Makalah Kel. 4
-
Upload
ayu-deni-pramita -
Category
Documents
-
view
221 -
download
1
Transcript of Makalah Kel. 4
BELL’S PALSY
ILMU PENYAKIT SARAF
MAKALAH
PEMBIMBING :
Dr. dr. YUNUS. SpRM.MARS
OLEH :
1. Luh Dina Rossita (08700051)2. Yessica Valentine (08700055)3. Davit Soesanto (08700067)4. Maria Christina Widjaja (08700101)5. Fenty Sulistyo Ertanti (08700109)6. Andri Hery Gunawan (08700129)7. Yuyun Susmiati (08700265)8. Bakhlul Ilmi (08700275)
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA
2011
BAB I
PENDAHULUAN
Dengan adanya perkembangan pola pikir manusia perubahan terhadap pelayanan
kesehatan pada masyarakat yang diutamakan untuk mencapai dan mewujudkan derajat
kesehatan secara optimal dan terarah. Dengan paradigma baru fisioterapi indonesia yang
sangat relevan dengan tujuan pembangunan kesehatan yaitu mewujudkan derajat kesehatan
masyarakat yang optimal yang merupakan salah satu unsur kesehatan umum dari tujuan
pembangunan nasional, maka terjadi pola perubahan dan fungsi fisioterapi dalam melakukan
intervensi profesi yang mencakup upaya-upaya (promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif)
sebagai pelaksana, pengelola, pendidik dan peneliti atau pengamat. Hal tersebut nantinya
akan diwujudkan dalam fragmentasi pelayanan fisioterapi di berbagai bidang yang dilakukan
oleh fisioterapi profesional dengan latar belakang kemampuan atau kualifikasi yang berbeda.
Bell’s palsy merupakan paresis nervus fasialis perifer yang penyebabnya tidak
diketahui (idiopatik) dan bersifat akut. Banyak yang mencampuradukkan antara Bell’s palsy
dengan paresis nervus fasialis perifer lainnya yang penyebabnya diketahui. Biasanya
penderiata mengetahui kelumpuhan fasialis dari teman atau keluarga atau pada saat
bercermin. Pada saat mereka sadar mengalami kelumpuhan pada wajahnya maka ia mulai
merasa takut, malu, rendah diri, mengganggu kosmetik dan kadang jiwanya terguncang
terutama pada wanita atau pada seseorang yang memiliki profesi yang mengharuskan ia
untuk tampil dimuka umum. Rehabilitasi yang diperlukan dengan tujuan memantau
memperlancar vaskularisasi pemulihan kekuatan otot fasialis dan mengembalikan fungsi
yang terganggu akibat kelemahan otot – otot fasialis sehingga penderita dapat kembali
melakukan aktifitas kerja sehari – hari dan bersosialisasi dengan masyarakat.
Penyakit ini tidak menyebabkan kematian, artinya bukan seperti stroke, jantung
koroner, liver, dll, tetapi menyebabkan cacat dan secara sosial sangat tidak enak. Jadi,
keluhan pasien itu, “ Dok, kalau saya di rumah itu tidak apa-apa tetapi ketika bertemu orang,
saya berbicara atau tersenyum, maka kelihatan sekali wajah saya menceng. Itu tidak enak
secara psikologis”.
Contoh kasus :
1. Seorang mahasiswa Fakultas kedokteran pada hari pertama berobat sudah
dijelaskan pengobatan dan resiko cacat. Si mahasiswa tidak kembali kontrol
karena pulang ke daerah asalnya. Satu bulan kemudian dia datang lagi dengan
kemencengan wajah akan dia derita untuk seluruh sisa hidup. Jadi, kalau dapat
pasien bell’s palsy harus dijelaskan secara jelas dampaknya akan demikian,
sehingga pasien akan selalu kontrol teratur.
2. Pasien ini sering datang terlambat. Ini dianggap bukan porsi medis (bukan
bidangnya dokter → porsi ‘dukun’) jadi nervus facialis keburu makin terjepit
dan makin irreversibel.
BAB II
DEFINISI
Bell’s palsy harus didefinisikan sebagai berikut, kelumpuhan fasialis perifer akibat
proses non-supuratif, non- neoplasmatik, non-degeneratif primer namun sangat mungkin
akibat edema jinak pada bagian nervus fasialis di foramen stilomastoideus atau sedikit
proksimal dari foramen tersebut, yang mulainya akut dan dapat sembuh sendiri tanpa
pengobatan.
Kondisi ini pertama kali dikemukakan pada tahun 1830 oleh seorang ahli anatomi
dan neulogi asal Skotlandia Sir Charles Bel (1774- 1842). Kata palsy berasal perubahan
struktur bahasa Perancis paralysie yang berarti paralisis (kelumpuhan)
BAB III
PENYEBAB DAN FAKTOR PATOFISIOLOGI
3. 1 PENYEBAB DAN FAKTOR
Sampai saat ini penyebab Bell’s palsy masih belum diketahui. Beberapa
sumber menyatakan, penyebab Bell’s palsy yakni suatu kejinakan penyakit dan pada
proses edema bagian nervus fasialis di sekitar foramen stilomastoideus. Mungkin
sekali edema tersebut merupakan gejala reaksi terhadap proses yang disebut “masuk
angin” (“catch cold”, “exposed to chill”). Angin dingin yang masuk membuat saraf
di sekitar wajah sembab lalu membesar. Pembengkakan saraf fasialis ini
mengakibatkan pasokan darah ke saraf tersebut terhenti. Hal ini menyebabkan
kematian sel sehingga fungsi menghantar impuls atau rangsangan terganggu.
Akibatnya, perintah otak untuk menggerakkan oto-otot wajah tidak dapat diteruskan.
Saraf fasialis ini terjepit hingga akhirnya kelumpuhan terjadi. Pada kebanyakan
penderita dapat diperoleh data bahwa paresis fasialis timbul setelah duduk di mobil
dengan jendela terbuka, tidur di lantai, atau setelah “bergadang”. Bell’s palsy hampir
selalu unilateral.
Beberapa teori yang secara umum diajukan sebagai penyebab Bell’s palsy, yaitu:
a. Teori Ischemia Vaskuler
Teori ini menjelaskan bahwa telah terjadi gangguan regulasi sirkulasi darah ke
saraf fasialis. Gangguan ini menyebabkan vasokonstriksi arteriole dan adanya
statis vena.
b. Teori Infeksi Virus
Teori ini menjelaskan bahwa Bell’s palsy dapat disebabkan oleh karena virus
herpes simplek.
c. Teori Herediter
Teori ini menjelaskan bahwa Bell’s pelsy bisa disebabkan karena keturunan,
dimana kelainannya berupa kanalis fasialis yang sempit dan system enzim.
3.2 PATOFISIOLOGI
Proses akhir yang dianggap bertanggung jawab atas gejala klinik Bell’s palsy
adalah proses edema yang selanjutnya menyebabkan kompresi nervus fasialis.
Gangguan atau kerusakan pertama adalah endotelium dari kapiler menjadi edema dan
permeabilitas kapiler meningkat, sehingga dapat terjadi kebocoran kapiler kemudian
terjadi edema pada jaringan sekitarnya dan akan terjadi gangguan aliran darah
sehingga terjadi hipoksia dan asidosis yang mengakibatkan kematian sel. Kerusakan
sel ini mengakibatkan hadirnya enzim proteolitik, terbentuknya peptida-peptida toksik
dan pengaktifan kinin dan kallikrein sebagai hancurnya nukleus dan lisosom. Jika
dibiarkan dapat terjadi kerusakan jaringan yang permanen.
Salah satu nervus cranialis yang keluar dari otak adalah nervus VII (nervus
fasialis). Nervus fasialis pada saat keluar dari tengkorak melalui lubang yaitu foramen
stylomastoideus. Bila terjadi pembengkakan di foramen stylomastoideus maka nervus
VII tertekan pada foramen stylomastoideus. Penekanan ini berdampak pada
kelemahan otot-otot yang diinervasi oleh nervus VII.
BAB IV
PENATALAKSANAAN
4.1. ANAMNESIS
1) Identitas pasien yang berisikan nama, umur, jenis kelamin, agama, pekerjaan,
alamat tempat tinggal.
2) Keluhan utama
Keluhan utama yang dirasakan oleh pasien dengan kondisi Bell’s palsy. Misalnya
pasien merasa separuh/ satu sisi mukanya terasa tebal, muka yang asimetris, susah
merasakan sensasi rasa(manis, asam, asin), susah untuk berbicara, dan susah untuk
menelan makanan dan munuman karena setiap makanan yang dimakan akan
terkumpul pada sisi yang sakit dan air liurselalu menetes.
Keluhan pasien :
• Tidak bisa menutup salah satu kelopak mata.
• Bila berbicara atau tersenyum, tampak sudut mulut tidak simetris kanan - kiri
disertai dengan rasa kurang enak pada sisi yang sakit.
3) Riwayat penyakit sekarang
Pasien mengeluh bibir sebelah tidak dapat bergerak, alis juga tidak bisa bergerak
dan saat memejamkan mata tidak bisa rapat, wajah sebelah terasa kesemutan dan
tebal-tebal, setelah pasien di berikan terapi berupa arus faradik dan laser. Kondisi
pasien wajahnya mencong ke sebelah dan mengeluh telinga sebelah bagian
belakang terasa nyeri.
4) Riwayat penyakit dahulu
Pasien pasti belum pernah mengalami penyakit yang sama sebelumnya.
5) Riwayat penyakit penyerta
Tidak ada riwayat penyakit lain yang menyertai kondisi pasien.
6) Riwayat keluarga
Riwayat keluarga diketahui bahwa tidak ada anggota keluarga pasien yang pernah
menderita penyakit serupa.
7) Anamnesis system
Dari anamnesis sistem diperoleh informasi sebagai berikut:
(1) kepala dan leher, tidak ada keluhan pusing, leher tidak merasa kaku,
(2) kardiovaskuler, tidak ada keluhan,
(3) respirasi, tidak ada keluhan,
(4) gastrointestinal, tidak ada keluhan,
(5) urogenitalis, tidak ada keluhan,
(6) muskuloskeletal, terdapat kelemahan otot wajah sebelah kanan,spasme
otot wajah bagian kiri
(7) nervorum, tidak ada kesemutan pada wajah kiri, terdapat nyeri di belakang
telinga kanan karena adanya penekanan nerves facialis.
GEJALA KLINIS
Gejala – gejala dan tanda – tanda klinis yang sering dijumpai pada Bell’s palsy
semuanya terjadi di wajah, adapun semua hal yang sering dijumpai di klinis:
1. Otot-otot wajah satu sisi lumpuh sehingga wajah menjadi miring/condong/tidak
seimbang pada satu sisi (asimetris)
2. Salah satu kelopak mata tidak dapat menutup sempurna sehingga bola mata akan
berair terus-menerus, sebaliknya akan kering di malam hari (sewaktu tidur)
3. Kesulitan berbicara dapat terjadi akibat mulut/bibir yang tertarik ke satu sisi.
Suara-suara terdengar lebih keras di satu sisi yang mengalami paralisis.
4. Gangguan pengecapan serta sensasi mati rasa (baal/kebas) pada salah satu sisi
wajah.
5. Telinga berdenging, kadang terjadi hiperakusis (sensasi pendengaran yang
berlebihan).
6. Nyeri kepala dan perasaan melayang
4.2 PEMERIKSAAN FISIK
1. Inspeksi
Inspeksi statis didapatkan kondisi umum pasien baik, mata sebelah sisi yang sakit
berair, wajah pasien deviasi/ mencong kesisi sehat atau asimetris, alis pada sisi
yang lesi atau sakit lebih rendah daripada yang sehat. Inspeksi dinamis didapatkan
saat mengangkat alis, kerutan dahinya hanya terlihat pada sisi yang sehat, saat
menutup mata sisi yang sakit belum dapat menutup mata dan terlihat pergerakan
bola mata, saat bersiul dan tersenyum wajah sisi yang sakit belum bisa simetris
atau masih mencong ke sisi yang sehat.
2. Palpasi
Dari palpasi dirasakan suhu wajah antara sisi kanan dan kiri teraba sama, ada
spasme pada wajah sebelah sisi yang sakit, terdapat nyeri pada bagian belakang
telinga, pada sisi yang lesi atau yang sakit terasa lebih kendor daripada sisi yang
sehat, selain itu pasien mengeluh adanya rasa kaku dan tebal pada wajah sisi lesi.
Adanya gangguan pengecapan lidah (manis, asin, asam) pada saat pasien diminta
untuk menjulurkan lidahnya dan ditaruh sedikit garam atau gula di ujung lidah,
mula- mula pada satu sisi dan sisi yang lain.
3. Perkusi
Perkusi dilakukan pada daerah wajah sisi yang sakit dan belakang telinga bagian
bawah dan hasilnya tidak ada keluhan.
4. Auskultasi
Dilakukan dengan alat stetokop pada daerah lapang paru dan hasilnya vaskuler.
5. Secara fisik ditemukan
a. Muka yang asimetris antara kanan dan kiri
b. Sisi muka yang sakit terlihat mendatar dan tidak melihatkan perasaan
c. Air liur dapat keluar dari sudut mulutnya
d. Sudut mulut tertarik kesisi yang sehat sehingga menganggu aktivitas
fungsional misalnya saat makan makanan terkumpul disisi yang sakit dan saat
minum air tumpah kesisi yang sakit. Selain itu juga pasien susah untk
berbicara.
e. Kelopak mata yang sakit tidak bisa menutup rapat dengan baik sehingga mata
sering iritasi
f. Gangguan psikologis
4.3 PEMERIKSAAN SPESIFIK
1. Tanda bell
Tanda bell yang terlihat pada pasien yaitu saat mengkerutkan dahi, lipatan kulit
dahi hanya terlihat pada sisi sehat, dan saat memejamkan mata, bola mata hanya
terlihat sedikit.
2. Pemeriksaan kekuatan otot- otot wajah dengan MMT (Manual Muscel Testing)
Untuk penilaian kekuatan otot - otot wajah digunakan skala Daniels-
Worthingham yang meliputi empat tingkatan penilaian yaitu:
(1) zero (nol) : tidak ada kontraksi ;
(2) trace (satu) : kontraksi minimal;
(3) fair (tiga) : kontraksi nyata tapi dilakukan dengan susah payah;
(4) normal (lima) : kontraksi penuh dan terkontrol (Daniels and
Worthingham’s, 1986).
Pada penilaian ini pasien diminta untuk melakukan gerakan yang menggunakan
otot-otot wajah, seperti mengkerutkan dahi, mendekatkan kedua alis, menutup
mata, mengkerutkan hidung, tersenyum, dan mencucu.
3. Pemeriksaan kemampuan fungsional dengan Skala Ugo Fisch
Pemeriksaan kemampuan fungsional otot wajah dengan Skala Ugo Fisch dinilai
dalam 5 posisi yang berbeda, yaitu saat diam, mengkerutkan dahi, menutup mata,
tersenyum, dan bersiul. Dengan kriteria penilaian sebagai berikut:
(1) 0% : asimetris komplit, tidak ada gerakan volunter;
(2) 30% : simetris ringan, kesembuhan kearah asimetris, ada gerakan volunter,
(3) 70% : simetris sedang, kesembuhan kearah simetris;
(4) 100% : simetris komplit.
Kemudian angka prosentase pada masing- masing posisi harus diubah menjadi
score dengan kriteria sebagai berikut :
(1) diam : 20 ;
(2) mengkerutkan dahi: 10 ;
(3) menutup mata : 40 ;
(4) tersenyum : 30 ;
(5) bersiul : 10.
4.4 HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM STUDI
Tidak ada tes laboratorium khusus ada untuk mengkonfirmasikan diagnosis dari
Bell's palsy. Pengaturan klinis menentukan tes yang mungkin dinilai. Hasil tes
laboratorium berikut mungkin mengkonfirmasi atau menunjukkan penyebab potensial
lainnya dalam diagnosis diferensial:
Hitung darah lengkap
Tingkat sedimentasi eritrosit
Fungsi tiroid studi
Lyme titer
Serum glukosa tingkat
Rapid plasma reagin (RPR) atau kelamin Penyakit Research Laboratory
(VDRL) uji
Human immunodeficiency virus (HIV) antibodi
Analisis cairan cerebral spinal
Imunoglobulin M (IgM), imunoglobulin G (IgG), dan imunoglobulin A (IgA)
titer untuk CMV, rubella, HSV, virus hepatitis A, virus hepatitis B; hepatitis C
virus, VZV, M. pneumoniae, dan Borrelia burgdorferi.
Contoh hasil Penyelidikan Laboratorium :
Dasar metabolik profil dan CBC - normal
Antineutrophil panel antibodi sitoplasma untuk proses peradangan - normal
Serum protein elektroforesis - normal
Faktor V - normal
HIV - negatif
Anticardiolipin antibodi - negatif
Vitamin B12 - normal
Folat - normal
Anti Ro / La - normal
ESR - 2
Hepatitis B Sag - negatif
Rasio normalisasi internasional (INR) - 1,1
Protein C - normal
Protein S - normal
Russell viper venom (antikoagulan lupus) - normal
Angiotensin converting enzyme (ACE) - 76
Lumbar Punksi: 77 protein, glukosa 52, jumlah sel darah putih 10 (limfosit), jumlah
sel darah merah 1, anti-GQ1b - negatif
Chest x-ray - normal
Anti-asetilkolin reseptor antibodi, antibodi anti-Musk - negatif
Edrophonium uji - normal
Lyme, reagin plasma cepat, VDRL – negatif
Studi Imaging
Bell's palsy tetap merupakan diagnosis klinis. Imaging studi tidak ditunjukkan di
UGD. Tidak termasuk penyebab lain kelumpuhan wajah mungkin memerlukan
satu studi pencitraan berikut yang tergantung pada pengaturan klinis.
o CT scan wajah atau radiografi polos: Lakukan untuk menyingkirkan patah
tulang atau metastasis tulang.
o CT scan: Lakukan bila diagnosis diferensial termasuk keterlibatan stroke
atau SSP dari acquired immunodeficiency syndrome (AIDS)
o MRI: Lakukan pada pasien dengan neoplasma diduga tulang temporal,
otak, kelenjar parotis, atau struktur lainnya, atau untuk mengevaluasi
multiple sclerosis. MRI dapat memvisualisasikan perjalanan saraf wajah
melalui daerah intratemporal dan extratemporal dari otak ke otot-otot
wajah dan kelenjar. MRI juga dapat dianggap sebagai pengganti hasil CT
scan.
o Darah tidak spesifik, yang kira-kira bisa melihat pembengkakan di
foramen stylomastoideus adalah MRI.
Tes Lainnya
Electrodiagnosis dari saraf wajah: Studi-studi ini menilai fungsi saraf wajah. Tes
ini jarang dilakukan.
o Elektromiografi (EMG) dan kecepatan konduksi saraf
menghasilkan pembacaan grafik arus listrik ditampilkan dengan
merangsang saraf wajah dan rekaman rangsangan otot-otot wajah.
Perbandingan ke sisi kontralateral membantu menentukan luasnya cedera
saraf dan memiliki implikasi prognostik. Ini bukan bagian dari hasil
pemeriksaan akut.
o Uji rangsangan saraf menentukan ambang stimulus listrik yang dibutuhkan
untuk menampilkan otot yang terlihat.
o Electroneurography (ENoG) membandingkan membangkitkan potensi
pada sisi paretic versus sisi sehat.
MRI otak dengan gadolinium - peningkatan saraf kranial 7 bilateral, kiri lebih besar dari kanan.
4.5 DIAGNOSIS
Awal dari diagnosis Bell’s Palsy ditegakkan melalui inspeksi dari gejala dan
penyebab kelumpuhannya. Bell’s palsy selalu mengenai unilateral wajah, sehingga
wajah tampak tidak seimbang / miring, terjadi tiba-tiba dan dapat melibatkan baik
bagian atas ataupun bagian bawah wajah.
Dilakukan beberapa pemeriksaaan penunjang untuk lebih memastikan
diagnosis Bell’s palsy, diantaranya test laboratorium untuk penyakit Lyme, test fungsi
tyroid, tes HIV, dan Hepatitis. Selain itu dianjurkan tes neurologi lengkap pada
telinga, hidung dan tenggorokan. Hal ini untuk memastikan tidak ada penyakit lain,
yang menyebabkan kelumpuhan pada wajah selain Bell’s palsy, semisal stroke.
Lebih mutakhir dilakukan pemeriksaan dengan CT scan (Computed Tomography),
MRI (Magnetis Resonansi Imaging), dan ENoG (electromyography dan
elektroneurography) untuk semakin mempertegas diagnosis Bell’s palsy.
Gambar Contoh – Contoh Bell’s Palsy:
4.6 TERAPI
1. Terapi medikamentosa : Golongan kortikosteroid sampai sekarang masih
kontroversi. Juga dapat diberikan neurotropik.
2. Terapi operatif : Tindakan bedah dekompresi masih kontroversi.
3. Rehabilitatif medik
Rehabilitasi medik pada penderita Bell’s palsy:
Sebelum kita membahas mengenai rehabilitasi medik pada Bell’s palsy maka akan
dibicarakan mengenai rehabilitasi secara umum. Rehabilitasi medik menurut WHO
adalah semua tindakan yang ditujukan guna mengurangi dampak cacat dan handicap
serta meningkatkan kemampuan penyandang cacat mencapai integritas sosial.
Tujuan rehabilitasi medik adalah:
1. Meniadakan keadaan cacat bila mungkin
2. Mengurangi keadaan cacat sebanyak mungkin
3. Melatih orang dengan sisa keadaan cacat badan untuk dapat hidup dan bekerja
dengan apa yang tertinggal.
Untuk mencapai keberhasilan dalam tujuan rehabilitasi yang efektif dan efisien maka
diperlukan tim rehabilitasi medik yang terdiri dari dokter, fisioterapis, okupasi terapis,
ortotis prostetis, ahli wicara, psikolog, petugas sosial medik dan perawat rehabilitasi
medik.
Sesuai dengan konsep rehabilitasi medik yaitu usaha gabungan terpadu dari segi
medik, sosial, dan kekaryaan, maka tujuan rehabilitasi medik pada Bell’s palsy adalah
untuk mengurangi / mencegah paresis menjadi bertambah dan membantu mengatasi
problem sosial serta psikologinya agar penderita tetap dapat melaksanakan aktivitas
kegiatan sehari- hari. Program - program yang diberikan adalah program fisioterapi,
okupasi terapi, sosial medik, psikologi, dan ortotik prostetik, sedang program perawat
rehabilitasi dan terapi wicara tidak banyak berperan.
1. Program fisioterapi
a. Pemanasan superfisial dengan infra red.
b. Pemanasan dalam berupa Shortwave Diathermy atau Microwave Diathermy.
c. Stimulasi listrik : tujuan pemberian yaitu menstimulasi otot untuk mencegah /
memperlambat terjadi atrofi sambil menunggu proses regenerasi dan
memperkuat otot yang masih lemah. Misalnya dengan faradisasi yang
tujuannya adalah untuk menstimulasi otot, redukasi dari aksi otot, melatih
fungsi otot baru, meningkatkan sirkulasi serta mencegah / meregangkan
perlengketan. Diberikan 2 minggu setelah onset.
d. Latihan otot-otot wajah dan massage wajah: latihan gerak volunter otot wajah
diberikan setelah fase akut. Latihan berupa mengangkat alis 5 detik,
mengerutkan dahi, menutup mata dan mengangkat sudut mulut, tersenyum,
bersiul / meniup (dilakukan didepan kaca dengan konsentrasi penuh). Massage
adalah manipulasi sistemik dan ilmiah dari jaringan tubuh dengan maksud
untuk perbaikan / pemulihan. Pada fase akut, Bell’s palsy diberi gentle
massage secara perlahan dan berirama. Gentle massage memberikan efek
mengurangi edema, memberikan relaksasi otot dan mempertahankan tonus
otot. Setelah lewat fase akut diberi Deep Kneading Massage sebelum latihan
gerak volunter otot wajah. Deep Kneading Massage memberikan efek
mekanik terhadap pembuluh darah vena dan limfe, melancarkan pembuangan
sisa metabolik, asam laktat, mengurangi edema, meningkatkan nutrisi serabut-
serabut otot dan meningkatkan gerakan intramusculer sehingga melepaskan
perlengketan. Massage daerah wajah dibagi 4 area yaitu dagu, mulut, hidung,
dan dahi. Semua gerakan diarahkan keatas lamanya 5-10 menit.
2. Program terapi Okupasi
Pada dasarnya terapi disini memberikan latihan gerak pada wajah. Latihan
diberikan dalam bentuk aktivitas sehari-hari atau dalam bentuk permainan. Perlu
diingat bahwa latihan secara bertahap dan melihat kondisi penerita, jangan sampai
melelahkan penderita. Latihan dapat berupa latihan berkumur, latihan minum
dengan memggunakan sedotan, latihan meniup lilin, latihan menutup mata dan
mengerutkan dahi di depan cermin.
3. Program Sosial Medik
Penderita Bell’s palsy sering merasa malu dan menarik diri dari pergaulan sosial.
Problem sosial biasanya berhubungan dengan tempat kerja dan biaya. Petugas
sosial medik dapat membantu mengatasi dengan menghubungi tempat kerja,
mungkin untuk sementara waktu dapat bekerja pada bagian yang tidak banyak
berhubungan dengan umum. Untuk masalah biaya dibantu dengan mencarikan
fasilitas kesehatan di tempat kerja atau melalui keluarga. Selain itu memberikan
penyuluhan bahwa kerja sama penderita dengan petugas yang merawat sangat
penting untuk kesembuhan penderita.
4. Program Psikologik
Untuk kasus - kasus tertentu dimana ada gangguan psikis amat menonjol, rasa
cemas sering menyertai penderita terutama pada penderita muda, wanita atau
penderita yang mempunyai profesi yang mengharuskan ia sering tampil di depan
umum, maka bantuan seseorang psikolog sangat diperlukan.
5. Program Ortotik- Prostetik
Dapat dilakukan pemasangan”Y” plester dengan tujuan agar sudut mulut yang
sakit tidak jatuh. Dianjurkan agar plester diganti tiap 8 jam. Perlu diperhatikan
reaksi intoleransi kulit yang sering terjadi. Pemasangan “y” plester dilakukan jika
dalam waktu 3 bulan belum ada perubahan pada penderita setelah menjalani
fisioterapi. Hal ini dilakukan untuk mencegah terenggannganya otot Zygomatikus
selama parese dan mencegah terjadinya kontraktur.
4.7 SARAN DAN LARANGAN
Pada intinya, larangan dan saran bagi penderita Bell’s Palsy adalah untuk
mencegah terpaan angin terus menerus kearah wajah. Sebab angin yang rutin menerpa
bagian muka akan masuk ke
dalam tengkorak atau Foramen
Stilo Mastoideum, angin
dingin dari arah depan ini
membuat syaraf di sekitar
wajah sembab lalu membesar
mengakibatkan syaraf nomor
tujuh mengalami
pembengkakan, syaraf itu
bernama Nervus Facialis,
akibatnya syaraf terjepit.
Pembengkakan syaraf
nomor VII atau nervus facialis ini mengakibatkan pasokan darah ke syaraf tersebut
terhenti, hal ini mengakibatkan kematian sel syaraf sehingga fungsi menghantar
impuls atau rangsangnya terganggu. Akibatnya perintah otak untuk menggerakkan
otot-otot wajah tidak dapat diteruskan, wajah menjadi lumpuh sebelah. Biasanya
penderita mengalami gejala awal rasa nyeri di kepala, di dalam telinga dan sudut
rahang. Timbulnya mendadak dan di pagi hari.
Beberapa contoh saran dan larangan bagi penderita Bell’s Palsy adalah :
1. Menggunakan helm tertutup (full face) ketika mengendarai motor.
2. Jika tidur menggunakan kipas angin, jangan biarkan kipas angin menerpa wajah
langsung. Arahkan kipas angin itu ke arah lain. Jika kipas angin terpasang di
langit-langit, jangan tidur tepat di bawahnya. Dan selalu gunakan kecepatan
rendah saat pengoperasian kipas.
3. Kalau sering lembur hingga malam, jangan mandi air dingin di malam hari. Selain
tidak bagus untuk jantung, juga tidak baik untuk kulit dan syaraf.
4. Bagi penggemar naik gunung, gunakan penutup wajah / masker dan pelindung
mata. Suhu rendah, angin kencang, dan tekanan atmosfir yang rendah berpotensi
tinggi menyebabkan Anda menderita Bell's Palsy.
5. Saat menjalankan pengobatan, jangan membiarkan wajah terkena angin langsung.
Tutupi wajah dengan kain atau penutup.
6. Orang orang yang bekerja di ruangan ber AC, sebaiknya tidak terkena aliran angin
AC secara langsung.
7. Hindari tiduran di lantai dengan menempelkan sebelah pipi di lantai.
DAFTAR PUSTAKA
Lumbantobing SM. Saraf Otak : Nervus Fasial. Dalam : Neurologi Klinik Pemeriksaan
Fisik dan Mental. Jakarta : FK Universitas Indonesia, 2004
Sabirin J. Bell’s Palsy. Dalam : Hadinoto dkk. Gangguan Gerak. Cetakan I. Semarang :
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, 1990
Sidharta P. NEUROLOGI KLINIS DLM PRAKTEK UMUM cetakan 5. Jakarta : Dian
Rakyat, 2004
Thamrinsyam. Beberapa Kontroversi Bell’s Palsy. Dalam : Thamrinsyam dkk. Bell’s
Palsy. Surabaya : Unit Rehabilitasi Medik RSUD Dr. Soetomo/FK UNAIR, 1991
Thamrinsyam. Penilaian Derajat Kekuatan Otot Fasialis. Dalam : Thamrinsyam dkk.
Bell’s Palsy. Surabaya : Unit Rehabilitasi Medik RSUD Dr. Soetomo/FK UNAIR, 1991