PBL Blok 23

download PBL Blok 23

of 16

Transcript of PBL Blok 23

Epistaksis Anterior et causa TraumaChristopher102011333 B1Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida WacanaJl. Arjuna Utara no. 6, Jakarta Barat 11510email: [email protected] Pustaka

PendahuluanEpistaksis atau perdarahan dari hidung banyak dijumpai sehari-hari baik pada anak maupun usia lanjut. Epistaksis seringkaii merupakan gejala atau manifestasi penyakit lain. Kebanyakan ringan dan sering dapat berhenti sendiri tanpa memerlukan bantuan medis, tetapi epistaksis yang berat, walaupun jarang, merupakan masalah kedaruratan yang dapat berakibat fatal bila tidak segera ditangani. Perdarahan hidung merupakan masalah yang sangat lazim, sehingga tiap dokter harus siap menangani kasus demikian. Kunci menuju pengobatan yang tepat adalah aplikasi tekanan pada pembuluh yang berdarah. Agaknya 90 persen kasus epistaksis anterior mudah diatasi dengan tekanan yang kuat, kontinu pada kedua sisi hidung tepat di atas kartilago ala nasi, dengan pasien dalam posisi duduk tegak. Posisi ini mengurangi tekanan vaskular, dan pasien dapat lebih mudah membatukkan darah di dalam faring. Namun bila ternyata kontrol tidak memadai, dokter perlu segera mencoba cara lain.1,2Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui kaitan epistaksis ec trauma dalam anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang, working dan differential diagnosis, etiologi, epidemiologi, patogenesis, manifestasi klinis, komplikasi, penatalaksanaan, pencegahan dan prognosis untuk konsep pemahaman dalam menegakkan diagnosis penyakit epistaksis anterior ec trauma.AnamnesisAnamnesis merupakan wawancara riwayat kesehatan pasien baik secara langsung atau tidak langsung yang memiliki tiga tujuan utama yaitu mengumpulkan informasi, membagi informasi, dan membina hubungan saling percaya untuk mendukung kesejahteraan pasien. Informasi atau data yang dokter dapatkan dari wawancara merupakan data subjektif berisi hal yang diutarakan pasien kepada dokter mulai dari keluhan utama hingga riwayat pribadi dan sosial. Anamnesis yang diketahui pada kasus ini adalah keluhat utama, riwayat penyakit sekarang, dan riwayat penyakit dahulu.3Epistaksis (mimisan) berarti pendarahan dari dalam hidung. Biasanya darah berasal dari hidung sendiri kendati pula dapat mengalir dari sinus paranasalis atau nasofaring. Biasanya riwayat medis yang disampaikan oleh pasien cukup dapat menunjukan lokasi asal pendarahan. Walaupun demikian, pada pasien yang berada adalam posisi berbaring atau yang pendarahannya berasal dari struktur posterior, mungkin darahnya tidak mengalir lewat lubang hidung, tetapi mengalir ke dalam tenggorok. Anda harus mengidentifikasi sumber pendarahannya dengan cermat apakah darah itu dari hidung ataukah darah yang dibatukan atau dimuntahkan keluar? Lakukan pemeriksaan untuk mengkaji lokasi pendarahan, keparahannya dan gejala lain yang menyertai. Apakah epistaksis ini merupakan permasalahan yang terjadi berali-kali? Apakah terdapat pula gejala mudah memar atau mudah berdarah di bagian tubuh yang lain?4Selain itu perlu ditanyakan juga; 1. Riwayat perdarahan sebelumnya2. Lokasi perdarahan3. Apakah darah terutama mengalir ke dalam tenggorokan (ke posterior) ataukah keluar dari hidung depan (anterior) bila pasien duduk tegak?4. Lama perdarahan dan frekuensinya5. Kecenderungan perdarahan6. Riwayat gangguan perdarahan dalam keluarga7. Hipertensi8. Diabetes melitus9. Penyakit hati10. Penggunaan antikoagulan11. Trauma hidung yang belum lama12. Obat-obatan, mis., aspirin, fenilbutazon (Butazolidin)2

Keluhan UtamaKeluhan utama adalah pasien 24 tahun keluar darah dari hidung setelah terkena bola, 15 menit yang lalu.

Riwayat Penyakit SekarangRiwayat penyakit sekarang adalah pasien 24 tahun keluar darah dari hidung setelah terkena bola, 15 menit yang lalu. Pasien sudah berusaha menghentikan pendarahan dengan cara memencet hidung tapi tidak berhenti.

Riwayat Penyakit DahuluRiwayat penyakit dahulu yang ada adalah sewaktu kecil pasien sering mengalami mimisan.

PemeriksaanPemeriksaan FisikPada pemeriksaan fisik kejang demam, dilakukan antara lain pemeriksaan kesadaran, tanda-tanda vital, dan rangsang meningeal.

Pemeriksaan KesadaranSeseorang disebut sadar bila ia sadar terhadap diri dan lingkungannya. Orang normal dapat berada dalam keadaan: sadar, mengantuk atau tidur. Bila ia tidur, ia dapat disadarkan oleh rangsang, misalnya rangsang nyeri, bunyi atau gerak. Rangsang ini disampaikan pada sistem aktivitas retikuler, yang berfungsi mempertahankan kesadaran. Sistem aktifitas retikuler terletak di bagian atas batang otak, terutama di mesensefalon dan hipotalamus. Lesi di otak, yang terletak di atas hipotalamus tidak akan menyebabkan penurunan kesadaran, kecuali bila lesinya luas dan bilateral. Lesi fokal di cerebrum, misalnya oleh tumor atau strok, tidak akan menyebabkan koma, kecuali bila letaknya dalam dan mengganggu hipotalamus.5Dalam memeriksa tingkat kesadaran, seorang dokter melakukan inspeksi, konversasi dan bila perlu memberikan rangsang nyeri.51. Inspeksi. Perhatikan apakah pasien berespons secara wajar terhadap stimulus visual, auditoar dan taktil yang ada di sekitarnya.2. Konversasi. Apakah pasien memberikan reaksi wajar terhadap suara konversasi, atau dapat dibangunkan oleh suruhan atau pertanyaan yang disampaikan dengan suara yang kuat ?3. Nyeri. Bagaimana respons pasien terhadap rangsang nyeri?5

Perubahan Patologis Tingkat KesadaranPenyakit dapat mengubah tingkat kesadaran ke dua arah, yaitu : meningkatkan atau menurunkan tingkat kesadaran. Peningkatan tingkat kesadaran dapat pula mendahului penurunan kesadaran, jadi merupakan suatu siklus. Pada kesadaran yang meningkat atau eksitasi serebral dapat ditemukan tremor, euforia, dan mania. Pada mania, penderitanya dapat merasakan ia hebat (grandios); alur pikiran cepat berubah, hiperaktif, banyak bicara dan insomnia (tak dapat atau sulit tidur).5Delirium. Penderita delirium menunjukkan penurunan kesadaran disertai peningkatan yang abnormal dari aktivitas psikomotor dan siklus tidur-bangun yang terganggu. Pada keadaan ini pasien tampak gaduh-gelisah, kacau, disorientasi, berteriak, aktivitas motoriknya meningkat, meronta-ronta. Penyebab delirium beragam, diantaranya ialah kurang tidur oleh berbagai obat, dan gangguan metabolik toksik. Pada manula, delirium kadang didapatkan waktu malam hari. Penghentian mendadak obat anti-depresan yang telah lama digunakan dapat menyebabkan delirium-tremens. Demikian juga bila pecandu alkohol mendadak menghentikan minum alkohol dapat mengalami keadaan delirium dengan keadaan gaduh-gelisah.5Secara sederhana tingkat kesadaran dapat dibagi atas: kesadaran yang normal (kompos mentis), somnolen, sopor, koma-ringan dan koma.5Somnolen. Keadaan mengantuk. Kesadaran dapat pulih penuh bila dirangsang. Somnolen disebut juga sebagai: latergi, obtundasi. Tingkat kesadaran ini ditandai oieh mudahnya penderita dibangunkan, mampu memberi jawaban verbal dan menangkis rangsang nyeri.5Sopor (stupor). Kantuk yang dalam. Penderita masih dapat dibangunkan dengan rangsang yang kuat, namun kesadarannya segera menurun lagi, la masih dapat mengikuti suruhan yang singkat, dan masih terlihat gerakan spontan. Dengan rangsang nyeri penderita tidak dapat dibangunkan sempurna. Reaksi terhadap perintah tidak konsisten dan samar. Tidak dapat diperoleh jawaban verbal dari penderita. Gerak motorik untuk menangkis rangsang nyeri masih baik.5Koma-ringan (semi-koma). Pada keadaan ini, tidak ada respons terhadap rangsang verbal. Refleks (kornea, pupil dlsbnya) masih baik. Gerakan terutama timbul sebagai respons terhadap rangsang nyeri. Reaksi terhadap rangsang nyeri tidak terorganisasi, merupakan jawaban primitif. Penderita sama sekali tidak dapat dibangunkan.5Koma (dalam atau komplit). Tidak ada gerakan spontan. Tidak ada jawaban sama sekali terhadap rangsang nyeri yang bagaimanapun kuatnya.5Pembagian tingkat kesadaran di atas merupakan pembagian dalam pengertian klinis, dan batas antara tingkatan ini tidak tegas. Tidaklah mengherankan bila kita menjumpai penggunaan kata soporo-koma, somnolen-sopor.5

Inspeksi dan PalpasiInspeksi permukaan anterior dan inferior hidung. Biasanya penekanan lembut pada ujung-depan hidung pasien dengan ibu jari tangan Anda akan memperlebar lubang hidung (nostril) dan dengan bantuan lampu senter kecil (penlight) atau cahaya otoskop, Anda dapat melihat sebagian pemandangan setiap vestibulum hidung. Jika ujung hidung tersebut terasa nyeri ketika disentuh, lakukan tindakan ini dengan hati-hati dan sedapat mungkin tidak memanipulasi hidung. Perhatikan setiap ketidaksimetrisan atau deformitas pada hidung.4Tes Obstruksi Nasal, jika diperlukan, dilakukan dengan menekan kedua cuping hidung secara bergantian dan meminta kepada pasien untuk menarik napas.4Inspeksi bagian dalam rongga hidung dengan alat otoskop dan spekulum telinga yang terbesar. Minta pasien untuk mendongakkan kepalanya sedikit ke belakang dan masukkan spekulum secara hati-hati ke dalam vestibulum setiap lubang hidung dengan menghindari sentuhan dengan septum nasi yang peka. Pegang tangkai otoskop pada satu sisi untuk menghindari bagian dagu pasien dan meningkatkan mobilitas Anda. Dengan mengarahkan spekulum ke posterior, kemudian ke atas melalui beberapa langkah kecil, coba untuk melihat konka inferior dan media, septum nasi, dan saluran hidung yang sempit di antara kedua struktur ini. Beberapa keadaan asimetris pada kedua sisi tersebut merupakan hal yang normal.4Pada pemeriksaan ini perlu diperhatikan:4 Mukosa hidung yang menutupi septum dan konka nasalis. Perhatikan warnanya dan setiap pembengkakan, perdarahan atau eksudat. Jika terdapat eksudat, perhatikanlah karakternya: jenuh, mukopurulen atau purulen. Normalnya mukosa hidung tampak sedikit lebih merah daripada mukosa mulut. Septum nasi (sekat rangga hidung). Perhatikan setiap deviasi, inflamasi atau perforasi pada septum nasi. Bagian anterior bawah septum nasi (yang dapat dijangkau oleh jari tangan pasien) merupakan daerah yang sering menjadi [ sumber epistaksis (mimisan}. Setiap abnormalitas seperti ulkus atau polip.4

Biasakan untuk meletakkan semua spekulum hidung atau telinga yang sudah dipakai ini di luar kotak instrumen Anda. Kemudian, buang spekulum disposabel atau jika spekulum tersebut masih akan digunakan lagi (misalnya spekulum nondisposabel dari logam), cuci dan lakukan desinfeksi secara benar. (Anda harus mengecek kebijakan yang dikeluarkan oleh rumah sakitt Anda mengenai prosedur ini).4Palpasi untuk menemukan nyeri tekan pada sinus. Tekan daerah sinus frontalis dari sebelah bawah alis mata dengan menghindari penekanan pada bola mata, kemudian tekan daerah sinus maksilaris.4

Pemeriksaan PenunjangPemeriksaan LaboratoriumPemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan adalah; pemeriksaan darah tepi lengkap, fungsi hemostasis, fungsi hati, dan fungsi ginjal.

Uji AlergiUntuk mengidentifikasi alergi sebagai penyebab keadaan patologis di hidung dan tenggorok, tes kulit dan pemeriksaan serologis dilakukan. Metode pemeriksaan yang paling mudah dan murah adalah tes jarum (prick test), yaitu berbagai alergen vang umum dimasukkan ke dalam kulit pasien. Reaksi kulit berupa kemerahan (eritema) dan urtika menandakan hiper- sensitivitas terhadap zat yang bersangkutan, tetapi tidak menunjukkan bahwa alergi menjadi pemicu timbulnya penyakit pada pasien. Pemeriksaan serologis untuk mendiagnosis alergi dapat dilakukan dengan menilai IgE nonspesifik total (PRIST) dan IgE spesifik-antigen (RAST, radioallergosorbent test). Akhirnya, uji provokasi intranasal akan memberikan petunjuk mengenai alergi sebagai penyebab timbulnya gejala. Alergen yang dicurigai ditaruh pada bagian bawah hidung. Pada uji tersebut, perubahan permeabilitas terhadap udara yang terjadi dinilai dengan rinomanometri (lihat bawah).6

RinomanometriPemeriksaan ini merupakan pengukuran secara objektif permeabilitas hidung terhadap udara. Dengan lubang hidung ditutup, perbedaan tekanan antara kedua sisi vestibulum dan nasofaring diukur. Nilai yang ditampilkan adalah volume per satuan waktu dalam bentuk grafik. Dengan menyemprotkan zat Vasokonstriktor (misalnya, naphazoline) ke dalam hidung, efek dekongesti mukosa hidung dapat diperiksa.6

Pemeriksaan CitraPada sinusitis akut, dilakukan pemeriksaan foto rontgen bidang oksipitomental dan oksipitofrontal (Gambar 2). Foto bidang oksipitomental memperlihatkan sinus maxillaris, sinus frontalis, dan sinus sphenoidalis; sedangkan foto bidang oksipitofrontal menilai sinus frontalis dan cellulae ethmoidales. Namun, nilai pemeriksaan sinus sphenoidalis tidak begitu besar. Dengan pemindaian CT, pembengkakan mukosa kronis dan proses neoplastik dapat diketahui. Pemeriksaan MRI terutama digunakan untuk menilai proses pada jaringan lunak, yang meragukan.6

Gambar 1. Pemeriksaan rontgen diagnostik untuk sinus paranasal, a) Bidang oksipitofrontal, b) bidang oksipitomental, c) foto rontgen oksipitomental memperlihatkan polisinusitis dengan air-fluid level di sinus maxillaris kiri.6 DiagnosisWorking DiagnosisPasien 24 tahun datang ke poliklinik UKRIDA dengan keluhan keluar darah dari hidung setelah terkena bola, 15 menit yang lalu. Pasien sudah berusaha menghentikan pendarahan dengan cara memencet hidung tapi tidak berhenti. Sewaktu kecil pasien sering mengalami mimisan. Pemeriksaan fisik: keluar darah dari hidung kanan, hiperemis. Tulang hidung tidak tampak deformitas. TD: 120/80 mmHg, Suhu: 36,5oC, RR: 18x/menit, Nadi: 86x/menit.Hanya pada perdarahan akut, diagnosis harus sedikit ditunda atau dilakukan bersamaan dengan pemberian terapi. Bila penyebab perdarahan belum diketahui, parameter sirkulasi harus diketahui lebih dahulu. Dengan pengambilan spesimen darah, diagnosis kerja pertama dapat disingkirkan atau ditegakkan melalui hasil pemeriksaan status koagulasi darah. Setelah mukosa dibius, dengan endoskopi hidung, letak sumber perdarahan dapat dicari.6Yang penting adalah menemukan letak relatif perdarahan terhadap concha hidung untuk menentukan apakah dari wilayah suplai darah a. carotis interna (di atas concha) atau a. carotis externa (di bawah concha). Dengan bantuan angiografi, sumber perdarahan juga dapat diketahui. Pada kecurigaan atas pertumbuhan neoplastik, diperlukan pemeriksaan CT.6Dari anamnesis, dapat diketahui Pasien 24 tahun datang ke poliklinik UKRIDA dengan keluhan keluar darah dari hidung setelah terkena bola, 15 menit yang lalu. Pasien sudah berusaha menghentikan pendarahan dengan cara memencet hidung tapi tidak berhenti. Sewaktu kecil pasien sering mengalami mimisan. Pemeriksaan fisik: keluar darah dari hidung kanan, hiperemis. Tulang hidung tidak tampak deformitas dan tanda-tanda vital dalam batas normal. Selain itu, perlu juga dilakukan pemeriksaan fisik dan penunjang sehingga dapat meyakinkan diagnosis, terutama untuk membedakan pendarahan anterior atau posterior, sehingga dapat ditegakan diagnosis kerjanya, yaitu epistaksis anterior et causa trauma.

Differential Diagnosis Epistaksis PosteriorDapat berasal dari arteri etmoidalis posterior atau arteri sfenopalatina. Perdarahan biasanya lebih hebat dan jarang dapat berhenti sendiri. Sering ditemukan pada pasien dengan hipertensi, arteriosklerosis atau pasien dengan penyakit kardiovaskuler karena pecahnya arteri sfenopalatina. Pada posisi duduk atau setengah tidur, darah mengalir ke arah tenggorokan.1Perdarahan dari bagian posterior lebih sulit diatasi, sebab biasanya perdarahan hebat dan sulit dicari sumbernya dengan pemeriksaan rinoskopi anterior. Untuk menanggulangi perdarahan posterior dilakukan pemasangan tampon posterior, yang disebut tampon Bellocq. Tampon ini dibuat dari kasa padat dibentuk kubus atau bulat dengan diameter 3 cm. Pada tampon ini terikat 3 utas benang, 2 buah di satu sisi dan sebuah di sisi berlawanan.1Untuk memasang tampon posterior pada perdarahan satu sisi, digunakan bantuan kateter karet yang dimasukkan dari lubang hidung sampai tampak di orofaring, lalu ditarik keluar dari mulut. Pada ujung kateter ini diikatkan 2 benang tampon Bellocq tadi, kemudian kateter ditarik kembali melalui hidung sampai benang keluar dan dapat ditarik. Tampon perlu didorong dengan bantuan jari telunjuk untuk dapat meliwati palatum mole masuk ke nasofaring. Bila masih ada perdarahan, maka dapat ditambah tampon anterior ke dalam kavum nasi. Kedua benang yang keluar dari hidung diikat pada sebuah gulungan kain kasa di depan nares anterior, supaya tampon yang terletak di nasofaring tetap di tempatnya. Benang lain yang keluar dari mulut diikatkan secara longgar pada pipi pasien. Gunanya ialah untuk menarik tampon keluar melalui mulut setelah 2-3 hari. Hati-hati mencabut tampon karena dapat menyebabkan laserasi mukosa.1Bila perdarahan berat dari kedua sisi, misalnya pada kasus angiofibroma, digunakan bantuan dua kateter masing-masing melalui kavum nasi kanan dan kiri, dan tampon posterior terpasang di tengah-tengah nasofaring.1Sebagai pengganti tampon Bellocq, dapat digunakan kateter Folley dengan balon. Akhir- akhir ini juga banyak tersedia tampon buatan pabrik dengan balon yang khusus untuk hidung atau tampon dari bahan gel hemostatik. Dengan semakin meningkatnya pemakaian endoskop, akhir-akhir ini juga dikembangkan teknik kauterisasi atau ligasi a.sfenopalatina dengan panduan endoskop.1

Epistaksis ec Kelainan KongenitalPada kelainan kongenital pembuluh darah hidung lebih lebar, tipis, jaringan ikat dan sel-selnya lebih sedikit, sehingga mudah terjadi epistaksis. Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis ialah teleangiektasis hemoragik herediter (hereditary hemorrhagic teleangiectasis Osler-Rendu-Weber disease). Juga sering terjadi pada Von Willenbrand disease.1Sindrom Osler Weber Rendu atau juga disebut teleangiektasi hemoragik herediter, merupakan suatu sindrom autosomal dominan yang ditandai oleh pembentukan lesi vaskular di sekitar bibir, rongga mulut dan hidung. Salah satu manifestasi utama yang lazim adalah epistaksis berulang hingga memerlukan transfusi lebih dari satu kali. Dermoplasti septum adalah suatu metode yang dirancang untuk mengendalikan epistaksis berulang. Prosedur operatif meliputi pengangkatan mukosa septum nasi anterior, dasar hidung dan bagian anterior konka inferior dengan hati-hati, dan mengganti mukosa ini dengan cangkok kulit ketebalan paruh. Prosedur biasanya dilakukan hanya pada satu sisi, namun dapat diulangi kemudian pada sisi satunya. Meskipun menimbulkan pembentukan krusta di dalam hidung, namun prosedur ini mungkin perlu dilakukan pada pasien yang telah mendapat transfusi berulang. Terapi hormonal telah memberi perbaikan pada sebagian pasien, sehingga intervensi bedah dapat dihindarkan.2

Epidemiologi Frekuensi epistaksis sulit untuk ditentukan karena sebagian besar kejadian dapat ditangani sendiri, dan oleh karena itu, tidak dilaporkan. Namun, dari beberapa sumber terakhir, kejadian seumur hidup dari epistaksis pada populasi umum adalah sekitar 60%, dengan lebih sedikit dari 10% mencari pertolongan medis.7Distribusi usia bervariasi, dengan puncak pada anak-anak (2-10 tahun) dan orang yang lebih tua (50-80 tahun). Epistaksis tidak terjadi pada bayi yang tidak terdapat koagulopati atau patologi hidung (misalnya, atresia choanal, neoplasma). Trauma lokal tidak terjadi sampai kemudian di tahun-tahun balita. Anak-anak dan remaja juga memiliki insiden lebih jarang. Pertimbangkan penyalahgunaan kokain pada pasien remaja. Prevalensi epistaksis cenderung lebih tinggi pada laki-laki (58%) daripada perempuan (42%).7

EtiologiPada dasarnya, penyebab epistaksis dapat dibedakan menjadi penyebab lokal dan sistemik. Pada kebanyakan kasus (90%), tempat perdarahan terdapat di pleksus Kiesselbach, suatu pleksus pembuluh darah di bagian depan septum hidung. Penyebab tersering adalah manipulasi jari (mengupil) atau trauma. Yang termasuk dalam trauma antara lain adalah (meskipun relatif jarang) perdarahan ke dalam rongga hidung akibat fraktur frontobasal, yang merobek a. ethmoidalis anterior. Penyebab lokal lainnya adalah ruptur pembuluh darah karena hembusan hidung yang kuat, rhinitis sicca, atau benda asing. Patologi septum hidung (perforasi, abses) biasanya juga menyebabkan epistaksis dengan derajat keparahan yang berbeda-beda. Peradangan mukosa hidung, misalnya pada infeksi virus atau pada alergi, meningkatkan kerentanan struktur yang memang rentan tersebut. Akhirnya, kemungkinan neoplasma sebagai penyebab perdarahan juga harus dipikirkan, misalnya fibroma nasofaring juvenil (sangat jarang). Pemicu sistemik yang tersering adalah penyakit sirkulasi-vas- kular (hipertensi, arteriosklerosis). Penyakit dengan diatesis hemoragik, baik kongenital maupun didapat, tidak secara langsung berisiko tinggi menimbulkan epistaksis, tetapi bila terjadi, perdarahan ringan sulit berhenti. Pengobatan untuk keadaan tersebut antara lain adalah antikoagulan atau inhibitor agregasi trombosit. Penyakit Osler, sebagai contoh vasopati sistemik, juga bermanifestasi berupa teleangiektasia di kulit dan mukosa mulut selain epistaksis berulang. Tabel 1 merangkum penyebab tersering epistaksis.6

Tabel 1. Penyebab tersering epistaksis.6

Perdarahan dapat terjadi karena trauma ringan misalnya mengorek hidung, benturan ringan, bersin atau mengeluarkan ingus terlalu keras, atau sebagai akibat trauma yang lebih hebat seperti kena pukul, jatuh atau kecelakaan lalu-lintas. Selain itu juga bisa terjadi akibat adanya benda asing tajam atau trauma pembedahan.1Epistaksis sering juga terjadi karena adanya spina septum yang tajam. Perdarahan dapat terjadi di tempat spina itu sendiri atau pada mukosa konka yang berhadapan bila konka itu sedang mengalami pembengkakan.1

PatofisiologisMula-mula pemeriksa harus memperhatikan apakah sumber perdarahan berada pada sisi kanan atau kiri, bagian depan atau belakang hidung, dan di atas atau di bawah meatus media, yang secara kasar membagi suplai darah atas dua kontributor utama, arteri karotis ekstema dan intema. Arteri oftalmika yang berasal dari arteri karotis intema, mencabangkan arteri etmoidalis anterior dan posterior. Keduanya menyuplai bagian superior hidung. Suplai vaskular hidung lainnya berasal dari arteri karotis ekstema dan cabang-cabang utamanya. Arteri sfenopalatina membawa darah untuk separuh bawah dinding hidung lateral dan bagian posterior septum.2Semua pembuluh darah hidung saling berhubungan melalui beberapa anastomosis. Suatu pleksus vaskular di sepanjang bagian anterior septum kartilaginosa menggabungkan sebagian anastomosis ini dan dikenal sebagai Little area atau pleksus Kiesselbach. Karena ciri vaskularnya dan kenyataan bahwa daerah ini merupakan subjek trauma fisik dan lingkungan berulang, maka merupakan lokasi epistaksis tersering.2 Sebagian besar epistaksis (95%) terjadi di little area. Bagian septum nasi anterior inferior merupakan area yang berhubungan langsung dengan udara, hal ini menyebabkan mudah terbentuknya krusta, fisura dan retak karena trauma pada pembuluh darah tersebut. Walaupun hanya sebuah aktifitas normal dilakukan seperti menggosok-gosok hidung dengan keras, tetapi hal ini dapat menyebabkan terjadinya trauma ringan pada pembuluh darah sehingga terjadi ruptur dan perdarahan. Hal ini terutama terjadi pada membran mukosa yang sudah terlebih dahulu mengalami inflamasi akibat dari infeksi saluran pernafasan atas, alergi atau sinusitis.8,9Epistaksis anterior kebanyakan berasal dari pleksus Kisselbach di septum bagian anterior atau dari arteri etmoidalis anterior. Perdarahan pada septum anterior biasanya ringan karena keadaan mukosa yang hiperemis atau kebiasaan mengorek hidung dan kebanyakan terjadi pada anak, seringkali berulang dan dapat berhenti sendiri.1

Gambar 2. Pembuluh darah hidung.(sumber: http://emedicine.medscape.com/article/80526-overview#a01)

Manifestasi KlinisPendarahan keluar dari hidung pada saat pasien menegakkan badannya. Pendarahan biasanya dapat berhenti sendiri.

PenatalaksanaanPrinsip penatalaksanaan epistaksis ialah perbaiki keadaan umum, cari sumber perdarahan, menghentikan perdarahan, cari faktor penyebab untuk mencegah berulangnya perdarahan.1Bila pasien datang dengan epistaksis, perhatikan keadaan umumnya, nadi, pernapasan serta tekanan darahnya. Bila ada kelainan, atasi terlebih dulu misalnya dengan memasang infus. Jalan napas dapat tersumbat oleh darah atau bekuan darah, perlu dibersihkan atau diisap.1Untuk dapat menghentikan perdarahan perlu dicari sumbernya, setidaknya dilihat apakah perdarahan dari anterior atau posterior.1Alat-alat yang diperlukan untuk pemeriksaan ialah lampu kepala, spekulum hidung dan alat pengisap. Anamnesis yang lengkap sangat membantu dalam menentukan sebab perdarahan.1Pasien dengan epistaksis diperiksa dalam posisi duduk, biarkan darah mengalir keluar dari hidung sehingga bisa dimonitor. Kalau keadaanya lemah sebaiknya setengah duduk atau berbaring dengan kepala ditinggikan. Harus diperhatikan jangan sampai darah mengalir ke saluran napas bawah.1Pasien anak duduk dipangku, badan dan tangan dipeluk, kepala dipegangi agar tegak dan tidak bergerak-gerak.1Sumber perdarahan dicari untuk membersihkan hidung dari darah dan bekuan darah dengan bantuan alat pengisap. Kemudian pasang tampon sementara yaitu kapas yang telah dibasahi dengan adrenalin 1/5000-1/10.000 dan pantocain atau lidocain 2% dimasukkan ke dalam rongga hidung untuk menghentikan per- darahanan mengurangi rasa nyeri pada saat dilakukan tindakan selanjutnya. Tampon itu dibiarkan selama 10-15 menit. Setelah terjadi vasokonstriksi biasanya dapat dilihat apakah perdarahan berasal dari bagian anterior atau posterior hidung.1

Menghentikan perdarahan anteriorPerdarahan anterior seringkali berasal dari pleksus Kisselbach di septum bagian depan. Apabila tidak berhenti dengan sendirinya, perdarahan anterior, terutama pada anak, dapat dicoba dihentikan dengan menekan hidung dari luar selama 10-15 menit, seringkali berhasil.1Bila sumber perdarahan dapat terlihat, tempat asal perdarahan dikaustik dengan larutan Nitras Argenti (AgN03) 25-30%. Sesudahnya area tersebut diberi krim antibiotik.1Bila dengan cara ini perdarahan masih terus berlangsung, maka perlu dilakukan pemasangan tampon anterior yang dibuat dari kapas atau kasa yang diberi pelumas vaselin atau salep antibiotik. Pemakaian pelumas ini agar tampon mudah dimasukkan dan tidak menimbulkan perdarahan baru saat dimasukkan atau dicabut. Tampon dimasukkan sebanyak 2-4 buah, disusun dengan teratur dan harus dapat menekan asal perdarahan.1 Pada perdarahan di bagian rongga hidung anterior, biasanya dimasukkan kasa yang sudah dioles dengan salep. Cara lain adalah menggunakan tampon busa yang akan mengembang sendiri karena kelembaban dan menimbulkan penekanan. Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa pada perdarahan satu sisi, pemasangan tampon selalu dilakukan di kedua sisi untuk memberikan tekanan yang memadai di tempat perdarahan. Pada perdarahan yang tidak jelas sumbernya, kateter balon dengan dua ruang dimasukkan. Setelah terisi dengan air, kateter tersebut memberikan penekanan pada rongga hidung dan pada bagian minor nasofaring. Dengan demikian, aliran darah ke dalam tenggorokan dapat dihindari. Keuntungan lainnya adalah pemasangan kateter yang mudah dan tidak terlalu membebani bagi pasien. Bila kateter balon tidak memberikan hasil yang memuaskan, tampon Bellocq dapat dipasang sebagai tampon belakang. Pada pemasangan tampon tersebut, suatu gulungan kapas dipasang pada area choana atau nasofaring dan bagian hidung lainnya disumbat dengan tampon anterior. Akan tetapi, risiko aspirasi dengan adanya gulungan kapas tersebut meningkat, dan dapat menimbulkan gejala depresi pernapasan melalui penekanan di batang otak. Pemasangan tampon sebaiknya tidak melebihi 2-3 hari di hidung, untuk menghindari infeksi dan nekrosis jaringan akibat penekanan. Profilaksis dengan antibiotika dapat dipertimbangkan. Selama 2 hari ini dilakukan pemeriksaan penunjang untuk mencari faktor penyebab epistaksis. Bila perdarahan masih belum berhenti, dipasang tampon baru.1

Gambar 3. Tampon hidung anterior untuk menghentikan pendarahan di bagian anterior hidung.6

Pada perdarahan yang tidak kunjung berhenti, pembuluh darah utama dapat diligasi atau diembolisasi. Pembuluh yang menerima tindakan tersebut pada perdarahan di atas kerangka tengah hidung antara lain aa. ethmoidales, sedangkan pada perdarahan di bagian bawah rongga hidung, a. sphenopalatina atau a. maxillaris. Pada prosedur tersebut, ligasi sebaiknya dilakukan sedekat mungkin dengan sumber perdarahan.1

KomplikasiKomplikasi dapat terjadi sebagai akibat dari epistaksisnya sendiri atau sebagai akibat dari usaha penanggulangan epistaksis.1Akibat perdarahan yang hebat dapat terjadi aspirasi darah ke dalam saluran napas bawah, juga dapat menyebabkan syok, anemia dan gagal ginjal. Turunnya tekanan darah secara mendadak dapat menimbulkan hipotensi, hipoksia, iskemia serebri, insufisiensi koroner sampai infark miokard sehingga dapat menyebabkan kematian. Dalam hal ini pemberian infus atau tranfusi darah harus dilakukan secepatnya.1Akibat pembuluh darah yang terbuka dapat terjadi infeksi, sehingga perlu diberikan antibiotik.1Pemasangan tampon dapat menyebabkan rino-sinusitis, otitis media, septikemia atau toxic shock syndrome. Oleh karena itu, harus selalu diberikan antibiotik pada setiap pemasangan tampon hidung, dan setelah 2-3 hari tampon harus dicabut. Bila perdarahan masih berlanjut dipasang tampon baru.1Selain itu dapat terjadi hemotimpanum sebagai akibat mengalirnya darah melalui tuba Eustachius, dan airmata berdarah (bloody tears), akibat mengalirnya darah secara retrograd melalui duktus nasolakrimalis.1Pemasangan tampon posterior (tampon Belloq) dapat menyebabkan laserasi palatum mole atau sudut bibir, jika benang yang keluar dari mulut terlalu ketat dilekatkan pada pipi. Kateter balon atau tampon balon tidak boleh dipompa terlalu keras karena dapat menyebabkan nekrosis mukosa hidung atau septum.1

PencegahanMencegah pendarahan berulang. Setelah perdarahan, untuk sementara dapat diatasi dengan pemasangan tampon, selanjutnya perlu dicari penyebabnya. Perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium darah lengkap, pemeriksaan fungsi hepar dan ginjal, gula darah, hemostasis. Pemeriksaan foto polos atau CT scan sinus bila dicurigai ada sinusitis. Konsul ke Penyakit Dalam atau Kesehatan Anak bila dicurigai ada kelainan sistemik.1

PrognosisUntuk sebagian besar dari populasi umum, epistaksis hanyalah gangguan. Namun, masalahnya kadang-kadang dapat mengancam jiwa, terutama pada pasien lanjut usia dan pada pasien dengan masalah medis yang mendasari. Untungnya , kematian jarang terjadi dan biasanya disebabkan oleh komplikasi dari hipovolemia, dengan perdarahan berat atau kondisi penyakit yang mendasarinya.7Secara keseluruhan, prognosis baik tetapi variabel, dengan perawatan yang tepat, prognosis akan sangat baik. Ketika perawatan suportif yang memadai disediakan dan masalah medis yang mendasari dikendalikan, kebanyakan pasien tidak mungkin untuk mengalami perdarahan ulang apapun. Orang lain mungkin memiliki pendarahan berulang yang menghilang secara spontan atau dengan pengobatan mandiri minimal. Sebagian kecil pasien mungkin memerlukan pengobatan yang lebih agresif.7

PenutupEpistaksis sebenarnya merupakan suatu gejala bukan suatu penyakit. Penyebab epistaksis banyak, namun yang paling sering adalah manipulasi jari atau trauma. Pada epistaksis perlu dibedakan apakah pendarahan anterior atau posterior. Cara membedakannya adalah dengan meminta pasien untuk duduk tegak, dan kemudian melihat aliran darah apakah melalui hidung (anterior) atau tenggorokan (posterior). Penanganannya harus dilakukan sesegera mungkin. Apabila semakin cepat dan tepat penanganannya, maka akan semakin baik prognosisnya.

Daftar Pustaka1. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala dan leher. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2009. h. 155-92. Adams GL, Boies LR, Higler PH. Boies: buku ajar penyakit THT. Edisi ke-6. Jakarta: EGC; 2013. h. 223-6.3. Bickley LS, Szilagyi PG. Pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan bates: buku saku. Edisi ke-5. Jakarta: EGC; 2008. h.1-9.4. Bickley LS. Buku ajar pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan bates. Edisi ke-8. Jakarta: EGC; 2009. h. 142-3, 162-3.5. Lumbantobing SM. Neurologi klinik pemeriksaan fisik dan mental. Jakarta: Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2013. h. 7-11, 17-20.6. Nagel P, Gurkov R. Dasar-dasar ilmu THT. Jakarta: EGC; 2012. H. 34-7, 50-1.7. Epitaxis, diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/863220-overview#a0156, 15 Maret 2014.8. Thompson, Sharon W. Epsitaksis in Emergency Care of Children. Boston : Jones and Barlett Publisher, 1990. h. 190-1.9. Soudheiner, Judith M. The Nose & Paranasal Sinuses in Hay, Wiiliam W. et.al. Current Pediatric Diagnose and Treatment. 6th Ed. USA : The Mc. Groww Hill Companies Inc, 2003. h. 479.

1