Desya Doc.

download Desya Doc.

of 32

Transcript of Desya Doc.

BAB 1 PAJAK BUMI & BANGUNAN (PBB)1. Sejarah PBB... PBB merupakan jenis pajak objektif yang mulai berlaku sejak Januari 1986 berdasarkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994. Jenis pajak ini bukanlah tergolong jenis pajak baru karena pada dasarnya terdapat jenis pajak yang memiliki kesesuaian dengan PBB yang telah lama dikenal dan dikenakan jauh sebelum diundangkannya Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985. Secara umum latar belakang sejarah ke-PBB-an terbagi menjadi tiga bagian yaitu masa sebelum penjajahan, masa penjajahan, dan masa kemerdekaan. Pada masa sebelum penjajahan, pajak atas tanah telah dikenal sejak zaman kerajaankerajaan Hindu berkuasa di Nusantara dengan nama drwyahaji. Salah satu kerajaan besar di masa lalu, Mataram, dalam sejarah disebutkan telah menerapkan tanah pertanian sebagai objek pajak. Saat itu pajaknya dipungut berdasarkan luas tanah. Selain di Jawa, di kerajaan Aceh dikenal pula pungutan atas tanah ladang yang dikenal dengan istilah wase tanah disamping pungutanpungutan lainnya. Pada masa penjajahan, dikenal adanya jenis pajak bumi yang disebut Land Rent. Jenis pajak ini diperkenalkan oleh Sir Stanford Rafles, seorang Gubernur Jenderal Inggris di Indonesia pada tahun 1811 sampai dengan tahun 1816. Land Rent dikenakan terhadap semua jenis tanah produktif dan wajib pajaknya adalah desa (kepala desa) bukan perseorangan, karena para kepala desa dianggap sebagai penyewa yang harus membayar sewa tanah. Besarnya tarif Land Rent bervariasi antara 20% hingga 50% dari hasil produksi pertanian tergantung pada jenis produksinya. Pada masa penjajahan Belanda (1816) pemungutan Land Rent tetap dipertahankan dengan mengganti namanya menjadi Landrente dan besarnya tarif juga diubah menjadi 20% dari produksi pertanian. Selanjutnya pada masa pemerintahan Jepang di Indonesia (1942-1945), nama Land Rent atau Landrente diubah menjadi Land Tax. Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, nama Land Tax atau pajak tanah disebut dengan Pajak Bumi dan pada tahun 1951 sampai dengan 1959 nama jawatan pengelola Pajak Bumi tersebut adalah Jawatan Pendaftaran Tanah Milik Indonesia (PTMI) yang mempunyai tugas mendaftar dan mengeluarkan surat pendaftaran sementara bagi tanah- tanah milik yang terdaftar. Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 11 Prp Tahun 1959 tentang Pajak Hasil Bumi, terhadap tanah yang tunduk kepada hukum adat dipungut pajak yang dikenal sebagai Iuran Pembangunan Daerah (Ipeda). Selain Ipeda, pada masa itu dipungut pula 6 (enam) pajak kekayaan dan pungutan lain atas tanah dan bangunan yang menimbulkan tumpan tindih antara satu pajak dengan pajak lainnya dan menyebabkan adanya beban pajak berganda bagi masyarakat. Dengan adanya reformasi perpajakan pertama yang dimulai pada tahun 1983, antara lain dengan penyederhanaan jumlah dan jenis pajak atas tanah dan bangunan melalui pengundangan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985, maka 7 (tujuh) jenis pajak kebendaan1

dan kekayaan atas tanah dan bangunan disederhanakan mejadi PBB. Dasar hukum pelaksanaan ketujuh jenis pajak tersebut yang dicabut dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 meliputi: 1) Ordonansi Pajak Rumah Tangga 1908; 2) Ordonansi Verponding Indonesia 1923; 3) Ordonansi Verponding 1928; 4) Ordonansi Pajak Kekayaan 1932; 5) Ordonansi Pajak Jalan 1942; 6) Undang-Undang Darurat Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Pajak Daerah, Pasal 14 huruf j, k, dan l; 7) Undang-undang Nomor 11 Prp. Tahun 1959 tentang Pajak Hasil Bumi. Pemberlakuan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan didasari pemikiran antara lain bahwa bumi dan bangunan memberikan keuntungan dan atau kedudukan sosial ekonomi yang lebih baik bagi orang atau badan yang mempunyai suatu hak atasnya atau memperoleh manfaat darinya, oleh sebab itu wajar apabila kepada mereka di wajibkan memberikan sebagian dari manfaat atau kenikmatan yang perolehnya kepada negara melalui pajak. Kesederhanaan pengenaan PBB antara lain tercermin dari pemberlakuan tarif tunggal 0,5% dan dasar pengenaan pajak yang hanya satu jenis, yaitu Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Pelaksanaan reformasi di bidang pajak atas tanah dan bangunan disamping berupaya menyederhanakan berbagai pungutan pajak atas tanah dan bangunan juga tetap memberikan tekanan terhadap upaya untuk meningkatkan penerimaan dan memperhatikan aspek keadilan serta meminimalkan dampak terhadap distorsi kegiatan ekonomi dan sosial mengingat PBB merupakan jenis pajak yang dikenakan terhadap hampir seluruh lapisan masyarakat. PBB merupakan salah satu sumber utama penerimaan daerah mengingat PBB adalah penerimaan pajak Pusat yang keseluruhan hasilnya diserahkan kepada Daerah. Dalam APBD, penerimaan PBB tersebut dimasukkan dalam kelompok penerimaan bagian Daerah dari bagi hasil pajak. Namun demikian, PBB termasuk jenis pajak yang sulit dalam pengadministrasiannya dan mempunyai efisiensi pemungutan yang rendah karena jumlah objek pajak yang cukup banyak, mencapai kurang lebih 78 (tujuh puluh delapan) juta objek pajak. Oleh karena itu, dalam pelaksanaannya disadari bahwa penyempurnaan sistem pemungutan merupakan prioritas dalam upaya meningkatkan penerimaan PBB. Menyadari pentingnya penerimaan PBB bagi pembiayaan pembangunan Daerah, maka pada tahun 1989 dilakukan pembaharuan sistem administrasi penerimaan PBB melalui Sistem Tempat Pembayaran (Sistep). Sistep diujicobakan pertama kali pada tahun 1989 di wilayah Kabupaten Tangerang. Selanjutnya, secara bertahap Sistep direplikasikan pada tahun 1990/1991 di 12 (dua belas) Kabupaten/Kota lainnya, pada tahun 1991/1992 dikembangkan di 60 (enam puluh) Kabupaten/Kota, dan akhirnya pada tahun 1993/1994 seluruh Kabupaten/Kota di Indonesia telah melaksanakan sistem administrasi pemungutan PBB dengan pola Sistep. Pokok-pokok ketentuan Sistep antara lain meliputi: 1) Hanya ada satu tempat pembayaran untuk setiap wilayah pembayaran PBB tertentu sebagaimana tercantum dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) yang diusahakan berdekatan dengan lokasi objek pajak. 2) Pembayaran PBB dilakukan sekaligus dalam satu kali pembayaran dan tidak dapat diangsur. 3) Jatuh tempo pembayarn PBB diatur seragam sehingga hanya terdapat satu tanggal jatuh2

tempo. 4) Surat Tanda Terima Setoran (STTS) PBB telah tersedia di tempat pembayaran sebelum SPPT diterima oleh wajib pajak. 5) Administrasi PBB harus dilaksanakan dengan dukungan komputer. 6) Sistem pemantauan STTS dan pelaporan pembayaran didesain sedemikian rupa sehingga perkembangan pembayaran PBB diketahui lebih cepat oleh instansi terkait. 7) Secara sistem, Sistep mampu menerbitkan daftar negatif (negative list) wajib pajak yang memenuhi kewajiban PBB pada saat jatuh tempo pembayaran sehingga penegakan hukum dapat dilaksanakan. Dengan diberlakukannya Sistep, penerimaan PBB mengalami peningkatan yang cukup berarti. Keberhasilan pembaharuan sistem administrasi pemungutan dengan pola Sistep terutama menyangkut perubahan sistem pemungutan PBB yang sebelumnya dilakukan oleh petugas pemungut desa/kelurahan secara bertahap diambil alih melalui sistem perbankan yang ditunjang dengan komputerisasi administrasi penerimaan PBB. Pemberian pelayanan kepada wajib pajak dalam rangka pembayaran PBB menjadi lebih mudah dan pelaksanaan penegakan hukum (law enforcement) dapat lebih ditingkatkan

2. Istilah-Istilah Dalam Pajak Bumi dan Bangunan(Pasal 1 UU No. 12 TAHUN 1985 Jo UU No. 12 Tahun 1994) 1. Bumi, yaitu Permukaan bumi dan Tubuh bumi yang ada di bawahnya. Permukaan bumi meliputi Tanah, Perairan pedalaman termasuk rawa-rawa tambak pengairan serta laut wilayah RI. 2. Bangunan, yaitu konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan untuk tempat tinggal, tempat usaha dan tempat yang diusahakan. 3. Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), yaitu harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar. Apabila tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, nilai perolehan baru, atau NJOP Pengganti. 4. Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP), yaitu surat yang digunakan oleh wajib pajak untuk melaporkan data objek pajak menurut ketentuan undang-undang. 5. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT), yaitu surat yang digunakan oleh Ditjen Pajak untuk memberitahukan besarnya pajak terutang kepada wajib pajak. 6. Tahun Pajak adalah jangka waktu satu tahun takwim, yaitu dari tanggal 1 Januari s/d 31 Desember.

Pengertian Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dalam undang-undang tentang Pajak Bumi dan Bangunan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), yaitu harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar. Apabila tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, nilai perolehan baru, atau NJOP Pengganti

3

Pasal 1 angka 3 UU No. 12 TAHUN 1985 jo UU No. 12 TAHUN 1994.

Yang dimaksud dengan :

y

Perbandingan harga dengan obyek lain yang sejenis, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu obyek pajak dengan cara membandingkannya dengan obyek pajak lain yang sejenis yang letaknya berdekatan dan fungsinya sama dan telah diketahui harga jualnya

y

Nilai perolehan baru, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu obyek pajak dengan cara menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh obyek tersebut pada saat penilaian dilakukan, yang dikurangi dengan penyusutan berdasarkan kondisi fisik obyek tersebut.

y

Nilai jual pengganti, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu obyek pajak yang berdasarkan pada hasil produksi obyek pajak tersebut.

NILAI JUAL OBYEK PAJAK TIDAK KENA PAJAK Apa yang dimaksud dengan Nilai Jual Obyek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) ? Dan berilah contohnya !

*

Nilai jual obyek pajak diberikan pengurangan yang sering disebut sebagai Nilai Jual Obyek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) untuk setiap Wajib Pajak adalah maksimum sebesar Rp 12.000.000,- Apabila seorang Wajib Pajak mempunyai 2 (dua) Objek Pajak atau lebih, yang diberikan NJOPTKP hanya obyek yang terbesar (Lihat KMK Nomor.201/KMK.04/2000) Contoh Perhitungan NJOPTKP : Contoh 1

*

Luas Bangunan : 60 m2

Rp 5.700.000, Rp 8.000.000,---------------- (-)

Nilai Jual Tanah dan Bangunan ......

Nilai Jual Obyek Pajak Tidak Kena Pajak (maksimum) Nilai Jual Obyek Pajak untuk Perhitungan Pajak Contoh 2 Luas Bangunan : 110 m2

Rp N i h i l

Rp 25.000.000,4

Nilai Jual Tanah dan Bangunan ......

Rp 12.000.000,---------------- (-) Rp 13.000.000,-

Nilai Jual Obyek Pajak Tidak Kena Pajak Nilai Jual Obyek Pajak untuk Perhitungan Pajak

PENGHITUNGAN PBB Faktor-faktor apa sajakah yang berhubungan dengan penghitungan PBB terhutang ? 1. 2. 3. 4. 5. Tarif Pajak Nilai Jual Obyek Pajak NJOP Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) NJOPTKP

Bagimana Uraian masing-masing faktor ? 1. 2. 3. 4. Tarif pajak adalah sebesar 0,5 %. NJOP berdasarkan tabel yang dikeluarkan oleh Dirjen Pajak NJKP atau Nilai Jual Kena Pajak yang besarnya ditetapkan sebesar 20 % dan 40 % (khusus untuk perumahan dengan NJOP Rp 1 miliar) dari NJOP. Rumus untuk mengitung PBB adalah sebagai berikut : PBB = 0,5 % x NJKP.

Apa Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PBB ? 1. 2. Dasar Pengenaan Pajak adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar. Apabila tidak terdapat transaksi secara wajar, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP Pengganti. 3. 4. Nilai jual sebagai DPP PBB dikelompokkan menjadi dua, yaitu kelompok A dan kelompok B (523/KMK.04/1998). NJOP ditetapkan setiap tiga tahun oleh Menteri Keuangan, kecuali untuk daerah tertentu ditetapkan setiap tahun sesuai perkembangan daerahnya.

Bagaimana Penjelasan dan Ketentuan Nilai Jual Kena Pajak (Undang-Undang Nomor 12 TAHUN 1994 Jo Peraturan Pemerintah Nomor 25 TAHUN 2002) ?

1. NJKP adalah nilai jual yang digunakan sebagai dasar penghitungan pajak, yaitu suatu5

persentase tertentu dari nilai jual sebenarnya. 2. Besarnya NJKP ditetapkan sebesar : a. Obyek pajak perkebunan, kehutanan dan pertambangan sebesar 40 % (empat puluh persen ) dari Nilai jual Objek Pajak; b. Objek pajak lainnya : - Sebesar 40 % ( empat puluh persen ) dari Nilai Jual Objek Pajak apabila Nilai Jual Objek Pajaknya Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah ) atau lebih; - Sebesar 20 % (dua puluh persen ) dari Nilai Jual Objek Pajak apabila Nilai Jual Pajak Objeknya kurang dari Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Bagaimana Penjelasan dan mekanisme Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (201/KMK.04/2000) ?

- NJOPTKP adalah batas minimal NJOP yang menurut ketentuan UU tidak dikenakan pajak. - NJOPTKP ditetapkan setinggi-tingginya Rp 12.000.000,- (dua belas juta rupiah) untuk setiap wajib pajak. - Besarnya NJOPTKP untuk setiap daerah kabupaten/kota, ditetapkan oleh Kepala Kanwil Ditjen Pajak atas nama Menteri Keuangan berdasarkan pendapat Pemda setempat. - Apabila seorang wajib pajak memiliki beberapa objek pajak, maka yang diberikan NJOPTKP hanya salah satu objek pajak yang mempunyai nilai jual paling besar. Sedangkan objek pajak lainnya tetap dikenakan secara penuh tanpa dikurangi dengan NJOPTKP.

Bagaimana Mekanisme Perhitungan dan Penilaian Objek PBB ? A. Pendekatan Penilaian 1. Pendekatan Data Pasar (Market Data Approach

y y2.

Pendekatan Data Pasar adalah suatu metode penghitungan NJOP dengan cara membandingkan antara objek pajak yang sejenis dengan objek lain yang telah diketahui harga pasarnya. Pendekatan ini pada umumnya digunakan untuk menentukan NJOP tanah, namun dapat juga digunakan untuk menentukan NJOP bangunan

Pendekatan Biaya (Cost Approach)

y y3.

Pendekatan Biaya adalah suatu metode penghitungan NJOP dengan cara menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk membuat bangunan baru yang sejenis dikurangi dengan penyusutannya. Umumnya, pendekatan biaya digunakan untuk menentukan NJOP bangunan.

Pendekatan Pendapatan (Income Approach)

y y

Pendekatan Pendapatan adalah suatu metode penghitungan NJOP dengan cara mengkapitalisasikan pendapatan satu tahun dari objek pajak yang bersangkutan. Biasanya, pendekatan pendapatan diterapkan untuk objek pajak yang dibangun untuk menghasilkan pendapatan, seperti hotel, gedung perkantoran yang disewakan, dsb.

6

y

Pendekatan ini juga digunakan sebagai alat penguji terhadap nilai yang dihasilkan pendekatan lainnya.

B. Cara Penilaian 1. Penilaian Massal (Mass Appraissal)

y y y2.

NJOP bumi dihitung berdasarkan Nilai Indikasi Rata-rata (NIR) yang terdapat pada setiap Zona Nilai Tanah (ZNT). NJOP bangunan dihitung berdasarkan Daftar Biaya Komponen Bangunan (DBKB). Perhitungan penilaian massal dilakukan dengan menggunakan komputer (Computer Assisted Valuation/CAV)

Penilaian Individual (Individual Appraissal)

y y y y

Objek pajak bumi yang nilainya di atas Rp 3.200.000 meter persegi. Objek pajak bangunan yang nilainya di atas Rp 1.366.000 meter persegi. Objek pajak yang nilai jualnya Rp 500.000.000 atau lebih. Objek pajak tertentu, seperti rumah mewah, pompa bensin, jalan tol, lapangan golf, objek rekreasi, usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.

PENETAPAN TATA CARA PEMBAYARAN DAN PEMBAGIAN HASIL PBB BAGAIMANA MEKANISME TATA CARA PEMBAYARAN PBB ?

=> Setiap pembayaran pajak harus dibukukan di Kantor Perbendaharaan dan kas Negara. => Untuk memudahkan dan melancarkan pembayaran PBB, Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara membuka rekening pada Bank Persepsi. => Apabila Wajib Pajak melunasi kewajiban PBB-nya melalui pemindahbukuan / transfer, pengiriman uang melalui bank atau wesel pos, pada dokumennya disamping mencantumkan nama Wajib Pajak juga harus dicantumkan Nomor Seri SPPT. => Dalam hal wajib pajak membayar langsung ke tempat pembayaran yang telah ditetapkan, pada saat membayar cukup menunjukkan SPPT PBB dan sebagai bukti pembayarannya wajib pajak akan menerima Surat Tanda Terima Setoran (STTS). => Apabila SPPT tahunan yang bersangkutan belum diterima wajib pajak, maka sepanjang STTS sudah tersedia di Tempat Pembayaran Wajib Pajak dapat membayar PBB dengan menunjukkan SPPT tahunan sebelumnya. => Dalam hal wajib pajak membayar atau melunasi PBB-nya melalui petugas pemungut, sebagai bukti pembayaran akan diberikan Tanda Terima Sementara (TTS). Selanjutnya oleh Petugas Pemungut dimasukkan dalam daftar penerimaan harian (DPH PBB) dan disetorkan ke tempat pembayaran yang telah ditentukan. => Selanjutnya Petugas Pemungut menyetorkan hasil penerimaan PBB dari Wajib Pajak ke Bank atau KPG Tempat Pembayaran yang ditunjuk sebagaimana tercantum dalam SPPT/SKP/STP dengan menggunakan DPH dalam rangkap dengan ketentuan, untuk daerah7

yang tidak sulit sarana dan prasarananya, tetapi berdasarkan pertimbangan perlu ditunjuk Petugas Pemungut, penyetoran dilakukan setiap hari. Sedangkan untuk daerah yang sulit sarana dan prasarananya, penyetoran dapat dilakukan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sekali.

PENAGIHAN KEBIJAKSANAAN PENERBITAN STP

-

Penerbitan STP dilakukan secara selektif, dan tidak didahului dengan penerbitan Surat Teguran. Setelah Wajib Pajak menerima STP, Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang dan atau Surat Ketetapan Pajak, yang merupakan dasar penerbitan STP tersebut, tidak lagi dianggap sebagai dasar penagihan Pajak Bumi dan Bangunan. Jatuh tempo STP berdasarkan Undang-Undang PBB adalah 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya STP oleh Wajib Pajak.

-

Bagaimana tata cara pelaksanaan penagihan ? PELAKSANAAN PENAGIHAN

y

Tindakan pelaksanaan penagihan diawali dengan pengeluaran Surat teguran sampai pelaksanaan lelang. Namun demikian, dalam rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat Wajib Pajak, pemberitahuan melalui telepon, surat atau cara lain sebelum lewat saat jatuh tempo pembayaran hendaknya dilakukan. Tindakan pelaksanaan penagihan harus dilaksanakan sampai tuntas, dengan hasil akhir berupa pelunasan hutang pajak. Urutan Pelaksanaan Penagihan : - Penerbitan surat teguran; - Penerbitan surat paksa; - Penerbitan surat perintah melakukan penyitaan; - Pelaksanaan penyitaan; - Pengajuan/permintaan jadual waktu dan tempat pelelangan; - Pengumuman lelang; - Pelaksanaan lelang.

y

y

y

Catatan : a. Apabila wajib pajak melunasi hutang pajaknya sebelum pelaksanaan penyitaan, maka surat perintah melakukan penyitaan tersebut dicabut.

8

b. Apabila wajib pajak melunasi hutang pajaknya serta biaya-biaya lainnya sebelum pelaksanaan lelang, maka Pengumuman Lelang tersebut dibatalkan. Kapankan jangka waktu pelaksanaan penagihan ? JANGKA WAKTU PELAKSANAAN PENAGIHAN

y

Kegiatan tindakan pelaksanaan penagihan sejak tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan pengajuan permintaan penetapan tanggal dan tempat pelelangan meliputi jangka waktu paling cepat 39 hari. Penentuan jangka waktu tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :

y y y

Penerbitan Surat Tegoran sebagai awal tindakan pelaksanaan penagihan pajak dikeluarkan segera setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pembayaran dari jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam STP; Apabila Surat Tegoran tidak dipenuhi oleh Wajib Pajak/Penanggung Pajak, maka diterbitkan Surat Paksa. Jangka waktu penerbitan Surat Paksa paling lambat 21 hari sejak tanggal Pengeluaran Surat Tegoran. Surat Paksa memuat perintah kepada Wajib Pajak/Penanggung Pajak untuk melunasi hutang pajaknya dalam waktu 1 x 24 jam sejak tanggal pemberitahuan Surat Paksa. Jika dalam jangka waktu tersebut hutang pajak tidak dilunasi oleh Wajib Pajak/Penanggung Pajak maka diterbitkan Surat Perintah Melakukan Penyitaan.

y

Pengajuan permintaan penetapan tanggal dan tempat pelaksanaan lelang dilakukan paling cepat 10 sejak tanggal pelaksanaan penyitaan. Dalam jangka waktu tersebut dilakukan persiapan-persiapan yang menyangkut kelengkapan-kelengkapan :

- dokumen-dokumen piutang pajak (tindakan STP); - dokumen-dokumen yang menyangkut tindakan pelaksanaan penagihan (Surat Tegoran, Surat Paksa, Surat Perintah Melakukan Penyitaan, Berita Acara Penyitaan dan lain-lain

9

BAB 2 BEA PEROLEHAN HAK TANAH & BANGUNAN (BPHTB)1. SEJARAH BPHTBPada masa lalu diberlakukan pungutan dengan nama Bea Balik Nama (BBN) berdasarkan Staatsblad 1924 Nomor 291, dikenakan terhadap: 1. setiap perjanjian pemindahan hak atas harta tetap yang ada di wilayah Indonesia; termasuk: 2. peralihan harta karena hibah wasiat yang ditinggalkan oleh orang-orang yang bertempat tinggal terakhir di Indonesia Pada tahun 1960 diberlakukan UU Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, yang tidak lagi mengakui hak-hak kebendaan sebagaimana diatur dalam Ordonansi Balik Nama Staatsblad 1834 Nomor 27. Sejalan dengan diberlakukannya UU Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, Bea Balik Nama atas harta tetap berupa hak atas tanah tidak dipungut lagi.Terjadinya ketidak-adilan mengingat peralihan harta gerak seperti kendaraan bermotor dikenakan bea balik nama. Sebagai pengganti Bea Balik Nama atas harta tetap berupa hak atas tanah, diberlakukan lagi pungutan pajak atas pihak yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan dengan nama BPHTB berdasarkan UU Nomor 21 Tahun 1997. UU BPHTB sendiri telah diperbarui dengan UU nomor 20 Tahun 2000.

Pengertian BPHTBBagi anda yang sering berurusan dengan jual-beli tanah mungkin sudah tidak asing lagi dengan yang namanya BPHTB atau Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Bea Perolehan di sini maksudnya adalah Pajak, jadi secara sederhana Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan; Lantas apa itu Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan ? Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan (Sekedar mengingatkan bahwa beberapa contoh dari perbuatan hukum yaitu: Jual-Beli, Sewa-Menyewa, dsb. Sedangkan beberapa contoh dari peristiwa hukum misalnya adalah: waris dan hibah wasiat). Jadi pada prinsipnya apabila anda mendapatkan/memperoleh hak atas tanah dan bangunan, baik anda mendapatkannya dengan cara membeli ataupun ketika anda mewarisi (mendapatkan hak atas tanah tersebut dari hasil warisan), atau bahkan dari pemberian orang lain (baik hibah biasa ataupun hibah wasiat), Hak Atas Tanah dan Bangunan tersebut tetap dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Hak atas tanah yang dimaksud dalam konteks Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah hak atas tanah termasuk hak pengelolaan, berserta bangunan di tasnya sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Seperti: Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa), Undang-undang Nomor 16 tentang Rumah Susun dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk mengetahui lebih jauh tentang penjelasan dari hak atas tanah, anda dapat melihatnya pada artikel-artikel saya di blog ini. Namun pada prinsipnya Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) akan dibedakan dasar pengenaan pajaknya berdasarkan jenis hak atas tanahnya).

A. OBJEK PAJAK ( Pasal 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 )

10

a. b.

Yang menjadi objek pajak adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam butir a meliputi :

1). Pemindahan hak karena : a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. l. jual beli; tukar-menukar; hibah; hibah wasiat; waris; pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya; pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan; penunjukkan pembeli dalam lelang; pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap; penggabungan usaha; peleburan usaha; pemekaran usaha;

m. hadiah. 2). Pemberian hak baru karena : a. b.c.

kelanjutan pelepasan hak; diluar pelepasan hak.

Hak atas sebagaimana dimaksud dalam butir a adalah : 1. 2. 3. 4. 5. 6. hak milik; hak guna usaha; hak guna bangunan; hak pakai; hak milik atas satuan rumah susun; hak pengelolaan.

B. OBJEK PAJAK YANG DIKECUALIKAN

Objek pajak yang tidak dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah objek a. pajak yang diperoleh : - perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik ; negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan pembangunan - guna kepentingan umum ; - badan atau perwakilan organisasi Internasional yang ditetapkan oleh Menteri ;11

orang pribadi atau badan karena konversi hak dan perbuatan hukum lain dengan tidak - adanya perubahan nama : - karena wakaf : - karena warisan : - untuk digunakan kepentingan ibadah. Objek pajak yang diperoleh karena hibah wasiat dan hak pengelolaan pengenaan pajaknya b. diatur dengan Peraturan Pemerintah yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 111 Tahun 2000 dan Peraturan Pemerintah Nomor 112 TAHUN 2000

C. SUBJEK PAJAK

a. Yang menjadi subjek pajak adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan. b. Subjek pajak sebagaimana dimaksud pada butir a yang dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi Wajib Pajak menurut Undang-undang ini.

Tarif pajak ditetapkan sebesar 5% (lima persen). Dasar Pengenaan : 1. 2. Dasar pengenaan pajak adalah Nilai Perolehan Objek Pajak. Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada butir a dalam hal : a. b. c. d. e. f. g. Jual beli adalah harga transaksi; Tukar- menukar adalah nilai pasar objek pajak tersebut; Hibah adalah nilai pasar objek pajak tersebut; Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah nilai pasar objek pajak tersebut; Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan hak adalah nilai pasar objek pajak tersebut; Penunjukkan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang; Peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap adalah nilai pasar objek pajak tersebut; h. Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah nilai pasar objek pajak tersebut; i. 3. Pemberian hak baru atas tanah diluar pelepasan hak adalah nilai pasar objek pajak tersebut.

Apabila Nilai Jual Objek Pajak sebagaimana dimaksud diatas tidak diketahui atau lebih rendah daripada Nilai Jual Objek Pajak yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan pajak yang dipakai adalah Nilai Jual Objek Pajak Bumi dan Bangunan.

4.

Apabila Nilai Jual Objek Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud diatas belum ditetapkan, Menteri keuangan dapat menetapkan besarnya Nilai Jual Objek Pajak Bumi dan Bangunan.

12

5. 6. 7. 8.

Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara regional setinggi-tingginya Rp 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah). Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak adalah Nilai Perolehan Pajak dikurangi dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak. Besarnya pajak yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak. BPHTB = 5% x NPOPKP Contoh :

a.

Wajib Pajak "A" membeli tanah dan bangunan dengan Nilai Perolehen Objek Pajak (harga transaksi) Rp.29.000.000.-. Nilai Jual Objek Pajak Bumi dan Bangunan tersebut yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan adalah sebesar Rp. 35.000.000,- maka dipakai sebagai dasar pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah Rp. 35.000.000,- dan bukan Rp. 29.000.000,-.

b.

Pada tanggal 2 Januari 1998, Wajib Pajak "A" membeli tanah dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Rp 24.000.000,-. Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak Rp 30.000.000,-. Karena Nilai Perolehan Objek Pajak berada dlbawah Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak, maka perolehan hak atas tanah tersebut tidak dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

c.

Pada tanggal 1 Februari 1998, Wajib Pajak "A" membeli tanah dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Rp 52.000.000,-. Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak Rp 30.000.000,-. Maka, Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak adalah (Rp 52.000.000,00 - Rp 30.000.000,00) Rp 22.000.000,-

9.

Pengenaan objek pajak yang diatur khusus dengan Peraturan Pemerintah. 1. BPHTB yang terutang atas perolehan hak karena waris dan hibah wasiat adalah 50% (lima puluh persen) dari BPHTB yang seharusnya terutang (PP No. 111 Tahun 2000). 2. Hak pengelolaan :

Departemen, lembaga pemerintahan non departemen, PEMDA Tk I & II, lembaga pemerintahan lainnya, PERUM PERUMNAS terhutang 0% (nol persen). Apabila penerima Hak Pengelolaan selain dimaksud pada huruf a, maka BPHTB terutangnya 50% dari BPHTB. Keterangan : Kewajiban membayar BPHTB sebesar 0% harus dinyatakan dengan Surat Keterangan Bebas ( SKB ) BPHTB yang diterbitkan oleh KPPBB.

1. Siapa Subjek BPHTB ?

Subjek BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan. Subjek BPHTB yang dikenakan kewajiban membayar BPHTB menurut perundang-undangan perpajakan yang menjadi Wajib Pajak.

13

B. OBJEK PAJAK (250304 ) 1. Apa yang menjadi objek BPHTB ? Objek BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, meliputi: a. Pemindahan hak karena:y y y y

y y

y

y y

y

y

y

y

jual beli; tukar-menukar; hibah; hibah wasiat, yaitu suatu penetapan wasiat yang khusus mengenai pemberian hak atas tanah dan atau bangunan kepada orang pribadi atau badan hukum tertentu, yang berlaku setelah pemberi hibah wasiat meninggal dunia; waris; pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, yaitu pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan dari orang pribadi atau badan kepada Perseroan Terbatas atau badan hukum lainnya sebagai penyertaan modal pada Perseroan Terbatas atau badan hukum lainnya tersebut; pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, yaitu pemindahan sebagian hak bersama atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan kepada sesama pemegang hak bersama; penunjukan pembeli dalam lelang, yaitu penetapan pemenang lelang oleh Pejabat Lelang sebagaimana yang tercantum dalam Risalah Lelang; pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, yaitu adanya peralihan hak dari orang pribadi atau badan hukum sebagai salah satu pihak kepada pihak yang ditentukan dalam putusan hakim tersebut; penggabungan usaha, yaitu penggabungan dari dua badan usaha atau lebih dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu badan usaha dan melikuidasi badan usaha lainnya yang menggabung; peleburan usaha, yaitu penggabungan dari dua atau lebih badan usaha dengan cara mendirikan badan usaha baru dan melikuidasi badan-badan usaha yang bergabung tersebut; pemekaran usaha, yaitu pemisahan suatu badan usaha menjadi dua badan usaha atau lebih dengan cara mendirikan badan usaha baru dan mengalihkan sebagian aktiva dan pasiva kepada badan usaha baru tersebut yang dilakukan tanpa melikuidasi badan usaha yang lama; hadiah, yaitu suatu perbuatan hukum berupa penyerahan hak atas tanah dan atau bangunan yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan hukum kepada penerima hadiah.

14

b. Pemberian hak baru karena:y y

y

y y

1. kelanjutan pelepasan hak, yaitu pemberian hak baru kepada orang pribadi atau badan hukum dari Negara atas tanah yang berasal dari pelepasan hak; 2. di luar pelepasan hak, yaitu pemberian hak baru atas tanah kepada orang pribadi atau badan hukum dari Negara atau dari pemegang hak milik menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. o Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan. o Objek pajak yang diperoleh karena waris dan hibah wasiat pengenaan BPHTB-nya diatur lebih lanjut dalam PP Nomor 111 Tahun 2000; o Objek pajak yang diperoleh karena pemberian hak pengelolaan pengenaan BPHTB-nya diatur lebih lanjut dengan PP Nomor 112 Tahun 2000;

2. Apa saja yang termasuk hak atas tanah ? Hak atas tanah meliputi : a. hak milik, yaitu hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang pribadi atau badan-badan hukum tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah; b. hak guna usaha (HGU), yaitu hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dalam jangka waktu sebagaimana yang ditentukan oleh perundang-undangan yang berlaku; c. hak guna bangunan (HGB), yaitu hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunanbangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu yang ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. d. hak pakai, yaitu hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. e. hak milik atas satuan rumah susun, yaitu hak milik atas satuan yang bersifat perseorangan dan terpisah. Hak milik atas satuan rumah susun meliputi juga hak atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama yang semuanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan satuan yang bersangkutan.15

f. hak pengelolaan, yaitu hak menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya, antara lain, berupa perencanaan peruntukan dan penggunaan tanah, penggunaan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, penyerahan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dan atau bekerja sama dengan pihak ketiga.

3. Objek pajak apa saja yang tidak dikenakan BPHTB ?y y y

y y y

objek pajak yang diperoleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik; objek pajak yang diperoleh Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum; objek pajak yang diperoleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut; objek pajak yang diperoleh orang pribadi atau badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama; objek pajak yang diperoleh orang pribadi atau badan karena wakaf; objek pajak yang diperoleh orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.

y

y

y

o Yang dimaksud dengan tanah dan atau bangunan yang digunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum adalah tanah dan atau bangunan yang digunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan baik Pemerintah Pusat maupun oleh Pemerintah Daerah dan kegiatan yang semata-mata tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, misalnya, tanah dan atau bangunan yang digunakan untuk instansi pemerintah, rumah sakit pemerintah, jalan umum. o Yang dimaksud dengan konversi hak adalah perubahan hak dari hak lama menjadi hak baru menurut Undang-undang Pokok Agraria, termasuk pengakuan hak oleh Pemerintah. o Yang dimaksud wakaf adalah perbuatan hukum orang pribadi atau badan yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa hak milik tanah dan atau bangunan dan melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau kepentingan umum lainnya tanpa imbalan apapun.

16

Tata Cara Pembayaran BPHTB (UU No. 21 Tahun 1997 jo.UU Nomor 20 Tahun 2000 Ps 10 jo. 517/KMK.04/2000 jo. 168/PMK.03/2007 jo. KEP-269/PJ/2001) y Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang terutang wajib dibayar oleh Wajib Pajak atau Kuasanya dengan menggunakan Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (SSB) ke Tempat Pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Anggaran atas nama Menteri Keuangan di wilayah Kabupaten/Kota yang meliputi letak tanah dan atau bangunan. y Formulir SSB disediakan di PPAT/Notaris, Kantor Lelang, Kantor Pertanahan, KPPBB, Tempat Pembayaran BPHTB, dan tempat lain yang ditunjuk oleh Kepala KPPBB. y Wajib Pajak setelah melakukan pembayaran memperoleh SSB lembar ke-1, SSB Lembar ke-3, dan SSB Lembar ke-5. y Tempat Pembayaran BPHTB mengirimkan SSB Lembar ke-2 Bank Operasional V untuk diteruskan ke KPPBB yang bersangkutan setiap ada pelimpahan. y y y SSB Lembar ke-3 disampaikan oleh Wajib Pajak kepada KPPBB. SSB Lembar ke-4 disimpan oleh Tempat Pembayaran BPHTB sebagai arsip. SSB lembar ke-5 disampaikan oleh Wajib Pajak kepada PPAT/ Notaris/Kepala Kantor Lelang/Pejabat Lelang/Pejabat Pertanahan. y Dalam hal Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang seharusnya terutang nihil, maka Wajib Pajak tetap mengisi SSB dengan keterangan nihil. SSB nihil tersebut cukup diketahui oleh PPAT/Notaris/Kepala Kantor Lelang/Pejabat Lelang/Pejabat Pertanahan. y SSB nihil Lembar ke-2, SSB nihil Lembar ke-3, dan SSB nihil Lembar ke-4 disampaikan oleh Wajib Pajak kepada KPPBB. y Penyampaian SSB sebagaimana dimaksud di atas dilakukan dalam jangka jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari sejak tanggal pembayaran atau perolehan hak atas tanah dan atau bangunan.

SKBKB Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya BPHTB, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar (SKBKB) apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah BPHTB yang terutang kurang dibayar. BPHTB terutang dalam SKBKB adalah BPHTB terutang yang belum atau kurang dibayar ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga 2% (dua persen) sebulan dari jumlah kekurangan BPHTB tersebut untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung mulai saat terutangnya BPHTB sampai dengan diterbitkannya SKBKB dimaksud.SKBKBT17

Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya BPHTB, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan (SKBKBT) apabila ditemukan data baru dan atau data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah BPHTB yang terutang setelah diterbitkannya SKBKB. BPHTB terutang dalam SKBKBT adalah BPHTB terutang yang belum atau kurang dibayar ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan BPHTB tersebut, kecuali Wajib Pajak melaporkan sendiri sebelum dilakukan tindakan pemeriksaan.

KETENTUAN PAJAK BAGI PPAT/PEJABAT LELANGA. Dasar Hukum a. Pasal 24 ,25 dan 26 Undang-Undang tentang BPHTB. b. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1997 tentang Pelaporan atau Pemberitahuan Perolehan Hak atas Tanah dan atau Bangunan. c. Keputusan bersama Dirjen Pajak dan Dirjen Anggaran Nomor KEP-26/PJ.6/1997 dan 6399a/A.6/61/1997 tentang Tatacara Pembayaran/Penyetoran, Pemindah Bukuan Penerimaan, dan Pembagian Hasil Penerimaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan d. Keputusan bersama Dirjen Pajak dan Dirjen Anggaran Nomor KEP-27/PJ.6/1997 dan 6399b/A.6/61/1997 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penghitungan dan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. e. Keputusan bersama Kepala Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara dan Dirjen Pajak Nomor KEP27/PN/1997 dan KEP-28/PJ.6/1997 tentang Laporan Bulanan Pembuatan Risalah Lelang oleh Kepala Kantor Lelang / Pejabat Lelang . B. Ketentuan Bagi Pejabat 1. Sebelum menyerahkan Bukti Pembayaran Pajak :

-Pejabat Pembuat Akta Tanah / Notaris tidak dapat menandatangani Akta Pemindahan Hak atas Tanah dan atau Bangunan. -Kepala Kantor Lelang / Pejabat Lelang tidak dapat menandatangani Risalah Lelang Perolehan Hak atas Tanah dan atau Bangunan. -Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten / Kotamadya tidak dapat melakukan pendaftaran hak atas tanah atau peralihan hak atas tanah.

2. Pelaporan Perolehan Hak atas Tanah dan atau Bagunan dilaporkan oleh PPAT / Notaris, Kepala Kantor Lelang I Pejabat Lelang dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten / Kotamadya Kepada KPPBB yang meliputi letak tanah dan alau bangunan paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya.

18

Dalam hal terjadi perolehan hak atas tanah karena pemberian hak baru Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten / Kotamadya memberitahukan perolehan hak atas tanah dan atau bangunan kepada KPPBB yang meliputi letak tanah dan atau bangunan paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya.

3. Laporan atau pemberitahuan tersebut sekurang-kurangnya memuat :

nomor dan tanggal akta, Risalah Lelang atau surat keputusan pemberian hak atas tanah, status hak, letak tanah dan atau bangunan, luas lanah, luas bangunan, nomor dan tahun SPPT PBB, NJOP, harga transaksl atau nilal pasar, nama dan alamat pihak ke-3 yang mengalihkan dan yang memperoleh hak serta tanggal dan jumlah setoran.

C. Sanksi Bagi Pejabat y PPAT / Notaris dan Kepala Kantor Lelang dikenakan sanksi sebesar Rp. 5.000.000.- untuk setiap pelanggaran dan sebesar Rp. 100.000.- untuk setiap laporan. y Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten I Kotamadya dikenakan sanksi menurut Peraturan Perundangundangan yang berlaku ( Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 ).

19

BAB 3 BEA MATERAIPENGERTIAN BEA METERAI Bea Meterai merupakan pajak yang dikenakan terhadap dokumen yang menurut Undang-undang Bea Meterai menjadi objek Bea Meterai. Atas setiap dokumen yang menjadi objek Bea Meterai harus sudah dibubuhi benda meterai atau pelunasan Bea Meterai dengan menggunakan cara lain sebelum dokumen itu digunakan.

DASAR HUKUM 1. 2. Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perubahan Tarif Bea Meterai dan Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal Yang Dikenakan Bea Meterai. 3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 90/PMK.03/2005 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 15/PMK.03/2005 Tentang Bentuk, Ukuran, Warna, Dan Desain Meterai Tempel Tahun 2005 4. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 133b/KMK.04/2000 tentang Pelunasan Bea Meterai dengan Menggunakan Cara Lain. 5. Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-122b/PJ./2000 tentang Tatacara Pelunasan Bea Meterai dengan membubuhkan Tanda Bea Meterai Lunas dengan Mesin Teraan. 6. Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-122c/PJ./2000 tentang Tatacara Pelunasan Bea Meterai dengan membubuhkan Tanda Bea Meterai dengan Teknologi Percetakan. 7. Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-122d/PJ./2000 tentang Tatacara Pelunasan Bea Meterai dengan membubuhkan Tanda Bea Meterai dengan Sistem Komputerisasi. 8. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 476/KMK.03/2002 tentang Pelunasan Bea Meterai dengan Cara

20

Pemeteraian Kemudian. 9. Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-02/PJ./2003 tentang Tatacara Pemeteraian Kemudian.

10. Surat Edaran Nomor 29/PJ.5/2000 tentang Dokumen Perbankan yang dikenakan Bea Meterai.

ISTILAH-ISTILAH

-

Dokumen adalah kertas yang berisikan tulisan yang mengandung arti dan maksud tentang perbuatan, keadaan atau kenyataan bagi seseorang dan atau pihak-pihak lain yang berkepentingan.

-

Benda Meterai adalah Meterai tempel dan Kertas Meterai yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia.

-

Tanda tangan adalah tanda tangan sebagaimana lazimnya dipergunakan, termasuk pula paraf, teraan atau cap tanda tangan atau cap paraf, teraan cap nama atau tanda lainnya sebagai pengganti tanda tangan.

-

Pemeteraian kemudian adalah suatu cara pelunasan Bea Meterai yang dilakukan oleh Pejabat Pos atas permintaan pemegang dokumen yang Bea Meterainya belum dilunasi sebagaimana mestinya.

-

Pejabat pos adalah pejabat PT Pos dan Giro yang diserahi tugas melayani permintaan pemeteraian kemudian.

OBJEK BEA METERAI

21

Pada prinsipnya dokumen yang harus dikenakan meterai adalah dokumen menyatakan nilai nominal sampai jumlah tertentu, dokumen yang bersifat perdata dan dokumen yang digunakan di muka pengadilan, antara lain :

a. Surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata.

b. Akta-akta notaris termasuk salinannya.

c. Akta-akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah termasuk rangkap-rangkapnya.

d. Surat yang memuat jumlah uang yaitu: - yang menyebutkan penerimaan uang; - yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam rekening bank; - yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank yang berisi pengakuan bahwa utang uang seluruhnya atau sebagian telah dilunasi atau diperhitungkan.

e. Surat berharga seperti wesel, promes, aksep dan cek.

f. Dokumen yang dikenakan Bea Meterai juga terhadap dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka pengadilan yaitu surat-surat biasa dan surat-surat kerumahtanggaan, dan suratsurat yang semula tidak dikenakan Bea Meterai berdasarkan tujuannya, jika digunakan untuk tujuan lain atau digunakan oleh orang lain, lain dan maksud semula.

TIDAK DIKENAKAN BEA METERAI

22

Secara umum dokumen yang tidak dikenakan bea meterai adalah dokumen yang berhubungan dengan transaksi intern perusahaan, berkaitan dengan pembayaran pajak dan dokumen Negara.

Dokumen yang tidak termasuk objek Bea Meterai adalah:

1. Dokumen yang berupa: - surat penyimpanan barang; - konosemen; - surat angkutan penumpang dan barang; - keterangan pemindahan yang dituliskan diatas dokumen surat penyimpanan barang, konosemen, dan surat angkutan penumpang dan barang; - bukti untuk pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim; - surat pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim; surat-surat lainnya yang dapat disamakan dengan surat-surat di atas.

2. Segala bentuk ijazah

3. Tanda terima gaji, uang tunggu, pensiun, uang tunjangan dan pembayaran lainnya yang ada kaitannya dengan hubungan kerja serta surat-surat yang diserahkan untuk mendapatkan pembayaran itu.

4. Tanda bukti penerimaan uang negara dan kas negara, kas pemerintah daerah dan bank.

5. Kuitansi untuk semua jenis pajak dan untuk penerimaan lainnya yang dapat disamakan dengan itu ke kas negara, kas pemerintah daerah dan bank.

23

6. Tanda penerimaan uang yang dibuat untuk keperluan intern organisasi.

7. Dokumen yang menyebutkan tabungan, pembayaran uang tabungan kepada penabung oleh bank, koperasi, dan badan-badan lainnya yang bergerak di bidang tersebut

8. Surat gadai yang diberikan oleh Perum Pegadaian.

9. Tanda pembagian keuntungan atau bunga dan Efek, dengan nama dan bentuk apapun.

TATA CARA PELUNASAN BEA METERAI

SAAT TERUTANG Saat terutangnya bea meterai adalah saat sebelum dokumen yang terutang bea meterai tersebut digunakan. Dalam Pasal 5 Undang-undang No. 13 Tahun 1985 disebutkan saat terutangnya Bea Meterai adalah:

-

Dokumen yang dibuat oleh satu pihak adalah pada saat dokumen itu diserahkan; Dokumen yang dibuat oleh lebih dan satu pihak adalah pada saat selesainya dokumen dibuat; Dokumen yang dibuat di luar negeri adalah pada saat digunakan di Indonesia,

CARA PELUNASAN BEA METERAI

A. Pelunasan Bea Meterai dengan Menggunakan Meterai Tempel Cara mempergunakan meterai tempel : - Meterai Tempel direkatkan seluruhnya dengan utuh dan tidak rusak di atas dokumen yang dikenakan Bea Meterai. - Meterai Tempel direkatkan di tempat dimana tanda tangan akan dibubuhkan.

24

- Pembubuhan tanda tangan disertai dengan pencantuman tanggal, bulan, dan tahun dilakukan dengan tinta atau yang sejenis dengan itu, sehingga sebagian tanda tangan di atas kertas dan sebagian lagi di atas Meterai Tempel. - Jika digunakan lebih dan satu Meterai Tempel, tanda tangan harus dibubuhkan sebagian di atas semua Meterai Tempel dan sebagian di atas kertas. - Pelunasan Bea Meterai dengan menggunakan Meterai Tempel tetapi tidak memenuhi ketentuan di atas, dokumen yang bersangkutan dianggap tidak bermeterai.

B. Pelunasan Bea Meterai dengan Menggunakan Kertas Meterai Cara mempergunakan kertas meterai : - Sehelai Kertas Meterai hanya dapat digunakan untuk sekali pemakaian. - Kertas Meterai yang sudah digunakan, tidak boleh digunakan lagi. - Jika isi dokumen yang dikenakan Bea Meterai terlalu panjang untuk dimuat seluruhnya di atas Kertas Meterai yang digunakan, maka untuk bagian isi yang masih tertinggal dapat digunakan kertas tidak bermeterai. - Jika sehelai Kertas Meterai karena sesuatu hal tidak jadi digunakan dan dalam hal ini belum ditandatangani oleh yang berkepentingan, sedangkan dalam Kertas Meterai telah terlanjur ditulis dengan beberapa kata/kalimat yang belum merupakan suatu dokumen yang selesai dan kemudian tulisan yang ada pada Kertas Meterai tersebut dicoret dan dimuat tulisan atau keterangan baru, maka Kertas Meterai yang demikian dapat digunakan dan tidak Perlu dibubuhi meterai lagi. - Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud di atas tidak dipenuhi, dokumen yang bersangkutan dianggap tidak bermeterai.

C. Pelunasan dengan membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan Mesin Teraan

Pelunasan dengan cara membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan Mesin Teraan memerlukan beberapa syarat sebagai berikut:

1. Pelunasan Bea Meterai dengan mesin teraan meterai hanya diperkenankan kepada penerbit dokumen yang melakukan pemeteraian dengan jumlah rata-rata setiap hari minimal sebanyak 50 dokumen.

25

2. Penerbit dokumen yang akan melakukan pelunasan Bea Meterai dengan mesin teraan meterai harus melakukan prosedur sebagai berikut:

- mengajukan permohonan ijin secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak setempat dengan mencantumkan jenis/merk dan tahun pembuatan mesin teraan meterai yang akan digunakan, serta melampirkan surat pernyataan tentang jumlah rata-rata dokumen yang harus dilunasi Bea Meterai setiap hari. - melakukan penyetoran Bea Meterai di muka minimal sebesar Rp 15.000.000,- (lima belas juta rupiah) dengan menggunakan Surat Setoran Pajak Ke Kas Negara melalui Bank Persepsi. - Menyampaikan laporan bulanan penggunaan mesin teraan meterai kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak setempat paling lambat tanggal 15 setiap bulan. - Ijin penggunaan mesin teraan meterai berlaku selama 2 (dua) tahun sejak tanggal ditetapkannya, dan dapat diperpanjang selama memenuhi persyaratan.

D. Pelunasan

dengan

membubuhkan

tanda

Bea

Meterai

Lunas

dengan

Sistem

Komputerisasi

1.

Pelunasan Bea Meterai dengan sistem komputerisasi hanya diperkenankan untuk dokumen yang berbentuk surat yang memuat jumlah uang dalam Pasal 1 huruf d PP No. 24 Tahun 2000 dengan jumlah rata-rata pemeteraian setiap hari minimal sebanyak 100 dokumen.

- mengajukan permohonan ijin secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak dengan mencantumkan jenis dokumen dan perkiraan jumlah rata-rata dokumen yang akan dilunasi Bea Meterai setiap hari. - pembayaran Bea Meterai di muka minimal sebesar perkiraan jumlah dokumen yang harus

26

dilunasi Bea Meterai setiap bulan, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (ke Kas Negara melalui Bank Pensepsi). - menyampaikan laporan bulanan tentang realisasi penggunaan dan saldo Bea Meterai kepada Direktur Jenderal Pajak paling lambat tanggal 15 setiap bulan.

2.

Ijin pelunasan Bea Meterai dengan membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan sistem komputerisasi berlaku selama saldo Bea Meterai yang telah dibayar pada saat mengajukan ijin masih mencukupi kebutuhan pemeteraian 1 (satu) bulan berikutnya.

E. Tata Cara Pelunasan Bea Meterai Dengan Teknologi Percetakan

1. Pelunasan Bea Meterai dengan teknologi pencetakan hanya diperkenankan untuk dokumen yang berbentuk cek, bilyet giro, dan efek dengan nama dan dalam bentuk apapun.

2. Penerbit dokumen yang akan melakukan pelunasan Bea Meterai dengan teknologi pencetakan harus melakukan prosedur sebagai berikut:

- pembayaran Bea Meterai di muka sebesar jumlah dokumen yang harus dilunasi Bea Meterai, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak ke Kas Negara melalui Bank Persepsi. - mengajukan permohonan ijin secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak dengan mencantumkan jenis dokumen yang akan dilunasi Bea Meterai dan jumlah Bea Meterai yang telah dibayar.

27

3. Perum Peruri dan perusahaan sekuriti yang melakukan pembubuhan tanda Bea Meterai Lunas pada cek, bilyet giro, atau efek dengan nama dan dalam bentuk apapun, harus menyampaikan laponan bulanan kepada Direktur Jenderal Pajak paling lambat tanggal 10 setiap bulan.

4. Pelunasan Bea Meterai bagi dokumen yang dibuat di Luar Negeri Dokumen yang dibuat di luar negeri tidak dikenakan Bea Meterai sepanjang tidak digunakan di Indonesia.

TARIF BEA METERAI

1. Tarif Bea Meterai Rp 6.000,00 untuk dokumen sebagai berikut:

a. Surat Perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat pendata b. Akta-akta Notaris termasuk salinannya c. Surat berharga seperti wesel, promes, dan aksep selama nominalnya lebih dan Rp1.000.000,00.; d. Dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka Pengadilan, yaitu: - surat-surat biasa dan surat-surat kerumahtanggaan. - surat-surat yang semula tidak dikenakan Bea Meterai berdasarkan tujuannya, jika digunakan untuk tujuan lain atau digunakan oleh orang lain selain dan tujuan semula.

28

2. Untuk dokumen yang menyatakan nominal uang dengan batasan sebagai berikut:

- nominal sampai Rp250.000,- tidak dikenakan Bea Meterai - nominal antara Rp250.000,- sampai Rp1.000.000,- dikenakan Bea Meterai Rp3.000,- nominal diatas Rp 1.000.000,- dikenakan Bea Meterai Rp 6.000,-

3. Cek dan Bilyet Giro dikenakan Bea Meterai dengan tarif sebesar Rp 3.000,- tanpa batas pengenaan besarnya harga nominal.

4. Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang mempunyai harga nominal sampai dengan Rp1.000.000,- dikenakan Bea Meterai Rp 3.000,- sedangkan yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp 1.000.000,- dikenakan Bea Meterai Rp 6.000,-.

5. Sekumpulan Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang tercantum dalam surat kolektif yang mempunyai jumlah harga nominal sampai dengan Rp 1.000.000,- dikenakan Bea Meterai Rp 3.000,-, sedangkan yang mempunyai harga nominal lebih dan Rp 1.000.000,- dikenakan Bea Meterai dengan tarif sebesar Rp 6.000,-.

KETENTUAN KHUSUS DAN SANKSI

KETENTUAN KHUSUS

a.

Dokumen yang dibuat di luar negeri pada saat digunakan di Indonesia harus telah dilunasi Bea Meterai yang terutang dengan cara pemeteraian kemudian.

29

b.

Pejabat Pemerintah, hakim, panitera, jurusita, notaris, dan pejabat umum lainnya, masing-masing dalam tugas atau jabatannya tidak dibenarkan:

-

Menerima, mempertimbangkan atau menyimpan dokumen yang Bea Meterainya tidak atau kurang dibayar;

-

Melekatkan dokumen yang Bea Meterainya tidak atau kurang dibayar sesuai dengan tarifnya pada dokumen lain yang berkaitan;

-

Membuat salinan, tembusan, rangkapan atau petikan dan dokumen yang Bea Meterainya tidak atau kurang dibayar;

-

Memberikan keterangan atau catatan pada dokumen yang tidak atau kurang dibayar sesuai dengan tarif Bea Meterainya.

Pelangganan terhadap ketentuan tersebut dikenakan sanksi administratif sesuai Peraturan perundang-undangan yang berlaku.

SANKSI ADMINISTRASI

Sanksi ini dikenakan apabila terjadinya pelanggaran yang mengakibatkan Bea Meterai yang harus dilunasi kurang bayar.

-

Dokumen sebagaimana yang dimaksud dalam objek Bea Meterai tidak atau kurang dilunasi sebagaimana mestinya dikenakan denda administrasi sebesar 200% (dua ratus persen) dari Bea Meterai yang tidak atau kurang dibayar.

-

Pemegang dokumen atas dokumen sebagaimana dimaksud dalam huruf (a) harus melunasi Bea Meterai terutang berikut dendanya dengan cara pemeteraian kemudian.

30

DALUWARSA

Kewajiban pemenuhan Bea Meterai dan denda administrasi yang terutang menurut UndangUndang Bea Meterai, daluwarsa setelah lampau waktu 5 tahun, terhitung sejak tanggal dokumen dibuat.

KETENTUAN PIDANA

Dipidana sesuai dengan ketentuan dalam KUHP:

- Barang siapa meniru atau memalsukan meterai tempel kertas meterai atau meniru dan memalsukan tanda tangan yang perlu untuk mensahkan meterai;

- Barang siapa dengan sengaja menyimpan dengan maksud untuk diedarkan atau memasukkan ke Negara Indonesia meterai palsu, yang dipalsukan atau yang dibuat dengan melawan hak;

- Barang siapa dengan sengaja menggunakan, menjual, menawarkan menyerahkan, menyediakan untuk dijual atau dimasukkan ke Negara Indonesia meterai yang mereknya, capnya, tanda tangannya, tanda sahnya atau tanda waktunya mempergunakan telah dihilangkan seolah-olah meterai itu belum dipakai dana atau menyuruh orang lain menggunakannya dengan melawan haknya;

- Barang siapa menyimpan bahan-bahan atau perkakas-perkakas yang diketahuinya digunakan untuk melakukan salah satu kejahatan untuk meniru dan memalsukan benda meterai;

31

- Barang siapa dengan sengaja menggunakan cara lain (sesuai Pasal 7 UU Bea Meterai dipidana penjara selama-lamanya 7 tahun dan tindak pidana ini adalah bentuk kejahatan).

32