Makalah Pbl Blok 25

31
Penatalaksanaan Pasien Nyeri Abdomen dengan Riwayat Kista Ovarium Jordy Gabriel Tjahja 102012069 E2 Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jalan Arjuna Utara No.6, Duri Kepa, Jakarta Barat 11510 Telp : (021) 5694-2061 email: [email protected] Abstrak Kali ini penulis dihadapkan dengan sebuah skenario tentang seorang perempuan berusia 23 tahun, G2P1A0. Hamil 29 minggu, datang ke UGD dengan keluhan nyeri akut kanan bawah abdomen mual dan muntah. Tidak ada keluhan perdarahan pervagina atau keluar air dari vagina. Pasien menyangkal adanya diare, dysuria, demam. Tidak ada riwayat trauma atau pembedahan sebelumnya. Pasien memiliki riwayat kista pada ovary sebelumnya. Abstract This time the author was faced with a scenario of a 23 -year -old woman , G2P1A0 . 29 weeks pregnant , came to the ER with complaints of acute right lower abdominal pain nausea and vomiting . No complaints or out of water 1

description

makalah

Transcript of Makalah Pbl Blok 25

Penatalaksanaan Pasien Nyeri Abdomen dengan Riwayat Kista OvariumJordy Gabriel Tjahja102012069E2Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida WacanaJalan Arjuna Utara No.6, Duri Kepa, Jakarta Barat 11510Telp : (021) 5694-2061 email: [email protected]

Abstrak Kali ini penulis dihadapkan dengan sebuah skenario tentang seorang perempuan berusia 23 tahun, G2P1A0. Hamil 29 minggu, datang ke UGD dengan keluhan nyeri akut kanan bawah abdomen mual dan muntah. Tidak ada keluhan perdarahan pervagina atau keluar air dari vagina. Pasien menyangkal adanya diare, dysuria, demam. Tidak ada riwayat trauma atau pembedahan sebelumnya. Pasien memiliki riwayat kista pada ovary sebelumnya.

AbstractThis time the author was faced with a scenario of a 23 -year -old woman , G2P1A0 . 29 weeks pregnant , came to the ER with complaints of acute right lower abdominal pain nausea and vomiting . No complaints or out of water pervagina bleeding from the vagina . Patients deny the existence of diarrhea , dysuria , fever . No history of trauma or previous surgery . Patients had a history of cysts on the ovary before.

Isi dan PembahasanBerdasarkan skenario tersebut, setelah menganalisis inti permasalahannya, penulis menggambarkan semua yang akan dibahas melalui sebuah peta konsep seperti di bawah ini :

Dalam peta konsep yang digambarkan penulis diatas, dapat dilihat bahwa terdapat 10 tahapan yang dapat menjabarkan rumusan masalah yang ada secara detil, 10 tahapan tersebut ialah; anamnesis,pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, diagnosis (working diagnosis dan Differential Diagnosis), penatalaksanaan, prognosis, komplikasi, epidemiologi, etiologi, dan gambaran klinis.

AnamnesisAnamnesis merupakan metode yang digunakan oleh seorang dokter untuk menanyakan keluhan pasien. Terdapat 2 bentuk anamnesis; auto-anamnesis dan allo-anamnesis. Auto-anamnesis ialah anamnesis yang dilakukan oleh seorang dokter langsung kepada penderita/pasien dengan syarat kondisi pasien sadar, sedangkan allo-anamnesis ialah anamnesis yang dilakukan oleh seorang dokter melalui orang terdekat atau kerabat penderita/pasien, biasanya allo-anamnesis dilakukan apabila kondisi asien tidak sadarkan diri atau pada pasien psikiatri/kejiwaan. Anamnesis sebenarnya bertujuan untuk mengembangkan pemahaman mengenai kondisi pasien. Dalam melakukan anamnesis kepada pasien, terdapat sejumlah data yang perlu ditanyakan kepada pasien, seperti halnya:1 Identitas diri pasien (Nama, Tempat/tanggal lahir, Usia, Jenis Kelamin, Alamat, Agama, Status perkawinan, Pekerjaan, dan suku bangsa) Keluhan utama (disertai dengan lama waktu pasien mulai merasakan keluhan tersebut) dan Keluhan tambahan/penyerta Riwayat Penyakit Sekarang Riwayat Penyakit Dahulu yang pernah diderita ataupun trauma/kecelakaan Riwayat Penyakit Keluarga Riwayat Lingkungan Tempat Tinggal dan Tempat Kerja Dan khusus bagi pasien wanita, perlu ditanyakan riwayat persalinan, riwayat menstruasi, dan riwayat keluarga berencanaPemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Setelah melakukan anamnesis kepada pasien baik secara auto-anamnesis maupun allo-anamnesis, dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan. Pemeriksaan pasien dibagi menjadi 2 jenis, yaitu; pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.1 Pemeriksaan fisik dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui adanya kelainan faali pada pasien. Pemeriksaan fisik dapat dilakukan dengan 4 tahapan; inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi. Data-data yang diperlukan dalam pemer iksaan fisik antara lain seperti; keadaan umum,tingkat kesadaran pasien, tanda ruam pada kulit, kelainan bunyi fisiologis organ, nyeri tekan, dan tanda vital (seperti : tekanan darah, frekuensi denyut nadi, frekuensi pernapasan, dan suhu tubuh). 1Pemeriksaan penunjang dapat membantu dokter dalam mendiagnosis, namun bukan menjadi acuan/patokan dalam mendiagnosis suatu penyakit. Pemeriksaan penunjang ialah pemeriksaan yang dilakukan berdasarkan hasil laboratorium, radiologi, dan lainnya. Begitu banyak hal yang dapat di periksa dalam pemeriksaan penunjang, seperti x-ray, MRI, CT-Scan, dll. Pemeriksaan penunjang sangat membantu dalam menyingkirkan kemungkinan-kemungkinan penyakit lain, sehingga membantu dokter merujuk kepada satu penyakit pasti.

DiagnosisSetelah melakukan pemeriksaan fisik secara seksama dan didukung oleh pemeriksaan penunjang, dokter harus mendiagnosis penyakit apa yang diderita oleh pasien, sehingga pasien mendapatkan terapi pengobatan yang tepat. Diagnosis di bagi menjadi 2, yaitu; WD atau Working Diagnosis, dan DD atau Differential Diagnosis.1

Penatalaksanaan Penatalaksanaan dilakukan setelah dokter melakukan diagnosis terhadap pasien. Penatalaksanaan dibagi menjadi 2 macam, yang pertama ialah penata laksanaan secara Medika Mentosa, yang artinya ialah penatalaksanaan atau prosedur yang dilakukan oleh dokter dalam menyembuhkan pasien melalui pemberian obat. Dan yang kedua ialah penatalaksanaan secara Non-Medika Mentosa, berarti prosedur yang dilakukan dokter dalam menyembuhkan pasiennya bukan dengan cara memberikan obat, melainkan yang lain, seperti; memberikan edukasi, menyarankan pasien untuk melakukan istarahat penuh/bedrest, dan sebagainya.1

PrognosisPrognosis merupakan perkiraan dokter terhadap kelangsungan/nasib pasien setelah dokter melakukan penatalaksanaan.1

KomplikasiKomplikasi merupakan sebuah efek samping berupa penyakit lain yang dapat timbul akibat dari sebuah penyakit yang diderita oleh pasien, tidak hanya oleh karena penyakit yang diderita, namun bahkan oleh karena penatalaksanaan yang didapat oleh pasien.1

Epidemiologi Epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari proses penyebaran infeksi penyakit yang sama seperti diderita oleh pasien.1

EtiologiEtiologi adalah ilmu yang mempelajari siklus dan cara hidup penyebab infeksi penyakit yang diderita pasien.1

Gambaran KlinisGambaran klinis ialah gejala-gejala yang timbul akibat infeksi suatu penyakit.1

PEMBAHASAN SKENARIOKali ini penulis dihadapkan dengan sebuah skenario tentang seorang perempuan berusia 23 tahun, G2P1A0. Hamil 29 minggu, datang ke UGD dengan keluhan nyeri akut kanan bawah abdomen mual dan muntah. Tidak ada keluhan perdarahan pervagina atau keluar air dari vagina. Pasien menyangkal adanya diare, dysuria, demam. Tidak ada riwayat trauma atau pembedahan sebelumnya. Pasien memiliki riwayat kista pada ovary sebelumnya. Penulis mengambil sebuah hipotesis, bahwa pasien tersebut menderita sebuah penyakit limfoma maligna yang sering dikenal dengan limfoma Hodgkin.Anamnesis

Pada skenario kali ini, anamnesis yang dilakukan pada pasien tersebut berupa autoanamnesis, anamnesis yang diperlukan berupa anamnesis dasar berupa keluhan utama pasien, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, dan riwayat penyakit keluarga. Dan pada pasien yang dicurigai menderita limfoma Hodgkin, perlu ditanyakan apakah terdapat pembesaran kelenjar getah bening yang tidak nyeri, pernah mengalami demam atau tidak, dan apakah terdapat neuropati.2 Sering kali pada pasien yang dicurigai menderita limfoma Hodgkin juga ditemukan riwayat berat badan menurun, sering berkeringat dan gatal-gatal.2

Pemeriksaan FisikPemeriksaan Fisik yang dapat dilakukan pada pasien yang dicurigai menderita limfoma Hodgkin adalah palpasi pebesaran kelenjar getah bening di leher, terutama supraklavikular, aksiler dan inguinal. Dan juga dapat dilakukan palpasi pada lien dan hepar, sering kali pasien dengan limfoma Hodgkin memiliki tanda hepatosplenomegali.3 Pemeriksaan fisik tambahan yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan THT, untuk menentukan kemungkinan keterlibatan cincin waldeyer, apabila terdapat keterlibatan cncin waldeyer, perlu dilakukan juga pemeriksaan fisik terhadap gastrointestinal.3Pada pasien dalam scenario, hasil Pemeriksaan Fisik ditemukan suhu tubuh 37,80C (demam ringan), dan terdapat benjolan di leher yang tidak nyeri dan tidak hiperemis, bersifat mobile, terletak pada Cervical Anterior Dextra Subclavicula, sebanyak 5-6 benjolan.

Pemeriksaaan PenunjangPemeriksaan penunjang pada pasien yang dicurigai menderita limfoma Hodgkin merupakan kunci utama dalam penegakkan diagnosis pasti. Dapat dilakukan pemeriksaan laboratorium, Biopsi sumsum tulang, biopsy aspirasi jarum halus/ BAJAH, pemeriksaan radiologis, dan laparatomi.4 Pemeriksaan LaboratoriumPada pemeriksaan laboratorium, yang perlu diperiksakan adalah pemeriksaan darah rutin, uji fungsi hati dan uji fungsi ginjal. Ketiga pemeriksaan tersebut sangat penting dalam menegakkan diagnosis, namun ketiga pemeriksaan tersebut tidak memberi keterangan tentang luas penyakit atau keterlibatan organ spesifik. Pada pemeriksaan darah sering kali ditemukan anemia normokromik normositik derajat sedang yang berkaitan dengan penuruan kadar besi dan kapasitas ikat besi, tetapi dengan simpanan besi yang normal atau meningkat di sumsum tulang, sering terjadi reaksi leukomoid sedang sampai berat. Eosinofilia absolute perifer ringan juga sering ditemukan, terutama pada pasien yang menderita pruritus. Juga dijumpai monositosis absolute dan limfositopenia absolut yang sering kali ditemukan pada pasien dengan stadium lanjut. Peningkatan laju endap darah (LED) merupakan sebuah indicator terbaik, namun kurang spesifik, dan dapat bernilai normal walau masih terdapat penyakit residual. 4,2Pada pemeriksaan darah rutin pasien ditemukan hasil sebagai berikut : Hb 11gr/dL, Ht 42%, Leukosit 8000, Trombosit 250.000, dan reitkulosit 2,5 % Pada pemeriksaan SADT pasien ditemukan normositik, normokrom, dengan Diff. Count : 1,1,0,73,15,2,1 (basophil,eosinophil,batang,segmen,limfosit, monosit,metamielosit) Pemeriksaan uji fungsi hati dan uji fungsi ginjalPada pemeriksaan faal hati, terdapat gangguan faal hati yang tidak sejalan dengan keterlibatan limfoma pada hati. Peningkatan alkali fosfatase dan adanya icterus kolestatik dapat merupakan gejala paraneoplastik tanpa keterlibatan hati. Dapat terjadi obstruksi biliaris ekstrahepatik karena pembesaran kelenjar getah bening porta hepatis. Pada pemeriksaan faal ginjal, peningkatan kreatinin dan ureum dapat diakibatkan obstruksi ureter. Adanya nefropati urat dan hiperkalsemi dapat memperberat fungsi ginjal. Sindroma nefrotik sebagai fenomena paraneoplastik dapat terjadi pada limfoma Hodgkin. Hiperurikemi merupakan manifestasi peningkatan turn-over akibat limfoma. Hiperkalsemi dapat disebabkan sekunder karena produksi limfotoksin (osteoclast activating factor) oleh jaringan limfoma. Kadar LDH darah yang meningkat dapat menggambarkan masssa tumor dan turn-over. Poliklonal hipegamaglobulinemi sering didapatkan pada limfoma Hodgkin dan non Hodgkin.2 Pemeriksaan BAJAH / pemeriksaan sitology biopsy aspirasiBiopsi Aspirasi Jarum Halus (BAJAH) sering digunakan pada diagnosis pendahuluan limfadenopati untuk identifikasi penyebab kelainan tersebut seperti reaksi hiperplastik kelenjar getah bening, metastasis karsinoma dan limfoma malignum.4Penyulit lain dalam diagnosis sitologi biopsy aspirasi LH ataupun LNH adalah adanya negatif palsu dianjurkan melakukan biopsy aspirasi multiple hole di beberapa tempat permukaan tumor. Apabila ditemukan juga sitologi negatif dan tidak sesuai dengan gambaran klinis, maka pilihan terbaik adalah biopsi insisi atau eksisi.4 Pada Biopsi KGB pasien ditemukan sel radang kronis Pemeriksaan Biopsi Sumsum TulangDilakukan pada stadium lanjut untuk keperluan staging, keterlibatan sumsum tulang pada limfoma Hodgkin sulit didiagnosis dengan aspirasi sumsum tulang.2 Pemeriksaan RadiologiPemeriksaan foto thoraks untuk melihat limfadenopati hilar dan mediastinal, efusi pleura atau lesi parenkim paru. Obstruksi aliran limfotik mediastinal, dapat menyebabkan efusi chylous (seperti susu). 4,2 Limfangiografi untuk menentukan keterlibatan KGB daerah iliaka dan pasca aortal.4,2USG abdomen kurang sensitive dalam mendiagnosis adanya limfadenopati. Namun dapat digunakan untuk melihat pembersaran KGB di paraaortal dan sekaligus menuntun BAJAH pada pemeriksaan sitology. 4,2Pemeriksaan CT-Scan thoraks dilakukan untuk mendetksi abnormalitas parenkim paru dan mediastinal, sedangkan CT-Scan Abdomen memberi jawaban limfodenopati retro-peritoneal, mesenteric, portal, hepatosplenomegali atau lesi di ginjal. CT-scan juga dapat digunakan untuk mendiagnosa dna mengevaluasi pertumbuhan Limfoma Hodgkin.4,2Pada Pemeriksaan foto toraks pasien ditemukan pembesaran KGB paraaorta dekstra Pemeriksaan Laparatomi Laparotomi abdomen sering dilakukan untuk melihat kondisi KGB pada iliaka para aotal dan mesenterium dengan tujuan menentukan stadium. Berkat kemajuan teknologi radiology misalnya USG dan CT Scan ditambah sitologi biopsy aspirasi jarum halus, tindakan laparotomi dapat dihindari atau sekurang-kurangnya diminimalisasi. 4

DiagnosisPenyakit Hodgkin termasuk dalam keganasan limforetikular yaitu limfoma maligna, yang terbagi dalam limfoma maligna Hodgkin dan limfoma maligna non Hodgkin. Kedua penyakit tersebut dibedakan secara histopatologis, dimana pada limfoma Hodgkin ditemukan sel Reed-Sternberg.2

Gambar 1. Reed Sternberg Cell(http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/0/02/Reed-Sternberg_lymphocyte_nci-vol-7172-300.jpg)

analisis PCR menunjukkan sel reed Sternberg berasal dari folikel sel B yang mengalami gangguan struktur pada immunoglobulin, sel ini juga mengandung suatu faktor transkripsi inti sel (NFkB), kedua hal tersebut dapat menyebabkan gangguan apoptosis. 2Penyakit ini dilaporkan pertama kali oleh Thomas Hodgkin pada tahun 1832, kemudian gambaran histopatologis dilaporkan oleh Langerhans pada tahun 1872, disusul dengan laporan terpisah oleh Stenberg dan Reed yang menggambarkan suatu sel raksasa yang kemudian diberi nama Reed-Stenberg Cell.2 Klasifikasi HDKlasifikasi Limfoma Hodgkin dapat dibedakan secara histopatologis yang diperoleh dari biopsy kelenjar secara eksisi, yang biasanya memberi gamabaran lebih baik dibandingkan BAJAH. Terapat berbagai macam klasifikasi limfoma Hodgkin, namun ada 2 versi yang sampai saat ini masih digunakan, yaitu klasifikasi rye dan klasifikasi WHO.2

Jackson and parkerLukes and ButlerRye ConferenceREAL classificationWHO classification

ParagranulomaLymphocytic or histiocytic, nodularLymphocyte-predominantNodular lymphocyte-predominant classic HDLymphcyte-predominant, nodular HD

Lymphocytic or histiocytic, diffuse-lymphocyte-rich classic HDlymphocyte-rich classic HD

GranulomaNodular SclerosisNodular SclerosisNodular SclerosisNodular Sclerosis

Mixed cellularityMixed cellularityMixed cellularityMixed cellularity

SarcomaDiffuse FibrosisLymphocyte-depletedLymphocyte-depletedLymphocyte-depleted

Reticular--Unclassifiable classic HD

Tabel 1. Perbandingan klasifikasi Hodgkin Diesase2 Stadium PenyakitPenentuan staging sangat penting untuk terapi dan menilai prognosis. Staging dilakukan menurut Cotswolds (1990) yang merupakan modifikasi dari staging menurut Ann Arbor (1971).2 Pada penyakit ini dibedakan 2 macam staging : Clinical staging Staging dilakukan secara klinis saja tentang ada tidaknya kelainan organ tubuh. Pathological staging.Penentuan stadium juga didukung dengan adanya kelainan histopatologis pada jaringan yang abnormal. Pathological staging ini dinyatakan pula pada hasil biopsi organ, yaitu : hepar, paru, sumsum tulang, kelenjar, limpa, pleura, tulang, kulit. Stadium I : Penyakit menyerang 1 regio kelenjar getah bening atau 1 struktur limfoid (missal : limpa, timus, cincin Waldeyer) atau keterlibatan 1 organ ekstralimfatikStadium II : Penyakit menyerang 2 atau lebih regio kelenjar getah bening pada satu sisi diafragma, jumlah regio yang diserang dinyatakan dengan subskri angka, misal : II2, II3, dsb.Stadium III : Penyakit menyerang regio kelenjar getah bening atau struktur limfoid pada kedua sisi diafragma. Dapat disertai lien (IIIs), atau keterlibatan 1 organ ekstranodal (IIIE) atau keduanya (IIIS)Stadium IV : keterlibatan difus/diseminata pada 1 atau lebih organ ekstranodal atau jaringan dengan atau tanpa keterlibatan KGB

Tabel 2. Staging HD2Keterangan yang dicantumkan pada setiap stadium :2A Tanpa gejalaBDemam (suhu > 380 C), Keringat malam, penurunan berat badan >10% dalam waktu 6 bulan sebelumnyaXBulky Disease (Pembesaran mediastinum >1/3, adanya massa kelenjar dengan diametermaksimal 10 cmE(Keterlibatan 1 organ ekstranodal yang contiguous atau proksimal terhadap region kelenjar getah beningCSClinical StagePSpathologic Stage (apabila ditemukan pada laparatomi)

Gambar 2. Staging LH(http://limfoma.org/wp-content/uploads/2013/07/limfma-hodgkin.gif)

Tabel 3. Perbandingan klinis LH dan LNH(http://limfoma.org/wp-content/uploads/2012/05/Perbandingan-Hodgkin-dan-Non-Hodgkin1.jpg)

Diagnosis Banding

Diagnosis banding serupa dengan yang dijelaskan untuk limfoma non Hodgkin pada pasien dengan limfadenopati di leher, infeksi misalnya faringitis bakteri atau virus, mononucleosis infeksiosa dan toksoplasmosis harus disingkirkan. Keganasan lain, misalnya limfoma non Hodgkin, kanker nasofaring dan kanker tiroid dapat menimbulkan adenopati leher local. Adenopati ketiak harus dibedakan dengan limfoma non Hodgkin dan kanker payudara.5Adenopati mediastinum harus dibedakan dengan infeksi, sarkoid dan tumor lain. Pada pasien tua, diagnosis banding mencakup tumor paru dan mediastinum, terutama karsinoma sel kecil dan non sel kecil. Medistinitis reaktif dan adenopati hilus akibat histoplasmosis dapat mirip dengan limfoma, karena penyakit tersebut timbul pada pasien asimtomatik. Penyakit abdomen primer dengan hepatomegali, splenomegali dan adenopati massif jarang ditemukan, dan penyakit neoplastik lain, terutama limfoma non Hodgkin harus disingkirkan dalam keadaan ini. 5

Epidemiologi Angka kejadian Penyakit Hodgkin yang berdasarkan populasi di Indonesia belum ada. Pada KOPAPDI II di Surabaya tahun 1973 dilaporkan bahwa di bagian penyakit dalam RS. Dr.Sutomo Surabaya antara tahun 1963-1972 (9 tahun) telah dirawat 26.815 pasien, dimana 81 diantaranya adalah limfoma malignum dan 12 orang adalah penyakit Hodgkin. Pada KOPAPDI VIII tahun 1990 di Yogya dilaporkan bahwa selama 1 tahun di bagian penyakit dalam RSUP Dr. Sardjito dirawat 2246 pasien, 32 di antaranya adalah limfoma malignum dan semuanya adalah limfoma Hodgkin. Dari laporan-laporan tersebut di atas terlihat bahwa di Indonesia limfoma non-Hodgkin lebih banyak dari penyakit Hodgkin, dan pria selalu lebih banyak daripada wanita.6Pada limfoma non Hodgkin terdapat peningkatan insidensi yang linear seiring dengan usia. Sebaliknya, pada penyakit Hodgkin di Amerika Serikat dan di negara-negara barat yang telah berkembang, kurva insidensi spesifik umur berbentuk bimodal dengan puncak awal pada orang dewasa muda (15-35 tahun). Dan puncak kedua setelah 50 tahun. Penyakit Hodgkin lebih prevalen pada laki-laki dan bila kurva insidensi spesifik umur dibandingkan dengan distribusi jenis kelamin pasien, maka peningkatan prevalensi laki-laki lebih nyata pada dewasa muda. Pada penyakit Hodgkin anak, predominasi laki-laki ini lebih mencolok dengan lebih dari 80% pasien adalah laki-laki. Hal ini menyebabkan beberapa peneliti beranggapan bahwa terdapat peningkatan kerentan yang berhubungan dengan faktor genetik terkait seks dan hormonal.7

EtiologiBanyak kemajuan telah dicapai dalam bidang biologi penyakit ini. Meskipun masih banyak yang belum mapan. Seperti pada keganasan yang lain penyebab penyakit Hodgkin ini multifaktorial dan belum jelas benar.6Perubahan genetic, disregulasi gen-gen factor pertumbuhan, virus dan efek imunologis, semuanya dapat merupakan factor tumorigenik penyakit ini.6 Tentang asal usul sel datia Reed-Sternberg masih ada silang pendapat sampai sekarang. Kejangkitan limfoma Hodgkin ataupun limfoma non Hodgkin kemungkinan ada kaitannya dengan keluarga. Apabila salah satu anggota keluarga menderita limfoma Hodgkin, maka resiko anggota lain terjangkit tumor ini lebih besar dibanding dengan orang lain yang tidak termasuk keluarga itu. Pada orang hidup berkelompok insiden limfoma Hodgkin cenderung lebih banyak.6

PatofisiologiAsal-usul penyakit Hodgkin tidak diketahui. Pada masa lalu, diyakini bahwa penyakit Hodgkin merupakan reaksi radang luar biasa (mungkin terhadap agen infeksi) yang berperilaku seperti neoplasma. Tetapi, kini secara luas diterima bahwa penyakit Hodgkin merupakan kelainan neoplasi dan bahwa sel Reed-Sternberg merupakan sel transformasi. Tetapi asal-usul sel Reed-Sternberg tetap menjadi teka-teki. Sel Reed-Sternberg tidak membawa penanda permukaan sel B atau T. Tidak seperti monosit, tidak memiliki komplemen dan reseptor Fc. Beberapa pengkaji telah menentukan berdasarkan dari penderita dengan jalur sel penyakit Hodgkin, yang agaknya berasal dari sel Reed-Sternberg.8Sel-sel yang mirip Reed-Sternberg dari perbenihan ini tampak menimbulkan antigen permukaan dengan sejumlah kecil sel dendrit pada daerah parafolikel nodus limfatik. Mungkin termasuk kelas antigen HLA II sel dendrit positif, yang aktif dalam pengenalan antigen oleh sel T ?. Berkurangnya kapasitas memberitahukan antigen berkaitan dengan transformasi neoplasi sel dendritik, mungkin menjelaskan adanya gangguan imunitas sel-T, yang begitu umum terjadi pada penyakit Hodgkin.8Meskipun demikian, saran-saran tentang asal-usul sel Reed-Sternberg ini kini harus dianggap belum memadai, sampai ada bukti yang lebih meyakinkan.Diketahui bahwa sel Reed-Sternberg mewakili komponen maligna penyakit Hodgkin. Apakah yang menyebabkan transformasi ini ?. Selama bertahun-tahun etiologi infeksi penyakit Hodgkin telah diduga. Beberapa laporan telah menghubungkan infeksi virus Epstein-Barr (EBV) dengan penyakit Hodgkin. Tetapi tidak ada rangkaian asam nukleat EBV pada sel RS yang dibiakkan, tidak mendukung peran EBV sebagai penyebab penyakit Hodgkin. Perhatian terhadap etiologi infeksi penyakit Hodgkin telah diperhatikan akibat laporan yang menunujukkan kemungkinan adanya suatu pengelompokan penyakit Hodgkin diantara pelajar sekolah menengah tertentu.8Tetapi penelitian lain telah gagal memastikan dugaan penyebaran horizontal penyakit Hodgkin.8Pada banyak pasien, penyakit terlokalisasi pada mulanya pada daerah limfonodus perifer tunggal dan perkembangan selanjutnya dengan penjalaran didalam system lmfatik. Mungkin bahwa sel Reed-Sternberg yang khas dan sel lebuh kecil, abnormal yang menyertai (sekarang diduga berasal dari histiosit) bersifat neoplastik dan mungkin bahwa sel radang yang terdapat bersamaan menunjukkan respon hipersensitivitas oleh hospes, manfaat yang menentukan pola evolusi. Pokok ini dibicarakan lebih lanjut pada klasifikasi histologis. Setelah tersimpan dalam limfonodus untuk jangka waktu yang bervariasi, perkembangan alamiah penyakit ini adalah menyebar untuk mengikutsertakan jaringan non-limfatik.8

PenatalaksanaanTerapi dapat dilihat dari beberapa aspek:4a. Penyakit yang sudah atau belum pernah diobati.b. Penyakit yang dini (st I+II) atau yang sudah lanjut (st III+IV)c. Akan memakai sarana-terapi-tunggal (radioterapi atau kemoterapi saja) atau sarana terapi kombinasi (sarana terapi kombinasi bukan kemoterapi-kombinasi).Kemoterapi penyakit ini dapat kemoterapi tunggal (memakai satu obat), kemoterapi kombinasi (memakai banyak obat) dan akhir-akhir ini dikembangkan kemoterapi dosis tinggi plus pencangkokan Stem Cell Autologus untuk rescue (penyelamatan) aplasi system darah yang diakibatkan oleh kemoterapi dosis tinggi tadi. (KDT + rPSC autologus).4

Kasus-kasus yang sebelumnya belum pernah diobati (terapi awal) Radioterapi saja.Secara histories radioterapi saja dapat kuratif untuk penyakit Hodgkin dini (st I+II) A. kurabilitasnya menurun bila ada penyakit dibawah diafragma, karena itu untuk stadium IA dan IIA yang direncanakan akan diberi terapi radiasi kuratif saja perlu dilakukan staging laparotomy untuk memastikan ada tidaknya lesi dibawah diafragma. Bila ada lesi di bawah diafragma maka radioterapi saja tidak cukupperlu ditambah dengan kemoterapi. Apabila bila ada tanda-tanda prognosis yang buruk seperti : B symptoms dan bulky tumor, perlu kombinasi radioterapi + kemoterapi (kombinasi sarana pengobatan = combined modality therapy) karena radioterapi saja tidak lagi kuratif. Untuk kemoterapinya biasanya MOPP 6x dianggap cukup sebagai adjuvan (tambahan) pada radioterapi. Bila tidak ada lesi dibawah diafragma (dibuktikan dengan staging-laparotomy) untuk stadium IA diberikan radioterapi extended field, untuk stadium IIA diberikan total nodal irradiation (TNI),dianggap cukup kuratif.4,5 Kombinasi radioterapi + kemoterapi. Untuk semua keadaan dimana ada penyakit dibawah diafragma radioterapi harus ditambah dengan kemoterapi adjuvant, baru dianggap kuratif. Terapi dengan kombinasi modalitas ini juga diindikasikan bila penyakitnya stadium IIA tetapi pasien menolak laparotomi atau memang tidak akan dilakukan laparotomi karena ada kontraindikasi.4,5 Untuk stadium yang lanjut (st III dan IV) terapi kuratif utama adalah kemoterapi. Kalau ada lesi yang besar (bulky mass) dengan tambahan huruf X pada stadiumnya, maka pada tempat ini ditambahkan radioterapi adjuvant dosis kuratif, sesudah kemoterapi.4,5Kombinasi radio + kemoterapi ini juga dianjurkan pada mereka yang menunjukkan tanda-tanda prognosis yang buruk, yaitu :5 1. Massa mediastinum yang besar. 2. B-symtoms. 3. kelainan dihilus paru. 4. histologinya bukan Lymphocytic predominant 5. Stadium III. KemoterapiSemula kemoterapi sebagai terapi utama diberikan untuk stadium III dan IV saja, namun sering terjadi relaps, terutama bila ada bulky mass karena itu untuk tempat-tempat yang lesinya bulky sesudah kemoterapi perlu radioterapi adjuvant pada tempat yang semula ada bulky mass tadi. Dengan cara ini angka kesembuhan nya cukup tinggi. Banyak ahli Onkologi Medis memberi kemoterapi sebagai terapi utama sejak stadium II ditambah dengan radioterapi adjuvant pada bulky mass, dengan demikian keperluan staging laparotomy makin sedikit, bahkan tidak diperlukan lagi karena tindakan ini terlalu invasif, sedangkan hasilnya sama saja, namun masih ada silang pendapat terutama antara ahli radioterapi dengan ahli onkologi medis.4,5 Banyak regimen kemoterapi yang dibuat untuk penyakit Hodgkin. Ada yang mengunakan alkylating agent, ada yang tidak. Alkylating agent dicurigai sebagai penyebab timbulnya kanker sekunder dan sterilitas. Adrianisin menyebabkan kelainan jantung; Bleomisin kelainan paru; terutama bila dikombinasikan dengan radioterapi mediastinum.Regimen-regimen yang kuratif selalu menggunakan kombinasi obat. Regimen yang menggunakan alkylating agent, misalnya :2,4,5

MOPP : diulang selang 21 hari bila memenuhi syarat.2-M = Mecloretamine 6mg/sqm i.v. hari ke 1 dan 8- O = Onkovin = Vinkristin 1,4 mg/sqm i.v. hari ke 1 dan 8- P = Prokarbazin 100 mg/sqm p.o hari ke 1 sampai 14- P = Prednison 40 mg/sqm p.o. hari ke 1 sampai 14 Modifikasi regimen MOPP ini juga ada yaitu COPP dan LOPP.Pada COPP (dan diulang setiap 28 hari) M diganti dengan C : Cyclophosphamide 650 mg/sqm i.v. hari ke 1 dan 8 atau 3x50 mg/sqm p.o. dd hari ke 1-14. sedangkan pada LOPP M diganti dengan L : Leukeren = Chlorambucil 8 mg/sm dd p.o. hari ke1-14.

Regimen yang tanpa alkylating agent misalnya ABVD atau ABV saja, dan diulang setiap 28 hari.2A = Adriamisin 25 mg/sqm i.v. hari ke 1 dan 15B = Bleomisin 10 mg/sqm i.v. hari ke 1 dan 15V = Vinblastin 6 mg/sqm i.v. hari ke 1 dan 15(D)= Decarbazine 375 mg/sqm i.v hari ke 1 dan 15Jadi kedua regimen itu dipakai sebagai terapi awal. Kedua regimen itu tidak cross resistant. Sesuai dengan hipotesis dari Goldie dan Coldman dapat dipakai MOPP dulu, atau ABV(D) dulu atau begantian MOPP-ABVD-MOPP-ABVD dst atau regimen hibrida MOPP-ABV(D), hasilnya sama baik, namun masih ada silang pendapat.

Terapi kasus yang telah diobati sebelumnyaDisini dimaksudkan terapi untuk kasus yang relaps, refrakter sejak terapi awal, atau setelah diobati beberapa kali. Kadang-kadang MOPP atau ABVD masih dapat dipakai untuk mendapatkan remisi karena dua regimen ini non-cross-resistant, namun angka remisinya kecil dan cepat kambuh lagi. Kalau kedua regimen baku itu tidak dapat menolong lagi dipakai regimen-regimen lain yang digolongkan dalam salvage-therapy (= terapi penyelamatan). Jadi salvage kemoterapi diberikan untuk mereka yang :1. mengalami relaps sesudah remisi lengkap2. resistant terhadap terapi

Tabel 4. regimen untuk salvage therapy (second line therapy pada Limfoma Hodgkin yang Relaps atau Resistant)4VABCDV = Vinblastin 6 mg/sqm i.v. tiap 28 hariA = Adrianmisin 25 mg/sqm i.v. tiap 28 hariB = Bleomisin 15 U i.v tiap minggu sekaliC = Lomustin (CCNU) 80 mg/sqm p.o. tiap 6 mingguD = Dakarbasin 375 mg/sqm i-v- tiap 3 minggu

CEP (diberi selang 3-6minggu)C = Lomustin (CCNU) 80 mg/sqm p.o. hari ke 1E = Etoposid 100 mg/sqm p.o. hari ke 1P = Prednimustin 60 mg/sqm i.v.hari ke 1,

EVA (diberi selang 3 minggu)E = Etoposid 200 mg/sqm p.o. hari ke 1-5V = Vinkristin 2 mg/sqm i.v. hari ke 1A = Adriamisin 20 mg/sqm i.v. hari ke 1,

MIME (diberi selang 3 minggu)M = Metil-GAG 500 mg/sqm i.v. hari ke 1-14I = Ifosfamid 1 gram/sqm i.v. hari ke 1-5M = Metotreksat 30 mg/sqm i.v. hari ke 3E = Etoposid 100 mg/sqm i.v. hari ke 1-4,

CEM (diberi selang 6 minggu)C = Lomustin 100 mg/sqm p.o. hari ke 1E = Etoposid 100 mg/sqm h. ke 1-3 dan 21-23M = Metotreksat 30 mg/sqm p.o. hari ke 1,8,21,28,

MCHOP (diberi selang 4 minggu)M = Metotreksat 30 mg/sqm i.v. tiap 6 jam selama 4 hari mulai hari ke1 dan 8 dengan rescueC = Siklofosfamid 750 mg/sqm i.v.h. ke 15H = Doksorubisin 50 mg/sqm i.v.h ke 15O = Vinkristin 1 mg/sqm i.v. hari ke 15 dan 22P = Prednison 100 mg/sqm p.o. hari ke 22-26,

EVAP (diulang selang 4 minggu)E = Etoposid 120 mg/sqm i.v. hari ke 1,8,15V = Vinblastin 4 mg/sqm i.v. hari ke 1,8,15A = Ara-C 30 mg/sqm i.v. hari ke 1,8,15P = Platinum 40 mg/sqm i.v. hari ke 1,8,15,MOPLACE (diberi selang 4 minggu)M = Metotreksat 120 mg/sqm i.v. hari ke 15 dan 22 plus rescueO = Vinkristin 2 mg i.v.h. 15 dan 22P = Prednison 60 mg/sqm p.o. hari ke 1-14L = Leukovorin rescueA = Ara-C 300 mg/sqm i.v. hari ke 15 dan 22C = Siklofosfamid 750 mg/sqm i.v. hari ke 1E = Etoposid 80 mg/sqm i.v. hari ke 1-3,

Regimen-regimen salvage therapy antara lain adalah : VABCD, ABDIC, CBVD, CEP, EVA, LVB, MIME, M-CHOP, CEM, EVAP, MOPLACE dll. (lihat table 4). Kemajuan dibidang pencangkokan sumsum tulang atau selbakal (stem-cell)-autologous memberikan dampak pula pada terapi limfoma yang resisten.5Pada kondisi ini diberikan kemoterapi yang dosisnya sangat tinggi hingga timbul aplasi sumsum tulang (myeloablative chemotherapy), kemudian dilakukan penyelamatan dengan pencangkokan sel bakal autologus yang diambil dari darah tepi setelah sebelumnya diberi Hemopoetic Growth Factors.5Populasi yang memerlukan kemoterapi dosis sangat tinggi plus stem-cell rescue (KDTrPSC) adalah penyakit Hodgkin yang sudah lanjut dengan disertai factor-faktor prognosis buruk yaitu antara lain :21.Mereka yang gagal mendapatkan complete remission (CR) atau partial (PR) yang baik (stabil) (yang didefinisikan sebagai hal yang sangat mungkin karena adanya fibrosis residu dengan terapi awal).2.Mereka yang mengalami Progresive Disease (PD) saat terapi awal.3.CR yang lamanya kurang dari 1 tahun4.Relaps berulang ( 2x) tanpa melihat lamanya remisi5.Adanya gejala-gejala B pada relaps yang pertama6.Relaps sesudah sebelumnya mengalami stadium IVFaktor-faktor tersebut diatas juga merupakan peramal hasil buruk dengan pengobatan garis ke 2 (salvage therapy); mereka ini calon-calon yang baik untuk KDTrPSC tersebut diatas. Mereka yang tanpa fakto-faktor buruk tersebut bila relaps masih dapat dicoba dengan kemoterapi garis kedua untuk mendapatkan CR kedua, namun kemungkinannya hanya 35% saja, sisanya akhirnya juga memerlukan KDTrPSC; bahkan telah mulai diteliti penggunaan KDTrPSC sebagai terapi awal, namun kesimpulannya masih belum ada.5

PrognosisAda tujuh faktor yang mempengaruhi prognosis pada Limfoma Hodgkin, dan untuk memprediksi masa bebas progresi penyakit atau FFR (Freedom Form Progression), yaitu :21. jenis kelamin2. usia >45 tahun3. Stadium IV4. HB 15.000/mm36. Limfosit