Makalah Pbl Blok 12

34
DAFTAR ISI Daftar Isi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 3 B. Identifikasi Istilah 3 C. Rumusan Masalah 4 D. Tujuan Penulisan 4 BAB II PEMBAHASAN A. Anamnesis 5 B. Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Diagnostik 6 C. Diagnosis 7 1

description

huhuh

Transcript of Makalah Pbl Blok 12

DAFTAR ISI

Daftar Isi1BAB I PENDAHULUANA. Latar Belakang3B. Identifikasi Istilah3C. Rumusan Masalah4D. Tujuan Penulisan 4BAB II PEMBAHASANA. Anamnesis 5B. Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Diagnostik6C. Diagnosis 7D. Etiologi dan Epidemiologi13E. Patogenesis 16F. Pengobatan17G. Komplikasi 17H. Prognosis dan Pencegahan19BAB III PENUTUPA. Kesimpulan21Daftar Pustaka22

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar BelakangPenulisan makalah ini dilatarbelakangi skenario 2, yaitu ; Tn. B yang demam terus menerus yang disertai myalgia hebat.Jabaran skenario :Tn. B berumur 40 tahun mengalami panas tinggi menggigil sejak 4 hari yang lalu secara terus-menerus. Demam juga disertai myalgia hebat terutama dirasakan pada kedua betis pasien. 1 hari sebelum berobat, mata pasien mulai terlihat kuning. Daerah tempat tinggal pasien diketahui mengalami banjir 1 minggu yang lalu ( 3 hari sebelum pasien demam ). Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien lemah, suhu 39,5o C, TD = 100/70 mmHg. Pada pemeriksaan mata didapatkan conjungtiva anemis, scelera ikterik, dan terdapat subconjungtival injection. Hepar teraba 2 jari bawah arcus costae, bertepi tajam, lunak, nyeri tekan. Hb 10g/dL, Leuco 4100/uL, Trombocyt 220.000/ml, Albumin 3,9 gr/dL, Globulin 2,8 gr/dL, Bilirubin total 4,5 mg/dL, Ureum 116 mg/dL, Creatinin 3 mg/dL, Widal Styo : 1/80 Styh : 1/80. B. Identifikasi Istilah Myalgia : nyeri pada satu otot atau otot-otot. Conjungtiva anemis Scelera ikterik : menguninngnya bagian putih mata Subconjungtiva injection Widal Styo / Styh : pemeriksaan laboratorium untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman S. Typhi.C. Perumusan MasalahDari latar belakang skenario diatas, rumusan masalah diatas, antara lain ; Tn. B demam sejak 4 hari yang lalu secara terus-menerus. Demam disertai myalgia hebat pada kedua betis. Daerah tempat tinggal banjir 1 minggu yang lalu. Conjungtiva anemis, scelera ikterik, dan terdapat subconjungtiva injection.

Hipotesa :Panas tinggi menggigil disertai myalgia dan mata terlhat kuning merupakan gejala dari leptospirosis yang disebabkan oleh bakteri leptospira.

D. Tujuan PenulisanDengan adanya suatu perumusan masalah tersebut, mahasiswa diharapkan mampu untuk :1. Menjelaskan mengenai anamnesa dan pemeriksaan fisik serta penunjang dalam mendiagnosis penyakit tersebut2. Menjelaskan mengenai etiologi, penularan dan daerah penyebarannya.3. Menjelaskan mengenai komplikasi dan penatalaksanaannya.4. Menjelaskan mengenai prognosis dan pencegahannya.

BAB IIPEMBAHASAN

Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh mikroorganisme Leptospira interogans tanpa memandang bentuk spesifik serotipenya. Penyakit ini pertama kali dikemukakan oleh Weil pada tahun 1886 yang membedakan penyakit yang disertai dengan ikterus ini dengan penyakit lain yang yang juga menyebabkan ikterus. Bentuk yang beratnya disebut Weils disease. Penyakit ini dikenal dengan beberapa nama seperti mud fever, slime fever, swamp fever, autumnl fever, infectious jaundice, field fever, cane cutter fever dan lain-lain.Leptospirosis acapkali luput didiagnosa karena gejala klinis tidak spesifik, dan sulit dilakukan konfirmasi diagnosa tanpa uji laboratorium. Kejadian luar biasa leptospirosis dalam dekade terakhir di beberapa negara telah menjadikan leptospirosis sebagai salah satu penyakit yang termasuk the emerging ifectious disease.1-3A. Anamnesa Pada anamnesis, penting diketahui tentang riwayat pekerjaan pasien, apakah termasuk kelompok orang dengan resiko tinggi seperti petani, peternak, pekerja perkebunan, pekerja selokan atau bepergian ke hutan belantara, rawa dan sungai. Aktivitas yang dilakukan serta lingkungan sekitar pasien juga penting diketahui. Beberapa hal yang secara khusus perlu diperhatikan, seperti demam, cara timbul demam, lama demam, sifat harian demam, tinggi demam. Apakah demam yang muncul tiba-tiba atau berangsur tinggi. Apakah pasien mengalami nyeri kepala terutama dibagian frontal, mata merah atau fotopobia, rasa sakit terutama pada bagian paha,betis dan pinggang disertai nyeri tekan. Dan apakah ada keluhan gastrointestinal lain yang menyertai, seperti mual,muntah serta mencret-mencret.2

B. Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Diagnostik.Pemeriksaan fisik meliputi ;Inspeksi Inspeksi adalah cara memeriksa dengan melihat dan mengamati bagian tubuh pasien yang diperiksa. Inspeksi mulai bentuk tubuh, ukuran, warna kulit dan gerakan tubuh spontan.Palpasi Palpasi adalah pemeriksaan secara perabaaan dengan menggunakan rasa propioseptif ujung jari tangan. Dengan palpasi dapat diketahui, tepi atau batas organ tajam atau tumpul, permukaan halus atau kasar, konsistensi organ lunak atau keras kenyal, nyeri tekan atau tidak,dsb. Palpasi digunakan untuk meraba organ di bawah dinding tubuh atau kulit, seperti hati dan limpa.Perkusi Perkusi adalah pemeriksaan fisik dengan cara mengetuk permukaan tubuh dengan perantaraan jari tangan untuk mengetahui keadaan organ-organ di dalam tubuh. AuskultasiAuskultasi adalah pemeriksaan fisik dengan cara mendengarkan suara yang di dapat di dalam tubuh dengan bantuan alat yang disebut stetoskop. Alat ini berfungsi sebagai saluran pendengaran di luar tubuh untuk dapat merekam suara di sekitarnya.

Adanya leptospirosis, pada pemeriksaan fisik ditemukan : demam, bradikardia, nyeri tekan otot/myalgia, nyeri abdomen, ruam pada kulit, hepatomegali dan lain-lain.

Pemeriksaan penunjang diagnostik meliputi ;Kultur. Dengan mengambil spesimen dari darah atau css segera pada awal gejala. Dianjurkan untuk melakukan kultur ganda dan mengambil spesimen pada fase leptospiremia serta belum diberi antibiotik. Kulture urine diambil setelah 2 4 minggu onset penyakit. Pada spesimen yang terkontaminasi, inokulasi hewan dapat digunakan.Uji serologi. Pemeriksaan untuk mendeteksi adanya leptospira dengan pemeriksaan Polymerase Chain Reaction ( PCR ), silver stain, atau fluroscent antibodiy stain, dan mikroskop lapangan gelap.

Pada laboratorium darah rutin terdapat :Leukositosis, normal, atau sedikit menurun disertai gambaran neutrofilia dan LED meninggi. Pada urin dijumpai proteinuria, lekosituria, dan sedimen toraks. Terdapat hepatomegali, maka transaminase dan bilirubin meningkat. BUN, ureum dan kreatinin bisa mneingkat bila terdapat komplikasi ginjal.1,3

C. Diagnosis Gambaran Klinis pada leptospira :Sering : demam,menggigil, sakit kepala, meningismus, anoreksia, mialgia, conjungtival suffision, mual, muntah, nyeri abdomen, ikterus, hepatomegali, ruam kulit, fotopobi.Jarang : pneumonitis, hemaptoe, delirium, perdarahan, diare, spleenomegali, artralgia, gagal ginjal, peroferal, neuritis, pankreatitis, parotitis, epididymytis, hematemesis, aitesis, miokarditis.Masa inkubasi 2-26 hari, biasanya 7-13 hari dan rata-rata 10 hari. Leptospirosis mempunyai 2 fase penyakit yang khas yaitu fase leptospiremia dan fase imun.

Fase LeptospiremiaFase ini ditandai dengan adanya leptospira di dalam darah dan cairan serebrospinal, berlangsung secara tiba-tiba dengan gejala awal sakit kepala biasanya di frontal, rasa sakit pada otot yang hebat terutama pada paha, betis dan pinggang disertai nyeri tekan. Mialgia dapat diikuti dengan hiperestesi kulit, demam tinggi yang disertai menggigil, juga didapati mual dengan atau tanpa muntah disertai mencret, bahkan pada sekitar 25% kasus disertai penurunan kesadaran. Pada pemeriksaan keadaan sakit berat, brakikardi relatif, dan ikterus (50%). Pada hari ke 3-4 dapat dijumpai adanya konjungtiva suffusion dan fotofobia. Pada kulit dapat dijumpai rash yang berbentuk makular, makulopapular atau urtikaria. Kadang-kadang dijumpai splenomegali, hepatomegali, serta limfadenopati. Fase ini berlangsung 4-7 hari. Jika cepat ditangani pasien akan membaik, suhu akan kembali normal, penyembuhan organ-organ yang terlibat dan fungsinya kembali normal 3-6 minggu setelah onset. Pada keadaan sakit yang lebih berat demam turun setelah 7 hari diikuti oleh bebas demam selama 1-3 hari, setelah itu terjadi demam kembali. Keadaan ini disebut fase kedua atau fase imun.Fase ImunFase ini ditandai dengan peningkatan titer antibodi, dapat timbul demam yang mencapai suhu 40C disertai menggigil dan kelemahan umum. Terdapat rasa sakit yang menyeluruh pada leher, perut dan otot-otot kaki terutama otot betis. Terdapat perdarahan berupa epistaksis, gejala kerusakan pada ginjal dan hati, uremia, ikterik. Perdarahan paling jelas terlihat pada fase ikterik, purpura, ptechiae, epistaksis, perdarahan gusi merupakan manifestasi perdarahan yang paling sering. Conjungtiva injection dan conjungtival suffusion dengan ikterus merupakan tanda patognomosis untuk leptospirosis.Terjadinya meningitis merupakan tanda pada fase ini, walaupun hanya 50% gejala dan tanda meningitis, tetapi pleositosis pada CSS dijumpai pada 50-90% pasien. Tanda-tanda meningeal dapat menetap dalam beberapa minggu, tetapi biasanya menghilang setelah 1-2 hari. Pada fase ini leptospira dapat dijumpai dalam urin.

Diagnosis working : Pada umumnya diagnosis awal leptospirosis sulit, karena pasien biasanya datang dengan meningitis, hepatitis, nefritis, pneumonia, influenza, sindroma syok toksik, demam yang tidak diketahui asalnya dan diatetesis hemoragik, bahkan beberapa kasus datang sebagai pancreatitis. Pada pemeriksaan fisik dijumpai demam, brakikardia, nyeri tekan otot, hepatomegali dan lain-lain. Pada pemeriksaan laboratorium darah rutin bisa dijumpai lekositosis, normal atau sedikit menurun disertai gambaran neutrofilia dan laju endap darah yang meninggi. Pada urin dijumpai protein uria, leukosituria dan torak (cast). Bila organ hati terlibat, bilirubin direk meningkat tanpa peningkatan transaminase. BUN, Ureum dan kreatinin juga bisa meninggi bila terjadi komplikasi pada ginjal. Trombositopenia terdapat pada 50% kasus. Diagnosa pasti dengan isolasi leptospira dari cairan tubuh dan serologi.1Diagnosis diferensial : Demam tifoidMasa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-gejala klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari asimtomatik hingga gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi hingga kematian.Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat. Sifat demam adalah meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore hingga malam hari. Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, brakikardia relatif (brakikardia relatif adalah peningkatan suhu 1C tidak diikuti peningkatan denyut nadi, 8 kali per menit), lidah yang berselaput (kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta tremor), hepatomegali, splenomegali, meteroismus, ganggun mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis. Roseolae jarang ditemukan pada orang Indonesia.Pemeriksaan LaboratoriumPemeriksaan RutinWalaupun pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering ditemukan leukopenia, dapat pula terjadi kadar leukosit normal atau leukositosis. Leukositosis dapat terjadi walau tanpa disertai infeksi sekunder. Selain itu pula dapat ditemukan anemia ringan dan trombositopenia. Pada pemeriksaan hitung jenis leukosit dapat terjadi aneosinofilia maupun limfopenia. Laju endap darah pada demam tifoid dapat meningkat.SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus.Pemeriksaan lain yang rutin dilakukan adalah uji Widal dan kultur organisme. Sampai sekarang, kultur masih menjadi standar baku dalam penegakkan diagnostik. Selain uji widal, terdapat beberapa metode pemeriksaan serologi lain yang dapat dilakukan dengan cepat dan mudah serta memiliki sensitivitas dan spesifisitas lebih baik dari antara lain uji TUBEX, Typhidot dan dipstik.Uji WidalUji Widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman S. typhi. Pada uji Widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S. typhi dengan antibodi yang disebut aglutinin. Antigen yang digunakan pada uji Widal adalah suspensi Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud uji Widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu:a). Aglutinin O (dari tubuh kuman),b). Aglutinin H (flagela kuman), danc). Aglutinin Vi (simpai kuman).Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini.Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam, kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu ke-empat, dan tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul aglutinin O, kemudian diikuti dengan aglutinin H. Pada orang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9-12 bulan. Oleh karena itu uji Widal bukan untuk menentukan kesembuhan penyakit.Ada beberapa faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu:1). Pengobatan dini dengan antibiotik,2). Gangguan pembentukkan antibodi, dan pemberian kortikosteroid,3). Waktu pengambilan darah,4). Daerah endemik atau non endemik,5). Riwayat vaksinasi,6). Reaksi anamnestik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada infeksi bukan demam tifoid akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi,7). Faktor teknik pemeriksaan antar laboratorium, akibat aglutinasi silang, dan strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen.Saat ini belum ada kesamaan pendapat mengenai titer aglutinin yang bermakna diagnostik untuk demam tifoid. Batas titer yang sering dipakai hanya kesepekatan saja, hanya berlaku setempat dan batas ini bahkan dapat berbeda di berbagai laboratorium setempat

DBD / DDDemam Dengue (DD). Merupakan penyakit demam akut selama 2-7 hari, ditandai dengan dua atau lebih manifestasi klinis ; nyeri kepala, nyeri retro-orbital, mialgia/artralgia, ruam kulit, manifestasi perdarahan (ptekie atau uji bendung positif), leukopenia dan pemeriksaan serologi dengue positif; atau ditemukan pasien DD/DBD yang sudah dikonfirmasi pada lokasi dan waktu yang sama.

Demam Berdarah Dengue (DBD). Berdasrkan kriteria WHO 1997 diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal di bawah ini dipenuhi: Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik. terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut: Uji bendung positif. Petekie, ekimosis, atau purpura. Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi), atau perdarahan dari tempat lain . Hematemesis atau melena. Trombosipenia (jumlah trombosit < 100.000/ul). terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma) sebagai berikut: Peningkatan hematokrit > 20% dibandingkan standar sesuai dengan umur dan jenis kelamin. Penurunan hematokrit > 20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya. Tanda kebocoran plasma sepert: efusi pleura, asites atau hipoproteinemia.Dari keterangan diatas terlihat bahwa perbedaan utama antara DD dan DBD adalah ditemukan kebocoran plasma pada DBD.

Bruselosis Gejala klinis : demam intermiten ditemukan pada 60% kasus subakut bruselosis dan dengan relatif bradikardi. Adanya gejala anoreksia, astenia, fatique, kelemahan dan malaise. Adanya gejala nyeri sendi tulang berupa artralgia, nyeri punggung, nyeri spina, dan sendi tulang belakang, bengkak sendi. Gejala ini dijumpai pada 55% penderita. Gejala batuk dan sesak dijumpai pada 19% penderita tetapi jarang mengenai parenkim paru, nyeri dada timbul berupa nyeri pleuritik akibat adanya empiema. Gejala neuropsikiatri berupa sakit kepala, depresi dan fatique. Keluhan gastrointestinal dijumpai pada 50% penderita berupa nyeri abdomen, mual, konstipasi dan diare.1-3

D. Etiologi dan EpidemiologiLeptospirosis disebabkan oleh genus leptospira, famili treponemataceae, suatu mikroorganisme spirochaeta. Ciri khas organisme ini yakni berbelit, tipis dan fleksibel, panjangnya 5-15 um, dengan spiral yang sangat halus, lebarnya 0,1 0,2 um. Salah satu ujung organisme sering membengkak, membentuk suatu kait. Terdapat gerak rotasi aktif, tetapi tidak ditemukan adanya flagela. Spirochaeta ini demikian halus sehingga dalam mikroskop lapangan gelap hanya dapat terlihat sebagai rantai kokus kecil-kecil. Dengan pemeriksaan lapangan redup pada mikroskop biasa morfologi leptospira secara umum dapat dilihat. Leptospira membutuhkan media dan kondisi yang khusus untuk tumbuh dan mungkin membutuhkan waktu berminggu-minggu untuk membuat kultur yang positif. Dengan medium Fletchers dapat tumbuh dengan baik sebagai obligat aerob.Genus leptospira terdiri atas dua spesies : L. Interrogans yang patogen dan L. Biflexa yang non patogen / saprofit. Tujuh spesies dari leptospira sekarang ini telah diketahui dasar ikatan DNA-nya, namun lebh praktis dalam klinik dan epidemiologi menggunakan klasifikasi yang didasarkan atas perbedaan serologis. Spesies L. Interrogans dibagi menjadi beberapa serogrup dan serogrup ini dibagi menjadi banyak serovar menurut komposisi antigennya. Beberapa serovar L. Interrogans yang dapat menginfeksi manusia diantaranya adalah L. Icterohaemorrhagiae, L. Canicola, L. Pomona, L. Grippothyposa, L. Javanica, L. Celledoni, L. Ballum, L pyrogenes dan lain-lain. Menurut beberapa peneliti. Yang tersering menginfeksi manusia ialah L. Icterohaemorrhagica dengan reservoir tikus, L. Canicola dengan reservoar anjing dan L. Pomona dengan reservoar sapi dan babi.

Leptospirosis tersebar diseluruh dunia, disemua benua kecuali benua Antartika, namun terbanyak didapati di daerah tropis. Leptospira bisa terdapat pada bianatang piaraaan seperti anjing, babi, lembu, kuda, kucing, marmut atau binatang-binatang pengerat lainnya seperti tupai, musang, kelelawar dan lain sebagainya. Didalam tubuh binatang tersebut, leptospira hidup di dalam ginjal atau air kemihny. Tikus merupakan vektor yang utama dari L. Icterohaemorrhagica penyebab leptospirosis pada manusia. Dalam tubuh tikus, leptospira akan menetap dan membentuk koloni serta berkembang biak di dalam epitel tubulus ginjal tikus dan secara terus menerus dan ikut mengalir dalam filtrat urine. Penyakit ini bersifat musiman, di daerah beriklim sedang masa puncak insidens dijumpai pada musim panas dan musim gugur arena temperatur adalah faktor yang mempengaruhi kelangsungan hidup leptospira, sedangkan di daerah tropis insidens tertinggi terjadi selama musim hujan.Leptospirosis mengenai paling kurang 60 spesies mamalia. Ada berbagai jenis pejamu dari leptospira, mulai dari mamalia yang berukuran kecil di mana manusia dapat kontak denganny, misalnya landak, kelinci, tikus sawah, tikus rumah, tupai, musang, sampai dengan reptil. ( berbagai jenis katak dan ular ), babi, sapi, kucing dan anjing. Binatang pengerat terutama tikus merupakan reservoir paling banyak. Leptospira membentuk hubungan simbiosis dengan pejamunya dan dapat menetap dalam tubulus renalis selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Beberapa serovar berhubungan dengan binatang tertentu seperti L. Icterohaemorrhagiae/copenhageni dengan tikus, L. Gripptyphosa dengan voles ( sejenis tikus 0, L. Hardjo dengan sapi, L. Canicola dengan anjing dan L. Pomona dengan babi.International Leptospirosis Society menyatakan Indonesia sebagai negara dengan insidens leptospirosis tinggi dan peringkat ketiga di dunia untuk mortalitas. Di Indonesia leptospirosis ditemukan di DKI jakarta, jawa barat, jawa tengah, DI yogyakarta, lampung, sumatera selatan, bengkulu, riau, sumatera barat, sumatera utara, bali, NTB, sulawesi selatan, sulawesi utara, kalimantan timur dan kalimantan barat. Pada kejadian banjir besar di jakarta tahun 2002, dilaporkan lebih dari seratus kasus leptospirosis dengan 20 kematian. Salah satu kendala dalam menangani leptospirosis berupa kesulitan dalam melakukan diagnostik awal. Sementara dengan pemeriksaan sederhana memakai mikroskop biasa dapat di deteksi adanya gerakan leptospira dalam urine.Diagnostik pasti ditegakkan dengan ditemukannya leptospira pada daerah atau urine atau ditemukannya hasil serotipe positif. Untuk dapat berkembang biaknya leptospira memerlukan lingkungan optimal serta tergantung pada suhu yang lembab, hangat, pH air/tanah yang netral, dimana kondisi ini ditemukan sepanjang tahun di daerah tropis.6E. PatogenesisLeptospira masuk ke dalam tubuh melalui kulit atau selaput lendir, memasuki aliran darah dan berkembang, lalu menyebar seccara luas ke jaringan tubuh. Kemudian terjadi respon imunologik baik secara selular maupun humoral sehingga infeksi ini dapat ditekan dan terbentuk antibodi spesifik. Walaupun demikian beberapa organisme ini masih bertahan pada daerah yang terisolasi secara imunologi seperti di dalam ginjal di mana sebagian mikroorganisme akan mencapai convoluted tubulus, bertahan disana dan dilepaskan melalui urin. Leptospira dapat dijumpai dalam air kemih sekitar 8 hari sampai beberapa minggu setelah infeksi dan sampai berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun kemudian. Leptospira dapat dihilangkan dengan fagositosis dan mekanisme humoral. Kuman ini dengan cepat lenyap dari darah setelah terbentuknya aglutinin. Setelah fase leptospiremia 4-7 hari, mikroorganisme hanya dapat ditemukan dalam jaringan ginjal dan okuler. Leptospiruria berlangsung selama 1 4 minggu. Tiga mekanisme yang terlibat pada patogenese leptospirosis : invasi bakteri langsung, faktor inflamasi non spesifik, dan reaksi imunologi.Manusia dapat terinfeksi melalui kontak dengan air, atau tanah, lumpur yang telah terinfeksi leptospira. Infeksi tersebut terjadi jika terjadi luka/erosi pada kulit ataupun selaput lendir. Air tergenang atau mengalir lambat yang terkontaminasi urine binatang infeksius memainkan peranan dalam penularan penyakit ini, bahkan air yang deraspun dapat berperan. Kadang-kadang penyakit ini terjadi akibat gigitan binatang yang sebelumnya terinfeksi leptospira, atau kontak dengan kultur leptospira di laboratorium. Ekspos yang lama pada genangan air yang terkontaminasi terhadap kulit yang utuh juga dapat menularkan leptospira. Orang-orang yang mempunyai resiko tinggi mendapat penyakit ini adalah pekerja-pekerja di sawah, pertanian, perkebunan, peternakan, pekerja tambang, pekerja di rumah potong hewan atau orang-orang yang mengadakan perkemahan di hutan, dokter hewan.1-4

F. Pengobatan Pengobatan suportif dengan observasi ketat untuk mendeteksi dan mengatasi keadaan dehidrasi, hipotensi, perdarahan dan gagal ginjal sangat penting pada leptospirosis. Gangguan fungsi ginjal umumnya dengan spontan akan membaik dengan membaiknya kondisi pasien. Namun pada beberapa pasien membutuhkan tindakan hemodialisa temporer.Pemberian antibiotik harus dimulai secepat mungkin, biasanya pemberian dalam 4 hari setelah onset cukup efektif. Untuk kasus leptospirosis berat, pemberian intra vena penisilin G, amoksilin, ampisilin atau eritromisin dapat diberikan. Sedangkan untuk kasus-kasus ringan dapat diberikan antibiotika oral tetrasiklin, doksisiklin, ampisilin atau amoksilin maupun sefalosforin.Sampai saat ini penisilin masih merupakan antibiotika pilihan utama, namun perlu diingat bahwa anti-biotika bermanfaat jika leptospira masih di darah (fase leptospiremia). Pada pemberian penisilin, dapat muncul reaksi Jarisch-Herxherimer 4 sampai 6 jam setelah pemberian intra vena, yang menunjukkan adanya aktivitas anti leptospira. Tindakan suportif diberikan sesuai dengan keparahan penyakit dan komplikasi yang timbul. Keseimbangan cairan, elektrolit dan asam basa diatur sebagaimana pada penanggulangan gagal ginjal secara umum. Kalau terjadi azotemia/uremia berat sebaiknya dilakukan dialisis.5

G. Komplikasi Komplikasi yang biasanya terjadi antara lain ; iridosiklitis, gagal ginjal, miokarditis, meningitis aseptic dan hepatitis. Perdarahan masif jarang ditemui dan bila terjadi akan mengakibatkan kematian. Hal ini terjadi dilihat dari segi patologi yang dalam perjalanan pada fase leptospiremia, leptospira melepaskan toksin yang bertanggung jawab atas terjadinya keadaan patologi pada beberapa organ. Lesi yang muncul terjadi karena kerusakan kerusakan pada lapisan endotel kapiler. Pada leptospirosis terdapat perbedaan antara derajat gangguan fungsi organ dengan kerusakan secara histologik. Pada leptospirosis lesi histologis yang ringan ditemukan pada ginjal dan hati pasien dengan kelainan fungsional yang nyata dari organ tersebut. Perbedaan ini menunjukkan bahwa kerusakan bukan pada struktur organ. Lesi inflamasi menunjukkan edema dan infiltrasi sel monosit, limfosit dan sel plasma. Pada kasus yang berat terjadi kerusakan kapiler dengan perdarahan yang luas dan disfungsi hepatoseluler dengan retensi bilier. Selain di ginjal leptospira juga dapat bertahan pada otak dan mata. Leptospira dapat masuk ke dalam cairan serebrospinalis pada fase leptospiremia. Hal ini akan menyebabkan meningitis yang menyebabkan meningitis yang merupakan gangguan neurologi terbanyak yang terjadi sebagai komplikasi leptospirosis. Organ-organ yang sering dikenai leptospira adalah ginjal, hati, otot, dan pembuluh darah.Ginjal. Interstitial nefritis dengan infiltrasi sel mononuklear merupakan bentuk lesi pada leptospirosis yang dapat terjadi gangguan fungsi ginjal. Gagal ginjal terjadi akibat tubular nekrosis akut. Adanya peranan nefrotoksin, reakis imunologis, iskemia ginjal, hemolisis dan invasi langsung mikroorganisme juga berperan menimbulkan kerusakan ginjal. Hati. Hati menunjukkan nekrosis sentilobuler fokal dengan infiltrasi sel limfosit fokal dan proliferasi sel Kuffer kolestatis. Pada kasus-kasus yang di otopsi, sebagian ditemukan leptospira dalam hepar. Biasanya organisme ini terdapat di antara sel-sel parenkim. Jantung. Epikardium, endokardium dan miokardium dapat terlibat. Kelainan miokardium fokal atau difus berupa interstitial edema dengan infiltrasi sel mononuklear dan plasma. Nekrosis berhubungan dengan infiltrasi neutrofil. Dapat terjadi perdarahan fokal pada miokarium dan endokarditis.Otot rangka. Pada otot rangka, terjadi perubahan-perubahan berupa lokal nekrotis, vakuolisasi dan kehilangan striata. Nyeri otot yang terjadi pada leptospira disebabkan invasi langsung leptospira. Dapat juga ditemukan antigen leptospira pada otot.Mata. Leptospira dapat masuk ruang anterior dari mata selama fase leptospiremia dan bertahan beberapa bulan walaupun antibodi yang terbentuk cukup tinggi. Hal ini kana menyebabkana uveitis.Pembuluh darah. Terjadi perubahan pada pembuluh darah akibat terjadinya vaskulitis yang akan menimbulkan perdarahan.perdarahan atau pteki akan terjadi pada mukosa, permukaan serosa, dan alat-alat viscera dan perdarahan bawah kulit. Sususnan saraf pusat. Leptospira mudah masuk ke dalam cairan serebrospinal (CSS) dan dikaitkan dengan terjadinya meningitis. Meningitis terjadi sewaktu terbentuknya respon antibodi, tidak pada saat memasuki css. Di duga bahwa terjadinya meningitis diperantarai oleh mekanisme imunologis. Terjadi penebalan meninges dengan sedikit peningkatan sel mononuklear arakhnoid. Meningitis yang terjadi adalah meningitis aseptik, biasanya paling sering disebabkan oleh L. Canicola.

H. Prognosis dan PencegahanPrognosisJika tidak ada ikterus, penyakit jarang fatal. Pada kasus dengan ikterus, angka kematian 5% pada umur dibawah 30 tahun, dan pada usis lanjut mencapai 30-40%.Pencegahan Pencegahan leptospirosis pada manusia, secara teoritis dimungkinkan dengan pengendalian binatang pengerat dan menghindari pemakian air dan tanah tercemar. Pencegahan leptospirosis khususnya di daerah tropis sangat sulit. Banyaknya hospes perantara dan jenis serotipe sulit untuk dihapuskan. Bagi mereka yang mempunyai resiko tinggi untuk tertular leptospirosis harus diberikan perlindungan berupa pakaian khusus yang dapat melindunginya dari kontak dengan bahan-bahan yang telah terkontaminasi dengan kemih binatang reservoar. Pemberian doksisiklin 200 mg perminggu dikatakan bermanfaat untuk mengurangi serangan leptospirosis bagi mereka yang mempunyai resiko tinggi dan terpapar dalam waktu singkat. Vaksinasi terhadap hewan-hewan tersangka reservoar sudah lama direkomendasikan, tetapi vaksinasi terhadap manusia belum berhasil dilakukan, masih memerlukan penelitian lebih lanjut.1

BAB IIIPENUTUPA. KesimpulanLeptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang disebabkan leptospira. Manusia dapat terinfeksi melalui kontak dengan leptospira secara insidental. Kelompok orang dengan resiko tinggi seperti petani, peternak, pekerja perkebunan, pekerja selokan atau bepergian ke hutan belantara, rawa dan sungai, beresiko tinggi terpapar bakteri leptospira dan banyak terdapat di air yang tergenang atau mengalir lambat yang terkontaminasi urine binatang infeksius yang memainkan peranan dalam penularan penyakit ini, Gejala klinis yang timbul mulai dari ringan sampai berat dan muncul komplikasi bahkan kematian, bila terlambat mendapat pengobatan. Diagnosis dini yang tepat dan penatalaksanaan yang cepat akan mencegah perjalanan penyakit menjadi berat. Pemberian antibiotik harus dimulai secepat mungkin. Pencegahan dini terhadap mereka yang terpapar diharapkan dapat melindungi mereka dari serangan leptospirosis.

DAFTAR PUSTAKA

1. Zein Umar. Leptospirosis. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III, edisi V. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta; 2009: hal.2807-2811. 2. Suhendro, Leonard N., Khie C., Herdiman T.P. Demam Berdarah Dengue. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III, edisi V. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta; 2009: hal.2773-2779.3. Widodo D. Demam Tifoid. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III, edisi V. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta; 2009: hal.2797-2800.4. Widoyono. Penyakit tropis : Epidemiologi, penularan, pencegahan, dan pemberantasannya. Jakarta : Erlangga, 2006.5. Lawson J.H, A Synopsis of Fevers and their treatment. Singapore : MTE, 1998 : 235-44.6. Darwanto, Juni Prianto L.A., Tjahaya P.U. Atlas parasitologi kedokteran. Jakarta : Gramedia, 2008

22