Makalah Case 4

download Makalah Case 4

of 46

description

makaalah

Transcript of Makalah Case 4

RESPIRATORY SYSTEM

MAKALAH KASUS 4ASMA BRONKIAL

Tutorial B-2Saffanah Nurhidayah

(1110.211.152)

Syifa Puspa Pertiwi

(1110.211.165)

Annisa Trianti

(1110.211.027)

Novia Kairulbaria

(1110.211.169)

Talitha Nurrahma

(1110.211.024)

Anggit Pungkas W.

(1110.211.022)

Juanita Olivia T.

(1110.211.153)

Ria Ayu Wulandari

(1110.211.060)

Mahesa Ramadhianto

(1110.211.134)

Yoga Hendrico

(1010.211.161)

Debi Ubaidi Abdillah

(1010.211.185)

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN JAKARTA

2013/2014

LEMBAR PENGESAHAN

Dengan ini, saya selaku pembimbing tutorial B-2 menyatakan bahwa keseluruhan isi makalah kasus ke-4 ini telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Jakarta, ... Desember 2013

Halaman 1An. H, 8 tahun di bawa ke IGD RSPAD pada pukul 22.30 dengan keluhan sesak napas sejak 3 jam yang lalu. Menurut ibunya, H batuk-batuk sejak pulang bermain bola dengan teman2nya. Menjelang tidur, an. H tampak gelisah dan batuk terus menerus. Batuk berdahak bening dan ibu H memberi obat batuk yang dibeli di toko obat namun batuk tidak berkurang bahkan H terlihat sesak. Akhirnya diputuskan untuk membawa H ke RS terdekat.

Saat datang ke IGD H masih bisa berbicara walaupun terputus-putus dan menyatakan dadanya terasa berat dan letih dan lebih suka diperiksa dalam keadaan duduk.

Ibu bercerita H sering batuk2 sejak usia 4 tahun. Batuk muncul setelah H kelelahan akibat beraktivitas terutama pada maam harinya, namun mereda setelah keesokan hari beristirahat.

Sejak 1 tahun terakhir, hampir setiap bulan H pergi ke doter karena batuk dan sesak. Malam hari sering terbangun karena batuk dan mereda bila diberikan obat batuk dari klinik. Sesak yang dialami sekarang lebih berat dibanding sesak yang sebelumnya.

Ibu H memiliki alergi makanan laut dan ayah H seorang perokok, kadang merokok di dalam rumah. Sedangkan adik laki-laki H saat ini tidak memiliki keluhan yang sama.Halaman 2

Hasil pemeriksaan fisik didapatkan :

Keadaan umum tampak sakit sedangm An H terlihat sesak napas dan mengambil posisi duduk berpegangan pada lengan kursi.

BB : 19,5 kgTB : 125 cm

Tanda Vital:- TD 110/70 mmHg

S 36,5O

- Nadi 120 x/menit

RR 40 x/menit

- SpO2 91% tanpa oksigen

Kepala

: Napas cuping hidung, mukosa nasal dbn

Thoraks

1. Paru

Inspeksi: Pergerakan simetris, retraksi suprasternal, ekspirium memanjang

Auskultasi: Suara napas vesikuler, tidak ada ronki, terdengan wheezing sepanjang ekspirasi

2. Jantung : DBN

Abdomen : DBN

Ekstremitas : Tidak ada clubbing Finger.

Halaman 3

Pemeriksaan penunjang dilakukan spirometri saat datang dengan hasil FEV1 46%. An. H segera diberikan oksigen 3 L/menit melalui kanul hidung dan pemberian bronkodilator melalui nebulasi. Setelah 20 menit nebulasi dilakukan evaluasi. An H masih mengeluh sesak napas dan pada pemeriksaan fisik masih terdengar wheezing. Maka dilakukan nebulasi kedua. Hasil evaluasi kedua didapatkan keluhan sesak masih ada walau berkurang dan pada pemeriksaan fisik masih terdengar wheezing. Maka dikalukan nebulasi ketiga dengan bronkodilator dan anti kolinergik. Pasca nebulasi ketiga pasien tampak tidak sesak dan wheezing tidak terdengar.

Pada pemeriksaan penunjang di dapatkan hasil :

Hb : 13 g/dL

Ht : 38,8%

Leukosit : 7800/uL

Trombosit : 230.000/uL

LED : 20 mm/jam

Hitung jenis : 1/10/5/55/23/6

Faal paru setelah diberikan nronkodilator : FEV1 72%

Saturasi O2 : 98%

Halaman 4

Setelah mengetahui respon baik, anak H diobervasi di ruang rawat sehari. Oksigen dilanjutkan dan diberikan metilprednisolon oral 3x4 mg, nebulasi setiap 2 jam dilanjutkan setiap 4 jam.

Selama pemantauan 12 jam pasien klinis stabil, dokter pun memperbolehkan anak H pulang dengan memberikan obat bronkodilator inhalasi dan kortikosteroid oral selama 3 hari serta memastikan anak H kontrol 2 minggu mendatang untuk dilakukan pemeriksaan spirometri.ASMA BRONKIAL

Definisi

Inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel dan elemen. Menyebabkan hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan gejala mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk t.u malam hari atau dini hari, episodik tsb berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan sering reversibel dengan atau tanpa pengobatan

Epidemiologi

Didunia diperkirakan 300 juta orang menderita asma dan diperkirakan angka ini akan terus meningkat hingga 400 juta penderita pada tahun 2025 (WHO)

Survei Kesehatan Rumah Tangga 1986 menunjukkan asma menduduki posisi ke-5 dari 10 penyebab kesakitan

Tahun 1995 prevalensi asma diseluruh Indonesia sebesar 13/1000

Hasil penelitian International Study on Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC) pada tahun 2005 menunjukkan bahwa di Indonesia prevalensi penyakit asma meningkat dari 4,2% menjadi 5,4%

Asma dapat ditemukan pada laki laki dan perempuan di segala usia, terutama pada usia dini.

Prof. Dr. dr Heru Sundaru, Sp.PD, KAI dari FKUI Universitas Indonesia mengatakan, kasus asma pada anak di Indonesia lebih tinggi sedikit dibandingkan dewasa. Kemudian asma pada anak akan hilang sebagian, dan akan muncul lagi setelah dewasa karena perjalanan alamiah.

Setiap perbedaan usia organ tubuh yang terganggu karena alergi berpindah, bukan berarti alergi sembuh pada usia tertentu

Faktor Risiko Dan Faktor Pencetus

Faktor Risiko :

Predisposisi genetik, adanya riwayat atopi pada diri sendiri dan atau keluarga

Faktor Pencetus

Alergen dalam rumah

Alergen luar rumah

Alergen makanan

Alergen obat obat tertentu

Infeksi pernapasan

Ekspresi emosi berlebih

Olahraga/aktivitas jasmani berat

Asap rokok bagi perokok aktif maupun perokok pasif

Polusi udara dari dalam dan luar ruangan

Patofisiologi

Pola inflamasi berbagai bentuk asma(alergi, non alergi, akibat aspirin pada exercise) sama baik pada semua usia

Sel inflamasi yang terlibat (sel mast, eosinofil, limfosit T t.u Th2, sel dendritik, makrofag dan neutrofil

Sel struktur jalan napas yang terlibat dalam produksi mediator inflamasi dan berkontribusi dalam inflamasi kronik ( sel epitel jalan napas, sel otot polos jalan napas, sel endotelial PD bronkus, sel fibroblas dan miofibroblas.

Mediator yang terlibat dalam proses inflamasi (kemokin, leukotrien sitokin, histamin, Nitrat oksida

Klasifikasi

Berdasarkan Derajat keparahan

Berdasarkan penyebabnya, dibagi 3 Tipe :

- Asma ekstrinsik (alergi)

- Asma intrinsik (idiosinkratik)

-Asma gabungan

Gejala Klinis dan tanda

Anamnesa

( Batuk, sesak napas, mengi, rasa berat di dada dan variabiliti yang berkaitan dengan cuaca, faktor yang mempengaruhi asma (riwayat keluarga dan riwayat alergi), respon tehadap pemberian bronkodilator

Pemeriksaan Fisik

gelisah, sulit berbicara, penggunaan otot bantu napas, pernapasan cepat,ekspirasi memanjang, takikardi, wheezing +

Pemeriksaan Penunjang

- Spirometri

Manfaat spirometri dalam diagnosis asma :

))menilai obstruksi jalan napas

))menilai reversibiliti

))menilai derajat keparahan asma

- Arus Puncak Ekspirasi (Spirometri/Peak Flow meter)

manfaat APE dalam diagnosis asma :

> menilai reversibiliti

>menilai variabiliti (menilai variasi diurnal APE yang dikenal dengan variabiliti APE harian selama 1-2 minggu

- Uji provokasi bronkus

>dilakukan jika px spirometri normal, untuk menunjukkan adanya hipereaktivitas bronkus (uji beban kerja, alergen non spesifik)

- Px Eosinofil total

- Uji Kulit

>untuk menunjukkan adanya antibodi IgE spesifik dalam tubuh

- Foto Thorax

>untuk menyingkirkan penyebab lain obstruksi saluran napas dan curiga adanya komplikasiPENATALAKSANAAN ASMATujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan mempertahankan kualiti hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan aktiviti sehari-hari.Tujuan penatalaksanaan asma: 1. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma

2. Mencegah eksaserbasi akut3. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin4. Mengupayakan aktiviti normal termasuk exercise5. Menghindari efek samping obat 6. Mencegah terjadi keterbatasan aliran udara (airflow limitation) ireversibel7. Mencegah kematian karena asma

Penatalaksanaan asma berguna untuk mengontrol penyakit. Asma dikatakan terkontrol bila :1. Gejala minimal (sebaiknya tidak ada), termasuk gejala malam2. Tidak ada keterbatasan aktiviti termasuk exercise 3. Kebutuhan bronkodilator (agonis (2 kerja singkat) minimal (idealnya tidak diperlukan) 4. Variasi harian APE kurang dari 20%5. Nilai APE normal atau mendekati normal6. Efek samping obat minimal (tidak ada)7. Tidak ada kunjungan ke unit darurat gawatTujuan penatalaksanaan tersebut merefleksikan pemahaman bahwa asma adalah gangguan kronik progresif dalam hal inflamasi kronik jalan napas yang menimbulkan hiperesponsif dan obstruksi jalan napas yang bersifat episodik. Sehingga penatalaksanaan asma dilakukan melalui berbagai pendekatan yang dapat dilaksanakan (applicable), mempunyai manfaat, aman dan dari segi harga terjangkau. Integrasi dari pendekatan tersebut dikenal dengan : Program penatalaksanaan asma, yang meliputi 7 komponen :1. Edukasi

Edukasi kepada penderita/ keluarga bertujuan untuk meningkatkan pemahaman (mengenai penyakit asma secara umum dan pola penyakit asma sendiri) meningkatkan keterampilan (kemampuan dalam penanganan asma)

meningkatkan kepuasan

meningkatkan rasa percaya diri

meningkatkan kepatuhan (compliance) dan penanganan mandiri2. Menilai dan monitor berat asma secara berkala Penilaian klinis berkala antara 1 - 6 bulan dan monitoring asma oleh penderita sendiri mutlak dilakukan pada penatalaksanaan asma. Hal tersebut disebabkan berbagai faktor antara lain :

1. Gejala dan berat asma berubah, sehingga membutuhkan perubahan terapi2. Pajanan pencetus menyebabkan penderita mengalami perubahan pada asmanya3. Daya ingat (memori) dan motivasi penderita yang perlu direview, sehingga membantu penanganan asma terutama asma mandiri.Frekuensi kunjungan bergantung kepada berat penyakit dan kesanggupan penderita dalam memonitor asmanya. Umumnya tindak lanjut (follow-up) pertama dilakukan < 1 bulan ( 1-2 minggu) setelah kunjungan awal. Pada setiap kunjungan layak ditanyakan kepada penderita; apakah keadaan asmanya membaik atau memburuk dibandingkan kunjungan terakhir. Kemudian dilakukan penilaian pada keadaan terakhir atau 2 minggu terakhir sebelum berkunjung dengan berbagai pertanyaan.3. Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetusFaktor pencetusnya adalah :

1. Alergen (debu rumah, bulu binatang)

2. Makanan (bumbu, penyedap, pengawet)

3. Infeksi saluran napas

4. Perubahan cuaca

5. Zat kimia dan obat-obatan

6. Aktiviti berlebihan

7. Bahan iritan

8. Bau yang merangsang

9. Emosi4. Merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjangPenatalaksanaan asma bertujuan untuk mengontrol penyakit, disebut sebagai asma terkontrol. Asma terkontrol adalah kondisi stabil minimal dalam waktu satu bulan (asma terkontrol, lihat program penatalaksanaan). Dalam menetapkan atau merencanakan pengobatan jangka panjang untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma yang terkontrol, terdapat 3 faktor yang perlu dipertimbangkan :

1. Medikasi (obat-obatan)

2. Tahapan pengobatan

3. Penanganan asma mandiri (pelangi asma) Medikasi AsmaMedikasi asma ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala obstruksi jalan napas, terdiri atas pengontrol dan pelega. Pengontrol (Controllers)Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma, diberikan setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma terkontrol pada asma persisten. Pengontrol sering disebut pencegah, yang termasuk obat pengontrol :

a. Kortikosteroid inhalasi

b. Kortikosteroid sistemik

c. Sodium kromoglikat

d. Nedokromil sodium

e. Metilsantin

f. Agonis beta-2 kerja lama, inhalasi

g. Agonis beta-2 kerja lama, oral

h. Leukotrien modifiersi. Antihistamin generasi ke dua (antagonis -H1)

Pelega (Reliever)Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos, memperbaiki dan atau menghambat bronkostriksi yang berkaitan dengan gejala akut seperti mengi, rasa berat di dada dan batuk, tidak memperbaiki inflamasi jalan napas atau menurunkan hiperesponsif jalan napas.

Termasuk pelega adalah :

a. Agonis beta2 kerja singkat

b. Kortikosteroid sistemik. (Steroid sistemik digunakan sebagai obat pelega bila penggunaan bronkodilator yang lain sudah optimal tetapi hasil belum tercapai, penggunaannya dikombinasikan dengan bronkodilator lain). c. Antikolinergik

d. Aminofillin

Penangan Asma Mandiri

Hubungan penderita-dokter yang baik adalah dasar yang kuat untuk terjadi kepatuhan dan efektif penatalaksanaan asma. Dengan kata lain dokter penting untuk berkomunikasi dengan penderita/ keluarga, dengarkan mereka, ajukan pertanyaan terbuka dan jangan melakukan penilaian sebelumnya, lakukan dialog sederhana dan berikan nasehat atau komentar sesuai kemampuan/ pendidikan penderita. Komunikasi yang terbuka dan selalu bersedia mendengarkan keluhan atau pernyataan penderita adalah kunci keberhasilan pengobatan. Rencanakan pengobatan asma jangka panjang sesuai kondisi penderita, realistik/ memungkinkan bagi penderita dengan maksud mengontrol asma. Bila memungkinkan, ajaklah perawat, farmasi, tenaga fisioterapi pernapasan dan lain-lainnya untuk membantu memberikan edukasi dan menunjang keberhasilan pengobatan penderita.Tabel 15. Pelangi asmaPelangi Asma, monitoring keadaan asma secara mandiri

Hijau Kondisi baik, asma terkontrol

Tidak ada / minimal gejala

APE : 80 - 100 % nilai dugaan/ terbaik

Pengobatan bergantung berat asma, prinsipnya pengobatan dilanjutkan. Bila tetap berada pada warna hijau minimal 3 bulan, maka pertimbangkan turunkan terapi

Kuning Berarti hati-hati, asma tidak terkontrol, dapat terjadi serangan akut/ eksaserbasi

Dengan gejala asma (asma malam, aktiviti terhambat, batuk, mengi, dada terasa berat baik saat aktiviti maupun istirahat) dan/ atau APE 60 - 80 % prediksi/ nilai terbaik

Membutuhkan peningkatan dosis medikasi atau perubahan medikasi

Merah Berbahaya

Gejala asma terus menerus dan membatasi aktiviti sehari-hari. APE < 60% nilai dugaan/ terbaik

Penderita membutuhkan pengobatan segera sebagai rencana pengobatan yang disepakati dokter-penderita secara tertulis. Bila tetap tidak ada respons, segera hubungi dokter atau ke rumah sakit.

Sistem penanganan asma mandiri membantu penderita memahami kondisi kronik dan bervariasinya keadaan penyakit asma. Mengajak penderita memantau kondisinya sendiri, identifikasi perburukan asma sehari-hari, mengontrol gejala dan mengetahui kapan penderita membutuhkan bantuan medis/ dokter. Penderita diperkenalkan kepada 3 daerah (zona) yaitu merah, kuning dan hijau dianalogkan sebagai kartu menuju sehat balita (KMS) atau lampu lalu lintas untuk memudahkan pengertian dan diingat penderita. Zona`merah berarti berbahaya, kuning hati-hati dan hijau adalah baik tidak masalah. Pembagian zona berdasarkan gejala dan pemeriksaan faal paru (APE) .Agar penderita nyaman dan tidak takut dengan pencatatan tersebut, maka diberikan nama pelangi asma. Setiap penderita mendapat nasehat/ anjuran dokter yang bersifat individual bergantung kondisi asmanya, akan tetapi aturan umum pelangi asma adalah seperti pada tabel 15.5. pengobatan pada serangan akut

Serangan asma bervariasi dari ringan sampai berat bahkan dapat bersifat fatal atau mengancam jiwa. Seringnya serangan asma menunjukkan penanganan asma sehari-hari yang kurang tepat. Dengan kata lain penanganan asma ditekankan kepada penanganan jangka panjang, dengan tetap memperhatikan serangan asma akut atau perburukan gejala dengan memberikan pengobatan yang tepat.

Penilaian berat serangan merupakan kunci pertama dalam penanganan serangan akut (lihat tabel 6). Langkah berikutnya adalah memberikan pengobatan tepat, selanjutnya menilai respons pengobatan, dan berikutnya memahami tindakan apa yang sebaiknya dilakukan pada penderita (pulang, observasi, rawat inap, intubasi, membutuhkan ventilator, ICU, dan lain-lain) Langkah-langkah tersebut mutlak dilakukan, sayangnya seringkali yang dicermati hanyalah bagian pengobatan tanpa memahami kapan dan bagaimana sebenarnya penanganan serangan asma.

Penanganan serangan yang tidak tepat antara lain penilaian berat serangan di darurat gawat yang tidak tepat dan berakibat pada pengobatan yang tidak adekuat, memulangkan penderita terlalu dini dari darurat gawat, pemberian pengobatan (saat pulang) yang tidak tepat, penilaian respons pengobatan yang kurang tepat menyebabkan tindakan selanjutnya menjadi tidak tepat. Kondisi penanganan tersebut di atas menyebabkan perburukan asma yang menetap, menyebabkan serangan berulang dan semakin berat sehingga berisiko jatuh dalam keadaan asma akut berat bahkan fatal.

6. Kontrol secara teraturMeliputi penilaian fisis dan fungsi paru dan evaluasi pengobatan.7. Pola hidup sehatMeningkatkan kebugaran jasmani

olahraga yang teratur

meningkatkan kemampuan otot napas

meningkatkan kebugaran jasmani

menambah rasa percaya diri

olahraga yang dianjurkanPenyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK)

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang progresif, artinya penyakit ini berlangsung seumur hidup dan semakin memburuk secara lambat dari tahun ke tahun. Dalam perjalanan penyakit ini terdapat fase-fase eksaserbasi akut.

Berbagai faktor berperan pada perjalanan penyakit ini, antara lain faktor resiko yaitu factor yang menimbulkan atau memperburuk penyakit seperti kebiasaan merokok, polusi udara, polusi lingkungan, infeksi, genetic dan perubahan cuaca. Derajat obtruksi saluran nafas yang terjadi, dan identifikasi komponen yang memugkinkan adanya reversibilitas. Tahap perjalanan penyakit dan penyakit lain diluar paru seperti sinusitis dan faringitis kronik. Yang pada akhirnya faktor-faktor tersebut membuat perburukan makin lebih cepat terjadi. Untuk melakukan penatalaksanaan PPOK perlu diperhatikan factor-faktor tersebut, sehingga pengobatan PPOK menjadi lebih baik.

Definisi

Penyakit obtruksi jalan nafas karana bronchitis kronis atau emfisema. obstruksi tersebut umumnya bersifat progresif, bias disertai hiper aktitas bronkus dan sebagian bersifat reversible.

Bronchitis kronis adalah suatu definisi klinis yaitu ditandai dengan batuk-batuk hamper setiap hari disertai pengeluarn dahak, sekurang-kurangnya 3 bulan berturut-turut dalam satu tahun dan paling sedikit selama 2 tahun.

Emfisema adalah suatu perubahan anatomi paru-paru yang ditandai dengan melebarnya secara abnormal saluran udara sebelah distal bronkus terminal disertai kerusakan diding alveolus.

Anatomi Paru

Paru-paru terletak sedemikian rupa sehingga setiap paru terletak disamping mediastinum. Oleh karena itu ,masing-masing paru-paru satu sama lain dipisahkan

oleh jantung dan pembuluh pembuluh besar serta struktur lain dalam mediastinum Masing-masing paru berbentuk konus dan diliputi oleh pleura viceralis. Paru-paru terbenam bebas dalam rongga pleuranya sendiri,hanya dilekatkan ke mediastinum oleh radix pulmonis.

Masing-masing paru mempunyai apex yang tumpul, yang menjorok ke atas,masuk ke leher sekitar 2,5 cm di atas clavicula, facies costalis yang konveks,yang berhubungan dengan dinding dada, dan facies mediastinalis yang konkaf,yang membentuk cetakan pada pericardium dan struktur-struktur mediastinum lain Sekitar pertengahan permukaan kiri,terdapat hillus pulmonalis, suatu lekukan dimana bronkus,pembuluh darah dan saraf masuk ke paru-paru untuk membentuk radix pulmonalis

Paru-paru kanan sedikit lebih besar dibanding paru-paru kiri dan dibagi oleh fissura oblique dan fissura horisontalis menjadi 3 lobus, Lobus superior, medius dan inferior. Paru-paru kiri dibagi fisura obliqua menjadi 2 lobus, lobus superior dan lobus inferior.

Etiologi

Faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya PPOK adalah:

1. kebiasaan merokok

2. polusi udara

3. paparan debu dan asap

4. riwayat infeksi saluran nafas.Patofisiologi

Pada bronchitis kronik maupuun emfisema terjadi penyempitan saluran nafas.Penyempitan ini dapat mengakibatkan obstruksi jalan nafas dan menimbulkan sesak.

Pada bronchitis kronik,saluran pernafasan kecil yang berdiameter kurang dari 2 mm menjadi lebih sempit, berkelok-kelok dan berobliterasi. Penyempitan ini terjadi juga oleh metaplasia sel goblet, saluran nafas besar juga menyempit karena hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus.

Pada emfisema paru penyempitan saluran nafas disebabkan oleh berkurangnya elastisitas paru-paru.

Pada orang normal sewaktu terjadi ekspirasi maksimal,tekanan yang menarik jaringan paru akan berkurang ,sehingga saluran-saluran pernafasan bagian bawah paru akan tertutup.

Pada penderita bronchitis kronik dan emfisema, saluran-saluran pernafasan tersebut akan lebih cepat dan lebih banyak tertutup. Akibat cepatnya saluran pernafasan tertutup serta dinding alveoli yang rusak, akan menyebabkan ventilasi tidak seimbang..Tergantung dari kerusakannya dapat terjadi alveoli dengan ventilasi kurang atau tidak ada, akan tetapi perfusi baik ,sehingga penyebaran udara pernafasan maupun aliran darah ke alveoli tidak sama dan merata , atau dapat dikatakan juga tidak ada keseimbangan antara ventilasi dan perfusi di alveoli yang akhirnya menimbulkan hipoksia dan sesak nafas.

Pada PPOK terutama karena emfisema dapat terjadi kelainan kardiovaskuler ,jantung menjadi kecil,ini disebabkan peningkatan retrosternal air space.

Diagnosis

1. Anamnesis : riwayat penyakit yang ditandai batuk-batuk setiap hari disertai pengeluaran dahak, sekurang-kurangnya 3 bulan berturut-turut dalam 1 tahun, dan paling sedikit selama 2 tahun.

2. Pemeriksaan fisik :

1. Pasien tampak kurus dengan barrel shape chest (diameter anteroposterior dada meningkat).

2. Fremitus taktil dada tidak ada atau berkurang.

3. Perkusi dada hipersonor, peranjakan hati mengecil, batas paru hati lebih rendah, tukak jantung berkurang.

4. Suara nafas berkurang dengan expirasi panjang.

3. Gambaran radiologi

Foto thorax pada bronchitis kronis memperlihatkan tubular shadow berupa bayangan garis-garis yang parallel keluar dari hilus menuju apex paru dan corakan paru yang bertambah.

Pada emfisema paru thorax menunjukan adanya overventilasi dengan gambaran diafragma yang rendah dan datar,peningkatan retrosternal air space dan bayangan penyempitan jantung yang panjang, penciutan pembuluh darah pulmonal dan penampakan ke distal.

Pada ct-scan lebih sensitif daripada foto thorax biasa karena pada High-resolution CT (HRCT) scan memiliki sensivitas tinggi untuk menggambarkan emfisema, tapi tidak dianjurkan untuk pemeriksaan rutin.

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pada penderita PPOK mempunyai tujuan untuk :

1. Memperbaiki kemampuan penderita mengatasi gejala-gejala tidak hanya pada fase akut, tapi juga pada fase kronik.

2. Memperbaiki kemampuan penderita dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari sesuai dengan pola kehidupannya.

3. Mengurangi laju perkembangan penyakit apabila dapat dideteksi lebih awal.

Dasar-dasar penatalaksanaan PPOK secara umum adalah :

1. Usaha-usaha pencegahan, terutama ditujukan terhadap memburuknya penyakit.

2. Mobilisasi dahak.

3. Mengatasi bronkospasme.

4. Memberantas infeksi.

5. Penanganan terhadap komplikasi.

6. Fisioterapi, inhalasi terapi dan rehabilitasi.

Secara garis besar penatalaksanaan PPOK dapat dibagi atas 4 kelompok, yaitu :

1. Penatalaksanaan umum

a. Pendidikan terhadap penderita dan keluarganya.

b. Menghindari rokok dan zat-zat inhalasi lain yang bersifat iritasi.

c. Menghindari infeksi.

d. Lingkungan yang sehat.

e. Kebutuhan cairan yang cukup.

f. Imunoterapi.

2. Penggunaan obat-obatan

a. Bronkodilator (untuk mengatasi obstruksi jalan nafas) : salbutamol 4x 0,25-0,5mg/hari

b. Ekspektoran

c. Antibiotik, dll

3. Terapi respirasi. Terapi oksigen diberikan jika terdapat kegagalan pernafasan karena hiperkapnia dan berkurangnya sesitivitas terhadap CO2.

4. Rehabilitasi, pasien cenderung menemui kesulitan bekerja, merasa sendiri dan terisolasi, untuk itu perlu kegiatan sosialisasi agar terhindar dari depresi.

Rehabilitasi untuk pasien PPOK adalah :

Fisioterapi

Rehabilitasi psikis

Rehabilitasi pekerjaanBRONKITIS KRONIK

Definisi

Bronkitis kronik adalah keadaan pengeluaran mukus secara berlebihan ke batang bronchial secara kronik atau berulang dengan disertai batuk, yang terjadi hampir setiap hari selama sekurangnya 3 bulan dalam 1 tahun selama 2 tahun berturut-turut.

Etiologi

Ada faktor lingkungan:

3 faktor utama yang mempengaruhi timbulnya bronchitis yaitu rokok, infeksi dan polusi.

Faktor penderita :

Usia

Keturunan

Penyakit paru yang telah ada misalnya bronkietaksis, Kelainan sillia primer

Defisiensi imunologis

Rokok

Secara patologis rokok berhubungan dengan hiperplasia kelenjar mukus bronkus dan metaplasia skuamus epitel saluran pernafasan juga dapat menyebabkan bronkostriksi akut.

Infeksi

Bakteri yang diisolasi paling banyak adalah Hemophilus influenza dan streptococcus pneumonie.

Polusi

Pulusi tidak begitu besar pengaruhnya sebagai faktor penyebab, tetapi bila ditambah merokok resiko akan lebih tinggi. Zat zat kimia dapat juga menyebabkan bronchitis adalah zat zat pereduksi seperti O2, zat zat pengoksida seperti N2O, hidrokarbon, aldehid, ozon.

Klasifikasi

Secara klinis, Bronkitis kronis terbagi menjadi 3 jenis, yakni:

1. Bronkitis kronis ringan ( simple chronic bronchitis), ditandai dengan batuk berdahak dan keluhan lain yang ringan.

2. Bronkitis kronis mukopurulen ( chronic mucupurulent bronchitis), ditandai dengan batuk berdahak kental, purulen (berwarna kekuningan).

3. Bronkitis kronis dengan penyempitan saluran napas ( chronic bronchitis with obstruction ), ditandai dengan batuk berdahak yang disertai dengan sesak napas berat dan suara mengi.

Manifestasi klinis

Batuk, mulai dengan batuk batuk pagi hari, dan makin lama batuk makin berat, timbul siang hari maupun malam hari, penderita terganggu tidurnya.

Dahak, sputum putih/mukoid. Bila ada infeksi, sputum menjadi purulen atau mukopuruen dan kental.

Sesak bila timbul infeksi, sesak napas akan bertambah, kadang kadang disertai tanda tanda gagal jantung kanan.

Patogenesis

ASAP ROKOK, POLUTANHambatan mucociliar clearanceIritasi bronchioleHiperplasia, hipertrofi dan proliferasi kelenjar mukusHipersekresi mukus INFEKSIOBSTRUKSI

Pemeriksaan Fisik

Kadang kadang terdengar ronchi pada waktu ekspirasi dalam.

Bila sudah ada keluhan sesak, akan terdengar ronchi pada waktu ekspirasi maupun inspirasi disertai bising mengi.

Juga didapatkan tanda tanda seperti barrel chest, kifosis, pada perkusi terdengar hipersonor, peranjakan hati mengecil, batas paru hati lebih ke bawah, pekak jantung berkurang, suara nafas dan suara jantung lemah.

Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan radiologis

Tubular shadow atau traun lines terlihat bayangan garis yang paralel, keluar dari hilus menuju apeks paru. Bayangan tersebut adalah bayangan bronchus yang menebal.

Corak paru bertambah

Pemeriksaan fungsi paru

VEP1 (Volume ekspirasi paksa 1 detik) : menurun.

KV (kapasitas vital) : menurun (normal 3,1 liter - 4,8 liter).

VR (volume residu) : bertambah (normal 1,1 liter - 1,2 liter).

KTP (kapasitas total paru) : normal (normal 4,2 liter - 6,0 liter).

KRF (kapasitas residu fungsional) : sedikit naik atau normal (normal 1,8 liter - 2,2 liter).

Analisa gas darah

Pa O2 : rendah (normal 25 100 mmHg)

Pa CO2 : tinggi (normal 36 44 mmHg).

Penatalaksanaan

Farmako

Beri antibiotik bila ada kecurigaan infeksi bacterial

Dapat diberi efedrin 0,5 1 mg/KgBB tiga kali sehari

Chloral hidrat 30 mg/Kg BB sebagai sedatif

Non Farmako

mengontrol batuk dan mengeluarakan lendir:

Banyak minum

Membatasi aktivitas anak

Hindari makanan yang menstimulasi batuk

Jaga kebersihan makanan dan biasakan cuci tangan sebelum makan

Menciptakan lingkungan udara yang bebas polusi Bronkiolitis

Definisi

Bronkiolitis adalah penyakit inflamasi akut dari saluran atas dan bawah menyebabkan obstruksi dari saluran napas kecil.(3)

Etiologi

Respiratory Syncytial Virus (RSV) adalah agen yang paling sering yang ditemukan dalam isolasi sebanyak 75% pada anak-anak kurang dari 2 th yang menderita bronkiolitis dan dirawat di rumah sakit. Penyebab lain yang menyebabkan bronkiolitis termasuk didalamnya adalah virus para influenza tipe 1 dan 3, influenza B, para influenza tipe 2, adenovirus tipe 1,2,5 dan mycoplasma yang paling sering pada anak-anak usia sekolah. Terdapat pembuktian bahwa kompleks imunologis yang memainkan peranan penting dari patogenesis dari bronkiolitis dengan RSV. Reaksi alergi tipe 1 dimediasi oleh antibodi Ig E hal ini dapat dihitung untuk signifikansi dari bronkiolitis. Bayi yang meminum ASI dengan colustrum tinggi yang didalamnya terdapat Ig A tampaknya lebih relaktif terproteksi dari bronkiolitis.(4)Adenovirus dapat dihubungkan dengan komplikasi jangka lama, termasuk bronkiolitis obliterans dan sindrom paru hiperlusen unilateral (sindrom Swyer-James).

Virus sinsisial respiratorik

VSR adalah virus RNA terikat membran berukuran medium yang berkembang dalam sitoplasma sel yang terinfeksi dan matang dengan pertunasan dari membran plasma. Berbagai strain VSR menunjukan beberapa heterogenitas antigenik. Variasi ini terutama ditemukan pada hanya satu dari dua glikoprotein permukaan dari virus menunjukan reaksi pada hospes manusia seperti satu serotip. VSR menghasilkan sitopatologis sinsitial khas dalam biakan jaringan spesimen dikirim dengan cepat dalam es basah karena labil. (4 Adeno virus

Adenovirus adalah virus DBA ukuran sedang, yang diklasifikasikan menjadi subgena A sampai G. Tipe 1-39 ada dalam subgena A sampai E, tipe 40 adalah subgenus F, dan tipe 41 adalah subgenus G, virion mempunyai pembungkus ikosahedral yang tersusun dari berbagai protein, yang paling berlebihan darinya adalah hexon, antigen biasa yang bereaksi silang dengan semua adenovirus mammalia. penton memberi spesifisitas tipe, dan antibodi terhadapnya adalah protektif. Penton ini juga sitotoksik pada biakan jaringan, dan sifat sofatoksik telah dianggap berasal darinya juga in vivo. Adenovirus dapat juga diklasifikasikan dengan mencetakkan sidik jari DNAnya pada jelli sesudah terdigesti dengan pembatasan endonuklease, dan klasifikasi ini biasanya sesuai dengan tipe-tipe antigeniknya. (4)

Semua tipe adenovirus kecuali tipe 40 dan 41 tumbuh dalam sel ginjal embrional manusia primer, dan kebanyakan tumbuh pada sel Hep-2 atau HeLa, menghasilkan pengaruh sitopatik, destruktif khas. Tipe 40 dan 41 (dan serotip lain juga), tumbuh pada 293 sel, deretan sel ginjal embrional manusia yang kepadanya telah dimasukkan gena adenovirus awal tertentu.

Banyak tipe adenovirus, tetapi terutama tipe anak biasa (1,2 dan 5), dilepas selama masa yang panjang dari saluran pernafasan maupun saluran cerna. Tipe ini juga menyebabkan infeksi tonsil ringan dan kronik. (4) Virus para influenza

Ada empat virus dalam famili parainfluenza yang menyebabkan sakit pada manusia, ditandai tipe 1-4. Virus mempunyai genom RNA helai tunggal, tidak bersegmen dengan pembungkus mengandung lipid yang berasal dari pertunasan melalui membran sel. Bagian antigenik utama adalah tonjolan-tonjolan protein pembungkus yang menunjukan sifat-sifat hemaglutinasi (protein HN) dan fusi sel (protein F). (4)Klasifikasi

Bronkiolitis dapat diklasifikasikan menjadi :

Bronkiolitis akut

Bronkiolitis obliteran.

Bronkiolitis akut dengan bronkiolitis obliteran dibedakan pada bronkhiolus dan saluran pernafasan yang lebih kecil terjejas, karena upaya perbaikan menyebabkan sejumlah besar jaringan granulasi yang menyebabkan obstruksi jalan nafas, lumen jalan nafas terobliterasi oleh masa noduler granulasi dan fibrosis. Bronkiolitis obliterans merupakan komplikasi yang lazim pada transplantasi paru.(1)

Epidemiologi

Epidemi dari RSV berkembang pada iklim dengan musim hujan dan menjelang kemarau, dan biasanya juga muncul pada musim yang bersamaan dengan menjangkitnya para-influenza. Terdapat bukti bahwa RSV endemik di daerah sub tropis dari Asia Tenggara sepanjang tahun , dan memuncak antara bulan Oktober sampai Februari dan berkurang pada bulan Maret sampai Juli. 2 dari sub tipe RSV telah di ketahui, yaitu tipe A dan tipe B, dengan tipe yang paling sering menyebabkan infeksi yang berat. Tipe B biasanya mendominasi apabila tipe A tidak dalam musim endemi. Penyakit ini sangat menular, penularan disebarkan melalui sekresi hidung yang keluar dan sangat menular pada hari ke 6 sampai hari ke 21 setelah gejala muncul. Waktu inkubasi antara 2 - 5 hari. Infeksi terjadi pada anggota keluarga sebanyak 46 %, 98 % pada anak yang dititipkan pada perawatan harian, 42 % pada staff rumah sakit dan sebanyak 45 % pada bayi yang dirawat di RS tetapi tidak terinfeksi. Infeksi menyebar melalui muntahan dan penggunaan sarung tangan, sedangkan baju khusus dapat mengurangi penyebaran infeksi nosokomial. 25 % anak umur dibawah 1 tahun dan 13 % anak umur antara 1 sampai 2 tahun akan mendapatkan infeksi saluran nafas. Separuh dari angka tersebut didapatkan gejala bersin yang diasosiasikan dengan infeksi saluran nafas. RSV dapat ditemukan pada kultur pasien yang dirawat di RS yang menderita infeksi tersebut dan 80 % nya berumur kurang dari 6 bulan. Diantaranya bayi yang sehat 80 % dirawat di RS pada tahun pertama kehidupannya dan sekitar 50 % perawatan di rumah sakit adalah bayi antara umur 1-3 bulan. Kurang dari 5 % perawatan di RS pada neonatus, kemungkinan dengan adanya antibodi yang masih terdapat dari transplasental-maternal. Faktor resiko untuk onset yang dini dari penyakit ini dan kemungkinan perawatan intensif dihubungkan dengan berat badan lahir rendah, prematuritas, sosio-ekonomi rendah, hidup didaerah padat, orang tua perokok, tidak diberikannya ASI ekslusif, dan perawatan harian.(4)

Gambar 1. Pembengkakan Bronkiolus akibat Infeksi RSV.(6)Manifestasi Klinis

Bronkiolitis Akut

Mula-mula bayi mendapatkan infeksi saluran napas ringan berupa pilek encer, batuk, bersin-bersin, dan kadang-kadang demam. Gejala ini berlangsung beberapa hari, kemudian timbul distres respirasi yang ditandai oleh batuk paroksimal, mengi, dispneu, dan iritabel. Timbulnya kesulitan minum terjadi karena napas cepat sehingga menghalangi proses menelan dan menghisap. Pada kasus ringan, gejala menghilang 1-3 hari. Pada kasus berat, gejalanya dapat timbul beberapa hari dan perjalananya sangat cepat. Kadang-kadang, bayi tidak demam sama sekali, bahkan hipotermi. Terjadi distres pernapasan dengan frekuensi napas 60 x/menit, terdapat napas cuping hidung, penggunaan otot pernapasan tambahan, retraksi, dan kadang-kadang sianosis. Retraksi biasanya tidak dalam karena adanya hiperinflasi paru (terperangkapnya udara dalam paru). Hepar dan lien bisa teraba karena terdorong diafragma akibat hiperinflasi paru. Mungkin terdengar ronki pada akhir inspirasi dan awal ekpirasi. Ekpirasi memanjang dan mengi kadang-kadang terdengar dengan jelas.(2) Gambaran radiologik biasanya normal atau hiperinflasi paru, diameter anteroposterior meningkat pada foto lateral. Kadang-kadang ditemukan bercak-bercak pemadatan akibat atelektasis sekunder terhadap obtruksi atau anflamasi alveolus. Leukosit dan hitung jenis biasanya dalam batas normal. Limfopenia yang sering ditemukan pada infeksi virus lain jarang ditemukan pada brokiolitis. Pada keadaan yang berat, gambaran analisis gas darah akan menunjukkan hiperkapnia, karena karbondioksida tidak dapat dikeluarkan, akibat edem dan hipersekresi bronkiolus.(2)

Bronkiolitis Obliterans

Bronkiolitis obliterans adalah suatu peradangan kronik pada bronkiolitis dimana sudah terjadi obliterasi pada bronkiolus.Pada mulanya dapat terjadi batuk, kegawatan pernafasan dan sianosis dan disertai dengan periode perbaikan nyata yang singkat. Penyakit yang progresif terlihat dengan bertambahnya dispnea, batuk, produksi sputum, dan mengi. Polanya dapat menyerupai bronkitis, bronkiolitis atau pneumonia.(7) Temuan rontgenografi dada berkisar dari normal sampai pola yang memberi kesan tuberkulosis milier. Sindrom Swyer James dapat berkembang dengan dijumpainya hiperlusensi unilateral dan pengurangan corak pembuluh darah paru pada sekitar 10% kasus. Bronkografi menunjukan obstruksi bronkiolus, dengan sedikit atau tidak ada bahan kontras yang mencapai perifer paru. Tomografi terkomputasi (CT) dapat menunjukan bronkiektasia yang terjadi pada banyak penderita. Temuan-temuan uji fungsi paru bervarisasi, yang paling sering adalah obstruksi berat, namun demikian retreksi atau kombinasi obstruksi dan retraksi dapat ditemukan. Diagnosis dapat dikonfirmasikan melalui biopsi paru.(7)

Faktor resiko

Salah satu faktor resiko yang terbesar untuk menjadi bronkiolitis pada umur kurang dari 6 bulan, sebab paru-paru dan sistem kekebalan tidak secara penuh berkembang dengan baik. Anak laki-laki cenderung untuk mendapatkan bronkiolitis lebih sering dibanding anak-anak perempuan. faktor lain yang telah dihubungkan dengan peningkatan resiko bronkiolitis pada anak-anak meliputi:

a. Tidak pernah diberi air susu ibu sehingga tidak menerima perlindungan kekebalan dari ibu

b. Kelahiran prematur

c. Pajanan ke asap rokok

d. Sering dititipkan pada tempat banyak bayi-bayi contoh tempat penitipan anak, panti asuhan

e. Saudara kandung lebih tua dengan kontak infeksi dari sekolah/ tempat bermain.(8)Patofisiologi

RSV adalah single stranded RNA virus yang berukuran sedang (80-350nm), termasuk paramyxovirus. Terdapat dua glikoprotein permukaan yang merupakan bagian penting dari RSV untuk menginfeksi sel, yaitu protein G (attachment protein )yang mengikat sel dan protein F (fusion protein) yang menghubungkan partikel virus dengan sel target dan sel tetangganya. Kedua protein ini merangsang antibodi neutralisasi protektif pada host. Terdapat dua macam strain antigen RSV yaitu A dan B. RSV strain A menyebabkan gejala yang pernapasan yang lebih berat dan menimbulkan sekuele. Masa inkubasi RSV 2 - 5 hari. Virus bereplikasi di dalam nasofaring kemudian menyebar dari saluran nafas atas ke saluran nafas bawah melalui penyebaran langsung pada epitel saluran nafas dan melalui aspirasi sekresi nasofaring. RSV mempengaruhi sistem saluran napas melalui kolonisasi dan replikasi virus pada mukosa bronkus dan bronkiolus yang memberi gambaran patologi awal berupa nekrosis sel epitel silia. Nekrosis sel epitel saluran napas menyebabkan terjadi edema submukosa dan pelepasan debris dan fibrin kedalam lumen bronkiolus .Virus yang merusak epitel bersilia juga mengganggu gerakan mukosilier, mukus tertimbun di dalam bronkiolus . Kerusakan sel epitel saluran napas juga mengakibatkan saraf aferen lebih terpapar terhadap alergen/iritan, sehingga dilepaskan beberapa neuropeptida (neurokinin, substance P) yang menyebabkan kontraksi otot polos saluran napas. Pada akhirnya kerusakan epitel saluran napas juga meningkatkan ekpresi Intercellular Adhesion Molecule-1 (ICAM-1) dan produksi sitokin yang akan menarik eosinofil dan sel-sel inflamasi. Jadi, bronkiolus menjadi sempit karena kombinasi dari proses inflamasi, edema saluran nafas, akumulasi sel-sel debris dan mukus serta spasme otot polos saluran napas.Adapun respon paru ialah dengan meningkatkan kapasitas fungsi residu, menurunkan compliance, meningkatkan tahanan saluran napas, dead space serta meningkatkan shunt. Semua faktor-faktor tersebut menyebabkan peningkatan kerja sistem pernapasan, batuk, wheezing, obstruksi saluran napas, hiperaerasi, atelektasis, hipoksia, hiperkapnea, asidosis metabolik sampai gagal napas. Karena resistensi aliran udara saluran nafas berbanding terbalik dengan diameter saluran napas pangkat 4, maka penebalan dinding bronkiolus sedikit saja sudah memberikan akibat cukup besar pada aliran udara. Apalagi diameter saluran napas bayi dan anak kecil lebih sempit. Resistensi aliran udara saluran nafas meningkat pada fase inspirasi maupun pada fase ekspirasi.Selama fase ekspirasi terdapat mekanisme klep hingga udara akan terperangkap dan menimbulkan overinflasi dada. Volume dada pada akhir ekspirasi meningkat hampir 2 kali di atas normal. Atelektasis dapat terjadi bila obstruksi total.Anak besar dan orang dewasa jarang mengalami bronkiolitis bila terserang infeksi virus. Perbedaan anatomi antara paru-paru bayi muda dan anak yang lebih besar mungkin merupakan kontribusi terhadap hal ini. Respon proteksi imunologi terhadap RSV bersifat transien dan tidak lengkap. Infeksi yang berulang pada saluran napas bawah akan meningkatkan resistensi terhadap penyakit. Akibat infeksi yang berulang-ulang, terjadi cumulatif immunity sehingga pada anak yang lebih besar dan orang dewasa cenderung lebih tahan terhadap infeksi bronkiolitis dan pneumonia karena RSV.Penyembuhan bronkiolitis akut diawali dengan regenerasi epitel bronkus dalam 3-4 hari, sedangkan regenerasi dari silia berlangsung lebih lama dapat sampai 15 hari . Ada 2 macam fenomena yang mendasari hubungan antara infeksi virus saluran napas dan asma: (1) Infeksi akut virus saluran napas pada bayi atau anak keci seringkali disertai wheezing. (2) Penderita wheezing berulang yang disertai dengan penurunan tes faal paru, ternyata seringkali mengalami infeksi virus saluran napas pada saat bayi/usia muda. Infeksi RSV dapat menstimulasi respon imun humoral dan selular. Respon antibodi sistemik terjadi bersamaan dengan respon imun lokal. Bayi usia muda mempunyai respon imun yang lebih buruk.

Diagnosis

Bronkiolitis adalah diagnosa klinis. Keterlibatan VSR pada setiap penyakit anak tertentu dapat dicurigai pada berbagai tingkat kepastian dari musim tahunan dan adanya wabah khas pada saat tersebut. Tanda lain yang mungkin membantu adalah umur anak ( selain VSR, satu-satunya virus respiratori yang sering menyerang bayi umur beberapa bulan pertama adalah virus parainfluenza tipe-3 ) dan epidemiologi keluarga.(10)

Masalah terbesar dalam diagnostik bronkiolitis adalah adanya kemungkinan keterlibatan infeksi bersama dengan bakteri atau klamidia. Bila bronkiolitis ringan atau infiltrat tidak tampak pada roentgenogram, ada kemungkinan infeksi komponen dengan bakteri. Pada bayi usia 1-4 bulan, pneumonitis interstisial dapat disebabkan oleh chlamydia trakhomatis. Pada keadaan ini mungkin riwayat konjungtivitis, dan penyakit cenderung subakut. Terdapat keluhan batuk sering tetapi tidak ada mengi dan tanpa demam.(10)

Konsolidasi tanpa tanda-tanda lain atau dengan efusi pleura dianggap berasal dari bakteri sampai terbukti lain. Tanda-tanda lain yang mengarah pada pneumonia bakteri adalah kenaikan angka neutrofil, depresi jumlah sel darah putih bila ada penyakit berat, ileus atau tanda-tanda perut lain, demam tinggi, dan kolaps sirkulasi.(10)

Diagnosis pasti infeksi VSR didasarkan pada deteksi virus atau antigen virus dalam sekresi pernafasan. Spesimen harus diletakkan diatas es, dan langsung dibawa ke laboratorium untuk diproses dengan deteksi antigen atau ditanamkan pada suatu sel yang rentan. Aspirat mukus dari lubang hidung posterior ( nasal washing ) merupakan spesimen yang optimal. Pulasan nasofaring atau tenggorok juga dapat diterima. Aspirat trakhea tidak perlu.(10)Diagnosis Banding

Keadaan yang paling lazim terancu dengan bronkiolitis akut adalah asma, satu atau lebih dari yang berikut ini mendukung diagnosis asma, riwayat keluarga asma, episode berulang kali pada bayi yang sama, mulainya mendadak tanpa infeksi yang mendahului, ekspirasi sangat memanjang, eosinofilia, dan respons pembaikan segera pada pemberian satu dosis albuterol aerosol. Serangan berulang menggambarkan titik pembeda yang penting kurang dari 5% serangan berulang bronkiolitis klinis mempunyai penyebab infeksi virus. Wujud lain yang dapat terancukan dengan bronkiolitis akut adalah gagal jantung kongesif, benda asing di dalam trakhea, pertusis, keracunan organofosfat, kistik fibrosia, dan bronkopneumonia bakteri yang disertai dengan overinflasi paru obstruktif menyeluruh.(1)Pemeriksaan penunjang Darah lengkap

Dengan hitungan jumlah sel darah lengkap jarang bermanfaat karena sel darah putih pada umumnya di dalam batas normal atau naik dan hitung jenis mungkin normal atau bergeser kekanan atau kekiri

Urin

Berat jenis urin dapat menyediakan informasi bermanfaat mengenai balance cairan dan kemungkinan dehidrasi.

Serum darah

Kimia serum darah tidaklah terpengaruh secara langsung oleh infeksi/peradangan tetapi dapat membantu menerka beratnya derajat dehidrasi.

Analisa gas darah

Analisa gas darah mungkin diperlukan pada pasien yang sakitnya berat, terutama yang menuntut ventilasi mekanik atau buatan.

Radiologi

Foto sinar x dada cukup diperlukan meliputi foto anterior-posterior dan lateral. dapat terlihat gambaran (tergantung berat ringannya penyakit)

Hiperinflasi dan infiltrat yang tertutup, gambaran ini adalah nonspesifik dan mungkin juga dapat pada gambaran pasien dengan sakit asma, pneumonia yang tidak lazim atau karena virus, dan aspirasi cairan.

Ateletaksis fokal

Gambaran udara yang terperangkap

Gambaran sekat diafragma yang rata

Peningkatan gambaran Garis tengah Antero posterior

Peribronchial Cuffing

Foto sinar x dapat juga mengungkapkan bukti alternatif untuk diagnosa banding, seperti pneumonia lobaris , gagal jantung kongestif, atau aspirasi benda asing.

Pemeriksaan lainnya:

Antigen Test pada nasal wash, dapat mengungkap dengan cepat ( pada umumnya di dalam 30 min) dan akurat ( kepekaan 87-91%, ketegasan 96-100%) dalam pendeteksian RSV.

Kultur positif dengan direct fluorescent antibody, test hasil percobaan dapat mengkonfirmasikan infeksi karena RSV .

Nasal washing test harus diperoleh dari anak-anak yang diperlukan opname dan anak-anak yang berhadapan dengan resiko berat.

Kultur RSV lebih sedikit sensitip ( 60%) tetapi spesifitas mencapai 100%.

Panel karena virus yang berhubungan dengan pernapasan, kultur untuk RSV atau lain virus, atau pendeteksian dengan direct fluorescent antibody atau dengan polymerase chain reaction mungkin bermanfaat untuk pertimbangan yang berikut:

Sebagai pemeriksaan konfirmasi lainnya

Untuk mencari agen lain infeksius yang lain

Karena tujuan epidemiologik. (11)

Penatalaksanaan dan Pengobatan

Penatalaksanaan

Bayi umur kurang dari 6 bulan dengan bronkiolitis akut dan distress pernafasan sebaiknya dirawat di rumah sakit bila ditemukan kadar SpO2 kurang dari 92 %, tidak dapat mempertahankan hidrasi oral, dan meningkatkan angka respirasi, atau mempunyai riwayat penyakit kardio-respiratori yang kronik. Desaturasi di 40 %O2 (3-4 l/mnt) biasanya muncul sianosis, gejala extra pulmonal, apnea dan asidosis merupakan tanda bayi di rawat di ruang rawat intensif. Hipoksemia merupakan tanda kelainan laboratorium yang tampak untuk itu diperlukan tambahan oksigen bagi pasien. Arah utama untuk pengobatan pasien dengan bronkiolitis adalah dengan penggantian cairan dan suplemen cairan. Pada pasien tersebut biasanya mengalami dehidrasi ringan dikarenakan berkurangnya asupan cairan dan banyak kehilangan cairan melalui demam dan takipnea. Pengguanan cairan tambahan agar diawasi agar tidak terbentuknya formasi edema paru. Terapi supportive adalah mendeteksi cepat bila ada apnea dan memberikan perhatian khusus terhadap demam pada neonatus .(4)Pengobatan

Bronkodilator

Penggunaan bronkodilator merupakan kontroversi pada neonatus dan bayi. Pada tahun 1993 editorial dari Lancet masih tidak memperkenankan penggunaan bronkodilator pada pasien-apsien bronkiolitis yang jelas tidak efektif. Kellner dkk., mereka menyimpulkan bahwa terdapat peningkatan ringan dari perbaikan sementara pada pasien dengan bronkiolitis sedang sampai berat. (4) Kortikosteroid

Disamping aturan utama inflamasi sebagai patoghenesis terjadinya sumbatan saluran nafas, kortikosteroid sebagai anti inflamsi tidak terbukti menguntungkan untuk meningkatkan status klinis pada studi klinis multi-instusional. Dibuktikan dalam penelitan yang ada maka penggunaan dexamethasone atau glukokortikosteroid lain pada anak-anak tidak dapat didukung. Nebulasi ephinefrin (0,1 mg/Kg BB) ditemukan lebih efektif daripada B-agonis salbutamol pada bayi dengan bronkiolitis akut. Pada studi yang dilakukan henderson dkk, tidak ditemukannya peningkatan signifikan fungsi respirasi pada penggunaan inhalasi adrenalin. Kesimpulan yang didapat bahwa adrenalin inhalasi tidak mengurangi obstruksi saluran nafas. Berdasarkan percobaan random terkontrol untuk membandingkan subcutaneus ephinefrin dan nebulalisasi ephinefrin dengan plasebo ditemukan peningkatan yang signifikan pada pasien yang diterapi dengan ephinefrin dalam hal peningktan perbaikan oksigenasi dan tanda klinis. (4) Antikolinergik

Ipratropium bromide adalah zat antikolinergik dalam bentuk aerosol, tidak dapat menunjukkan bukti dapat membantu dalam manajemen dari bayi yang sakit. Hal ini menunjukkan tidak ada keuntungan klinis dibandingkan dengan pengobatan albuterol tersendiri pada kasus bronkiolitis sedang sampai berat. (4) Antibiotik

Virus adalah etiologi utama pada bronkiolitis untuk itu penggunaan rutin dari antibiotik sebaiknya dihindari untuk penyakit ini. Apabila bayi mengarah ke arah lebih buruk dan menunjukkan kenaikan dari hitung sel darah putih kedepannya menunjukkan tanda-tanda sepsis, selanjutnya kultur bakteri dari darah, urine, dan cairan LCS sebaiknya diambil dan di follow up segera dengan pemberian antibiotik spektrum luas. Penelitian yang dilakukan oleh Kupperman dkk. dari 156 bayi dibawah umur 24 bulan yang sebelumnya sehat dengan sedikit demam dan menderita bronkiolitis, menunjukkan bahwa bayi-bayi ini mau tidak mau menderita bakteremia dan menderita infeksi saluran kemih.penggunaan rutin dari antibiotik tidak menunjukkan perbaikan dari bronkiolitis. (4) Heliox

Heliox (campuran antara helium dengan oxygen) telah digunakan pada pasien asma akut. telah ada laporan kasus yang menyatakan dan menjelaskan tentang penggunaan heliox pada bayi laki-laki umur 4 bulan dengan bronkiolitis positif RSV. Heliox mungkin bermanfaat sebagai tambahan untuk terapi konvensional pada pasien bronkiolitis dalam keadaan kritis. Bagaimanapun studi klinis dari terapi ini sangat diperlukan untuk mengetahui keefektifan terapi ini. Hal ini dimungkinkan bahwa heliox dengan terapi nebulalisasi dapat sangat berguna pada bayi dengan bronkiolitis berat atau pasien terpasang intubasi dan tidak merespon dengan terapi konvensional. (4) Ventilasi mekanik

Bayi dengan bronkiolitis kadang-kadang memerlukan ventilasi mekanik khususnya pada kasus apneu berulang atau peningkatan usaha nafas pada gagal nafas. Terapi pada pasien seperti ini adalah terapi suportif , dengan pemberian oksigen yang adekuat baik continous positive airway pressure (CPAP) dan intermitent mandattory ventilation (IMV) dengan possitive end-distending pressure (PEEP) telah digunakan dan sukses sebagai terapi pada bayi tersebut. Penyapihan awal pada hari ke-2 sampai ke-3 biasanya tidak sukses setelah kesakitan berkurang, untuk itu penyapihan dilakukan segera. Bayi dengan hypoxemia progresiv tidak merespon ventilasi konvensional biasanya merespon penggunaan ventilasi frekuensi tinggi atau extracorporeal oksigenasi membran. experimen terapi terkini untuk bayi dengan insuffisiensi pulmonal dari bronkiolitis meliputi surfaktan dan nitrit oksida. (4) Antivirus ( Ribavirin )

Ribavirin ( 1 beta-D-ribafuranosyl-1,2,4-triazole-3-carbox-amide) adalah analog nukleosida sintetik yang menggabungkan guanosin dan inosin tampaknya di buat untuk mempengaruhi RNA massenger dan menghambat sintesis protein virus. Ribavirin mempunyai spektrum luas aktivitas antiviral invitro. Terapi ribavirin untuk infeksi RSV masih kontroversial dikarenakan masih ada penggunaan aerosol, harga yang relatif mahal, toxisitas dan efek samping. (4)Saat ini rekomendasi dari AAP terapi dengan ribavirin aerosol sedang dipertimbangkan untuk bayi-bayi dengan resiko tinggi penderita penyakit karena RSV :

a. Diantara mereka dengan komplikasi penyakit jantung kongenital termasuk didalamnya hipertensi portal dan juga mereka yang menderita displasie bronkopulmonar, kistik fibrosis dan penyakit paru kronik lainnya.

b. Mereka yang menderita penyakit yang didasari oleh penyakit imun.

c. Pasien yang dirawat di rumah sakit dengan umur kurang dari 6 minggu dengan penyakit penyerta seperti anomali kongenital multipel atau penyakit neurologi metabolik.

Kesimpulannya ribavirin merupakan terapi yang aman tapi mahal, efisiensi dan keefektifannya tidak tampak jelas menunjukan dalam penelitian. Penggunaan ribavirin secara rutin pada saat ini kurang direkomendasikan. (4)Pencegahan

Pencegahan penting pada staf rumah sakit seperti perhatian khusus terhadap kebersihan sekret pasien dan kebersihan badan petugas rumah sakit tampaknya dapat mengurangi penyebaran RSV di rumah sakit. Saat ini menggunaan RSV imunoglobulin intra vena pada dosis tinggi (500-750 mg/Kg BB) tampaknya dapat mencegah RSV pada pasien resiko tinggi, sebagai tambahan RSV imunoglobulin intra venus dalam bentuk aerosol dapat memberikan keuntungan pada pasien dengan bronkiolitis karena RSV. Dalam penelitian baru oleh Rimensberger, dkk., menyimpulkan bahwa dosis tunggal RSV imunodlobulin intra vena (0,1 gr/Kg BB) tidak menunjukan keuntungan untuk bronkiolitis akut karena RSV.Saat ini tampaknya ada kerugian yang ditimbulkan oleh penggunaan human polyclonal RSV- Imunoglobulin antibodi spesifik pada bayi. Hal ini meliputi penggunaan bulanan secara intra vena antara 2-4 jam. (4)

Insidensi tertinggi di rumah sakit pada kasus bronkiolitis karena RSV terjadi pada bayi umur 2-5 bulan untuk itu vaksinasi dapat menstimulasi keefektifan setelah bayi berumur 2 bulan.

Prognosis

Bronkiolitis Akut

Angka fatalitas kasus di bawah 1%, kematian dapat merupakan akibat dari serangan apnea yang lama, asidosis respiratorik berat yang tidak terkompensasi, atau dehidrasi berat akibat kehilangan penguapan air dan takipnea serta ketidak mampuan minum cairan. Bayi yang memiliki keadaan-keadaan, misalnya penyakit jantung kongenital, displasia bronkopulmonal, penyakit imunodefisiensi, atau kistik fibrosis mempunyai angka morbiditas yang lebih besar dan mempunyai sedikit kenaikan angka mortalitas. Angka mortalitasnya tidak sebesar pada bayi yang beresiko tinggi seperti di masa yang silam. Perkiraan mortalitas pada bayi beresiko tinggi yang menderita bronkiolitis. Bronkiolitis Obliterans

Beberapa minggu setelah mulainya gejala-gejala awal, penderita keadaan umumnya menjelek sampai meninggal, tetapi kebanyakan bertahan hidup, beberapa anak menderita kecacatan kronis.(7) BRONKIEKTASISDefinisi

Merupakan suatu penyakit yang ditandai adanya Dilatasi (Etasis) & Distorsi bronkus lokal yang bersifat patologis & berjalan kronik, Persisten/ ireversibel.

Epidemiologi

Di negeri-negeri barat diperkirakan sebanyak 1,3% di antara populasi yang ada

Di Indonesia belum ada laporan mengenai penyakit ini, tapi kenyataannya penyakit ini sering ditemukan di Klinik dan diderita oleh laki-laki dan perempuan

Etiologi

Masih belum diketahui dengan jelas

Pada kenyataanya dapat timbul secara :

Kongenital

Dan didapat

Kongenital

Dalam hal ini terjadi sejak individu ada dalam kandungan

Faktor genetik/ pertumbuhan memegang peranan penting

Ada ciri-cirinya, yaitu :

Mengenai seluruh cabang bronkus 1/ ke-2 paru

Sering disertai penyakit kongenital lain (Mucovicidosis, sindrom kartegener, dsb)

Didapat

Bronkiektasis sering merupakan kelainan didapat & merupakan proses berikut :

1. Infeksi, sering terjadi sesudah seseorang anak menderita pneumonia yang sering kambuh & berlangsung lama

2. Obstruksi Bronkus, obstruksi di sini yang dimaksudkan dapat disebabkan oleh berbagai hal : korpus alineum, karsinoma bronkus/ tekanan dari luar lainnya terhadap bronkus,dll PATOGENESIS BRONKHIEKTASIS

PATOGENESA BRONKHIEKTASIS

Variasi bentuk pelebaran Bronkhus

A. TubulerB. Sakuler

C. VaricoseGejala Klinis^ Batuk produktif / dengan dahak 3 lapis, jumlah dahak banyak dan bersifat menahun ^ Hemoptisis ( arteri pada bronkhus / bronkhiolus robek )^ Demam berulang ( akibat infeksi )

^ Sesak napas ( akibat obstruksi oleh dahak . Inflamasi )^ Fetor Ex Ore / napas berbau ( akibat kuman anaerob ), sudah terjadi infeksi sekunder (sputumnya purulen), tidak ada (sputumnya mukoid)

Dahak 3 lapis ( khas pada Bronkhiektasis ) :

A. Lapisan teratas agak keruh, terdiri atas mukus B. Lapisan tengah jenih, terdiri atas Saliva/ ludah C. Lapisan terbawah keruh, terdiri atas nanah dan jaringan nekrosis dari bronkus yang rusak (cellular debris)

Tanda Fisik Kurang gizi dan anemis, Dyspneu, sianosis dan jari tabuh Ronkhi basah di lobus inferior paru Tanda tanda Pneumonia Tanda tanda Pneumonia

Demam menggigil ( > 40oC ) Batuk dengan dahak mukoid / purulen

kadang mengandung darah Sesak napas Nyeri dada pada sisi yang sakit Tanda tanda Pneumonia

Makin luas proses Pneumonia ( Pemeriksaan Fisik makin jelas Inspeksi ( gerakan paru yang sakit tertinggal Palpasi ( gerakan paru yang sakit tertinggal , fremitus raba meningkat Perkusi ( sisi paru yang sakit redup Auskultasi ( Suara napas bronkovesikuler s/d Bronkhial, kadang di sertai suara Ronkhi basah Tingkatan Beratnya Penyakit

Brewis membagi tingkatan beratnya menjadi :

1. Bronkiektasis Ringan, Ciri klinis :

Batuk-batuk dan sputum warna hijau

Produksi sputum terjadi pada saat perubahan posisi tubuh

Hemoptisis ringan

Pasien tampak sehat , fungsi paru normal

Foto dada normal

2. Bronkiektasis Sedang, Ciri klinis :

Batuk-batuk produktif terjadi setiap saat

Sputum timbul setiap saat (umumnya warna hijau dan jarang mukoid, bau busuk)

Sering ada hemoptisis

Pasien masih nampak sehat dan fungsi paru normal

Px. Fisis paru ditemukan ronki basah kasar

Foto dada masih normal

3. Bronkiektasis Berat, ciri klinis :

Batuk-batuk produktif dengan sputum banyak berwarna kotor dan berbau

Ada pneumonia dengan hemoptisis dan nyeri pleura

Jari tabuh

Dyspnea, Sianosis

Keadaan umun kurang baik

Ronki basah kasar

Foto dada ditemukan : penambahan bronchovascular marking, multiple cysts contai-ning fluid levels (sarang lebah)

Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium (

Anemi ( HB turun ) Sputum ( BTA / Gram ) Infeksi / Pneumonia ( Lekositosis )Pemeriksaan Penunjang

Foto thoraks PA dan lateral : Honey Comb Appearance / sarang tawon (kista-kista kecil dengan fluid level) Bronkhografi: nampak kelainan bronkhus yang ektasis ( tidak rata / menyempit di beberapa tempat ) Bronkhoskopi: mengetahui bila ada benda asing / tumor dalam bronkhus Faal Paru: kelainan restriksi dan obstruksi

Honey comb appearance Para cardial dekstra dan sinistra

Honey comb appearance Para cardial dekstra dan parahiler sinistra

Gambaran Ektasis / saluran yang menyempit di beberapa tempat pada percabangan bronkhus Gambaran Honey Comb / Sarang Tawon tersebar luas di kedua lapangan paru Diagnose Banding Bronkhitis kronis ( dg bronkhografi ( bronkhus halus / baik ) TB Paru ( Foto dada: fibroinfiltrat ) Abses Paru ( Foto dada: abses ) Tumor Paru ( Foto dada : tumor )Komplikasi Bronkitis kronik

Pneumonia (infeksi sekunder)

Pleuritis

Hemoptisis

Abses metastasis di otak

Kegagalan pernafasan

Amiloidosis

Dll

PenatalaksanaanTerdiri atas 2 kelompok:

a. Pengobatan Konservatif :

Pengelolaan umum

Menciptakan lingkungan yang baik dan tepat bagi pasien (hangat,udara ruangan kering,dsb).

Memperbaiki drainase sekret bronkus:

- melakukan drainase postural

- mencairkan sputum yang kental

- mengatur tempat tidur pasien

-mengontrol ISPA

Pengeololaan khusus

- Kemoterapi pada bronkiektasis

- Drainase sekret bronkoskop

- Pengobatan simtomatik

(Pengobatan obstruksi bronkus (hasil uji faal paru % VEP,