
yang terkena trauma kimia merupakan tindakan yang segera harus dilakukan untuk mencegah
memberikan penyulit yang lebih berat. Pembilasan dilakukan dengan memakai garam fisiologik atau
air bersih lainnya selama mungkin dan paling sedikit 15-30 menit.
Membran sal rusak.
Terjadi kerusakan komponen vaskuler iris, badan silier dan epitel lensa.
Tekanan intra okuler meningkat.
Hipotoni akan terjadi bila kerusakan pada badan silier.
Kornea keruh dalam beberapa menit.
Pada kelopak, margo palpebra rusak, kerusakan pada kelenjar air mata, sehingga mata menjadi
kering. Pada konjungtiva, sekresi musin konjungtiva bulbi berkurang. Pada lensa, Lensa keruh.
Penatalaksanaan
Tatalaksana Emergensi2
1.Irigasi
Merupakan hal yang krusial untuk meminimalkan durasi kontak mata dengan bahan kimia dan untuk
menormalisasi pH pada saccus konjungtiva yang harus dilakukan sesegera mungkin. Larutan normal
saline (atau yang setara) harus digunakan untuk mengirigasi mata selama 15-30 menit sampai pH
mata menjadi normal (7,3). Pada trauma basa hendaknya dilakukan irigasi lebih lama, paling sedikit
2000 ml dalam 30 menit. Makin lama makin baik. Jika perlu dapat diberikan anastesi topikal, larutan
natrium bikarbonat 3%, dan antibiotik. Irigasi dalam waktu yang lama lebih baik menggunakan
irigasi dengan kontak lensa (lensa yang terhubung dengan sebuah kanul untuk mengirigasi mata
dengan aliran yang konstan.
2.Double eversi pada kelopak mata
Dilakukan untuk memindahkan material yang terdapat pada bola mata. Selain itu tindakan ini dapat
menghindarkan terjadinya perlengketan antara konjungtiva palpebra, konjungtiva bulbi, dan
konjungtiva forniks.
3.Debridemen
7
Pada daerah epitel kornea yang mengalami nekrotik sehingga dapat terjadi re-epitelisasi pada
kornea.Trauma kimia ringan (derajat 1 dan 2) dapat diterapi dengan pemberian obat-obatan seperti
steroid topikal, sikloplegik, dan antibiotik profilaksis selama 7 hari. Sedangkan pada trauma kimia
berat, pemberian obat-obatan bertujuan untuk mengurangi inflamasi, membantu regenerasi epitel dan
mencegah terjadinya ulkus kornea.
Medikamentosa.2
Steroid bertujuan untuk mengurangi inflamasi dan infiltrasi neutofil. Namun pemberian steroid
dapat menghambat penyembuhan stroma dengan menurunkan sintesis kolagen dan menghambat
migrasi fibroblas. Untuk itu steroid hanya diberikan secara inisial dan di tappering off setelah 7-10
hari. Dexametason 0,1% ED dan Prednisolon 0,1% ED diberikan setiap 2 jam. Bila diperlukan dapat
diberikan Prednisolon IV 50-200 mg
Sikloplegik untuk mengistirahatkan iris, mencegah iritis dan sinekia posterior. Atropin 1% ED atau
Scopolamin 0,25% diberikan 2 kali sehari.
Asam askorbat mengembalikan keadaan jaringan scorbutik dan meningkatkan penyembuhan luka
dengan membantu pembentukan kolagen matur oleh fibroblas kornea. Natrium askorbat 10% topikal
diberikan setiap 2 jam. Untuk dosis sitemik dapat diberikan sampai dosis 2 gr.
Beta bloker/karbonik anhidrase inhibitor untuk menurunkan tekanan intra okular dan mengurangi
resiko terjadinya glaukoma sekunder. Diberikan secara oral asetazolamid (diamox) 500 mg.
Antibiotik profilaksis untuk mencegah infeksi oleh kuman oportunis. Tetrasiklin efektif untuk
menghambat kolagenase, menghambat aktifitas netrofil dan mengurangi pembentukan ulkus. Dapat
diberikan bersamaan antara topikal dan sistemik (doksisiklin 100 mg).
Pembedahan.2,7
Pembedahan Segera: sifatnya segera dibutuhkan untuk revaskularisasi limbus, mengembalikan
populasi sel limbus dan mengembalikan kedudukan forniks. Prosedur berikut dapat digunakan untuk
pembedahan:
Pengembangan kapsul Tenon dan penjahitan limbus bertujuan untuk mengembalikan
vaskularisasi limbus juga mencegah perkembangan ulkus kornea.
Transplantasi stem sel limbus dari mata pasien yang lain (autograft) atau dar donor
(allograft) bertujuan untuk mengembalikan epitel kornea menjadi normal.
Graft membran amnion untuk membantu epitelisasi dan menekan fibrosis
Pembedahan Lanjut: pada tahap lanjut dapat menggunakan metode berikut:
Pemisahan bagian-bagian yang menyatu pada kasus conjungtival bands dan simblefaron.
Pemasangan graft membran mukosa atau konjungtiva.
Koreksi apabila terdapat deformitas pada kelopak mata.
Keratoplasti dapat ditunda sampai 6 bulan. Makin lama makin baik, hal ini untuk
memaksimalkan resolusi dari proses inflamasi.
Pencegahan
8
Edukasi dan pelatihan untuk mencegah pajanan zat kimia di tempat kerja dapat mencegah terjadinya
trauma kimia pada mata. Pekerja yang dapat terpajan zat kimia di tempat kerja harus
menggunakan safety goggles. Trauma kimia pada anak sering terjadi karena tidak adanya
pengawasan. Letakkan semua produk rumah tangga yang dapat menimbulkan bahaya di tempat
yang tidak dapat dijangkau oleh anak-anak. Pengguna lensa baca dari kaca atau plastik yang bekerja
dalam industri atau melakukan aktivitas atletik memiliki resiko terkena pecahan fragmen lensa. Kaca
mata yang paling efektif untuk mencegah cedera terdiri dari lensa polikarbonat dalam rangka
poliamida dengan tepi penahan di posterior. Sebaiknya digunakan bingkai pada wraparound (bukan
bingkai berengsel) karena lebih dapat menahan pukulan dari samping. Pada atletik atau aktivitas
rekreasi beresiko tinggi (misalnya perang-perangan dengan peluru hampa atau cat), pelindung mata
tanpa lensa tidak selalu melindungi mata secara adekuat. Perlindungan mata yang sesuai terutama
diindikasikan bagi mereka yang bermain bola raket, bola tangan, dan squash. Banyak kebutaan yang
terjadi akibat olah raga ini, terutama akibat trauma kontusio pada mata yang tidak terlindung dengan
baik.7
Komplikasi7
Komplikasi dari trauma mata juga bergantung pada berat ringannya trauma,dan jenis trauma yang
terjadi. Komplikasi yang dapat terjadi pada kasus trauma basa pada mata antara lain :
1. Simblefaron, adalah perlengketan antara konjungtiva palpebra, konjungtiva bulbi, dan
konjungtiva forniks. Dapat disebabkan akibat trauma kecelakaan,operasi, luka bakar oleh zat
kimia, dan peradangan. Dengan gejala gerak mata terganggu, diplopia, lagoftalmus, sehingga
kornea dan penglihatan terganggu.
2. Kornea keruh, edema, neovaskuler
3. Sindroma mata kering
4. Katarak traumatik, merupakan katarak yang muncul sebagai akibat cedera pada mata yang
dapat merupakan trauma perforasi ataupun tumpul yang terlihat sesudah beberapa hari
ataupun beberapa tahun. Katarak traumatik ini dapatmuncul akut, subakut, atau pun gejala
sisa dari trauma mata. Trauma basa pada permukaan mata sering menyebabkan katarak,
selain menyebabkan kerusakan kornea, konjungtiva, dan iris. Komponen basa yang masuk
mengenai mata menyebabkan peningkatan PH cairan akuos dan menurunkan kadar glukosa
dan askorbat. Hal ini dapat terjadi secara akut ataupun perlahan-lahan. Trauma kimia dapat
juga disebabkan oleh zat asam, namun karena trauma asam sukar masuk ke bagian dalam
mata dibandingkan basa maka jarang terjadi katarak traumataik akibat trauma asam.
5. Glaukoma
Prognosis
9
Prognosis trauma kimia pada mata sangat ditentukan oleh bahan penyebab trauma tersebut. Derajat
iskemik pada pembuluh darah limbus dan konjungtiva merupakan salah satu indikator keparahan
trauma dan prognosis penyembuhan. Iskemik yang paling luas pada pembuluh darah limbus dan
konjungtiva memberikan prognosa yang buruk. Bentuk paling berat pada trauma kimia ditunjukkan
dengan gambaran “cooked fish eye” dimana prognosisnya adalah yang paling buruk, dapat terjadi
kebutaan. Trauma kimia sedang samapai berat pada konjungtiva bulbi dan palpebra dapat
menyebabkan simblefaron (adhesi anatara palpebra dan konjungtiva bulbi). Reaksi inflamasi pada
kamera okuli anterior dapat menyebabkan terjadinya glaukoma sekunder.8
Kesimpulan
Trauma kimia pada mata merupakan trauma yang mengenai bola mata akibat terpaparnya bahan
kimia baik yang bersifat asam atau basa yang dapat merusak struktur bola mata tersebut. Trauma
kimia diakibatkan oleh zat asam dengan pH < 7 ataupun zat basa pH > 7 yang dapat menyebabkan
kerusakan struktur bola mata. Tingkat keparahan trauma dikaitkan dengan jenis, volume,
konsentrasi, durasi pajanan, dan derajat penetrasi dari zat kimia tersebut. Trauma basa biasanya
memberikan dampak yang lebih berat daripada trauma asam, karena bahan-bahan basa memiliki dua
sifat yaitu hidrofilik dan lipolifik dimana dapat masuk secara cepat untuk penetrasi sel membran dan
masuk ke sudut mata depan, bahkan sampai retina. Sementara trauma asam akan menimbulkan
koagulasi protein permukaan, dimana merupakan suatu barier pelindung sehingga zat asam tidak
penetrasi lebih dalam lagi. Gejala utama yang muncul pada trauma mata adalah epifora,
blefarospasme dan nyaei yang hebat. Trauma kimia merupakan satu-satunya jenis trauma yang tidak
memerlukan anamnesa dan pemeriksaan yang lengkap.
Penatalaksanaan yang terpenting pada trauma kimia adalah irigasi mata dengan segera samapai pH
mata kembali normal dan diikuti dengan pemberian obat terutama antibiotik, multivitamin,
antiglaukoma, Selain itu dilakukan juga upaya promotif dan preventif kepada pasien. Menurut data
statistik 90% kasus trauma dapat dicegah apabila dalam menjalankan suatu pekerjaan menggunakan
pelindung yang tepat.
Daftar Pustaka
10
1. Ilyas, Sidarta. Penuntun Ilmu Penyakit Mata. Edisi Ketiga. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta. 2008.h.55-6,192-8,271-3,
2. Randleman, J.B., Bansal, A. S., Burns, Chemical., eMedicine Journal. 2009.
3. James B, Chew C, Bron A. Lecture notes: oftalmologi. Edisi ke-9. Jakarta: Erlangga; 2006.
h. 22-7
4. Aldi, Fithria. Prevalensi Kebutaan Akibat Trauma Mata. Medan:FK USU;2010.
5. James B, Chew C, Bron A. Lecture notes: oftalmologi. Edisi ke-9. Jakarta: Erlangga; 2006.
h. 22-7
6. Pfister, Roswell R., Koski, Judith. Alkali Burns of the Eye : Pathophysiology and Treatment.
Southern Medical Journal Vol. 75 No. 4. 1982
7. Vaughan DG, Taylor A, and Paul RE. Oftalmologi Umum.Widya medika. Jakarta. 2000.
8. American College of Emergency Phycisians. Management of Ocular Complaints. Diunduh
tanggal 21 Maret 2015 dari http://www.acep.org/content.aspx?id=26712
11