MAKALAH MMIG(4)

27
MAKALAH SEBAGAI TUGAS MATA KULIAH MASALAH-MASALAH IDENTITAS DALAM GLOBALISASI HOMOGENISASI IDENTITAS: Tinjauan Kritis terhadap Masuknya Nilai- Nilai Demokrasi Liberal ke dalam Kehidupan Masyarakat China Mita Yesyca 0806465560 Romarga A. Waworuntu 0806352416 Umi Yanti F. Silalahi 0806318630 Departemen Ilmu Hubungan Internasional FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

Transcript of MAKALAH MMIG(4)

Page 1: MAKALAH MMIG(4)

MAKALAH SEBAGAI TUGAS MATA KULIAH

MASALAH-MASALAH IDENTITAS DALAM GLOBALISASI

HOMOGENISASI IDENTITAS:

Tinjauan Kritis terhadap Masuknya Nilai-Nilai

Demokrasi Liberal ke dalam

Kehidupan Masyarakat China

Mita Yesyca 0806465560

Romarga A. Waworuntu 0806352416

Umi Yanti F. Silalahi 0806318630

Departemen Ilmu Hubungan Internasional

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS INDONESIA

2010

Page 2: MAKALAH MMIG(4)

BAB I

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Globalisasi berpengaruh terhadap kehidupan sehari-hari suatu negara sampai seorang individu.

Pengaruh tersebut tidak melulu dalam bidang ekonomi, sebuah penegasan jika selama ini dampak globalisasi

lebih sering dilihat dari sudut pandang ekonomi. Menurut Francis Fukuyama, globalisasi adalah isu yang lebih

besar dari ekonomi.1 Diskusi-diskusi tentang globalisasi menggambarkannya sebagai fenomena di mana dunia

menjadi semakin saling terkait dan terpadu, tunduk pada proses homogen dan seragam. Dalam globalisasi,

tidak semua kegiatan berlangsung secara global tentunya tapi, strategically crucial activities and economic

factors are networked around a globalized system of inputs and outputs.2 Kenyataannya, banyak orang merasa

dunia menjadi semakin sempit akibat globalisasi. Masyarakat di berbagai negara pun mengakui kemunculan

ikon-ikon global seperti Michael Jackson hingga Lady Gaga, atau produk-produk yang mendunia seperti Nike

atau Mc Donalds. Hal-hal tersebut merupakan bukti sederhana adanya kesadaran global.

Masyarakat yang tak luput dari pengaruh globalisasi adalah masyarakat China. Fenomena yang

menarik adalah ketika kita menganalisa masyarakat China, karena pada dasarnya memiliki karakteristik dan

sejarah yang unik terkait dengan geopolitik dan geo ekonomi karena secara geopolitik, secara geografi China

adalah salah satu negara yang berideologi komunis dimana Barat atau Amerika Serikat membangun

kebijakan containment policy atau politik pembendungan pada masa Perang Dingin. Sehingga saat ini China

dikelilingi oleh negara-negara liberal dan bercirikan pembangunan ekonomi kepitalistik seperti Jepang, Korea

Selatan dan Taiwan. Sedangkan secara geoekonomi, posisi China yang dikelilingi oleh negara kapitalistik Asia

Timur ini membuat posisi China dalam kacamata ekonomi, mau tidak mau harus turut serta dalam

perkembangan regional dimana sedang berlangsung proses globalisasi ekonomi. Makalah ini setidaknya akan

menunjukkan bagaimanakah negara yang masih mempertahankan sistem masyarakat sosialisme, mau tidak

mau juga harus berkompromi dengan nilai-nilai liberal yang diperkenalkan oleh agen globalisasi yaitu

misalnya perusahaan multinasional dan media. Pengaruh ini tentu saja akan membawa banyak perubahan

dalam sistem sosial, ekonomi dan politik.

Berangkat dari sejarah, Mao Zedong pernah memberlakukan Revolusi Budaya di China pada tahun

1966-1976 dan berupaya mengubah cara pandang masyarakat China akan masa kerajaan yang feodal. Dua

puluh tahun setelah teror itu berakhir, masyarakat China mulai mencari identitas mereka sekaligus memulihkan

diri setelah tragedi Tiananmen yang terjadi pada 1989.3 Slogan ‘better socialist weeds than capitalist flowers’

1Hirotsugu Aida, Perspective from the Media, diakses dari http://global.tokyofoundation.org/en/report/article/r0711/view, pada 10 September 2010.2 M. Castells, Information technology and global capitalism dalam W. Hutton and A. Giddens. (eds.) On The Edge. Living with global capitalism, (London: Vintage, 2001), hlm. 523 Hannah Beech, Let One Hundred Cultures Bloom, diakses dari http://www.time.com/time/asia/features/china_cul_rev/opener.html, pada 10 September 2010.

1

Page 3: MAKALAH MMIG(4)

pun secara perlahan tapi pasti mulai memudar dalam benak masyarakat China. Bagaimana prosesnya sehingga

masyarakat China memiliki identitas baru tersebut merupakan hal yang menarik untuk dibahas. Terutama

karena China memiliki karakteristik unik dalam menyikapi globalisasi. China, negara yang dahulu merupakan

negara tertutup dan komunis, kini menjadi ‘lebih liberal’ namun masih tetap enggan untuk mengidentifikasikan

dirinya sebagai negara liberal.

Francis Fukuyama, dalam artikelnya The End of History, mengatakan bahwa berakhirnya Perang

Dingin dengan kemenangan paham liberal oleh negara-negara Barat mungkin menandai berakhirnya evolusi

sosial budaya manusia. Fukuyama telah mengatakan bahwa paham liberal demokrasi akan menjadi pilihan

negara-negara di dunia, termasuk China yang saat itu memulai penerapan dekolektivitas di bidang pertanian—

suatu hal yang mustahil dilakukan oleh negara komunis. What we may be witnessing is not just the end of

the Cold War, or the passing of a particular period of post-war history, but the end of history as such: that is,

the end point of mankind's ideological evolution and the universalization of Western liberal democracy as the

final form of human government.4

Artikel tersebut ditulis pada tahun 1989 dan Fukuyama mengatakan bahwa saat itu China masih tidak

bisa digambarkan dengan cara apapun sebagai demokrasi liberal.5 Lebih dari puluh tahun setelah itu, China

yang kini memiliki sistem ekonomi pasar bebas telah mengalami banyak perubahan. Bukan hanya dari

pemerintah yang menerapkan sistem ekonomi terbuka, melainkan juga dari dalam masyarakatnya sendiri yang

mulai menunjukkan nilai-nilai demokrasi liberal. China sudah mengalami transformasi yang ditandai dengan

pertumbuhan ekonomi double-digit, pertarungan ideologi, konflik sosial, dan krisis politik sejak 1978, ketika

Deng Xiaoping membuka pasar China.6 Munculnya kapitalisme mengawali munculnya demokrasi; dan

memang beberapa diskusi menyimpulkan bahwa menurut sejarah, pasar bebas tidak hanya prasyarat, tetapi

pada akhirnya akan memastikan transisi menuju demokrasi, seperti yang terjadi di China. Nilai-nilai liberal

demokrasi banyak dikenalkan melalui sistem pasar bebas. Di sini penulis melihat bahwa hak kepemilikan dan

hak untuk mendirikan badan usaha adalah contoh-contoh cikal bakal demokrasi.

1.2 Rumusan Masalah

Globalisasi mendorong munculnya nilai-nilai liberal demokrasi di China. Fakta tersebut mendorong

penulis untuk membahas penerimaan nilai-nilai baru yang muncul akibat globalisasi dalam dua layer sistem

negara dan individu masyarakat China. Penulis melihat ada tiga aspek yang dapat dilihat lebih fokus untuk

mengkaji perubahan-perubahan nilai yang terjadi pada masyarakat China: politik, ekonomi, dan sosial budaya

di China. Penulis berusaha menjawab pertanyaan bagaimana kontribusi globalisasi terhadap proses

homogenisasi identitas masyarakat China dewasa ini dengan meninjau pada aspek politik, ekonomi, dan

sosial budaya? Dimulai dari kerangka konsep yang digunakan untuk memahami kasus homogenisasi identitas

4 Francis Fukuyama, The End of History and the Last Man, (New York: The Free Press, 1992).5 Francis Fukuyama, The End of History, dalam The National Interest, Summer, 1989, diakses dari http://www.wesjones.com/eoh.htm#title, pada 10 September 2010.6 Haiqing Yu, Media and Cultural Transformation i n China, (New York: Routledge, 2009), hlm. 1.

2

Page 4: MAKALAH MMIG(4)

di China akibat globalisasi, selanjutnya pembahasan lebih spesifik akan melihat kekhasan kondisi masyarakat

China setelah globalisasi.

1.3 Kerangka Konsep

Thomas L. Friedman dalam bukunya “The World is Flat” mengkategorikan globalisasi dalam tiga

pembabakan: globalization 1.0, globalization 2.0, globalization 3.0.7 Pada tahapan globalisasi pertama,

globalisasi cenderung berorientasi negara. Tahap ini berlangsung kurang lebih sejak tahun 1492, ditandai

dengan pelayaran Columbus yang membuka jalur perdagangan antara Dunia Lama dan Dunia Baru, hingga

sekitar tahun 1800. Tahap kedua berorientasi perusahaan, dan bertahan sejak sekitar tahun 1800 hingga 2000-

an. Tahap ketiga lebih berorientasi pada individual yang gejalanya mulai dapat dilihat sejak tahun 2000-an.

Fenomena globalisasi seperti yang terjadi sekarang mengarah kepada globalisasi nilai-nilai kapitalisme

liberal dan materialistis modern.8 Fenomena ini mengacu pada nilai-nilai ekonomi karena sistem ekonomi

merupakan sistem yang mendominasi sistem-sistem sosial lainnya, dimana nilai-nilai materialistis dan

konsumerisme menyebar ke masyarakat melalui media massa. Namun di sisi lain, globalisasi juga bukan

sekedar fenomena ekonomi, seperti yang diutarakan oleh Friedman.9 Globalisasi turut membawa dampak yang

lebih luas, mendalam, dan kompleks, seperti dalam perkembangan komunikasi dan berbagai inovasi lainnya.

Fenomena globalisasi menyebabkan berbagai fenomena lainnya, seperti homogenisasi. Menurut

Francis Fukuyama, homogenisasi identitas mengacu pada nilai-nilai liberal, seperti demokrasi dan liberal,

dimana umat manusia berjalan menuju pola yang sama, yakni menuju demokrasi liberal modern dan

kapitalisme yang digerakkan oleh teknologi.10 Fukuyama percaya bahwa sistem demokrasi liberal merupakan

bentuk terakhir dari sejarah umat manusia yang merupakan konklusi terbaik dalam mengatasi permasalahan

internasional.11 Demokrasi liberal menurut Fukuyama mengarah ke sistem pemilihan umum (pemilu), seperti

misalkan terdapatnya multipartai dalam pemilu, serta mengacu pada jaminan hukum terhadap hak-hak individu

masyarakat.12 Dengan kata lain, pengertian demokrasi liberal menurut Fukuyama juga turut mengacu pada hak-

hak individu, seperti kebebasan media, kebebasan beragama, kebebasan membentuk kelompok politik, dan

terutama kebebasan untuk berpartisipasi dalam sistem politik.

7 Thomas L. Friedman, The World is Flat, (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2007), hlm. 10.8 Yi Wang, “Globalization Enhances Cultural Identity”, dalam Intercultural Communication Studies XVI: 1 2007, hlm. 849 Thomas L. Friedman, Op. Cit., hlm. 48210 “Chapter 2: Modernization, Westernization, and Democratization”, diakses dari http://www.dflorig.com/CHAP2.html, pada 15 September 2010, pk 10.50.11 Joel Achenbach, The Clash, diakses dari http://www.washingtonpost.com/ac2/wp-dyn/A34207-2001Dec12?language=printer, pada 15 September 2010, pk 07.45.12 Brian Lamb, The End of History and the Last Man by Francis Fukuyama, diakses dari http://www.booknotes.org/Transcript/?ProgramID=1088, pada 15 September 2010, pk 8.30.

3

Page 5: MAKALAH MMIG(4)

BAB II

Pembahasan

2.1 Kontribusi Globalisasi dalam Homogenisasi Identitas China

Globalisasi membuat masyarakat dunia menjadi semakin tanpa batas. Hal ini berkaitan erat dengan

perkembangan teknologi, komunikasi dan transportasi. Globalisasi menimbulkan fenomena

kesalingtergantungan antarmasyarakat dunia, dimana kesalingtergantungan ini didasari kesadaran masyarakat

bahwa masyarakat dunia memerlukan satu sama lain untuk memenuhi kebutuhan hidup. Hal inilah yang

difasilitasi oleh globalisasi, dimana batasan antar masyarakat dunia menjadi semakin kabur karena

keterbukaan.

Dalam masa pemerintahan Perdana Menteri China Deng Xiaoping, arus modal, barang, informasi,

serta teknologi lintas batas di China mengalami peningkatan.13 Para pemimpin China menganggap bahwa

terbukanya akses bagi penanaman modal asing merupakan jalan untuk memperluas pembaharuan pasar dan

pertumbuhan ekonomi negara.14 Relasi ekonomi dengan dunia luar menjadi kekuatan penting dalam

mendorong pertumbuhan perekonomian China.

Masyarakat China pada dasarnya menganut prinsip komunis. Namun, fenomena globalisasi menjadi

jendela bagi masuknya nilai-nilai global ke China, termasuk nilai-nilai liberalisme. Fukuyama berargumen

bahwa kurang lebih sejak 1970-an, paham Marxis-Leninis makin tidak populer digunakan sebagai sistem

ekonomi.15 Peran negara dalam sektor pertanian berkurang, seperti hanya dalam hal pemungutan pajak.

Peningkatan sektor produksi serta disediakannya insentif bagi petani menunjukkan keberhasilan sektor agraria

China, dimana kesuksesan ini memengaruhi pemerintah China untuk melebarkan pembaharuan ke bidang-

bidang lain dalam ekonomi.

Keterbukaan China ini apabila dilihat dari regulasi pemerintah dapat dilihat dari kebijakan-kebijakan

Perdana Menteri Deng Xiaoping yang memulai era terbukanya China.16 Kebijakan ini kemudian membuka

pintu perekonomian dan mengarah kepada kebebasan pasar. Namun, seperti yang diutarakan oleh Friedman

sebelumnya, globalisasi tersebut kemudian berkembang melampaui permasalahan-permasalahan menyangkut

negara dan pasar. Globalisasi kemudian mulai memberikan perhatian kepada individu. Dengan pengertian ini,

paham-paham liberal yang dapat dilihat berkembang di China meluas bukan hanya meliputi aspek paham

liberal yang memengaruhi negara ataupun liberal kapitalis pasar, namun juga mencapai ke pembahasan

individu masyarakat China. Dalam subbab selanjutnya, penulis akan menjelaskan sejauh mana proses

13 Yong Deng dan Thomas G. Moore, China View Globalization: Toward a New Great-Power Politics, dalam Washington Quarterly 27: 3, hlm. 119.14 Chinese Citizens’ Attitudes towards Globalization: A Survey Study of Media Influence, diakses dari http://www.allacademic.com//meta/p_mla_apa_research_citation/2/3/0/9/7/pages230974/p230974-1.php, pada 15 September 2010, pk 01.30.15 Francis Fukuyama, “The End of History” (1989), diakses dari http://www.wesjones.com/eoh.htm, pada 15 September 2010, pk 01.00.16 How Chinese Thinks, hal. 12.

4

Page 6: MAKALAH MMIG(4)

homogenisasi identitas demokrasi liberal berlaku di China, yakni sejauh mana demokrasi liberal telah

terpenetrasi dalam kehidupan masyarakat China, menyangkut aspek ekonomi, politik, serta sosial-budaya.

2.2 Homogenisasi Identitas Masyarakat China

2.2.1 Pengaruh di Bidang Ekonomi

Sekarang ini yang menjadi pembahasan paling akurat adalah China sebagai entitas ekonomi yang pesat

berkembang. Perkembangan ini membuat negara-negara maju heran karena negara ini yang sebelumnya

memiliki intensitas penduduk miskin terbesar. China membuat negara-negara maju khawatir dan takut,

contohnya negara Amerika, Jepang, Eropa, dll. Mereka menghawatirkan di masa yang akan datang China akan

menguasai pasar global dan menggantikan Amerika yang selama ini menjadi negara hegemon dan sebagai

penguasa pasar global. Perkembangan China itu sendiri terutama dalam bidang infrastruktur perekonomiannya

yang semakin maju bahkan sekarang China sudah menjadi ekonomi terbesar ketiga di dunia setelah AS, dan

Jepang dengan PDB yang tinggi sekitar US$4,9 triliun.17 Ini disumbang sebagian besar oleh perdagangan

sektor teknologi informasi dan komputer. Saat ini China ini termasuk yang ditakuti dan disegani oleh AS

karena negara ini juga merupakan pemborong utama perusahaan-perusahaan AS yang diambang kebangkrutan

karena krisis ekonomi.

Pertanyaannya adalah mengapa kita perlu menganalisis daya acceptance dari masyarakat China akan

budaya Barat dari aspek ekonomi industri? Seperti yang sebelumnya sudah dibahas dalam kerangka konsep

Francis Fukuyama mengimpose liberal-demokrasi sebagai paham yang menjadi puncak peradaban manusia.

Liberal demokrasi mengandung 2 unsur utama, yaitu hak kebebasan untuk pemilihan umum dan hak-hak

pribadi. Hak-hak pribadi ini salah satunya mengandung hak kepemilikan modal atau kapitalis. Pembangunan

ekonomi di China tidak lepas dari luasnya pintu bagi para pemilik modal (kapitalis) untuk mengembangkan

modalnya masing-masing. Kapital lokal bahkan kapital asing menjamur di China seiring open door policy

selepas Mao berkuasa.

Dalam makalah ini penulis akan menyoroti pengaruh MNCs dan industri asing sebagai hal yang

dominan dan paling mencolok mempengaruhi ekonomi masyarakat di China. Multinational corporations

(MNC) adalah sebuah perusahaan yang mempunyai pusat operasi pada satu negara dan mempunyai serta

mengoperasikan perusahaan-perusahaan lainnya di negara lain. Perusahaan-perusahaan lainnya ini dinamakan

subsidiaries. MNC berbeda dengan perusahaan lainnya baik dari segi ukuran hingga kemampuannya

mempengaruhi politik, ekonomi, dan sosial suatu negara yang besar.18 MNC mempunyai struktur yang

berubah-ubah dari jaman sebelum perang dunia kedua hingga periode sekarang ini. Struktur MNC sekarang ini

adalah integrasi distribusi, saling bergantungnya sumber daya alam, dan kemampuan mengoperasikannya

dalam pasar yang berbeda. Secara umum, MNC memilih untuk memiliki semua kepemilikan dari cabang-

cabang perusahaannya karena full ownership berarti maksimum kontrol. Untuk mendapatkan full ownership

17 Gross Domestic Product 2009, diakses dari http://siteresources.worldbank.org/DATASTATISTICS/Resources/GDP.pdf, pada 15 September 2010.18 Daniel S. Papp, Contemporary International Relations Frameworks for Understanding, (United States of America: Georgia Institute of Technology, 1997).

5

Page 7: MAKALAH MMIG(4)

ini, MNC harus sering menginvestasikan banyak uangnya kepada negara-negara dimana cabangnya berada.

Uang yang diinvestasikan ini dinamakan foreign direct investment. Pemerintah China membiarkan para

pemilik modal masuk seluas-luasnya ke negeri itu. Tidak lupa juga investor asing. Contohnya kota Shenzhen,

kota nelayan yang menjadi kota metropolitan hasil kebijakan Dao Xiaoping, berkembang menjadi kota

industri. Populasi penduduknya tumbuh cepat menjadi sekitar 8,5 juta jiwa saat ini dari yang sebelum tahun

1979 hanya berjumlah ratusan ribuan.19

Tetapi terkadang juga mereka harus berbagi saham kepemilikan kepada perusahaan swasta lainnya

ataupun dengan pemerintah di negara tersebut. Hal ini dinamakan joint venture. China adalah salah satu negara

yang menerapkan sistem ini. Pemerintah China yang sangat kooperatif mengundang dan mengadakan inovasi

perdagangan berupa joint venture dan agreement of lisencesing memanfaatkan ini untuk menjadi ajang

peningkatan ekonomi mereka. Penulis juga melihat upaya yang dilakukan pemerintah yaitu mengundang dan

menyambut baik MNC menjual dan membuat risetnya di China, yang notabene biaya produksinya jauh lebih

murah (upah buruh murah dan tersedia banyak, bahan dasar produksi banyak dan murah) menjadi kesempatan

bagi China untuk komparasi kemajuan ekonomi pula. Salah satu diantaranya dengan membuat kembali barang

yang sama dengan harga jual yang lebih murah dan kompetitif. China melihat adanya suatu kebutuhan dari

masyarakat yang tidak berdaya beli produk MNC asli yang sangat mahal. China membuat tiruannya dalam

jumlah banyak sehingga pasar yang tidak menjadi target MNC pun dijangkau oleh produksi China.

Tidak dipungkiri bahwa di Shenzhen, kota industri terkemuka China, terkenal dengan pusat pembuatan

barang palsu. Kalau tidak paham, sulit membedakan mana bolpoin Mont Blanc asli dan palsu. Begitu pula sulit

membedakan mana Rolex asli atau palsu.20 Namun, cerdiknya pemerintah China yang memang sudah sejak

5000 tahun lalu dikenal sebagai pusat inovasi teknologi dengan memperkenalkan serbuk mesiu, kompas, dan

teknologi lain yang kemudian dikembangkan oleh negara Barat sebagai teknologi yang lebih maju. Sekarang

China tampaknya sangat berniat merebut peran sejarah yang terdahulu pernah dimilikinya. China begitu

agresif mengembangkan aneka teknologi, dari yang sederhana hingga yang paling canggih yaitu mengirim

astronot ke luar angkasa selama lima hari.21

MNC biasanya membuat komponen barang di banyak tempat berbeda. Banyak barang yang dilabel

dengan nama “buatan Amerika” ataupun “buatan China”, padahal barang-barang tersebut dibuat di lebih dari

satu negara. Contohnya adalah kerjasama antara Chrysler Corporation dengan Mitsubishi Motors, dan Exxon

dengan Mobil. Walaupun kelihatan tidak terlalu penting dimana tempat sebuah produk diproduksi, namun

kenyataannya adalah produksi menciptakan pekerjaan bagi pekerja, keuntungan bagi perusahaan, dan kekuatan

ekonomi bagi suatu negara.

19 Heru Margianto, Ke Shenzhen, Menawarlah dengan "Kejam", diakses dari http://travel.kompas.com/read/2010/08/18/10171071/Ke.Shenzhen..Menawarlah.dengan..quot.Kejam.quot., pada 11 September 2010.20 Ibid.21 Heru Margianto, Huawei, Keajaiban China, diakses dari http://tekno.kompas.com/read/2010/08/20/09394051/Huawei..Keajaiban.China pada 11 September 2010.

6

Page 8: MAKALAH MMIG(4)

Selain itu, sebuah MNC mempunyai peran penting dalam kemampuannya untuk menyamakan selera

pembeli, dan untuk mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya, MNC menerapkan system sentralisasi

pengambilan keputusan. Hal ini terjadi pula di China yaitu proses homogenisasi selera pasar dari MNC karena

pintarnya mereka menangkap kebutuhan. Dampak yang seharusnya adalah China sebagai host country akan

kehilangan kontrol terhadap kehidupan politik, ekonomi dan tujuan sosialnya. Akan tetapi tidak terjadi di

China sayangnya, kontrol pemerintah tetap berjalan tanpa membatasi MNC mengembangkan usahanya. Maria

Pangestu bahkan pernah menyampaikan pendapatnya bahwa China itu kompleks. Seperti pada kutipan ini:

”The New China was more accurately described ‘authoritarian capitalism’...So China has become a kind of

global oddity—a nation with a robust economy and rapidly modernizing but still under authoritarian political

controls that forbid democratic elections, an independent judiciary or even serious public discussion of public

affairs.”22

Dari uraian di atas tampak jelas bahwa China memang liberal di aspek ekonomi dan seiring

perkembangannya terus menerus berupaya meningkatkan daya saingnya dengan perusahaan asing. Akan tetapi

apakah dengan melihat aspek ekonomi yang seperti ini mimpi dari Fukuyama telah tercapai? Penulis

menganalisis bahwa tercapai atau tidaknya liberal seperti yang menjadi argumen kuat dari Fukuyama tidak

serta merta terinput di China. Masyarakat China yang ulet, rajin, inovatif, dan juga pemerintah yang peka

terhadap kesempatan yang ada membuat suatu hal yang khusus dan anomali dalam prinsip liberal mainstream.

Entah dalam proses menuju mainstream yaitu liberalisasi dan deregulasi (yang jelas-jelas akan mustahil

melihat kontrol negara yang di satu sisi menyebalkan tetapi di sisi lain menciptakan trust bagi MNC yang

datang akan kestabilan politik hasil redaman pemerintah), atau pun memang sebagai anomali China

berkebutuhan khusus untuk menjadi model negara yang kuat ekonominya meskipun tidak liberal-demokrasi.

Dari sini bisa dilihat tendensi teori Fukuyama tidak kompatibel di semua kasus bahwa masyarakat liberal-

demokrasilah yang menjadi syarat negara tersebut menjadi maju dan berada pada puncak kejayaan.

2.2.1.1 Shenzhen Sebelum Liberalisasi

Shenzhen merupakan sebuah kota yang terletak di wilayah selatan provinsi Guangdong, Cina. Lokasi

Shenzhen berdekatan dengan Pearl River Delta dan Hong Kong. Secara geografis, lokasi Shenzhen ini

memberikan kota ini keuntungan dalam segi pertumbuhan ekonomi. Awalnya kota ini bernama Baoan County,

namun pada tahun 1979, Baoan County berganti nama menjadi Shenzhen.

Tigapuluh tahun lalu Deng Xiaoping merancang kota Shenzhen yang semula merupakan kota nelayan

yang bersebelahan dengan Hong Kong, menjadi zona ekonomi Cina yang pertama.23 Sejak itu, Shenzhen

menjadi salah satu kota penting bagi Cina dan menarik perhatian karena pertumbuhan ekonominya yang pesat.

22 James F. Scotton dan William A. Hatchten, “New Media for a New China”, (UK: Blackwell Publishing, 2010), hlm. 23.23 Frank Ching, “China says yes to democracy, eventually”, diakses dari http://www.theglobeandmail.com/news/opinions/china-says-yes-to-democracy-eventually/article1698968/, pada 9 September 2010, pk 20.00.

7

Page 9: MAKALAH MMIG(4)

Awalnya, Shenzhen dimaksudkan menjadi daerah untuk menangkar pengaruh kapitalisme dari dataran

Cina.24

Fenomena yang terjadi di Shenzhen ini bermula dari kebijakan “open door” Cina yang diajukan oleh

tokoh reformis Perdana Menteri Deng Xiaoping, yaitu untuk menjadikan Shenzhen sebagai salah satu Zona

Ekonomi Khusus.25 Dengan kebijakan ini, Shenzhen menjadi kota yang terbuka terhadap investasi asing serta

sistem ekonomi pasar. Seperti pula yang dikatakan oleh Deng Xiaoping, status Zona Ekonomi Khusus menjadi

“jendela” bagi Shenzhen dalam hal arus teknologi, manajemen, pengetahuan, serta kebijakan luar negeri.

2.2.1.2 Liberalisasi Shenzhen

Masyarakat Cina secara keseleuruhan telah mengalami perubahan pesat menjadi masyarakat industri

yang berorientasi pasar. Setiap aspek dalam budaya Cina, seperti bahasa, sistem politik, model produksi,

hukum, militer, pendidikan, arsitektur, hingga adat, nilai, struktur keluarga, hiburan, bahkan pakaian dan

makanan, telah mengalami perubahan besar.26

Salah satu penanda liberalisasi di Shenzhen ialah masuknya investasi asing. Sumber investasi di

Shenzhen didominasi oleh negara-negara di Asia. Pada tahun 1990, Shenzhen menempati urutan pertama

dalam hal investasi asing langsung terbesar di Cina, menggungguli daerah-daerah lain, seperti Shanghai dan

Beijing, dengan angka sebesar US$ 349,200.27

Institut Observasi Kontemporer (ICO) merupakan organisasi nonpemerintah yang berasal dari

Shenzhen dan dibentuk pada tahun 2001, yang fokus pada isu hak buruh. Organisasi ini bukan sekedar

melakukan oenelitian, namun juga berusaha mengenalkan hak azasi manusia kepada ratusan pabrik serta lebih

dari 200.000 pekerja di Cina.28

Liberalisasi yang dialami oleh Shenzhen juga berkembang pada masalah lain, yaitu migrasi. Pendatang

dari berbagai penjuru negeri Cina bermigrasi ke Shenzhen demi mendapatkan kehidupan yang lebih baik.29

Dengan munculnya banyak MNCs Barat yang berbondong-bondong ke China (khususnya ke Shenzhen)

membuat suatu kebutuhan akan jumlah pekerja yang besar dan hal ini dilihat menarik dan sangat pas bagi

orang-orang masyarakat usia pekerja yang, entah merasa tidak cukup puas dengan penghasilan maupun dengan

cara tradisional dari masyarakat agrikultur. Akhirnya apa yang masyarakat tradisional junjung tinggi pun, yaitu

24 Carlo Ratti, “Instant City (Shenzhen, China)”, diakses dari senseable.mit.edu/papers/pdf/2003_Ratti_Aspenia.pdf, pada 10 September 2010, pk 14.50.25 Ibid.26 Wu Mei dan Guo Zhenzhi, “Globalization, National Culture, and the Search for Identity: A Chinese Dilemma”, diakses dari http://archive.waccglobal.org/wacc/publications/media_development/2006_1/globalization_national_culture_and_the_search_for_identity_a_chinese_dilemma, pada 9 September 2010, pk 22.30.27 “The effects of globalization on the urban system in China” diakses dari http://www.unu.edu/unupress/unupbooks/uu11ee/uu11ee0s.htm, pada 9 September 2010, pk 22.00.28 Rose Tang, “The Winds of Change”, diakses dari http://www.hartford-hwp.com/archives/55/689.html”, pada 9 September 2010, pk 21.00.29 Heru Margianto, “Huawei Keajaiban China”, Loc. Cit.

8

Page 10: MAKALAH MMIG(4)

sebuah communalism (budaya kolektif dan bersama-sama satu keluarga) berubah menjadi budaya migrasi ke

kota-kota moderen yang memiliki kesempatan berkerja di perusahaan asing, yang dilihat lebih menjanjikan.30

Perilaku liberal yang muncul pada sebagian besar individu yang ada di Kota Shenzhen yang sekarang

ini menunjukkan bahwa adanya pergeseran dari sifat masyarakat tradisional nelayan terdahulu (agricultural

society) menjadi masyarakat industri yang cenderung individualis. Hal ini dapat terlihat dari banyaknya usia

pekerja yang berbondong-bondong datang ke Shenzhen dan menetap sendirian di sana, biasanya tinggal dalam

apartemen-apartemen yang sudah memadai di Shenzhen, untuk mencari nafkah sedangkan masyarakat yang

berusia tua tinggal di kota/desa di luar Shenzhen.31 Shenzhen disulap menjadi kota yang ekslusif hanya bagi

para masyarakat usia produktif yang mampu berkompetisi untuk memiliki gaya hidup pekerja yang terhisap

arus kapitalis.

Melihat fakta yang terjadi di Shenzhen terbukti sudah bahwa memang perilaku individu di kota-kota

industri metropolitan di China sudah menunjukkan diterimanya liberalisme dalam pola hidup masyarakat.

Perilaku liberalisme yang muncul ini dipengaruhi oleh masuknya perusahaan-perusahaan asing yang melihat

potensi low cost production di China dan dukungan dari pemerintah China untuk investasi menyebabkan suatu

kebutuhan besar akan kebutuhan pekerja. Masyarakat Shenzhen yang sekarang adalah masyarakat yang

berubah dari masyarakat yang berpola tradisional, menjunjung kolektifitas keluarga di atas kepentingan apa

pun, menjadi masyarakat yang berperilaku liberal, yaitu mampu berkompetisi dan individualis demi

kepentingan ekonomi masing-masing.

2.2.2 Pengaruh di Bidang Politik

Salah satu indikasi demokrasi liberal seperti yang diyakini oleh Fukuyama ialah kebebasan pers, yang

merupakan salah satu bagian dari kebebasan individu. Media China memberikan akses luas terhadap informasi

dan hiburan, sekaligus seringkali mengkritisi kontrol pemerintah China terhadap perkembangan dan arus

informasi.32 Terlepas dari upaya pemerintah untuk mengontrol media China, tak dapat dipungkiri bahwa media

modern ini telah membentuk opini publik China.33 Media China tetap menunjukkan suatu perkembangan

positif, meski amat dikontrol oleh pemerintah.

Media di China juga seringkali digunakan sebagai media periklanan. Media periklanan tersebut menjadi

semacam perpanjangan tangan kapitalis, dimana media menjadi sarana promosi produk kepada masyarakat.

Bahasan mengenai media periklanan erat kaitannya dengan pembahasan penulis sebelumnya mengenai

ekonomi kapitalis. Produk yang ditawarkan oleh pasar tersebut ditawarkan ke masyarakat dalam bentuk paket

yang menarik melalui media periklanan, sehingga masyarakat tertarik untuk membeli. Di tahun 2008, China

memiliki 250 juta pengguna internet, 350 juta telepon selular, 300 juta blog, serta penulis blog dengan jumlah

30 Heru Margianto, “Ke Shenzhen, Menawarlah dengan "Kejam" “, Loc. Cit.31 Heru Margianto, “Ke Shenzhen, Tina Membangun Harapan”, Kompas.Com 18 agustus 2010 diakses dari http://lipsus.kompas.com/topikpilihan/read/2010/08/18/10002435/Ke.Shenzhen..Tina.Membangun.Harapan pada 14 September 2010 pukul 17.1632 Ibid.33 James F. Scotton dan William A. Hatchten, Op. Cit., hlm. 23.

9

Page 11: MAKALAH MMIG(4)

tak terhitung yang membangun jaringan komunikasi “all to all”.34 Di antara media-media populer yang

berkembang di China, televisi (TV) merupakan salah satunya. Penelitian Dobson di tahun 2005

memperlihatkan bahwa televisi merupakan media iklan yang paling dominan bagi masyarakat China, karena

China memiliki 1,17 milyar penonton TV, dimana rata-rata masing-masing penonton menghabiskan tiga jam

untuk menonton di depan televisi.35 Pemasukan dari periklanan TV memegang 23,64% dari total penerimaan

dari periklanan China di 2003, sedangkan surat kabar 22,53%.36 Media televisi di China memiliki suatu

karakteristik penting yang membedakannya dengan yang lain, yaitu bahwa media TV tersebut merupakan

milik pemerintah dan berada di bawah kontrol pemerintah.37 Televisi Sentral China (CCTV) mengungguli

media lain dalam hal pendapatan periklanan. Hal ini dikarenakan saluran ini merupakan perpanjangan mulut

pemerintah dan konglomerat yang berkuasa. Pemerintah China sendiri sangat mendorong pertumbuhan media

lokal China, dimana media tersebut dipandang membawa keuntungan ekonomis bagi China.

Perkembangan media modern yang paling dinamis dapat dilihat dari internet. Pengguna internet di

China menunjukkan tanda-tanda peningkatan dari segi kuantitas, kira-kira 111 juta orang go online setiap

harinya, dan jumlah ini sendiri terus mengalami peningkatan.38 Menurut Timothy Cheek, media internet di

China menunjukkan tanda-tanda perubahahan ke arah yang lebih demokratis.39 Meskipun pemerintah telah

melakukan pengeblokan terhadap sejumlah website internasional, namun praktik liberal dan demokrasi itu

sendiri mulai nampak di media internet China. Misalkan apabila melihat kasus Wikipedia di China, situs

referensi ini sempat menimbulkan perdebatan ketika seseorang mengepos esai “China-centrism”.40 Meski

muncul perdebatan, namun para kontributor setuju pada unsur netralitas Wikipedia, meliputi objektivitas

dalam isi artikel, kesetaraan bagi pengguna, dan pentingnya konsensus.

Menurut Liu Xiaobo, salah seorang kaum intelektual yang turut berpartisipasi dalam demonstrasi

Tiananmen mengatakan bahwa e-mail dan transfer dokumen elektronik memungkinkan dan memudahkan

penyusunan petisi dan pemublikasian artikel.41 Artikel-artikel tersebut hanya dapat diterbitkan di luar China,

dan pemerintah China sendiri cenderung membiarkan hal ini asalkan tidak menimbulkan kekacauan di dalam

negeri. Peran kritis media dapat dilihat dalam kasus yang terjadi tahun 2007 42, dimana beberapa penulis blog

mengekspos pejabat polisi yang korupsi yang membiarkan pemilik tambang baja dan batu bara untuk menculik

dan memperbudak pekerja anak di provinsi Shanxi. Skandal ini kemudian diliput oleh stasiun tv lokal dan

menjadi nasional serta internasional skandal.

Selain media-media lokal, beberapa media asing juga masuk ke China. Semenjak China bergabung

dengan WTO di tahun 2001, pemerintah China telah secara bertahap membuka pasar media domestiknya. 43

34 Ibid., hal. 3.35 Jing Wang, Brand New China: Advertising, Media, and Commercial Culture (Cambridge: Harvard University Press, 2008), hal. 27.36 Ibid.37 Ibid., hal. 247.38 Ibid., hal. 120.39 Timothy Cheek, Living with Reform: China since 1989, (Nova Scotia: Fernwood Publishing, 2006), hal. 119-120.40 Ibid., hal. 120.41 Ibid.42 James F. Scotton dan William A. Hatchten, Op. Cit., hlm. 3.43 Xu Minghua, Globalization, Foreign media and Local response in China, hlm. 2.

10

Page 12: MAKALAH MMIG(4)

Ditandai dengan masuknya tiga saluran televisi asing pada tahun tersebut. Terdapat setidaknya tigapuluhan

saluran kabel asing yang diizinkan untuk siaran di China, termasuk CNN, HBO, MTV Mandarin, Channel V,

dan Discovery).44 Pada Oktober 2004, Badan Administrasi Radio Film dan Televisi Negara mengeluarkan

kebijakan untuk mengatur media asing di China melalui format yang lebih beragam. 45 Menurut Xu Minghua,

hal ini mengindikasikan bahwa kebijakan pengaturan televisi di China mulai berubah dimana terdapat unsur

pasar media terbuka yang mengarah kepada kapitalisme di China. Dengan kata lain, hal ini menunjukkan

bahwa China menjadi lebih terbuka terhadap penanaman modal asing. Dan meskipun peraturan yang

diterapkan oleh pemerintah ini ketat, investor asing tetap tertarik untuk masuk karena menganggap pasar China

sebagai pasar yang potensial. Lokalisasi menjadi hal penting dalam adaptasi media asing agar masyarakat

China akan lebih tertarik untuk menikmati media-media tersebut.

Perkembangan media asing di China bukan hanya menunjukkan adanya kecenderungan kapitalisme,

yakni dengan makin terbukanya China terhadap modal asing, namun juga terhadap aspek konsumerisme.

Pilihan media hiburan yang ditawarkan yang makin beragam, yang dimana di dalamnya juga mengandung

media periklanan membuat masyarakat China bukan hanya ke arah kapitalisme, namun juga kepada

konsumerisme. Di satu sisi, kapitalis ini membuka peluang juga bagi para pencari kerja, terkait dengan

lokalisasi media asing.

Melihat perkembangan media di China, meskipun dikontrol dan dibatasi oleh pemerintah, media

berusaha untuk mendapatkan kebebasan yang lebih luas. Media di China memimpin upaya pembaharuan,

dimana media seperti blog internet dan telepon selular berusaha mendorong institusi politik dan sosial ke arah

perubahan dan keterbukaan.46 Upaya pemerintah China dalam mengontrol semua media termasuk internet dan

telepon selular terdengar nyaris mustahil.47 Media internet telah menjadi alat efektif untuk mobilisasi massa

dan mengatur pergerakkan sosial dalam civil society di China.48 Para penulis blog yang kebanyakan merupakan

generasi muda suka untuk menantang otoritas pemerintah, seperti dengan “go under the firewall”. Namun

demikian, perkembangan media China modern memperlihatkan pembaharuan positif, yakni bahwa meskipun

pemerintah masih amat mengontrol kebebasan media, masyarakat dan media tersebut itu sendiri telah memiliki

kesadaran untuk berusaha memiliki kebebasan pers yang lebih luas. Masyarakat Cina modern sadar akan

pentingnya media sebagai sarana komunikasi dan pertukaran informasi, sehingga kesadaran dan tuntutan akan

kebebasan pers lebih berkembang. Sedangkan apabila penulis melihat dari pola masyarakat individu dalam

media, media menjadi alat bagi kapitalis untuk mencari keuntungan, terutama dari media hiburan dan

periklanan, dan bagi masyarakat pada umumnya untuk mencari hiburan dan informasi.

Berkaca dari argumen Fukuyama mengenai homogenisasi nilai-nilai demokrasi liberal, apabila hal ini

dilihat dari kasus China, terutama aspek media, penulis melihat bahwa pemerintah belum mendukung penuh

kebebasan pers. Kontrol ketat pemerintah dalam akses media internet, yakni dengan kebijakan sensor, serta

44 Jing Wang, Op. Cit., hlm. 25145 Xu Minghua, Op.Cit., hlm. 246 James F. Scotton dan William A. Hatchten, Op.Cit., hlm. 347 Ibid.48 Zixue Tai, The Internet in China, (New York: Routledge, 2006), hlm. 286

11

Page 13: MAKALAH MMIG(4)

sejumlah pembatasan di media lainnya, mengindikasikan situasi pemerintah China yang belum demokrasi

liberal. Di sisi lain, penulis melihat bahwa masyarakat China sudah sadar dan siap akan perubahan itu sendiri.

Terutama dalam hal media, masyarakat menginginkan kebebasan dalam akses informasi. Media itu sendiri

menjadi sarana demokrasi masyarakat, dimana bukan saja media digunakan untuk mengakses informasi,

namun media juga digunakan sebagai sarana komunikasi. Media menjadi sarana untuk memajukan (empower)

masyarakat dan meningkatkan kesadaran (awareness) akan nilai-nilai liberal dan demokrasi.

2.3 Pengaruh di Bidang Sosial-Budaya

Masyarakat China tradisional, sangat berbeda dari masyarakat China sekarang. Membahas tentang

masyarakat China tradisional tidak lepas dari sejarah pendidikan filsafat Konfusianisme. Ajaran

Konfusianisme memberikan banyak pengaruh kepada masyarakat China baik secara sosial maupun politik.

Pengaruh secara sosial adalah terbukanya kesempatan kepada orang-orang yang tergolong struktur sosial

terendah seperti petani untuk masuk dalam struktur sosial yang lebih tinggi seperti kelompok birokrat melalui

sebuah sistem ujian negara. Hal ini tidak hanya mengingkatkan status sosial namun juga status ekonomi.

Sementara itu pengaruh dalam bidang politik adalah ajaran Konfusianisme tentang kesetiaan terhadap negara

dan raja. Filsafat Konfusianisme yang menerangkan tentang kesetiaan terhadap negara dan raja inilah yang

kemudian digunakan oleh kelompok komunis untuk menanamkan ideologi komunisme atas nama pembelaan

terhadap negara. Di masa tradisional, terjadi simbiosis mutualisme antara  kerajaan, birokrasi dan tuan tanah di

China. Ketergantungan kepada kerajaan yang terlalu berlebihan inilah yang mengakibatkan proses modernisasi

berjalan lambat dan berbasis pada sektor pertanian karena tanah menjadi satu komoditas dan sumber daya yang

paling utama dan menentukan dalam kekuasaan ekonomi dan politik. Sementara itu kerajaan sendiri

mengambil untung dengan meletakkan basis kekuasaannya pada kelompok tuan tanah untuk mendukung

legetimasi kekuasaan yang dimilikinya. Selain itu, sistem upeti juga menjadi faktor yang mendukung simbiosis

mutualisme antara birokrasi dan tuan tanah. Para penguasa lokal atau birokrat mempertahankan kekuasaan

mereka dengan mengakui superioritas kaisar China dengan memberikan hadiah serta persembahan sebagai rasa

hormat. Untuk memberikan hadiah tersebut para birokrat membutuhkan dukungan dari tuan tanah yang

memiliki modal sosial berupa tanah.

Masyarakat China dahulu tidak memiliki pemahaman akan hak individu, ajaran Konfusianisme tidak

mengizinkan seseorang untuk mencari keuntungan pribadi, sehingga yang terpikirkan oleh masyarakat adalah

kepentingan umum atau negara saja. Namun kini, masyarakat China telah berubah. Salah satu bukti kesadaran

global di tingkat individu akibat terjadinya globalisasi yang dilihat penulis adalah kesadaran akan Hak Asasi

Manusia.

Sistem ekonomi terbuka yang menjanjikan peningkatan tingkat ekonomi dengan nilai-nilai

produktifitasnya tidaklah luput dari masalah. Karena dari situ pula masyarakat China mengenal nilai hak asasi

manusia, khususnya dalam hal ini adalah hak para pekerja. Ekonomi yang liberal mengajarkan adanya hak

yang dimiliki setiap individu untuk bekerja dan mendapat penghidupan yang layak. Dengan sistem ekonomi

terbuka yang memberikan kebebasan berekspresi, memilih sendiri lahan kerjanya, hal ini mendorong semakin

12

Page 14: MAKALAH MMIG(4)

tingginya kesadaran akan kondisi individu di China. Apalagi, pemerintah China tidak lagi represif atas

pekerjaan rakyatnya, sehingga masyarakat pun mulai belajar akan hak-hak apa saja yang layak diterima oleh

individu yang bekerja. Bukti adanya kesadaran itu adalah munculnya kasus pekerja di China. Pekerja atau

buruh di China dilarang untuk membentuk serikat buruh independen, karena pemerintah berpendapat bahwa

Serikat Pekerja China cukup melindungi hak-hak pekerja. Pembatasan aktivitas buruh ini—dengan sanksi

hukum tentunya—digabungkan dengan perselisihan yang semakin tegang di mana para buruh memprotes tidak

mendapatkan upah lebih realistis untuk ganti rugi telah berkontribusi terhadap peningkatan jumlah buruh yang

turun ke jalan dan ke pengadilan untuk menekan klaim lembur paksa dan tidak terkompensasi, pelanggaran

majikan peraturan upah minimum, upah pensiun yang belum dibayar, dan lingkungan kerja yang berbahaya

dan tidak sehat. Pekerja yang mencari ganti rugi melalui aksi mogok sering menjadi sasaran serangan oleh

preman berpakaian preman yang muncul untuk beroperasi atas perintah majikan. Pada bulan Juli 2007

sekelompok preman bersenjata dengan sekop, kapak, dan pipa baja menyerang sebuah kelompok pekerja di

Heyuan (Guangdong), yang memprotes tidak dibayar selama empat bulan. Mereka menyerang satu pekerja

sampai mati.49

Menurut Xin Chunying, seorang akademisi yang meneliti perkembangan isu Hak Asasi Manusia di

China, kesadaran masyarakat tentang hak-hak mereka berasal dari pengalaman mereka sendiri, bukan dari

standar universal. Ketika berdirinya RRC, kata-kata "hak warga negara" dan "hak rakyat" lebih dikenal dengan

tujuan membuat lebih eksplisit sifat sosialis dari negara China. Pada 1970-an, istilah "hak asasi manusia"

muncul kembali sehubungan dengan tragedi yang dipublikasikan berkaitan dengan Revolusi Kebudayaan,

seperti kematian Liu Shaoqi dan penganiayaan Deng Xiaoping. Masyarakat China mulai menyadari bahwa

mereka membutuhkan sesuatu yang dapat melindungi mereka terhadap perlakuan sewenang-wenang.50 Tetapi

saat itu, mereka tidak membandingkan pengalaman mereka tentang hak asasi manusia dengan standar-standar

hak asasi manusia internasional. Tertutup dari dunia luar, tidak ada kesempatan bagi masyarakat untuk

memahami standar internasional. 

Namun demikian, ketika Deng Xiaoping berkuasa dan menerapkan kebijakan ekonomi "pintu terbuka"

pada akhir tahun 1980, ide-ide hak asasi manusia dan pengetahuan akan gerakan hak asasi manusia

internasional tersampaikan hingga ke masyarakat China pedesaan. Meskipun demikian, diskusi tentang hak

asasi manusia di China masih saja terbatas dan bertujuan membenarkan kebijakan negara. Wacana tentang hak

asasi manusia yang lebih besar kemudian dipicu oleh insiden di Tiananmen Square pada tahun 1989. Dunia

luar tiba-tiba berfokus dan memberi tekanan pada rezim China. Sebagai tanggapan, pemerintah menerbitkan

kertas putih (white paper) Hak Asasi Manusia pada tahun 1991. Ini merupakan upaya pemerintah untuk

menafsirkan hukum China dalam hal hak asasi manusia. Kertas putih adalah ekspresi dari pandangan

pemerintah hak asasi manusia, yang menempatkan prioritas yang tinggi pada hak atas penghidupan yang layak

dan pembangunan ekonomi sebagai prakondisi untuk penikmatan penuh hak asasi manusia. China masih

49 Human Rights Watch, Summary of China Rights Development, diakses dari http://china.hrw.org/press/review/summary_of_china_rights_developments, pada 16 September 2010.50 Xin Chunying, International Human Rights and Asian Commitment, diakses dari http://www.cceia.org/resources/publications/dialogue/1_03/articles/515.html, pada 16 September 2010.

13

Page 15: MAKALAH MMIG(4)

cenderung reaktif dalam menangani isu hak asasi manusia ini. Dengan diterbitkannya kertas putih hak asasi

manusia, untuk pertama kalinya hak asasi manusia dipandang sebagai sesuatu yang sama bagi semua

orang. Dari titik ini, China telah mampu berkomunikasi dengan negara-negara lain tentang hak asasi manusia,

seperti yang terlihat dalam partisipasi aktif di Rapat Regional Asia tentang Hak Asasi Manusia di Bangkok,

sesi persiapan untuk Konferensi Dunia Hak Asasi Manusia tahun 1993.

Apa yang masyarakat China pelajari dari pengalaman mereka kemudian berinteraksi dengan tekanan

internasional yang keras atas insiden Tiananmen membentuk sebuah pemahaman hak asasi manusia bagi

masyarakat China. Pengenaan standar universal hak asasi manusia melalui kertas putih di tahun 1991 tidak

akan dengan sendirinya mengubah lanskap politik China. Hingga saat ini, penulis melihat bahwa masyarakat

China masih belajar mempertajam kesadaran mereka akan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Pesatnya

pertumbuhan ekonomi China dan perkembangan teknologi juga menyebabkan akses yang lebih besar terhadap

informasi tentang hak asasi manusia yang akan memberikan jalan untuk pandangan hak asasi manusia agar

terus berkembang di China.

BAB III

Kesimpulan

14

Page 16: MAKALAH MMIG(4)

Setelah membahas ketiga aspek yang menjadi media tendensi pengaruh globalisasi yang menyebabkan

homogenisasi di China. Penulis melihat bahwa secara ekonomi China cenderung mengikuti kaidah-kaidah

liberal dengan segala kebijakan open door policy-nya, perluasan investasi asing, dan memaksimalkan sektor

industri di kota-kota yang dulunya terbelakang sekarang telah disulap menjadi kota metropolitan. Dengan

catatan bahwa peran pemerintah sebagai motivator terciptanya investasi asing yang mulus dan menjanjikan

tidak dapat dipandang sebelah mata. Pemerintah China tetap dapat memainkan perannya dengan baik sebagai

pengontrol pasar sekaligus sebagai pelumas dengan keleluasaan penanaman modal dan efek trust, cheap

labour, low cost of massive production.

Lain halnya dalam aspek media, meskipun cipratan nilai dan budaya asing yang terkandung dalam

siaran televisi, iklan komersial, internet, dsb., nilai liberal-demokrasi yang dianut tetap dirasa oleh penulis

masih kurang. Hal ini tampak dari begitu ketat dan tegasnya pemerintah sebagai pengontrol akses media massa

akan isu atau hal sensitif (dengan standar sensitifitas subjektif pemerintah) yang dirasa pemerintah akan

mengacaukan kestabilan sosial. Jika disangkutpautkan dengan istilah aspek ekonomi sebelumnya soal trust

dari investor asing untuk menanamkan modal di China bisa jadi kestabilan domestik bagaimanapun caranya

(dengan mengekang media sekalipun) menjadi pertimbangan besar bagi pemerintah. Layaknya istilah –random

source- bagi pemerintah China slogan “Biarlah perut rakyat kenyang dulu, barulah bicara soal politik” dengan

kata lain mengusahakan ekonomi yang makmur setinggi-tingginya dulu, barulah mulai mengulas politik China.

Tampaknya agak paradoks memang reserves China sudah melampaui negara Superpower, Amerika Serikat,

tetapi masih mendeclare dirinya sebagai negara berkembang.

Pada mulanya memang kesadaran China akan prinsip hak asasi manusia masih diragukan karena

persepsi bahwa sistem pemerintahan yang otoritarian cenderung dianggap memiliki standar nomor dua soal

HAM dibanding negara yang mengaku demokratis. Seiring dengan perjalanan globalisasi yang tidak dapat

dibendung akibat akumulasi faktor kebebasan ekonomi dan investasi asing yang diiringi juga media asing dan

lokal yang mulai berani (walaupun hanya secara halus menyampaikannya) menunjukkan nilai-nilai kesadaran

akan HAM berstandar internasional.

Homogenisasi akibat globalisasi di China setelah membahas ketiga aspek ini adalah interpretasi dan

penerimaan masyarakat China akan nilai liberal-demokrasi yang di-impose oleh bangsa Eropa-Amerika

menjadi suatu pola yang unik dan kasuistis. Pendapat Fukuyama mengenai liberal-demokrasi sebagai puncak

dari peradaban manusia tidak terlalu terbukti di China. Penulis melihat bahwa China menganut liberal secara

ekonomi tetapi di aspek lain masih belum demokratis. Penulis dengan mempertimbangkan ketiga aspek ini

hasil yang didapat dari upaya homogenisasi liberal-demokrasi adalah kapitalis-otoritarian. Akan tetapi,

mungkin ini belum berakhir.

DAFTAR PUSTAKA

15

Page 17: MAKALAH MMIG(4)

Castells, M. “Information Technology and Global Capitalism” dalam W. Hutton and A. Giddens.

(eds.). On The Edge. Living with global capitalism. London: Vintage, 2001.

Cheek, Timothy. Living with Reform: China since 1989. Nova Scotia: Fernwood Publishing, 2006.

Friedman, Thomas L. The World is Flat. New York: Farrar, Straus and Giroux, 2007.

Fukuyama, Francis. The End of History and the Last Man. New York: The Free Press, 1992.

Fukuyama, Francis. The End of History. The National Interest. Summer, 1989.

Giddens, Anthony. The Consequences of Modernity. Cambridge: Polity, 1990.

Haiqing Yu. Media and Cultural Transformation in China. New York: Routledge, 2009.

Hofstede, G. Cultures and Organizations. London: Harper Collins, 1994.

Jing Wang. Brand New China: Advertising, Media, and Commercial Culture. Cambridge: Harvard

University Press, 2008.

Ma, Laurence J. C. And Fulong Wu. Restructuring the Chinese City: Changing society, economy and

space. New York: Routledge, 2005.

Papp, Daniel S. Contemporary International Relations Frameworks for Understanding. United States

of America: Georgia Institute of Technology, 1997.

Scotton, James F. dan William A. Hatchten. New Media for a New China. UK: Blackwell Publishing,

2010.

Tang, Jie and Anthony Ward. The Changing Face of Chinese Management. New York: Routledge,

2003.

Xu Minghua. Globalization, Foreign media and Local response in China.

Yi Wang, “Globalization Enhances Cultural Identity”, dalam Intercultural Communication Studies

XVI: 1 2007.

Yong Deng dan Thomas G. Moore. China View Globalization: Toward a New Great-Power Politics.

dalam Washington Quarterly 27: 3.

Zixue Tai. The Internet in China. New York: Routledge, 2006.

Internet:

senseable.mit.edu/papers/pdf/2003_Ratti_Aspenia.pdf

http://archive.waccglobal.org/wacc/publications/media_development/2006_1/

globalization_national_culture_and_the_search_for_identity_a_chinese_dilemma

http://www.booknotes.org/Transcript/?ProgramID=1088

http://china.hrw.org/press/review/summary_of_china_rights_developments

http://global.tokyofoundation.org/en/report/article/r0711/view

http://lipsus.kompas.com/topikpilihan/read/2010/08/18/10002435/Ke.Shenzhen..Tina.Membangun.Harapan

http://siteresources.worldbank.org/DATASTATISTICS/Resources/GDP.pdf

http://tekno.kompas.com/read/2010/08/20/09394051/Huawei..Keajaiban.China16

Page 18: MAKALAH MMIG(4)

http://travel.kompas.com/read/2010/08/18/10171071/Ke.Shenzhen..Menawarlah.dengan..quot.Kejam.quot.

http://www.allacademic.com//meta/p_mla_apa_research_citation/2/3/0/9/7/pages230974/p230974-1.php

http://www.cceia.org/resources/publications/dialogue/1_03/articles/515.html

http://www.dflorig.com/CHAP2.html

http://www.hartford-hwp.com/archives/55/689.html

http://www.theglobeandmail.com/news/opinions/china-says-yes-to-democracy-eventually/article1698968/

http://www.time.com/time/asia/features/china_cul_rev/opener.html

http://www.unu.edu/unupress/unupbooks/uu11ee/uu11ee0s.htm

http://www.washingtonpost.com/ac2/wp-dyn/A34207-2001Dec12?language=printer

http://www.wesjones.com/eoh.htm

17