PBL Blok 15 Lepra

28
Judul Teo Wijaya 102012121* *mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Alamat: Jl. Arjuna Utara No. 6 Jakarta 11510 E-mail: teo.wijaya @civitas.ukrida.ac.id Abstrak Penyakit Hansen atau yang dikenal juga sebagai lepra, tetap merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di seluruh dunia. Penyebab mikroba dalam penyakit Hansen adalah Mycobacterium leprae , sebuah organisme asam - cepat yang sulit untuk tumbuh in vitro. anifestasi penyakit bervariasi berdasarkan respon imun host dan dapat berkisar dari tuberkuloid ke kusta lepromatous ( pausibasiler hingga multibasiler ). Penyakit Hansen biasanya mempengaruhi kulit , saraf , dan mata , dan pasien mungkin hadir dengan lesi kulit , kelemahan , mati rasa , nyeri mata , atau kehilangan penglihatan . Diagnosis pasti didasarkan pada kombinasi temuan pemeriksaan fisik dan biopsi kulit dan / atau smear . Terapi antibakteri modern biasanya terdiri dari kombinasi dapson dan rifampisin dengan atau tanpa clofazimine. Penyakit Hansen berhubungan dengan tipe 1 ( reversal ) dan tipe 2 ( eritema nodosum leprosum ) reaksi imunologi , di mana proses penyakit muncul memburuk secara dramatis . Reaksi ini dapat terjadi setiap saat sebelum , selama, atau setelah pengobatan. Diagnosis yang 1

description

Lepra

Transcript of PBL Blok 15 Lepra

Judul Teo Wijaya102012121**mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida WacanaAlamat: Jl. Arjuna Utara No. 6 Jakarta 11510E-mail: [email protected]

Abstrak Penyakit Hansen atau yang dikenal juga sebagai lepra, tetap merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di seluruh dunia. Penyebab mikroba dalam penyakit Hansen adalah Mycobacterium leprae , sebuah organisme asam - cepat yang sulit untuk tumbuh in vitro. anifestasi penyakit bervariasi berdasarkan respon imun host dan dapat berkisar dari tuberkuloid ke kusta lepromatous ( pausibasiler hingga multibasiler ). Penyakit Hansen biasanya mempengaruhi kulit , saraf , dan mata , dan pasien mungkin hadir dengan lesi kulit , kelemahan , mati rasa , nyeri mata , atau kehilangan penglihatan . Diagnosis pasti didasarkan pada kombinasi temuan pemeriksaan fisik dan biopsi kulit dan / atau smear . Terapi antibakteri modern biasanya terdiri dari kombinasi dapson dan rifampisin dengan atau tanpa clofazimine. Penyakit Hansen berhubungan dengan tipe 1 ( reversal ) dan tipe 2 ( eritema nodosum leprosum ) reaksi imunologi , di mana proses penyakit muncul memburuk secara dramatis . Reaksi ini dapat terjadi setiap saat sebelum , selama, atau setelah pengobatan. Diagnosis yang tepat , terapi antimikroba , dan pengobatan reaksi secara dramatis mengurangi komplikasi penyakit

Kata kunci : penyakit Hansen, lepra, Mycobacterium leprae

Abstract Hansen's disease, also known as leprosy, remains an important public health problem throughout the world. The causative microbe in Hansen's disease is Mycobacterium leprae, an acid-fast organism that is difficult to grow in vitro. Manifestations of disease vary based on host immune response and can range from tuberculoid to lepromatous leprosy (paucibacillary to multibacillary disease). Hansen's disease typically affects the skin, nerves, and eyes, and patients may present with skin lesions, weakness, numbness, eye pain, or loss of vision. Definitive diagnosis is based on a combination of physical examination findings and skin biopsy and/or smear. Modern antibacterial therapy typically consists of combinations of dapsone and rifampin with or without clofazimine. Hansen's disease is associated with type 1 (reversal) and type 2 (erythema nodosum leprosum) immunologic reactions, during which the disease process appears to worsen dramatically. These reactions may occur at any time before, during, or after treatment. Antibacterial therapy should usually be continued during these reactions. Prompt diagnosis, antimicrobial therapy, and treatment of reactions dramatically reduce complications of the disease.Key words : Hansens disease, leprosy, Mycobacterium lepraeI. Pendahuluan Lepra (penyakit hansen) adalah infeksi menahun yang terutama ditandai oleh adanya kerusakan saraf perifer (saraf diluar otak dan medulla spinalis), kulit, selaput lendir hidung, buah zakar (testis) dan mata yang disebabkan oleh Mycobacterium Leprae yang bersifat intraseluler obligat, saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas.Penyakit ini terutama menyerang kulit, folikel rambut, kelenjar keringat, dan air susu ibu, jarang didapat dalam urin. Sputum dapat banyak mengandung Mycobacterium Leprae yang berasal dari traktus respiratorius atas. Tempat implantasi tidak selalu menjadi tempat lesi pertama. Dapat menyerang semua umur, anak-anak lebih rentan daripada orang dewasa.Sekitar 50% penderita kemungkinan tertular karena berhubungan dekat dengan seseorang yang terinfeksi. Infeksi juga mungkin ditularkan melalui tanah, armadillo, kutu busuk dan nyamuk. Sekitar 95% orang yang terpapar oleh bakteri lepra tidak menderita lepra karena sistem kekebalannya berhasil melawan infeksi. Infeksi dapat terjadi pada semua umur, paling sering mulai dari usia 20an dan 30an. bentuk lepromatosa 2 kali lebih sering ditemukan pada pria.

II. Pembahasan Anamnesis Pada anamnesis yang perlu ditanyakan yaitu : identitas, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat obstri dan ginekologi (khusus wanita). Riwayat penyakit dalam keluarga, anamnesis sususan system dan anamnesis pribadi (meliputi keadaan social ekonomi, budaya, kebiasaan, obat-obatan dan lingkungan). Identitas meliputi nama, umur, jenis kelamin, nama orang tua atau anggota keluarga terdekat sebagai penanggung jawab, alamat, pendidikan, pekerjaan, suku bangsa dan agama. Indentitas perlu ditanyakn untuk memastikan bahwa pasien yang dimaksud dan sebagai data penelitian. Keluhan utama adalah keluhan yang dirasakan pasien yang membawa pasien ke dokter atau mencari pertolongan. Dari hasil anamnesa didapatkan data bahwa pasien dating dengan keluhan adanya bercak putih pada lengan kiri, sejak 1 bulan dan tidak ada rasa gatal. Riwayat penyakit sekarang merupakan cerita yang kronologis, terperinci dan jelas mengenai keadaan kesehata pasien sejak sebelum keluhan utama sampai pasien dating berobat. Riwayat penyakit terdahulu untuk mengetahui kemungkinan-kemungkinan danya hubungan penakit yang pernah ia derita dengan penyakitnya sekarang. Riwayat penyakit keluarga penting untuk mencari kemungkinan penyakit herediter, familial atau penyakit infeksi. Riwayat pribadi meliputi data-data social, ekonomi, pendidikan dan kebiasaan. Perlu ditanyakan apakah pasien mengalami kesulitan dalam kehidupan sehari-hari seperti masalah keuangan, pekerjaan dan asebagainya. Kebiasaan pasien yang harus ditanyakan kebiasaan merokok, minum alcohol dan obat-obatan termasuk obat-obatan terlarang. Pasien yang sering melakukan perjalan juga harus ditanyakan untuk mencari kemungkinan tertular penyakit infeksi tertentu. Yang tidak kalah penting adalah menyakan tentang lingkungan tempat tinggal, termasuk keadaan rumah, sanitasi, sumber air minum, ventilasi, tempat pembuangan samapah dan sebagainya. [footnoteRef:1] [1: Sudoyo AW, Setiyohadi B. Buku ajar penyakit dalam. Ed 5. Jakarta : INterna Publishing; 2009.h.25-76, 2871-80]

Pemeriksaan fisik Pada pemeriksaan fisik yang perlu dilakukan adalah dengan memastikan status lokalisasi dari bercak putih tersebut. Perlu dilakukan pemeriksaan pada seluruh bagia tubuh, jika memang bercak putih sudah menyebar ke seluruh tubuh. Selain itu, perlu juga memeriksa efloresensi atau sifat dari luka tersebut. Pada setiap kriteria dari lepra, efloresensi juga mempunyai sifat yang berbeda. Pada lepra tipe TT (tuberculosis), efloresensi berupa macula eritematosa bulat atau lonjong, permukaan kering, batas tegas, anestesi, bagian tengah sembuh, bakteriologi negative, tes lepromin positif kuat. Tipe BT (borderline tuberculoid), efloresensi berupa macula eritomatosa tidak teratur, batas tidak tegas, kering, mula-mula akan ada tanda kontraktur, anestesi, bakteriologi bisa negative atau positif. Tipe BB (mid borderline) macula eritomatosa, menonjol, bentuk tidak teratur, kasar ada lesi satelit, penebalan saraf dan kontraktur, pemeriksaan baketeriologi positif, tes lepromin negative. Tipe BL (borderline lepramatosa) berupa macula infiltrate merah mengkilat, tidak teratur, batas tidak tergas, pembengkakan saraf, pemeriksaan bakteriologi ditemukan banyak basil, tes lepromin negative. Tipe LL ( lepramatosa) berupa infiltrate difus berupa nodul simetri, permukaan mengkilat, saraf terasa sakit, anestesi, pemeriksaan bakteriologi positif kuat, tes lepromin negative.[footnoteRef:2] [2: Siregar RS. Atlas berwarna saripati penyakit kulit. Ed 2. Jakarta : EGC; 2004.h.154-8]

Selain pemeriksaan fisik kulit, harus pula dilakukan pemeriksaan saraf tepi pasien (n.ulnaris, n.radialis, n.aurikulas magnus, n.poplitea), mata (lagoftalmus), tulang (kontraktur atau absorbs) dan rambut (alis mata, kumis dan lesi sendiri). Pemeriksaan anestesi (baal) dan sensitifitas bisa dilakukan dengan tes panas dingin ataupun dengan jarum. Tes keringat dengan melakukan tes Gunawan, yaitu dnegan pensil tinta dibuat garis pada lesi hingga keluar lesi, lalu pasien melakukan olahraga samapai berkeringat. Selanjutnya dilihat pada bagian mana tinta melebur karena keringat dan bagian tinta yang tidak melebur karena anhidrasi.[footnoteRef:3] Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan macula hipopigmentasi positif dengan anestesi. [3: Wolf K, Johnson RA. Fritz Patricks color atlas and sypnosis of clinical dermatology. 6th ed. USA: The McGraw-Hill Companies; 2009.p.665-71]

Pemeriksaan Penunjang1. Pemeriksaan bakterioskopik (kerokan jaringan kulit) Pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk membantu mengegakkan diagnosis dan pengamatan pengbatan. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan dan kerokan mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan terhadap basil tahan asam (BTA), antara lain dengan ZIEHL-NEELSEN. Cara pengambilan bahan dengan menggunakan scalpel steril. Setelah lesi tersebut didesinfeksi kemudian dijepit antara ibu jari dan jari telunjuk agar menjadi iskemik, sehingga kerokan jaringan mengandung sedikit mungkin darah yang akan menganggu gambaran sediaan. Irisan yang dibuat harus sampai di dermis, melampaui subepidermal clear zone agar mencapai jaringan yang diharapkan banyak mengandung sel Virchow (sel lepra) yang didalamnya mengandung kuman M.leprae. Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan dinyatakan dengan indeks bakteri (IB) dengan nilai dari 0 sampai +6. 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapang pandang (LP) +1 : 1 - 10 kuman BTA ditemukan dalam 100 lapangan pandangan.+2 : 1 - 10 kuman BTA ditemukan dalam 10 lapangan pandangan.+3 : 1 - 10 kuman BTA ditemukan dalam rata-rata 1 lapangan pandangan+4 : 10 - 100 kuman BTA ditemukan dalam rata-rata 1 lapangan pandangan+5 : 100 1000 kuman BTA ditemukan dalam rata-rata 1 lapangan pandang+6 : > 1000 kuman BTA ditemukan dalam rata-rata 1 lapangan pandangan. Pemeriksaan dengan menggunakan mikroskop cahaya dengan minyak emersi pada pembesaran lensa obyektif 100x. IB seseorang adalah IB rata-rata semua lesi yang dibuat sediaan. Indeks morfologi (IM) adalah persentase bentuk solid dibandingkan dengan jumlah solid dan nonsolid. Jumlah M. leprae yang berbentuk utuh atau solid per 100 Mycobacterium leprae 1. Bentuk utuh (solid) dengan dinding yang tidak terputus dan menyerap zat warna secara merata 2. Bentuk pecah-pecah atau terputus-putus (fragmented) dengan dinding terputus sebagian atau seluruhnya. 3. Bentuk butir-butir (granulated): seperti titik-titik (butir-butir) tersusun membentuk garis lurus atau berkelompok. 4. Bentuk globus : sejumlah kuman kusta (50 200 kuman) yang utuh (solid) atau putus-putus (fragmented) atau butir-butir (granulated) berkelompok dalam suatu bentuk ikatan atau lingkaran. 5. Bentuk kelompok (clumps) : sejumlah kuman kusta bentuk butir-butir (granulated) membentuk kelompok (pulau-pulau) tersendiri dengan lebih dari 500 BTA. 2. Pemeriksaan histopatologik Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam darah ada yang mempunyai nama khusus, antara lain sel Kupffer dari hati, sel alveolar dari paru, sel glia dari otakm dan yang dari kulit disebut histiosit. Salah tugas makrofag adalah melakukan fagositosis. Kalau ada kuman asuk, akibatnya akan bergantung pada system imunitas selular (SIS) orang itu. Apabila SIS-nya tinggi, makrofag akan mampu mempafgosit M.leprae. datangnya histiosit ke tempat kuman disebabkan karena proses imunologik dengan adanya factor kemotatik.

3. Pemeriksaan serologic Pemeriksaan serologic kusta didasarkan atas terbentuknya antibody pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M.leprae. antibody pada tubuh seseorang yang terinfeksi dapat bersifat spesifik terhadap M.leprae, yaitu antibody anti phenolic glycolipid -1 (PGL-1) dan antibody antiprotein 16 kD serta 35 kD.

Diagnosis kerja Penyakit kusta atau Morbus Hansen adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae yang terjadi pada kulit dan saraf tepi. Manifestasi klinis dari penyakit ini sangat bervariasi dengan spektrum yang berada diantara dua bentuk klinis yaitu lepromatosa dan tuberkuloid. Pada penderita kusta tipe lepromatosa menyerang saluran pernafasan bagian atas dan kelainan kulit berbentuk nodula, papula, makula dan dalam jumlah banyak. Pada penderita kusta tipe tuberkuloid lesi kulit biasanya tunggal dan jarang, batas lesi tegas, mati rasa.

Diagnosis banding 1. Vitiligo Makula putih berbatas tegas dan mengenai seluruh tubuh yang mengandung sel melanosit. Vitiligo merupakan hipomelanosis idiopatik yang ditandai dengan makula putih yang dapat meluas. Patogenesis vitiligo ada beberapa yaitu hipotesis autoimun, hipotesis neurohumoral, hipotesis autotoksik dan pajanan terhadap bahan kimia.Hipotesis autoimun, ada hubungan dengan hipotiroid Hashimoto, anemia pernisiosa dan hipoparatiroid. Hipotesis neurohumeral, karena melanosit terbentuk dari neural crest maka diduga faktor neural berpengaruh. Hasil metabolisme tirosin adalah melanin dan katekol. Kemungkinan ada produk intermediate dari katekol yang mempunyai efek merusak melanosit. Pada beberapa lesi ada gangguan keringat, dan pembuluh darah, terhadap respon transmitter saraf misalnya setilkolin. Hipotesis autotoksik,hasil metabolisme tirosin adalah DOPA lalu akan diubah menjadi dopaquinon. Produk produk dari DOPA bersifat toksik terhadap melanin. Pajanan terhadap bahan kimia, adanya monobenzil eter hidrokuinon pada sarung tangan dan fenol pada detergen.Gejala klinis vitiligo adalah terdapat repigmentasi perifolikuler. Daerah yang paling sering terkena adalah bagian ekstensor tulang terutama bagian atas jari, periofisial pada mata, mulut dan hidung, tibialis anterior dan pergelangan tangan bagian fleksor.Lesi bilateral atau simetris. Mukosa jarang terkena, kadang kadang mengenai genitalia eksterna, puting susu, bibir dan ginggiva.Vitiligo dapat dibagi atas dua yaitu lokal dan generalisata. Vitiligo lokal dapat dibagi tiga yaitu vitiligo fokal adalah makula satu atau lebih tetapi tidak segmental, vitiligo segmental adalah makula satu atau lebih yang distribusinya sesuai dengan dermatom, dan mukosal yang hanya terdapat pada mukosa. Vitiligo generalisata juga dapat dibagi tiga yaitu vitiligo acrofasial adalah depigmentasi hanya pada bagian distal ekstremitas dan muka serta merupakan stadium awal vitiligo generalisata, vitiligo vulgaris adalah makula yang luas tetapi tidak membentuk satu pola, dan vitiligo campuran adalah makula yang menyeluruh atau hampir menyeluruh merupakan vitiligo total.

2. Ptiriasis versikolorPenyakit ini disebabkan oleh Malaize furfur. Patogenesisnya adalah terdapat flora normal yang berhubungan dengan Ptiriasis versikolor yaitu Pitysporum orbiculare bulat atau Pitysporum oval. Malaize furfur merupakan fase spora dan miselium. Faktor predisposisi ada dua yaitu faktor eksogen dan faktor endogen. Faktor endogen adalah akibat rendahnya imun penderita dsedangkan faktor eksogen adalah suhu, kelembapan udara dan keringat. Hipopigmentasi dapat disebabkan oleh terjadinya asam dekarbosilat yang diprosuksi oleh Malaize furfur yang bersifat inhibitor kompetitif terhadap enzim tirosinase dan mempunyai efek sitotoksik terhadap melanin.Gejala klinis Ptiriasis versikolor, kelainannya sangat superfisialis, bercak berwarna warni, bentuk tidak teratur sampai teratur, batas jelas sampai difus, fluoresensi dengan menggunakan lampu wood akan berwarna kuning muda, papulovesikular dapat ada tetapi jarang, dan gatal ringan. Secara mikroskopik akan kita peroleh hifa dan spora ( spaghetti and meat ball).

3. Ptiriasis alba Bentuk dermatitis yang tidak spesifik dan belum diketahui penyebabnya. Ditandai dengan adanya bercak kemerahan dan skuama halus yang akan menghilang serta meninggalkan area yang depigmentasi pitiriasis alba sering dijumpai pada anak berumur 3-16 tahun (30-40%). Wanita dan pria sama banyak. Lesi berbentuk bulat, oval atau plakat yang tak teratur. Warna merah muda atau sesuai warna kulit dengan skuama halus. Setelah eritema menghilang, lesi yang dijumpai hanya depigmentasi dengan skuama halus. Diduga penyebab penyakit ini adalah karena danya infeksi Streptococcus, tetapi belum dapat dibuktikkan. Atas dasar riwayat penyakit dan distribusi lesi diduga impetigo dapat merupakan factor pencetus. Sabun dan sinar matahari bukan merupakan factor yang berpengaruh.

Etiologi Mycobacterium adalah bakteri berbentuk batang aerob yang tidak membentuk spora. Meskipun bakteri ini tidak terwarnai dengan mudah, sekali terwarnai, bakteri ini dapat menahan warnanya walaupun diberikan asam atau alcohol dan oleh sebab itu, disebut basil tahan asam. Mycobacterium leprae ini belum daikultivasi pada medium bakteriologik tidak hidup. Organisme ini menyebabkan lepra. Terdapat lebih dari 10 juta kasus lepra, terutama di Asia. Basil tahan-asam yang khas secara tunggal, dalam bentuk kelompok yang parallel, atau massa globular biasanya ditemukan pada serpihan kulit atau membran mukosa (terutama septum nasal) pada lepra lepromatosa.[footnoteRef:4] Basilnya sering ditemukan dalam sel endotel pembuluh darah atau dalam sel mononuclear. Ketika basil yang berasal dari lepra manusia (serpihan jaringan bawah nasal) diinokulasi ke dalam kaki tikus, lesi granulomatosa local timbul dengan multiplikasi basil yang terbatas. Binatang pemakan serangga (trenggiling) yang diinokulasi mengalami lepra lepromatosa yang hebat. [4: Jawetz, Melnick, Adelberg. Mikrobiologi kedokteran. Jakarta: EGC; 2007.h.355]

Pathogenesis Sebenarnya Mycobacterium leprae mempunyai pathogenesis dan daya inhasi yang rendah, sebab penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejala yang lebih berat. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat penyakit, tidak lain disebabkan oleh respons imun yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Gejala klinisnya lebih sebanding dengan tingkat reaksi selularnya daripada intensitas infeksinya. Intensitas respon imun spesifik diperantai sel terhadap M. leprae berkaitan kelas penyakit histologic dan klinis. Individu dengan penyakit tuberkuloid poler memiliki respon seluler yang lebih jinak terhadap M.leprae dan beban basiler yang rendah sedangkan pasien lepra lepramatosa tidak memiliki respon seluler yang dapat dideteksi terhadap basil lepra. Defek pada imunitas yang diperantai sel (imunitas seluler) pada pasien lepramatosis sangatlah khas. Mereka tidak menderita karena peningkatan morbiditas yang menyertai infeksi oleh pathogen seperti virus, protozoa, atau jamur yang memerlukan imunitas seluler dan mereka tidak memiliki peningkatan risiko neoplasma. Pasien lepra lepramatosa memiliki peningkatan jumlah limfosit CD8+ (supresor) dalam sirkulasi yang dapat diaktifkan oleh antigen M.leprae secara spesifik, dan limfosit yang ada pada granulomanya hampir semata-mata CD8+. Sebaliknya sel CD4+(penolong) dominan diantara sel T pada lesi kulit tubuh pasien lepra tuberkuloid. Pada akhir tuberkuloid paucibacillary spektrum, kulit dan saraf lesi memiliki karakteristik yang berkembang dengan baik T helper tipe 1 sel respon imun ( Th1 ) - dimediasi dan memiliki beberapa asam - cepat basil yang menunjukkan adanya organisme . Bentuk kusta biasanya dikaitkan dengan beban rendah organisme dan beberapa lesi kulit . Sebaliknya , pada akhir lepromatous multibasiler spektrum, Th2 -jenis respon imun seluler mendominasi , dengan berbagai lesi kulit yang mengandung banyak basil asam - cepat . Bentuk hasil infeksi pada beberapa lesi kulit progresif dan dapat secara ekstensif melibatkan saraf perifer . Antara kedua ekstrem ini fenotipik adalah kontinum sangat bervariasi dari penyakit klinis yang ditandai oleh respon kekebalan dinamis untuk M. leprae .

Reaksi kusta Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit yang sebenarnya sangat kronik. Reaksi imun dapat menguntungkan, tetapi dapat pula merugikan yang disebut reaksi imun patologik, dan reaksi kusta ini tergolong didalamnya. Reaksi ini dapat terjadi pada penderita sebelum mendapat pengobatan maupun sesudah pengobatan. Namun sering terjadi pada 6 bulan sampai 1 tahun sesudah memulai pengobatan. Hal-hal yang mempermudah terjadinya reaksi kusta, misalnya : 1. Penderita dalam kondisi lemah 2. Kurang gizi Jenis reaksi sesuai proses terjadinya dibedakan atas 2 tipe yaitu: reaksi tipe I dan reaksi tipe II a. Reaksi Tipe I ( Reaksi reserval, Reaksi Up grading) Terjadi pada penderita tipe PB maupun MB dan kebanyakan terjadi pada 6 bulan pertama pengobatan, reaksi tipe I terjadi akibat meningkatnya respon kekebalan seluler secara cepat terhadap kuman kusta di kulit dan saraf penderita.Disini terjadi pergeseran tipe kustanya kearah PB. 1.Gejala-gejalaGejala reaksi dapat dilihat pada perubahan lesi kulit, neuritis (nyeri tekan pada saraf), gangguan fungsi saraf tepi dan kadang-kadang gangguan keadaan umum penderita (konstitusi). 2. Menurut keadaan reaksi, maka reaksi kusta tipe I ini dapat dibedakan menjadi reaksi ringan dan reaksi berat. 3. Perjalanan reaksi dapat berlangsung selama 6-12 minggu atau lebih.

b. Reaksi Tipe II (Reaksi ENL= Reaksi Eritema Nodosom Leprosum) Terjadi pada penderita tipe MB dan merupakan reaksi humoral, dimana kuman kusta yang utuh maupun tidak utuh menjadi antigen. Tubuh membentuk antibodi dan komplemen (Antigen + antibodi + komplemen = immunokompleks). 1.Gejala-gejala Gejala reaksi dapat dilihat pada perubahan lesi, neuritis (nyeri tekan) dan gangguan fungsi saraf tepi, gangguan konstitusi dan komplikasi pada organ tubuh. 2. Menurut keadaan reaksi, maka reaksi dapat dibedakan reaksi ringan dan reaksi berat. 3.Perjalanan reaksi biasanya berlangsung selama 3 minggu atau lebih. Kadang-kadang timbul berulang-ulang dan berlangsung lama.

Gejala klinis Diagnosis penyakit kusta didasarkan gmabaran klinis, bakteriologis, histopatologis dan imunologis. Diantara ketiganya, diagnosis secara klinislah yang terpenting dan paling sederhana. Bila kuman M. leprae masuk ke dalam tubuh seseorang, dapat timbul gejala klinis sesuai dengan kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe klinis bergantung pada system imunitas selular (SIS) penderita. Bila SIS baik akan tampak gambaran klinis kea rah tuberkuloid, sebaliknya SIS rendah memberikan gambaran lepromatosa. Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah sprektrum determinate pada penyakit kusta yang terdiri atas berbagai tipe atau bentuk, yaitu : TT: Tuberkuloid polar, bentuk yang stabil BT : Borderline tuberculoid BB : Mid borderline BL : Borderline lepromatous LL : Lepramatosa polar, bentuk yang stabil TT adalah tipe tuberkuloid polar, yakni tuberkuloid 100% merupakan tipe yang stabil, jadi berarti tidak ungkin berubah tipe. Begitu juga LL adalah tipe lepramatosa polar, yakni lepramatosa 100%, juga merupakan tipe yang stabil yang tidak mungkin berubah lagi. Sedangkan tipe antara Ti dan Li tipe borderline atau campuran, berarti campuran antar tuberkuloid dan lepramatosa. BB adalah tipe campuran yang terdiri atas 50% tuberkuloid dan 50% lepramatosa. BT dan Ti lebih banyak tuberkuloidnya, sedang BL dan Li lebih lepramatosanya. Tipe-tipe campuran ini adalah tipe yang labil, berarti dapat bebas beralih tipe, baik kea rah TT maupun ke arah LL. a. Tipe Tuberkuloid tuberkuloid (TT) Lesi berupa bercak makuloanestetik dan hipopigmentasi yang terdapat di semua tempat terutama pada wajah dan lengan, kecuali: ketiak, kulit kepala (scalp), perineum dan selangkangan. Batas lesi jelas berbeda dengan warna kulit disekitarnya. Hipopigmentasi merupakan gejala yang menonjol. Lesi dapat mengalami penyembuhan spontan atau dengan pengobatan selama tiga tahun.

b. Tipe borderline tuberkuloid (BT) Gejala pada lepra tipe BT sama dengan tipe TT, tetapi lesi lebih kecil, tidak disertai adamya kerontokan rambut, dan perubahan saraf hanya terjadi pembengkakan.

c. Tipe Mid Borderline (BB)Pada pemeriksaan bakteriologis ditemukan beberapa hasil, dan tes lepromin memberikan hasil negatif. Lesi kulit berbentuk tidak teratur, terdapat satelit yang mengelilingi lesi, dan distribusi lesi asimetris. Bagian tepi dari lesi tidak dapat dibedakan dengan jelas terhadap daerah sekitarnya. Gejala-gejala ini disertai adanya adenopathi regional.

d. Tipe Borderline Lepromatous (BL)Lesi pada tipe ini berupa macula dan nodul papula yang cenderung asimetris. Kelainan syaraf timbul pada stadium lanjut. Tidak terdapat gambaran seperti yang terjadi pada tipe lepromatous yaitu tidak disertai madarosis, keratitis, uslserasi maupun facies leonine.

e. Tipe Lepromatosa (LL)lesi menyebar simetris, mengkilap berwarna keabu-abuan. Tidak ada perubahan pada produksi kelenjar keringat, hanya sedikit perubahan sensasi. Pada fase lanjut terjadi madarosis (rontok) dan wajah seperti singa, muka berbenjol-benjol (facies leonin Epidemologi Masalah epidermologi masih belum terpecahkan, cara penularan belum diketahui pasti hanya berdasarkan anggapan kulit yaitu melalui kontak angsung antarkulit yang lama dan erat. Anggapan kedua ialah secara inhalasi, sebab M. leprae masih dapat hidup beberapa hari dalam droplet. Masa tunasnya sangat bervariasi antara 40 hari sampai 40 tahun umumnya beberapa tahun, rata-rata 3-5 tahun. Penyebaran penyakit kusta dari suatu tempat ke tempat lain sampai tersebar di seluruh dunia, tampaknya disebabkan oleh perpindahan penduduk yang terinfeksi penyakit tersebut. Factor-faktor yang perlu dipertimbangkan adalah pathogenesis kuman penyebab, cara penularan, keadaan social ekonomi dan lingkungan, varian genetic yang berhubungan dengan kerentanan, perubahan imunitas, dan kemungkinan adanya reservoir diluar manusia. Pemyakit kusta masa kini lain dengan kusta tempo dulu, tetapi meskipun demikian masih banyak hal-hal yang belum jelas diketahui, sehingga masih merupakan tantangan yang luas bagi para ilmuwan untuk pemecahannya. Kusta bukan penyakit keturunan. Kuman dapat ditemukan di kulit, folikel rambut, kelenjar keringat, dan air susus ibu, jarang didapat dalam urin. Sputum dapat banyak mengandung M. leprae yang bersal dari traktus respiratorius atas. Tempat implamantasi tidak selalu menjadi tempat lesi pertama. Dapat menyerang semua umur, anak-anak lebih rentan daripada orang dewasa. Di Indonesia penderita anak-anakdi bawah umur 14 tahun didapatkan 11,39%, tetapi anak di bawah umur 1 tahun jarang sekali. Saat ini usaha pencatatan penderita di bawah usia 1 tahun penting dilakukan untuk dicari kemungkinan ada tidaknya kusta kongenital. Frekuensi tertinggi terdapat pada kelompok umur antara 25-35 tahun.

Penatalaksanaan Non medika mentosa Pengobatan profilaksis dengan dosis yang lebih rendah dari pada dosis therapeutik. Vaksinasi dengan BCG yang juga mempunyai daya profilaksis terhadap lepra. Menjelaskan pada pasien bahwa penyakit ini bisa disembuhkan, tetapi pengobatan akan berlangsung lama, antara 12-18 bulan, untuk itu pasien harus rajin mengambil obat di puskesmas dan tidak boleh putus obat. Jika dalam masa pengobatan, tiba-tiba badan pasien menjadi demam, nyeri di seluruh tubuh, disertai bercak-bercak kemerahan, maka harus segera mencari pertolongan ke saranan pelayanan kesehatan. Penyakit ini mengganggu syaraf sehingga mungkin akan terjadi kecacatan jika tidak ada tindakan pencegahan. Cuci tangan dan kaki setiap sesudah bekerja dengan sabun, terutama yang banyak mengandung pelembab, bukan detergen. Rendam jari kaki/tangan sekitar 20 menit dengan air dingin. Apabila kulit sudah lembut, gosok kaki dengan busa agar kulit kering terkelupas. Untuk menambah kelembaban dapat diolesin minyak (baby oil). Secara teratur periksa kaki, apakah ada luka, kemerahan atau nyeri dan segera mencari pertolongan medis. Proteksi jari tangan dan kaki, misalnya memakai sepatu, hindari berjalan jauh atau menghindari bersentuhan dengan benda-benda tajam

Medika mentosa Obat antikusta yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah DDS (diaminodifenil sulfon) kemudian klofazimin dan rifampisin. Untuk mencegah resistensi, pengobatan tuberculosis telah menggunakan multi drug treatment (MDT). Sulfon Merupajan suatu derivate 4-4 diamino difenil sulfon (DDS=Dapson), obat leprostatik yang sudah lama digunakan namunn masih merupakan pilihan utama, sebelum terjadinya resistensi. Mekanisme kerja obat ini adalah dengan menghambat kompetitif Para Amino Benzoid Acid (PABA), sama dengan sulfonamide. Farmakokinetik Absorpsi : lambat pada saluran cerna. Kadar puncak dicapai dalam wakti 1-3 jam, dengan T sekitar 10-50 jam. Distribusi : tersebar ke seluruh jaringan dan cairan tubuh, dengan ikatan protein plasma 50-70%.Metabolism : di hati dengan cara asetilasi yang dipengaruhi oleh factor genetic. Eksresi : di urin, 70-80% dalam bentuk metabolit, yang dapat dihambat oleh Probenizid. Efek sampind DDS anatar lain adalah nyeri kepala, erupsi obat, anemia hemolitik, leukopenia, insomnia, neruropatia perifer, sindrom DDS, nekrolisis epidermal toksik, hepatitis.

Rifampisin Rifampisin adalah obat yang menjadi salah satu komponen kombinasi DDS dengan dosis 10 mg/kg berat badan; diberikan setiap hari atau setiap bulan. Rifampisin tidak boleh diberikan monoterapi, oleh karena memperbesar kemungkinan terjadinya resistensi, tetapi pada pengobatan kombinasi selalu diikutkan, tidak boleh diberikan setiap minggu atau setiap 2 minggu mengingat efek sampingnya. Efek samping yang harus diperhatikan adalah hepatotoksik, nefrotoksis, gejala gastrointestinal, flu-like syndrome dan erupsi kulit.

Klofazimin (lamprene)Dosis sebagai antikusta ialah 50 mg setiap hari, atau 100 mg selang sehari atau 3x100 mg setiap minggu. Juga bersifat antiinflamasi sehingga dapat dipakai pada penanggulangan ENL dengan dosis lebih yaitu 200 mg-300 mg/hari namun awitan kerja baru timbul setelah 2-3 minggu. Efek sampingnya ialah warna merah kecoklatan pada kulit, dan warna kekuningan pada sclera, sehingga mirip icterus, apalagi pada dosis tinggi, yang sering merupakan masalah dalam ketaatan berobat penderita. Efek samping lain yang hanya terjadi dalam dosis tinggi yakni nyeri abdomen, nausea, diare, anoreksi dan vomitus. Selain itu dapat terjadi penurun berat badan.

Komplikasi Trauma dan infeksi kronik sekunder dapat menyebabkan hilangnya jari-jari ataupun ekstremitas bagian distal, dan juga sering erjadi kebutaan. Fenomena Lucio, yang ditandai oleh arthritis, terbatas pada pasien penyakit lepramatosa difus, infiltrative, dan non-noduler. Kasus klinis yang berat menyerupai bentuk lain vaskulitis nekrotikans dan menyebabkan tinggi angka mortalitas. Amyloidosis sekunder merupakan penyakit pada penyakit lepramatosa berat, terutama pada eritema nodusum leprosum kronik. Prognosis Dengan adanya obat-obatan kombinasi, pengobatan menjadi lebih sederhana dan lebih singkta, serta prognosis menjadi lebih baik. Jika sudah ada ulkus dan kontraktur kronik, maka prognosis kurang baik.

Pencegahan Penyakit kusta adalah penyakit yang memberi stigma yang sangat besar besar pada masyarakat, sehingga penderita kusta menderita tidak hanya karena penyakitnya saja, juga dijauhi atau dikucilkan oleh masyarakat. Hal tersebut sebenarnya lebih banyak disebabkan karena cacat tubuh yang tampak menyeramkan. Cacat tubuh tersebut sebenarnya lebih banyak disebabkan karena cacat tubuh yang tampak menyeramkan. Cacat tubuh tersebut sebenarnya dapat dicegah apabila diagnosis dan penanganan penyakit dilakukan secara dini. Demikian pula diperlukan pengetahuan berbagai hal yang dapat menimbulkan kecacatan dan pencegahan kecacatan, sehingga tidak menimbulkan cacat tubuh yang tampak menyeramkan. Identifikasi dan pengobatan penderita kusta merupakan kunci pengawasan. Anak- anak dari orang tua yang teinfeksi diberikan kemoprofilaksis dengan sulfon sampai orang tua tidak infeksius lagi. Jika salah satu anggota dalam keluarga menderita lepra lepromatosa, maka profilaksis demikian diperlukan bagi anak-anak dalam keluraga tersebut.

Pencegahan primodialPencegahan primodial yaitu upaya pencegahan pada orang-orang yang belum memiliki faktor resiko penyakit kusta melalui penyuluhan. Penyuluhan tentang penyakit kusta adalah proses peningkatan pengetahuan, kemauan dan kemampuan masyarakat oleh petugas kesehatan sehingga masyarakat dapat memelihara, meningkatkan dan melindungi kesehatannya dari penyakit kusta.

Pencegahan primer Pencegahan primer merupakan upaya untuk mempertahankan seseorang yang telah memiliki faktor resiko agar tidak sakit.. Tujuan dari pencegahan primer adalah untuk mengurangi insidensi penyakit dengan cara mengendalikan penyebab-penyebab penyakit dan faktor-faktor resikonya. Untuk mencegah terjadinya penyakit kusta, upaya yang dilakukan adalah memperhatikan dan menjaga kebersihan lingkungan tempat tinggal, personal hygiene, deteksi dini adanya penyakit kusta dan penggerakan peran serta masyarakat untuk segera memeriksakan diri atau menganjurkan orang-orang yang dicurigai untuk memeriksakan diri ke puskesmas.

Pencegahan sekunder Pencegahan sekunder merupakan upaya pencegahan penyakit dini yaitu mencegah orang yang telah sakit agar sembuh, menghambat progresifitas penyakit dan menghindari komplikasi. Tujuan pencegahan sekunder adalah untuk mengobati penderita dan mengurangi akibat-akibat yang lebih serius dari penyakit yaitu melalui diagnosis dini dan pemberian pengobatan. Pencegahan sekunder ini dapat dilakukan dengan melakukan diagnosis dini dan pemeriksaan neuritis, deteksi dini adanya reaksi kusta, pengobatan secara teratur melalui kemoterapi atau tindakan bedah.

III. Kesimpulan Lepra (penyakit hansen) adalah infeksi menahun yang terutama ditandai oleh adanya kerusakan saraf perifer (saraf diluar otak dan medulla spinalis), kulit, selaput lendir hidung, buah zakar (testis) dan mata yang disebabkan oleh Mycobacterium Leprae yang bersifat intraseluler obligat, saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas.Penyakit ini terutama menyerang kulit, folikel rambut, kelenjar keringat, dan air susu ibu, jarang didapat dalam urin. Sputum dapat banyak mengandung Mycobacterium Leprae yang berasal dari traktus respiratorius atas. Gejala klinis dapat berupa kelainan saraf tepi (kerusakaan dapat bersifat sensorik, motorik, dan autonomik). Morbus Hansen jika didiagnosis dini dan pengobatan tepat dan segera menghasilkan prognosis baik.

IV. Daftar Pustaka 1. Sudoyo AW, Setiyohadi B. Buku ajar penyakit dalam. Ed 5. Jakarta : INterna Publishing; 2009.h.25-76, 2871-802. Siregar RS. Atlas berwarna saripati penyakit kulit. Ed 2. Jakarta : EGC; 2004.h.154-83. Wolf K, Johnson RA. Fritz Patricks color atlas and sypnosis of clinical dermatology. 6th ed. USA: The McGraw-Hill Companies; 2009.p.665-714. Jawetz, Melnick, Adelberg. Mikrobiologi kedokteran. Jakarta: EGC; 2007.h.3555. Djuanda A. Hamzah M, Aisah S. Ilmu penyakit kulit dan kelamin Ed-6. Jakarta : FKUI; 2011.h.73-886. Barakbah J. Prof. 2007. Atlas Penyakit Kulit dan Kelamin. Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Surabaya

1