Nisa

87
CASE PRESENTATION DIAGNOSIS HOLISTIK DAN TERAPI KOMPREHENSIF DALAM LAYANAN KEDOKTERAN KELUARGA TERHADAP PASIEN LEPTOSPIROSIS Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sultan Agung Semarang .. Disusun Oleh: Fahrunisa’ 01.211.6386

description

kesehatan

Transcript of Nisa

Page 1: Nisa

CASE PRESENTATION

DIAGNOSIS HOLISTIK DAN TERAPI KOMPREHENSIF DALAM LAYANAN KEDOKTERAN KELUARGA TERHADAP PASIEN

LEPTOSPIROSIS

Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu SyaratUntuk Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat

Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sultan Agung Semarang

..

Disusun Oleh:

Fahrunisa’

01.211.6386

KEPANITERAAN KLINIK

ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG

2015

Page 2: Nisa

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan

rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan Diagnosis Holistik Dan Terapi

Komprehensif Dalam Layanan Kedokteran Keluarga Terhadap Pasien Leptospirosis.

Laporan ini disusun untuk memenuhi tugas-tugas dalam rangka menjalankan

kepanitraan Klinik Ilmu Kesehatan Masyarakat. Laporan ini dapat diselesaikan berkat

kerjasama tim dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu kami mengucapkan terimakasih

yang sebesar-besarnya kepada :

1. dr. Ratnawati, Koordinator Pendidikan IKM FK Unissula Semarang

2. dr.Antonia Sadniningtyas, Kepala Puskesmas Pandanaran Semarang

3. Seluruh Staf Puskesmas Pandanaran Semarang

4. Semua pihak yang telah membantu kami dalam penyusunan laporan

kasus ini.

Kami menyadari bahwa hasil penulisan Laporan kasus ini masih jauh

dari kata sempurna karena keterbatasan waktu dan kemampuan. Oleh karena

itu kritik dan saran yang membangun guna kesempurnaan dan perbaikan

laporan kasus ini agar lebih baik. Akhir kata kami berharap semoga laporan

kasus Leptospirosis di Puskesmas Pandanaran Kota Semarang ini bermanfaat

bagi semua pihak.

Semarang, Agustus 2015

Penyusun

Page 3: Nisa

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..........................................................................................

HALAMAN PENGESAHAN............................................................................

KATA PENGANTAR........................................................................................

DAFTAR ISI ....................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN ..............................................................................

1.1. Latar Belakang ........................................................................................

1.2. Tujuan .....................................................................................................

1.3. Manfaat....................................................................................................

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .....................................................................

2.1. Leptospirosis............................................................................................

2.1.1. Pengertian Leptospirosis ..........................................................

2.1.2. Cara Penularan Bakteri Leptospira............................................

2.1.3. Resevoar Penular.......................................................................

2.1.4. Gejala Klinis .............................................................................

2.1.5. Penyebab Penyakit....................................................................

2.1.6. Faktor Resiko ………………………………...........................

2.1.7. Diagnosis Klinis dan Diagnosis Banding……..........................

2.1.8. Tikus…………………………………………..........................

2.1.9. Pengobatan Penderita…………………………........................

2.2. Sanitasi Rumah…………………………………………..........................

2.2.1. Definisi………………………………………............................

iii

Page 4: Nisa

2.2.2. Kriteria Rumah Sehat..................................................................

2.2.3. Faktor Kondisi Sanitasi dan Pengaruh Kejadian .........................

2.3. Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian

Leptospirosis

2.3.1. Umur.............................................................................................

2.3.2. Status Gizi....................................................................................

2.3.3. Status Ekonomi............................................................................

2.3.4. Perilaku.........................................................................................

2.3.5. Pekerjaan......................................................................................

BAB III STATUS PRESENT..............................................................................

A. Data Pasien....................................................................................................

1. Identitas .........................................................................................................

2. Anamnesis ....................................................................................................

3. Pemeriksaan Fisik..........................................................................................

4. Pemeriksaan Penunjang.................................................................................

5. Diagnosis........................................................................................................

B. Data Perkesmas............................................................................................

1. Identitas Keluarga.............................................................................

2.Data Lingkungan................................................................................

3. Data perilaku.....................................................................................

4. Data akses pelayanan terdekat…………………… .........................

BAB IV ANALISA/PEMBAHASAN................................................................

BAB V SARAN ................................................................................................

BAB VI IMPLEMENTASI DAN EVALUASI..................................................

BAB VII KESIMPULAN....................................................................................

iv

Page 5: Nisa

DAFTAR PUSTAKA…………………..............................................................

LAMPIRAN.........................................................................................................

v

Page 6: Nisa

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Leptospirosis merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh

dunia, khususnya di negara-negara yang beriklim tropis dan subtropis

serta memiliki curah hujan yang tinggi. World Health Organization

(WHO) menyebutkan kejadian Leptospirosis untuk negara subtropis

adalah berkisar antara 0,1-1 kejadian tiap 100.000 penduduk per tahun,

sedangkan di negara tropis berkisar antara 10–100 kejadian tiap 100.000

penduduk per tahun (WHO, 2012). Indonesia sebagai negara tropis

merupakan negara dengan kejadian Leptospirosis yang tinggi serta

menduduki peringkat ketiga di dunia dibawah China dan India untuk

mortalitas. Penyakit bersumber tikus yang pernah dilaporkan di Provinsi

Jawa Tengah diantaranya adalah penyakit Pes dan Leptospirosis.

Leptospirosis telah mengakibatkan kematian penduduk di beberapa

kabupaten atau kota seperti di Semarang, Demak, Pati, Klaten dan

Purworejo (Buku Saku Kesehatan 2011 Prov. Jateng : 40 - 41).

Penularan leptospirosis pada manusia ditularkan oleh hewan yang

terinfeksi kuman leptospira yang biasanya masuk melalui conjunctiva

atau kulit yang terluka. Pada kulit yang utuh, infeksi dapat pula terjadi apabila

seseorang kontak dengan air, tanah, dan tanaman yang terkontaminasi urin

tikus atau hewan lain seperti anjing, kucing dll yang sakit eptospirosis

dalam waktu yang lama (Muliawan, 2008: 64). Umumnya, penyakit

leptospirosis merupakan penyakit yang banyak terjadi di daerah rawan

banjir karena kejadian penyakit ini paling tinggi setelah banjir tersebut 1

Page 7: Nisa

surut. Angka kejadian kasus leptospirosis di puskesmas pandanaran dari

periode januari-desember 2014 sebanyak 10 kasus. Periode januari-agustus

2015 sebanyak 3 kasus dari 3 kasus ada 1 pasien yang meninggal dunia

(Rekapitulasi Bulanan Kasus Leptospirosis puskesmas pandanaran Tahun

2014-2015).

Penelitian terdahulu yang telah dilakukan menunjukkan bahwa

kejadian Leptospirosis berkaitan dengan faktor lingkungan. Pada penelitian

Dwi Sarwani (2005) mendapatkan hasil bahwa beberapa faktor

lingkungan fisik yang merupakan faktor risiko kejadian leptospirosis

berat adalah kondisi tempat pengumpulan sampah (Odd Ratio = 1,2

dengan 95% CI 0,6-2,7), kondisi selokan (Odd Ratio = 5 dengan 95% CI

2,3-10,6). Faktor lingkungan biologik yang merupakan faktor risiko

kejadian leptospirosis berat adalah adanya tikus di dalam rumah (Odd Ratio =

38,1 dengan 95% CI 8,6–169,8).

Penyakit leptospirosis merupakan penyakit yang sangat

berhubungan dengan lingkungan. Faktor lingkungan yang sangat berperan

dalam kejadian leptospirosis adalah sanitasi rumah. Sanitasi rumah dapat

dikatakan baik apabila memenuhi salah satu kriteria rumah sehat

yaitu memenuhi persyaratan pencegahan penularan penyakit antar

penghuni rumah dengan penyediaan air bersih, pengelolaan tinja dan

limbah rumah tangga, bebas vektor penyakit dan tikus, kepadatan hunian

yang tidak berlebihan, cukup sinar matahari pagi, terlindungnya

makanan dan minuman dari pencemaran, disamping pencahayaan dan

penghawaan yang cukup (Rusmini, 2011:86).

2

Page 8: Nisa

1.2 Tujuan

1.2.1 Tujuan Umum

Untuk memperoleh informasi mengenai faktor-faktor

yang berpengaruh terhadap Leptospirosis berdasarkan

pendekatan H.L. Blum.

1.2.2 Tujuan Khusus

1.2.2.1 Untuk memperoleh informasi mengenai faktor perilaku

yang mempengaruhi terjadinya Leptospirosis

1.2.2.2 Untuk memperoleh informasi mengenai faktor

lingkungan yang mempengaruhi terjadinya

Leptospirosis

1.2.2.3 Untuk memperoleh informasi mengenai faktor pelayanan

kesehatan yang mempengaruhi terjadinya penyakit

Leptospirosis

1.3 Manfaat

1.3.1. Bagi Masyarakat

1.3.1.1 Masyarakat mengetahui mengenai Leptospirosis.

1.3.1.2 Masyrakat mengetahui manfaat perilaku hidup sehat.

1.3.1.3 Membangun kesadaran masyarakat tentang pencegahan

terhadap penyakit Leptospirosis.

3

Page 9: Nisa

1.3.2. Bagi Mahasiswa

1.3.2.1 Mahasiswa mengetahui langsung masalah yang ada di

lapangan.

1.3.2.2 Mahasiswa menjadi terbiasa melaporkan masalah mulai

penemuan masalah sampai pembuatan plan of action.

1.3.2.3 Sebagai media yang menambah wawasan pengetahuan

tentang ilmu kesehatan masyarakat.

1.3.2.4 Sebagai media yang dapat mengembangkan ketrampilan

sebagai dokter.

1.3.2.5 Sebagai modal dasar untuk melakukan penelitian bidang

ilmu kesehatan masyarakat pada tataran yang lebih

lanjut.

4

Page 10: Nisa

BAB IIANALISA SITUASI

A. Cara Pengamatan dan Waktu Pengamatan

1. Pengamatan dilakukan dengan cara wawancara dan kunjungan rumah.

2. Waktu pengamatan

Anamnesa awal kepada pasien dan kunjungan rumah untuk mengamati kondisi

lingkungan, perilaku pasien, dan keluarga pasien dilakukan di Wonodri Kopen III

RT 06/XI Wonodri Kelurahan Wonodri Semarang pada tanggal 2 Febuari 2016.

B. Laporan Hasil Pengamatan

IDENTITAS PASIEN

Data diperoleh dari observasi langsung (home visit), wawancara dengan pasien

dan catatan medis selama pasien berobat.

Nama : Ny. Sri Maryati

Umur : 39 th

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Wonodri Kopen III RT 06/XI Wonodri Kelurahan Wonodri

Semarang

Agama : Islam

Tanggal Berobat : 1 Febuari 2016

PMO : Bp.Sandiyoko(suami pasien)

5

Page 11: Nisa

ANAMNESIS HOLISTIK

ASPEK 1

PERSONAL

Keluhan Utama : Demam tinggi, nyeri di semua badan,mual muntah,Lemes.

Harapan : sembuh secepatnya sehingga bisa kerja

Kekhawatiran : tidak sembuh dan penyakit makin parah

ASPEK 2

a. Riwayat Penyakit Sekarang

Tanggal 28 Januari pasien merasakan demam,rasa nyeri otot,

nyeri pada betis,nyeri pada kepala,nyeri pada

persendian,mual,muntah, malaise, tidak nafsu makan. Setelah

itu pada tanggal 1 Februari pasien mengalami kemerahan pada

mata, kekuningan pada kulit dan mata, dan kencing berkurang.

Lalu keluarga membawa pasien ke Puskesmas Pandanaran pada

tanggal 1 februari,dari puskesmas pasien di rujuk ke Rumah

sakit.pasien opname di rumah sakit mulai tanggal 1 Febuari

sampai tanggal 7 Februari.

b. Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien belum pernah menderita penyakit seperti ini sebelumnya.

c. Riwayat Keluarga

Tidak ada keluarga penderita yang menderita Leptospirosis.

d. Riwayat Sosial Ekonomi

6

Page 12: Nisa

Pasien bekerja sebagai buruh (tukang bersih-bersih di

pasar sendiko) tanpa memakai sepatu boot dan perlindungan

lainnya. Suami tidak bekerja.Pendapatan tidak menentu.

e. Keadaan saat ini:

Pasien saat ini sudah membaik.

2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik terhadap pasien tidak dilakukan karena

pasien sudah meninggal dunia.

4. Pemeriksaan Penunjang

Dari hasil laboratorium dengan menggunakan uji MAT

didapatkan hasil (+) Leptospirosis.

5. Diagnosis

Diagnosis pada pasien yaitu Tn. Didik (alm) adalah (+) Leptospirosis

7

Page 13: Nisa

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Leptospirosis

2.1.1 Pengertian Leptospirosis

Leptospirosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan bakteri

yang berbentuk spiral dari genus leptospira patogen, menyerang hewan dan

manusia.Definisi zoonosa (zoonosis) adalah penyakit yang secara alami dapat

dipindahkan dari hewan vertebrata ke manusia atau sebaliknya (Depkes RI,

2005:1) Bakteri zoonosis sebagai aspek penyebab leptospirosis. Dari

aspek transmisinya leptospirosis merupakan salah satu direct zoonosi

8

Page 14: Nisa

(host to hosttransmission) karena penularannya hanya memerlukan satu

vertebrata saja.Penyakit ini bebas berkembang di alam, di kalangan hewan

liar maupun domestik,dan manusia merupakan infeksi terminal. Dari

aspek ini penyakit tersebut termasuk golongan anthropozoonosis.

Gambaran klinis penyakit leptospirosis pada manusia meliputi: demam,

pembesaran hati dan limpa, ikterus, dan ada tanda – tanda kerusakan pada

ginjal (Depkes RI,2005:1).

2.1.1.1 Etiologi

Mikroorganisme penyebab leptospirosis termasuk dalam genus

Leptospira (L), famili Leptospiraceae, ordo Spirochaetales yang terdiri dari 2

spesies yaitu L.interrogans yang patogen dan L. biflexa yang hidup

bebas (non – patogen,saprofit). Jenis Leptospira interrogans yang mampu

menginfeksi manusia antara lain adalah L. icterohaemorrhagiae, L. canicola,

L. pamona, L. grippotyphosa, Ljavanica, L. celledoni, L. ballum, L.

pyrogenes, L. autumnalis, L. bataviae, L.tarrasovi, L. panama, L.

andamana, L. shemonai, L. ranarum, L. bufonis, L.copenhageni, L.

australis, L. cynopteri. Jenis yang paling sering menginfeksimanusia

adalah L. icterohaemorrhagiae dengan tikus sebagai reservoirnya, L.

canicola dengan anjing sebagai reservoirnya, dan L.pamona dengan sapi dan

babisebagai reservoirnya (Djoni Djunaedi, 2007:20).

2.1.1.2 Epidemiologi

Leptospira yang hidup dalam tubuh hewan yang menjadi sumber

penularan leptospirosis berada di dalam ginjal atau air kemihnya. Tikus

merupakan vektor yang utama penyebab leptospirosis pada manusia. Dalam

tubuh tikus, leptospira akan menetap dan membentuk koloni serta 9

Page 15: Nisa

berkembang biak di dalam epitel tubulus ginjal tikus dan secara terus

menerus akan ikut mengalir dalam filtrat urin. Penyakit ini bersifat musiman,

di daerah beriklim sedang, masa puncak insidens dijumpai pada musim

panas dan musim gugur karena temperatur adalah faktor yang

mempengaruhi kelangsungan hidup leptospira, sedangkan di daerah tropis

insidens tertinggi terjadi selama musim hujan. Untuk dapat berkembang

biak, leptospira memerlukan lingkungan optimal serta tergantung pada

suhu yang lembab, hangat, dan pH air tanah yang netral (Aru W. Sudoyo,

dkk., 2006:1845). Bakteri Leptospira tetap hidup pada air tergenang

selama beberapa minggu. Ketika orang meminum air tersebut, berenang

atau mandi di dalamnya,atau mengkonsumsi makanan yang tercemar,

maka dapat timbul infeksi pada orang tersebut. Orang yang sering

berkontak dengan air yang tercemar oleh urin tikus mempunyai risiko

terbesar untuk terinfeksi (Muliawan,2008:65).

2.1.1.3 Patogenesis

Infeksi pada manusia biasanya terjadi akibat air minum atau

makanan yang terkontaminasi denga leptospira. Selaput mukosa dan kulit

yang terluka merupakan tempat masuk yang paling mungkin bagi leptospira

patogenik. Setelah masuknya bakteri ini, terjadi infeksi yang tersebar di

seluruh tubuh termasuk cairan serebrospinal dan mata, tetapi tidak timbul

lesi pada tempat masuk. Gerak yang menggangsir (burrowing motility)

telah diajukan sebagai mekanisme masuknya Leptospira di tempat

tersebut, yang secara normal terlindung (Rusmini,2011:86-88).

10

Page 16: Nisa

Leptospira secara cepat dieliminasi dari semua jaringan tubuh

hospes, kecuali pada otak, mata, dan ginjal. Leptospira yang bertahan hidup

pada otak dan mata tidak memperbanyak diri, akan tetapi pada ginjal,

bakteri ini berkembangbiak di dalam tubuli kontorta dan dikeluarkan ke

dalam urin. Leptospira bertahan di dalam hospes selama berminggu–minggu

hingga berbulan–bulan, dan pada rodensia bakteri ini dapat dikeluarkan

melalui urin sepanjang hidup hewantersebut (Muliawan, 2008:67).

2.1.1.4 Patologi

Perjalanan pada fase leptospiremia, leptospira melepaskan toksin

yangber tanggung jawab atas terjadinya keadaan patologi beberapa organ.

Lesi yang muncul terjadi karena kerusakan pada lapisan endotel kapiler.

Pada leptospirosis terdapat perbedaan antara derajat gangguan fungsi organ

dengan kerusakan secara histologik. Pada leptospirosis lesi histologis yang

ringan ditemukan pada ginjal dan hati pasien dengan kelainan fungsional

yang nyata dari organ tersebut. Perbedaan ini menunjukkan bahwa

kerusakan bukan pada struktur organ. Selain di ginjal, leptospira juga dapat

bertahan pada otak dan mata. Leptospira dapat masuk pada fase

leptospiremia. Hal ini akan menyebabkan meningitis yang merupakan

gangguan neurologi terbanyak yang terjadi sebagai komplikasi

leptospirosis. Organ–organ yang sering dikenai leptospira adalah ginjal, hati,

otot dan pembuluh darah (Aru W. Sudoyo, dkk.,2006:1845).

2.1.1.5 Morfologi

Leptospira merupakan organisme fleksibel, tipis, berlilit padat,

dengan panjang 5–25 μm, disertai spiral halus yang lebarnya 0,1–0,2 μm.

Salah satu ujungorganisme seringkali bengkok, membentuk kait. 11

Page 17: Nisa

Bentuk yang demikianmenyebabkan leptospira dapat bergerak sangat

aktif untuk maju, mundur atau berbelok. Leptospira dapat

dikembangbiakkan pada pH 7,4 dan pada suhu 28–30°C (Muliawan,

2008:65).

2.1.1.6 Struktur

2.1.1.6.1 Struktur Umum

Leptospira memiliki ciri umum yang berbeda dari bakteri lainnya.

Sel bakteri ini dibungkus oleh membran luar yang terdiri dari 3 – 5 lapis, atau

disebut juga envelop. Di bawah membran luar ini terdapat lapisan

peptidoglikan yang fleksibel dan helical, serta membran sitoplasma. Kedua

lapisan ini meliputi isi sitoplasma dari sel. Struktur yang dikelilingi

membran luar tersebut, secara kolektif dinamakan silinder protoplasmik.

Ciri khas Spirochaeta adalah lokasi flagelanya, yang terletak

diantaramembran luar dan lapisan peptidoglikan. Flagela ini disebut

sebagaiflagella periplasmik. Leptospira memiliki flagella periplasmik,

masing – masingberpangkal pada setiap ujung sel. Ujung bebas flagella

periplasmik berjalan kearah pusat sel, tetapi tidak bertumpang tindih

seperti Spirochaeta lainnya. Leptospira berbeda denga spirochaeta

lainnya, karena tidak mempunyai zat glikopid tetapi memiliki asam

diaminopimelat sebagai pengganti ornitin pada bahan peptidoglikannya

(Muliawan, 2008:67).

2.1.2 Cara Penularan Bakteri Leptospira

Manusia dapat terinfeksi bakteri Leptospira melalui kontak dengan

air, tanah (lumpur), dan tanaman yang telah dikotori oleh air seni dari hewan

– hewan penderita leptosirosis. Bakteri Leptospira masuk ke dalam tubuh 12

Page 18: Nisa

manusia melalui selaput lendir (mukosa) mata, hidung, atau kulit yang lecet

dan kadang – kadang melalui saluran pencernaan dari makanan yang

terkontaminasi oleh urin tikus yang telah terkontaminasi oleh Leptospira

(Depkes RI, 2005:8).

Masuknya kuman Leptospira pada hospes secara kualitatif

berkembang bersama dengan proses infeksi pada semua resevoar

Leptospira. Namun masuknya kuman secara kuantitatif berbeda,

bergantung kepada agen, host dan lingkungan. Melalui cara lain dapat saja

terjadi yaitu melaui permukaan mukosa, misalnya melalui abrasi, mukosa,

saluran hidung atau konjungtiva. KumanLeptospira akan masuk dalam

peredaran darah yang ditandai dengan adanya demam dan berkembang

pada target organ serta akan menunjukkan gejala infeksi

pada organ tersebut. Masa inkubasi dari leptospirosis 4–19 hari, rata–

rata 10 hari. Penularan langsung dari manusia ke manusia jarang terjadi

(DepkesRI,2005:8). Gambaran klinis akan bervariasi bergantung dari

kondisi manusianya, spesies hewan, dan umurnya. Kuman ini beberapa hari

akan tinggal pada organ seperti hati, limpa, ginjal dengan ditandai perubahan

patologis. Mekanisme sistemimunitas tubuh akan aktif apabila kuman

menjalar ke jaringan hati dan ginjal,serta berada si tubular ginjal (Depkes

RI, 2005:8).

Orang dengan profesi tertentu seperti petani yang mengerjakan

sawah, petugas rumah potong hewan, dokter hewan yang menangani ternak,

mempunyai kecenderungan besar terinfeksi bakteri. Tikus yang

mempunyai kesempatan bergerak luas melampaui batas–batas

kepemilikian lahan merupakan sumber penularan yang potensial 13

Page 19: Nisa

(Soeharsono, 2002:41).

2.1.3 Resevoar Penular

Hewan–hewan yang menjadi sumber penularan adalah rodent (tikus),

babi, sapi, kambing, domba, kuda, kucing, anjing, serangga, burung,

insektivora(landak, kelelawar, tupai), sedangkan rubah dapat berperan

sebagai karier dari Leptospira (Rusmini, 2011:43-44).

2.1.4 Gejala Klinis

Manifestasi klinis leptospirosis sangat bervariasi, mulai dari

infeksi subklinik, demam anikterik ringan seperti influenza sampai dengan

yang berat dan berpotensi fatal yaitu penyakit weil (weil’s disease atau weil’s

syndrome). Karena variasi klinik penyakit ini luas, maka penyakit ini

biasanya mirip dengan infeksi dengue, malaria ringan atau berat, demam

typhoid, hepatitis virus, infeksi hantavirus, sepsis atau penyakit demam

lainnya(Rusmini,2011:89). Selain pembagian gambaran klinis diatas,

Soeharyo Hadisaputro, 2002,Iskandar Z; Nelwan RHH, Suhendro, dkk,

2002, membagi leptospirosis menurut perjalanan penyakitnya menjadi 3 fase:

2.1.4.1 Fase Pertama

Pada masa leptospiremia akan dijumpai leptospira dalam darah,

timbul keluahan sakit kepala, suhu badan meningkat sampai menggigil, nyeri

otot hebat terutama pada paha, betis yang diikuti dengan hiperaestesia.

Beberapa penderita mengeluh nafsu makan berkurang, mual, muntah dan

diare. Keluhan batuk dan sakit dada dijumai pada hampir semua kasus,

sedangkan batuk darah sangat jarang ditemukan.

Tanda fisik dianggap khas adalah conjuctival suffusion, pertama

kali timbul pada hari ke 3 (tiga) atau ke 4 (empat), yang disertai dengan 14

Page 20: Nisa

sklera mata berwarna kuning dan adanya photophpbia. Tanda lain dapat

berupa kemerahan pada kulit berbentuk makula, makulopapula ataupun

urtikaria, dan perdarahan kulit. 25% kasus dapat dijumpai penurunan

kesadaran, bradikardi, hipotensi, dan oliguria yang kadang juga

dijumpai splenomegelia, hepatomegali, ataulimfadenopatia.

2.1.4.2 Fase Kedua (Fase Immune)

Pada fase immune, ditandai kembali dengan munculnya gejala

demam yang tidak melebihi 39°C, berlangsung selama 1–3 hari, kadang–

kadang timbul antibodi dalam sirkulasi darah. Pada fase ini kadang–

kadang dijumpai adanya iridlosiklitis, neuritis optik, mielitis, encephalitis,

sertaneurophatiperifer.Dengan terbentuknya IgM dalam sirkulasi darah,

sehingga gambaran klinis bervariasi dari demam tidak terlalu tinggi, dapat

terjadi gangguan fungsi ginjal dan hati, serta gangguan hemostatis dengan

manifestasi perdarahan spontan.

2.1.4.3 Fase Ketiga (Fase Convalescent)

Pada fase ini terjadi perbaikan klinis yang ditandai dengan

pulihnya kesadaran, ikterus menghilang, tekanan darah menjadi normal

kembali, serta perbaikan produksi urin. Fase ini terjadi bila pada minggu

kedua sampai minggu keempat degan petogenesis yang masih belum jelas,

demam, serta nyeri otot masih dijumpai, yang kemudian berangsur–angsur

hilang.

2.1.5 Penyebab Penyakit (Agent)

Bakteri leptospira sebagai penyebab leptospirosis berbentuk

spiral termasuk dalam ordo spirochaetales dalam famili trepanometaceae.

Bentuk spiral denga pilinan yang rapat dengan ujung – ujungnya yang 15

Page 21: Nisa

bengkok seperti dari bakteri leptospira menyebabkan gerakan leptospira

sangat aktif, baik gerakan berputar sepanjang sumbunya, maju, mundur

maupun melengkung karena ukurannya yang sangat kecil. Leptospira

hanya dapat dilihat dengan mikroskop medan gelap atau mikroskop phase

kontras. Leptospira peka terhadap asam dan dapat hidup dalam air tawar

selama kurang lebih satu bulan, tetapi dalam air laut, air selokan, dan air

kemih yang tidak diencerkan akan cepat mati (Depkes RI, 2005:6).

Sifat dari bakteri Leptospira adalah spirochaeta yang bergelung

rapat sekali, berukuran 0,1 μm x 0,6 μm sampai 0,3 μm x 20 μm.

Amplitudo hilikel sekitar 0,1 sampai 0,15 μm dan panjang gelombang

sekitar0,5μm,padaujungselnya baik pada salah satu maupun keduanya

biasanya terikat pada semacam kait. Dua filamen aksial (flagella periplasmik)

dengan insersi polar terletak pada ruang perplasmik. Struktur protein flagella

sangat komplek, leptospira memperlihatkan dua bentuk yang berbeda

dalam pergerakannya, translatasi dan nontranslatasi. Leptospira dapat

diwarnai dengan pewarnaan karbolfuchsin. Bakteri ini bersifat aerobik

obligat dengan pertumbuhan optimal pada suhu 28°C–30°C dan pH 7,2–80.

Menghasilkan katalase dan oksidase, tumbuh pada media sederhana yang

kayadengan vitamin (vit B2 dan B12 adalah faktor pertumbuhan), asam

lemak rantai panjang, dan garam amonium. Asam lemak rantai panjang

digunakan sebagai sumber karbon tunggal dan metabolisme oleh α oxidase

(Depkes RI, 2005:6).

Leptospira relatif mudah dikultur dalam kondisi aerobik, suhu 28°C–

30°C. Genus leptospira dibagi dalam 2 spesies, yaitu L. interrogans

(patogen) dan L. biflexa, mengandung strain saprofitik yang diisolasi dari 16

Page 22: Nisa

lingkungan. L. biflexa dibedakan dari L. interrogans dengan melihat

pertumbuhan pada suhu 13°C (Depkes RI, 2005:6). Kedua spesies tersebut

di atas, L interrogans dan L.biflexa dibagi dalam sejumlah serovar yang

telah ditetapkan dalam aglutinas setelah absorbsi silang dengan antigen

homolog. Jika pada uji ulangan selalu terdapat lebih dari 10% titer homolog

pada sekurang–kurangnya satu dari dua antisera, maka pada dua strain

tersebut dnyatakan sebagai dua serovar yang berbeda (Depkes RI, 2005:6).

2.1.6 Faktor Risiko Manusia Terinfeksi Bakteri Leptospirosis

1. Petani dan peternak serta tukang potong hewan

2. Penangkap/penjerat hewan

3. Dokter/mantri hewan

4. Penebang kayu, pekerja selokan dan perkebunan

5. Berenang di sungai

6. Bersampan

7. Kemping

8. Berburu/kegiatan di hutan

9. Anjing piaraan dan hewan ternak

10. Genangan air hujan

11. Lingkungan tikus

12. Banjir (Aru W. Sudoyo, 2007:1824)

2.1.7 Diagnosis klinis dan diagnosis banding

Langkah untuk menegakkan diagnosis dilakukan dengan anamnesis,

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium. Pola klinis leptospirosis

tidak sama, tergantung dari : jenis bakteri leptospirosis, kekebalan

17

Page 23: Nisa

seseorang, kondisi lingkungan dan lain-lain.

2.1.7.1 Anamnesis

Pada anamnesis identitas pasien, keluhan yang dirasakan dan

data epidemiologis penderita harus jelas karena berhubungan dengan

lingkungan pasien. Identitas pasien ditanyakan : nama, umur, jenis kelamin,

tempat tinggal, jenis pekerjaan dan jangan lupa menanyakan hewan

peliharaan maupun hewan liar dilingkungannya, karena berhubungan

dengan leptospirosis. Keluhan-keluahan khas yang dapat ditemukan yaitu

: demam mendadak, keadaan umum lemah tidak berdaya, mual, muntah,

nafsu makan menurun dan merasa mata semakin lama semakin bertambah

kuning dan sakit otot hebat terutama daerah betis dan paha

(Rusmini,2011:103).

2.1.7.2 Pemeriksaan fisik

Gejala klinis menonjol yaitu : ikterik,demam, mialgia, nyeri sendi

serta conjungtival suffusion. Conjungtival suffusion dan mialgia

merupakan gejalaklinik yang sering ditemukan. Kelainan fisik lain

yang ditemukan yaitu : hepatomegali, splenomegali, kaku kuduk, rangsa

meningeal, hipotensi, ronki paru dan adanya diatesisi hemoragik (Rusmini,

2011:104-105).

2.1.7.3 Pemeriksaan laboratorium

2.1.7.3.1 Pemeriksaan laboratorium umum

Pemeriksaan laboratorium umum ini tidak terlalu spesifik

untuk menentukan diagnosis leptospirosis. Yang termasuk pemeriksaan

laboratorium umum yaitu pemeriksaan darah, pemeriksaan fungsi ginjal,

pemeriksaan fungsi hati18

Page 24: Nisa

2.1.7.3.2 Pemeriksaan laboratorium khusus

Pemeriksaan laboratorium khusus untuk mendeteksi keberadaan

bakteri leptospira dapat secara langsung dengan mencari bakteri

leptospira atau antigennya dan secara tidak langsung melalui pemeriksaan

antibodi terhadap bakteri leptospira dengan uji serologis. Pemeriksaan

langsung meliputi kultur, mikroskopis, inokulasi hewan, (immuno) staining

dan reaksi polimerase berantai. Pemeriksaan langsung dengan isolasi

bakteri leptospira patogen merupakan diagnosis pasti leptospirosis.

Sedangkan interpretasi pemeriksaan tidak langsung harus dikorelasikan

dengan gejala klinis dan data epidemiologis seperti riwayat pajanan dan

faktor risiko lain.

2.1.7.4 Pemeriksaan Langsung

Pemeriksaan langsung meliputi pemeriksaan mikroskopik

dan immunostaining, pemeriksaan molekuler, biakan, dan inokulasi hewan

percobaan

2.1.7.5 Pemeriksaan tidak langsung/serologi

Spesimen untuk pemeriksaan serologi adalah 2 ml serum. Spesimen

serum disimpan dan dikirim dalam keadaan beku dengan dry ice, (karena

pada suhu 20- 250 C spesimen hanya tahan beku selama 1-2 hari). Berbagai

jenis uji serologi antara lain Microscopic Agglutination Test (MAT),

Macroscopic Slide Agglutination Test (MSAT), Enzyme Linked

Immunosorbent Assay (ELISA), dan Uji Serologi Penyaring

2.1.8 Tikus

2.1.8.1 Klasifikasi Tikus19

Page 25: Nisa

Tikus dan mencit termasuk familia Muridae dari kelompok

mamalia (hewan menyusui). Para ahli zoologi (ilmu hewan)

sepakat untuk menggolongkannya ke dalam ordo rodensia (hewan yang

mengerat), subordo Myormorpha, famili amauridae, dan sub famili Murinae.

2.1.8.2 Biologi

Anggota muridae ini dominan di sebagian kawasan di dunia.

Potensi reproduksi tikus dan mencit sangat tinggi dan ciri yang menarik

adalah gigi serinya beradaptasi untuk mengerat Gigi seri ini terdapat pada

rahang atas dan bawah, masing-masing sepasang. Gigi seri ini secara

cepat akan tumbuh memanjang sehingga merupakan alat potong yang

sangat efektif. Tidak mempunyai taring dan graham.Karakterisitik

lainnya adalah cara berjalannya dan perilaku hidupnya. Semuarodensia

komersal berjalan dengan telapak kakinya. Beberapa jenis rodensia

adalah Rattus norvegicus, Rattus diardi, Mus muculus. Rattus norvegicus

(tikus got) berperilaku menggali lubang di tanah, dan hidup di lubang

tersebut.

Sebaliknya Rattus diardi (tikus rumah) tidak tinggal di tanah tapi di

semak-semak atau di atap bangunan. Bantalan telapak kaki jenis tikus ini

disesuaikan untuk kekuatan menarik dan memegang yang sangat baik. Hal

ini karena pada bantalan telapak kaki terdapat guratan-guratan beralur,

sedang pada rodensia penggali bantalan telapak kakinya halus. Mus

muculus selalu berada di dalam bangunan rumah, sarangnya bisa ditemui

didalam dinding, lapisan atap (eternit), kotak penyimpanan atau laci.

2.1.8.3 Kebiasaan-Kebiasaan Tikus

Tikus mempunyai penglihatan yang buruk, tetapi mempunyai panca 20

Page 26: Nisa

indera seperti pencium yang tajam, meraba, mendengar. Pada malam hari,

tikus bergerak dipandu kumis yang panjang peka terhadap sentuhan. Tikus

senang dengan bau harum khususnya yang berasal dari makanan manusia.

Kebiasaan lain misalnya senang di tempat-tempat penyimpanan makanan.

Kesukaan mencari makanan adalah di tempat sampah, lemari, selokan

dan dapur. Umur hidup seekor tikus rata-rata mencapai 1 tahun dan

pembiakan cepat terjadi selama musim hujan, apabila terdapat banyak

makanan dan tempat untuk berlindung

2.1.9 Pengobatan penderita/tersangka

Pengobatan terhadap penderita leptospirosis dapat dilakukan

dengan pemberian antibiotik seperti doxycycline, ampicilin, amoxicillin,

penicillin, dan erithromycin yang sebaiknya diberikan pada hari munculnya

gejala klinis, karena pengobatan setelah hari kelima sakit tidak akan

banyak menolong. Pemberian doksisiklin 200 mg perminggu dapat juga

melindungi terjadinya leptospirosis (Rusmini, 2011:109).

2.1.10 Pengendalian leptospirosis di masyarakat

Pengendalian leptospirosis di masyarakat sangat terkait dengan hasil

studi faktor - faktor risiko terjadinya leptospirosis. Oleh karena itu

pengendalian leptospirosis terdiri dari pencegahan primer dan

pencegahan sekunder. Pencegahan primer adalah bagaimana agar orang

sehat sebagai sasaran dapat terhindar dari leptospirosis, sehingga

kegiatannya bersifat promotif, termasuk di sini proteksi spesifik dengan

cara vaksinasi. Sedangkan pencegahan sekunder yang sasarannya adalah

orang yang sudah sakit leptospirosis, dicegah agar orang tersebut terhindar 21

Page 27: Nisa

dari komplikasi yang nantinya akan menyebabkan kematian. Prinsip kerja

dan langkah pencegahan primer adalah mengendalikan agar tidak terjadi

kontak leptospira pada manusia yang meliputi :

2.1.10.1 Pencegahan hubungan dengan air / tanah yang terkontaminasi.

Pada pekerja yang mempunyai risiko tinggi terinfeksi leptospira,

misalnya pada pekerja irigasi, petani tebu, pekerja laboratorium, dokter

hewan, pekerja pemotongan hewan, petugas survei di hutan, pekerja

tambang, harus memakaipakaian khusus yang dapat melindungi kontak

dengan bahan yang telah terkontaminasi, misal : sepatu bot, masker dan

sarung tangan. Dianjurkan setelah bekerja, terutama pekerja laboratorium

daan pemotongan hewan untuk mencucialat - alat kerja dengan sodium

hipokhlorit pengenceran 1 : 4000 atau dengan deterjen.

2.1.10.2 Melindungi sanitasi air minum penduduk.

Dalam hal ini dilakukan pengelolaan air minum yang baik, filtrasi

dan dekhlorinasi untuk mencegah invasi leptospira. pH air sawah diturunkan

menjadi asam dengan pemakaian pupuk / bahan-bahan kimia, sehingga

jumlah dan virulensi leptospira berkurang.

2.1.10.3 Pemberian Vaksinasi.

Vaksinasi diberikan sesuai dengan leptospira di tempat tersebut,

akan memberikan manfaat cukup poten dan aman sebagai pencegahan

bagi pekerja risiko tinggi. Pencegahan dengan serum imun spesifik telah

terbukti melindungi pekerja laboratorium. Vaksinasi terhadap hewan piaraan

efektif untuk mencegah leptospirosis (Dharmajono, 2002:7).

2.1.10.4 Pencegahan dengan antibiotik.

Pemberian penisilin 2 juta unit per hari selama 5 hari secara 22

Page 28: Nisa

intramuskuler dianggap dapat melindungi orang-orang dianggap telah

terkontaminasi oleh strain leptospira yang virulensinya tinggi. Doksisiklin

dapat juga digunakan untuk pencegahan.

2.1.10.5 Pengendalian hospes perantara leptospira

Rodent yang diduga paling poten sebagai karier leptospira adala

tikus.Untuk itu dapat dilakukan beberapa cara seperti penggunaan

racun tikus, pemasangan jebakan, penggunaan bahan Rodentisida dan

penggunaan predator rodent. Untuk mengatasi agar tikus tidak masuk ke

dalam rumah, sebaiknya dibuat kedap tikus dan bahan-bahan makanan yang

mudah busuk dibuang.

2.1.10.6 Usaha promotif

Untuk menghindari leptospirosis dilakukan dengan cara edukasi,

dimana antara daerah satu dengan daerah lain mempunyai serovar

dan epidemi leptospirosis yang berbeda. Seperti diketahui bahwa

leptospirosis merupakan zoonosis klasik pada binatang yang merupakan

sumber infeksi utama, oleh karena itu setiap program edukasi haruslah

melibatkan profesi kesehatan / kedokteran, dokter hewan dan kelompok

lembaga sosial masyarakat yang terlibat. Pokok-pokok cara pengendalian

leptospirosis juga memperhatikan hasil studi faktor risiko terjadinya

leptospirosis, antara lain higiene perorangan seperti kebiasaan mandi,

riwayat adanya luka, keadaan lingkungan yang tidak bersih, disamping

pekerjaan, sosial ekonomi, populasi tikus dan lain-lain.

2.2 Sanitasi Rumah

2.2.1 Definisi

Sanitasi adalah usaha kesehatan masyarakat yang menitik beratkan 23

Page 29: Nisa

pada pengawasan terhadap faktor lingkungan yang mempengaruhi derajat

kesehatan masyarakat (Mukono, 2000:155).

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI

No.829/MENKES/SK/VII/1999 Tentang Persyaratan Kesehatan

Perumahan, yang dimaksud dengan rumah yaitu bangunan yang berfungsi

sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga.

Perumahan merupakan kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan

tempat tinggal atau lingkungan hunian dan sarana pembinaan keluarga

yang dilengkapi dengan prasarana dan saranalingkungan (Mukono,

2000:155).

2.2.2 Kriteria Rumah Sehat

Secara umum rumah dapat dikatakan sehat apabila memenuhi

kriteria sebagai berikut:

1. Memenuhi kebutuhan fisiologis antara lain pencahayaan, penghawaan,

dan ruang gerak yang cukup, terhindar dari kebisingan yang mengganggu

2. Memenuhi kebutuhan psikologis antara lain privasi yang cukup,

komunikasi yang sehat antar anggota keluarga dan penghuni rumah

3. Memenuhi persyaratan pencegahan penularan penyakit antar penghuni

rumah dengan penyediaan air bersih, pengelolaan tinja, dan limbah rumah

tangga, bebas vektor penyakit dan tikus, kepadatan hunian yang tidak

berlebihan, cukup sinar matahari pagi, terlindunginya makanan dan

minuman dari pencemaran, disamping pencahayaan dan penghawaan yang

cukup

4. Memenuhi persyaratan pencegahan terjadinya kecelakaan, baik yang

timbul karena keadaan luar maupun dalam rumah antara lain, persyaratan 24

Page 30: Nisa

garis sempadan jalan konstruksi yang tidak mudah roboh, tidak mudah

terbakar, dan tidak cenderung membuat penghuninya jatuh tergelincir (Dinkes

Provinsi Jawa Tengah, 2005: 24).

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Nomor 829/MENKES/SK/VII/1999 tentang persyaratan kesehatan

perumahan bahwa persyaratan kesehatan rumah tinggal yaitu:

2.2.2.1 Bahan Bangunan

A. Tidak terbuat dari bahan yang dapat melepas zat-zat yang

dapat membahayakan kesehatan, antara lain sebagai berikut:

1) Debu total tidak lebih dari 150 µg m3

2) Asbes bebas tidak melebihi 0,5 fiber/m3/4 jam

3) Timah hitam tidak lebih dari 300 mg/kg

B. Tidak terbuat dari bahan yang dapat menjadi tempat tumbuh

dan berkembangnya mikroorganisme pathogen.

2.2.2.2 Komponen dan Penataan Ruang Rumah

Komponen rumah harus memenuhi persyaratan fisik dan biologis

sebagai berikut:

a. Lantai kedap air dan mudah dibersihkan

b. Dinding:

Ruang tidur dan ruang keluarga dilengkapi dengan sarana ventilasi

untuk pengaturan sirkulasi udara. Kamar mandi dan tempat cuci harus kedap

air dan mudah dibersihkan.

c. Langit-langit harus mudah dibersihkan dan tidak rawan kecelakaan.

d. Bumbungan rumah yang memiliki ketinggian 10 meter atau lebih

harus dilengkapi dengan penangkal petir.25

Page 31: Nisa

e. Ruang didalam rumah harus ditata agar berfungsi sebagai ruang tamu,

ruang keluarga, ruang makan, ruang tidur, ruang dapur, ruang mandi, ruang

bermain anak.

f. Ruang dapur harus dilengkapi dengan sarana pembuangan asap.

2.2.2.3 Pencahayaan

Pencahayaan alami yaitu berasal dari sinar matahari yang masuk ke

dalam rumah dan atau pencahayaan buatan langsung maupun tidak

langsung dapat menerangi seluruh ruangan minimal intensitasnya 60 lux dan

tidak menyilaukan.

2.2.2.4 Kualitas Udara

Kualitas udara di dalam rumah tidak melebihi ketentuan sebagai

berikut:

a. Suhu udara nyaman berkisar antara 16°C sampai 30°C

b. Kelembaban udara berkisar antara 40% sampai 70%

c. Konsentrasi gas SO2 tidak melebihi 0,10 ppm/24 jam

d. Pertukaran udara = 5 kaki kubik per menit per penghuni

e. Konsentrasi gas CO tidak melebihi 100 ppm/8 jam

f. Konsentrasi gas formaklehid tidak melebihi 120 mg/m3

2.2.2.5 Ventilasi

Luas penghawaan atau ventilasi alamiah yang permanen minimal 10%

dari luas lantai.

2.2.2.6 Binatang Penular Penyakit

Tidak ada tikus bersarang di dalam rumah.

2.2.2.7 Air

a. Tersedia sarana air bersih dengan kapasitas minimal 60 liter/orang/hari.26

Page 32: Nisa

b. Kualitas air harus memenuhi persyaratan kesehatan air bersih dan/atau

air minum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2.2.2.8 Tersedianya Sarana Penyimpanan Makanan yang Aman

2.2.2.9 Limbah

a. Limbah cair yang berasal dari rumah tidak mencemari sumber air,

tidak menimbulkan bau dan tidak mencemari permukaan tanah.

b. Limbah padat harus dikelola agar tidak menimbulkan bau,

pencemaran terhadap permukaan tanah serta air tanah.

2.2.3 Faktor Kondisi Sanitasi Rumah yang Mempengaruhi Kejadian

Leptospirosis. Beberapa aspek kondisi sanitasi rumah yang berkaitan

dengan kejadian leptospirosis meliputi : kondisi selokan, karakteristik

genangan air, sarana pembuangan air limbah, sarana pembuangan sampah,

kejadian banjir, keberadaan tikus di dalam rumah, kepadatan hunian, tempat

penyediaan makanan di dalam rumah, serta intensitas cahaya di dalam

rumah.

2.2.3.1 Kondisi Selokan

Kondisi selokan yang digunakan untuk mengalirkan limbah rumah

tangga harus memenuhi syarat–syarat sebagai berikut : tidak ada genangan

air di sekitar rumah akibat luapan dari selokan, saluran tertutup atau

diresapkan dan kondisi selokan lancar tidak tersumbat (Dinkes propinsi Jawa

Tengah 2005:24).

2.2.3.2 Karakteristik tempat tinggal, biasa pada daerah yang padat

penduduknya, banyak pejamu reservoar, lingkungan yang sering tergenang

air maupun lingkungan umum. Tikus biasanya kencing di genangan air. 27

Page 33: Nisa

Lewat genangan air inilah bakteri leptospira akan masuk ke tubuh manusia

(Depkes RI, 2003).

2.2.3.3 Sarana pembuangan air limbah

Air limbah rumah tangga disalurkan pada tempat pembuangan

limbah yang telah tersedia di setiap rumah masing – masing tanpa

menimbulkan bau tidak sedap dan pencemaran lingkungan (Dinkes propinsi

Jawa Tengah 2009).

2.2.3.4 Sarana pembuangan sampah

Adanya kumpulan sampah di rumah dan sekitarnya akan menjadi

tempat yang disenangi tikus. Kondisi sanitasi yang jelek seperti adanya

kumpulan sampah dan kehadiran tikus merupakan variabel determinan

kasus leptospirosis. Adanya kumpulan sampah dijadikan indikator dari

kehadiran tikus. Jarak rumah yang dekat dengan tempat pengumpulan

sampah mengakibatkan tikus dapat masuk ke rumah dan kencing di

sembarang tempat. Jarak rumah yang kurang dari 500 m dari tempat

pengumpulan sampah menunjukkan kasus leptospirosis lebih besar dibanding

yang lebih dari 500 m (Dinkes propinsi Jawa Tengah 2005:26).

2.2.3.5 Kejadian banjir

Leptospirosis menjadi masalah kesehatan masyarakat, terutama di

daerah beriklim tropis dan subtropis, dengan curah hujan dan kelembapan

tinggi(Depkes RI, 2003). Leptospirosis berhubungan dengan musim hujan,

dan musim hujan inilah yang sering menyebabkan banjir di beberapa

wilayah.

2.2.3.6 Keberadaan tikus di dalam rumah

Bakteri leptospira khususnya spesies L. ichterrohaemorrhagiae banyak 28

Page 34: Nisa

menyerang tikus besar seperti tikus wirok (Rattus norvegicus dan tikus

rumah(Rattus diardii). Sedangkan L.ballum menyerang tikus kecil (mus

musculus). Ada tidaknya tikus di dalam dan sekitar rumah yang ditandai

d engan ada tidaknya lubang tikus atau kotoran tikus.

2.2.3.7 Keberadaan hewan peliharaan

Selain pada tikus, Leptospira juga dapat menginfeksi hewan lain

seperti sapi, anjing, kuda, kambing, domba dan babi. Meskipun pada

hewan- hewan tersebut hanya kemungkinan kecil terjadi. Seperti

Canicola pada anjing dan Pomona pada babi dan sapi.

2.2.3.8 Kepadatan hunian

Menetapkan luas rumah, jumlah dan ukuran ruangan harus

disesuaikan dengan jumlah orang yang akan menempati rumah tersebut

agar tidak terjadi kelebihan jumlah penghuni rumah. Rumah yang dihuni

oleh banyak orang dan ukuran luas rumah tidak sebanding dengan

jumlah orang maka akan mengakibatkan dampak buruk bagi kesehatan

dan berpotensi terhadap penularan penyakit dan infeksi (Dinkes Prov Jateng,

2005). Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI

Nomor828/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan

Perumahan, luas bangunan yang optimum adalah 2,5-3 m2 untuk tiap

orang.

2.2.3.9 Intensitas cahaya di dalam rumah

Rumah sehat memerlukan cahaya yang cukup, tidak kurang dan

tidak terlalu banyak. Cahaya alami, yakni matahari. Cahaya ini sangat penting

karena dapat membunuh bakteri-bakteri patogen dalam rumah. Oleh karena

itu, rumah yang sehat harus mempunyai jalan masuk cahaya yang cukup. 29

Page 35: Nisa

Seyogianya jalan masuk cahaya (jendela) luasnya sekurang-kurangnya 15%

sampai 20% dari luas lantai yang terdapat dalam ruangan rumah. Lokasi

penempatan jendela pun harus diperhatikan dan diusahakan agar sinar

matahari lama menyinari lantai bukan menyinari dinding (Soekidjo

Notoatmodjo, 2007:170-171).

Selain sebagai penerangan, cahaya berperan pula sebagai

germic(pembunuh kuman atau bakteri) disamping untuk penyembuhan

beberapa jenis penyakit. Cahaya berperan sebagai germicid karena

cahaya merupakan gelombang-gelombang elektromagnetik dan karena itu

cahaya mempunyai energi (Soekidjo Notoatmodjo, 2007:170-171).

Secara umum pengukuran pencahayaan terhadap sinar matahari

adalah menggunakan luxmeter, yang diukur pada pukul 09.00-15.00 WIB

dan membagi beberapa titik pengukuran dengan jarak antara titik sekitar 1

meter, dilakukan dengan tinggi luxmeter kurang lebih 85 cm diatas lantai

dan posisi photo cellmenghadap sumber cahaya, dengan ketentuan tidak

memenuhi syarat kesehatan bila < 60 lux. Menurut WHO, kebutuhan

standar cahaya alam yang memenuhi syarat kesehatan untuk berbagai

keperluan khusus untuk pencahayaan dalam rumah adalah 60-120 lux

(Dinkes Prov Jateng, 2005).

2.3 Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian Leptospirosis

2.3.1 Umur

Kejadian suatu penyakit sering terkait pada umur. Berdasarkan

data prevalensi dan data umur pada saat timbulnya penyakit

mungkin tidak menggambarkan risiko spesifik umur. Leptospirosis diketahui

terjadi pada semua umur berkisar antara balita sampai lansia ( 1 tahun 30

Page 36: Nisa

sampai lebih dari 65 tahun).

2.3.2 Status Gizi

Status gizi yang baik adalah parameter yang baik untuk mendeteksi

bahwa proses metabolisme gizi dalam keadaan normal. Metabolisme gizi

yang normal adalah syarat terpenuhinya berbagai kebutuhan fisiologis

tubuh untuk bertahan hidup (survival), termasuk kemampuan imunologi

tubuh terhadap berbagai penyakit infeksi. Status gizi yang baik adalah

proteksi tubuh untuk melawan virus pathogen dalam tubuh. Sistem imunologi

yang didukung sepenuhnya oleh protein tubuh, akan memberikan

pertahanan maksimal dan mengurangi efek kerusakan jaringan akibat

infeksi virus dan bakteri oleh tubuh. Interaksi antara infeksi termasuk

penyakit leptospirosis dan gizi didalam tubuh seseorang dikemukakan

sebagai suatu peristiwa sinergik, selama terjadinya infeksi status gizi

akan menurun dan dengan menurunnya status gizi orang tersebut

menjadi kurang resisten terhadap infeksi. Respons imun menjadi kurang

efektif dan kuat ketika seseorang mengalami gizi kurang.

2.3.3 Status Ekonomi

Besarnya penghasilan seseorang turut mempengaruhi pemenuhan

kebutuhan hidupnya, termasuk kebutuhan makanan dan kesehatan. Jika

kebutuhan akan makanan sehat tidak terpenuhi maka dapat melemahkan daya

tahan tubuh, sehingga mudah terserang suatu penyakit (Indan Entjang, 2000:24).

Derajat kesehatan masyarakat miskin masih rendah. Masyarakat miskin

biasanya rentan terhadap penyakit dan mudah terjadi penularan penyakit.

Derajat kesehatan masyarakat miskin yang masih rendah tersebut diakibatkan

karena sulitnya akses terhadap pelayanan kesehatan. Untuk menjamin akses 31

Page 37: Nisa

penduduk miskin terhadap pelayanan kesehatan melalui pelaksanaan kebijakan

Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Miskin. Program ini

berganti nama menjadi Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) yang pada

tahun 2014 sudah melebur menjadi satu yaitu BPJS. Seluruh rakyat Indonesia

berhak mendapatkan pelayanan kesehatan dengan gratis sesuai dengan

ketentuan BPJS.

2.3.4 Perilaku

Faktor perilaku yang terbukti berhubungan dengan kejadian leptospirosis

diantaranya adalah riwayat kontak dengan tikus, hewan peliharaan seperti

anjing, kerbau, sapi, perawatan luka, penggunaan alat pelindung diri, kebiasaan

mandi dan mencuci disungai. Selain itu riwayat kontak dengan genangan air

juga terbukti sebagai factor risiko terjadinya leptospirosis karena bakteri

leptospirosis dapat bertahan hidup di air sampai sekitar satu bulan terutama

dalam air tawar (Jurnalkesmas.ui,vol.8, 2013.)

2.3.5 Pekerjaan

Menurut Depkes RI (2008), faktor pekerjaan merupakan faktor risiko

yang cukup penting pada manusia, riwayat kontak dengan hewan yang

terinfeksi pada pekerjaan yang berkaitan dengan pertanian, pekerjaan yang

sering kontak dengan air terutama disungai atau yang terdapat genangan air,

tempat pemotongan hewan, dan pekerjaan lain yang memungkinkan terjadi

kontak dengan hewan.

32

Page 38: Nisa

BAB III

STATUS PASIEN

A. Data Pasien

Data diperoleh dari observasi langsung (home visit), wawancara dilakukan

dengan keluarga pasien, dikarenakan pasien sudah meninggal dunia.

3. Identitas Pasien

Nama : Tn. Dadik (alm)

Jenis kelamin : Laki-laki

TTL : Semarang,

Umur : 25 tahun

Agama : Islam

Alamat : Gergaji Balekambang Rt 02, Rw 07, Kel

Mugassari, Kec: Semarang Selatan

Pekerjaan : Buruh Serabutan

Tgl Masuk RS : 7 Agustus 2015

4. Anamnesis

Anamnesis dilakukan pada tanggal 14 Agustus 2015

a. Riwayat Penyakit Sekarang

Tanggal 3 agustus pasien merasakan rasa nyeri otot, nyeri pada

betis, malaise, tidak nafsu makan, demam. Setelah itu pada

tanggal 6 agustus pasien mengalami kemerahan pada mata,

kekuningan pada kulit dan mata, leher kaku, nyeri perut, nyeri

pada persendian. Lalu keluarga membawa pasien kerumah sakit

ketileng pada tanggal 7 agustus 2015 dan pada tanggal 12

agustus 2015 pasien meninggal dunia. Pihak rumah sakit 33

Page 39: Nisa

melaporkan kejadian kasus leptospirosis ke Dinas Kesehatan

Kota Semarang lalu Dinas Kesehatan Kota Semarang

melimpahkan ke Puskesmas Pandanaran untuk dilakukan PE

pada tanggal 14 agustus 2015.

b. Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien belum pernah menderita penyakit seperti ini sebelumnya.

c. Riwayat Keluarga

Tidak ada keluarga penderita yang menderita Leptospirosis.

d. Riwayat Sosial Ekonomi

Pasien bekerja sebagai buruh serabutan, dan sebagai

pencari kepiting di sungai-sungai tanpa memakai alas kaki dan

perlindungan lainnya. Pendapatan tidak menentu, upah mencari

kepiting Rp. 50,000,00_

e. Keadaan saat ini:

Pasien saat ini sudah meninggal dunia.

5. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik terhadap pasien tidak dilakukan karena

pasien sudah meninggal dunia.

4. Pemeriksaan Penunjang

Dari hasil laboratorium dengan menggunakan uji MAT

didapatkan hasil (+) Leptospirosis.

5. Diagnosis

Diagnosis pada pasien yaitu Tn. Didik (alm) adalah (+) Leptospirosis

34

Page 40: Nisa

B. Data Perkesmas

1. Identitas keluarga

Nama KK : Ny. Djumiyem

Umur : 65 tahun

Pendidikan Terakhir : Tidak sekolah

Pekerjaan : Buruh serabutan

Data Lingkungan

a. Data Individu :

Pasien belum menikah, dan masih tinggal bersama

orangtuanya, tinggal dalam satu rumah diisi oleh tiga kepala rumah

tangga, luas rumah 3x7 m2 dengan dua lantai. Pasien bekerja

sebagai buruh serabutan dan pencari kepiting di sungai.

b. Ekonomi

Penghasilan pasien tidak tetap karena pasien hanya bekerja

saat ada yang meminta bantuan tenaganya

c. Sosial

Keluarga pasien tidak pernah mengikuti kegiatan social di

lingkungannya. Pasien tinggal di daerah padat penduduk dimana

tidak ada jarak antara rumah ke rumah, rumah saling berhadapan

dengan jarak 2m. Lingkungan sekitar terlihat banyak terdapat

sampah berserakan dan tempat sampah yang sudah tidak layak

untuk di pakai sehingga sampah berserakan, dan banyak sekali

tikus di got saluran pembuangan. Saat dilakuan pemasangan

perangkap tikus selama 2 hari, hari pertama mendapat 7 ekor tikus,

hari kedua mendapat 12 ekor tikus. 35

Page 41: Nisa

2. Lingkungan rumah

- Berdasarkan data hasil laporan kasus didapatkan luas tanah rumah

pasien ± 3m x 7 m = 21 m2 dan dihuni oleh 3 kepala rumah tangga.

Ventilasi rumah pasien berupa jendela sebanyak 2 buah @30cm x

15cm, dan pintu terdiri dari 1 pintu di depan rumah dan 1 pintu

belakang, rumah terdiri dari 2 lantai.

- Terdapat 1 MCK

- Lantai dasar rumah : lantai rumah terbuat dari keramik.

- Lantai kedua rumah : menggunakan kayu dan papan.

3. Data Perilaku

a. Keluarga pasien tidak rajin membersihkan rumah, menaruh barang

barang bekas didalam rumah, terlihat banyak barang barang

berserakan di rumah pasien.

b. Keluarga pasien juga mempunyai kebiasaan menaruh sisa makanan

di sembarang tempat.

c. Pada saat melakukan aktifitas bekerja dan saat membersihkan rumah

pasien dan keluarga tidak menggunakan APD dan tidak mencuci

tangan menggunakan sabun.

4. Data pelayanan kesehatan

Sudah dilakukan penyuluhan mengenai PHBS dan penyuluhan

tentang penyakit yang meliputi promotif dan preventif, baik dari

pihak puskesmas maupun kader kelurahan setempat, namun keluarga

tidak pernah mengikuti kegiatan tersebut dan juga tidak ikut kegiatan

sosial dilingkungannya.

36

Page 42: Nisa

BAB IV

PEMBAHASAN

Berdasarkan data diatas dengan menggunakan pendekatan HL BLUM

untuk menyelesaikan permasalahan Leptospirosis, didapatkan bahwa

lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan dan genetika/ kependudukan dapat

memenuhi terjadinya Leptospirosis. Berdasarkan data hasil laporan didapatkan

bahwa pasien merupakan seorang buruh serabutan, pasien tinggal satu rumah

dengan orang tuanya dan tiga kepala keluarga lainya. Luas tanah yang

digunakan untuk rumah adalah 21m². Ukuran rumah sederhana sesuai dengan

tinjauan pustaka adalah 12 m²/orang.

Berikut adalah fakta-fakta yang didapatkan pada saat survey di rumah

pasien yang dapat mempengaruhi terjadinya penemuan kasus Leptospirosis

sesuai kriteria H.L Blum:

A. Perilaku

Data tentang perilaku pasien diperoleh dari alloanamnesa kepada

anggota keluarga pasien saat kunjungan kerumah pasien, perilaku pasien

menunjukkan adanya hubungan dengan kejadian leptospirosis, antara lain:

- Pasien dan keluarga tidak rajin membersihkan rumah (PHBS)

- Pasien dan keluarga memiliki kebiasaan meninggalkan dan membuang

sisa makanan disembarang tempat

- Pasien dan keluarga tidak menggunakan APD saat bekerja dan saat

membersihkan rumah

- Pasien dan keluarga tidak membiasakan mencuci tangan menggunakan

sabun sehabis bekerja dan beraktifitas

37

Page 43: Nisa

- Pasien tidak memiliki kebiasaan memakai alas kaki saat didapur dan

kamar mandi

Berdasarkan teori tentang faktor perilaku, perilaku pasien sangat rentan

terinfeksi bakteri leptospirosis, dikarenakan perilaku pasien yang tidak

menggunakan APD saat bekerja mencari yuyu (kepeting) disungai dan sawah.

Riwayat kontak dengan genangan air terbukti sebagai factor risiko terjadinya

leptospirosis karena bakteri leptospirosis dapat bertahan hidup di air sampai

sekitar satu bulan terutama dalam air tawar (Jurnalkesmas.ui,vol.8, 2013.)

B. Lingkungan

lingkungan yang dimaksut adalah lingkungan disekitar tempat tinggal

dan rumah pasien, dari hasil survey didapatkan:

- luas rumah pasien +- 3m x 7m=21m2 yang dihuni oleh 3 kepala

keluarga.

- Ventilasi rumah terdapat 2 buat berupa jendela didepan dan 1 pintu di

depandan belakang rumah

- Rumah terdiri dari 2 lantai, lantai 1 berkeramik untuk lantai 2

menggunakan kayu

- Terdapat 1 MCK utnuk keperluan 3 kepela keluarga yang masing-

masing keluarga terdiri dari 4 orang

- Jarak antara tiap rumah hanya 2 meter bahkan ada yang 1 meter dan ada

juga yang berdempetan

- Kondisi tempat pembuangan sampah sudah tidak layak pakai,

dikarenakan sudah rusak, dan selokan banyak terdapat sampah sisa

makanan

Berdasarkan dari kriteria rumah sehat secara umum sebagai berikut:38

Page 44: Nisa

1. Memenuhi kebutuhan fisiologis antara lain pencahayaan, penghawaan,

dan ruang gerak yang cukup, terhindar dari kebisingan yang mengganggu

2. Memenuhi kebutuhan psikologis antara lain privasi yang cukup,

komunikasi yang sehat antar anggota keluarga dan penghuni rumah.

3. Memenuhi persyaratan pencegahan penularan penyakit antar penghuni

rumah dengan penyediaan air bersih, pengelolaan tinja, dan limbah rumah

tangga, bebas vektor penyakit dan tikus, kepadatan hunian yang tidak

berlebihan, cukup sinar matahari pagi, terlindunginya makanan dan

minuman dari pencemaran, disamping pencahayaan dan penghawaan yang

cukup.

4. Memenuhi persyaratan pencegahan terjadinya kecelakaan, baik yang

timbul karena keadaan luar maupun dalam rumah antara lain, persyaratan

garis sempadan jalan konstruksi yang tidak mudah roboh, tidak mudah

terbakar, dan tidak cenderung membuat penghuninya jatuh tergelincir (Dinkes

Provinsi Jawa Tengah, 2005: 24).

C. Pelayanan Kesehatan

Kelurahan mugassari yang masuk dalam cakupan wilayah kerja

puskesmas pandanaran, daerah tersebut sudah dilakukan penyuluhan mengenai

PHBS dan penyuluhan tentang penyakit yang meliputi promotif dan preventif,

baik dari pihak puskesmas maupun kader kelurahan setempat. Tetapi keluarga

tidak pernah mengikuti kegiatan tersebut dan juga tidak ikut kegiatan sosial

dilingkungannya.

D. Genetik/Kependudukan

Tidak ada terdapat hubungan antara penyakit leptospirosis dengan

genetik keluarga.39

Page 45: Nisa

Hasil wawancara yang dilakukan dengan keluarga pasien, laporan

ekonomi keluarga hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya saja,

sedangkan untuk perilaku serta kebiasaan pasien dan keluarga tidak menerapkan

perilaku hidup bersih dan sehat. Keluarga pasien tidak rajin membersihkan

rumahnya, terlihat dari banyaknya barang bekas dan sampah yang ditemukan

didalam dan di luar rumah, Keluaraga pasien mempunyai kebiasaan

meninggalkan sisa sisa makanan di sembarang tempat. Pasien memiliki

kebiasan tidak menggunakan alas kaki saat ke dapur dan kamar mandi. Pasien

tidak pernah menggunakan sarung tangan atau alat pelindung diri (APD) saat

beraktifitas., terutama saat bekerja mencari kepiting di sungai dan tidak mencuci

tangan menggunakan sabun setelah beraktifitas.

40

Page 46: Nisa

4.1.1. Diagram H.L Blum

41

LINGKUNGAN

1. Pasien tinggal didaerah padat penduduk2. Banyak terdapat tikus dirumah dan sekitar rumah, pada saat dipasang

perangkap, hari pertama dapat 7 ekor, hari kedua 12 ekor

Penderitaleptosirosis

GENETIKA/ KEPENDUDUKAN

Tidak ada indikasi genetik mengarah

penyakit Leptospirosis

PERILAKU1. Keluarga pasien tidak rajin membersihkan rumah2. Memiliki kebiasaan meninggalkan sisa makanan disembarang

tempat3. Pasien memiliki kebiasaan tidak memakai alas kaki saat kedapur

dan kamar mandi4. Pasien dan kelaurga tidak memakai APD saat bekerja dan

memnersihkan rumah5. Pasien dan keluarga tidak pernah mengikuti kegiatan penuyulahn

dan kegiatan sosial di lingkungan sekitar

PELAYANAN KESEHATAN

1. Akses ke Yankes tidak jauh

2. Akses Yankes ke Pskesmas Pandanaran

3. Transportasi yang digunakan untuk ke Yankes sepeda motor milik sendiri

Page 47: Nisa

4.2.1 Daftar Penyebab Masalah

Daftar penyebab masalah dengan pendekatan HL Blum :

A. Pasien dan keluarga tidak menerapkan PHBS dan tidak memakai

APD saat beraktifitas

B. Kebiasaan menaruh makanan di sembarang tempat

C. Lebih dari 50% rumah tetangga banyak terdapat tikus

D. Kebersihan lingkungan sekitar rumah kurang

E. Banyak barang-barang bekas yang berserakan.

Dari hasil pemilihan permasalahan tersebut, maka kelompok kami

melanjutkan untuk menganalisis penyebab masalah dan menentukan

kegiatan sebagai solusi terhadap Leptospirosis di wilayah kerja

Puskesmas Pandanaran. Prioritas penyebab masalah menggunakan

Paired Comparison.

4.2.2 Prioritas penyebab Masalah

Tabel 4.2.2 Prioritas penyebab masalah

A B C D E ∑ %

A A A A A 4 4

0

B B B B 3 3

0

C C E 1 1

0

42

Page 48: Nisa

D E 0 0

E 2 2

0

JUMLAH 1

0

1

0

0

Keterangan :

A. Pasien dan keluarga tidak menerapkan PHBS dan tidak memekai

APD saat beraktifitas

B. Kebiasaan menaruh makanan di sembarang tempat

C. Lebih dari 50% rumah tetangga banyak terdapat tikus

D. Kebersihan lingkungan sekitar rumah kurang

E. Banyak barang-barang bekas yang berserakan.

43

Page 49: Nisa

BAB V

SARAN

1. Untuk keluarga

Memotivasi keluarga apabila ada yang sakit demam disertai kekuningan

pada kulit untuk segera dibawa ke Puskesmas.

Memotivasi keluarga untuk membersihkan rumah dan mengubur barang-

barang bekas yang tidak terpakai.

Memotivasi keluarga pasien untuk tidak menaruh sisa makanan di

tempat terbuka.

Memotivasi untuk selalu hidup bersih dan sehat.

2. Untuk puskesmas

Meningkatkan kegiatan penyuluhan tentang PHBS

Aktif melakukan kunjungan rumah secara berkala untuk memeriksa

kebersihan dan kesehatan lingkungannya dan melapor ke puskesmas

sebagai tindakan pencegahan.

3. Untuk masyarakat

Mengajak masyarakat untuk melakukan kerja bakti secara berkala,

terutama untuk membersih tempat-tempat gorong gorong air dan

mengubur barang-barang bekas yang dapat digunakan sebagai sarang

tikus.

44

Page 50: Nisa

BAB VI

IMPLEMENTASI DAN EVALUASI

Tanggal Implementasi Hasil Evaluasi

Memberi informasi

kepada keluarga

penderita tentang

penyakit

Leptospirosis dan

cara

pencegahannya

Memotivasi

keluarga apabila

ada yang sakit

demam dan gejala

gejala yang laing

yang mengarah ke

leptospirosis untuk

segera dibawa ke

Puskesmas

Memotivasi

Keluarga

pasien

mengetahui

tentang

penyakit

Leptospirosis

dan cara

pencegahannya

Keluarga

penderita

sudah

mengetahui

apabila ada

yang sakit

demam dan

gejala gejala

yang mengarah

ke

leptospirosis

untuk segera 45

Page 51: Nisa

keluarga untuk

membersihkan

rumah dan

mengubur barang-

barang bekas yang

tidak terpakai

Memotivasi

keluarga untuk

tidak melakukan

kebiasaan

kebiasaan yang

jelek seperti sering

meninggalkan

makan dan sisa

makanan di

sembarang tempat.

dibawa ke

Puskesmas

Keluarga

penderita

mengerti

pentingnya

membersihkan

rumah dan

mengubur

barang-barang

bekas yang

tidak terpakai

Keluarga

penderita

mengerti

pentingnya

menjaga

kebersihan dan

tidak

meninggalkan 46

Page 52: Nisa

sisa sisa

makanan di

sembarang

tempat

Mengevaluasi

hasil implementasi

yang sudah

diberikan kepada

keluarga penderita

Keluarga

penderita

sudah

melaksanakan

kegiatan

membersihkan

rumah dan

mengubur

barang-barang

bekas yang

tidak terpakai

Keluarga

penderita

sudah tidak

melakukan

kebiasaan

menaruh sisa

sisa makanan

di sembarang

tempat dan 47

Page 53: Nisa

tidak

menggunakan

perlingdungan

diri saat

bekerja.

48

Page 54: Nisa

BAB VII

KESIMPULAN

Factor lingkungan yang mempengaruhi kejadian Leptospirosis pada Tn, Dadik

adalah :

1) Kepadatan penduduk

Pasien tinggal didaerah padat penduduk dengan tingkat kebersihan

lingkungan yang buruk. Seperti terdapat banyak sampah yang

berserakan, selokan yang terdapat sisa-sisa makanan dan banyak hewan

peliharaan (burung, kucing, dll.)

2) Sanitasi Lingkungan

Didapatkan banyaknya barang-barang bekas yang berserakan

sehingga dapat digunakkan sebagai tempat sarang tikus. Dan kondisi

tempat sampah yang sudah tidak layak pakai membuat sampah jadi

berserakan.

3) Kepadatan Vektor

Pada saat dilakukan pemasangan perangkap tikus selama 2 hari,

hari pertama mendapat 7 ekor sedangkan hari kedua mendapat 12 ekor

tikus, kepadatan vector tinggi risiko penularan penyakit Leptospirosis

meningkat.

4) Perilaku Pasien

Pasien mempunyai kebiasaan yang buruk yaitu sering

meninggalkan sisa sisa makanan di sembarang tempat, dan tidak

menggunakan perlindungan diri saat bekerja dan mencari kepiting di

sungai. 49

Page 55: Nisa

DAFTAR PUSTAKA

Agus Priyanto, 2008, Faktor Risiko yang Berpengaruh Terhadap

Kejadian Leptospirosis (Studi Kasus di Kabupaten Demak), Tesis: Pasca

Sarjana Undip

Aru W. Sudoyo, 2007, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI

Depkes RI, 1999, Keputusan Menteri Kesehatan No.

829/MENKES/SK/VII/1999, Jakarta: Depkes RI

___________, 2003, Pedoman Tatalaksana Kasus dan

Pemeriksaan Laboratorium Leptospirosis di Rumah Sakit, Direktorat

Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan,

Jakarta: Depkes RI.

___________, 2005, Pedoman Penanggulangan Leptospirosis Di

Indonesia,

Jakarta: Depkes RI Ditjen P2P danPLP

___________, 2010, Profil Kesehatan IndonesiaTahun 2010, Jakarta: Depkes

50

Dinkes Kota Semarang, 2010, Profil Kesehatan Kota Semarang 2010, Semarang:DKK Semarang

___________, 2010, Rekapitulasi Laporan Bulanan Kasus Leptospirosis KotaSemarang. DKK Semarang

Dinkes Propinsi Jawa Tengah, 2005, Pedoman Teknis Penilaian Rumah Sehatuntuk Puskesmas, Semarang: DKP Jateng

___________, 2009, Profil Kesehatan Provinsi Jateng 2009, Semarang: DKPJateng

___________, 2010, Pedoman Perilaku Hidup Bersih dan Sehat Tatanan RumahTangga, Semarang: DKP Jateng

___________, 2011, Buku Saku Kesehatan Provinsi Jateng 2011, Semarang: DKPJateng

Page 56: Nisa

Djoni Djunaedi, 2007, Kapita Selekta Penyakit Infeksi

Ehrlichiosis, Leptospirosis, Riketsiosis, Antraks, Penyakit Pes.

Malang: UMM Pres

Dwi Sarwani Sri Rejeki, 2005, Faktor Resiko Lingkungan

yang Berpengaruh terhadap Kejadian Leptospirosis Berat, Tesis:

Program Studi Epidemiologi Undip Semarang

Ima Nurisa, 2005, Penyakit Bersumber Rodensia (Tikus

dan Mencit) di Indonesia,Jurnal Ekologi Kesehatan Vol 4 No 3

Mukono, 2000, Prinsip Dasar Kesehatan Lingkungan,

Surabaya: Airlangga University Press

Rusmini, 2011, Bahaya Leptospirosis (Penyakit Kencing

Tikus) & Cara Pencegahannya, Yogyakarta:Penerbit Gosyen

Publishing

Soeharsono, 2002, Zoonosis Penyakit Menular dari Hewan

ke Manusia 2,Jakarta:Kanisius

J u r n a l K e s e h a t a n M a s y a r a k a t N a s i o n a l V o l . 8 ,

N o . 4 , N o v e m b e r 2 0 1 3

D e p k e s R I . 2 0 0 8 . P e d o m a n D i a g n o s a d a n

P e n a t a l a k s a n a a n P e n a n g g u l a n g a n K a s u s

L e p t o s p i r o s i s d i I n d o n e s i a

51

Page 57: Nisa

Lampiran 1. Lembar informed consent

UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANGFAKULTAS KEDOKTERAN

Kuesioner kunjungan rumah

Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian penyakit leptospirosis dengan pendekatan H.L

Blum di Puskesmas Pandanaran, pada warga kelurahan mugassari jalan gergaji balekambang

rt:02, rw: 07. kota semarang

Dengan Hormat,

Kami mengharap kesediaan Bapak/Ibu untuk mengisi Daftra Kuesioner ini. Kuesioner ini

bertujuan untuk mengumpulkan data guna mendukung survey penyakit yang kami lakukan. Oleh

karena itu mohon kesediaan Bapak/Ibu untuk mengisi kuesioner (daftar pertanyaan). Atas

kesediaan Bapak/Ibu, kami ucapkan terima kasih.

Hormat Kami,

Koass IKM Kedokteran UNISSULA

52