Pbl Blok 21 Metabolic & Endokrin

55
BAB I PENDAHULUAN Pada tahun 1988, Reaven menunjukkan konstelasi faktor risiko pada pasien-pasien dengan resistensi insulin yang dihubungkan dengan peningkatan penyakit kardiovaskuler yang disebutnya sebagai sindrom X. Selanjutnya, sindrom X ini dikenal sebagai sindrom resistensi insulin dan akhirnya sindrom metabolic. Sindrom resistensi insulin adalah suatu kondisi dimana terjadi penurunan sensitivitas jaringan terhadap kerja insulin sehingga terjadi peningkatan sekresi insulin sebagai bentuk kompensasi sel beta pancreas. Difungsi metabolik ini menimbulkan berbagai kelainan dengan konsekkuensi klinik yang serius berupa penyakit kardiovaskuler dan diabetes mellitus tipe 2, sindrom ovarium polikistik dan perlemakan hati non alkoholik serta penyakit- penyakit lainnya. Pandemi sindrom metabolic berkembang seiring dengan prevalensi obesitas yang terjadi pada populasi Asia. Penelitian Soegondo Andrie Yogie Putra/102007129 1

Transcript of Pbl Blok 21 Metabolic & Endokrin

Page 1: Pbl Blok 21 Metabolic & Endokrin

BAB I

PENDAHULUAN

Pada tahun 1988, Reaven menunjukkan konstelasi faktor risiko pada pasien-pasien dengan

resistensi insulin yang dihubungkan dengan peningkatan penyakit kardiovaskuler yang

disebutnya sebagai sindrom X. Selanjutnya, sindrom X ini dikenal sebagai sindrom resistensi

insulin dan akhirnya sindrom metabolic.

Sindrom resistensi insulin adalah suatu kondisi dimana terjadi penurunan sensitivitas jaringan

terhadap kerja insulin sehingga terjadi peningkatan sekresi insulin sebagai bentuk kompensasi sel

beta pancreas. Difungsi metabolik ini menimbulkan berbagai kelainan dengan konsekkuensi

klinik yang serius berupa penyakit kardiovaskuler dan diabetes mellitus tipe 2, sindrom ovarium

polikistik dan perlemakan hati non alkoholik serta penyakit-penyakit lainnya.

Pandemi sindrom metabolic berkembang seiring dengan prevalensi obesitas yang terjadi pada

populasi Asia. Penelitian Soegondo (2004) menunjukkan bahwa kategori Indeks Massa Tubuh

(IMT) obesitas > 25 kg/m2 lebih cocok untuk diterapkan pada orang Indonesia, dan pada

penelitiannya didapatkan prevalensi sindrom metabolic adalah 13,13 %. Penelitiaan lain yang

dilakukan di Depok (2001) menunjukkan prevalensi sindrom metabolic menggunakan kriteria

National Cholesterol Education Program Adult Treatment Panel III (NCEP III) dengan

modifikasi Asia, terdapat pada 25,7% pria dan 25% wanita.1,2

Andrie Yogie Putra/102007129 1

Page 2: Pbl Blok 21 Metabolic & Endokrin

BAB II

ISI

Pemeriksaan

Panel Sindrom Metabolik

Merupakan sekelompok pemeriksaan laboratorium yang disarankan untuk mengetahui adanya sindrom metabolik beserta komplikasinya. 

1.      Lingkar Pinggang, Tekanan Darah, Trigliserida, HDL Kolesterol, Glukosa Puasa

Manfaat :

      Mendeteksi adanya sindrom metabolik berdasarkan kriteria IDF 2006.

2.      Apo B dan LDL Kolesterol Direk

Manfaat :

Melihat adanya small dense LDL. Small dense LDL merupakan faktor risiko penting untuk Penyakit Jantung Koroner (PJK) dan lebih aterogenik bila dibandingkan dengan LDL biasa. Dengan menentukan konsentrasi apo B plasma, kita dapat menentukan jumlah partikel small dense LDL, di mana dengan menggunakan rasio kolesterol LDL/ApoB (konsentrasi kolesterol LDL diukur dengan metode direk) dapat ditentukan adanya small dense LDL. Pada rasio kolesterol LDL direk/ApoB < 1,2, terdapat small dense LDL dalam sirkulasi tubuh .

3.      Adiponektin

Manfaat :

Melihat apakah terjadi penurunan konsentrasi adiponektin (hipoadiponektinemia), di mana peningkatan jaringan adiposa viseral akan mengakibatkan penurunan konsentrasi adiponektin dan peningkatan sitokin proinflamasi yang berperan penting dalam efek kardiovaskular sindrom metabolik.

4.      Glukosa Puasa, Glukosa 2 jam pp dan HbA1c

Manfaat :

Andrie Yogie Putra/102007129 2

Page 3: Pbl Blok 21 Metabolic & Endokrin

Mendiagnosis dan memantau pengendalian hiperglikemia (glukosa darah puasa terganggu, toleransi glukosa terganggu dan T2DM).

5.      hsCRP

Manfaat :

Menilai kondisi inflamasi kronis pada individu sindrom metabolik. Studi cross sectional yang dilakukan oleh Santos menunjukkan bahwa sindrom metabolik merupakan suatu kondisi yang dikaitkan dengan peningkatan konsentrasi CRP dan evaluasi prospektif menunjukkan bahwa konsentrasi CRP yang tinggi akan memprediksi perkembangan sindrom metabolik.

6.      NT-proBNP

Manfaat :

Melihat risiko gagal jantung pada individu obes. Peningkatan indeks massa tubuh merupakan faktor risiko terjadinya hipertensi, T2DM dan dislipidemia, sehingga meningkatkan risiko infark miokardial yang mendahului terjadinya gagal jantung. Selain itu, hipertensi dan T2DM secara independen akan meningkatkan risiko gagal jantung.

7.      Albumin Urin Kuantitatif (Sewaktu)

Manfaat :

Membantu menentukan pengobatan yang dapat mencegah atau memperlambat onset penyakit ginjal kronik (PGK) dan penyakit kardiovaskular (PKV). Albumin Urin Kuantitatif merupakan penanda prognosis untuk risiko PKV pada individu dengan diabetes maupun tanpa diabetes, sebagai penanda risiko mortalitas pada individu infark miokardial, dan merupakan prediktor PKV pada individu dengan hipertensi tidak terkontrol.

8.      SGPT dan Collagen Type IV

Manfaat :

Melihat risiko NASH pada individu dengan sindrom metabolik. NASH merupakan bagian dari spektrum luas nonalcoholic fatty liver disease (NAFLD) dan ditandai dengan hepatomegali, peningkatan serum aminotransferase dan gambaran histologi yang menyerupai hepatitis alkoholik tanpa adanya penggunaan alkohol berlebihan. Terjadinya fatty liver (yang dideteksi melalui ultrasonografi) yang disertai dengan adanya inflamasi (ditandai dengan peningkatan hsCRP dan hipoadiponektinemia), proses fibrosis (ditandai dengan peningkatan collagen type IV) serta adanya kematian sel (ditandai dengan peningkatan enzim SGPT) merupakan kondisi yang terjadi pada NASH.6,10,11

Andrie Yogie Putra/102007129 3

Page 4: Pbl Blok 21 Metabolic & Endokrin

Diagnosis Kerja

Sindroma Metabolik

Definisi

Definisi sindroma metabolik sangat bervariasi, hal ini tergantung kepada kelompok ahli yang

mendefinisikanya. Menurut buku panduan dari National Cholesterol Education Program Adult

Treatment Panel (ATP III) tahun 2001, terdapat tiga ciri utama kriteria sindroma metabolik,

yaitu :1,6,8

Lingkar perut pada laki laki lebih dari 102 cm dan lebih dari 88 cm pada perempuan.

Kadar triglycerida darah lebih dari 150 mg/dl.

HDL kolesterol lebih rendah dari 40 mg/dl pada laki laki dan 50 mg/dl pada perempuan.

Tekanan darah diatas 130/85 mmHg.

Gula darah puasa lebih dari 110 mg/dl.

Terdapat sedikit perbedaan kriteria menurut World Health Organization (WHO) yakni :

Kadar insulin yang tinggi, peningkatan kadar gula darah puasa atau peningkatan kadar

gula darah 2 jam setelah makan dengan diikuti oleh sekurang kurangnya 2 kriteria

tambahan di bawah ini :

Andrie Yogie Putra/102007129 4

Page 5: Pbl Blok 21 Metabolic & Endokrin

Kegemukan pada daerah perut dengan rasio antara pinggang dan pinggul lebih dari 0,9,

body mass index (BMI) sekurang kurangnya 30 kg/m2 atau lingkar pinggang lebih dari

37 inchi.

Pada pemeriksaan kolesterol ditemukan kadar triglycerida sekurang kurangnya 150 mg/dl

atau HDL kolesterol kurang dari 35 mg/dl.

Tekanan darah lebih dari 140/90 mmHg.

The Third Report of the National Cholesterol Education Program (NCEP) Adult Tretment Panel III.9

Kriteria diagnosis untuk sindroma metabolik (3 dari 5 kriteria ini untuk sindroam metabolic)

Titik potong

Peningkatan lingkar pinggang (obesitas sentral) ≥ 102 cm pada laki laki atau ≥ 88 cm pada‐ perempuan

Peningkatan nilai trigliserida ≥ 150 mg/dl atau sedang mendapat terapi

Nilai HDL kholesterol yang rendah ‐ < 40 mg/dl pada laki laki ‐

< 50 mg/dl pada perempuan

atau sedang mendapat terapi

Peningkatan tekanan darah ≥ 130 mm Hg untuk tekanan darah sistolik atau ≥ 85 mmHg untuk tekanan darah diastolic atau sedang mendapat terapi

Peningkatan gula darah puasa ≥ 100 mg/dl atau sedang mendapat terapi

Andrie Yogie Putra/102007129 5

Page 6: Pbl Blok 21 Metabolic & Endokrin

Etiologi

Dari beberapa pendapat ahli menyebutkan bahwa faktor genetik dan lingkunganlah yang

memegang peranan penting terjadinya sindroma metabolik.

Riwayat keluarga dengan diabetes tipe 2, hipertensi dan penyakit jantung akan meningkatkan

kemungkinan seseorang menderita sindroma metabolik.

Fator lingkungan yang berperan antara lain kurangnya berolah raga, gaya hidup yang buruk,

dan peningkatan berat badan yang terlampau cepat.

Sindroma metabolik terjadi pada 5% orang dengan berat badan normal, 22% pada orang

dengan kelebihan berat badan dan 60% pada orang yang gemuk. Orang dewasa yang berat

badannya meningkat lebih dari 5 kg per tahun akan meningkatkan pula resiko terjadinya

sindroma metabolik sekitar 45%.

Jadi, melihat gambaran diatas, kegemukan merupakan faktor resiko yang sangat penting

terjadinya sindroma metabolik disamping hal hal berikut :

Perempuan yang telah memasuki menopause.

Merokok.

Mengkonsumsi terlalu banyak karbohidrat.

Andrie Yogie Putra/102007129 6

Page 7: Pbl Blok 21 Metabolic & Endokrin

Kurang berolah raga.

Mengkonsumsi minuman beralkohol.

Factor-faktor tersebut merupakan cirri-ciri dari pola hidup yang “Westernized” (kebarat-

baratan) yang dapat memicu timbulnya penyakit yang erat hubungannya dengan pola hidup

(“ Life Style Related Disease”) yang terjadi di Indonesia sejak tahun 1980an dan sebagai

salah satu contoh yang jelas adalah Sindroma Metabolik.3,4,5

Patogenesis

MetS-obesitas dan resistensi insulin

Metabolic syndrome merupakan hasil interaksi antara gaya hidup dan kelainan bawaan (genetik),

dan terekspresikan pada saat individu yang memiliki kelainan atau kecenderungan genetik

terhadap penyakit ini mengalami peningkatan berat badan atau obesitas. Sekitar 20-40% atau

bahkan lebih masyarakat di berbagai negara dikatakan memiliki kecenderungan genetik

memperoleh gangguan MetS. Bersamaan dengan meningkatnya angka overweight di masyarakat

sejalan dengan perubahan gaya hidup akibat diit yang tidak terkendali, maka meningkat pula

kejadian MetS. Pertanyaannya adalah, bagaimana obesitas berkaitan dengan faktor risiko

metabolik, atau apakah obesitas merupakan faktor risiko yang mendasari terjadinya MetS?

Melihat adanya kenyataan bahwa tidak semua individu dengan overweight atau obesitas

mengalami MetS, maka perlu diperhatikan adanya dua faktor lain yang berperan yaitu

kecenderungan genetik dan resistensi insulin. Hal sejalan dengan gambaran MetS yang sangat

Andrie Yogie Putra/102007129 7

Page 8: Pbl Blok 21 Metabolic & Endokrin

bervariasi antar individu di masyarakat, yang mendukung peran kecenderungan genetik pada

pola MetS yang ditemukan. Bukti lainnya adalah adanya perbedaan kecenderungan terhadap

faktor risiko metabolik dan bentuk kelainannya pada kelompok etnik yang berbeda. Pada

beberapa populasi seperti di Asia selatan, ditemukan tingginya prevalensi MetS kendati dengan

obesitas yang ringan, yang menunjukkan tingginya peran kecenderungan genetik. Kompleksnya

pengaturan jalur metabolisme memberikan alasan besarnya peran kecenderungan genetik pada

variasi bentuk MetS yang ada. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika variasi genetik

memiliki hubungan yang erat dengan obesitas dalam menentukan bentuk MetS. Apabila

demikian, maka patogenesis dari MetS tidak akan dapat dijelaskan secara menyeluruh sebelum

dasar variasi genetiknya dapat terungkap.

Peran insulin sebagai pengatur utama pada berbagai jalur met abolisme, seperti karbohidrat,

lipid, dan protein, akan memberikan konsekuensi pada adanya gangguan metabolisme akibat

gangguan fungsi insulin. Kebanyakan individu dengan MetS mengalami resistensi insulin, yang

berakibat mereka mengalami gangguan metabolism berbagai nutrien. Oleh karena itu tidaklah

berlebihan jika beberapa peneliti menyebut MetS sebagai sindroma resistensi insulin. Pada

banyak individu dengan obesitas umum ditemukan gangguan fungsi insulin pada otot skelet.

Meskipun obesitas sendiri dapat menyebabkan resistensi insulin, apakah derajat resistensi insulin

seperti ini cukup untuk menimbulkan MetS? Tampaknya peran kecenderungan genetik akan

menentukan kekuatan resistensi insulin untuk berat-ringannya MetS. Pertanyaan berikutnya

adalah, apakah semua faktor risiko metabolik berakar pda adanya resistensi insulin? Belum

cukupnya bukti, walaupun sebagian besar dapat diterangkan, menyebabkan banyak pihak tetap

menyebutkan kumpulan faktor risiko untuk terjadinya penyakit kardiovaskular ini sebagai MetS.

Andrie Yogie Putra/102007129 8

Page 9: Pbl Blok 21 Metabolic & Endokrin

Meskipun demikian, sejumlah ilmuwan diabetes dan ahli endokrin berpendapat bahwa MetS

patut disebut sebagai sindroma resistensi insulin. Kemampuan insulin untuk mendorong uptake

glukosa sangat bervariasi antar individu, dan perbedaan ini serta bagaimana seorang individu

berusaha mengkompensasinya merupakan salah satu hal yang mendasari berkembangnya MetS.

Pemikiran ini didasarkan pada teori bahwa non-insulin-dipendent diabetes melitus (NIDDM)

disebabkan oleh kegagalan sel beta pankreas untuk mengkompensasi secara adekuat gangguan

fungsi insulin pada individu dengan resistensi terhadap insulin. Ini menunjukkan bahwa

kemampuan untuk mempertahankan derajat kompensasi hiperinsulinemia, yang penting untuk

mencegah intoleransi glukosa pada individu dengan resistensi insulin merupakan proses

homeostasis yang penting. Kenyataanya, kemampuan kompensasi terhadap hiperinsulinemia

pada penderita dengan resistensi insulin lebih banyak tidak cukup adekuat untuk mencegah

berkembangnya penyakit jantung koroner. Dengan kata lain, terlepas dari derajat kemampuan

kompensasi dari sel beta pankreas, semakin seseorang mengalami resistensi insulin, akan

memiliki prognosis yang semakin buruk. Selama seorang dengan resistensi insulin masih mampu

responsiv untuk meningkatkan sekresi insulinnya, dekompensasi yang nyata terhadap

homeostasis glukosa masih dapat dicegah. Pada saat respon sekresi insulin telah menurun sampai

suatu titik dimana kadar asam lemak bebas (free fatty acid – FFA) plasma meningkat secara

bermakna, konsentrasi glukosa plasma akan meningkat dengan segera, hal ini kemungkinan

disebabkan oleh adanya produksi glukosa hati yang tidak bisa ditekan lagi. Keadaan ini

menggambarkan eratnya hubungan antara resistensi insulin dengan metabolisme lipid pada

penderita diabetes. Peningkatan kadar insulin sebagai kompensasi dari resistensi insulin juga

akan mendorong hepar meningkatkan produksi very low density lipoprotein (VLDL) yang kaya

Andrie Yogie Putra/102007129 9

Page 10: Pbl Blok 21 Metabolic & Endokrin

akan trigliserida, keadaan yang dapat menyebabkan hipertrigliseridemia. Pada individu dengan

fungsi sekresi insulin yang masih bertahan, khususnya individu non-diabetik, terdapat hubungan

yang relatif linier antara tingkat resistensi insulin dengan konsentrasi insulin plasma, yang berarti

bahwa semakin tinggi tingkat resistensi insulin, semakin kuat hiperinsulinemianya.4,5,7

MetS dan dislipidemia.

Bentuk dislipidemia pada MetS meliputi tingginya trigliserida, apolipoprotein-B (apo-B), dan

small dense LDL, serta rendahnya HDL-kolesterol. Hubungan antara dislipidemia yang

aterogenik pada MetS lebhi kompleks dibanding peran LDL-kolesterol; abnormalitas

dislipidemia yang beragam pada MetS menjadikannya sukar untuk diidentifikasi secara

menyendiri dalam kontribusinya sebagai faktor risiko penyakit kardiovaskular. Hal ini berkait

pula dengan timbulnya dislipidemia ini yang juga saling terkait atau sulit untuk dipisahkan satu

dengan yang lainnya. Dislipidemia yang beragam ini sudah dapat dipastikan akan memberikan

kontribusi yang bermakna terhadap timbulnya aterosklerosis. Satu hal yang perlu diperhatikan

adalah bahwa peningkatan apo-B total dapat tumpang tindih dengan LDL-kolesterol. Pada

individu normal, apo-B terutama ditemukan pada LDL, dimana hanya sedikit terdapat pada

VLDL. Jika didapatkan peningkatan trigliserida, maka jumlah yang lebih besar dari apo-B akan

didapatkan pada VLDL. Dengan adanya dislipidemia pada MetS ini, kadar LDLkolesterol pada

fraksi LDL menurunkan peran jumlah partikel LDL yang ada, karena partikel-partikel ini sudah

mengalami pengurangan kolesterol. Pada MetS, dislipidemia sering disertai peningkatan apo-B

yang abnormal. Banyak bukti menunjukkan bahwa lipoprotein yang mengandung apo-B bersifat

aterogenik. Apakah jenis lipoprotein pembawa apo-B yang berbeda memiliki potensi

aterogenitas yang berbeda, sampai saat ini belum dapat dipastikan. Bentuk dislipidemia pada

Andrie Yogie Putra/102007129 10

Page 11: Pbl Blok 21 Metabolic & Endokrin

MetS menunjukkan perlunya perhatian terhadap bentuk lipid lainnya selain LDL, sebagai faktor

risiko terhadap penyakit kardiovaskular. Hal yang cukup mengemuka lainnya adalah peran HDL-

kolesterol yang rendah. Penurunan HDLkolesterol dikatakan meningkatkan risiko penyakit

kardiovaskular; jika demikian, bagaimana mekanismenya? Setidaknya ada tiga kemungkinan.

Pertama, HDL dapat secara langsung mencegah berkembangnya aterosklerosis. Kedua,

rendahnya kadar HDL menunjukkan adanya peningkatan lipoprotein yang mengandung apo-B

yang bersifat aterogenik. Ketiga, rendahnya HDL biasanya berhubungan dengan adanya faktor

nonlipid lainnya yang ditemukan pada MetS. Keadaan ini menjadikan HDL sebagai marka factor

risiko yang kuat.3,4

MetS dan Penyakit kardiovaskular

Banyak studi prospektif menunjukkan bahwa obesitas akan meningkatkan risiko terhadap

penyakit kardiovaskular. Hubungan ini terbentuk tampaknya diakibatkan oleh adanya perubahan-

perubahan metabolisme yang terjadi. Obesitas akan mempengaruhi metabolisme lipid dan

glukosa, pengaturan tekanan darah, pengaturan proses thrombosis dan fibrinolisis, serta reaksi

inflamasi. Berbagai kerusakan terjadi pada masing-masing sistem tersebut. Perlu disadari bahwa

obesitas sendiri tidak akan cukup untuk menimbulkan MetS, atau dengan kata lain, obesitas

berperan namun tidak cukup kuat untuk menyebabkan MetS. Hal ini menunjukkan perlunya

faktor lain, seperti pengaruh genetik dan aging. Untuk itu sangatlah sukar menentukan semua

faktor-faktor patogenik yang menghubungkan obesitas dengan risiko penyakit kardiovaskular.

Kesulitan ini meningkat dengan adanya kenyataan bahwa aterogenesis merupakan proses yang

menahun, dimana perubahan dinding vaskular terjadi secara perlahan. Dengan demikian

sangatlah tidak bermanfaat menilai secara individual potensi aterogenik dari masing-masing

Andrie Yogie Putra/102007129 11

Page 12: Pbl Blok 21 Metabolic & Endokrin

komponen risiko MetS. Diagram dibawah ini menunjukkan kelompok kelainan yang ditemukan

pada MetS serta pengaruhnya terhadap terbentuknya penyakit kardiovaskular.4

Sel Adiposit sebagai organ endokrin

Sel adiposa memproduksi beberapa faktor yang berfungsi sebagai feed back signal dalam

pengaturan metabolisme jaringan adipose. Tidak diragukan bahwa dengan perkembangan biologi

molekuler faktor-faktor yang disekresi tersebut dapat diidentifikasi, yaitu Leptin, Resistin,

adipsin, Asylation Stimulating Protein (ASP), Adipose Fatty Acidbinding Protein, Agouti

protein, Angiotensinogen, PAI 1, TGF- β, Growth Hormone, dan steroid. Selain itu juga sel

adiposa juga berperan sebagai tempat dihasilkan beberapa sitokin yang dominan dalam regulasi

keseimbangan energi. Sitokine, IL-6 dan TNF-α selain sebagai reaksi inflamasi dalam

mekanisme pertahanan tubuh juga mempunyai peran penting sebagai hormonal dalam

metabolisme glukosa dan lemak. Adipositokin yang meningkatkan sensitivitas insulin

diantaranya adiponektin dan leptin, sedangkan yang meningkatkan resistensi insulin diantaranya

resistin, IL-6 dan TNFα. Jenis lain diantaranya adipsin, Acylation Stimulating Protein (ASP)

Aquaporin Adipose (AQPap) Plasminogen Activator Inhibitor-1 (PAI-1) Aromatase11-

hydroxysteroid dehydrogenase (11 HSD-1) dan lain-lain.3,5

Leptin

Pada tahun 1994 Leptin (LPT) baru ditemukan sebagai suatu protein pada Gen obes ob/ob dapat

mengkoda leptin, yaitu suatu peptida 16 KD yang disekresikan oleh sel adiposa. Leptin yang

berperan sebagai regulator utama dalam pengaturan keseimbangan energi. Leptin bekerja di

reseptor neural pada susunan syaraf pusat, yaitu di hipotalamus untuk meghambat asupan

makanan dan meningkatkan penggunaan energi. Berbeda dengan tikus ob/ob, pada tikus db/db

Andrie Yogie Putra/102007129 12

Page 13: Pbl Blok 21 Metabolic & Endokrin

ditemukan resistensi leptin karena mutasi pada reseptor leptin. Hal serupa juga ditemukan pada

manusia. Leptin merupakan hormon yang dihasilkan oleh jaringan lemak yang berfungsi

mengatur metabolisme untuk keseimbangan energi dan berat badan. Secara umum leptin

berperan dalam menghambat rasa lapar dan meningkatkan metabolisme energi. Pada individu

dengan jaringan lemak yang berukuran besar mengandung lebih banyak leptin dibandingkan

dengan jaringan lemak yang lebih kecil, sedangkan pada obesitas sering dijumpai adanya

resistensi leptin. Keadaan ini terjadi akibat gangguan transportasi leptin pada otak sehingga

Hipothalamus pada individu dengan obesitas menjadi kekurangan leptin. Leptin akan

meningkatkan signal pencadangan lemak dengan didahului penurunan asupan makanan. Fungsi

lain leptin adalah menurunkan signaling pencadangan lemak akibat peningkatan asupan makanan

dan penurunan penggunaan energi ( metabolic rate yang menurun). Leptin yang dikat oleh

reseptor neural di Hipothalamus akan menurunkan kadar neuropeptide Y, yang menimbulkan

turunnya appetite dan signal sel adiposa untuk penghancuran trigleserida sebagai upaya

melepaskan asam lemak bebas kemudian digunakan untuk proses oksidasi, yang dipengaruhi

insulin dan beberapa sitokin. Insulin dalam waktu singkat akan mempromosikan uptake glukosa

oleh sel adiposa, hal ini terjadi dengan terjadi peningkatan cadangan triacylglyceride dan

peningkatan deposit lemak. Peningkatan leptin akan menyebabkan penurunan asupan makanan.

Selain diikat oleh neuro reseptor leptin di hypothalamus juga oleh reseptor di sel T. Diduga hal

ini dihubungkan dengan kaitan antara sel adipose dengan sistem imunitas. Penelitian pada tikus

yang telah kehilangan gen pengkode leptin (ob/ob knock-out mice ) menunjukkan adanya

gangguan pada respon autoimun sel T helper-1/Th1. Konsentrasi leptin mempengaruhi otak

dengan indikator adanya massa adipose untuk regulasi appetite dan metabolisme. Leptin bekerja

Andrie Yogie Putra/102007129 13

Page 14: Pbl Blok 21 Metabolic & Endokrin

dengan menghambat aksi neuropeptide Y (NPY) dan agouti-related peptide (AgRP) serta

meningkatkan aksi α-melanocortin stimulating hormone (α-MSH). Sampai saat ini, hanya leptin

dan insulin yang dimengerti sepenuhnya sebagai signal adipose. Berada dalam sirkulasi dengan

kadar proporsional dihubungkan dengan lemak tubuh memasuki system syaraf pusat secara

proposional untuk mengatur konsentrasi secara proporsional juga. Dengan adanya interaksi

dengan SSP, leptin harus melewati sawar darah otak. Hal ini terjadi melalui reseptor leptin pada

sel endotel yang berfungsi sebagai transporter. Pada saat terjadi ikatan dengan Ob-Rb reseptor,

maka menimbulkan dua efek :

Represi anabolik, menyebabkan penurunan asupan makanan dan ekspenditure energi. Aksi leptin

pada hypothalamus menyebabkan down-regulation NPY dan AgRP. Keduanya dangat poten

sebagai molekul orixigenic (appetite –Stimulating), yang meningkatkan asupan energi. NPY

lebih poten 2 kali setelah beberapa jam, sedangkan AgRP lebih banyak berpengaruh pada saat

akhir proses metabolik tersebut. Aktifasi katabolik, juga disebabkan penurunan asupan makanan

dan energi ekspenditur. Leptin pada umumnya diperlukan pemecahan pro-opiomelanocortin

(POMC) sebagai molekul prekusor. Hal ini diperbolehkan oleh α-melanocortin stimulating

hormone (α-MSH) untuk diproduksi. Rendahnya MSH mengaktifasi aktifitas jalur melanocortin

anoreksia, peningkatan rangsangan anoreksi melanokortin, menstimulasi asupan energi dan

peningkatan MSH, dan apabila terjadi peningkatan MSH maka terjadi inhibisi asupan energi.

Leptin juga ternyata mempunyai efek biologi lain yaitu, berperan pada proses reproduksi,

hematopopoiesis, angiogenesis, kontrol tekanan darah, dan formasi tulang. Walaupun sampai

saat ini mekanisme yang terjadi belumlah jelas sepenuhnya.3

Resistin

Andrie Yogie Putra/102007129 14

Page 15: Pbl Blok 21 Metabolic & Endokrin

Resistin, seperti juga TNF- α, adiponektin, asam lemak bebas dan mungkin beberapa factor lain

yang di sekresikan oleh sel adiposa yang mempunyai target aktifitas di jaringan perifer. Aktifitas

ini mempengaruhi sensitifitas insulin dan proses seluler serta metabolik. Resistin sebagai

hormone adipose ditemukan tahun 2001, dikatakan resistin karena penelitian meggunakan tikus

dengan resistensi insulin. Resistin diidentifikasikan untuk pertama kali ketika Steppan dkk

melakukan screening gen-gen yang terpapar oleh rosiglitazone. Pada saat adipogenesis gen-gen

tersebut terstimulasi dan mengalami down-regulation pada sel adiposa yang telah mature.

Diduga resistin merupakan penghubung antara peningkatan masa lemak dan resistensi insulin.

Resistin diekspresikan dalam WAT dan terdeteksi dalam serum, dan diduga mempunyai aksi di

jaringan diluar sel adiposa. Penemuan tersebut menumbuhkan kegairahan dan harapan dalam

penggunaan resistin untuk terapi resistensi insulin. Penelitian akhir-akhir ini menunjukan

berbagai kontroversi tentang fungsi fisiologis resistin serta perannya dalam patofisiologi

obesitas, resistensi insulin dan DMT2. Pada mencit obes ternyata resistin serum meningkatkan

dan resistin sebagai mediator resistensi insulin menurun akibat rosiglitazone atau

thiazolidinedione yang meningkatkan sensitifitas insulin. Selain itu, netralisasi aktifitas resistin

akibat injeksi antibodi resistin menurunkan kadar gula darah yang signofokan dan memperbaiki

sensitifitas insulin pada obes, resistensi insulin pada mencit dan injeksi resitin pada mencit

ternyata memperburuk toleransi glukosa dan menimbulkan resistensi insulin. Resistin pada

awalnya diidentifikasi pada tikus, dikenal juga sebagai "serine /cysteine-rich adipocyte-Specific

Secretory Factor" (ADSF atau FIZZ3) mempunyai efek pada beberapa organ pada tubuh

manusia. Resistin termasuk dalam kelompok gen protein kecil kaya sistein yang disekresikan (

small cystein-rich secreted protein) oleh sel adiposa. Resistin mencit dalam sirkulasi berbentuk

Andrie Yogie Putra/102007129 15

Page 16: Pbl Blok 21 Metabolic & Endokrin

homodimer dua peptide yang dihubungkan oleh jembatan disulfida. Pengaturan cystein tersebut

unik untuk resistin. Dua anggota keluarga protein tersebut adalah Resistin Like Molecule

( RELM)-α dan ß. RELM-α yang juga dikenal sebagai FIZZ1 ( found in inflamantory zone)

diekspresikan di jaringan paru yang sedang mengalami peradangan. RELM-ß yang dikenal

sebagai FIZZ2 diekspresikan di epitel intestinum dan tidak didapatkan pada human genom

RELM-ß. RELM mempunyai 60% kemiripan asam amino dengan resistin. Kelompok protein

tersebut tampaknya memegang peran dalam jaringan komunikasi antar organ yang kompleks,

yaitu memodulasi keseimbangan energi dan metabolisme intermediet. Dalam kenyataannya pada

penelitian pada tikus awal diduga adanya hubungan antara kadar glukosa dengan konsentrasi

resistin ini. Molekul ini diduga berhubungan dengan patofisiologi dari resistensi insulin dan

diabetes tipe 2 yang menyebabkan obesitas. Resistin menyebabkan jaringan, terutama hati,

menjadi kurang sensitive terhadap insulin. Pemberian antibodi terhadap resistin yang

menetralkan efek hormone resistin menyebabkan meningkatan sensitifitas insulin pada tikus

yang mengalami obesitas dan tikus dengan resistensi insulin. Hal ini memberikan gambaran

bahwa adanya hubungan antara obesitas dan diabetes tipe 2. Walaupun demikian kadar resistin

yang beredar dalam sirkulasi ternyata tidak ada hubungannya dengan obesitas dan resistensi

insulin serta tidak diatur oleh keadaan puasa atau pemberian leptin. Pada mencit, resistin

terutama diekspresikan di jaringan WAT dan temuan resistin yang terdeteksi di serum

menunjukan bahwa resistin di sekresikan oleh sel adiposa dan bekerja di tempat jauh. Ketika

pertama kali ditemukan, kadar resistin di dalam serum mencit yang obes meningkat, sebaliknya

thiazolinedione (agonis PPAR γ) menurunkan kadar resistin serum. Hal tersebut menunjukan

bahwa resistin merupakan mediator untuk resistensi insulin. Lebih lanjut, netralisasi aktifitas

Andrie Yogie Putra/102007129 16

Page 17: Pbl Blok 21 Metabolic & Endokrin

resistin dengan cara menyuntikan antibodi resistin menurunkan kadar glukosa darah,

memperbaiki sensitifitas insulin, pada mencit obes yang insulin resisten. Sebaliknya,

penyuntikan resistin memperburuk toleransi glukosa dan menginduksi resistesi insulin. Di cell

line sel adiposa, resistin menghambat insulin-stimulated glucose uptake dan pemberian antibodi

terhadap resistin meningkatkan transportasi gukosa. Hal tersebut menunjukan bahwa resistin

endogen mempunyai efek otokrin. Resistin menghambat maturasi pre-sel adiposa menjadi sel

adiposa. Pada keadaan resistensi insulin, ekspresi resistin di jaringan lemak ( tempat resistensi

insulin tersebut berlangsung) seharusnya meningkat. Resistin juga lebih diekspresikan di

jaringan lemak abdominal dibandingkan dengan lemak subkutan, akan tetapi penelitian

penelitian selanjutnya menunjukan bahwa ekspresi mRNA resistin dan proteinnya di berbagai

model binatang percobaan yang obes ternyata tertekan. Hal tersebut menimbulkan pertanyaan

mengapa ekspresi protein yang memediasi resistensi insulin justru lemah pada kondisi resistensi

insulin. Sebaliknya ekspresi resistin di jaringan lemak berbagai binatang percobaan yang obes

(ob/ob, db/db, zucker diabetes mice) meningkat sesudah pemberian terapi agonis PPAR-α dan

metformin. Ekspresi resistin juga dipengaruhi oleh PPAR α. Hal tersebut menimbulkan dugaan

bahwa ekspresi resistin tertekan pada keadaan resistensi insulin dan mekanisme kerja anti

hipoglikemi agonis PPAR-α dan metformin tidak memerlukan penurunan ekspresi resistin.

Peneliti lain menunjukan bahwa terapi pada mencit db/db dengan rosiglitazone menurunkan

ekspresi resistin. Sebaliknya di kultur sel adiposa, TNF α yang menimbulkan resistensi insulin

justru menghambat ekspresi dan sekresi resistin. Resitin tidak diekspresikan miosit dan sel

adiposa yang isolated maupun sel adiposa intake yang diperoleh dari biopsi. Tidak ada

perbedaan ekspresi resistin di sel lemak individu normal, resistensi insulin, maupun Diabetes

Andrie Yogie Putra/102007129 17

Page 18: Pbl Blok 21 Metabolic & Endokrin

Mellitus tipe . Peneliti menyimpulkan, bahwa pada manusia resistin bukan merupakan

penghubung antara resistensi insulin dengan DM yang penting. Resistin diduga merupakan

penghubung antara sel adiposa dan resistensi insulin, dengan cara menghambat ambilan glukosa

yang distimulasi insulin (insulin mediated glucose uptake) serta menghambat diferensiasi sel

adiposa. Berbagai penelitian tentang kaitan antara gen resistin dengan obesitas, resistensi insulin

dan DMT2 masih menunjukan hasil yang saling bertentangan.3

Adiponektin

Adiponektin, yang juga dikenal sebagai adipoQ dan Acrp30, merupakan salah satu adipositokin

yang secara spesifik dihasilkan oleh jaringan adiposa. Adiponektin pertama kali ditemukan saat

meneliti ekspresi gen pada jaringan lemak viseral dan subkutan manusia yang bertujuan untuk

mengetahui mekanisme penyakit-penyakit yang berhubungan dengan obesitas. Secara tidak

terduga, gen yang terekspresi di jaringan lemak subkutan dan viseral, sebanyak 20% dan 30%,

merupakan gen yang menghasilkan berbagai macam protein sekretorik yang bersifat bioaktif

(bioactive secretory protein), yang kemuadian dinamakan adipositokin. Salah satu dari

adipositokin ini adalah adiponektin. Adiponectin (Adipocyte complement-related protein of 30

kDa - Acrp30): Adalah protein spesifik yang berikatan dengan sel otot dan mempromosikan

penggunaan dan oksidasi karbohidrat dan lipid. Kadar adiponectin menurun pada penderita

diabetes dan obes. Adiponektin terdapat pada jaringan lemak pada system sirkulasi. Penurunan

kadar adiponektin berhubungan dengan obesitas dan resistensi insulin. Regulasi adiponektin

dipengaruhi oleh sekresi sitokin antara lain TNF α. Penurunan kadar adiponektin berhubungan

dengan obesitas dibuktikan dengan percobaan yang menggunakan mencit ( knock out- mice)

dimana gen adiponektin telah di nonaktifkan sehingga kemampuan untuk menghilangkan asam

Andrie Yogie Putra/102007129 18

Page 19: Pbl Blok 21 Metabolic & Endokrin

lemak bebas di dalam plasma menjadi turun. Tingginya kadar asam lemak bebas di dalam

plasma merupakan faktor utama penyebab aterosklerosis. Hal ini menunjukkan adanya hubungan

antara obesitas, aterosklerosis dengan kadar adiponektin. Percobaan di atas juga menemukan

peningkatan kadar TNF-α pada jaringan lemak dan plasma, dengan demikian menunjukkan

hubungan terbalik antara obesitas dengan kadar TNF α. Gen dari adiponektin terletak pada

kromosom 3q27, sebuah lokus yang juga diketahui berhubungan dengan penyakit diabetes.

Secara struktural, adiponektin menyerupai serabut kolagen, faktor komplemen dan TNF-α..

Struktur dasar dari adiponektin terdiri dari 244 asam amino dengan 4 domain: amino-terminal

signal sequence, variable region, collagenous domain dan carboxy-terminal globular domain

Adiponektin mengalami modifikasi post-translational di dalam adiposit menjadi bentuk

multimer: trimer, hexamer dan high-molecular-weight (HMW) oligomer. Bentuk multimer ini

berbeda-beda ukurannya dari 75-90 kDa untuk trimer sampai 500 kDa untuk HMW oligomer.

Adiponektin bentuk globular merupakan pecahan dari adiponektin bentuk utuh melalui proses

proteolisis. Dari beberapa bukti yang didapatkan, diperkirakan bahwa berbagai bentuk multimer

ini memiliki efek yang berbeda-beda pada jaringan. Distribusi relatif dari bentuk multimer ini

mungkin berhubungan dengan sensitifitas insulin. HMW adiponektin memperlihatkan korelasi

yang lebih kuat dengan toleransi glukosa dibanding kadar total adiponektin. Terdapat 2 macam

reseptor adiponektin, AdipoR1 dan AdipoR2. AdipoR1 banyak didapatkan di sel otot,

mempunyai afinitas yang kuat dengan adiponektin bentuk globular dan afinitas yang lemah

dengan adiponektin bentuk utuh (full-length), sedangkan AdipoR2 banyak ditemukan di sel

hepar dan memiliki ikatan yang sedang (moderate) dengan kedua bentuk adiponektin. Jumlah

AdipoR1 dan AdipoR2 meningkat pada keadaan puasa, dan kembali normal pada keadan

Andrie Yogie Putra/102007129 19

Page 20: Pbl Blok 21 Metabolic & Endokrin

postprandial. Keadaan ini menunjukkan kemungkinan peranan insulin sebagai regulator reseptor

adiponektin.3

Mekanisme Kerja Adiponektin

1. Meningkatkan Sensitifitas Insulin

Adiponektin menurunkan jumlah trigliserida di jaringan dan meningkatkan sinyal insulin Pada

otot skeletal, adiponektin meningkatkan ekspresi molekul-molekul yang terlibat dalam transport

asam lemak seperti CD36, yang terlibat dalam pembakaran asam lemak seperti acylcoenzyme A

oxidase, dan dalam penggunaan energi seperti uncoupling protein 2. Perubahan ini menyebabkan

berkurangnya jumlah trigliserida di dalam otot skeletal. Peningkatan jumlah trigliserida di dalam

otot skeletal akan menghambat aktivasi phosphatidylinositol (PI) 3-kinase, translokasi glucose

transporter 4 dan ambilan glukosa, sehingga menyebabkan terjadinya resistensi insulin. Oleh

karenanya, berkurangnya jumlah trigliserida di jaringan otot akan memperbaiki transduksi sinyal

insulin.

2. Adiponectin mengaktifasi PPAR α

Berdasarkan data bahwa pengobatan tikus percobaan yang menderita lipoatrofi atau tikus dengan

diabetes disertai obesitas dengan adiponektin atau ekspresi berlebihan dari adiponektin pada

tikus percobaaan akan meningkatkan ekspresi target gen PPAR α seperti CD36, acylcoenzyme A

oxidase dan uncoupling protein 2, dibuat hipotesis bahwa adiponectin dapat mengaktifkan PPAR

α. Dari data ini diperkirakan bahwa adiponektin akan meningkatkan pembakaran asam lemak

dan konsumsi energi melalui aktivasi PPAR α, yang mana akan mengurangi jumlah trigliserida

di hati dan otot skeletal, yang pada gilirannya akan meningkatkan sensitivitas insulin.

Andrie Yogie Putra/102007129 20

Page 21: Pbl Blok 21 Metabolic & Endokrin

3. Adiponektin mengaktivasi AMP kinase (AMPK)

Dari hasil percobaan dengan menggunakan adiponektin selama 1 jam, ternyata didapatkan

peningkatan oksidasi asam lemak dan peningkatan ambilan glukosa di miosit. Berdasarkan data

ini dibuat hipotesis bahwa adiponektin akan merangsang ß-oxidation dan ambilan glukosa

melalui aktivasi AMP kinase. Adiponektin globular dan bentuk utuh merangsang fosforilasi dan

aktivasi AMPK pada otot skeletal, sedangkan pada hati hanya dirangsang oleh adiponektin

bentuk utuh. Bersamaan dengan aktivasi AMPK, adiponektin juga merangsang fosforilasi dari

acetyl coenzyme-A carboxylase (ACC), pembakaran asam lemak, ambilan glukosa dan produksi

asam laktat di miosit, dan juga merangsang fosforilasi ACC dan menyebabkan berkurangnya

molekul-molekul yang terlibat dalam proses glukoneogenesis di hati, yang memperlihatkan efek

akut penurunan glukosa dari adiponektin.

4. Adiponektin dan Anti-aterosklerosis

Adiponektin mempunyai efek kuat menghambat ekspresi molekul-molekul adhesi seperti

intracellular adhesion molecule-1, vascular cellular adhesion molecule-1, dan E-selectin.

Adiponektin juga akan menghambat aktivasi nuclear factor-kB, sehingga adhesi monosit pada sel

endotel terhambat. Adiponektin juga menghambat ekspresi dari scavenger receptor dari

makrofag, menyebabkan berkurangnya ambilan LDL teroksidasi dan berkurangnya produksi

foam cells. Di dalam sel otot, adiponektin akan mengurangi proliferasi sel melalui mekanisme

penekanan terhadap platelet-derived growth factor, heparin-binding epidermal growth factor

(EGF)-like growth factor, basic fibroblast growth factor, dan EGF.3

Regulasi Adiponektin

Andrie Yogie Putra/102007129 21

Page 22: Pbl Blok 21 Metabolic & Endokrin

Kadar adiponektin diatur secara ketat dan tetap konstan oleh berbagai macam hormone dan

faktor-faktor yang terlibat dalam regulasi fungsi metabolisme dan atau sistem imun. Insulin akan

menurunkan kadar adiponektin. Thiazolidindiones suatu agonis PPARγ akan meningkatkan

ekspresi adiponektin, keadaan yang juga mencerminkan adanya rangsangan terhadap diferensiasi

adiposit. Faktor-faktor lain sebagian besar bersifat inhibisi terhadap adiponektin, faktor tersebut

adalah katekolamin, glukokortikoid, sitokin (IL-6 dan TNF-α), prolactin growth hormon dan

androgen.3,5

Sitokin

Dalam sistem imunitas, sitokin akan dilepaskan selama proses inflamasi berlangsung, seperti

interleukin IB (IL-6 1B) dan TNF-α. TNF-α merupakan sitokin inflamasi utama yang

disekresikan oleh makrofag dan juga disekresikan oleh sel adiposa. Salah satu target organ utama

adalah sel adiposa sendiri yaitu terjadi inhibisi transkripsi gen dan aktivasi ekspresi gen lainnya.

PPAR-γ, pada beberapa gene dapat diinhibisi oleh TNF-α. PPAR-γ ( peroxisome proliferatif

actived receptor ) yang merupakan akspresi normal PPAR-γ ini muncul dan berperan penting

pada proses deferensiasi sel dalam lemak, dalam control metabolism lemak dan akibatnya akan

mempengaruhi resistensi insulin. PPAR-γ terikat pada sel adipose, metabolit, beberapa obat akan

berubah bentuk dan terjadi binding/unbinding PPAR terhadap respon. Respon PPAR-γ yang

mengontrol ekspresi beberapa gen yang berhubungan dengan metabolisme lemak. Kondisi ini

dikatakan sebagai faktor transkripsi sensor. Obat yang diikat dan diaktivasi PPAR akan

meningkatkan sensitifitas insulin yang akan membantu mengontrol kadar gula darah.3

TNF α

Andrie Yogie Putra/102007129 22

Page 23: Pbl Blok 21 Metabolic & Endokrin

Tumor necrosis factor α (TNF α ) merupakan komponen sitokin utama yang berperan dalam

proses imunomodulator dan respon inflamasi, yang disekresikan oleh makrofag dan sel adipose.

Salah satu target utama TNF- sel adiposa sendiri, yaitu terjadi inhibisi terhadap proses

traskripsi beberapa gen dan aktivasi ekspresi gen lainnya. Peningkatan kadar TNF-α dijumpai

pada hewan percobaan dan manusia yang menunjukan gejala obesitas, dan juga pada individu

yang memiliki resistensi insulin. Pada kasus resistensi insulin, TNF-α menghambat terjadinya

signaling reseptor insulin pada jaringan adipose melalui reseptor TNF-α. Produksi TNF-α dapat

dihambat dengan beberapa senyawa anti TNF-α seperti thiazolindinedione (TZD). Senyawa ini

mempu menekan aktivasi TNF-α, meskipun secara parsial, dengan cara menghambat signaling

reseptor insulin yang menyebabkan resistensi insulin. Penurunan (inhibisi) ekspresi gen terjadi

pada pemberian pengobatan dengan TNF terjadi pada: GLUT 4 (glucose transport protein),

PPAR, dan Adiponektin. Terapi yang lama menimbulkan penurunan protein: Insulin receptor,

insulin receptor substrate 1 (IRS-1), GLUT4 glucose transport protein, AKT ( a kinase ). Semua

efek ini akan menyebabkan resistensi insulin. Mediator inflamasi yang disekresikan oleh

makrofag dan sel adipose berpengaruh terhadap kadar glukosa darah, diduga pada obesitas

terjadi keadaan inflamasi kronik sistemik. NF-kB: adalah faktor transkripsi protein spesifik

muncul pada beberapa gen yang transkripsi yang diinhibisi oleh adanya aktifasi TNF. Terdapat

beberapa obat yang mampu menginhibisi NF-kB. Jika diberikan pada adipose setelah stimulasi

TNF, efek TNF tidak dilakukan observasi. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa efek TNF adalah

memediasi secara langsung NF-kB. Protein ini biasanya terikat pada protein inhibitor, NF-kB.

Yang berupaya mencegah terjadinya ikatan DNA dan terjadinya aksi faktor transkripsi. Dalam

timbulnya TNF, IF-kB akan bebas dari NF-kB dan sekarang dalam bentuk aktif dapat berperan

Andrie Yogie Putra/102007129 23

Page 24: Pbl Blok 21 Metabolic & Endokrin

sebagai faktor transkripsi. Dengan Lepasnya inhibisi NF-kB , IF-kB dan akibatnya terjadi ikatan

dengan DNA. PPAR ( peroxisome proliferators activated receptor )-γ : beberapa gen diinhibisi

oleh TNF membutuhkan faktor transkripsi lain dalam ekspresi normal. PPAR-γ tampak berperan

pada deferensiasi sel didalam sel adipose, sebagai kontrol metabolisme lemak dan berperan

dalam terjadinya resistensi insulin. PPAR-α ditemukan pada sel liver sedangkan PPAR-γ

ditemukan pada sel lemak, terikat pada asam lemak, metabolit, dan beberapa obat. Ikatan terjadi

didahului oleh perubahan bentuk dan ikatan/ dan pelepasan PPAR dari respon elemen, respon

elemen PPAR adalah kontrol ekspresi beberapa gen dalam metabolisme lipid. Semua ini adalah

faktor sensor transkripsi lipid. Obat yang terikat dan mengaktifkan PPAR- γ menyebabkan sel

lebih sensitive terhadap insulin, sedangkan obat yang terikat dan mengaktifkan PPAR- γ

membantu menurunkan kadar lipid. PPAR-γ yang terekspresi di sel adiposa merupakan kunci

penting dalam mengontrok deferensiasi precursor sel adiposa menjadi sel adiposa. Jika PPAR- γ

terekspresi dalam sel non adiposa, makan akan berubah menjadi sel adiposa. Jika aktifitas

biologi PPAR- γ dalam sel adiposa misalnya akibat obat, kemudian sel adipose menjadi tempat

yang lebih baik untuk pencadangan lemak. Hal ini mempunyai peranan penting untuk pergerakan

abnormal deposit lipid dari otot dan hepar ke sel lemak dan mengurangi triacylglycerid dalam

darah, kondisi ini menguntungkan bagi penderita diabetes. PPAR- γ akan merubah kebutuhan

gen untuk pencadangan lemak, termasuk glycerol kinase, lipoprotein lipase, dan transporter asam

lemak. Juga jika TNF, terus mengaktifasi NF-kB, inhibisi mediasi ekspresi gen oleh PPAR- γ

akhirnya menyebabkan diabetes. TAG akan berkurang dan kadar asam lemak dalam darah akan

meningkat. Efek lain aktivasi PPAR- γ akibat obat adalah perubahan pada ekspresi dan sekresi

adipokinasi yang akan berpengaruh langsung di seluruh tubuh. Perubahan ini menurunkan

Andrie Yogie Putra/102007129 24

Page 25: Pbl Blok 21 Metabolic & Endokrin

resistensi insulin. Kadar TNF menurun akan meningkatkan sensitifitas insulin serta juga sekresi

adinopektin meningkat. Dengan demikian terjadi peningkatan penggunaan glukosa oleh otot dan

penurunan sintesa hepar. Akhirnya menurunkan penurunan kadar glukosa. PPAR- α

terekspresi di hepar. Dalam keadaan puasa, hepar akan memasukan asam lemak dari sel

lemak. Perubahan ini terjadi akibat aktivitas PPAR- α menyebabkan oksidasi sel lemak.

Akhirnya terjadi penurunan triacylglycerida ( akibat penurunan sintesadi hati ).3

Interleukin (IL)-6

Sepertiganya IL-6 yang beredar dalam tubuh diperkirakan berasal dari sel adiposa, yang berperan

sebagai autokrin dan parakrine. Dalam kondisi basal, IL-6 disekresikan dan akibat stimulasi

TNF-α, sekresi IL-6 meningkat sampai 60 kali dalam bentuk 3T3-L1 adiposite. TNF-α dengan

mudah meningkatkan ekspresi pada obesitas, melalui ekspresi IL-6 sel adiposa dan non adiposa.

Modulator lain yang berperan dalam ekspresi IL-6 pada sel adiposa adalah Glukokortikoid dan

Katekolamine. Efek biologi lain IL-6 adalah penurunan aktifitas LPL jaringan adiposa yang

mempunyai implikasi dalam pengurangan deposit lemak, stimulasi sintesa protein pada fase

akut, peningkatan aktifitas aksis Hipofisis hypothalamus dan thermogenesis. Interleukin 6

merupakan salah satu anggota dari proinflamantory sitokin yang disekresi oleh monosit,

makrofag, dan jaringan lemak. Pada manusia, IL-6 dapat memacu reaksi inflamasi. Peningkatan

kadar IL-6 berhubungan dengan resistensi insulin pada penderita obesitas dan diabetes tipe 2.

Pada hewan, IL-6 memiliki efek yang berbeda dengan pada manusia dimana peningkatan kadar

IL-6 menyebabkan proteksi terhadap obesitas. IL-6 dapat menginduksi produksi TNF-α sehingga

memperantarai reaksi inflamasi in vitro seperti yang ditunjukkan dengan pemebrian IL-6 pada

sel sel adiposa. Reaksi ini diperantarai oleh protein TIARP/TNF-α pada individu yang menderita

Andrie Yogie Putra/102007129 25

Page 26: Pbl Blok 21 Metabolic & Endokrin

obesitas. Secara umum, IL-6 dapat menyebabkan kelainan hemostatis, diabetes mellitus tipe 2

dan menyebabkan obesitas sehingga molekul ini merupakan target yang baik untuk pengobatan.3

Manifestasi Klinik

MetS ditandai oleh adanya obesitas (khususnya obesitas sentral), dislipidemia, hiperglikemia,

dan hipertensi secara bersamaan. Sindroma ini banyak ditemukan, mengenai sekitar 40%

masyarakat usia diatas 50 di Amerika Serikat, dan hampir 30% di Eropa. Prevalensi MetS

meningkat sejalan dengan penambahan usia, dan mengenai lebih dari 40% mereka dengan usia

diatas 60 tahun. Berbagai penelitian terakhir menunjukkan hubungan MetS dengan peningkatan

faktor risiko terhadap penyakit jantung koroner, infark jantung dan stroke. Peningkatan risiko

terhadap morbiditas dan mortalitas penyakit kardiovaskular akibat MetS ini tidak berhubungan

dengan faktor risiko lainnya yang dikenal signifikan berperan, seperti merokok, kadar LDL-

kolesterol atau konsumsi alkohol.1,6,7

Secara definitif, dikenal 2 macam kelompok kriteria yang diajukan oleh badan kesehatan dunia

(WHO) dan National Cholesterol Education Program Adult Treatment Panel III (NCEP ATP

III), sebagaimana terlihat pada tabel berikut ini.

Ketentuan WHO :

Adanya impaired fasting glucose atau impaired glucose tolerance atau diabetes disertai 2 (dua)

atau lebih kriteria berikut :

- Ratio pinggang : pinggul > 0,85 (wanita) > 0,9 (pria) dan atau BMI > 30 kg/m2

- Trigliserida ≥ 150 mg/dl dan atau HDL-kolesterol < 40 mg/dl

- Tekanan darah ≥ 140/90 mm Hg

Andrie Yogie Putra/102007129 26

Page 27: Pbl Blok 21 Metabolic & Endokrin

- Microalbuminuria : laju ekskresi albumin urin ≥ 20 ng/min atau

ratio albumin : creatinin ≥ 30 mg/g

Ketentuan NCEP ATP III :

Ditemukannya 3 (tiga) atau lebih kriteria berikut :

- Obesitas abdominal > 102 cm untuk pria

- Lingkar pinggang > 88 cm untuk wanita

- Trigliserida ≥ 150 mg/dl

- HDL- kolesterol < 40 mg/dl untuk pria < 50 mg/dl untuk wanita

- Tekanan darah ≥ 130/85 mm Hg

- Gula darah puasa ≥ 110 mg/dl

Adanya perbedaan ketentuan kriteria MetS menggambarkan besarnya variasi gambaran MetS

serta permasalahannya yang ditemukan pada masyarakat.1,6,8,11

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan sindrom metabolic terutama bertujuan untuk menurunkan risiko penyakit

kardiovaskular aterosklerosis dan risiko diabetes mellitus tipe 2 pada pasien diabetes. Apabila

kondisi tersebut ada maka perlu diajukan pengobatan untuk sindrom metabolic. Penatalaksanaan

sindrom metabolic terdiri dari 2 pilar, yaitu tatalaksana penyebab (berat badan lebih/obesitas dan

inaktivitas fisik) serta tatalaksana factor risiko lipid dan non lipid.

Pemahaman tentang hubungan antara obesitas dan sindrom metabolic serta peranan otak dalam

pengaturan energy, merupakan titik tolak yang penting dalam penatalaksaan klinik. Pengaturan

Andrie Yogie Putra/102007129 27

Page 28: Pbl Blok 21 Metabolic & Endokrin

berat badan merupakan dasar tidak hanya bagi obesitas tapi juga sindrom metabolic. Penurunan

berat badan 5-10 % sudah dapat memberikan perbaikan profil metabolic. Penanganannya yang

terintegrasi dalam pengelolaan berat badan mencakup diet, aktivitas fisik dan yang terpenting

adalah perubahan perilaku. Obat-obatan dapat diberikan sebagai bagian pengaturan berat badan.

Dua obat yang dapat digunakan dalam menurunkan berat badan adalah sibutramin dan orlistat.

Dengan mempertimbangkan peranan otak sebagai regulator berat badan, sibrutamin dapat

menjadi pertimbangan walaupun tanpa mengesampingkan efek samping yang akan timbul. Cara

kerjanya di sentral memberikan efek mengurangi asupan energy melalui efek mempercepat rasa

kenyang dan mempertahankan pengeluran energy setelah berat badan turun dapat memberikan

efek tidak hanya penurunan berat badan namun juga mempertahankan berat badan yang sudah

turun. Demikian pula dengan efek metabolic, sebagai efek dari penurunan berat badan pemberian

sibutramin setelah 24 minggu yang disertai dengan diet dan aktivitas fisik, memperbaiki kadar

trigliserida dan kolesterol HDL.

Hipertensi merupakan factor risiko penyakit kardiovaskular. Hipertensi juga mengakibatkan

mikroalbuminuria yang dipakai sebagai indicator independen morbiditas kardiovaskular pada

pasien tanpa diabetes atau hipertensi. Target tekanan darah dapat dicapai dengan terapi

farmakologi yang dapat mempengaruhi tekanan darah dan bermanfaat khusus untuk factor risiko

kardiovaskular lainnya. Dalam suatau penelitian metaanalisis didapatkan bahwa enzim

pengkonversi angiotensin dan penghambat reseptor angiotensin mempunyai manfaat yang

bermakna dalam meregresi hipertrofi ventrikel kiri dibandingkan dengan penghambat beta

adrenergic, diuretic dan antagonis calcium. Vasartan, suatu penghambat reseptor angiotensin,

Andrie Yogie Putra/102007129 28

Page 29: Pbl Blok 21 Metabolic & Endokrin

dapat mengurangi mikroalbuminuria yang diketahhui sebagai factor risiko independen

kardiovaskular.

Intoleransi glukosa merupakan salah satu manifestasi sindrom metabolic yang dapat menjadi

awal suatu diabetes mellitus. Penelitian-penelitian yang ada menunjukkan adanya hubungan

yang kuat antara toleransi glukosa terganggu (TGT) dan risiko kardiovaskular pada sindrom

metabolic dan diabetes. Perubahan gaya hidup dan aktivitas fisik yang teratur terbukti efektif

dapat menurunkan berat badan dan TGT. Modifikasi diet secara bermakna memperbaiki glukosa

2 jam pasca prandial dan kadar insulin.

Tiazolidindion memiliki pengaruh yang ringan tetapi persisten dalam menurunkan tekanan darah

sistolik dan diastolic. Tiazolidindion dan metformin juga dapat menurunkan kadar asam lemak

bebas. Pada Diabetes Prevention Program, penggunaan metformin dapat mengurangi prigresi

diabetes sebesar 31% dan efektif pada pasien muda dengan obesitas.

Pilihan terapi untuk dislipidemia adalah perubahan gaya hidup yang diikuti dengan medikasi.

Namun demikian, perubahan diet dan latihan jasmani saja tidak cukup berhasil mencapai target.

Oleh karena itu disarankan untuk memberikan obat berbarengan dengan perubahan gaya hidup.

Terapi dengan gemfibrozil tidak hanya memperbaiki profil lipid tetapi juga secara bermakna

dapat menurunkan risiko kardiovaskular. Fenofibrat secara khusus digunakan untuk menurunkan

trigliserisda dan meningkatkan kolesterol HDL, telah menunjukkan perbaikan profil lipid yang

sangat efektif dan mengurangi risiko kardiovaskular. Fenofibrat juga dapat menurunkan kadar

fibrinogen. Kombinasi fenofibrat dan statin memperbaiki kadar trigliserida, kolesterol HDL dan

LDL.1,6,8

Andrie Yogie Putra/102007129 29

Page 30: Pbl Blok 21 Metabolic & Endokrin

Komplikasi

Kegemukan (obesitas), tekanan darah tinggi, diabetes mellitus dan dislipidemia secara sendiri-

sendiri sudah sejak lama diketahui sebagai factor resiko terjadinya penyakit jantung koroner.

Demikian pula adanya factor-faktor tersebut secara bersamaan pada seseorang telah sangat

dikenal akan jauh meningkatkan kemungkinan terjadinya Penyakit jantung Koroner. Dengan

demikian penderita dengan Sindroma Metabolik kemungkinan untuk mendapatkan / terkena

penyakit jantung koroner dan penyakit kardiovaskuler lainnya akan meningkat.9,11

Prognosis

Metabolic syndrome bukan suatu penyakit tetapi kumpulan fenomena klinis terkait resistensi

insulin. Intervensi terhadap metabolic syndrome termasuk penurunan berat badan ( perubahan

gaya hidup, obat ) dapat menunda ataupun mencegah diabetes mellitus tipe 2 serta menurunkan

risiko penyakit kardiovaskular.7

Andrie Yogie Putra/102007129 30

Page 31: Pbl Blok 21 Metabolic & Endokrin

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Prevalensi sindroma metabolik (SM) diperkirakan akan meningkat dalam beberapa waktu

belakangan ini. Hal tersebut sangat terkait dengan perubahan pola hidup di masyarakat.

Prevalensi SM pada populasi yang berusia 20 ‐25 tahun keatas di India sekitar 8%, dan di

Amerika Serikat sebanyak 24% (Atul, dkk, 2006). Sindroma metabolik juga memiliki dampak

yang buruk terhadap prognosis penyakit kardioserebrovaskuler. Penelitian Klein, dkk (2007)

memperlihatkan bahwa 21,7% pasien gangguan jantung dengan sindroma metabolik akan

mengalami kejadian penyakit karioserebrovaskuler (infark miokard akut, stroke, atau kematian

mendadak) ulang dalam waktu pengamatan 6,7 tahun.1,4,9

Andrie Yogie Putra/102007129 31

Page 32: Pbl Blok 21 Metabolic & Endokrin

Diagnosis Banding

Diabetes mellitus tipe 2

Diabetes Melitus merupakan penyakit kronis yang ditandai dengan hiperglikemia (tingginya

kadar glukosa dalam darah). Diabetes melitus dapat mengakibatkan kerusakan pada beberapa

organ tubuh seperti: mata, syaraf, ginjal, dan juga berkontribusi untuk berkembangnya proses

penyakit aterosklerosis yang akan berefek pada gangguan jantung, otak dan organ lain dalam

tubuh. Prevalensi diabetes melitus di seluruh dunia mengalami peningkatan yang cukup besar. Di

tahun 2003, prevalensi di daerah urban sebesar 14.7% (8.2 juta jiwa), sedangkan di daerah rural

7.2% (5.5 juta jiwa) dibandingkan dengan total populasi di atas usia 20 tahun. Jadi total

prevalensi sebesar 13.8 juta jiwa.

World Health Organization (WHO) memprediksi kenaikan pasien diabetes di Indonesia dari 8,4

juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. (Konsensus Pengelolaan

Diabetes Melitus 2006). Berdasarkan data IDF (International Diabetes Federation) tahun 2002,

Indonesia merupakan negara ke-4 terbesar untuk prevalensi diabetes melitus. Untuk itu,

diperlukan penanganan yang tepat bagi penderita diabetes melitus tipe 2.12,13

Di Indonesia, penatalaksanaan diabetes mellitus tipe 2 mengacu kepada:

1. Edukasi

2. Terapi gizi medis

3. Latihan jasmani Intervensi farmakologis.

Andrie Yogie Putra/102007129 32

Page 33: Pbl Blok 21 Metabolic & Endokrin

Saat ini ada 4 macam Obat Hipoglikemik Oral (OHO) yaitu:11

1. Pemicu sekresi insulin/insulin secretagogue: Sulfonylurea, dan Glinid Penambah

sensitifitas insulin: Metformin, Tiazolidindion

2. Penghambat glukoneogenesis: Metformin

3. Penghambat absorpsi glukosa: penghambat Glukosidase alfa

Andrie Yogie Putra/102007129 33

Page 34: Pbl Blok 21 Metabolic & Endokrin

DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo W. Aru, et al. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Ed 4. Jakarta: Pusat

Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UI.2007; h. 1849-1863, 1919-1932.

2. Sylvia, A , Prince, Lorraine , et. al. Patofisiologi. 6th ed, vol. 1. Jakarta : EGC 2006; h.1202-

1213.

3. http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2009/09/sel_adiposit_sebagai_organ_endokrin.pdf

4. http://www.akademik.unsri.ac.id/download/journal/files/medhas/TP-1-3-SindromMetabolik(Gatot SL).pdf

5. http://www.akademik.unsri.ac.id/download/journal/files/udejournal/hubungan antara obesital sentral dengan adiponektin pada pasien geritari/dr.wira gotera.pdf

6. National Institutes of Health: Third Report of the National Cholesterol Education Program Expert Panel on Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Cholesterol in Adults (Adult Treatment Panel III). Executive Summary. Bethesda, Md.: National Institutes of Health, National Heart Lung and Blood Institute, 2001 (NIH publication no. 01-3670). Accessed online May 20,2006, at: http://www.nhlbi.nih.gov/guidelines/cholesterol/ index.htm.

7. http://www.metabolicsyndromeinstitute.com/informations/prognosis-outcomes/cardiovascular-morbidity-and-mortality-associated-with-the-metabolic-syndrome.php

8. http://www.nhlbi.nih.gov/guidelines/cholesterol/atp3full.pdf

Andrie Yogie Putra/102007129 34

Page 35: Pbl Blok 21 Metabolic & Endokrin

9. http://www.strokebethesda.com/content/view/107/53/

10. http://prodia.meta-technology.net/ilmiah_detail.php?id=85&pagenum=1&lang=ina

11. http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/15_KomplikasiObesitasdanUsaha.pdf/15_KomplikasiObesitasdanUsaha.html

12. http://care.diabetesjournals.org/content/30/1/8.full

13. http://emedicine.medscape.com/article/766143-overview

Andrie Yogie Putra/102007129 35