PATOFISIOLOGI

23
PATOFISIOLOGI SYOK ANAFILAKTIK PEMBIMBING : dr. Mas Wishnuwardhana Sp.A Penulis: Farida Apriani 030.07.089 Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Umum Daerah Bekasi Periode 16 Maret 2015-23 Mei 2015 Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Jakarta 2015

description

medical

Transcript of PATOFISIOLOGI

Page 1: PATOFISIOLOGI

PATOFISIOLOGI

SYOK ANAFILAKTIK

PEMBIMBING :

dr. Mas Wishnuwardhana Sp.A

Penulis:

Farida Apriani

030.07.089

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak

Rumah Sakit Umum Daerah Bekasi

Periode 16 Maret 2015-23 Mei 2015

Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti

Jakarta

2015

Page 2: PATOFISIOLOGI

Definisi Syok Anafilaktik

Secara harfiah, anafilaksis berasal dari kata ana yang berarti balik dan phylaxis yang

berarti perlindungan. Dalam hal ini respon imun yang seharusnya melindungi (prophylaxis)

tetapi justru merusak jaringan, dengan kata lain kebalikan dari pada melindungi (anti-phylaxis

atau anaphylaxis).1

Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai oleh

Immunoglobulin E (hipersensitivitas tipe I) dan menghasilkan rilis mediator kimia seperti sel

mast dan basofil yang akan berpengaruh pada sistem kardiovaskuler yang ditandai dengan curah

jantung dan tekanan arteri yang menurun hebat, sistem pernapasan seperti depresi nafas, dan

sistem gastrointestinal.2,3

Syok anafilaktik disebabkan oleh adanya suatu reaksi antigen-antibodi yang timbul

segera setelah suatu antigen yang sensitif masuk dalam sirkulasi. Syok anafilaktik merupakan

salah satu manifestasi klinis dari anafilaksis yang merupakan syok distributif, ditandai oleh

adanya hipotensi yang nyata akibat vasodilatasi mendadak pada pembuluh darah dan disertai

kolaps pada sirkulasi darah yang dapat menyebabkan terjadinya kematian. Syok anafilaktik

merupakan kasus kegawatan, tetapi terlalu sempit untuk menggambarkan anafilaksis secara

keseluruhan, karena anafilaksis yang berat dapat terjadi tanpa adanya hipotensi, seperti pada

anafilaksis dengan gejala utama obstruksi saluran napas.2,3,4

Secara klinik terdapat 3 tipe dari reaksi anafilaktik yaitu:

1. Rapid reaction/reaksi cepat, terjadi beberapa menit sampai 1 jam setelah terpapar dengan

alergen

2. Moderate reaction/reaksi moderat terjadi antara 1-24 jam setelah terpapar dengan alergen

3. Delayed rection/reaksi lambat terjadi >24 jam setelah terpapar dengan alergen.2,4

3 Etiologi

Atopi merupakan faktor resiko reaksi anafilaksis. Pada studi berbasis populasi di Olmsted

County, 53% dari pasien anafilaksis memiliki riwayat penyakit atopi. Cara dan waktu pemberian

berpengaruh terhadap terjadinya reaksi anafilaksis. Pemberian secara oral lebih sedikit

kemungkinannya menimbulkan reaksi dan kalaupun ada biasanya tidak berat. Selain itu, semakin

lama interval pajanan pertama dan kedua, semakin kecil kemungkinan reaksi anafilaksis akan

Page 3: PATOFISIOLOGI

muncul kembali. Hal ini berhubungan dengan katabolisme dan penurunan sintesis dari IgE

spesifik seiring waktu.5,6

Asma merupakan faktor risiko yang fatal berakibat fatal. Lebih dari 90% kematian karena

anafilaksis makanan terjadi pada pasien asma. Penundaan pemberian adrenalin juga merupakan

faktor risiko yang berakibat fatal. 6

Faktor-faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko anafilaksis adalah sifat alergen,

jalur pemberian obat, dan kesinambungan paparan alergen. Golongan alergen yang sering

menimbulkan reaksi anafilaksis adalah makanan, obat-obatan, sengatan serangga, dan lateks.

Udang, kepiting, kerang, ikan kacang-kacangan, biji-bijian, buah beri, putih telur, dan susu

adalah makanan yang biasanya menyebabkan suatu reaksi anafilaksis. Obat-obatan yang bisa

menyebabkan anafikasis seperti antibiotik khususnya penisilin, obat anestesi intravena, relaksan

otot, aspirin, NSAID, opioid, vitamin B1, asam folat, dan lain-lain. Media kontras intravena,

transfusi darah, latihan fisik, dan cuaca dingin juga bisa menyebabkan anafilaksis.6,7

Tabel 2.1 Mekanisme dan Obat Pencetus Anafilaksis

Anafilaksis (melalui IgE)

Antibiotik (penisilin, sefalosporin)

Ekstrak alergen (tawon, polen)

Obat (glukokortikoid, thiopental, suksinilkolin)

Enzim (kemopapain, tripsin)

Serum heterolog (antitoksin tetanus, globulin antilimfosit)

Protein manusia (insulin, vasopresin, serum)

Anafilaktoid (tidak melalui IgE)

Zat pelepas histamin secara langsung

Obat (opiat, vankomisin, kurare)

Cairan hipertonik (media radiokontras, manitol)

Obat lain (dekstran, fluoresens)

Aktivasi komplemen

Page 4: PATOFISIOLOGI

Protein manusia (imunoglobulin dan produk darah

lainnya)

Bahan dialisis

Modulasi metabolisme asam arakidonat

Asam asetilsalisilat

NSAIDs

Sumber : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi ke-5, Jilid 1, Balai Penerbit

Ilmu Penyakit Dalam FK UI, Jakarta.

Penyebab anafilaksis sangat beragam, diantaranya adalah antibiotik, ekstrak alergen,

serum kuda, zat diagnostik, bisa (venom), produk darah, anestetikum lokal, makanan, enzim,

hormon, dan lain-lain. Antibiotik dapat berupa penisilin dan derivatnya, basitrasin, neomisin,

terasiklin, streptomisin, sulfonamid, dan lain-lain. Ekstrak alergen biasanya berupa rumput-

rumputan atau jamur, atau serum ATS, ADS dan anti bisa ular.7

Gambar 2.1 Sengatan lebah merupakan penyebab anafilaktik 7

Beberapa bahan yang sering dipergunakan untuk prosedur diagnosis dan dapat

menimbulkan anafilaksis misalnya adalah zat radioopak, bromsulfalein, benzilpenisiloil-polilisin.

Demikian pula dengan anestetikum lokal seperti prokain atau lidokain. Bisa yang dapat

menimbulkan anafilasik misalnya bisa ular, semut, dan sengatan lebah. Darah lengkap atau

produk darah seperti gamaglobulin dan kriopresipitat dapat pula menyebabkan anafilaksis.

Page 5: PATOFISIOLOGI

Makanan yang telah dikenal sebagai penyebab anafilaksis seperti misalnya susu sapi, kerang,

kacang-kacangan, ikan, telur dan udang.7,8

Tabel 2.2 Faktor Penyebab Anafilaktik 6,7,8

Alergen Penyebab Anafilaksis

Makanan Krustasea:Lobster, udang dan kepiting

Moluska  : kerang

Ikan

Kacang-kacangan dan biji-bijian

Buah beri

Putih telur

Susu

Dan lain-lain

Obat Hormon : Insulin, PTH, ACTH, Vaso-presin, Relaxin

Enzim    : Tripsin,Chymotripsin, Penicillinase, As-paraginase

Vaksin dan Darah

Toxoid   : ATS, ADS, SABUA

Ekstrak alergen untuk uji kulit

Dextran

Antibiotika:

Penicillin,Streptomisin,Cephalosporin,Tetrasiklin,Ciprofloxacin,Am

photericin B, Nitrofurantoin.

Agen diagnostik-kontras

Vitamin B1, Asam folat

Agent anestesi: Lidocain, Procain,

Lain-lain: Barbiturat,  Diazepam, Phenitoin,  Protamine, 

Aminopyrine, Acetil  cystein , Codein, Morfin, Asam salisilat dan

HCT

Bisa

serangga

Lebah Madu, Jaket kuning, Semut api Tawon (Wasp)

Lain-lain Lateks, Karet, Glikoprotein seminal fluid 

Page 6: PATOFISIOLOGI

2.4 Patofisiologi Syok Anafilaktik

Anafilaksis dikelompokkan dalam hipersensitivitas tipe I (immediate type reaction) oleh

Coombs dan Gell (1963), timbul segera setelah tubuh terpajan dengan alergen. Anafilaksis

diperantarai melalui interaksi antara antigen dengan IgE pada sel mast, yang menyebabkan

terjadinya pelepasan mediator inflamasi. Reaksi ini terjadi melalui 2 fase: 5,6

1. Fase sensitasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya dengan

reseptor spesifik pada permukaan sel mast dan basofil.

2. Fase aktivasi yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen yang sama

dan sel mast melepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi.

Gambar 2.2 Patofisiologi Reaksi Anfilaksis 7

Page 7: PATOFISIOLOGI

Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan di tangkap

oleh Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut kepada Limfosit T, dimana

ia akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13) yang menginduksi Limfosit B berproliferasi menjadi

sel Plasma (Plasmosit). Sel plasma memproduksi Ig E spesifik untuk antigen tersebut kemudian

terikat pada reseptor permukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil. Aktivasi mastosit dan basofil

menyebabkan juga respon bifasik dari cAMP intraselluler. Terjadi kenaikan cAMP kemudian

penurunan drastis sejalan dengan pelepasan mediator dan granula kedalam cairan ekstraselluler.

Sebaliknya penurunan cGMP justru menghambat pelepasan mediator. Obat-obatan yang

mencegah penurunan cAMP intraselluler ternyata dapat menghilangkan gejala anafilaksis. Obat-

obatan ini antara lain adalah katekolamin (meningktakan sintesis cAMP) dan methyl xanthine

misalnya aminofilin (menghambat degradasi cAMP). Pada tahap selanjutnya mediator-mediator

ini menyebabkan pula rangkaian reaksi maupun sekresi mediator sekunder dari netrofil,eosinofil

dan trombosit,mediator primer dan sekunder menimbulkan berbagai perubahan patologis pada

vaskuler dan hemostasis, sebaliknya obat-obat yang dapat meningkatkan cGMP (misalnya obat

cholinergik) dapat memperburuk keadaan karena dapat merangsang terlepasnya mediator.5,7,8

Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang menimbulkan reaksi

pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen yang sama ke dalam tubuh. Alergen

yang sama tadi akan diikat oleh Ig E spesifik dan memicu terjadinya reaksi segera yaitu

Page 8: PATOFISIOLOGI

pelepasan mediator vasoaktif antara lain histamin, serotonin, bradikinin dan beberapa bahan

vasoaktif lain dari granula yang di sebut dengan istilah preformed mediators.8,9

Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari membran sel yang

akan menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG) yang terjadi beberapa waktu setelah

degranulasi yang disebut newly formed mediators. Fase efektor adalah waktu terjadinya respon

yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator yang dilepas mastosit atau basofil dengan

aktivitas farmakologik pada organ organ tertentu. Histamin memberikan efek bronkokonstriksi,

meningkatkan permeabilitas kapiler yang nantinya menyebabkan edema, sekresi mucus, dan

vasodilatasi. Serotonin meningkatkan permeabilitas vaskuler dan bradikinin menyebabkan

kontraksi otot polos. Platelet activating factor (PAF) berefek bronkospasme dan meningkatkan

permeabilitas vaskuler, agregasi dan aktivasi trombosit. Beberapa faktor kemotaktik menarik

eosinofil dan neutrofil. Prostaglandin leukotrien yang dihasilkan menyebabkan

bronkokonstriksi.9,10

Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan terjadinya fenomena

maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal ini menyebabkan penurunan aliran darah balik

sehingga curah jantung menurun yang diikuti dengan penurunan tekanan darah. Kemudian

terjadi penurunan tekanan perfusi yang berlanjut pada hipoksia ataupun anoksia jaringan yang

berimplikasi pada keaadan syok yang membahayakan penderita.9

2.5 Gambaran Klinis Syok Anafilaktik

Gambaran klinis anafilaksis sangat bervariasi baik cepat dan lamanya reaksi maupun luas

dan beratnya reaksi. Reaksi dapat mulai dalam beberapa detik atau menit sesudah terpajan

alergen dan gejala ringan dapat menetap sampai 24 jam meskipun diobati. Gejala dapat dimulai

dengan gejala prodormal baru menjadi berat, tetapi kadang-kadang langsung berat. Gejala dapat

terjadi segera setelah terpapar dengan antigen, yang dapat terjadi pada satu atau lebih organ

target, antara lain kardiovaskuler, respirasi, gastrointestinal, kulit, mata, susunan saaraf pusat dan

sistem saluran kencing. Keluhan yang sering dijumpai pada fase permulaan ialah rasa takut,

perih dalam mulut, gatal pada mata dan kulit, panas dan kesemutan pada tungkai, sesak, serak,

mual, pusing, lemas dan sakit perut.10,11

Gejala yang timbul pada organ ialah:

a. Kardiovaskuler

Page 9: PATOFISIOLOGI

Dapat terjadi sentral maupun perifer. Gangguan pada sirkulasi perifer dapat dilihat dari

pucat dan ekstremitas dingin. Selain itu kurangnya pengisian vena perifer lebih bermakna

dibandingkan penurunan tekanan darah. Dapat pula terjadi tekanan darah rendah, vena

perifer kolaps, CVP rendah, palpitasi, takikardi, hipotensi, aritmia, penurunan volume efektif

plasma, nadi cepat dan halus sampai tidak teraba, renjatan, pingsan, pada EKG dapat

ditemukan aritmia, T mendatar atau terbalik, irama nodal, fibrilasi ventrikel sampai asistol.

b. Respirasi

Dapat terjadi pernapasan cepat dan dangkal, rhinitis, bersin, gatal dihidung, batuk, sesak,

mengi, stridor, suara serak, gawat napas, takipnea sampai apnea, kongesti hidung, edema dan

hiperemi mukosa, obstuksi jalan napas, bronkospasme, hipersekresi mukus, wheezing

dispnea, dan kegagalan pernafasan.

c. Gastrointestinal

Kram perut karena kontraksi dan spasme otot polos intestinal. Mual, muntah, sakit perut,

diare.

d. Kulit

Pruritus, urtikaria, angioedema, eritema.

e. Mata

Gatal, lakrimasi, merah, bengkak.

f. Susunan saraf pusat

Disorientasi, halusinasi, rasa logam, kejang, koma.

g. Sistem saluran kencing

Produksi urin berkurang. 10,11

Kematian dapat disebabkan oleh gagal napas, aritmia ventrikel atau renjatan yang

ireversibel. Selain beberapa gangguan pada beberapa sistem organ, Manifestasi klinik syok

Anafilaksis masih dibagi dalam derajat berat ringannya, yaitu sebagai berikut:

a. Ringan

1. Kesemutan perifer, sensasi hangat, rasa sesak dimulut dan tenggorok.

2. Kongesti hidung, pembengkakan periorbital, pruritus, bersin-bersin, mata berair.

3. Awitan gejala-gejala dimulai dalam 2 jam pertama setelah pemajanan.5

b. Sedang

Page 10: PATOFISIOLOGI

1. Dapat mencakup semua gejala-gejala ringan ditambah bronkospasme dan edema jalan

nafas atau laring dengan dispnea, batuk dan mengi.

2. Wajah kemerahan, hangat, ansietas dan gatal-gatal.

3. Awitan gejala-gejala sama dengan reaksi ringan.5,6

c. Berat/parah

1. Awitan yang sangat mendadak dengan tanda-tanda dan gejala-gejala yang sama seperti

yang telah disebutkan diatas disertai kemajuan yang pesat ke arah bronkospame, edema

laring, dispnea berat dan sianosis.

2. Disfagia, keram pada abdomen, muntah, diare dan kejang-kejang.

3. Henti jantung dan koma jarang terjadi.5,6

Gambar 2.3 Gambaran klinis anafilaktik 5

Penatalaksanaan Syok Anafilaktik

Upaya penatalaksanaan syok anafilaktik dilakukan dengan beberapa tahap, yaitu :

1. Posisikan pasien

2. Penilaian A, B, C dari tahapan resusitasi jantung paru, yaitu:

A. Airway (membuka jalan napas)

B. Breathing support

C. Circulation support

Page 11: PATOFISIOLOGI

3. Pemberian epinefrin

Administrasi langsung dengan dosis epinefrin yang memadai sangat penting untuk

mengurangi morbiditas dan mortalitas pasien. Meskipun epinefrin memiliki indeks terapeutik

yang sempit (rasio risiko-manfaat), epinefrin mempunyai efek a1, b1, b2 agonis yang penting

dalam membalikan gejala anafilaksis. Efek agonis a1 penting terhadap resistensi pembuluh

darah perifer meningkat, yaitu dengan menciptakan vasokonstriksi dan mengurangi edema

mukosa. Peningkatan inotropi dan kronotropi merupakan efek agonis b1. Stimulasi dari

reseptor b2 menyebabkan bronkodilatasi dan penurunan pelepasan mediator sel mast dan

basofil.7,12

Secara historis, rute administrasi epinefrin subkutan administrasi disarankan. Namun,

penelitian telah menyimpulkan bahwa, baik anak-anak dan orang dewasa, rute intramuskular

lebih unggul dibandingkan rute subkutan dalam mencapai kadar konsentrasi plasma puncak,

lebih cepat dan kadarnya lebih tinggi. Hal ini mungkin akibat penurunan perfusi kulit dalam

upaya untuk mempertahankan tekanan darah sistemik selama proses anafilaksis. Epinefrin

konsentrasi 1:1000 digunakan untuk pemberian secara intramuskular dengan dosis 0,01 mg /

kg (0,01 ml / kg), dengan dosis maksimum 0,3 mg sekitar (0,3 ml). Jika dosis awal tidak

efektif, mungkin harus diulang pada interval 5 hingga 15 menit. Dosis dewasa dapat

diberikan langsung 0,3-0,5 mg. Solusi 1:1000 tidak diindikasikan untuk penggunaan

intravena. 7,12

Beberapa penulis menganjurkan pemberian infus kontinyu adrenalin 2–4 ug/menit.

Paha anterolateral adalah tempat yang direkomendasikan

untuk dilakukannya injeksi. 7,12

Epinefrin inhalasi sebaiknya tidak diberikan sebagai pengganti epinefrin

intramuskular dalam manajemen akut anafilaksis pada anak-anak. Peneliti menetapkan

bahwa anak-anak tidak efektif pada menghirup jumlah yang cukup dari epinefrin

menggunakan inhaler dosis terukur meskipun pelatihan ahli. Sebagai alternatif untuk injeksi

intramuskular, rute sublingual administrasi epinefrin-baru ini telah diselidiki dengan

menggunakan model kelinci. Meskipun hasil yang menjanjikan, ada data yang cukup untuk

merekomendasikan penggunaan rutin dalam pengobatan anafilaksis pada manusia. 7,12

Tabel 2.3 Dosis Adrenalin 12

Usia Dosis Adrenalin