Patofisiologi Faringitis

24
II.1. Definisi : Faringitis akut adalah infeksi pada faring yang disebabkan oleh virus atau bakteri, yang ditandai oleh adanya nyeri tenggorokan, faring eksudat dan hiperemis, demam, pembesaran limfonodi leher dan malaise.(Vincent,2004) 11.2. Anatomi : Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong, yang besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah. Kantong ini mulai dari dasar tengkorak terus menyambung ke esofagus setinggi servikal ke-6. Ke atas faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, ke depan berhubungan dengan rongga mulut melalui ismus orofaring, sedangkan dengan laring di bawah berhubungan melalui aditus laring dan ke bawah berhubungan esofagus.panjang dinding posterior faring pada orang dewasa kurang lebih 14 cm; bagian ini merupakan bagian dinding faring yang terpanjang. Dinding faring dibentuk oleh (dari dalam keluar) selaput lendir, fasia faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia bukofaringeal. Faring terbagi atas nasofaring, orofaring dan laringofaring (hipofaring). Unsur-unsur faring meliputi mukosa, palut lendir (mucous blanket) dan otot. Bentuk mukosa faring bervariasi, tergantung letaknya. Pada nasofaring karena fungsinya untuk respirasi, maka mukosanya bersilia, sedangkan epitelnya torak berlapis yang mengandung sel goblet. Di bagian bawahnya, yaitu orofaring dan laringofaring, karena fungsinya untuk saluran cerna, epitelnya gepeng berlapis dan tidak bersilia. Di sepanjang faring dapat ditemukan banyak

description

Patofisiologi

Transcript of Patofisiologi Faringitis

Page 1: Patofisiologi Faringitis

II.1. Definisi :

Faringitis akut adalah infeksi pada faring yang disebabkan oleh virus atau

bakteri, yang ditandai oleh adanya nyeri tenggorokan, faring eksudat dan

hiperemis, demam, pembesaran limfonodi leher dan malaise.(Vincent,2004)

11.2. Anatomi :

Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong,

yang besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah. Kantong ini mulai dari

dasar tengkorak terus menyambung ke esofagus setinggi servikal ke-6. Ke

atas faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, ke depan

berhubungan dengan rongga mulut melalui ismus orofaring, sedangkan

dengan laring di bawah berhubungan melalui aditus laring dan ke bawah

berhubungan esofagus.panjang dinding posterior faring pada orang dewasa

kurang lebih 14 cm; bagian ini merupakan bagian dinding faring yang

terpanjang. Dinding faring dibentuk oleh (dari dalam keluar) selaput lendir,

fasia faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia bukofaringeal.

Faring terbagi atas nasofaring, orofaring dan laringofaring (hipofaring).

Unsur-unsur faring meliputi mukosa, palut lendir (mucous blanket) dan otot.

Bentuk mukosa faring bervariasi, tergantung letaknya. Pada nasofaring

karena fungsinya untuk respirasi, maka mukosanya bersilia, sedangkan

epitelnya torak berlapis yang mengandung sel goblet. Di bagian bawahnya,

yaitu orofaring dan laringofaring, karena fungsinya untuk saluran cerna,

epitelnya gepeng berlapis dan tidak bersilia. Di sepanjang faring dapat

ditemukan banyak sel jaringan limfoid yang terletak dalam rangkaian

jaringan ikat yang termasuk dalam sistem retikuloendotelial. Oleh karena itu

faring dapat disebut juga daerah pertahanan tubuh terdepan.

Daerah nasofaring dilalui oleh udara pernapasan yang diisap melalui hidung.

Di bagian atas, nasofaring ditutupi oleh palut lendir yang terletak atas silia

dan bergerak sesuai dengan arah gerak silia ke belakang. Palut lendir ini

berfungsi untuk menangkap partikel kotoran yang terbawa oleh udara yang

diisap. Palut ini mengandungenzim Lyzozyme yang penting untuk proteksi.

Page 2: Patofisiologi Faringitis

Otot faring tersusun dalam lapisan melingkar (sirkuler) dan memenjang

(longitudinal). Otot-otot yang sirkuler terdiri dari m.konstriktor faring

superior, media dan inferior. Otot-otot ini terletak di sebelah luar, berbentuk

kipas dengan tiap bagian bawahnya menutup sebagian otot bagian atasnya

dari belakang. Kerja otot konstriktor untuk mengecilkan lumen faring. Otot-

otot ini dipersarafi n.vagus (n.X).otot-otot yang longitudinal adalah

m.stilofaring dan m.palatofaring. M.stilofaring gunanya untuk melebarkan

faring dan menarik rahang, sedangkan m.palatofaring mempertemukan

ismus orofaring dan menaikkan bagian bawah faring dan laring. Jadi kedua

otot ini bekerja sebagai elevator. Kerja kedua otot ini penting pada waktu

menelan. M.stiofaring dipersarafi oleh n.IX sedangkan m.palatofaring

dipersarafi oleh n.X (Rusmarjono,et.al., 2001)

II.3. Etiologi

Faringitis disebabkan oleh bakteri

1. Group A beta-hemolytic streptococci (GABHS) 15% kasus faringitis.

• Gambaran klinis berupa: demam lebih dari 101.5°F, tonsillopharyngeal

eritem dan eksudasi, pembengkakan limfonodi leher, sakit kepala, muntah

pada anak-anak, petechiae palatal, biasa terjadi pada cuaca dingin.

• Suatu ruam scarlatiniform juga dihubungkan dengan infeksi GABHS ruam

kemerahan pada ekstremitas dan lidah memerah (strawberry tongue)

2. Group C, G, F Streptococci ( 10%), mungkin secara klinis tidak bisa

dibedakan dari infeksi GABHS, namun Streptococcus jenis ini tidak

menyebabkan sequelae immunologic. Streptococci grup C dan G telah

dilaporkan sebagai penyebab radang selaput otak (meningitis), endocarditis,

dan empyema subdural.

• Arcanobacterium Chlamydia pneumoniae (5%), gejala mirip dengan M

pneumoniae. Faringitis biasanya mendahului terjadinya peradangan pada

paru.

• Corynebacterium diphtheriae

• Bakteri yang jarang namun dapat dijumpai pada faringitis yaitu Borrelia

species, Francisella tularensis, Yersinia species, and Corynebacterium

Page 3: Patofisiologi Faringitis

ulcerans.

• ( Corynebacterium) haemolyticus ( 5%) banyak terjadi pada dewasa

muda,gejalanya mirip dengan infeksi GABHS, berupa ruam scarlatiniform.

Pasien sering mengeluh batuk.

• Mycoplasma pneumoniae, pada dewasa muda dengan headache, faringitis,

and nfeksi pernafasan bawah. Kira-kira 75% pasien disertai batuk.

3. Viral pharyngitis

o Adenovirus (5%):.

o Herpes simplex (< 5%):

o Coxsackieviruses A and B (< 5%):

o Epstein-Barr virus (EBV):

o CMV.

o HIV-1:

4. Penyebab lain

o Candida sp. Pada pasien-pasien dengan riwayat pengbatan penekan sistem

imun. Banyak terjadi pada anak dengan gambaran plak putih pada orofaring.

o Udara kering, alergi (postnasal tetes), trauma kimia, merokok, neoplasia

(Kazzi, et.al.,2006).

II.4. Patofisiologi

Pada infeksi faringitis, virus atau bakteri secara langsung menginvasi mucosa

pada rongga tenggorokan, menyebabkan suatu respon inflamasi lokal.

berbeda halnya dengan virus, seperti rhinovirus,dapat mengiritasi mukosa

rongga tenggorokan.

Streptococcal infeksi/peradangan ditandai oleh pelepasan dan invasi toksin

ekstra seluler lokal dan proteases (Kazzi, et.al.,2006) .

II.5. Tanda dan Gejala

Gejala dan tanda faringitis akut adalah nyeri tenggorok, sulit menelan,

demam, mual dan kelenjar limfe leher membengkak. Pada pemeriksaan

tampak hiperemis, udem dan dinding posterior faring bergranular.

(Rusmarjono,et.al.,2001).

Streptococcus group A merupakan bakteri penyebab faringitis akut yang

paling sering, kira-kira 15 sampai 30 % kasus pada anak-anak, dan 5 sampai

Page 4: Patofisiologi Faringitis

10 % pada oang dewasa. Biasanya terdapat riwayat infeksi tenggorokan oleh

bakteri Streptococcus sebelumnya. Insidensi faringitis yang disebabkan oleh

streptococcus meningkat pada musim dingin. Gejala dapat berupa rasa sakit

pada tenggorokan, nyeri saat menelan, demam, pusing, nyeri perut, mual

dan muntah. Sedangkan tanda-tanda yang dapat dilihat yaitu adanya eritema

faring dan tonsil, eksudat pada faring dan tonsil, petechiae palatine, edema

uvula, limfadenopati servikalis anterior. Tidak semua pasien didapati dengan

semua gejala tersebut, banyak pasien datang dengan gejala yang ringan dan

tanpa eksudatif. Anak-anak dibawah tiga tahun dapat disertai coryza dan

krusta hidung. Faringitis dengan eksudat jarang terjadi pada umur ini. (Alan,

et.al.,2001).

Pada infeksi virus, gejala disertai dengan konjungtivitis, coryza, malaise,

fatigue, serak, dan demam yang tidak tidak terlalu tinggi (low-grade fever).

Faringitis pada anak dapat disertai dengan diare, nyeri perut, dan muntah

(Vincent, et.al., 2006)

II.6. Diagnosis

Diagnosis biasanya dibuat tanpa kesulitan, terutama bila terdapat tanda dan

gejala yang mengarah ke faringitis. Biakan tenggorokan membantu dalam

menentukan organisme penyebab faringitis, dan untuk membedakan

faringitis karena bakteri atau virus.(Hilger,1994))

Sangatlah penting untuk mengetahui onset, durasi, progresifitas dan tingkat

keparahan dari gejala yang menyertai seperti demam, batuk, kesukaran

bernafas, pembengkakan limfonodi; paparan infeksi, dan adanya penyakit

sistemik lainnya seperti diabetes dan lain-lain. Faring harus diperiksa apakah

terdapat tanda-tanda eritem, hipertrofi, adanya benda asing, eksudat, massa,

petechie dan adenopati. Juga penting untuk menanyakan gejala yang dialami

pasien seperti demam, timbulnya ruam kulit (rash), adenopati servikalis dan

coryza. Jika dicurigai faringitis yang disebabkan oleh Sterptococcus, seorang

dokter harus mendengar adanya suara murmur pada jantung dan

Page 5: Patofisiologi Faringitis

mengevaliasi apakah pada pasien terdapat pembesaran lien dan hepar.

Apabila terdapat tonsil eksudat, pembengkakan kelenjar limfe leher, tidak

disertai batuk dan suhu badan meningkat sampai 380 C maka dicurigai

adanya faringitis karena infeksi GABHS (Alan, et.al.,2001).

Pemeriksaan Laboratorium

Kultur tenggorok : merupakan suatu metode yang dilakukan untuk

menegaskan suatu diagnosis dari faringitis yang disebabkan oleh bakteri

GABHS. Untuk mencapai hasil yang akurat, pangambilan swab dilakukan

pada daerah tonsil dan dinding faring posterior. Spesimen diinokulasi pada

agar darah dan ditanami disk antibiotik.

Kriteria standar untuk penegakan diagnosis infeksi GABHS adalah persentase

sensitifitas mencapai 90-99 %. Kultur tenggorok sangat penting bagi

penderita yang lebih dari 10 hari.

GABHS rapid antigen detection test

• merupakan suatu metode untuk mendiagnosa faringitis karena infeksi

GABHS. Tes ini akan menjadi indikasi jika pasien memiliki resiko sedang, atau

jika seorang dokter tidak nyaman memberikan terapi antibiotik dengan resiko

tinggi untuk pasien. Jika hasil yang diperoleh adalah positif maka pengobatan

antibiotik yang tepat, namun jika hasilnya negatif maka pengobatan

antibiotik dihentikan kemudian dilakukan follow-up

• Hasil kultur tenggorok negatif

• Rapid antigen detection tidak sensitive untuk Streptococcus Group C dan G

atau jenis bakteri patogen lainnya (Kazzi, et.al.,2006).

II.7. Penatalaksanaan

Apabila penyebabnya diduga infeksi firus, pasien cukup diberikan analgetik

dan tablet isap saja. Antibiotika diberikan untuk faringitis yang disebabkan

oleh bakteri Gram positif disamping analgetika dan kumur dengan air hangat.

Penisilin dapat diberikan untuk penyebab bakteri GABHS, karena penisilin

lebih kemanjurannya telah terbukti, spektrum sempit,aman dan murah

harganya. Dapat diberikan secara sistemik dengan dosis 250 mg, 2 atau 3

Page 6: Patofisiologi Faringitis

kali sehari untuk anak-anak, dan 250 mg 4 kali sehari atau 500 mg 2 kali

sehari selama 10 hari. Apabila pasien alergi dengan penisilin, dapat diganti

dengan eritromisin. (Alan,at.al.,2001).

II.8. Komplikasi

Komplikasi infeksi GABHS dapat berupa demam reumatik, dan abses

peritonsiler. Abses peritonsiler terjadi

• Komplikasi umum faringitis terutama tampak pada faringitis karena bakteri

yaitu : sinusitis, otitis media, epiglotitis, mastoiditis, dan pneumonia.

Kekambuhan biasanya terjadi pada pasaien dengan pengobatan yang tidak

tuntas pada pengobatan dengan antibiotik, atau adanya paparan baru.

• Demam rheumatic akut(3-5 minggu setelah infeksi), poststreptococcal

glomerulonephritis, dan toxic shock syndrome, peritonsiler abses,

• Komplikasi infeks mononukleus meliputi: ruptur lien, hepatitis, Guillain

Barré syndrome, encephalitis, anemia hemolitik, myocarditis, B-cell

lymphoma, dan karsinoma nasofaring (Kazzi,at.al.,2006)

II.9. Prognosis

• Sebagian besar faringitis dapat sembuh spontan dalam 10 hari, tnamun

sangat penting untuk mewaspadai terjadinya komplikasi pada faringitis

(Kazzi,at.al.,2006).

DAFTAR PUSTAKA

1. Alan,L.,Bisno. Acute Pharyngitis. http://www.nejm.org.vol 344;3;205-210

2. Kazzi,A.,Antoine, Wills,J. Pharyngitis.

http://www.emedicine.com/med/topic735 htm.2006.

3. Vincent, T., Mirian, Celestin,N.,Hussain,N.,Aneela. Pharyngitis.

http://www.a.f.p.org.2004;69:1469-70www.emedicine.com/med/topic735

htm.2006.

4. www.emedicine.com/med/topic735 htm.2006.

5. Hilger PA. Penyakit-Penyakit Nasofaring dan Orofaring. Dalam: Boeis Buku

Ajar Penyakit THT ed.6. Jakarta: EGC.1994.

6. Rusmarjono, Soepardi, E.A. Dalam: Supardi, E.A., Iskandar. Buku Ajar Ilmu

Page 7: Patofisiologi Faringitis

Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Ed ke-5. Jakarta: Balai

Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indinesia. 2001.

Page 8: Patofisiologi Faringitis

Definisi

    Faringitis akut adalah suatu sindrom inflamasi dari faring dan/atau tonsil yang

disebabkan oleh beberapa grup mikroorganisme yang berbeda. Faringitis dapat

menjadi bagian dari infeksi saluran napas atas atau infeksi lokal didaerah faring

1.

Epidemiologi

    Faringitis dapat terjadi pada semua umur dan tidak dipengaruhi jenis

kelamin2, dengan frekuensi yang lebih tinggi terjadi pada populasi anak-anak3.

Faringitis akut jarang ditemukan pada usia di bawah 1 tahun. Insidensinya

meningkat dan mencapai puncaknya pada usia 4-7 tahun, tetapi tetap berlanjut

sepanjang akhir masa anak-anak dan kehidupan dewasa4. Kematian yang

diakibatkan faringitis jarang, tetapi dapat terjadi sebagai hasil dari komplikasi

penyakit ini3.

    Faringitis akut baik disertai demam atau tidak, pada umumnya disebabkan

oleh virus4,5,6, seperti Rhinovirus, Adenovirus, Parainfluenzavirus,

Coksakievirus, Coronavirus, Echovirus, Epstein-Bar virus (mononukleosis) dan

Cytomegalovirus2,5. Dari golongan bakteri seperti streptokokus beta hemolitikus

kelompok A, merupakan kelompok bakteri yang sering ditemukan4,6, sedangkan

jenis bakteri yang lain seperti Neisseria gonorrhoeae, Corynobacterium

diphtheriae, Chlamydia pneumonia, grup C dan G streptokokus2,3.

    Penyebab faringitis yang lain seperti Candida albicans (Monilia) sering

didapatkan pada bayi dan orang dewasa yang dalam keadaan lemah atau

terimunosupresi3,7. Hal-hal seperti udara kering, rokok, neoplasia, intubasi

endotrakeal, alergi, dan luka akibat zat kimia dapat juga menyebabkan

faringitis2,3.

Patofisiologi

    Penularan terjadi melalui droplet. Kuman menginfiltrasi lapisan epitel,

kemudian bila epitel terkikis maka jaringan limfoid superfisial bereaksi, terjadi

pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear6. Pada

Page 9: Patofisiologi Faringitis

stadium awal terdapat hiperemi, kemudian edema dan sekresi yang meningkat.

Eksudat mula-mula serosa tapi menjadi menebal dan kemudian cendrung

menjadi kering dan dapat melekat pada dinding faring. Dengan hiperemi,

pembuluh darah dinding faring menjadi lebar. Bentuk sumbatan yang berwarna

kuning, putih atau abu-abu terdapat dalam folikel atau jaringan limfoid. Tampak

bahwa folikel limfoid dan bercak-bercak pada dinding faring posterior, atau

terletak lebih ke lateral, menjadi meradang dan membengkak5.

Manifestasi Klinis dan Pemeriksaan Penunjang

    Manifestasi klinis berbeda-beda tergantung apakah streptokokus atau virus

yang menyebabkan penyakit tersebut. Bagaimanapun, terdapat banyak tumpang

tindih dalam tanda-tanda  serta gejala penyakit tersebut dan secara klinis

seringkali sukar untuk membedakan satu bentuk faringitis dari bentuk lainnya4.

    Faringitis oleh virus biasanya merupakan penyakit dengan awitan yang relatif

lambat, umumnya terdapat demam, malaise, penurunan nafsu makan disertai

rasa nyeri sedang pada tenggorokan sebagai tanda dini. Rasa nyeri pada

tenggorokan dapat muncul pada awal penyakit tetapi biasanya baru mulai terasa

satu atau dua hari setelah awitan gejala-gejala dan mencapai puncaknya pada

hari ke-2-3. Suara serak, batuk, rinitis juga sering ditemukan. Walau pada

puncaknya sekalipun, peradangan faring mungkin berlangsung ringan tetapi

kadang-kadang dapat terjadi begitu hebat serta ulkus-ulkus kecil mungkin

terbentuk pada langit-langit lunak dan dinding belakang faring. Eksudat-eksudat

dapat terlihat pada folikel-folikel kelenjar limfoid langit-langit dan tonsil serta

sukar dibedakan dari eksudat-eksudat yang ditemukan pada penyakit yang

disebabkan oleh streptokokus. Biasanya nodus-nodus kelenjar limfe servikal

akan membesar, berbentuk keras dan dapat mengalami nyeri tekan atau tidak.

Keterlibatan laring sering ditemukan pada penyakit ini tetapi trakea, bronkus-

bronkus dan paru-paru jarang terkena. Jumlah leukosit berkisar 6000 hingga

lebih dari 30.000, suatu jumlah yang meningkat (16.000-18.000) dengan sel-sel

polimorfonuklear menonjol merupakan hal yang sering ditemukan pada fase dini

penyakit tersebut. Karena itu jumlah leukosit hanya kecil artinya dalam

Page 10: Patofisiologi Faringitis

melakukan pembedaan penyakit yang disebabkan oleh virus dengan bakteri.

Seluruh masa sakit dapat berlangsung kurang dari 24 jam dan biasanya tidaka

kan bertahan lebih lamna dari 5 hari. Penyulit-penyulit lainnya jarang

ditemukan4.

    Faringitis streptokokus pada seorang anak berumur lebih dari 2 tahun,

seringkali dimulai dengan keluhan-keluhan sakit kepala, nyeri abdomen dan

muntah-muntah. Gajala-gajala tersebut mungkin berkaitan dengan terjadinya

demam yang dapat mencapai suhu 40OC (104O F); kadang-kadang kenaikan

suhu tersebut tidak ditemukan selama 12 jam. Berjam-jam setelah keluhan-

keluhan awal maka tenggorokan penderita mulai terasa sakit dan pada sekitar

sepertiga penderita mengalami pembesaran kelenjar-kelenjar tonsil, eksudasi

serta eritem faring. Derajat rasa nyeri faring tidak tetap dan dapat bervariasi dari

yang sedikit hingga rasa nyeri demikian hebat sehingga membuat para penderita

sukar menelan. Dua per tiga dari para penderita mungkin hanya mengalami

eritema tanpa pembesaran khusus kelenjar tonsil serta tidak terdapat eksudasi.

Limfadenopati servikal anterior biasanya terjadi secara dini dan nodus-nodus

kelenjar mengalami nyeri tekan. Demam mungkin berlangsung hingga 1-4 hari;

pada kasus-kasus sangat berat penderita tetap dapat sakit hingga 2 minggu.

Temuan-temuan fisik yang paling mungkin ditemukan berhubungan dengan

penyakit yang disebabkan oleh streptokokus adalah kemerahan pada kelenjar-

kelenjar tonsil beserta tiang-tiang lunak, terlepas dari ada atau tidaknya

limfadenitis dan eksudasi-eksudasi. Gambaran-gambaran ini walaupun sering

ditemukan pada faringitis yang disebabkan oleh streptokokus, tidak bersifat

diagnostik dan dengan frekuensi tertentu dapat pula dijumpai pada faringitis yang

disebabkan oleh virus4.

    Konjungtivitis, rinitis, batuk, dan suara serak jarang terjadi pada faringitis yang

disebabkan streptokokus dan telah dibuktikan, adanya 2 atau lebih banyak lagi

tanda-tanda atau gejala-gejala ini memberikan petunjuk pada diagnosis infeksi

virus4.

    Bahan biakan tenggorokan merupakan satu-satunya metode yang dapat

dipercaya untuk membedakan faringitis oleh virus dengan streptokokus2,4.

Page 11: Patofisiologi Faringitis

Menurut Simon, diagnosa standar streptokokus beta hemolitikus kelompok A

adalah kultur tenggorok karena mempunyai sensitifitas dan spesifisitas yang

tinggi tergantung dari teknik, sample dan media. Bakteri yang lain seperti

gonokokus dapat diskrening dengan media Thayer-Martin hangat. Virus dapat

dikultur dengan media yang khusus seperti pada Epstein-Bar virus

menggunakan monospot. Secara keseluruhan dari pemeriksaan laboratorium

ditemukan adanya leukositosis2.

Terapi

    Terapi faringitis virus adalah aspirin atau asetaminofen, cairan dan istirahat

baring. Komplikasi seperti sinusitis atau pneumonia biasanya disebabkan oleh

invasi bakteri karena adanya nekrosis epitel yang disebabkan oleh virus.

Antibiotika dicadangkan untuk komplikasi ini7.

    Faringitis streptokokus paling baik diobati dengan pemberian penisilin oral

(200.000-250.000 unit penisilin G,3-4 kali sehari, selama 10 hari). Pemberian

obat ini biasanya akan menghasilkan respon klinis yang cepat dengan terjadinya

suhu badan dalam waktu 24 jam. Eritromisin atau klindamisin merupakan obat

lain dengan hasil memuaskan, jika penderita alergi terhadap penisilin4,6.

    Dengan tambahan untuk mencukupi terapi antibiotik terhadap pasien-pasien

yang menderita faringitis, tanpa menghiraukan etiologinya, seharusnya diberikan

antipiretik untuk mengatasi nyeri atau demam. Obat yang dianjurkan seperti

ibuprofen atau asetaminofen2.

    Jika penderita menderita nyeri tenggorokan yang sangat hebat, selain terapi

obat, pemberian kompres panas atau dingin pada leher dapat membantu

meringankan nyeri. Berkumur-kumur dengan larutan garam hangat dapat pula

memberikan sedikit keringanan gejala terhadap nyeri tenggorokan, dan hal ini

dapat disarankan pada anak-anak yang lebih besar untuk dapat bekerja sama4.

    Seorang anak dengan infeksi streptokokus tidak akan menularkan lagi kepada

orang-orang lain dalam beberapa jam setelah mendapatkan pengobatan

antibiotik. Sementara itu anak-anak dengan infeksi virus akan tetap dapat

menularkan selama beberapa hari4.

Page 12: Patofisiologi Faringitis

SIMULASI KASUS

Kasus

    Seorang anak Tira (8 tahun, berat badan 25 kg) pelajar SD kelas 2, alamat Jl.

Kamboja No. 19 Banjarmasin, datang diantar ibunya ke poliklinik jam 10.00 pagi

dengan keluhan batuk. Pasien sudah 5 hari batuk, sebelumnya tidak berdahak,

sekarang menjadi berdahak kental berwarna kekuningan. Hidung tersumbat bila

malam ketika berbaring, sehinggga susah tidur, dan bila bangun pagi

tenggorokan terasa nyeri. Tadinya nyeri hilang bila diberi minum air hangat di

pagi hari, sekarang nyerinya menetap, terutama bila menelan

makanan/minuman. Kalau pagi, nyeri tenggorokannya terasa sekali. Badan mulai

panas sejak kemaren, dan tadi malam demamnya tinggi, sampai 390C diukur

dengan termometer di rumah. Sudah diberi kompres alkohol, minum banyak dan

syrup Novalgin, tapi panasnya hanya turun sebentar. Tanda vital TD = 100/70

mmHg, nadi = 90 kali/menit, respirasi = 28 kali  dan suhu 39OC. Pada

pemeriksaan fisik ditemukan, hiperemi dan edem konka. Pada faring hiperemi

mukosa, ada sputum kental kuning, tidak ada membran putih. Pembesaran

kelenjar limfe submandibularis dengan nyeri tekan ringan. Thoraks, abdomen

dan akstremitas dalam batas normal.

Diagnosis : Faringitis dengan infeksi sekunder

Tujuan Pengobatan

    Tujuan pengobatan untuk mengeliminasi infeksi serta mengurangi atau

menghilangkan gejala demam dan nyeri menelan. Meningkatkan daya tahan

tubuh anak dan mencegah komplikasi yang mungkin terjadi.

Daftar Kelompok Obat Beserta Jenisnya yang Berkhasiat

N0.    Kelompok Obat    Nama Obat

1    Antibiotik    Amoksisillin, Eritromisin

2    Analgetik, antipiretik    Asetaminofen, Ibuprofen

Farmakokinetik, Farmakodinamik, serta Interaksi Obat

Page 13: Patofisiologi Faringitis

Antibiotik

1. Amoksisillin

2. Eritromisin

 Farmakokinetik

    Basa eritomisin diserap baik oleh usus kecil bagian atas; aktivitasnya hilang

oleh cairan lambung dan absorbsi diperlambat oleh makanan di lambung. Untuk

mencegah pengrusakan oleh asam lambung, basa eritromisin diberi selaput

yang tahan atau digunakan dalam bentuk ester stearat atau etilsuksinat. Dengan

dosis oral 500 mg eritromisin basa dapat dicapai kadar puncak 0,3-1,9 ug/ml

dalam waktu 4 jam9.

    Hanya 2,5% eritromisin yang diekskresi dalam bentuk aktif di urin. Eritromisin

mengalami pemekatan dalam jaringan hati. Kadar obat aktif dalam cairan

empedu dapat melebihi 100 kali dari kdar didalam darah. Masa paruh eliminasi

eritromisin adalah sekitar 1,6 jam. Dalam keadaan insufisiensi ginjal tidak

diperlukan modifikasi dosis. Eritromisin berdifusi dengan baik ke berbagai

jaringan tubuh kecuali ke otak dan cairan serebrospinal. Kadarnya dalam

jaringan prostat hanya sekitar 40% dari kadar yang tercapai. Pada ibu hamil,

kadar eritromisin dalam sirkulasi fetus adalah 5-20% dari kadar obat dalam

sirkulasi darah ibu dan obat ini diekskresi terutama melalui hati 9.

Farmakodinamik  

Eritromisin memiliki spektrum antibakteri yang hampir sama dengan penisilin

yaitu bersifat bakterisid dan menghambat sintesis dinding sel10, melalui

mekanisme penghambatan pelepasan rantai peptida-tRNA yang berasal dari

ribosom sehingga proses sintesis dari RNA tergantung protein berhenti2.

Reaksi terhadap tubuh yang muncul seperti alergi yang mungkin timbul dalam

bentuk demam, eosinofilia dan eksamtem yang cepat hilang bila terapi

dihentikan. Hepatitis kolestatik adalah reaksi kepekaan yang terutama timbul

oleh eritromisin eskolat, gejalanya seperti nyeri perut, mual dan muntah.

Kemudian timbul ikterus, demam, dan leukositos9.

Interaksi Obat

Eritromisin dapat meningkatkan toksisitas apabila digunakan bersama dengan

Page 14: Patofisiologi Faringitis

salah satu obat seperti teofilin, digoksin, karbamazepin dan siklosporin. Selain itu

dapat meningkatkan efek antikoagulan dari warfarin, meningkatkan resiko

rabdomiolisis bila digunakan bersama dengan lovastatin dan simvastatin2.

1. Asetaminofen

Farmakokinetik

    Asetaminofen diabsorpsi cepat dan sempurna melalui saluran cerna.

Konsentrasi tinggi dalam plasma dicapai dalam waktu ½ jam dan masa paruh

plasma antara 1-3 jam. Obat ini tersebar ke seluruh tubuh. Dalam plasma, 25%

asetaminofen terikat protein plasma dan dimetabolisme oleh enzim mikrosom

hati. Sebagian asetaminofen (80%) dikonjugasi dengan asam glukoronat dan

sebagian kecil oleh asam sulfat. Metabolit hasil dari hidroksilasi obat ini dapat

menimbulkan methemoglobinemia dan hemolisis eritrosit. Asetaminofen

diekskresi melalui ginjal, sebaian besar dalam dalam bentuk konjugasi dan

sebagian kecil sebagai asetaminofen (3%)12.

Farmakodinamik

    Efek analgetik asetaminofen yaitu mengurangi nyeri dari nyeri ringan sampai

sedang9. Efek antipiretik dengan mekanisme langsung melalui pusat pengatur

panas di hipotalamus melalui pengeluaran panas tubuh dengan cara vasodilatasi

dan berkeringat1.

    Efek anti-inflamasinya sangat lemah, oleh karena itu asetaminofen tidak

digunakan sebagai antireumatik. Asetaminofen merupakan pnghambat

prostaglandin yang lemah. Efek iritasi, erosi dan perdarahan lambung tidak

terlihat pada obat ini, demikian juga gangguan pernapasan dan keseimbangan

asam basa12.

    Efek terhadap hati yaitu dapat mengakibatkan hepatotoksik yang biasanya

terjadi pada hari kedua dan ditandai dengan peningkatan aktivitas serum

transaminase, laktat dehidrogenase, serta pemanjangan masa protrombin.

Kerusakan hati dapat mengakibatkan ensepalofati, koma dan kematian.

Kerusakan hati yang tidak berat dapat pulih dalam beberapa minggu12.

Interaksi Obat

    Apabila digunakan bersama rifampin dapat mengurangi egek analgetik

Page 15: Patofisiologi Faringitis

asetaminofen, sedangkan apabila digunakan bersama-sama dengan salah satu

obat seperti barbiturat, karbamazepin, hidantoin, dan isoniazid dapat

meningkatkan hepatotoksik asetaminofen1.

2. Ibuprofen

Farmakokinetik

    Ibuprofen diabsorbsi cepat melalui lambung dan kadar maksimum dalam

plasma dicapai sekitar 1-2 jam. Waktu paruh dalam plasma sekitar 2 jam dan

90% ibuprofen terikat pada protein plasma. Ekskresinya berlangsung cepat dan

lengkap, kira-kira 90% dari dosis yang diabsorpsi akan diekskresi melalui urin

sebagai metabolit atau konjugatnya12.

Farmakodinamik

    Ibuprofen merupakan turunan asam propionat yang berkhasiat sebagai

antiinflamasi, analgetik, dan antipiretik11. Efek antiinflamasi dan analgetiknya

melalui mekanisme pengurangan sintesis prostaglandin1.

    Efek ibuprofen terhadap saluran cerna lebih ringan dibandingkan aspirin,

indometasin atau naproksen. Efek lainnya yang jarang seperti eritema kulit, sakit

kepala, trombositopenia, dan ambliopia toksik yang reversibel12.

Interaksi Obat

    Penggunaan ibuprofen bersama-sama dengan salah satu obat seperti

hidralazin, kaptopril, atau beta-blocker dapat mengurangi khasiat dari obat-obat

tersebut. Sedangkan penggunaan bersama dengan obat furosemid atau tiazid

dapat meningkatkan efek diuresis dari kedua obat tersebut1.

Pengendalian Obat

    Diagnosa kasus ini adalah faringitis akut. Berdasarkan hasil anamnesis di

asumsikan penderita menderita faringitis akut yang disebabkan oleh bakteri.

Karena menurut Harold, faringitis virus biasanya ditandai oleh gejala batuk,

hidung berair, dan bersin-bersin. Pernyataan ini diperkuat oleh Berhman dan

teman-teman yang menyatakan bahwa konjungtivitis, rinitis, batuk dan suara

Page 16: Patofisiologi Faringitis

serak, telah dibuktikan lebih sering ditemui pada faringitis yang diakibatkan oleh

virus.  Dengan demikian penderita memerlukan terapi antibiotik dan analgetik.

    Pilihan antibiotik pada kasus ini adalah antibiotik golongan makrolid yaitu

eritromisin. Pertimbangannya yaitu penderita sensintif terhadap penisilin dan

eritromisin juga memiliki khasiat bakteriostatik dan/atau bakterisid sehingga

dapat digunakan untuk menggantikan penisilin. Analgetik yang digunakan yaitu

golongan para amino fenol yaitu asetaminofen karena memiliki kerja analgetik

dan antipiretik.

    Resep yang diberikan terdiri dari antibiotik oral dan analgetik oral dalam

bentuk suspensi karena penderita mengeluh nyeri tenggorokan. Antibiotik

diberikan selama 10 hari dimaksudkan untuk mencegah rekurensi dan

mencegah komplikasi seperti demam rheumatik dan glomerulonefritis pasca

infeksi streptokokus3. Analgetik diberikan hanya dalam waktu 3 hari karena

hanya digunakan untuk mengurangi apabila terdapat gejala demam dan nyeri.

DAFTAR PUSTAKA

1.    Aung, K. Pharyngitis, Viral. eMedicine.Com 2005; (online),

(http://www.emedicine.Com/med/topic.1812.htm. diakses 2 Mei 2005).

2.    Simon, HK. Pediatrics, Pharyngitis. eMedicine.Com 2005; (online),

(http://www.emedicine.Com/emerg/topic.395.htm. diakses 30 april 2005).

3.    Kazzi, AA. Pharyngitis. eMedicine.Com 2005; (online),

(http://www.emedicine.Com/emerg/topic.419.htm. diakses 30 april 2005).

4.    Berhman, E. Richard dan Victor C.V.1992. Sistem pernafasan: Infeksi-infeksi

Saluran Nafas Bagian Atas dalam: Nelson Ilmu Penyakit Anak Bagian 2. EGC.

Jakarta; 297-98.

5.    Adam, Goerge L.1997. Penyakit-penyakit Nasofaring dan Orofaring dalam:

Boeis Buku Ajar Penyakit THT Edisi 6. EGC. Jakarta; 328-29.

6.    Mansjoer, A (ed). 1999. Ilmu Penyakit Telinga, Hidung, dan Tenggorok:

Tenggorok dalam: Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3. FK UI. Jakarta; 118.

7.    Eugen B.K, D. Thaher R.C, dan Bruce W.P. 1993. Sakit Tenggorokan.

Dalam: Penyakit Telinga, Hidung, dan Tenggorok. EGC, Jakarta;297-98

Page 17: Patofisiologi Faringitis

8.    Katzung BG. 1995. Obat dengan Indikasi Khusus dalam: Farmakologi Dasar

dan Klinik Edisi 3. EGC. Jakarta; 675-78.

9.   Setiabudy, R.1995. Antimikroba Lain dalam Ganiswarna, S (ed). 1995.

Farmakologi dan Terapi Edisi 4. Bagian Farmakologi FK UI. Jakarta;675-78.

10.    Departemen kesehatan Republik Indonesia. 2000. Obat yang Digunakan

untuk Pengobatan Infeksi. Dalam: Informatorium Obat nasional Indonesia 2000

(IONI). Jakarta: Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan makanan;199-230.

11.    Departemen kesehatan Republik Indonesia. 2000. Obat yang Digunakan

untuk Pengobatan Penyakit Otot Skelet dan Sendi. Dalam: Informatorium Obat

nasional Indonesia 2000 (IONI). Jakarta: Direktorat Jendral Pengawasan Obat

dan makanan; 354-76.

12.    Wilmana P.F. 1995. Analgesik-Antipiretik, Analgesik Anti-inflamasi

Nonsteroid dan Obat Pirai dalam Ganiswarna, S (ed). 1995. Farmakologi dan

Terapi Edisi 4. Bagian Farmakologi FK UI. Jakarta;675-78.