Makalah keperawatan

33
Lupus Eritematosus Sistemik Nama: Septia Kurniaty/ 102010027 Kelompok: F1 Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Email: [email protected] Pendahuluan Faktor imun dalam tubuh memiliki peran sangat penting. Terdapat beberapa penyakit yang disebabkan gangguan atau kelainan pada sistem imun antara lain lupus eritematosus. Penyakit lupus eritematosus merupakan penyakit sistemik autoimun yang bersifat kronis yang melibatkan multiorgan,seperti pada kulit, sistem saraf, ginjal, gastrointestinal, mata, juga rongga mulut. Etiologi lupus eritematosus belum bisa dipastikan tetapi terdapat beberapa teori yang dapat menjelaskannya, dan semua teori tersebut memiliki patogenesis yang sama. Etiologi lupus eritmatosus, sama seperti penyakit autoimun lainnya sampai saat ini belum pasti, tetapi prognosis dapat baik bila diberikan terapi yang adekuat contohnya pada beberapa kasus lupus yang ringan, seperti pada penyakit yang bermanifestasi pada kulit. Patogenesis SLE sampai sekarang belum dipahami secara tuntas, meski jelas hal ini berhubungan dengan hilangnya toleransi diri (self tolerance), yang mengakibatkan terbentuknya autoantibody dan selanjutnya menyebabkan kerusakan jaringan. Lebih jauh lagi diketahui 1

description

makalah tentang muskuloskletal dan penjelasannya.

Transcript of Makalah keperawatan

Lupus Eritematosus Sistemik

Nama: Septia Kurniaty/ 102010027

Kelompok: F1

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Email: [email protected]

Pendahuluan

Faktor imun dalam tubuh memiliki peran sangat penting. Terdapat beberapa penyakit

yang disebabkan gangguan atau kelainan pada sistem imun antara lain lupus eritematosus.

Penyakit lupus eritematosus merupakan penyakit sistemik autoimun yang bersifat kronis yang

melibatkan multiorgan,seperti pada kulit, sistem saraf, ginjal, gastrointestinal, mata, juga

rongga mulut. Etiologi lupus eritematosus belum bisa dipastikan tetapi terdapat beberapa teori

yang dapat menjelaskannya, dan semua teori tersebut memiliki patogenesis yang sama.

Etiologi lupus eritmatosus, sama seperti penyakit autoimun lainnya sampai saat ini

belum pasti, tetapi prognosis dapat baik bila diberikan terapi yang adekuat contohnya pada

beberapa kasus lupus yang ringan, seperti pada penyakit yang bermanifestasi pada kulit.

Patogenesis SLE sampai sekarang belum dipahami secara tuntas, meski jelas hal ini

berhubungan dengan hilangnya toleransi diri (self tolerance), yang mengakibatkan

terbentuknya autoantibody dan selanjutnya menyebabkan kerusakan jaringan. Lebih jauh lagi

diketahui bahwa kerusakan jaringan itu tidak hanya diperantai oleh immune complex, tetapi

juga oleh sel T, sitokin, kemokin serta molekul radikal oxygen teraktivasi dan produk-produk

dari aktivasi komplemen. Penatalaksanaan SLE tetap merupakan masalah karena sampai saat

ini belum ada penanganan yang menghasilkan penyembuhan secara total, dapat terjadi

eksaserbasi setelah masa stabil beberapa bulan dan juga efek samping pengobatan.1

Pembahasan

1

Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah suatu penyakit autoimun yang kronik dan

menyerang berbagai sistem dalam tubuh. Tanda dan gejala dari penyakit ini bermacam-

macam, bersifat sementara, dan sulit untuk didiagnosis. Karena itu, angka pasti tentang

jumlah orang yang terserang oleh penyakit ini sulit diperoleh. SLE menyerang perempuan

kira-kira delapan kali lebih sering daripada laki-laki. Penyakit ini seringkali dimulai pada

akhir masa remaja atau awal masa dewasa.

Semula SLE digambarkan sebagai suatu gangguan kulit, pada sekitar 1800-an, dan

diberi nama lupus karena sifat ruamnya yang berbentuk “kupu-kupu”, melintasi tonjolan

hidung dan meluas pada kedua pipi yang menyerupai gigitan serigala (lupus adalah kata

dalam bahasa Latin yang berarti serigala). Lupus discoid adalah nama yang sekarang

diberikan pada penyakit ini apabila kelainannya hanya terbatas pada gangguan kulit.

1. Anamnesis

Anamnesis adalah komunikasi antara dokter dengan pasien apabila keadaan tidak

memungkinkan untuk memperoleh data atau informasi yang benar dan tepat dari pasien

itu sendiri dapat mencari informasi dari keluarga pasien/ orang terdekat dari pasien

tersebut. Menanyakan keluhan utama dan keluhan penyerta. Dalam kasus ini, anamnesis

didapatkan langsung dari pasien. Gejala apa yang pernah dialami pasien misalnya ruam

malar, fotosensitifi, ruam diskoid (bintik-bintik eritematosa menimbul), artralgia/ artritis,

demam, kelelahan, nyeri dada pleuritik, perikarditis, bengkak pada pergelangan kaki,

kejang, ulkus di mulut. Selain itu juga ditanyakan organ apa yang terkena, kemudian

pernah ada peristiwa tromboembolik atau aborsi spontan (pertimbangan sindrom anti-

fosfolipid yang terkait), lalu tanyakan juga penyakit ginjal dan neurologis karena

memiliki kepentingan khusus.

- Riwayat penyakit dahulu

Adakah riwayat penyakit ginjal atau manifestasi SLE yang serius?

Pertimbangan riwayat kejadian tromboembolik.

Adakah riwayat kondisi autoimun lain(misalnya hipotiroidisme)?

- Obat-obatan

Apakah pasien mendapat terapi dengan imunosupresan (misalnya kortikosteroid,

azatioprin)?

Apakah pasien mengkonsumsi antikoagulan (warfarin, aspirin)?

Hati-hati terhadap lupus akibat obat.

- Riwayat keluarga

2

Adakah riwayat lupus atau penyakit autoimun lain dalam keluarga?2

Hasil laporan berdasarkan anamnesis didapatkan :

Seorang laki-laki berusia 22 tahun memiliki keluhan merasa lemah sejak 3 bulan

yang lalu. Kemudian sejka 2 bulan yang lalu sering mengalami nyeri pada jari-jari kedua

tangan serta kaku pada pagi hari. Rambut rontok, wajah seringkali memerah apalagi saat

sebentar saja terpapar sinar matahari, serta badan terasa hangat yang hilang timbul.

Gambar 1. butterfly rash3

2. Pemeriksaan

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik harus lengkap, tetapi dengan pertimbangan khusus pada adanya

ruam, demam, anemia, alopesia, limfadenopati, ulkus mulut, bengkak sendi: efusi dan

nyeri tekan, takipnea: pertimbangan hipertensi pulmonal, emboli paru, gagal ginjal

disertai kelebihan cairan, efusi pleura, dan fibrosis paru, TD: periksa adanya hipertensi,

gesekan perikard/pleural, edema pergelangan kaki, neuropati, defisit neurologis termasuk

defisit fokal dan gangguan kognitif, gangguan psikiatrik khususnya psokosis, dan urin

proteinuria dipstik, hematuria, dan silinder.2

Pada pemeriksaan fisik dimana pada saat melakukan inspeksi dan palpasi didapatkan

konjungtiva anemis (+), sklera ikterik -/-. Pada leher KGB tidak tampak membesar, cor,

pulmo, abdomen dalam batas normal. Status lokasi, manus dextra: phalanx proksimal

digiti II-IV, nyeri gerak (+), nyeri tekan (+), oedem (-), kalor (-). Manus sinitra: phalanx

proksimal digiti II-IV, nyeri gerak (+), nyeri tekan (+), oedem (-), kalor(-).

Pemeriksaan Penunjang

3

Diagnosis laboratorium terutama berdasarkan adanya autoantibodi dalam darah

penderita yang diduga adanya penyakit SLE.4

Gambaran imunologik utama pada SLE adalah :

- ANA (anti-nuklear antibody) positif titer (zat/unsure) tinggi

- Anti ds-DNA dan anti-SM positif

- Kadar komplemen darah rendah

- Adanya endapan Ig dan komplemen pada membran basalis glomerulus serta

ditemukan banyak autoantibodi

Pemeriksaan ANA

ANA sangat sensitive untuk LES karena dijumpai pada 90-100% penderita

sehingga merupakan pemeriksaan pertama pada penderita yang diduga SLE. Pada

penderita dengan gejala SLE hasil ANA positif dengan pola homogen atau perifer dan

titer ≥ 1/160.3

ANA ditujukan kepada beberapa antigen nukleus dan dapat dikelompokkan dalam

4 kategori yaitu:

- Antibodi terhadap DNA

- Antibodi terhadap histon

- Antibodi terhadap protein non histon

- Antibodi terhadap antigen nukleolus

Terdapat beberapa teknik yang digunakan untuk mendeteksi ANA. Di klinik,

metode yang paling sering digunakan adalah ilmu nofluoresensi tidak langsung, yang

mendeteksi beragam antigen nukleus, termasuk DNA, RNA, dan protein (yang secara

kolektif disebut ANA generik). Pola fluoresensi nukleus mengisyaratkan jenis antibodi

yang ada dalam serum pasien. Terdapat 4 pola dasar:

- Pewarnaan nukleus yang homogen atau difus, biasanya mencerminkan antibodi

terhadap kromatin, histon, dan kadang-kadang DNA untai ganda (dsDNA)

- Perwarnaan berpola cincin atau tepi, terutama menunjukkan antibodi terhadap DNA

untai ganda.

- Pola bebercak (speckled pattern) merujuk pada adanya bercak-bercak yang berukuran seragam atau bervariasi. Ini adalah salah satu pola yang paling sering ditemukan pada fluoresensi sehingga paling kurang spesifik. Pola ini mencerminkan adanya antibodi

4

terhadap konstituen nukleus non DNA. Contohnya adalah antigen Sm, ribonukleoprotein, serta antigen reaktif SS-A dan SS-B.

- Pola nukleolus merujuk pada adanya beberapa titik diskret fluoresensi didalam nukleus dan mencerminkan antibodi terhadap RNA nukleolus. Pola ini paling sering dilaporkan dengan sklerosis sistemik.

Pemeriksaan ANTI-ds DNA

Anti ds-DNA sangat spesifik untuk SLE dan cukup sensitif karena dijumpai pada

60-70 % pada penderita. Anti ds-DNA positif dengan titer tinggi sangat spesifik untuk

penyakit SLE.

Pemeriksaan anti-SM

Anti Sm sangat spesifik untuk LES karena jarang dijumpai pada penyakit lain dan

pada orang normal. Akan tetapi anti Sm kurang sensitif karena hanya dijumpai pada 20-40

%. Anti Sm positif dengan titer tinggi sangat spesifik untuk LES.4

Kelainan hematologi yaitu anemia hemolitik, leucopenia, trombositopenia atau

limfopenia termasuk dalam kriteria diagnosis laboratorium SLE menurut ARA (American

Rheumatology Association):

- Leucopenia (jumlah sel darah putih dalam darah berkurang, <4000 /mm3 pada dua

kali pemeriksaan)

- Limfopenia (jumlah limfosit dalam darah kurang,<1500/mm3 pada dua kali

pemeriksaan)

- Trombositopenia (jumlah platelet dalam darah rendah, <100.00/mm3 tanpa

disebabkan obat-obatan)

Pada semua penderita SLE dijumpai LED tinggi. LED merupakan indikator yang

sensitif tetapi tidak spesifik untuk menilai aktifitas penyakit. Kelainan ginjal juga

termasuk dalam kriteria diagnosis laboratorium. Adanya kelainan dapat dideteksi dengan

pemeriksaan urinalisis yang menunjukkan adanya proteinuria serta silinder eritrosit atau

leukosit.

3. Diagnosis

Diagnosis Kerja (Working diagnose)

5

Gejala yang paling sering adalah artritis simetris atau atralgia, yang muncul pada

90% dari waktu perjalanan penyakit, seringkali sebagai manifestasi awal. Sendi-sendi

paling sering terserang adalah sendi-sendi proksimal tangan, pergelangan tangan, siku,

bahu, lutut, dan pergelangan kaki. Poliartritis SLE berbeda dari artritis rematoid karena

jarang bersifat erosif atau menimbulkan deformitas. Nodul subkutan juga jarang

ditemukan pada penyakit SLE. Gejala-gejala konstitusional adalah demam, rasa lelah,

lemah, dan berkurangnya berat badan yang biasanya timbul pada awal penyakit dan dapat

berulang dalam perjalanan penyakit ini. Keletihan dan rasa lemah bisa timbul sebagai

gejala sekunder dari anemia ringan yang ditimbulkan SLE.

Manifestasi kulit mencakup ruam eritamatosa yang dapat timbul pada wajah, leher,

ekstremitas, atau pada tubuh. Kira-kira 40% dari pasien SLE memiliki ruam khas

berbentuk kupu-kupu. Sinar matahari dapat memperburuk ruam kulit ini. Dapat timbul

alopesia (rambut rontok), yang kadang-kadang dapat menjadi berat. Rambut biasanya

dapat tumbuh kembali tanpa masalah. Juga dapat terjadi ulserasi pada mukosa mulut dan

nasofaring.

Pleuritis (nyeri dada) dapat timbul akibat proses peradangan kronik dari SLE. SLE

juga dapat menyebabkan karditis yang menyerang miokardium, endokardium, dan

perikardium. SLE juga dapat menyerang sistem saraf pusat maupun perifer. Gejala-gejala

yang ditimbulkannya meliputi perubahan tingkah laku (depresi), kejang-kejang,

gangguan saraf otak, dan neuropati perifer. Perubahan-perubahan pada sistem saraf pusat

sering diakibatkan oleh bentuk penyakit yang ganas dan seringkali fatal.5

Kriteria diagnosis laboratorium SLE menurut the American Rheumatology

Association (ARA) antara lain adanya beberapa autoantibodi yaitu ANA, anti ds-DNA,

anti Sm dan antifosfolipid seperti ACA, LA, atau VDRL positif palsu. ANA sangat

sensitif untuk SLE karena dijumpai pada 90-100% penderita sehingga merupakan

pemeriksaan pertama pada penderita yang diduga SLE.

ANA umumnya terdeteksi lewat imunofluoresensi tak langsung. Pola

imunofluoresensi ( misalnya bersifat homogen, perifer, bercak nukleoler) walaupun tidak

spesifik, dapat menunjukan tipe antibodi yang beredar. ANA dapat pula ditemukan pada

kelainan autoimun (terdapat hingga 10% dari orang-orang normal) tetapi adanya

antibodi-antiDNA benang rangkap dan antibodi antigen anti-Smith merupakan petunjuk

kuat ke arah SLE.

Sebagian lainnya mempengaruhi pemeriksaan assay koagulasi in vitro

(memperpanjang masa pembekuan). Antibodi yang disebut antikoagulan lupus ini

6

sebenarnya menimbulkan efek prokoagulan in vivo sehingga terjadi trombosis vaskuler

rekuren, keguguran dan iskemia seberal (sindrom antibodi antifosfolipid sekunder).7

The American Rheumatism Association telah mengembangkan kriteria untuk

memilah SLE. Adanya empat dari ke-11 kriteria, baik secara serial maupun simultan,

cukup untuk menegakkan diagnosis.7

1. Ruam di daerah malar, ruam berupa eritema terbatas, rata, atau meninggi, letaknya di

daerah malar, biasanya teletak di pipi.

2. Lesi diskoid, lesi ini berupa bercak eritematosa yang meninggi dengan sisik keratin

yang melekat disertai penyumbatan folikel. Pada lesi yang lama mungkin akan

terbentuk sikatriks.

3. Fotosensitivitas, terjadi lesi kulit sebagai akibat reaki abnormal terhadap cahaya

matahari. Hal ini diketahui melalui anamnesis atau melalui pengamatan dokter.

4. Ulkus pada mulut Ulserasi di mulut atau nasofaring, biasanya tidak nyeri, diketahui

melalui pemeriksaan dokter.

5. Artritis

Artritis non-erosif yang mengenai 2 sendi perifer ditandai dengan nyeri, bengkak, atau

efusi.

6. Serositis: Pleuritis : adanya riwayat nyeri pleural atau terdengarnya bunyi gesekan

pleura oleh dokter atau adanya efusi pleura.

Perikarditis : diperoleh dari gambaran EKG atau terdengarnya bunyi

gesekan perikardium atau adanya efusi perikardium

7. Gangguan pada ginjal; proteinuria (+3) atau 0,5 g/hari proteinuria persisten atau

silinder sel khas, mungkin eritrosit, hemoglobulin granular tubular, atau campuran.

8. Gangguan neurologik; kejang-kejang atau psikosis tanpa adanya penyebab lain

(adanya obat-obatan yang dapat menyebabkan atau kelainan metabolik seperti uremia,

ketosidosis, dan gangguan keseimbangan elektrolit).

9. Gangguan hematologik; anemia hemolitik, leucopenia, limfopenia, atau

trombositopenia.

- Anemia hemolitik dengan retikulositosis.

- Leukopenia, kurang dari 4000/mm3 pada 2 kali pemeriksaan atau lebih.

- Limfopenia, kurang dari 1500/mm3 pada 2 kali pemeriksaan atau lebih.

- Trombositopenia, kurang dari 100.000/mm3, tanpa adanya obat yang mungkin

menyebabkannya.

7

10. Gangguan imunologik; sel-sel lupus eritematosus (LE) positif, anti-DNA, anti-Sm,

atau suatu uji serologik positif palsu untuk sifilis.

- Anti-DNA : antibodi terhadap native DNA dengan titer abnormal.

- Uji serologi untuk sifilis yang positif seem selama paling sedikit 6 bulan dan

diperkuat oeh uji imobilisasi Treponema pallidum atau uji fluoresensi

absorpsi antibodi treponema.

11. Kelainan antinuklear, titer abnormal antibodi antinuklear yang diukur dengan cara

imunofluoresensi atau cara lain yang setara pada waktu yang sama dan dengan tidak

adanya obat-obat yang berkaitan dengan sindrom lupus karena obat

Kecurigaan akan penyakit SLE bisa dijumpai 2 atau lebih keterlibatan organ

sebagaimana tercantum dibawah ini, yaitu:

- Jender wanita pada rentang usia reproduksi

- Gejala konstitusional: kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi) dan penurunan berat

badan

- Muskuloskeletal: artritis, artalgia, miositis

- Kulit: ruam kupu-kupu (butterfly atau malar rash), fotosensitivitas, SLE membrana

mukosa, alopseia, fenomena raynaud, purpura, urtikaria, vaskulitis.

- Ginjal: hematuria, proteinuria, cetakan sindroma nefrotik

- Gastrointestinal: mual, muntah, nyeri abdomen

- Paru-paru: pleurisy, hipertensi pulmonal, SLEi parenkhim paru

- Jantung: perikarditis, endokarditis, miokarditis

- Retikulo-endotel: organomegali (limfadenopati, splenomegali, hepatomegali)

- Hematologi: anemia, leukopenia, dan trombositopenia

- Neuropsikiatri: psikosis, kejang, sindroma otak organik, mielitis transversa, neuropati

kranial dan perifer.7

Diagnosis Banding (Differential diagnose)

1. Rhematouid Arthritis, oleh karena sering terjadi artritis dan artralgia8

Atritis reumatoid pengertian penyakit inflamasi sistemik kronik yang terutama

mengenai sendi diartrodial. Termasuk penyakit autoimun dengan etiologi yang tidak

diketahui. Penyakit ini merupakan suatu penyakit autoimun yang ditandai dengan

terdapatnya sinovitis erosif simetrik yang walaupun terutama mengenai jaringan

persendian, seringkali juga melibatkan organ tubuh lainnya. Sebagian besar penderita

8

menunjukkan gejala penyakit kronik yang hilang timbul, yang jika tidak diobati akan

menyebabkan terjadinya kerusakan persendian dan deformitas sendi yang progresif yang

menyebabkan disabilitas bahkan kematian dini. Walaupun faktor genetik, hormon sex,

infeksi dan umur telah diketahui berpengaruh kuat dalam menentukan pola morbiditas

penyakit ini hingga etiologi AR yang sebenarnya tetap belum dapat diketahui dengan

pasti.

Gejala klinis utama AR adalah poliartritis yang mengakibatkan terjadinya

kerusakan pada rawan sendi dan tulang disekitarnya. Kerusakan ini terutama mengenai

sendi perifer pada tangan dan kaki yang umum nya bersifat simetris. Pada kasus AR yang

jelas diagnosis tidak begitu sulit untuk ditegakkan. Akan tetapi pada masa permulaan

penyakit seringkali gejala AR tidak bermanifestasi dengan jelas, sehingga kadang kadang

timbul kesulitan dalam menegakkan diagnosis.

2. Arthritis Gout

Gout yang juga disebut pirai ini merupakan kelainan metabolisme purin bawaan

yang ditandai dengan peningkatan kadar asam urat serum dengan akibat penimbunan

kristal asam urat di sendi yang menimbulkan artritis urika akut. Berbeda dengan RA,

penyakit ini lebih sering ditemukan pada pria dengan ratio 20:1. Biasanya menunjukkan

gejala pada usia dewasa muda dengan puncaknya setelah berusia 40 tahun. Penyakit ini

sering menyerang sendi perifer kaki dan tangan, dan tersering mengenai persendian meta

tarso falangeal ibu jari kaki.4

Pada anamnesis, biasanya ditemukan keluhan sendi kemerahan disertai nyeri akut

seringkali pada ibu jari kaki. Rasa sakit pada sendi dengan permulaan eksplosif dan khas

menyerang sendi-sendi kecil terutama jari-jari kaki. Rasa sakit biasanya selalu berulang-

ulang dengan sendi yang terkena bengkak, panas, kemerahan dan sakit, sering dijumpai

thopi. Pada penderita seringkali terdapat batu ginjal. Pada pemeriksaan laboratorium,

didapatkan kadar asam urat meningkat, ditemukannya Kristal-kristal asam urat dalam

cairan synovial sendi yang terserang. Stadium awal berupa serangan monoartikuler yang

ditandai dengan nyeri sendi hebat karena artritis akut. Biasanya terdapat kemerahan,

pembengkakan, nyeri tekan lokal dan sendi tidak dapat digerakkan.

Artritis akut ini disertai demam dan leukositosis serta gambaran gejala selulitis dan

artritis septik akut. Umumnya serangan berakhir dalam beberapa hari, akan tetapi

serangan yang berat dapat menetap untuk beberapa minggu. Setelah beberapa tahun, 50%

akan berkembang menjadi pirai bertophus. Tophus adalah nodul kecil yang terdiri dari

9

kristal asam urat. Artritis pirai kronik, ditandai dengan adanya pembengkakan dan

kekakuan sendi. Pada stadium lanjut yang kronik ini serangan akut dapat terjadi. Pada

foto rontgen, timbunan kristal asam urat murni memberi gambaran radiolusen sedangkan

timbunan kalsium tampak radioopak. Pada pemeriksaan laboratorium, ditemukan

hiperurisemia dan pada 50% penderita ditemukan kristal urat pada cairan sinovial atau

tophus. Pada penderita penyakit ini, dapat dipakai obat urikosurik yaitu probenesid dan

sulfinpirazon yang bekerja menghambat reabsorpsi asam urat di tubuli ginjal. Kadar asam

urat dalam duktus kolektivus meninggi sehingga kemungkinan timbul batu ginjal menjadi

lebih tinggi. Hal ini dapat diatasi dengan minum banyak. Kemudian bisa diberikan

allupurinol yang menghambat enzim xantin oksidase sehingga mengurangi pembentukan

asam urat. Kadar asam urat ini perlu diturunkan sampai di bawah 7 mg%. Dengan

menurunnya kadar urat, maka tophi lambat laut akan menghilang.9

4. Epidemiologi

SLE adalah propotipe penyakit autoimun multisitem, yang ditandai oleh beragam

autoantibodi, terutama antibodi antinukleus (ANA). Penyakit ini memiliki awitan

mendadak atau perlahan, bersifat kronik, dapat mereda dan kambuh, sering disertai

demam serta terutama ditandai oleh kelainan di kulit, ginjal, sendi, dan membran serosa.

Akan tetapi, hampir semua organ lain di tubuh dapat terkena. SLE merupakan penyakit

yang relatif sering, dengan prevalensi yang dapat mencapai 1 dari 2500 pada populasi

tertentu. Serupa dengan banyak penyakit autoimun lainnya, SLE terutama mengenai

wanita, dengan frekuensi 1 dari 700 wanita berusia subur dan rasio wanita terhadap pria

9:1. Sebagai perbandingan, rasio wanita terhadap pria untuk penyakit yang timbul pada

masa anak atau setelah usia setelah 65 tahun menjadi 2:1. Meskipun biasanya muncul

pada usia 20-an dan 30-an, SLE dapat muncul pada semua usia, bahkan pada masa anak-

anak dini.

Diketahui bahwa wanita memiliki kecenderungan terkena lupus lebih besar

daripada laki-laki yaitu 8 kali lebih banyak daripada laki-laki. Penyakit ini kebanyakan

menyerang umur 20-45 tahun. Menurut laporan statistik lupus lebih banyak 2 sampai 3

kali terjadi pada perempuan Afrika-Amerika daripada wanita kaukasian.6 Beberapa data

yang ada di Indonesia, diperoleh dari pasien yang dirawat dirumah sakit berdasarkan dari

3 peneliti di Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, pada periode yang berbeda pada

kasus yang terjadi di Jakarta diperoleh data sebagai berikut : antara 1969-1970 ditemukan

5 kasus, 1972-1976 ditemukan 1 kasus LES insidensi 15/10000 perawatan, 1988-1990

insidensi rata-rata 37,7/10000 perawatan. Ketiganya menggunakan kriteria yang berbeda-

10

beda, yaitu berturut-turut kriteria Dubois, criteria pendahuluan ARA dan criteria ARA

yang telah diperbaiki.7

5. Etiologi

Etiologi dari penyakit Lupus eritematosus sistemik atau systemic lupus

erythematosus (SLE) adalah penyakit radang multisistem yang sebabnya belum

diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut, kroik, remisi, dan eksaserbasi,

disertai oleh terdapat berbagai macam autoantibodi dalam tubuh.7

Meskipun penyebab SLE masih belum dapat diketahui secara pasti, tetapi adanya

antibodi (terhadap antigen-antigen diri) yang jumlahnya seperti tidak terbatas pada para

pasien sehingga menunjukkan bahwa kelainan mendasar pada SLE adalah kegagalan

mekanisme yang mempertahankan toleransi diri. Terdapat antibodi terhadap beragam

komponen nukleus dan sitoplasma sel yang tidak spesifik terhadap organ atau spesies.

Selain itu, terdapat kelompok ketiga dari antibodi yang ditunjukkan pada antigen

permukaan sel darah. Selain manfaatnya dalam diagnosis dan penanganan dalam pasien

SLE, antibodi-antibodi ini memiliki makna patogenetik yang besar, misalnya pada

glomerulonefritis yang diperantarai kompleks imun yang sangat khas untuk penyakit ini.

SLE merupakan prototipe penyakit autoimun multisistem, dimana SLE ditandai

dengan munculnya sekumpulan reaksi imun abnormal yang ditandai oleh sejumlah

autoantibodi, khususnya antibodi antinukleus (ANA) serta menghasilkan beragam

manifestasi klinis. Faktor genetik memegang peranan penting dalam kerentanan serta

ekspresi penyakit. Sekitar 10%-20% pasien SLE mempunyai kerabat dekat yang juga

menderita SLE. Penelitian-penelitian terakhir menunjukan bahwa banyak gen yang

berperan, terutama gen yang mengkode unsur-unsur sistem imun, misalnya gen yang

mengkode reseptor sel T, imunoglobulin dan sitokin.4 Faktor lingkungan seperti obat

kontrasepsi oral diduga penyebab timbulnya penyakit ini serta paparan sinar matahari

juga mempengaruhi serangan pendahuluan SLE, pada sekitar 1/3 penderita.11

Pola fluoresensi tidak mutlak bersifat spesifik untuk jenis antibodi dan karena

mungkin terdapat banyak autoantibodi, kombinasi pola sering dijumpai. Uji

imunofluoresensi untuk ANA positif pada hampir semua SLE. Oleh karena itu,

pemeriksaan ini sensitif tetapi tidak spesifik karena penyakit autoimun lain seringkali

memberikan hasil positif. Selain itu, sekitar 5% sampai 15% orang normal memiliki

berbagai antibodi ini dalam kadar rendah. Insidennya meningkat seiring dengan

pertambahan usia. Untuk mendeteksi antibodi terhadap antigen nukleus spesifik

diperlukan teknik-teknik khusus.

11

Selain ANA, pasien lupus memiliki sejumlah antibodi lain. sebagian ditujukan pada

unsur-unsur darah, misalnya sel darah merah, trombosit, dan limfosit, sedang yang lain

ditujukan pada protein-protein yang berikatan dengan fosfolipid. Pada tahun-tahun

terakhir, perhatian banyak ditujukan pada sindrom antibodi antifosfolipid. Sindrom ini

terdapat pada 40%-50% pasien lupus. Meskipun awalnya diperkirakan ditujukan pada

fosfolipid anionik, antibodi-antibodi tersebut sebenarnya ditujukan pada epitop-epitop

protein plasma yang terpapar ketika protein berikatan dengan fosfolipid. Berbagai subsrat

protein diperkirakan berperan, termasuk protrombin, aneksin V, β2 glikoprotein 1, protein

S, dan protein C. Antibodi terhadap kompleks fosfolipid β2 glikoprotein juga berikatan

dengan antigen kardiolipin, yang digunakan dalam serologi sifilis sehingga pasien lupus

dapat memiliki hasil positif palsu pada pemeriksaan serologi untuk sifilis. Sebagian dari

antibodi ini mengganggu uji pembekuan secara in vitro, misalnya waktu tromboplastin

parsial. Oleh karena itu, antibodi-antibodi ini terkadang disebut antikoagulan lupus.

Meskipun memiliki antikoagulan dalam darah yang memperlambat pembekuan secara in

vitro, pasien-pasien ini tetap mengalami hambatan yang berkaitan dengan keadaan

hiperkoagulabilitas. Pasien mengalami trombosis vena dan arteri, yang dapat

menyebabkan abortus spontan berulang dan iskemia fokal di otak atau mata. Kumpulan

gejala klinis, jika berkaitan dengan lupus disebut sebagai sindrom antibodi antifosfolipid

sekunder.8

6. Patogenesis

Ada empat faktor yang menjadi perhatian bila membahas patogenesis SLE, yaitu :

faktor genetik, lingkungan, kelainan sistem imun dan hormon.

1. Faktor genetik memegang peranan pada banyak penderita lupus denganresiko yang

meningkat pada saudara kandung dan kembar monozigot.Studi lain mengenai faktor

genetik ini yaitu studi yang berhubungan dengan HLA(Human Leucocyte Antigens)

yang mendukung konsep bahwa gen MHC (Major Histocompatibility Complex)

mengatur produksi autoantibodi spesifik. Penderita lupus (kira-kira 6%) mewarisi

defisiensi komponen komplemen, seperti C2,C4, atau C1q dan imunoglobulin(IgA),

atau kecenderungan jenis fenotip HLA (-DR2 dan -DR3). Faktor imunopatogenik

yang berperan dalam LES bersifat multipel, kompleks dan interaktif. Kekurangan

komplemen dapat merusak pelepasan sirkulasi kompleks imun oleh sistem fagositosit

mononuklear, sehingga membantu terjadinya deposisi jaringan. Defisiensi C1q

12

menyebabkan fagositis gagal membersihkan sel apoptosis, sehingga komponen

nuklear akan menimbulkan respon imun.

2. Faktor lingkungan dapat menjadi pemicu pada penderita lupus, seperti radiasi ultra

violet, obat-obatan, virus. Sinar UV mengarah pada self-immunity dan hilang toleransi

karena menyebabkan apoptosis keratinosit.Selain itu sinar UV menyebabkan

pelepasan mediator imun pada penderita lupus, dan memegang peranan dalam fase

induksi yanng secaralangsung merubah sel DNA, serta mempengaruhi sel

imunoregulator yang bila normal membantu menekan terjadinya kelainan pada

inflamasi kulit. Pengaruh obat memberikan gambaran bervariasi pada penderita lupus,

yaitu meningkatkan apoptosis keratinosit. Faktor lingkungan lain yaitu peranan agen

infeksius terutama virus rubella, sitomegalovirus,dapat mempengaruhi ekspresi sel

permukaan dan apoptosis.

3. Faktor imunologis, selama ini dinyatakan bahwa hiperaktivitas sellimfosit B menjadi

dasar dari pathogenesis lupus eritematosus sistemik.Beberapa autoantibodi ini secara

langsung bersifat patogen termasuk dsDNA (double-stranded DNA), yang berperan

dalam membentuk kompleks imun yang kemudian merusak jaringan.Selama

perjalanan penyakit lupus tubuh membuat beberapa jenis autoantibodi terhadap

berbagai antigen diri. Di antara berbagai jenisautoantibodi yang paling sering dijumpai

pada penderita lupus adalah antibodi antinuklear (autoantibodi terhadap DNA, RNA,

nukleoprotein,kompleks protein-asam nukleat). Umumnya titer antiDNA

mempunyaikorelasi dengan aktivitas penyakit lupus.Beberapa antibodi antinuklear

mempunyai aksi patologis direk,yaitu bersifat sitotoksik dengan mengaktifkan

komplemen, tetapi dapat juga dengan mempermudah destruksi sel sebagai perantara

bagi sel makrofag yang mempunyai reseptor Fc imunoglobulin. Contoh klinis

mekanisme terakhir ini terlihat sebagai sitopenia autoimun. Ada pulaautoantibodi

tertentu yang bersifat membahayakan karena dapat berinteraksi dengan substansi

antikoagulasi, diantaranya antiprotrombin,sehingga dapat terjadi trombosis disertai

perdarahan. Antibodi antinuklear telah dikenal pula sebagai pembentuk kompleks

imun yang sangat berperan sebagai penyebab vaskulitis.Autoantibodi pada lupus tidak

selalu berperan pada pathogenesis ataupun bernilai sebagai petanda imunologik

penyakit lupus. Antibodi antinuklear dapat ditemukan pada bukan penderita lupus,

atau juga dalam darah bayi sehat dari seorang ibu penderita lupus. Selain itu diketahui

pula bahwa penyakit lupus ternyata tak dapat ditularkan secara pasif dengan serum

penderita lupus.Adanya keterlibatan kompleks imun dalam patogenesis

13

LESdidasarkan pada adanya kompleks imun pada serum dan jaringan yangterkena

(glomerulus renal, tautan dermis-epidermis, pleksus koroid) dan aktivasi komplemen

oleh kompleks imun menyebabkan hipokomplemenemia selama fase aktif dan adanya

produk aktivasi komplemen. Beberapa kompleks imun terbentuk di sirkulasi dan

terdeposit di jaringan, beberapa terbentuk insitu (suatu mekanisme yang sering terjadi

pada antigen dengan afinitas tinggi, seperti dsDNA).Komponen C1q dapat terikat

langsung pada dsDNA dan menyebabkan aktivasi komplemen tanpa bantuan

autoantibodi.

4. Meskipun hormon steroid (sex hormone) tidak menyebabkan LES, namunmempunyai

peran penting dalam predisposisi dan derajat keparahan penyakit. Penyakit LES

terutama terjadi pada perempuan antara menarsdan menopause, diikuti anak-anak dan

setelah menopause. Namun, studiolehCooper menyatakan bahwa menars yang

terlambat dan menopausedini juga dapat mendapat LES, yang menandakan bahwa

pajanan estrogen yang lebih lama bukan risiko terbesar untuk mendapat LES.Adanya

defisiensi relatif hormon androgen dan peningkatan hormon estrogen merupakan

karakteristik pada LES. Anak-anak denganLES juga mempunyai kadar hormon FSH

(Follicle-stimulating hormone),LH (Luteinizing hormone) dan prolaktin meningkat.

Pada perempuandengan LES, juga terdapat peningkatan kadar 16 alfa hidroksiestron

danestriol. Frekuensi LES meningkat saat kehamilan trimester ketiga dan postpartum.

Pada hewan percobaan hormon androgen akan menghambat perkembangan penyakit

lupus pada hewan betina, sedangkan kastrasi prapubertas akan mempertinggi angka

kematian penderita jantan.11

Adanya satu atau beberapa faktor pemicu yang tepat pada individu yang

mempunyai predisposisi genetik akan menghasilkan tenaga pendorong abnormal terhadap

sel T CD4+, mengakibatkan hilangnya toleransi sel T terhadap self antigen. Sebagai

akibatnya muncullah sel T autoreaktif yang akan menyebabkan induksi serta ekspansi sel

B, baik yang memproduksi autoantibody maupun yang berupa sel memori. Ujud pemicu

ini masih belum jelas. Sebagian dari yang diduga termasuk di dalamnya ialah hormone

seks, sinar UV, dan berbagai macam infeksi.

Pada SLE, autoantibodi yang terbentuk ditujukan terhadap antigen yang terutama

terletak pada nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi DNA, protein histon dan non-

histon. Kebanyakan diantaranya dalam keadaan alamiah terdapat dalam bentuk agregat

protein dan atau kompleks protein RNA yang disebut partikel ribonukleoprotein (RNA).

14

Cirri khas autoantigen ini ialah bahwa mereka tidak tissue-spesific dan merupakan

komponen integral semua jenis sel.

Antibodi ini secara bersama-sama disebut ANA (anti-nuclear-antibody) dengan

antigennya yang spesifik, ANA membentuk kompleks imun yang beredar dalam

sirkulasi. Telah ditunjukkan bahwa penanganan kompleks imun pada SLE terganggu.

Dapat berupa gangguan klirens kompleks imun besar yang larut, gangguan pemprosesan

komplek imun dalam hati, dan penurunan uptake kompleks imun pada limpa.

Gangguan-gangguan ini memungkinkan terbentuknya deposit kompleks imun di

luar sistem fagosit mononuklear. Kompleks imun ini akan mengendap pada berbagai

macam organ dengan akibat terjadinya fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa

ini menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan substansi penyebab timbulnya

reaksi radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan timbulnya keluhan atau gejala

pada organ atau tempat yang bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus

koroideus, kulit, dan sebagainya. Bagian yang penting dalam patogenesis ini ialah

terganggunya mekanisme regulasi dalam keadaan normal mencegah autoimunitas

patologis pada individu yang resisten.

Lupus eritematosus sistemik (SLE) dimasukan dalam golongan penyakit autoimun.

Penyakit autoimun ini terjadi karena gangguan pada toleransi terhadap diri sendiri (self-

tolerance)−yaitu suatu keadaan nonresponsif yang normal terhadap antigen-diri sendiri.

Karena set T-helper mengendalikan imunitas seluler maupun humoral,toleransi sel T-

helper dianggap sangat penting bagi pencegahan penyakit autoimun.5 Berdasarkan profil

sitokin sel T dibagi menjadi 2 yaitu Th1 dan Th2. Sel Th1 berfungsi mendukung cell-

mediated immunity, sedangkan Th2 menekan sel tersebut dan membantu sel B untuk

memproduksi antibodi. Pada pasien SLE ditemukan adanya IL-10 yaitu sitokin yang

diproduksi oleh sel Th2  yang berfungsi menekan sel Th1 sehingga mengganggu cell-

mediated immunity.

Sel T pada SLE juga mengalami gangguan berupa berkurangnya  produksi IL-2 dan

hilangnya respon terhadap rangsangan pembentukan IL-2 yang dapat membantu

meningkatkan ekspresi sel T. Abnormalitas dan disregulasi sistem imun pada tingkat

seluler dapat berupa gangguan fungsi limfosit T dan B, NKC, dan APCs. Hiperaktivitas

sel B terjadi seiring dengan limfositopenia sel T karena antibodi antilimfosit T.

Peningkatan sel B yang teraktivasi menyebabkan terjadinya hipergamaglobulinemia yang

berhubungan dengan reaktivitas self-antigen. Pada sel B, reseptor sitokin, IL-2,

mengalami peningkatan sedangkan CR1 menurun. Hal ini juga meningkatkan heat shock

15

protein 90  (hsp 90) pada sel B dan CD4+. Kelebihan hsp 90 akan terlokalisasi pada

permukaan sel limfosit dan akan menyebabkan terjadinya respon imun. Sel T mempunyai

2 subset yaitu CD8+ (supresor/sitotoksik) dan CD4+ (inducer/helper). SLE ditandai

dengan peningkatan sel B terutama berhubungan dengan  subset CD4+ dan CD45R+.

CD4+ membantu menginduksi terjadinya  supresi  dengan menyediakan signal bagi

CD8+). Berkurang jumlah total sel T juga menyebabkan berkurangnya subset tersebut

sehingga signal yang sampai ke CD8+ juga berkurang dan menyebabkan kegagalan sel T

dalam menekan sel B yang hiperaktif. Berkurangnya kedua subset sel T ini yang umum

disebut double negative (CD4-,CD8-) mengaktifkan sintesis dan sekresi autoantibodi.

Ciri khas autoantibodi ini adalah bahwa mereka tidak spesifik pada satu jaringan tertentu

dan merupakan komponen integral dari semua jenis sel sehingga menyebabkan inflamasi

dan kerusakan organ secara luas melalui 3 mekanisme yaitu pertama kompleks imun

(misalnya DNA-anti DNA) terjebak dalam membran jaringan dan mengaktifkan

komplemen yang menyebabkan kerusakan jaringan. Kedua, autoantibodi tersebut

mengikat komponen jaringan atau antigen yang terjebak di dalam jaringan, komplemen

akan teraktivasi dan terjadi kerusakan jaringan. Mekanisme yang terakhir adalah

autoantibodi menempel pada membran dan menyebabkan aktivasi komplemen yang

berperan dalan kematian sel atau autoantibodi masuk ke dalam sel dan berikatan dengan

inti sel dan menyebabkan menurunnya fungsi sel tetapi belum diketahui mekanismenya

terhadap kerusakan jaringan.7,9

7. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pasien SLE bersifat banyak segi dan meliputi penyuluhan, terapi

obat yang kompleks, dan tindakan-tindakan pencegahan. Periode timbulnya penyakit ini

tersering adalah pada akhir masa remaja, dan awal dari masa dewasa seorang perempuan.

Karena masa ini adalah tahun-tahun reproduksi yang paling prima, maka diperlukan

penyuluhan serius dalam mengambil keputusan akan memiliki anak atau tidak.

Kehamilan dapat menyebabkan timbulnya SLE, yang dapat berbahaya pada perempuan

yang memiliki kerusakan ginjal. Obat-obatan sitotoksik mungkin diperlukan untuk

mengendalikan penyakit ini, dan obat-obatan ini sangat berpotensi untuk mencelakan

fetus. Metode kontraseptif oral tidak diperbolehkan karena dapat memperberat SLE. IUD

dapat menjadi suatu masalah bagi perempuan yang mendapat pengobatan dengan

kortikosteroid sistemik karena adanya potensi untuk menimbulkan infeksi.

Terapi dengan obat bagi pasien SLE mencakup pemberian obat-obat anti inflamasi

non-steroid (OAINS), kortikosteroid, antimalaria, dan agen penekan imun. Pemilihan

16

obat yang sesuai bergantung pada organ-organ yang terserang oleh penyakit ini. OAINS

dipakai untuk mengatasi artritis dan atralgia. Aspirin saat ini lebih jarang dipakai karena

memiliki insidens hepatotoksik tertinggi, dan sebagian pasien SLE juga mengalami

gangguan pada hepar. Seseorang dengan SLE juga memiliki risiko tinggi terhadap efek

samping OAINS pada kulit, hepar, dan ginjal, sehingga pemberiannya harus dipantau

dengan seksama.

Terapi antimalaria kadang-kadang dapat efektif apabila OAINS tidak dapat

mengendalikan gejala-gejala SLE. Biasanya antimalaria mula-mula diberikan dengan

dosis tinggi untuk memperoleh kedaan remisi. Bersihnya lesi kulit merupaka parameter

untuk memantau pemakaian dosis. Terapi penekan imun (siklofosfamid dan azatioprin)

dapat dilakukan dengan menekan aktivitas autoimun SLE. Obat-obatan ini biasanya

dipakai ketika diagnosis pasti sudah ditegakkan, adanya gejala-gejala berat yang

mengancam jiwa, kegagalan tidakan-tindakan pengobatan lainnya, dan tidak adanya

infeksi. Serangan akut SLE diobati dengan kortikosteroid oral dosis tinggi untuk waktu

yang singkat. Dosis obat-obatan ini biasanya dikurangi setelah beberapa minggu.

Aspek penting dari pencegahan serangan SLE adalah menghindari sinar ultraviolet.

Bagaimana sinar matahari dapat menimbulkan serangan SLE masih belum dapat

dimengerti sepenuhnya. Salah satu penjelasan adalah DNA yang terkena sinar ultraviolet

secara normal akan bersifat antigenik dan hal ini akan menimbulkan serangan setelah

terkena sinar. Pasien SLE harus dianjurkan untuk memakai paying, topi, dan baju lengan

panjang apabila ke luar rumah.7

Medica mentosa

Obat-obat yang sering digunakan pada penderita SLE:

Tabel 1. : Obat-obat yang sering digunakan pada penderita LES12

Antimalaria     Hidroksiklorokin 3-7 mg/kg/hari PO sebagai garam sulfat (maksimal 400 mg/hari)

Kortiko-steroid           PrednisonDosis harian(1 mg/kg/hari); prednison dosis alternate yang lebih tinggi (5 mg/kg/hari, tak lebih 150-250 mg); prednison dosis rendah harian (0.5 mg/kg)/hari yg digunakan bersamamethylprednisolone dosis tinggi intermitten  (30 mg/kg/dosis, maksimum mg) per minggu

Obat imuno-supresif   Siklofosfamid 500-750 mg/m2 IV 3 kali sehari selama 3 minggu.  maksimal 1 g/m2. Harus diberikan IV dengan infus terpasang, dan dimonitor. Monitor lekosit pada 8-14 hari mengikuti setiap dosis (lekosit dimaintenance > 2000-3000/mm3)Azathioprine  1-3 mg/kg/hari PO 4 kali sehari

Non-steroidal anti-inflam-matory drugs (NSAIDs)

17

Naproxen7-20 mg/kg/hari PO dibagi 2-3 dosis maksimal 500-1000 mg/hariTolmetin15-30 mg/kg/hari PO dibagi 2-3 dosis maksimal 1200-1800 mg/hariDiclofenac< 12 tahun : tak dianjurkan> 12 tahun : 2-3 mg/kg/hari PO digagi 2 dosis maksimal 100-200 mg/hari

Suplemen Kalsium dan vitamin D        Kalsium karbonat      < 6 bulan : 360 mg/hari6-12 bulan : 540 mg/hari1-10 bulan : 800 mg/hari11-18 bulan : 1200 mg/hariCalcifediol< 30 kilogram : 20 mcg PO 3 kali/minggu > 30 kilogram : 50 mcg PO 3 kali/minggu

Anti-hipertensiNifedipin        0.25-0.5 mg/kg/dosis PO dosis awal, tak lebih dari 10 mg, diulang tiap 4-8 jam.Enalapril        0.1 mg/kg/hari PO 4 kali sehari atau 2 kali sehari bisa ditingkatkan bila perlu, maksimum 0.5 mg/kg/hariPropranolol    0.5-1 mg/kg/hari PO dibagi 2-3 dosis, dapat ditingkatkan bertahap dalam 3-7 hari dengan dosis biasa 1-5 mg/kg/hari

Non-medica mentosa

1. Penyuluhan dan intervasi psikosional sangat penting diperhatikan dalam

pentalaksanaan penderita SLE terutama penderita yang baru di diagnosis.

2. Kelelahan bisa karena sakitnya atau penyakit lain, seperti anemi, demam infeksi,

gangguan hormonal, komplikasi pengobatan, atau stres emosional. Upaya mengurangi

kelelahan disamping obat ialah cukup istirahat, pembatasan aktivitas yang berlebih,

dan mampu mengubah gaya hidup

3. Hindari Merokok

4. Hindari perubahan cuaca karena mempengaruhi proses inflamasi

5. Hindari stres dan trauma fisik

6. Hindari sinar ultraviolet dan paparan sinar matahari untuk meminimalkan gejala

memburuk akibat photosensitivity

7. Hindari pemakaian kontrasespsi atau obat lain yang mengandung hormon estrogen.

Karena studi terbaru menyarankan bahwa kontrasepsi oral tidak dapat dikaitkan

dengan flare penyakit atau risiko trombosis pada pasien dengan lupus ringan tanpa

antifosfolipid antibodies.

18

8. Penggunaan minyak ikan pada pasien SLE yang mengandung vitamin E 75 IU and

500 IU/kg diet dapat menurunkan produksi sitokin proinflamasi seperti IL-4, IL-6,

TNF-a, IL-10, dan menurunkan kadar antibodi anti-DNA.

9. Terapi antimalaria (hydroxychloroquine) telah ditunjukkan untuk mencegah relaps dan

meningkatkan mortality.

10. Angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor dan / atau angiotensin reseptor

blockers mungkin berguna pada pasien dengan penyakit ginjal.

11. Kalsium, vitamin D, dan bifosfonat profilaksis dapat mengurangi risiko osteoporosis

yang diinduksi glukokortikoid.

8. Komplikasi

Infeksi oportunistik dapat terjadi, paling sering pada pasien yang menerima terapi

imunosupresif kronis. Komplikasi lain yang kurang umum adalah osteonekrosis, terutama

bagian pinggul dan lutut setelah penggunaan dosis tinggi kortikosteroid berkepanjangan.

Lebih umum, penyakit aterosklerosis prematur dan infark miokard adalah komplikasi

indolen peradangan kronis.

Yang paling sering ditakutkan adalah jika pada ginjal dan jantung terjadi kelainan

sistemik. Penyebab mortalitas paling tinggi terjadi pada awal perjalanan penyakit SLE

adalah infeksi yang disebabkan oleh pemakaian imunosupresan. Sedangkan mortalitas

pada penderita SLE dengan komplikasi nefritis paling banyak ditemukan dalam 5 tahun

pertama ketika dimulainya gejala. Penyakit jantung dan kanker yang berkaitan dengan

inflamasi kronik dan terapi sitotoksik juga merupakan penyebab mortalitas.Penyebab

peningkatan penyakit coronary artery disease (CAD) merupakan multifaktor termasuk

disfungsi endotelial, mediator inflamasi, kortikosteroid yang menginduksi arterogenesis,

dan dislipidemia yang berkaitan dengan penyakit ginjal (salah satu manifestasi klinis dari

SLE).7

9. Prognosis

Prognosis untuk SLE bervariasi dan bergantung pada keparahan gejala, organ-organ

yang terlibat, dan lama waktu remisi dapat dipertahankan. SLE tidak dapat disembuhkan,

penatalaksanaan ditujukan untuk mengatasi gejala. Prognosis berkaitan dengan sejauh

mana gejala-gejala ini dapat diatasi.

19

SLE memiliki angka survival untuk masa 10 tahun sebesar 90%.Penyebab kematian

dapat langsung akibat penyakit lupus, yaitu karena gagalginjal, hipertensi maligna,

kerusakan SSP, perikarditis, sitopenia autoimun.Data dari beberapa penelitian tahun

1950-1960, menunjukkan5-year survival ratessebesar 17.5%-69%. Sedangkan tahun

1980-1990,5-year survival ratessebesar 83%-93%. Beberapa peneliti melaporkan bahwa

76%-85% pasien SLE dapat hidup selama 10 tahun, sebesar 88% dari pasien mengalami

sedikitnya cacat dalam beberapa organ tubuhnya secara jangka panjang dan menetap.7,12

Kesimpulan

Dari hasil pembahasan di atas, dapat disimpulkan bila terdapat nyeri dan bengkak pada

sendi pergelangan tangan, jari-jari tangan dan tumit serta ruam merah pada pipi merupakan

gejala dari SLE yang disebabkan oleh karena autoimun (respon imun yang tidak normal).

Yang mana pada keadaan normal, tubuh memiliki tolerance yaitu tidak timbulnya respon

imun pada antigen sendiri.

.

Daftar Pustaka

1. Goldstan BG, Goldstein A. Dermatologi praktis. Jakarta:Hipokrates; 2001. hal. 267-270.

2. Gleade J. At a glance: anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga; 2005. hal.

197. Pf

3. Gambar Butterfly rush. Edisi November 2010. Diunduh dari:

http://www.medicinenet.com/systemic_lupus. 16 Maret 2012.

4. Suryaatmadja M. Pendidikan kesinambungan patologi klinik. Edisi 1. Jakarta: FKUI;

2003. hal. 47-79.

5. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi 6, vol 2.

Jakarta: EGC; 1392-5.

6. Anna MQ, Peter VR, et al.Diagnosis of Systemic Lupus Eritematosus. Edisi Desember

2003. Diunduh dari: Available at: http://www.aafp.org. 16 Maret 2012.

7. Diagnosis: Isbagio H, Kasjmir YI, Setyohadi B, Suarjana N. Lupus eritematosus

sistemik, dalam: ilmu penyakit dalam. Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing; 2009. hal.

2572.

8. R S Siregar. Saripati. Penyakit kulit. Edisi 2. Jakarta: EGC; 2004. hal. 232-234.

9. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku ajar patologi robbins. Edisi 7. Jakarta: EGC;

2007. hal. 464-6.

20

10. Marwali H. Ilmu penyakit kulit. Jakarta:Hipokrates; 2000. hal.191-6.

11. Robbin, Cotran. Dasar patologis penyakit. Edisi 7. Jakarta: EGC; 2009. hal. 235-7.

12. Klein G, Miller ML. Systemic Lupus Erythematosus. In : Behrman RE, Kliegman RM,

Jenson HB. Textbook of Pediatrics.edisi ke-17. Philadelphia:WB Saunders;2004.p. 809-

12.

21