PBL 21

47
Gangren Diabetikum et causa Diabetes Mellitus 2 Friedi Kristian Carlos C2 / 102010317 Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jalan Arjuna Utara no.6 Jakarta Barat 11510 [email protected] Pendahuluan Gangren Diabetikum adalah sebuah nekrosis yang berkelanjutan dari kulit dan struktur lain yang mendasarinya. Gangren pedis diabetikum adalah kelainan pada ekstremitas bawah yang merupakan komplikasi kronik diabetes melitus. 1 1

description

pbl

Transcript of PBL 21

Gangren Diabetikumet causa Diabetes Mellitus 2

Friedi Kristian CarlosC2 / 102010317

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida WacanaJalan Arjuna Utara no.6 Jakarta Barat [email protected] Gangren Diabetikum adalah sebuah nekrosis yang berkelanjutan dari kulit dan struktur lain yang mendasarinya. Gangren pedis diabetikum adalah kelainan pada ekstremitas bawah yang merupakan komplikasi kronik diabetes melitus.1Prevalensi komplikasi kaki diabetes didapatkan jauh lebih besar di negara berkembang dibandingkan dengan negara maju yaitu 2- 4%. Diperkirakan bahwa 15% pasien diabetes akan mengalami ulkus/ gangren pedis diabetikum seiring dengan perjalanan penyakit. Sekitar 14- 24% di antara pasien ulkus/ gangren pedis diabetikum tersebut memerlukan tindakan amputasi.1Komplikasi kaki diabetes merupakan penyebab tersering yang menyebabkan pasien diabetes dirawat di rumah sakit. Sebagian besar komplikasi kaki diabetes mengakibatkan amputasi dan lebih dari 85% kasus amputasi didahului oleh ulserasi kaki. Risiko amputasi ekstremitas bawah 15 46 kali lebih tinggi pada penderita diabetes dibandingkan dengan non diabetes.1

ANAMNESISAnamnesis, meliputi:21. Identitas Pasien2. Riwayat Kesehatan pasien sekarang :Punggung kaki kanannya terdapat luka kehitaman, bagian tengah mengelupas disertai keluarnya cairan kental seperti susu kental kemerahan dan berbau busuk, kaki dan badan terasa demam dan menolak dirawat di RS tersebut.3. Riwayat Kesehatan pasien sebelumnya,terdiri dari : Riwayat berobat7 hari yang lalu pasien ke RS lain dan mendapat suntikan insulin 3x10 Unit dan obat minum Ciprofloxacin 2x500 mg, serta kompres Rivanol. Riwayat diabetes mellitus atau kencing manis Riwayat hipertensi4. Riwayat Kesehatan Keluarga5. Keadaan kesehatan lingkunganPemeriksaan Fisik Pemeriksaan Fisik, meliputi:21. Keadaan Umum Tekanan Darah: 145/90 mmHg Nadi Pernafasan Temperatur Berat Badan: 51 kg Tinggi Badan: 168 cm2. Keadaan Spesifik Thorax : Bentuk normal Cor :I : Iktus kordis tidak terlihatP : Iktus kordis tidak terabaP : Batas atas jantung ICS II, batas kanan ICS V LPS dekstra, batas kiri jantung ICS V LMC sinistraA : murmur, gallop

Pulmo :I : Statis, dinamis: simetris, retraksi, sela iga melebar P : Stem fremitus kanan sama dengan kiriP : Sonor pada kedua lapangan paruA : normal, ronkhi, wheezing

Abdomen : I : datar, simetrisP : lemas, hepar dan lien tak teraba, nyeri tekan P : Timpani A : Bising usus (+) normal

Ekstremitas : kaki kanan edema pretibial (+), kaki kiri edema (-) Pemeriksaan kaki diabetik: Warna kulit Kondisi kulit (lembab/kering/normal) Atrofi/hipotrofi otot Lesi kulit (infiltrate, ulcus, abses, gangren) Gerakan (tebatas/normal)

PalpasiPemeriksaan kaki diabetik: Raba suhu Pulsasi a. dorsalis pedis dan a. tibialis posterior Sensibilitas dengan monofilamentPemeriksaan refleks fisiologis (APR, KPR) dan patologis (Babinsky) PerkusiMelakukan pemeriksaan apakah ada pembesaran pada organ-organ abdomen. AuskultasiDilakukan di masing-masing kuadran dan thorak untuk mendengarkan ada tidaknya bising/peristaltik usus, maupun Bruit juga suara nafas. Kulit: turgor kulit

Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan kadar glukosa darah Bahan pemeriksaan kadar glukosa darahBahan pemeriksaan yang dianjurkan adalah plasma darah vena. Jika darah vena sulit didapatkan maka dapat dipakai darah utuh (whole blood) vena atau kapiler dengan memperhatikan angka kriteria diagnosis yang sesuai dengan pembakuan oleh WHO. Kadar glukosa darah kapiler lebih tinggi 7-10% daripada kadar glukosa darah vena. 1Glukosa dalam serum atau plasma yang disimpan pada suhu 4C dapat bertahan sampai 48 jam. Hal ini dapat dilakukan jika sampel diberikan pengawet NaF sebanyak 2 mg/ml. 1 Waktu pengambilan sampel darah Kadar Glukosa Darah PuasaPengambilan sampel darah dilakukan setelah pasien berpuasa minimal 8 jam sebelum pemeriksaan. 1 Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO)Pemeriksaan ini dilakukan apabila berdasarkan hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa diagnosis diabetes melitus belum dapat dipastikan. 1Cara pemeriksaan TTGO: 11. Tiga hari sebelum pemeriksaan pola makan dan aktivitas seperti biasa.2. Puasa minimal 8 jam sebelum pemeriksaan, minum air putih diperbolehkan.3. Periksa kadar glukosa darah puasa4. Berikan 75 gram glukosa (orang dewasa) atau 1,75 gram/kgBB (anak-anak), dilarutkan dengan 250 ml air, kemudian diminum habis dalam waktu 5 menit.5. Periksa kadar glukosa darah 2 jam sesudah pembebanan glukosa.6. Selama pemeriksaan pasien yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok.

Pemeriksaan urin rutin, yang meliputi: 1 Jumlah/volume urin Pemeriksaan makroskopik (warna, kejernihan, berat jenis, bau, pH) Protein Glukosa Sedimen

Pemeriksaan C-peptideDikeluarkan bersama insulin ke dalam peredaran darah. Oleh karena itu, C-peptide menggambarkan fungsi sel pulau Langerhans kelenjar pankreas. Nilai rujukan: 0,5 2,0 ng/mL. 1

PemeriksaanNilai RujukanSatuan

HEMATOLOGI

Hemoglobin14,0-18,0g/dl

Leukosit4,0-10,5ribu/ul

Eritrosit4,50-6,00Juta/ul

Hematokrit40-50Vol%

Trombosit150-450Ribu/ul

RDW-CV11,5-14,7%

MCV-MCH-MCHC

MCV80,0-97,0Fl

MCH27,0-32,0Pg

MCHC32,0-38,0%

Hitung Jenis

Neutrofil %50,0-70,0%

Limfosit %25,0-40,0%

Basofil %0,0-1,0%

Eosinofil %1,0-3,0%

Monosit %3,0-9,0%

MID %4,0-11,0%

Neutrofil #2,50-7,00Ribu/ul

Limfosit #1,25-4,00Ribu/ul

Basofil # 120%, IMT >23 kg/m23. Penderita hipertensi > 140/90 mmHg4. Riwayat keluarga DM5. Riwayat DM pada kehamilan6. Riwayat kehamilan dengan BBL bayi > 4 kg atau bayi cacat7. Disipidemia: cholesterol HDL > 40 mg/dl dan/ trigliserida >250 mg/dl8. Pernah TGT/GDPTManifestasi klinisAntara lain:1,3 Trias DM: 1). Poliuria karena glukosa di urin menimbulkan efek osmotic yang menarik H2O bersamanya sehingga menimbulkan dieresis osmotic. Cairan yang berlebihan keluar dari tubuh menyebabkan dehidrasi yang pada gilirannya dapat menyebabkan kegagalan sirkulasi perifer karena volume darah turun mencolok. 2). Polidipsia yang disebakan karena sel-sel kehilangan air karena tubuh mengalami dehidrasi akibat perpindahan osmotic air dari dalam sel ke cairan ekstrasel yang hipertonik. Sel-sel otak sangat peka tehadap penciutan, sehingga timbul gangguan fungsi system sarat dengan rasa haus yang berlebihan pada pasien. 3). Polifagia, karena terjadi defisiensi glukosa intrasel, maka nafsu makan meningkat sehingga pemasukan makanan berlebihan. 80 % kelebihan berat badan. 20 % datang dengan komplikasi, misalnya penyakit jantung iskemik, penyakit cerebrovascular, gagal ginjal, ulkus pada kaki dan gangguan pada penglihatan. Asthenia Kesemutan Mengantuk Sering luka tidak mau sembuh Visus menurun Gatal-gatal pada kulit Gigi mudah goyahPatofisiologi DM Tipe 2Diabetes melitus tipe 2 atau Non-insuline Dependent Diabetic Mellitus (NIDDM) merupakan suatu kelainan yang heterogenik dengan karakter utama hiperglikemik kronik. Meskipun pola pewarisannya belum jelas, faktor genetik dikatakan memiliki peranan yang penting dalam munculnya DM tipe 2 ini. Faktor genetik ini akan berinteraksi dengan faktor-faktor lingkungan seperti gaya hidup, diet, rendahnya aktifitas fisik, obesitas dan tingginya kadar asam lemak bebas.1,4Patofisiologi DM tipe 2 terdiri atas 3 mekanisme, yaitu;1,41. Resistensi insulin pada jaringan perifer.2. Defek sekresi insulin.3. Gangguan regulasi produksi glukosa oleh hepar.

Resistensi terhadap insulinResistensi terhadap insulin terjadi disebabkan oleh penurunan kemampuan hormon insulin untuk bekerja secara efektif pada jaringan-jaringan target perifer (terutama pada otot dan hati), ini sangat menyolok pada DM tipe 2. Resistensi terhadap insulin ini merupakan hal yang relatif. Untuk mencapai kadar glukosa darah yang normal dibutuhkan kadar insulin plasma yang lebih tinggi. Pada orang dengan DM tipe 2, terjadi penurunan pada penggunaan maksimum insulin, yaitu lebih rendah 30 60 % daripada orang normal. Resistensi terhadap kerja insulin menyebabkan terjadinya gangguan penggunaan insulin oleh jaringan-jaringan yang sensitif dan meningkatkan pengeluaran glukosa hati. Kedua efek ini memberikan kontribusi terjadinya hiperglikemi pada diabetes. Peningkatan pengeluaran glukosa hati digambarkan dengan peningkatan FPG (Fasting Plasma Glukose) atau kadar gula puasa (BSN). Pada otot terjadi gangguan pada penggunaan glukosa secara non oksidatif (pembentukan glikogen) daripada metabolisme glukosa secara oksidatif melalui glikolisis. Penggunaan glukosa pada jaringan yang independen terhadap insulin tidak menurun pada DM tipe 2.1,4Mekanisme molekular terjadinya resistensi insulin telah diketahui. Level kadar reseptor insulin dan aktifitas tirosin kinase pada jaringan otot menurun, hal ini merupakan defek sekunder pada hiperinsulinemia bukan defek primer. Oleh karena itu, defek pada post reseptor diduga mempunyai peranan yang dominan terhadap terjadinya resistensi insulin. Polimorfik dari IRS-1 (Insulin Receptor Substrat) mungkin berhubungan dengan intoleransi glukosa. Polimorfik dari bermacam-macam molekul post reseptor diduga berkombinasi dalam menyebabkan keadaan resistensi insulin.1,4 Sekarang ini, patogenesis terjadinya resistensi insulin terfokus pada defek PI-3 kinase (Phosphatidyl Inocytol) yang menyebabkan terjadinya reduktasi translokasi dari GLUT-4 (Glukose Transporter) ke membran plasma untuk mengangkut insulin. Hal ini menyebabkan insulin tidak dapat diangkut masuk ke dalam sel dan tidak dapat digunakan untuk metabolisme sel, sehingga kadar insulin di dalam darah terus meningkat dan akhirnya menyebabkan terjadinya hiperglikemi.1,4 Ada teori lain mengenai terjadinya resistesi insulin pada penderita DM tipe 2. Teori ini mengatakan bahwa obesitas dapat mengakibatkan terjadinya resistensi insulin melalui beberapa cara, yaitu; peningkatan asam lemak bebas yg mengganggu penggunaan glukosa pada jaringan otot, merangsang produksi dan gangguan fungsi sel pankreas.1,4

Defek sekresi insulinDefek sekresi insulin berperan penting bagi munculnya DM tipe 2. Pada hewan percobaan, jika sel-sel beta pankreas normal, resistensi insulin tidak akan menimbulkan hiperglikemik karena sel ini mempunyai kemampuan meningkatkan sekresi insulin sampai 10 kali lipat. Hiperglikemi akan terjadi sesuai dengan derajat kerusakan sel beta yang menyebabkan turunnya sekresi insulin. Pelepasan insulin dari sel beta pankreas sangat tergantung pada transpor glukosa melewati membran sel dan interaksinya dengan sensor glukosa yang akan menghambat peningkatan glukokinase. Induksi glukokinase akan menjadi langkah pertama serangkaian proses metabolik untuk melepaskan granul-granul berisi insulin. Kemampuan transpor glukosa pada DM tipe II sangat menurun, sehingga kontrol sekresi insulin bergeser dari glukokinase ke sistem transpor glukosa. Defek ini dapat diperbaiki oleh sulfonilurea.4Kelainan yang khas pada DM tipe 2 adalah ketidakmampuan sel beta meningkatkan sekresi insulin dalam waktu 10 menit setelah pemberian glukosa oral dan lambatnya pelepasan insulin fase akut. Hal ini akan dikompensasi pada fase lambat, dimana sekresi insulin pada DM tipe 2 terlihat lebih tinggi dibandingkan dengan orang normal. Meskipun telah terjadi kompensasi, tetapi kadar insulin tetap tidak mampu mengatasi hiperglikemi yang ada atau terjadi defisiensi relatif yang menyebabkan keadaan hiperglikemi sepanjang hari. Hilangnya fase akut juga berimplikasi pada terganggunya supresi glukosa endogen setelah makan dan meningkatnya glukoneogenesis melalui stimulasi glukagon. Selain itu, defek yang juga terjadi pada DM tipe 2 adalah gangguan sekresi insulin basal. Normalnya sejumlah insulin basal disekresikan secara kontinyu dengan kecepatan 0,5 U/jam, pola berdenyut dengan periodisitas 12-15 menit (pulsasi) dan 120 menit (osilasi). Insulin basal ini dibutuhkan untuk meregulasi kadar glukosa darah puasa dan menekan produksi hati. Puncak-puncak sekresi yang berpola ini tidak ditemukan pada penderita DM tipe 2 yang menunjukan hilangnya sifat sekresi insulin yang berdenyut.4Produksi Glukosa HatiHati merupakan salah satu jaringan yang sensitif terhadap insulin. Pada keadaan normal, insulin dan gukosa akan menghambat pemecahan glikogen dan menurunkan glukosa produk hati. Pada penderita DM tipe 2 terjadi peningkatan glukosa produk hati yang tampak pada tingginya kadar glukosa darah puasa (BSN). Mekanisme gangguan produksi glukosa hati belum sepenuhnya jelas.1,4Pada penelitian yang dilakukan pada orang sehat, terjadi peningkatan kadar insulin portal sebesar 5 U/ml di atas nilai dasar akan menyebabkan lebih dari 50% penekanan produksi glukosa hati. Untuk mencapai hasil yang demikian, penderita DM tipe 2 ini membutuhkan kadar insulin portal yang lebih tinggi. Hal tersebut menunjukkan terjadinya resistensi insulin pada hati. Peningkatan produksi glukosa hati juga berkaitan dengan meningkatnya glukoneogenesis (lihat gambar 3) akibat peningkatan asam lemak bebas dan hormon anti insulin seperti glukagon. 1,4

PENATALAKSANAANModalitas yang ada pada penatalaksanaan Diabetes Mellitus terdiri dari:51. Terapi non farmakologis yang meliputi perubahan gaya hidup dengan melakukan pengaturan pola makan yang dikenal sebagai terapi gizi medis, meningkatkan aktivitas jasmani dan edukasi berbagai maslah yang berkaitan denga diabetes yang dilakukan secara terus menerus.2. Terapi farmakologis, yang meliputi pemberian obat obat anti diabetes oral dan injeksi insulin. Tetapi terapi farmakologis ini diberikan jika penerapan terapi non famakologis yang telah dilakukan tidak dapat mengendalikan kadar glukosa darah sebagaiman yang diharapkan. Pemberian terapi farmakologis tetap tidak meninggal kan terapi non farmakologis

TERAPI FARMAKOLOGISa. Sulfonilurea: Glikazid, Glibenclamid, Talbumid dapat meningkatkan pelepasan insulin dari sel pancreas ( dengan menutup saluran K+ , menyebabkan depolarisasi sel ). 5

b. Biguanid: MetforminBiguanides adalah agen-agen lama yang mengurangi produksi glukosa hati dan mungkin memiliki efek yang kecil pada pemanfaatan glukosa di pinggiran(yaitu, antihyperglycemics, sensitizers insulin hepatik).Insulin harus hadir untuk biguanides untuk bekerja.Phenformin diambil dari pasar di Amerika Serikat pada tahun 1970 karena risiko yang menyebabkan asidosis laktat dan kematian yang terkait (laju sekitar 50%).5

c. Inhibitor -glukosidase: Akarbosa menghambat pencernaan karbohidrat, mengurangi absorpsi glukosa di usus.Alpha-glukosidase inhibitor memperpanjang penyerapan karbohidrat.induksi mereka buang gas yang sangat membatasi penggunaannya.Para agen harus dititrasi secara perlahan untuk mengurangi intoleransi gastrointestinal.pengaruh mereka pada kontrol glikemik adalah sederhana, mempengaruhi kunjungan glisemik terutama postprandial. 5

d. Regulator glukosa setelah makan: Repaglinid menstimulasi pelepasan insulin. 5

e. Tiazolidinedion: rosglitazon, Pioglitazon.Glitazones adalah kelas baru obat yang mengurangi resistensi insulin di pinggiran (yaitu, sensitifitas otot dan lemak untuk tindakan insulin) dan mungkin gelar kecil di hati (yaitu, sensitizers insulin, antihyperglycemics).Mereka mengaktifkan reseptor Peroksisom proliferator-diaktifkan (PPAR) gamma, suatu faktor transkripsi nuklir yang penting dalam diferensiasi sel lemak dan metabolisme asam lemak.aksi besar mereka mungkin sebenarnya redistribusi lemak.Obat-obat ini mungkin memiliki sifat sel beta pelestarian. 5

f. Dipeptidyl peptidase IV inhibitorTambahan terbaru ke kelompok tersedia agen hipoglikemik oral adalah peptidase dipeptidyl IV (DPP-4) inhibitor, sitagliptin, yang mendapat persetujuan FDA pada bulan Oktober 2006.DPP-4 menurunkan banyak peptida aktif biologis, termasuk incretins endogen GLP-1 dan peptida insulinotropic glukosa-bergantung (GIP).Sitagliptin dapat digunakan sebagai monoterapi atau dalam kombinasi dengan metformin atau glitazone sebuah.Hal ini diberikan sekali sehari dan berat badan netral.Saxagliptin telah disetujui FDA Juli 2009.Lain DPP-4 inhibitor, Vildagliptin, saat ini sedang ditinjau di FDA. 5

g. Insulin diberikan melalui subkutan dan digunakan pada semua diabetes tipe 1 dan sebagian pada pasien diabetes tipe 2. 5Komplikasi DM Tipe 21. Diabetes ketoasidosisDiabetik asisdosis adalah hiperglikemia yang tidak terkontrol dengan hyperketonaemia cukup parah menyebabkan asidosis metabolik.Ini tetap merupakan penyebab utama kematian pada pasien dengan diabetes tipe 1 di bawah usia 20 tahun, dan episode masih membawa mortalitas keseluruhan dari 5 sampai 10 persen (50 persen pada pasien usia lanjut dengan ketoasidosis diabetes dipicu oleh infeksi atau infark miokard).Prompt diagnosis dan penanganan yang seksama dapat mencegah banyak kematian.3Diabetic ketoacidosis hanya terjadi ketika kekurangan insulin yang berat, diperparah dengan kelebihan glukagon, merangsang lipolisis dan peningkatan besar dalam ketogenesis (lihat di atas).Karena itu hampir selalu terjadi pada jenis yang tidak diobati atau buruk dirawat 1 diabetes dan umumnya dianggap sebagai ciri khas penyakit itu.Namun, ketoasidosis diabetik dapat terjadi pada subyek dengan diabetes tipe 2 yang relatif kekurangan insulin, terutama ketika sekresi hormon kontra-regulasi (khususnya glukagon) ditingkatkan oleh penyakit intercurrent parah. 3

2. Hiperosmolar non-ketotic state (Honks)Hiperosmolar non-ketotic state dibedakan dari ketoasidosis diabetes dengan tidak adanya hyperketonaemia kotor dan asidosis metabolik.Hiperglikemia dapat lebih besar dari pada ketoasidosis diabetik dan, bersama dengan kenaikan urea karena kegagalan dehidrasi dan prerenal, dapat mengangkat osmolalitas plasma lebih dari 350 mOsmol / kg. 3Ketosis tidak berkembang karena tingkat insulin dan sirkulasi cukup tinggi untuk menekan lipolisis dan ketogenesis; pasien karena itu C-peptida positif, dengan diabetes tipe 2 yang sering tidak didiagnosis sebelumnya.Hal ini lebih umum pada orang asal Afro-Karibia.faktor pengendapan meliputi infark miokard, stroke, infeksi, dan obat-obatan diabetogenic seperti glukokortikoid dan diuretik thiazide; minuman bersoda glukosa juga dapat berkontribusi. 3Presentasi biasanya dengan gejala hyperglycaemic klasik (poliuria, haus intens, penurunan berat badan, penglihatan kabur), tanpa fitur ketoasidosis.Kebingungan, mengantuk, dan koma yang biasa dibandingkan dengan ketoasidosis diabetik. 3Komplikasi meliputi acara trombotik seperti oklusi arteri stroke dan perifer, dan trombosis vena dalam dan emboli paru, ini karena viskositas darah yang meningkat. 3Komplikasi kronik: 3 Katarak Diabetik Retinopati diabetik Glaucoma Nefropati diabetik Neuropati diabetik Gangrene pada kaki.

II. Gangren Diabetikum Etiologi Kaki diabetes merupakan salah satu komplikasi kronis DM. Pada pasien DM dapat terjadi berbagai kompikasi pada semua tingkat sel dan anatomik. Pada pembuluh darah perifer dapat terjadi pada tungkai bawah. Komplikasi DM dapat berupa kerentanan berlebih terhadap infeksi seperti infeksi saluran kemih, TB paru, dan infeksi kaki yang kemudian menjadi ulkus/gangren diabetes. 3Epidemiologi Kaki diabetes merupakan salah satu komplikasi kronik DM yang paling ditakuti. Sampai saat ini, kaki diabetes merupakan masalah yang masih sukar dikelola dengan maksimal. Di negara maju, kaki diabetes masih menjadi masalah kesehatan yag besar. Tetapi dengan cara pengelolaan kaki diabetes yang lebih dini, keadaan pasien akan lebih baik. Angka kematian dan angka amputasi dapat ditekan menurun samapi 49-85% dari sebelumnya. 3Patofisiologi Terjadinya masalah kaki diawali dengan hiperglikemia pada penyandang DM yang menyebabkan kelainan neuropati dan kelainan pembuluh darah. Neuropati baik sensorik, motorik, maupun autonomik akan mengakibatkan berbagai perubahan pada kulit dan otot, yang kemudian menyebabkan terjadinya perubahan distribusi tekanan telapak kaki dan kemudian menyebabkan mudah terjadinya ulkus. Adanya kerentanan terhadap infeksi menyebabkan infeksi mudah menyebar menjadi infeksi yang luas. Faktor aliran darah yang kurang juga akan jauh menambah rumitnya pengelolaan kaki diabetes. 3

Manifestasi klinisGambaran atau klasifikasi kaki diabetik Wagner dibagi menjadi enam dan juga digunaka untuk panduan pengelolaan pada kaki diabetik. 3Klasifikasi Wagner

Derajat 0: Tidak ada lesi terbuka, kulit masi utuh Derajat I: Ulkus superficial, tanpa infeksi, terbatas pada kulit Derajat II: Ulkus dalam disertai selulitis tanpa abses atau kehilangan tulang Derajat III: Ulkus dalam disertai kelainan kulit dan abses luas yang dalam hingga mencapai tendon dan tulang, dengan atau tanpa osteomyelitis Derajat IV: gangren terbatas, yaitu pada ibu jari kaki atau tumit Derajat V: gangren seluruh kaki

Tabel 2.Klasifikasi Wagner 3PenatalaksanaanSampai saat ini belum ada bukti cukup kuat yang mengindikasikan penggunaan obat secara rutin yang dapat memperbaiki perbaikan pembuluh darah pada kaki peyandang DM. Yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan revaskularisasi yang sebelumnya diperlukan pemeriksaan arteriografi untuk mendapat gambaran pembuluh darah yang lebih jelas sebagai panduan untuk perencanaan tindakan bedah yang akan dilakukan. Untuk oklusi yang panjang, dilakukan operasi bedah pintas terbuka. Untuk oklusi pendek dapat dilakuka prosedur endovaskuler, pada keadaan akut bisa dilakukan tromboaterektomi. Dengan berbagai teknik bedah tersebut, vaskularisasi daerah distal akan diperbaiki sehingga hasil pengelolaan ulkus diharapkan dapat membaik. Dengan perbaika faktor vaskular, kesembuhan luka tinggal bergantung pada faktor lainnya. 3Terapi hiperbarik dilaporkan juga dapat memperbaiki vaskularisasi dan oksigenasi jaringan pada kaki diabetes: 3a. Wound controlPerawatan luka sejak pertama kali pasien datang merupakan hal yang harus dikerjakan dengan baik dan teliti. Evaluasi luka harus dilakukan dengan sanagt cermat. Banyak sekali jenis pembalut yang dapat digunakan saat ini, namun pembalut yang dianjurkan untuk digunakan adalah pembalut yang memiliki zat penyerap. Selain itu tindakan debridemen yang adekuat merupakan syarat mutlak yang harus dikerjakan karena akan sangat membantu mengurangi jaringan nekrotik sehingga akan mengurangi produksi pus dan gangren serta jaringan nekrotik.Berbagai terapi topikal dapat diberikan untuk mengurangi mikroba pada luka, seperti cairan salin sebagai pembersih luka, atau iodine encer.Jika luka sudah membaik dan tidak ada infeksi, pembalut seperti dressing hidrokoloid dapat digunakan selama beberapa hari. Untuk menjaga suasana kondusif pada luka, dapat digunakan kasa yang dibasahi dengan salin. Dan cara ini sampai saat ini banyak dipakai untuk perawatan kaki diabetes.b. Microbiological controlPada umumnya pasien biasanya datang dengan multipel infection, aerob dan anaerob. Antibiotik yang dianjurkan harus selalu disesuaikan dengan biakan kuman dan resistensinya. Karena itu untuk lini pertama biasanya diberikan antibiotik dengan spektrum luas misalnya golongan sefalosporin yang dikombinasikan dengan obat untuk kuman golongan anaerob seperti metronidazol.c. Pressure controlJika kaki tetap dipakai untuk berjalan berarti untuk menopang berat tubuh maka luka tidak ada kesempatan untuk menyembuh karena ada tekanan, apalagi jika luka terdapat pada bagian plantar. Berbagai terapi surgical dapat digunakan untuk mengurangi tekanan pada luka; 1) dekompresi ulkus/abses dengan melakukan insisi. 2) prosedur koreksi bedah seperti hammer toe, partial calcanectomi dll.d. Education controlEdukasi sangat penting untuk pengelolaan kaki diabetes. Penyuluhan baik pada pasien gangren diabetik maupun keluarganya diharapkan dapat membantu mendukung kesembuhan luka yang optimal.Pencegahan Pengelolaan kaki diabetes dibagi menjadi 2 kelompok besar, yaitu pencegahan primer dan sekunder. Primer sebelum terjadinya perlukaan pada kulit, sedangkan sekunder adalah pengelolaa pada ulkus dan gangren yang sudah terjadi). 3a. Pencegahan primer Penyuluhan mengenai terjadinya kaki diabetes sangat penting, penyuluhan ini harus selalu diberikan pada setiap kesempatan pertemuan dengan penyandang DM. Anjuran ini berlaku bagi semua pihak terkait pengelola pasien DM. Pencegahan dapat dilakukan dengan penggunaan alas kaki yang baik sebagai bentuk pencegahan terjadinya ulkus karena ini merupakan faktor mekanik yang dapat dicegah. Jika sudah terdapat deformitas, perlu perhatian lebih kusus terhadap alas kaki yang digunakan untuk meratakan penyebaran tekanan pada kaki. Untuk kasus dengan permasalahn vaskular, latiha kaki perlu diperhatikan untuk memperbaiki vaskularisasi. Untuk ulkus complicated diperlukan tindakan lebih sebagai usaha penyelamatan kaki diabetik sebelum masuk pada pencegahan sekunder.3b. Pencegahan sekunderPada pegelolaan holistik pada ulkus/gangren diabetes diperlukan kerjasama multidisiplin. Yang harus diperhatika adalah kontrol metabolik(konsentrasi glukosa darah , Hn, albumin serum, oksigenasi jaringan), kontrol vaskuler (mencegah perburukan luka). 3c. Modifikasi faktor risiko: 3 Stop merokok Perbaiki faktor risiko terkait aterosklerosis; hiperglikemi, hipertensi, dislipidemia.Prognosis Rehabilitasi merupakan program yang sangat penting untuk pengelolaan kaki diabetik. Keterlibatan ahli rehabilitasi medis mencegah berlajutnya sampai ke amputasi dan mencegah terjadinya ulkus baru. Pemakaian alas kaki yang baik cukup mambantu pencegahan. Ulkus baru yang terjadi berikutnya memberikan gambaran prognosis yang jauh lebih buruk daripada ulkus pertama. 3III. HipertensiHipertensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah sistolik sedikitnya 140 mmHg atau tekanan diastolik sedikitnya 90 mmHg.2 Hipertensi merupakan masalah kesehatan yang umum dijumpai dengan konsekuensi yang terkadang sangat merugikan, dan sering asimtomatik sampai perkembangan tahap lanjut. Hipertensi adalah salah satu faktor resiko terpenting untuk penyakit arteri koronaria dan cerebrovascular accidents. 3 Etiologi hipertensiPenyebab hipertensi tidak diketahui pada sekitar 95% kasus. Bentuk hipertensi idiopatik disebut hipertensi primer atau esensial.2 Telah diketahui secara luas, hipertensi adalah penyakit multifaktor kompleks yang mempunyai penentu genetik maupun linngkungan. 3Patofisiologi Hipertensi Resistensi insulin juga berperan pada pathogenesis hipertensi. Insulin merangsang sistem saraf simpatis meningkatkan reabsorpsi natrium ginjal, mempengaruhi transport kation dan mengakibatkan hipertrofi sel otot polos pembuluh darah. Pemberian infus insulin akut dapat menyebabkan hipotensi akibat vasodilatasi. Sehingga disimpulkan bahwa hipertensi akibat resistensi insulin terjadi akibat ketidakseimbangan antara efek pressor dan depressor.1,4Penurunan eksresi natirum oleh ginjal pada tekanan arteri normal dapat merupakan proses kunci awal dalam hipertensi esensial. Penurunan ekskresi natrium secara berurutan dapat menyebabkan peningkatan volume cairan, peningkatan curah jantung, dan vasokonstriksi perifer sehingga tekanan darah meningkat. 3,4Hipotesis alternatif menunjukkan pengaruh vasokonstritif (baik faktor yang memicu vasokonstriksi fungsional maupun yang memicu perubahan struktural langsung di dinding pembuluh, yang menyebabkan peningkatan resistensi perifer) sebagai kausa primer hipertensi. Selain itu, pengaruh vasokonstriktif yang kronik atau berulang dapat menyebabkan penebalan struktural pembuluh-pembuluh resistensi. Dalam model ini, perubahan struktural di dinding pembuluh dapat terjadi pada tahap awal hipertensi, mendahului dan tidak timbul akibat vasokonstriksi. 3,4Faktor lingkungan dapat memodifikasi ekspresi pengaruh genetik dalam meningkatkan tekanan darah. stress, kegemukan, merokok, inaktivitas fisik, dan konsumsi garam daam jumlah besar dilaporkan merupakan faktor eksogen pada hipertensi. 3,4 Mekanisme hipertensi menimbulkan kelumpuhan atau kematian berkaitan langsung dengan pengaruhnya pada jantung dan pembuluh darah. peningkatan tekanan darah sistemik meningkatkan resistensi terhadap pemompaan darah dari ventrikel kiri; sehingga beban kerja jantung bertambah. Sebagai akibatnya, terjadi hipertrofi ventrikel untuk meningkatkan kekuatan kontraksi. Akan tetapi kemampuan ventrikel untuk mempertahankan curah jantung dengan hipertrofi kompensasi akhirnya terlampau, dan terjadi dilatasi dan payah jantung. 3,4Jantung menjadi semakin terancam oleh semakin parahnya aterosklerosis koroner. Bila proses aterosklerosis berlanjut, penyediaan oksigen pada miokardium terjadi akibat hipertrofi ventrikel dan peningkatan beban kerja jantung sehingga akhirnya akan menyebabkan angina atau infark miokardium. Sekitar separuh kematian akibat hipertensi disebabkan oleh infark miokardium atau gagal jantung. 3,4Kerusakan pembuluh darah akibat hipertensi terlihat jelas di seluruh pembuluh darah perifer. Perubahan pembuluh darah retina yang mudah diketahui melalui pemeriksaan oftalmoskopik, sangat berguna untuk menilai perkembangan penyakit dan respons terhadap terapi yang dilakukan. Aterosklerosis yang dipercepat dan nekrosis medial aorta merupakan faktor predisposisi terbentuknya aneruisma dan diseksi. Perubahan struktur dalam arteri-arteri kecil dan atriola menyebabkan penyumbatan pembulu hdarah progresif. Bila pembuluh darah menyempit maka aliran arteri terganggu dan dapat menyebabkan mikroinfark jaringan. 3,4Akibat perubahan pembuluh darah ini paling nyata terjadi pada otak dan ginjal. obstruksi atau ruptur pembuluh darah otak merupakan penyebab sekitar sepertiga kematian akibat hipertensi. Sklerosis progresif pembuluh darah ginjal mengakibatkan disfungsi dan gagal ginjal yang juga dapat menimbulkan kematian. Hipertensi kronis merupakan penyebab kedua terjadinya gagal ginjal stadium akhir dan 21% kasus membutuhkan terapi penggantian ginjal.3Gejala klinis hipertensiBila timbul gejala, berarti hipertensi ini sudah lanjut. Gejala klasik yaitu sakit kepala, epistaksis, pusing, dan tinnitus yang diduga berhubungan dengan naiknya tekanan darah, ternyata sama seringnya dengan yang terdapat pada yang tidak dengan tekanan darah tinggi. Namun gejala sakit kepala sewaktu bangun tidur, mata kabur, depresi, dan nokturia ternyata meningkat pada hipertensi yang tidak diobati. Empat sekuele utama akibat hipertensi adalah stroke, infark miokard, gagal ginjal, dan ensefalopati. 3Penatalaksanaan HipertensiTujuan pengobatan penderita hipetensi diiopatik atau esensial adalah untuk mencegah morbiditas dan mortalitas yang disebabkan oleh gangguan dengan menggunakan cara yang plaing nyaman. Tujuan utama adalah untuk mencapai tekanan darah kurang dari 140/90 mmHg dan mengendalikan setiap faktor resiko kardiovaskular melalui perubahan gaya hidup. 3Pengobatan hipertensi harus dimulai sejak dini untuk mencegah kerusakan organ sasaran. Pada usia lanjut penurunan tekanan darah harus dilakukan hati-hati dengan memperhatikan apakah terdapat hipertensi berat yang lama., pada hipertensi resisten diperlukan waktu yang cukup untuk mencapai sasaran. Pada pasien dengan DM, sasaran tekanan darah adalah kurang dari 130/85 mmHg, sedangkan pada gagal ginjal atau jantung, sasaran yang dicapai adalah tekanan darah yang paling rendah yang dapat ditolerir. 3Pengobatan utamanya dapat berupa diuretika, penyekat reseptor beta-adrenergik, penyekat saluran kalsium, inhibitor ACE, atau penyekat reseptor alfa-adrenergik, bergantung pada berbagai pertimbangan pasien, termasuk mengenai biaya (diuretika biasanya merupakan obat yang paling murah), karakteristik demografi (biasanya Afro-Amerika lebih berespons terhadap diuretika dan penyekat saluran kasium dibandingkan terhadap penyekat beta atau inhibitor ACE), penyakit yang terjadi bersamaan (penyekat beta dapat memperburuk asma, diabetes mellitus, daniskmeia perifer tetapi dapat memperbaiki angina, disritmia jantung tertentu, dan sakit kepala migren), dan kualitas hidup (beberapa obat antihipertensi dapat menyebabkan efek samping yang tak diinginkan, seperti gangguan fungsi seksual). 3 Komplikasi HipertensiKomplikasi yang mungkin terjadi pada hipertensi jangka panjang adalah kerusakan organ target, yaitu 1) penyakit serebrovaskular: stroke trombotik dan hemoragik. 2) Penyakit vascular: penyakit jantung koroner. 3) Hipertrofi ventrikel kiri (left ventricular hypertrophy/ LVH) adalah mekanisme kompensasi terhadap peningkatan tekanan darah kronis. Hal ini merupakan predictor independen dari kematian dini (kematian jantung mendadak akibat aritmia ventrikel, gagal jantung, infark miokard, cedera serebrovaskular). Gagal jantung bisa berhubungan dengan LVH (hipertrofi otot yang telah berlangsung lama menyebabkan kerusakan renovaskular atau penyakit koroner prematur. 4) Gagal ginjal : hipertensi menyebabkan kerusakan renovaskular dan kerusakan glomerulus. 3Prognosis HipertensiBentuk hipertensi esensial (idiopatik) umumnya tidak menyebabkan masalah jangka-pendek. Hipertensi esensial ini, terutama jika terkendali, memungkinkan usia panjang dan asimtomatik, kecuali jika timbul infark miokardium, cerebrovascular accident, atau komplikasi lain. Sebagian kecil pasien hipertensi, mungkin 5%, memperlihatkan tekanan darah yang pesat, yang jika tidak diobati menyebabkan kematian dalam satu atau dua tahun. sindrom klinis yang disebut hipertensi maligna atau accelerated hypertension ini, ditandai oleh hipertensi berat, yaitu tekanan sistolik lebih dari 200 mmHg dan tekanan diastolik lebih dari 120 mmHg, gagal ginjal serta perdarahan dan eksudat retina, dengan atau tanpa papiledema. Kelainan ini dapat timbul pada orang yang sebelumnya normotensif, tetapi lebih sering pada mereka yang sudah mengidap hipertensi, baik esensial maupun sekunder. 3Pencegahan HipertensiPencegahan hipertensi yang dapat dilakukan antara lain a) pembatasan konsumsi garam, dapat menurunkan tekanan darah, b) menurunkan berat badan bagi pasien yang obesitas, c) membebaskan diri dari stress atau ketegangan jiwa, karena hal tersebut dapat merangsang kelenjar anak ginjal melepaskan hormon adrenalin dan memacu jantung berdenyut lebih cepat serta lebih kuat, sehingga tekanan darah akan meningkat. 3IV. DislipidemiaEtiologi Dislipidemia dibagi menjadi dislipidemia primer yang belum jelas penyebabnya dan dislipidemia sekunder, yang disebabkan oleh beberapa penyakit dasar seperti sindroma nefrotik, diabetes melitus dan hipotiroidisme. Selain itu dislipidemia dapat dilihat dari profil lemaknya yang menonjol, seperti hiperkolesterolemi, hipertrigliseridemi, isolated low HDL cholestrol, dan dislipidemia campuran. Bentuk paling terakhirlah yang palign sering ditemukan.3Patofisiologi Dislipidemia ditandai dengan peningkatan kadar trigliseridan dan penurunan kadar kolestrol HDL. Kolesterol LDL biasanya normal, namun mengalami perubahan struktur berupa peningkatan small dense LDL. Peningkatan konsentrasi trigliserida plasma diperkirakan akibat peningkatan masukan asam lemak bebas ke hati sehingga terjadi peningkatan produksi trigliserid. Namun studi pada manusia dan hewan menunjukan peningkatan disebabka karena multifaktor dan tidak hanya karena peningkatan masukan asam bebas ke hati.3,4Penurunan kadar kolesterol HDL disebabka peningkatan trigliserid sehingga terjadi transfer trigliserid ke HDL. Namun pada subjek dengan resistensi insulin ditemukan penurunan kadar HDL dengan trigliserid normal.3,4Penatalaksanaan Langkah awal penatalaksanaan dislipidemi adalah harus dimulai dengan pengobatan non-farmakologi terlebih dahulu, baru diberikan obat penurun lipid. Pada umumnya, pengobatan non-farmakologi dilakukan dalam tiga bulan sebelum emutuskan untuk menambahkan obat penurun lipid. Pada keadaan tertentu, penobatan non farmakologi dapat diberikan bersamaan dengan pemberian obat. 3Penatalaksanaan non-farmakologiDikenal juga dengan perubahan gaya hidup, meliputi terapi nutrisi medis, aktivitas fisik, serta upaya lain seperti menghentikan kebiasaan merokok, menurunkan berat badan bagi mereka yang gemuk dan mengurangi asupan alkohol. 3a. Terapi nutrisi medisSelalu merupakan tahap awal penatalaksanaan seorang dengan dislipidemia. Oleh karena itu disarankan berkonsultasi pada ahli gizi. Pada dasarnya ialah pembatasan jumlah kalori dan jumlah lemak. Pasien dengan kolesterol LDL atau kolesterol total tinggi dianjurkan untuk mengurangi asupan lemak jenuh, dan meningkatkan asupan lemak tak jenuh rantai tunggal dan ganda. Pada pasie dengan kadar trigliserid tinggi perlu dikuragi asupan karbohidrat, alkohol, dan lemak. 3b. Aktivitas fisikPada prinsipnya pasien dianjurkan untuk meningkatkan aktivitas fisik sesuai dengan kodisi dan kemampuannya. Semua jenis aktivitas fisik bermanfaat, seperti berjalan kaki, naik sepeda, berenang dll. Penting sekali agar jenis olahraga disesuaikan dengan kemampuan dan keseangan pasien agar berlangsung terus-menerus. 3Penatalaksanaan farmakologi Apabila gagal dengan pengobatan farmakologis harus diulai dengan pemeberian obat penurun lipid. NCEP-ATP III menganjurkan penggunaan obat pertama adalah HMG Co-A reduktase inhibitor. Oleh karena sesuai dengan kadar kesepakatan kolesterol LDL merupakan sasaran utama pecegahan penyakit arteri koroner. Pada keadaan dimana kadar trigliserid tinggi misalnya >400 mg/dl maka perlu dimulai dengan golongan derivat asam fibrat untuk menurunkan kadar trigliserid karena dapat menyebabkan pankreatitis akut. Apabila kadar trigliserid sudah turun dan LDL belum mencapai sasaran maka dapat diberi kombinasi dengan HMG CoA reduktase inhibitor. Kombinasi sebaiknya dipilih asam fibrat fenofibrat. 3Dengan dikembangkan obat kombinasi dalam satu tablet, maka pilihan obat yang mugnkin akan mengalami perubahan. Sebagai contoh kombinasi lovastatin dan asam nikotinik lepas lambat lebih efektif dibandingkan dengan penggunaan tunggal dengan dosis tinggi. 3 Diagnosis Banding A. Gangren PAD(peripheral arterial disease)Yang dimaksud dengan penyakit arteri perifer adalah semua penyakit yang terjadi pada pembuluh darah setelah ke luar dari jantung dan aortailiaka. Jadi penyakit arteri perifer meliputi ke empat ekstremitas, arteri karotis, arteri renalis, arteri mesenterika dan semua percabangan setelah ke luar dari aortoiliaka.Penyakit arteri perifer dapat mengenai arteri besar, sedang maupun kecil, antara lain tromboangitis obliterans, penyakit Buerger s, fibromuskulr displasia, oklusi arteri akut, penyakit Raynaud, arteritis Takayasu , frostbite dan lain lainPenyebab terbanyak penyakit oklusi arteri pada usia di atas 40 tahun adalah aterosklerosis. Insiden tertinggi timbul pada dekade ke enam dan tujuh. Prevalensi penyakit aterosklerosis perifer meningkat pada kasus diabetes mellitus, hiperkolesterolemia, hipertensi, hiperhomosisteinemia dan perokok.Patologi Mekanisme terjadinya atherosklerosis sama seperti yang terjadi pada arteri koronaria. Lesi segmental yang menyebabkan Stenosis atau oklusi biasanya terjadi pada pembuluh darah berukuran besar atau sedang. Pada lesi tersebut terjadi plak aterosklerotik dengan penumpukan kalsium, penipisan tunika media, destruksi otot dan serat elastis di sana-sini, fragmentasi lamina elastika interna, dan dapat terjadi trombus yang terdiri dari trombosit dan fibrin. Lokasi yang terkena terutama pada aorta abdominal dan arteri iliaka (30 % dari pasien yang simtomatik), arteri femoralis dan popltea (80 " 90 %), termasuk arteri tibialis dan peroneal (40" 50 % ). Proses atherosklerosis lebih sering terjadi pada percabangan arteri, tempat yang turbulensinya meningkat, kerusakan tunika intima. Pembuluh darah distal lebih sering terjadi pada pasien usia lanjut dan diabetes melitus.Kurang dari 50 % pasien dengan penyakit arteri perifer bergejala, mulai dari cara berjalan yang lambat atau berat, bahkan sering kali tidak terdiagnosis karena gejala tidak khas. Gejala klinis tersering adalah klaudikasio intermiten pada tungkai yang ditandai dengan rasa pegal nyeri, kram otot, atau rasa lelah otot. Biasanya timbul sewaktu melakukan aktivitas dan berkurang setelah istirahat beberapa saat.Pemeriksaan fisis yang terpenting pada penyakit arteri perifer adalah penurunan atau hilangnya perabaan nadi pada distal obstruksi, terdengar bruit pada daerah arteri yang menyempit dan atrofi otot. Jika lebih berat dapat terjadi bulu rontok, kuku menebal, kulit menjadi licin dan mengkilap, suhu kulit menurun, pucat atau sianosis merupakan penemuan fisik yang tersering. Kemudian dapat terjadi gangren dan ulkus. Jika tungkai diangkat/ elevasi dan dilipat, pada daerah betis dan telapak kaki, akan menjadi pucat.

TerapiMacam-macam terapi terdiri dari terapi suportif, farmakologis, intervensi non operasi, dan operasi. Terapi suportif meliputi perawatan kaki dengan menjaga tetap bersih dan lembab dengan memberikan krem pelembab, Memakai sandal dan sepatu yang ukurannya pas dan dari bahan sintetis yang berventilasi. Hindari penggunaan bebat elastik karena mengurangi aliran darah ke kulit. Pengobatan terhadap semua faktor yang dapat menyebabkan aterosklerosis harus diberikan, berhenti merokok, merubah gaya hidup, mengontrol hipertensi tetapi jangan sampai terjadi hipotensi.Terapi farmakologis, dapat diberikan aspirin, klopidogrel, pentoksifilin, cilostazol, dan tiklopidin. Obat-obat tersebut dalam penelitian dapat memperbaiki jarak berjalan dan mengurangi penyempitan.Mengelola faktor risiko, menghilangkan kebiasaan merokok, mengatasi diabetes melitus, hiperlipidemia, hipertensi, hiperhomosisteinemia dengan baik.

B. Diabetes Mellitus type 1Diabetes tipe 1 dulu dikenal sebagai tipe juvenile onset dan tipe dependent insulin, namun kedua tipe ini dapat muncul pada sembarang usia. Insidens diabetes tipe 1 sebanyak 30.000 kasus baru setiap tahunnya dan dapat dibagi dalam dua subtipe:3,41. Autoimun, akibat disfungsi autoimun dengan kerusakan sel-sel beta2. Idiopatik, tanpa bukti adanya autoimun dan tidak diketahui sumbernya. Subtipe ini lebih sering timbul pada etnik keturunan Afrika-Amerika dan Asia.Pada diabetes mellitus tipe 1 sering memperlihatkan gejala yang eksplosif dengan polidipsia, poliuria, turunnya berat badan, polifagia, lemah, dan somnolen yang terjadi selama beberapa hari atau beberapa minggu.4Diabetes tipe 1 disebabkan oleh destruksi imunologi selektif sel B pulau pankreas yang diperantarai oleh limfosit T. Kemudian, pulau Langerhans disebuki oleh sel-sel mononukleus aktif penghasil-sitokin. Limfosit T supresor CD8 merupakan bagian terbesar sel-sel ini dan diduga sebagai sel utama yang bertanggung jawab dalam kerusakan sel B. Limfosit T penolong CD4 dan limfosit B juga terdapat di pulau ini. Destruksi autoimun sel B, suatu proses yang diperkirakan diperantarai oleh sitokin, berlangsung secara bertahap dalam periode beberapa tahun sampai cukup banyak massa sel B yang lenyap untuk menimbulkan gejala defisiensi insulin. Pada saat diagnosis, peradangan sedang berlangsung di sebagian pulau sementara pulau-pulau lain telah atrofi dan hanya terdiri atas sel A penghasil-glukagon serta sel D penghasil-somatostatin. 5Sedikitnya 50% kerentanan genetik untuk diabetes type 1 dilaporkan berkaitan dengan gen-gen kompleks histokompatibilitas mayor (MHC) yang menyandi antigen leukosit manusia {human leukocyte antigen) kelasII, yaitu molekul-molekul yang diekspresikan dipermukaan sel penyaji-antigen spesifik seperti makrofag. Molekul kelas II membentuk suatu kompleks dengan autoantigen atau antigen asing yang telah diproses, yang kemudian mengaktifkan limfosit T CD4 lalui interaksi dengan reseptor sel T. 5 Meskipun destruksi sel B diperkirakan diperantarai oleh proses selular, bukan humoral, autoantibodi berkaitan dengari diabetes tipe 1 dan telah digunakan dalam berbagai riset untuk memperkirakan awitan penyakit. Terdapat hipotesis bahwa berbagai antibodi ini berfungsi sebagai penanda destruksi imunologis pulau Langerhans dan mungkin ditujukan pada antigen sel B yang memicu respons imun. Islet cell antibodies (ICA), yang diukur dengan memajankan serum pada potongan-potongan pankreas, pertama kali di-kemukakan pada tahun 1970an dan merupakan bukti pertama adanya dasar autoimun untuk diabetes tipe 1. 5Kini diakui bahwa glutamic acid decarboxylase(GAD, asam glutamat dekarboksilase) dan tyrosine phosphatase-2protein(IA2, protein tirosin fosfatase-2) merupakan antigen utama yang dikenal oleh ICA. ICA terdapat pada lebih dari 50% orang saat diagnosis dibuat dan bersifat prediktif untuk awitan penyakit pada baik anggota keluarga generasi pertama maupun populasi umum. Antibodi terhadap insulin(autoantibodi insulin) juga terdapat pada 50% orang yang baru didiagnosis. Kombinasi antibodi sel pulau dan autoantibodi insulin sangat prediktif untuk terjadinya diabetes tipe 1. Bukti-bukti mengisyaratkan bahwa infeksi virus, misalnya rubela kongenital, dapat memicu terjadinya penyakit, terutama pada orang yang rentan secara genetis. Terdapat hipotesis bahwa suatu respons imun terhadap suatu antigen asing dapat memicu destruksi sel B jika, antigen asing ini memiliki sejumlah homologi dengan antigen sel pulau Contohnya, salah satu antigen sel pulau yang teridentifikasi (GAD) memiliki homologi dengan suatu protein coxsackievirus, dan yang lain dengan albumin serum sapi, suatu protein yang terdapat dalam susu sapi, konsumsinya pada masa kanak-kanak dini mungkin berkaitan dengan peningkatan insidens diabetes tipe 1. 5

C. Hipertensi sekunder Sekitar 5%-10% pasien hipertensi diketahui penyebabnya. Bergantung pada tingginya tekanan darah gejala yang timbul dapat berbeda-beda. Gejala seperti sakit kepala (biasanya oksipital), epistaksis, pusing dan migren. Pada survey hipertensi di Indonesia, tercatat berbagai keluhan yang dihubungkan dengan hipertensi seperti pusing, cepat marah, dan telinga berdenging merupakan gejala yang sering dijumpai, selain gejala seperti mimisan, sukar tidur, dansesak napas. Rasa berat di tengkuk, mata berkunang-kunang, palpitasi, dan mudah lelah juga banyak dijumpai. Gejala lain yang disebabkan oleh komplikasi hipertensi seperti gangguan penglihatan, gangguan neurologi, gagal jantung, dan gangguan fungsi ginjal tidak jarang dijumpai. Selain itu juga dapat ditemukan gejala penyakit yang mendasarinya (misalnya sakit kepala, palpitasi, diaforesis, dan pusing postural pada feokromositoma). 3Penyakit parenkim ginjal. Penyebab hipertensi yang disebabkan penyakit parenkim ginjal adalah yang terbanyak. Penyakit ini berasal dari penyakit-penyakit glomerular, tubulointersisial, dan penyakit ginjal polikistik. Banyak kasus yang terjadi adalah karena retensi air dan garam tapi sekresi renin dan angiotensin juga ikut berperan. Hipertensi yang terjadi akan menyebabkan fungsi ginjal menurun. 3Penyakit renovaskular. Lebih banyak pada usia muda dan penyebabnya adalah fibromuskular hyperplasia. Penyebab lain adalah aterosklerosis yang menyebabkan stenosis arteri renalis proksimal. Mekanismenya adalah produksi renin yang meningkat karena aliran darah ke ginjal yang berkurang dan akhirnya retensi garam dan air. Penyakit renovaskular harus dipikirkan bila : 1) usia dibawah 20 tahun, 2) terdengar bruits pada auskultasi epigastrium, 3) jika terdapat aterosklerotik di ekstremitas didapatkan stenosis arteri renalis, 4) jika terjadi penurunan fungsi ginjal yang cepat setelah pemberian ACE inhibitor, ) hipertensi resisten dengan 2 atau lebih obat, 6) cenderung hipertensi maligna, 7) riwayat merokok, 8) edema paru berulang, 9) ukuran ginjal yang tidak sama > 1,5 cm dan 10) hipokalemi dan alkalosis. 3D. Sindroma MetabolikKonstelasi faktor risiko pada pasien dengan resistensi insulin dihubungkan dengan peningkatan kadar kardiovaskuler yang disebut sindrom X. Selanjutnya sindrom X ini dikenal dengan sindrom resistensi insulin dan akhirnya disebut sindrom metabolik. Resistensi insulin ialah kondisi dimana terjadi penurunan sensitivitas jaringan terhadap kerja insulin sehingga terjadi peningkatan sekresi insulin sebagai betuk kompensasi beta pankreas. Resistensi insulin terjadi beberapa dekade seblum timbulnya penyakit DM dan peyakit kardiovaskular lainnya. Sedangkan sindrom resistensi insulin atau sindrom metabolik adalah kumpulan gejala yang juga berhubungan dengan beberapa keadaan seperti hiperurisemia, sindrom ovarium polikistik dan perlemakan hati non-alkoholik.1,3Sindrom metabolik umumnya diasosiasika dengan gejala yang timbul. Jika dilakukan pemeriksaan fisik, ditemukan lingkar perut dan tekanan darah yang meningkat, maka harus dicurigai adanya kelainnan metabolisme yang lain. Gejala klinis yang sering dialami oleh penderita obesitas adalah biasanya hipertrigliserid, penurunnan kolesterol HDL, meningkatkan risiko penyakit arteri koroner. Jika seorag remaja menderita obese disertai dengan DM tipe 2 maka perlemakan pada hati yang disertai oleh cidera dan peradangan sel hati dapat berkembang menjadi fibrosis atau mereda seiring dengan turunnya berat badan yang disebut dengan steatohepatis non-alkoholik. Selain itu, pada penderita obese dapat mengalami sindrom hipoventilasi yang merupakan kumpulan kelainan pada pernapasan. 1,3 Jika ditemukan gejala-gejala hiperglikemi atau pada penderita diabetes melitus, maka penderita akan merasa serig lapar (polifagi), sering haus (polidipsi). Pada pemeriksaan urin akan ditemukan adanya glukosuria, turunnya berat badan, dan lemah hingga terjadi penurunan kesadaran. Pada penderita dislipidemia, maka akan ditemukan kadar kolesterol dan trigliserid yang meningkat, yaitu diatas 200. 1,3Kesimpulan Gangren pedis diabetikum atau kaki diabetik adalah kelainan pada ekstremitas bawah yang merupakan komplikasi kronik diabetes melitus. Ada 3 faktor yang dapat dipandang sebagai predisposisi kerusakan jaringan pada kaki diabetik, yaitu neuropati, PVD, dan infeksi.1,3 Neuropati, kelainan vaskuler dan kemudian infeksi berperan dalam patogenesis terjadinya tukak diabetik. Berbagai hal yang sederhana yang pada orang normal tak menyebabkan luka, akibat adanya daya proteksi nyeri, pada pasien DM dapat berlanjut menjadi luka yang tidak disadari keberadaanya, dan kemudian menjadi tukak diabetik. 1,3 Penatalaksanaan kaki diabetik dapat dilakukan dengan kontrol gula darah, pengobatan kausal, kontrol metabolik, serta debridement dan pembalutan. Penderita DM tipe 2 yang tidak terkontrol dan penderita dengan infeksi akut, seperti gangren, merupakan beberapa dari banyak indikasi pemakaian insulin. Debridement merupakan tahapan yang penting dalam proses penyembuhan luka. 1,3 Beberapa bentuk infeksi kaki diabetik antara lain: infeksi pada ulkus telapak kaki, selulitis atau flegmon non supuratif dorsum pedis dan abses dalam rongga telapak kaki. Pada ulkus yang mengalami gangren atau ulkus gangrenosa ditemukan infeksi kuman Gram positif, negatif dan anaerob. 1,3 Tingginya jumlah leukosit dan demam pada pasien ini dapat disebabkan oleh adanya infeksi pada luka di telapak kaki kirinya. Pada ulkus terinfeksi yang berat (limb or life threatening infection) kuman lebih bersifat polimikrobial (mencakup bakteri Gram positif berbentuk coccus, Gram negatif berbentuk batang, dan bakteri anaerob). Pada pasien ini Hb nya sangat rendah, hal ini dapat disebabkan oleh adanya proses infeksi yang menyebabkan kehilangan darah yang tidak disadari penderita. 1,3

Daftar Pustaka

1. Power AC. Diabetes Mellitus. Harrisons Prinsiples of Internal Medicine, 15th. New York: Mc. Graw Hill Companies Inc.; 20012. Bickley LS. Pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan.Edisi 5.Jakarta:EGC.2008.h.1-125.3. Supartondo, Setiyohadi B. Anamnesis. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Ilmu penyakit dalam. Edisi 5. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2009.h.4. Price, S.A., Wilson, L.M., Gralnick., 2006. Patofisiologi: konsep klinis, proses-proses penyakit.edisi 6.Jakarta:EGC.2006.h.1260-1270.5. Endokrinologi. Dalam: Hassan R, Alatas H, Latief A, Napitupulu PM, Pudjiadi A, Ghazali MV, dkk.Buku ajar ilmu penyakit anak. Edisi ke-4. Jakarta: Infomedika Jakarta;2007.h.259-68.

15