Mega Colon
-
Upload
nia-disini -
Category
Documents
-
view
102 -
download
9
description
Transcript of Mega Colon
TINJAUAN PUSTAKA
MEGACOLON CONGENITAL
Pendahuluan
Megacolon congenital merupakan kelainan yang sering dijumpai sebagai
penyebab obstruksi usus pada neonatus. Pada kelainan ini pleksus mienterikus
(Auerbach) dan pleksus submukosa (Meissner) tidak ada, sehingga bagian usus
yang bersangkutan tidak dapat mengembang. Keadaan ini bisa muncul sesaat
setelah kelahiran, dan menyebabkan konstipasi yang hebat, distensi abdomen,
kadang muntah, serta gangguan pertumbuhan pada keadaan yang berat. Megacolon
congenital juga dikenal sebagai congenital aganglionesis, aganglionic megacolon,
atau Hirschsprung’s disease (Wylie, 2007).
Penyakit ini pertama kali ditemukan oleh Herald Hirschsprung tahun 1886,
namun patofisiologi terjadinya penyakit ini tidak diketahui secara jelas hingga
tahun 1938, dimana Robertson dan Kernohan menyatakan bahwa megakolon yang
dijumpai pada kelainan ini disebabkan oleh gangguan peristaltik dibagian distal
usus akibat defisiensi ganglion. Insidens penyakit Hirschsprung adalah satu dalam
5000 kelahiran hidup, dan laki-laki 4 kali lebih banyak dibanding perempuan
(Kartono, 2004).
Penyakit hirschprung dapat terjadi dalam 1:5000 kelahiran. Risiko tertinggi
terjadinya Penyakit hirschprung biasanya pada pasien yang mempunyai riwayat
keluarga Penyakit hirschprung dan pada pasien penderita Down Syndrome (Ziegler,
2003). Rectosigmoid paling sering terkena sekitar 75% kasus, flexura lienalis atau
colon transversum pada 17% kasus (Warner, 2004). Insidensi penyakit
Hirschsprung di Indonesia tidak diketahui secara pasti, tetapi berkisar 1 diantara
5000 kelahiran hidup. Dengan jumlah penduduk Indonesia 200 juta dan tingkat
kelahiran 35 permil, maka diprediksikan setiap tahun akan lahir 1400 bayi dengan
penyakit Hirschsprung (Kartono, 2004).
Anak kembar dan adanya riwayat keturunan meningkatkan resiko terjadinya
penyakit hirschsprung. Laporan insidensi tersebut bervariasi sebesar 1.5 sampai
1
17,6% dengan 130 kali lebih tinggi pada anak laki dan 360 kali lebih tinggi pada
anak perempuan. Penyakit hirschsprung lebih sering terjadi secara diturunkan oleh
ibu aganglionosis dibanding oleh ayah. Sebanyak 12.5% dari kembaran pasien
mengalami aganglionosis total pada colon (sindroma Zuelzer-Wilson). Salah satu
laporan menyebutkan empat keluarga dengan 22 pasangan kembar yang terkena
yang kebanyakan mengalami long segment aganglionosis (Warner, 2004).
Anatomi dan Fisiologi Colon
Rektum memiliki 3 buah valvula: superior kiri, medial kanan dan inferior
kiri. 2/3 bagian distal rektum terletak di rongga pelvik dan terfiksasi, sedangkan 1/3
bagian proksimal terletak dirongga abdomen dan relatif mobile. Kedua bagian ini
dipisahkan oleh peritoneum reflektum dimana bagian anterior lebih panjang
dibanding bagian posterior. Saluran anal (anal canal) adalah bagian terakhir dari
usus, berfungsi sebagai pintu masuk ke bagian usus yang lebih proximal; dikelilingi
oleh sphincter ani (eksternal dan internal) serta otot-otot yang mengatur pasase isi
rektum ke dunia luar. Sphincter ani eksterna terdiri dari 3 sling : atas, medial dan
depan.
2
Persarafan motorik spinchter ani interna berasal dari serabut saraf simpatis
(N. hipogastrikus) yang menyebabkan kontraksi usus dan serabut saraf parasimpatis
(N. splanknicus) yang menyebabkan relaksasi usus. Kedua jenis serabut saraf ini
membentuk pleksus rektalis. Sedangkan muskulus levator ani dipersarafi oleh N.
sakralis III dan IV. Nervus pudendalis mempersarafi sphincter ani eksterna dan
m.puborektalis. Saraf simpatis tidak mempengaruhi otot rektum. Defekasi
sepenuhnya dikontrol oleh N. N. splanknikus (parasimpatis). Akibatnya kontinensia
sepenuhnya dipengaruhi oleh N. pudendalis dan N. splanknikus pelvik (saraf
parasimpatis).
Sistem saraf otonomik intrinsik pada usus terdiri dari 3 pleksus :
1. Pleksus Auerbach : terletak diantara lapisan otot sirkuler dan longitudinal
2. Pleksus Henle : terletak disepanjang batas dalam otot sirkuler
3. Pleksus Meissner : terletak di sub-mukosa
Pada penderita penyakit Hirschsprung, tidak dijumpai ganglion pada ketiga
pleksus tersebut.
Definisi
Megacolon congenital (Hirschsprung’s disease) adalah dilatasi kolon yang
abnormal yang disebabkan tidak adanya sel ganglion mienterik pada segmen distal
usus besar secara kongenital. Kehilangan fungsi motorik pada segmen ini akan
menyebabkan dilatasi hipertrofik massif pada kolon proksimal yang normal.
Segmen yang aganglioner biasanya tetap menyempit, tetapi bisa berdilatasi secara
pasif (Dorland, 2002).
3
Gambar 1. Ilustrasi megacolon congenital
Etiologi
Secara genetis, megacolon congenital bersifat heterogen, dan diketahui
terdapat beberapa defek yang berlainan serta menimbulkan akibat yang sama.
Sekitar 50% kasus terjadi akibat mutasi di gen RET dan ligan RET, karena
merupakan jalur sinyal yang diperlukan untuk membentuk pleksus saraf
mienterikus. Banyak kasus sisanya terjadi akibat mutasi endotelin 3 dan reseptor
endotelin (Kumar, 2007).
Teori lain mengenai etiologi yang mendasari megacolon congenital ini
adalah defek pada migrasi dari neuroblast menuju usus bagian distal yang
menyebabkan terbentuknya segmen aganglionik. Namun, ada yang menyatakan
bahwa neuroblast dapat bermigrasi dengan normal, tetapi gagal untuk bertahan,
berproliferasi, atau berkembang di segmen tersebut (Lee, 2009).
Patofisiologi
Penyakit Hirschsprung (megacolon congenital) merupakan penyakit
kongenital. Kelainan yang ada pada megacolon congenital yaitu ketiadaan ganglion
atau aganglionosis saraf intrinsik usus, mulai dari muskulus sfingter ani internum
sampai ke arah proksimal dengan panjang segmen tertentu. Paling banyak, yaitu
80% dari keadaan aganglionosis ini terjadi pada segmen rektosigmoid. Selain
aganglionosis, kelainan yang ditemui pada penyakit ini adalah hipertrofi persarafan
usus eksterna terutama saraf kolinergik.
4
Tidak adanya pleksus mienterikus (Auerbach) dan pleksus submukosa
(Meisner) menyebabkan berkurangnya fungsi usus dan peristaltik. Sel ganglion
usus berkembang dari neural crest. Pada perkembangan normal, neuroblast dapat
ditemukan pada usus kecil pada usia gestasi 7 minggu dan mencapai kolon pada
usia 12 minggu. Defek pada migrasi dari neuroblast menuju usus bagian distal yang
menyebabkan terbentuknya segmen aganglionik. Teori lain menyatakan bahwa
neuroblast dapat bermigrasi dengan normal, tetapi terjadi kegagalan dari neuroblast
untuk bertahan, berproliferasi, atau berkembang di segmen tersebut. Teori ini dapat
disebabkan karena kurangnya komponen yang diperlukan untuk pertumbuhan dan
perkembangan sel neuron seperti fibronektin, laminin, neural cell adhesion
molecule (NCAM), dan faktor neurotropik.
Ada dua pleksus yang mempersarafi usus, yaitu pleksus submukosa
(Meisner) dan pleksus mienterikus (Auerbach) serta pleksus mukosa yang kecil.
Pleksus-pleksus ini terintegrasi dan terlibat dalam berbagai aspek dari fungsi usus
meliputi absorbsi, sekresi, motilitas, dan aliran darah. Motilitas normal terutama
dikontrol oleh neuron interinsik. Ganglion sebagai neuron interinsik berfungsi
mengontrol kontraksi dan relaksasi dari usus halus. Kontrol eksterinsik terutama
melalui persarafan kolinergik dan adrenergik. Kolinergik menyebabkan kontraksi
dan adrenergik menyebabkan inhibisi. Pada pasien megacolon congenital, sel
ganglion tidak ada sehingga menyebabkan meningkatnya inervasi ekstrinsik.
Inervasi dari sistem kolinergik maupun adrenergik meningkat 2-3 kali dari inervasi
normal sehingga menyebabkan meningkatnya tonus usus halus. Dengan hilangnya
inervasi intrinsik dan meningkatnya tonus usus halus yang tidak dihambat,
menyebabkan terjadinya kontraksi otot tidak seimbang, peristaltik yang tidak
terkoordinasi, dan obstruksi fungsional. Obstruksi ini mengakibatkan usus tidak
mampu meneruskan gerakan peristaltik ke bagian yang lebih distal yang tidak
mengandung sel ganglion dan juga tidak ada reflek membuka pada muskulus
sfingter ani internum (Lee, 2009).
Secara umum, patogenesis penyakit ini terjadi karena beberapa faktor berikut :
Hipoganglionosis
Pada proximal segmen dari bagian aganglion terdapat area hipoganglionosis. Area
5
tersebut dapat juga merupakan terisolasi. Hipoganglionosis adalah keadaan dimana
jumlah sel ganglion kurang dari 10 kali dari jumlah normal dan kerapatan sel
berkurang 5 kali dari jumlah normal. Pada colon inervasi jumlah plexus myentricus
berkurang 50% dari normal. Hipoganglionosis kadang mengenai sebagian panjang
colon namun ada pula yang mengenai seluruh colon (Holschneider, 2000).
Imaturitas dari sel ganglion
Sel ganglion yang imatur dengan dendrite yang kecil dikenali dengan pemeriksaan
LDH (laktat dehidrogenase). Sel saraf imatur tidak memiliki sitoplasma yang dapat
menghasilkan dehidrogenase. Sehingga tidak terjadi diferensiasi menjadi sel
Schwann’s dan sel saraf lainnya. Pematangan dari sel ganglion diketahui
dipengaruhi oleh reaksi succinyldehydrogenase (SDH). Aktivitas enzim ini rendah
pada minggu pertama kehidupan. Pematangan dari sel ganglion ditentukan oleh
reaksi SDH yang memerlukan waktu pematangan penuh selama 2 sampai 4 tahun.
Hipogenesis adalah hubungan antara imaturitas dan hipoganglionosis
(Holschneider, 2000)..
Kerusakan sel ganglion
Aganglionosis dan hipoganglionosis yang didapatkan dapat berasal dari vaskular
atau nonvascular. Yang termasuk penyebab nonvascular adalah infeksi
Trypanosoma cruzi (penyakit Chagas), defisiensi vitamin B1, infeksi kronis seperti
Tuberculosis. Kerusakan iskemik pada sel ganglion karena aliran darah yang
inadekuat, aliran darah pada segmen tersebut, akibat tindakan pull through secara
Swenson, Duhamel, atau Soave (Holschneider, 2000)..
Tipe Penyakit Hirschsprung
Hirschsprung dikategorikan berdasarkan seberapa banyak colon yang terkena. Tipe
Hirschsprung disease meliputi (Hackam, 2005) :
Ultra short segment: Ganglion tidak ada pada bagian yang sangat kecil
dari rectum.
Short segment: Ganglion tidak ada pada rectum dan sebagian kecil dari
colon.
Long segment: Ganglion tidak ada pada rectum dan sebagian besar colon.
6
Very long segment: Ganglion tidak ada pada seluruh colon dan rectum dan
kadang sebagian usus kecil.
Manifestasi Klinis
Tiga tanda khas dari megacolon congenital, yaitu:
1. Keterlambatan evakuasi mekoneum lebih dari 24-48 jam pertama
Pada 99% bayi yang lahir cukup bulan (aterm) mekoneum keluar dalam 48 jam
pertama setelah kelahiran. Megacolon congenital perlu dicurigai pada bayi yang
lahir cukup bulan yang mengalami keterlambatan evakuasi mekoneum.
Meskipun pada beberapa bayi dapat mengeluarkan mekoneum secara normal,
tetapi pada akhirnya akan berlanjut menjadi konstipasi kronik. Gejala lain yang
mungkin terjadi pada neonatus lainnya seperti konstipasi yang diikuti diare
berlebih yang sering teridentifikasi sebagai enterokolitis, abdomen yang
meregang, dan kegagalan perkembangan.
2. Distensi abdomen
Distensi abdomen merupakan manifestasi obstruksi usus letak rendah. Tanda-
tanda edema, bercak kemerahan khususnya di sekitar umbilicus, punggung, dan
sekitar genitalia ditemukan bila terjadi komplikasi peritonitis. Gambaran
abdomen tersebut mirip dengan gambaran abdomen pada penyakit lain seperti
enterokolitis nekrotikans neonatal, atresia ileum dengan komplikasi perforasi,
atau peritonitis intrauterin.
3. Muntah yang berwarna hijau
Muntah berwarna hijau disebabkan oleh obstruksi usus, yang dapat terjadi pula
karena gangguan pasase usus, seperti atresia ileum, enterokolitis nekrotikans
neonatal, atau peritonitis intrauterine (Kartono, 2004).
Diagnosis
A. Anamnesis
Anamnesis (alloanamnesis) didapatkan riwayat keterlambatan evakuasi
mekoneum. Mekoneum normal berwarna hijau, sedikit lengket, dan dalam
jumlah yang cukup. Selain itu, didapatkan keluhan lainnya seperti distensi
7
abdomen (kembung) dan muntah hijau sebagai akibat dari obstruksi usus letak
rendah. Megacolon congenital dengan komplikasi enterokolitis menampilkan
distensi abdomen disertai diare dengan fases cair becampur mucus dan berbau
busuk, dengan atau tanpa darah, dan umumnya berwarna kecoklatan. Pada anak
yang sudah besar terdapat keluhan konstipasi kronik sejak lahir dan
menunjukkan kesan gizi kurang. Biasanya pasien mempunyai riwayat keluarga
dengan penyakit yang sama.
B. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan abdomen didapatkan abdomen yang membuncit,
kembung, dan tampak pergerakan usus. Pada Pemeriksaan rectal toucher ketika
jari ditarik keluar diikuti keluarnya fases yang menyemprot.
C. Pemeriksaan penunjang
Untuk mendeteksi megacolon congenital secara dini pada neonatus dapat
dilakukan pemeriksaan foto polos abdomen dan khususnya pemeriksaan enema
barium.
1. Foto polos abdomen
Megacolon congenital pada neonatus cenderung menampilkan gambaran
obstruksi usus letak rendah. Daerah pelvis terlihat kosong tanpa udara.
Jarang terlihat udara bebas intraperitonial yang menginisiasi adanya
perforasi usus proksimal karena megacolon congenital. Gambaran obstruksi
letak rendah seperti pada atresia ileum, sindrom sumbatan mekoneum, atau
sepsis. Pada foto polos abdomen neonatus, distensi ileum dan distensi kolon
sulit dibedakan. Pada pasien bayi dan anak, gambaran distensi kolon dan
massa fases lebih terlihat jelas (Andrassy, 2000).
2. Foto enema barium
Enema barium berisi kontras cairan yang larut dalam air dan memiliki
reliabilitas yang tinggi. Gambaran yang karakteristik pada aganglionosis
kolon adalah barium akan masuk ke dalam rectum yang tidak mengembang,
kemudian masuk ke area yang berbentuk corong, dan selanjutnya masuk ke
dalam kolon yang melebar (megakolon), ini adalah gambaran dari
aganglionosis segmen pendek. Pada aganglionosis segmen panjang akan
8
tampak seluruh kolon menyempit sehingga tidak dapat dilihat area
berbentuk corong (Hasmija, 2007).
3. Pemeriksaan Patologi Anatomi
Biopsi rektal merupakan gold standar untuk diagnosis megacolon
congenital. Swenson pada tahun 1955 mengeksisi seluruh tebal dinding
muskulus rectum sehingga pleksus meinterikus dan bagian submukosa dapat
diperiksa. Terdapatnya ganglion dalam specimen biopsi menyingkirkan
diagnosis megacolon congenital, begitu juga sebaliknya (Kartono, 2004).
Penatalaksanaan
Pada dasarnya terapi untuk megacolon congenital adalah pembedahan
dengan mengangkat segmen usus yang aganglioner, diikuti dengan pengembalian
kontinuitas usus. Terapi medis hanya dilakukan untuk persiapan bedah. Prosedur
bedah pada megacolon congenital berupa bedah sementara dan bedah definitif.
A. Tindakan bedah sementara
Tindakan dekompresi dengan pembuatan kolostomi di kolon berganglion
normal yang paling distal merupakan tindakan bedah pertama yang harus
dilakukan. Tindakan ini dilakukan untuk menghilangkan obstruksi usus dan
mencegah enterokolitis yang dikenal sebagai penyebab utama kematian.
Kolostomi tidak dilakukan bila tindakan dekompresi secara medik berhasil dan
langsung direncanakan bedah definitif. Kolostomi dilakukan pada pasien
neonatus, pasien anak dan dewasa yang terlambat terdiagnosis, dan pasien
dengan enterokolitis yang berat disertai keadaan umum yang memburuk
(Kartono, 2004).
B. Tindakan bedah definitif
Ada beberapa cara pembedahan untuk tindakan bedah definitif, antara lain:
1. Prosedur Swenson
Prosedur ini adalah prosedur pertama untuk operasi megacolon congenital
dengan metode “pull-through”. Teknik ini diperkenalkan pertama kali oleh
Swenson dan Bill pada tahun 1948. Segmen yang aganglionik direseksi dan
puntung rektum ditinggalkan 2-4 cm dari garis mukokutan kemudian
9
dilakukan anastomosis langsung diluar rongga peritoneal. Pada prosedur ini
enterokolitis masih dapat terjadi sebagai akibat spasme puntung rektum
yang ditinggalkan. Untuk mengatasi hal ini Swenson melakukan
sfingterektomi parsial posterior. Prosedur ini disebut prosedur Swenson I.
Pada 1964 Swenson memperkenalkan prosedur Swenson II dimana setelah
dilakukan pemotongan segmen kolon yang aganglionik, puntung rektum
ditinggalkan 2 cm di bagian anterior dan 0,5 cm di bagian posterior
kemudian langsung dilakukan sfingterektomi parsial langsung. Ternyata
prosedur ini sama sekali tidak mengurangi spasme sfingter ani dan tidak
mengurangi komplikasi enterokolitis pasca bedah dan bahkan pada prosedur
Swenson II kebocoran anastomosis lebih tinggi dibanding dengan prosedur
Swenson I (Kartono , 2004).
2. Prosedur Duhamel.
Prosedur ini diperkenalkan pada tahun 1956 sebagai modifikasi prosedur
Swenson oleh karena pada metode Swenson dapat terjadi kerusakan nervi
erigentes yang memberi persarafan pada viscera daerah pelvis. Duhamel
melakukan diseksi retrorektal untuk menghindari kerusakan tersebut dengan
cara melakukan penarikan kolon proksimal yang ganglionik melalui bagian
posterior rektum. Penderita ditidurkan dalam posisi litotomi, dipasang
kateter sehingga vesika urinaria kosong dengan maksud agar visualisasi
rongga abdomen lebih jelas. Irisan kulit abdomen dilakukan secara
paramedian atau transversal. Arteria hemorrhoidalis superior dipotong
diikuti pemotongan mesorektum dan rektum. Kolon proksimal dimobilisir
sehingga panjang kolon akan mencapai anus. Perhatian khusus ditujukan
pada viabilitas pembuluh darah dan kolon proksimal dengan cara
menghindari regangan yang berlebihan. Setelah segmen kolon yang
aganglionik direseksi, puntung rektum dipotong sekitar 2-3 cm diatas dasar
refleksi peritonium dan ditutup dengan jahitan dua lapis. Rongga retrorektal
dibuka sehingga seluruh permukaan dinding belakang rektum dibebaskan.
Pada dinding belakang rektum 0,5 cm dari linea dentata dibuat sayatan
endoanal setengah lingkaran dan dari lubang sayatan ini segmen kolon
10
proksimal yang berganglion ditarik ke distal keluar melewati lubang anus
dan dibiarkan bebas menggelantung kemudian dilakukan anastomosis “end
to side” setinggi sfingter ani internus. Anastomosis dilakukan dengan
pemasangan 2 buah klem Kocher dimana dalam jangka waktu 6-8 hari
anastomosis telah terjadi. Stenosis dapat terjadi akibat pemotongan septum
yang tidak sempurna (Holschneider, 2005).
3. Prosedur ENDORECTAL PULL THROUGH ( SOAVE ).
Prinsip teknik ini adalah diseksi ekstramukosa rektosigmoid yang mula-
mula dipergunakan untuk operasi atresia ani letak tinggi. Persiapan
preoperasi yang harus dilakukan adalah irigasi rektum, dilatasi anorektal
manual serta pemberian antibiotik. Tahun 1960 Soave melakukan
pendekatan abdominoperineal, dengan membuang lapisan mukosa
rektosigmoid. Posisi pasien terlentang dengan fleksi pelvis 30 derajat, irisan
kulit abdomen pararektal kiri melewati lubang kolostomi dan dipasang
kateter. Dinding abdomen dibuka perlapis sampai mencapai peritonium
kemudian dilakukan preparasi kolon kiri. Kolon distal dimobilisasi dan
direseksi 4 cm diatas refleksi peritoneum. Dibuat jahitan traksi pada kolon
distal yang telah direseksi kemudian mukosa dipisahkan dari muskularis
kearah distal. Lapisan otot secara tumpul didorong kedistal hingga 1-2 cm
diatas linea dentata. Lewat anus dibuat insisi melingkar 1 cm diatas linea
dentata. Kolon yang berganglion kemudian ditarik ke distal melewati
cerobong endorektal. Sisa kolon yang diprolapskan lewat anus dipotong
setelah 21 hari. (Kartono, 2004 ).
4. Prosedur Boley.
Prosedur Boley sangat mirip dengan prosedur Soave akan tetapi
anastomosis dilakukan secara langsung tanpa memprolapskan kolon terlebih
dulu ( Kartono, 2004 ).
5. Prosedur Rehbein.
Setelah dilakukan reseksi segmen yang aganglionik kemudian dilakukan
anastomosis “end to end” antara kolon yang berganglion dengan sisa
rektum, yang dikerjakan intraabdominal ekstraperitoneal. Teknik ini sering
11
menimbulkan obstipasi akibat sisa rektum yang aganglionik masih panjang
(Holschneider dan Ure, 2005).
6. Prosedur miomektomi anorektal.
Pada pasien-pasien dengan megacolon congenital segmen ultra pendek,
pengangkatan satu strip otot pada linea mediana dinding posterior rektum
dapat dilakukan dan prosedur ini disebut miomektomi anorektal, dimana
dengan lebar 1 cm satu strip dinding rektum ekstramukosa diangkat, mulai
dari proksimal linea dentata sampai daerah yang berganglion ( Teitelbaum
at al, 2006 ).
7. Prosedur Transanal Endorectal Pull-Through.
Teknik ini dilakukan dengan pendekatan lewat anus. Setelah dilakukan
dilatasi anus dan pembersihan rongga anorektal dengan povidone-iodine,
mukosa rektum diinsisi melingkar 1 sampai 1,5 cm diatas linea dentata.
Dengan diseksi tumpul rongga submukosa yang terjadi diperluas hingga 6
sampai 7 cm kearah proksimal. Mukosa yang telah terlepas dari muskularis
ditarik ke distal sampai melewati anus sehingga terbentuk cerobong otot
rektum tanpa mukosa. Keuntungan prosedur ini antara lain lama
pemondokan dan operasi lebih singkat, waktu operasi lebih singkat,
perdarahan minimal, feeding dapat diberikan lebih awal, biaya lebih rendah,
skar abdomen tidak ada. Akan tetapi masih didapatkan komplikasi
enterokolitis, konstipasi dan striktur anastomosis (Langer, 2004).
Komplikasi
Komplikasi bedah pasca operasi yang dapat terjadi antara lain perdarahan,
infeksi, perlukaan pada organ sekitar serta risiko anaestesi. Pada penderita yang
dilakukan kolostomi dapat terjadi komplikasi retraksi stoma, striktur, prolaps dan
ekskoriasis kulit. Komplikasi kebocoran usus, striktur dan retraksi setelah tindakan
anastomosis dapat dicegah dengan cara pengamatan yang teliti pada keadaan
vaskularisasi kolon yang akan dilakukan pull-through serta menjaga agar
anastomosis usus tidak dalam keadaan teregang. Komplikasi-komplikasi lain dapat
12
muncul terlambat antara lain obstruksi, inkontinensi serta enterokolitis yang dapat
terjadi pada 50% kasus (Langer, 2004).
13
DAFTAR PUSTAKA
Andrassy RJ, Isaacs H, Weitzman JJ. 2000. Rectal Suction Biopsy for the Diagnosis
of Hirschsprung’s Disease.
http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=13450
Hackam D.J., Newman K., Ford H.R. 2005. Chapter 38 Pediatric Surgery in:
Schwartz’s PRINCIPLES OF SURGERY. 8th edition. McGraw-Hill. New
York. Page 1496-1498
Hasmija MH, Nunik A. 2007. Total Megacolon Congenital Aganglionesis Colon/
Penyakit Hirschsprung. Berkala Kesehatan Klinik. 13: 118-122
Holschneider A, Ure BM. 2005. Pediatric Surgery: Hirschsprung’s Disease.
Philadelphia: Elsevier Saunders
Kartono, Darmawan. 2004. Penyakit Hirschsprung. Jakarta: Sagung Seto
Kumar V, James M C. 2007. Buku Ajar Patologi: Penyakit
Hirschsprung/Megakolon Kongenital. Jakarta: EGC
Langer JC. 2004. Persistent obstructive symptoms after surgery for Hirschsprung's
disease: development of a diagnostic and therapeutic algorithm. J Pediatr
Surg. 39:1458.
Lee SL, Shekerdimian S, DuBois. 2009. Hirschsprung’s Disease.
http://www.emedicine.medscape.com
Teitelbaum DH and Coran AG. Pediatric Surgery: Hirschsprung’s Disease and
Related Muscular Disorders of the Intestine. Philadelphia: Mosby Elsivier
Warner B.W. 2004. Chapter 70 Pediatric Surgery in TOWNSEND SABISTON
TEXTBOOK of SURGERY. 17th edition. Elsevier-Saunders. Philadelphia.
Page 2113-2114
Wylie R. 2007. Nelson Textbook of Pediatrics: Motility Disorder and
Hirschsprung’s Disease. Philadelphia: Elsevier Saunders
14
Ziegler M.M., Azizkhan R.G., Weber T.R. 2003. Chapter 56 Hirschsprung Disease
In: Operative PEDIATRIC Surgery. McGraw-Hill. New York. Page 617-
640
15