Makalah Pbl Blok 15

download Makalah Pbl Blok 15

of 13

description

SSJ

Transcript of Makalah Pbl Blok 15

  • 5/26/2018 Makalah Pbl Blok 15

    1/13

    1

    Sindrom Stevens Johnson Akibat Alergi Obat

    Lisa Sari

    102012129

    Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida WacanaJl. Terusan Arjuna No. 6, Jakarta 11510

    Pendahuluan

    Sindrom Stevens Johnson merupakan kelainan yang termasuk eritema multiforme mayor

    yang mengenai kulit, selaput lendir atau mukosa di orifisium dan mata serta organ-organ

    tubuh lain. Penyakit ini disertai dengan keadaan umum yang bervariasi dari ringan sampai

    berat. Sindrom Stevens Johnson tersebut mengancam kondisi kulit yang mengakibatkan

    kematian sel-sel kulit sehingga epidermis mengelupas. Sindrom ini dianggap sebagai

    hipersensitivitas kompleks yang mempengaruhi kulit dan selaput lendir. Pada umumnya

    kasus sindrom Stevens Johnson tidak diketahui penyebabnya (idiopatik), biasanya penyebab

    utama yang paling sering dijumpai adalah akibat dari alergi obat-obatan tertentu, infeksi virus

    dan atau keduanya, pada kasus tertentu yang sangat jarang ditemukan sindrom iniberhubungan dengan kanker. Bentuk yang berat dapat menyebabkan kematian, oleh karena

    itu perlu pentalaksanaan yang tepat dan cepat sehingga jiwa pasien dapat ditolong.

    Di dalam makalah ini akan membahas sindrom Stevens Johnson dimulai dari anamnesis,

    pemeriksaan fisik, penunjang, diagnosis, etiologi, epidemiologi, patofisiologi,

    penatalaksanaan, prognosis dan sampai dengan pencegahan sindrom Stevens Johnson.

    Pembahasan tersebut akan disetai dengan kasus anak laki-laki yang berusia 13 tahun dirawat

    di RS dengan keluhan lepuh pada kedua lengan, badan atas, bokong dan kedua paha setelah

    makan obat Sulfa sejak 2 hari yang lalu. Semoga makalah ini dapat menjadi sebuah referensi

    baru bagi pembaca untuk memahami tentang sindrom Stevens Johnson.

    Sindrom Stevens Johnson

    Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi

    mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium

    serta mata disertai gejala umum berat. Nama lain dari penyakit ini adalah sindrom deFriessinger-Rendu, eritema eksudativum multiform mayor, eritema poliform bulosa, sindrom

  • 5/26/2018 Makalah Pbl Blok 15

    2/13

    2

    muko-kutaneo-okular, dermatostomatitis, dll. Istilah eritema multiforme yang sering dipakai

    sebetulnya hanya merujuk pada kelainan kulitnya saja.

    Bentuk klinis SSJ berat jarang terdapat pada bayi, anak kecil atau orang tua. Lelaki

    dilaporkan lebih sering menderita SSJ daripada perempuan. Tidak terdapat kecenderungan

    rasial terhadap SSJ walaupun terdapat laporan yang menghubungkan kekerapan yang lebih

    tinggi pada jenis HLA tertentu.

    Anamnesis

    Seorang dokter harus melakukan wawancara yang seksama terhadap pasiennya atau keluarga

    dekatnya mengenai masalah yang menyebabkan pasien mendatangi pusat pelayanan

    kesehatan. Wawancara yang baik seringkali sudah dapat mengarahkan masalah pasien ke

    diagnosis penyakit tertentu. Wawancara terhadap pasien disebut anamnesis. Anamnesis dapat

    langsung dilakukan terhadap pasien (auto-anamnesis) atau terhadap keluarganya atau

    pengantarnya (alo-anamnesis). Aloanamnesis biasanya dilakukan pada pasien di bawah umur

    atau pasien yang tidak kompeten untuk menjawab pertanyaan dari dokter. Anamnesis yang

    baik akan terdiri dari identitas, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit

    dahulu, riwayat penyakit dalam keluarga, anamnesis susunan sistem dan anamnesis pribadi.

    Identitas. Identitas meliputi nama lengkap pasien, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin,

    nama orang tua atau suami isteri atau penanggung jawab, alamat, pendidikan, pekerjaan, suku

    bangsa dan agama.

    Keluhan Utama. Keluhan utama adalah keluhan yang dirasakan pasien yang membawa

    pasien pergi ke dokter atau mencari pertolongan. Dalam menuliskan keluhan utama harus

    disertai dengan indikator waktu, berapa lama pasien mengalami hal tersebut. Seperti dalam

    skenario anak laki-laki 13 tahun dibawa ke rumah sakit dengan kaluhan lepuh pada kedua

    lengan, badan atas, bokong dan kedua paha sejak 2 hari yang lalu.

    Riwayat Penyakit Sekarang.Riwayat perjalanan penyakit merupakan cerita yang kronologis,

    terinci dan jelas mengenai keadaan kesehatan pasien sejak sebelum keluhan utama sampai

    pasien datang berobat. Dalam melakukan anamnesis diusahakan mendapatkan data-data

    sebagai berikut: 1) Sebelum timbul lepuh pada kedua lengan, badan atas, bokong dan kedua

    paha, pernah mengkonsumsi obat atau sesuatu yang dicurigai sebagai pencetus timbulnya

    lepuh tersebut. Hal ini perlu ditanyakan karena sindrom Stevens Johnson biasanya

  • 5/26/2018 Makalah Pbl Blok 15

    3/13

    3

    disebabkan oleh alergi obat; 2) Apakah keluhan baru pertama kali atau sudah berulang kali;

    3) Keluhan-keluhan yang menyertai serangan, atau keluahan lain yang bersamaan dengan

    serangan; 4) Bentuk efloresensi primer sebelum pasien dibawa ke rumah sakit.

    Riwayat Penyakit Keluarga. Penting untuk mencari kemungkinan penyakit heredier, seperti

    alergi.

    Riwayat Pribadi. Riwayat pribadi meliputi data-data sosial, ekonomi, pendidikan dan

    kebiasaan. Perlu ditanyakan apakah pasien mengalami kesulitan kehidupan sehari-hari seperti

    masalah keuangan, pekerjaan dan sebagainya. Kebiasaan pasien yang juga harus ditanyakan

    adalah kebiasaan merokok, minum alkohol, termasuk penyalahgunnaan obat-obatan terlarang

    (narkoba).1

    Pemeriksaan Fisik

    Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun ke bawah karena imunitas belum begitu

    berkembang. Keadaan umumnya bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat

    kesadarannya menurun, pasien dapat soporous sampai koma. Mulainya penyakit akut dapat

    disertai gejala prodromal berupa demam tinggi, malese, nyeri kepala, batuk, pilek dan nyeri

    tenggorok.

    Pada SSJ ini dapat dilakukan pemeriksaan inspeksi. Pasien akan menunjukkan trias kelainan

    berupa : kelainan kulit, kelainan selaput lendir di orifisium, dan kelainan mata.

    Kelainan kulit

    Kelainan kulit terdiri atas eritema, vesikel dan bula. Eritema adalah kemerahan pada

    kulit yang disebabkan pelebaran pembuluh darah yang reversibel sedangkan vesikel

    adalah gelembung berisi cairan serum beratap berukurab kurang dari 0,5 cm garis

    tengah dan mempunyai dasar dan bula adalah vesikel yang berukuran lebih besar.

    Vesikel dan bula kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Di samping itu

    dapat juga terjadi purpura. Pada bentuk yang berat kelainannya generalisata.

    Kelainan selaput lendir di orifisium

    Kelainan selaput lendir yang tersering ialah kelainan mukosa mulut (100%),

    kemudian disusul oleh kelainan di lubang alat genital (50%), sedangkan di lubang

    hidung dan anus jarang (masing-masing 8% dan 4%)

  • 5/26/2018 Makalah Pbl Blok 15

    4/13

    4

    Kelainannya berupa vesikel dan bula yang cepat memecah hingga terjadi erosi dan

    ekskoriasi dan krusta kehitaman. Di mukosa mulut juga dapat terbentuk

    pseudomembran. Di bibir kelainan yang sering tampak ialah krusta bewarna hitam

    yang tebal.

    Lesi di mukosa mulut dapat juga terdapat di faring, traktus respiratorius bagian atas,

    dan esofagus. Stomatitis dapat menyebabkan pasien sukar/tidak dapat menelan.

    Adanya pseudomembran di faring dapat menyebabkan keluhan sukar bernapas.

    Kelainan mata

    Kelainan mata, merupakan 80% di antara semua kasus; yang tersering ialah

    konjungtivitis kataralis. Selain itu juga dapat berupa konjungtivitis purulen,

    perdarahan, simblefaron, ulkus kornea, iritis dan iridosiklitis.

    Selain trias kelainan tersebut dapat pula terdapat kelainan lain, misalnya: nefritis dan

    onikolisis.

    Untuk memastikan kelainan yang diderita pasien perlu pula dilihat adanya epidermolisis.

    Pada Nekrolisis Epidermolisis Toksik (bentuk parah dari SSJ) yang penting ialah terjadinya

    epidermolisis, yaitu epidermis terlepas dari dasarnya yang kemudian menyeluruh.

    Pemeriksaan Penunjang

    Hasil pemeriksaan laboratorium tidak khas. Jika terdapat leukositosis, ini menunjukkan

    kemungkinan penyebabnya adalah infeksi. Bila diduga penyebabnya adalah infeksi, perlu

    dilakukan pemeriksaan kultur darah untuk menentukan jenis kuman penyebabnya. Kalau

    terdapat eosinofilia, kemungkinan penyebabnya adalah alergi obat. Di samping itu, juga

    ditemukan adanya peningkatan enzim transaminase serum, albuminuria dan gangguan

    elektrolit serta adanya gambaaran gangguan fungsi organ tubuh yng terkena.2

    Histopatologi

    Gambaran histopatologiknya sesuai dengan eritema multiforme, bervariasi dari perubahan

    dermal yang ringan sampai nekrosis epidermal yang menyeluruh berupa :

    Infiltrat sel mononuklear di sekitar pembuluh-pembuluh darah dermis superfisial.

    Edema dan ekstravasasi sel darah merah di dermis papilar.

    Degenerasi hidropik lapisan basalis sampai terbentuk vesikel subepidermal.

  • 5/26/2018 Makalah Pbl Blok 15

    5/13

    5

    Nekrosis sel epidermal dan kadang-kadang di adneksa.

    Spongiosis dan edema intrasel epidermis.3

    Diagnosis

    Diagnosis Sindrom Stevens johnson 90% berdasarkan klinis. Jika disebabkan oleh obat, ada

    korelasi antara pemberian obat dengan timbulnya gejala. Diagnosis ditujukan terhadap

    manifestasi yang sesuai dengan trias kelainan kulit, mukosa dan mata serta hubungannya

    dengan faktor penyebab. Selain itu didukung pemeriksaan laboratorium antara lain

    pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan imunologis, biakan kuman serta uji resistensi dari darah

    dan tempat lesi, dan pemeriksaan histopatologik biopsi kulit. Anemia dapat dijumpai pada

    kasus berat dengan perdarahan, leukosit biasanya normal atau sedikit meninggi, terdapat

    peningkatan eosinofil. Kadat IgG dan IgM dapat meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit

    menurun dan dapat dideteksi adanya circulating immune complex. Biopsi kulit direncanakan

    bila lesi klasik tak ada. Pemeriksaan histopatologi dan imunohistokimia dapat mendukung

    ditegakkan diagnosis.4

    Diagnosis SSJ tidak sulit karena gambaran klinisnya khas. Sebagai diagnosis banding dari

    SSJ adalah Nekrolisis Epidermal Toksik (NET) karena NET dianggap sebagai bentuk parah

    SSJ, maka hendaknya dicari apakah terdapat epidermolisis. Umumnya pasien berbaring, jadi

    diperiksa punggungnya. Apabila terdapat epidermolisis, maka diagnosisnya menjadi NET.

    Pada NET keadaan umumnya lebih buruk daripada SSJ. Pada stadium dini NET tampak

    vakuolisasi dan nekrosis sel-sel basal sepanjang perbatasan dermal-epidermal. Sel radang di

    dermis hanya sedikit terdiri atas limfohistiosit. Pada lesi yang telah lanjut terdapat nekrosis

    eosinofilik sel epidermis dengan pembentukan lepuh sub-epidermal. Epidermolisis yaitu

    epidermis terlepas dari dasarnya yang kemudian menyeluruh. Gambaran klinisnya

    menyerupai kombustio. Adanya epidermolisis menyebabkan tanda Nikolskiy positif padakulit yang eritematosa, yaitu jika kulit ditekan dan digeser, maka kulit kan terkelupas.

    Epidermolisis mudah dilihat pada tempat yang sering terkena tekanan. Pada sebagian pasien

    kelainan kulit hanya berupa epidermolisis dan purpura, tanpa disertai erosi, vesikel dan bula.

    Kuku dapat terlepas (onikolisis). Kadang-kadang dapat terjadi perdarahan di traktus

    gstrointestinalis.

    Eksantema fikstum multipel generalisata juga dianggap sebagai diagnosis banding. Pada

    penyakit ini lesi timbul pada tempat yang sama dan biasanya tidak menyeluruh. Jika sembuh

    meninggalkan bercak hiperpigmentasi menetap. Kelainan eksantema fikstum multipel berupa

  • 5/26/2018 Makalah Pbl Blok 15

    6/13

    6

    eritem atau hiperpigmentasi dengan vesikel atau bula berbentuk bulat tau lonjong, di atasnya,

    berukuran lentikular, numular sampai plakat. Lesi dapat timbul di seluruh tubuh, paling

    sering di sekitar mulut, penis. Lesi di bibir dan genitalia eksterna dapat berupa erosi. Bila

    sembuh lesi akn meninggalkan warna hiperpigmentasi yang akan menghilang dalam jangka

    waktu yang lama.

    Diagnosis banding lainnya adalah Staphyloccocal Scalded Skin Syndrome ( SSSS ). Penyakit

    ini umumnya menyerang usia yang lebih mudah. Anak-anak merupakan faktor resiko pada

    SSSS karena kekurangan imunitas dan kemampuan renal imatur dalam pembersihan toksin

    (toksin exfoliative). Antibodi maternal dapat ditransfer kepada infant melalui ASI tetapi SSSS

    masih dapat terjadi karena inadekuat imunitas dan imatur ginjal. SSSS merupakan bentuk

    berbeda dari impetigo bulosa, keduanya merupakan penyakit kulit yang berlepuh yangdisebabkan oleh toksin eksfoliatif dari staphylococcus. Perbedaanya adalah impetigo bulosa

    hanya terdapat pada area lokal sedangkan pada SSSS kerusakan epidermal menyebar luas

    keseluruh tubuh (penyebaran secara hematogen). Perbedaan SSS dengan TEN adalah

    infeksi SSS hanya sebatas intraepidermal sedangkan infeksi TEN pada seluruh lapisan

    epidermis (sampai membran basal).

    Manifestasi Klinis

    Gejala prodromal berkisar antara 1-14 hari berupa demam, lesu, batuk, pilek, nyeri menelan,

    nyeri dada, muntah, pegal otot dan atralgia yang sangat bervariasi dalam derajat berat dan

    kombinasi gejala tersebut. Setelah itu akan timbul lesi di :

    Kulit; berupa eritema, papel, vesikel atau bula secara simetris pada hampir seluruh

    tubuh. Bila bula kurang dari 10% disebut Sindrom Stevens Johnson, 10-30% disebut

    Sindrom Stevens Johnson-Nekrolisis Epidermal Toksik (SSJ-NET), lebih dari 30%

    Nekrolisis Epidermal Toksik (NET)

    Mukosa (mulut, tenggorokan dan genital); berupa vesikel, bula, erosi, ekskoriasi,

    perdarahan dan krusta bewarna merah.

    Mata; berupa konjungtivitis kataralis, blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis,

    kelopak mata edema dan sulit dibuka, pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi

    kornea.

  • 5/26/2018 Makalah Pbl Blok 15

    7/13

    7

    Epidemiologi

    Insidens SSJ dan NET diperkirakan 2-3% per juta populasi setiap tahun di Eropa dan

    Amerika Serikat. Umumnya terdapat pada dewasa. Hal tersebut berhubungan dengan kausa

    SSJ yang biasanya disebabkan oleh alergi obat. Pada dewasa imunitas telah berkembang dan

    belum menurun seperti pada usia lanjut.

    Etiologi

    Sampai saat ini belum diketahui secara pasti. Ada pendapat mengatakan, SSJ merupakan

    eritema multiforme derajat berat dan disebut sebagai eritema multiforme mayor. Penyebab

    utama adalah alergi obat, lebih dari 50%. Sebagian kecil karena infeksi, vaksinasi, penyakit

    graft-versus-host, neoplasma dan radiasi. Pada penelitian Adhi Djuanda selama 5 taun (1998-

    2002) SSJ yang diduga alergi obat tersering adalah analgesik/antipiretik (45%), disusul

    karbamazepin (20%) dan jamu (13,3%). Sebagian besar jamu dibubuhi obat. Kausa yang lain

    amoksisilin, kotrimoksasol, dilantin, klorokuin, seftriakson dan adiktif.

    Sasaran utama SSJ dan NET ialah pada kulit berupa destruksi keratinosit. Pada alergi obat

    akan terjadi aktivitas sel T, termasuk CD4 dan CD8. IL-5 meningkat, juga sitokin-sitokin

    yang lain. CD4 terutama terdapat di dermis sedangkat CD8 pda epidermis. Keratinosit

    epidermal mengekspresikan ICAM-1, ICAM-2 dan MHC II. Sel Langerhans tidak ada atau

    sedikit. TNF di epidermis meningkat.2

    Alergi Obat Sulfa

    Sulfonamid adalah kemoterapeutik yang pertama digunakan secara sistemik untuk

    pengobatan dan pencegahan penyakit infeksi pada manusia. Penggunaan sulfonamid

    kemudian terdesak oleh antibiotik. Sulfonamida bersifat mikrobiostatik untuk sejumlah besar

    bakteri gram positif dan gram negatif, dan berbagai protozoa (seperticoccidia, Plasmodium

    spp). Sulfonamida digunakan biasanya dengan kombinasi agen kemoterapi lainnya untuk

    merawat infeksi saluran kencing, malaria, coccidiosis dll. Sulfonamida bertindak sebagai

    analog struktural dari asam p-aminobenzoik (PABA), yang menghambat PABA saat

    pembentukan asam dihidropteroik dalam sintesis asam folat. Organisme yang membuat

    sendiri asam folatnya dan tidak dapat memakai pasokan eksogen dari vitamin menjadi sensitif

    terhadap sulfonamida, karena selnya dapat menyerap obat ini, sementara organisme yang

    memerlukan asam folat eksogen untuk pertumbuhannya tidak sensitif. Penundaan periode

    beberapa generasi terjadi antara paparan sel yang sensitif pada sulfonamida dan

  • 5/26/2018 Makalah Pbl Blok 15

    8/13

    8

    penghambatan pertumbuhan; pada saat ini sel menghabiskan pasokan asam folat endogen

    yang telah dibuat sebelumnya. Efek penundaan ini memungkinkan sulfonamida dipakai

    bersama dengan antibiotik (misalnya penisilin) yang hanya aktif terhadap organisme yang

    tumbuh.

    Efek samping penggunaan sulfonamid sering timbul (sekitar 5%) pada pasien. Reaksi ini

    dapat hebat dan kadang-kadang bersifat fatal. Karena itu pemakaiannya harus hati-hati. Bila

    mulai terlihat adanya gejala reaksi toksik atau sensititasi, pemkaiannya secepat mungkin

    dihentikan. Mereka yang pernah menunjukkan reaksi tersebut, untuk seterusnya tidak boleh

    diberi sulfonamid. Efek samping penggunaan sulfonamid adalah :

    Gangguan sistem hematopoetik. Anemia hemolitik akut dapat disebabkan oleh reaksi

    alergi atau karena defisiensi aktivitas G6PD. Kebanyakan pasien sembuh kembali

    dalam beberapa minggu atau bulan setelah pemberian sulfonamid dihentikan.

    Anemia aplastik, sangat jarang terjadi dan dapat bersifat fatal. Hal ini diduga

    berdasarkan efek mielotoksik langsung. Trombositopenia berat jarang terjadi, jarang

    terjadi pada pemakaian sulfonamid. Trombositopenia ringan selintas lebih sering

    terjadi. Mekanisme terjadinya tidak diketahui. Eosinofilia dapat terjadi dan bersifat

    reversibel. Kadang-kadang disertai dengan gejala hipersensitivitas terhadaap

    sulfonamid. Pada pasien dengan gangguan sumsum tulang pasien AIDS atau

    mendapatkan kemoterapi dengan mielosupresan sering menimbulkan hambatan

    sumsum tulang yang bersifat reversibel.

    Gangguan saluran kemih. Pemakaian sistemik dapat menimbulkan komplikasi pada

    saluran kemih, meskipun sekarang jarang terjadi karena telah banyak ditemukan sulfa

    yang lebih mudah larut seperti sulfisoksazol.

    Reaksi alergi. Gambaran hipersensitivitas pada kulit dan mukosa bervariasi, berupa

    kelainan morbiliform, skarlatiniform, urtikariform, erisipeloid, pemfigoid, purpura,

    petekia, juga timbul eritema nodusum, eritem multiformis tipe Sindrom Stevens

    Johnson, sindrom Behcet, dermatitis eksfoliativa dan fotosensitivitas. Gejala

    umumnya timbul setelah minggu pengobatan terapi mungkin lebih dini pada pasien

    yang telah tersensititasi. Kekerapan terjadinya reaksi kulit 1,5% dengan sulfadiazin

    dan 2% dengan sulfisoksazol. Suatu sindrom yang menyerupai penyakit serum

    (serum sickness) dapat terjadi beberapa hari setelah pengobatan dengan sulfonamid.

  • 5/26/2018 Makalah Pbl Blok 15

    9/13

    9

    Hipersensitivitas sistemik difus kadang-kadang dapat pula terjadi. Sensitivitas silang

    dapat terjadi antara bermacam-macam sulfa. 5

    Patogenesis

    Patogenesis kelainan ini belum diketahui dengan jelas. Diduga terjadinya kelainan ini diperan

    oleh reaksi alergi tipe III dan tipe IV. Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya kompleks

    antigen-antibody yang membentuk mikro-presipitasi sehingga terjadi aktivasi sistem

    komplemen akibat adanya akumulasi sel neutrofil yang melepaskan lisozim yang

    menyebabkan kerusakan jaringan pada organ target. Reaksi tipe IV terjadi akibat sel limfosit

    T yang telah tersensititasi terkontak ulang dengan antigen yang sama lalu sel T tersebut

    melepaskan limfokin dan menimbulkan reaksi peradangan. Oleh karena proses

    hipersensitivitas, maka terjadi kerusakan kulit sehingga terjadi : 1) kegagalan fungsi kulit

    yang menyebabkan kehilangan cairan; 2) stres hormonal diikuti peningkatan tsistensi

    terhadap insulin, hiperglikemia dan glukosuria; 3) kegagalan termoregulasi; 4) kegagalan

    fungsi imun; 5) infeksi.

    Penatalaksanaan

    Obat yang disangka sebagai kausanya segera dihentikan, termasuk obat sulfa, jamu atau zat

    adiktif. Jika keadaan umum pasien SSJ baik dan lesi tidak menyeluruh cukup diobati dengan

    prednison 30-40 mg sehari. Kalau keadaan umumnya buruk dan lesi menyeluruh harus

    diobati secara tepat dan cepat dan pasien harus dirawat inap. Penggunanaan obat

    kortikosteroid merupakan tidakan life-saving, dapat digunakan deksametason secara

    intravena dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg sehari. Pada umumnya masa kritis dapat diatasi

    dalam beberapa hari. Seorang pasien SSJ yang berat harus segera dirawat inap dan diberikan

    deksametason 6 x 5 mg iv. Biasanya setelah beberapa hari (2-3 hari) masa kritis telah teratasi,

    keadaan membaik dan tidak timbul lesi baru, sedangkan lesi lama tampak mengalami

    involusi. Dosisnya segera diturunkan secara cepat, setiap hari diturunkan 5 mg, setelah dosis

    telah mencapai 5 mg sehari lalu diganti dengan tablet kortikosteroid misalnya prednison yang

    diberikan keesokan harinya dengan dosis 20 mg sehari; sehari kemudian obat tersebut

    ditutunkan lagi menjadi 10 mg kemudian obat tersebut dihentikan. Jadi lama pengobatan

    kira-kira 10 hari.

    Selain deksametason dapat digunakan pula metilprednisolon dengan dosis setara. Kelebihan

    metilprednisolon ialah efek sampingnya lebih sedikit dibandingkan dengan deksametason

  • 5/26/2018 Makalah Pbl Blok 15

    10/13

    10

    karena termasuk dalam golongan kerja sedang, sedangkan deksametason termasuk golongan

    kerja lama, namun harganya lebih mahal. Karena pengobatan dengan kortikosteroid dalam

    waktu singkat pemakaian kedua obat tersebut tidak banyak perbedaan mengenai efek

    sampingnya. Tapering off hendaknya dilakukan cepat karena umumnya penyebab SSJ ialah

    eksogen (alergi), jadi berbeda dengan penyakit autoimun (endogen) misalnya pemfigus.

    Bila tapering off tidak lancar hendaknya dipikirkan faktor lain. Mungkin antibiotik yang

    sekarang diberikan menyebabkan alergi sehingga masih timbul lesi baru. Kalau demikian

    harus diganti dengan antibiotik lain. Kemungkinan lain kausanya bukan alergi obat, tetpi

    infeksi (pada sebagian kecil kasus). Jadi kultur darah hendaknya dikerjakan. Cara

    pengambilan sampel yng terbaik ialah kulit tempat akan diambil darah dikompres dengan

    spirtus dilutus dengan kasa steril selma jam untuk menghindari kontaminasi.

    Pada waktu penurunan dosis kortikosteroid sistemik dapat timbul milaria kristalia yang sering

    disangka sebagai lesi baru dan dosis kortikosteroid dinaikkan lagi, yang seharusnya tetap

    diturunkan.

    Dengan dosis kortikosteroid setinggi itu, maka imunitas pasein akan berkurang, karena itu

    harus diberikan antibiotik untuk mencegah terjadinya infeksi, misalnya bronkopnemonia

    yang dapat menyebabkan kematian. Antibiotik yang dipilih, hendaknya yang jarangmenyebabkan alergi, berspektrum luas, bersifat bakterisidal dan tidak atau sedikit

    nefrotoksik. Hendaknya antibiotik yang akan diberikan jangan yang segolongan atau yang

    rumusnya mirip dengan antibiotik yang diduga menyebabkan alergi atau obat sulfa. Hal ini

    untuk mencegah sensititasi silang. Obat yang memenuhi syart tersebut misalnya

    siprofloksasin 2 x 400 mg iv. Klindamisin meskipun tidak berspektrum luas juga cukup

    efektif bagi kuman anaerob, dosisnya 2 x 600 mg iv sehari. Obat lain juga dapat digunakan

    misalnya seftriakson dengan dosis 2 gram iv sehari 1 x 1. Untuk mengurangi efek samping

    kortikosteroid diberikan diet yang miskin garam dan tinggi protein, karena kortikosteroid

    bersifat katabolik. Setelah seminggu diperiksa pula kadar elektrolit dalam darah. Bila terdapat

    penurunan k dapat diberikan KCL 3 x 500 mg per os.

    Hal yang perlu diperhatikan ialah mengatur keseimbangan cairan/elektrolit dan nutrisi,

    terlebih-lebih karena pasien sukar atau tidak dapat menelan akibat lesi di mulut dan

    tenggorokan dan kesadaran dapat menurun. Untuk itu dapat diberikan infus, misalnya

    dekstrose 5%, NaCl 0,9% dan laktat Ringer berbanding 1 : 1 : 1 dalam 1 labu yang diberikan

    8 jam sekali.

  • 5/26/2018 Makalah Pbl Blok 15

    11/13

    11

    Jika dengan terapi tersebut belum tampak perbaikan selama 2 hari, maka dapat diberikan

    transfusi darah sebanyak 300 cc selama 2 hari berturut-turut. Efek transfusi darah (whole

    blood) ialah sebagai imunorestorasi. Bila terdapat leukopenia prognosisnya menjadi buruk,

    setelah diberi transfusi leukosit cepat menjadi normal.

    Selain itu darah juga mengandung banyak sitokin dan leukosit, jadi meninggikan daya tahan.

    Jadi indikasi pemberian transfusi darah SSJ dan NET adalah :

    Bila terlah diobati dengan kortikosteroid dengan dosis adekuat setelah 2 hari belum

    ada perbaikan. Dosisi adekuat untuk SSJ 30 mg deksametason sehari dan NET 40 mg

    sehari.

    Bila terdapat purpura generalisata.

    Jika terdapat leukopenia.

    Tentang kemungkinan terjadinya polisitemia tidak perlu dikhawatirkan karena pemberian

    darah untuk transfusi hanya selama 2 hari. Hb dapat sedikit naik namun cepat turun.

    Pada kasus dengan purpura yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000

    mg sehari iv.2

    Terapi topikal tidak sepenting terapi sistemik. Pasien dimandikan dengan larutan

    permananfan kalikus 1 : 10.000. Lesi pada bibir dioleskan dengan kanalog in orabase.

    Konsultasi ke bagian oftalmologi untuk kelainan pada mata. Biasanya dokter mata

    memberikan airmata artifisial atau gentamisin tetes mata bila ada dugaan infeksi sekunder.

    Secara rutin pasien juga kita konsultasikan ke bagian kulit kelamin untuk perawatan yang

    komprehensif. Konsultasi ke bgian bedah plastik sehubungan dengan perawatan lesi kulit

    terbuka yang biasanya dirawat sebagaimana luka bakar.6

    Prognosis

    Jika dilakukan tindakan tepat dan cepat, maka prognosis cukup memuaskan. Bila terdapat

    purpura yang luas dan leukopenia prognosisnya lebih buruk. Kematian berkisar antara 5-15%

    pada kasus berat dengan berbagai komplikasi atau pengobatan terlambat dan tidak memadai.

    Kematian biasanya terjadi disebabkan oleh gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit,

    bronkopneumonia serta sepsis.

  • 5/26/2018 Makalah Pbl Blok 15

    12/13

    12

    Pencegahan

    Obat yang disangka sebagai kausanya segera dihentikan, termasuk obat sulfa, jamu atau zat

    adiktif lainnya.

    Kesimpulan

    Diagnosis Sindrom Stevens Johnson terutama dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pada

    umumnya disebabkan reaksi terhadap obat terutama sulfa, -lactam, imidazol dan NSAID,

    kemungkinan infeksi juga harus dipikirkan. Lesi kulit terutama vesikel dan bula.

    Penatalaksanaan lebih bersifat simtomatik dan konservatif, kecuali lesi terbuka perlu

    kooardinasi dengan unti luka bakar.

    Prognosis cukup baik dengan kemungkinan timbulnya simblefaron dan angk akematian

    kurang dari 0,5%.

  • 5/26/2018 Makalah Pbl Blok 15

    13/13

    13

    Daftar Pustaka

    1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jakarta: Interna

    Publishing; 2009. h.2861-8.

    2. Hamzah M, Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. 5th

    Ed. Jakarta: Fakultas

    Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. h.163-7.

    3. Darmstadt GL, Sidbury R. Stevens johnson syndrome. In: Behrman RE, Kliegman

    RM, Jenson HB: Textbook of pediatrics. 17th Ed. Philadelphia: WB Saunders; 2004.

    h.2191-4.

    4. Burns BT, Graham R. Lecture notes on dermatology. 8 th Ed. Jakarta: Erlangga

    Medical Series; 2005. h.152-4.

    5. Mariana Y, Setiabudy R. Farmakologi dan terapi. 5

    th

    Ed. Jakarta: Fakultas KedokteranUniversitas Indonesia; 2012. h.599-604.

    6. Volcheck GW. Clinical evaluation and management of drug hypersensitivity.

    Immunol Allergy Clin N Am. 2004. h.357-71.