Lupus Eritematosus Sistemik
Nama: Septia Kurniaty/ 102010027
Kelompok: F1
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Email: [email protected]
Pendahuluan
Faktor imun dalam tubuh memiliki peran sangat penting. Terdapat beberapa penyakit
yang disebabkan gangguan atau kelainan pada sistem imun antara lain lupus eritematosus.
Penyakit lupus eritematosus merupakan penyakit sistemik autoimun yang bersifat kronis yang
melibatkan multiorgan,seperti pada kulit, sistem saraf, ginjal, gastrointestinal, mata, juga
rongga mulut. Etiologi lupus eritematosus belum bisa dipastikan tetapi terdapat beberapa teori
yang dapat menjelaskannya, dan semua teori tersebut memiliki patogenesis yang sama.
Etiologi lupus eritmatosus, sama seperti penyakit autoimun lainnya sampai saat ini
belum pasti, tetapi prognosis dapat baik bila diberikan terapi yang adekuat contohnya pada
beberapa kasus lupus yang ringan, seperti pada penyakit yang bermanifestasi pada kulit.
Patogenesis SLE sampai sekarang belum dipahami secara tuntas, meski jelas hal ini
berhubungan dengan hilangnya toleransi diri (self tolerance), yang mengakibatkan
terbentuknya autoantibody dan selanjutnya menyebabkan kerusakan jaringan. Lebih jauh lagi
diketahui bahwa kerusakan jaringan itu tidak hanya diperantai oleh immune complex, tetapi
juga oleh sel T, sitokin, kemokin serta molekul radikal oxygen teraktivasi dan produk-produk
dari aktivasi komplemen. Penatalaksanaan SLE tetap merupakan masalah karena sampai saat
ini belum ada penanganan yang menghasilkan penyembuhan secara total, dapat terjadi
eksaserbasi setelah masa stabil beberapa bulan dan juga efek samping pengobatan.1
Pembahasan
1
Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah suatu penyakit autoimun yang kronik dan
menyerang berbagai sistem dalam tubuh. Tanda dan gejala dari penyakit ini bermacam-
macam, bersifat sementara, dan sulit untuk didiagnosis. Karena itu, angka pasti tentang
jumlah orang yang terserang oleh penyakit ini sulit diperoleh. SLE menyerang perempuan
kira-kira delapan kali lebih sering daripada laki-laki. Penyakit ini seringkali dimulai pada
akhir masa remaja atau awal masa dewasa.
Semula SLE digambarkan sebagai suatu gangguan kulit, pada sekitar 1800-an, dan
diberi nama lupus karena sifat ruamnya yang berbentuk “kupu-kupu”, melintasi tonjolan
hidung dan meluas pada kedua pipi yang menyerupai gigitan serigala (lupus adalah kata
dalam bahasa Latin yang berarti serigala). Lupus discoid adalah nama yang sekarang
diberikan pada penyakit ini apabila kelainannya hanya terbatas pada gangguan kulit.
1. Anamnesis
Anamnesis adalah komunikasi antara dokter dengan pasien apabila keadaan tidak
memungkinkan untuk memperoleh data atau informasi yang benar dan tepat dari pasien
itu sendiri dapat mencari informasi dari keluarga pasien/ orang terdekat dari pasien
tersebut. Menanyakan keluhan utama dan keluhan penyerta. Dalam kasus ini, anamnesis
didapatkan langsung dari pasien. Gejala apa yang pernah dialami pasien misalnya ruam
malar, fotosensitifi, ruam diskoid (bintik-bintik eritematosa menimbul), artralgia/ artritis,
demam, kelelahan, nyeri dada pleuritik, perikarditis, bengkak pada pergelangan kaki,
kejang, ulkus di mulut. Selain itu juga ditanyakan organ apa yang terkena, kemudian
pernah ada peristiwa tromboembolik atau aborsi spontan (pertimbangan sindrom anti-
fosfolipid yang terkait), lalu tanyakan juga penyakit ginjal dan neurologis karena
memiliki kepentingan khusus.
- Riwayat penyakit dahulu
Adakah riwayat penyakit ginjal atau manifestasi SLE yang serius?
Pertimbangan riwayat kejadian tromboembolik.
Adakah riwayat kondisi autoimun lain(misalnya hipotiroidisme)?
- Obat-obatan
Apakah pasien mendapat terapi dengan imunosupresan (misalnya kortikosteroid,
azatioprin)?
Apakah pasien mengkonsumsi antikoagulan (warfarin, aspirin)?
Hati-hati terhadap lupus akibat obat.
- Riwayat keluarga
2
Adakah riwayat lupus atau penyakit autoimun lain dalam keluarga?2
Hasil laporan berdasarkan anamnesis didapatkan :
Seorang laki-laki berusia 22 tahun memiliki keluhan merasa lemah sejak 3 bulan
yang lalu. Kemudian sejka 2 bulan yang lalu sering mengalami nyeri pada jari-jari kedua
tangan serta kaku pada pagi hari. Rambut rontok, wajah seringkali memerah apalagi saat
sebentar saja terpapar sinar matahari, serta badan terasa hangat yang hilang timbul.
Gambar 1. butterfly rash3
2. Pemeriksaan
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik harus lengkap, tetapi dengan pertimbangan khusus pada adanya
ruam, demam, anemia, alopesia, limfadenopati, ulkus mulut, bengkak sendi: efusi dan
nyeri tekan, takipnea: pertimbangan hipertensi pulmonal, emboli paru, gagal ginjal
disertai kelebihan cairan, efusi pleura, dan fibrosis paru, TD: periksa adanya hipertensi,
gesekan perikard/pleural, edema pergelangan kaki, neuropati, defisit neurologis termasuk
defisit fokal dan gangguan kognitif, gangguan psikiatrik khususnya psokosis, dan urin
proteinuria dipstik, hematuria, dan silinder.2
Pada pemeriksaan fisik dimana pada saat melakukan inspeksi dan palpasi didapatkan
konjungtiva anemis (+), sklera ikterik -/-. Pada leher KGB tidak tampak membesar, cor,
pulmo, abdomen dalam batas normal. Status lokasi, manus dextra: phalanx proksimal
digiti II-IV, nyeri gerak (+), nyeri tekan (+), oedem (-), kalor (-). Manus sinitra: phalanx
proksimal digiti II-IV, nyeri gerak (+), nyeri tekan (+), oedem (-), kalor(-).
Pemeriksaan Penunjang
3
Diagnosis laboratorium terutama berdasarkan adanya autoantibodi dalam darah
penderita yang diduga adanya penyakit SLE.4
Gambaran imunologik utama pada SLE adalah :
- ANA (anti-nuklear antibody) positif titer (zat/unsure) tinggi
- Anti ds-DNA dan anti-SM positif
- Kadar komplemen darah rendah
- Adanya endapan Ig dan komplemen pada membran basalis glomerulus serta
ditemukan banyak autoantibodi
Pemeriksaan ANA
ANA sangat sensitive untuk LES karena dijumpai pada 90-100% penderita
sehingga merupakan pemeriksaan pertama pada penderita yang diduga SLE. Pada
penderita dengan gejala SLE hasil ANA positif dengan pola homogen atau perifer dan
titer ≥ 1/160.3
ANA ditujukan kepada beberapa antigen nukleus dan dapat dikelompokkan dalam
4 kategori yaitu:
- Antibodi terhadap DNA
- Antibodi terhadap histon
- Antibodi terhadap protein non histon
- Antibodi terhadap antigen nukleolus
Terdapat beberapa teknik yang digunakan untuk mendeteksi ANA. Di klinik,
metode yang paling sering digunakan adalah ilmu nofluoresensi tidak langsung, yang
mendeteksi beragam antigen nukleus, termasuk DNA, RNA, dan protein (yang secara
kolektif disebut ANA generik). Pola fluoresensi nukleus mengisyaratkan jenis antibodi
yang ada dalam serum pasien. Terdapat 4 pola dasar:
- Pewarnaan nukleus yang homogen atau difus, biasanya mencerminkan antibodi
terhadap kromatin, histon, dan kadang-kadang DNA untai ganda (dsDNA)
- Perwarnaan berpola cincin atau tepi, terutama menunjukkan antibodi terhadap DNA
untai ganda.
- Pola bebercak (speckled pattern) merujuk pada adanya bercak-bercak yang berukuran seragam atau bervariasi. Ini adalah salah satu pola yang paling sering ditemukan pada fluoresensi sehingga paling kurang spesifik. Pola ini mencerminkan adanya antibodi
4
terhadap konstituen nukleus non DNA. Contohnya adalah antigen Sm, ribonukleoprotein, serta antigen reaktif SS-A dan SS-B.
- Pola nukleolus merujuk pada adanya beberapa titik diskret fluoresensi didalam nukleus dan mencerminkan antibodi terhadap RNA nukleolus. Pola ini paling sering dilaporkan dengan sklerosis sistemik.
Pemeriksaan ANTI-ds DNA
Anti ds-DNA sangat spesifik untuk SLE dan cukup sensitif karena dijumpai pada
60-70 % pada penderita. Anti ds-DNA positif dengan titer tinggi sangat spesifik untuk
penyakit SLE.
Pemeriksaan anti-SM
Anti Sm sangat spesifik untuk LES karena jarang dijumpai pada penyakit lain dan
pada orang normal. Akan tetapi anti Sm kurang sensitif karena hanya dijumpai pada 20-40
%. Anti Sm positif dengan titer tinggi sangat spesifik untuk LES.4
Kelainan hematologi yaitu anemia hemolitik, leucopenia, trombositopenia atau
limfopenia termasuk dalam kriteria diagnosis laboratorium SLE menurut ARA (American
Rheumatology Association):
- Leucopenia (jumlah sel darah putih dalam darah berkurang, <4000 /mm3 pada dua
kali pemeriksaan)
- Limfopenia (jumlah limfosit dalam darah kurang,<1500/mm3 pada dua kali
pemeriksaan)
- Trombositopenia (jumlah platelet dalam darah rendah, <100.00/mm3 tanpa
disebabkan obat-obatan)
Pada semua penderita SLE dijumpai LED tinggi. LED merupakan indikator yang
sensitif tetapi tidak spesifik untuk menilai aktifitas penyakit. Kelainan ginjal juga
termasuk dalam kriteria diagnosis laboratorium. Adanya kelainan dapat dideteksi dengan
pemeriksaan urinalisis yang menunjukkan adanya proteinuria serta silinder eritrosit atau
leukosit.
3. Diagnosis
Diagnosis Kerja (Working diagnose)
5
Gejala yang paling sering adalah artritis simetris atau atralgia, yang muncul pada
90% dari waktu perjalanan penyakit, seringkali sebagai manifestasi awal. Sendi-sendi
paling sering terserang adalah sendi-sendi proksimal tangan, pergelangan tangan, siku,
bahu, lutut, dan pergelangan kaki. Poliartritis SLE berbeda dari artritis rematoid karena
jarang bersifat erosif atau menimbulkan deformitas. Nodul subkutan juga jarang
ditemukan pada penyakit SLE. Gejala-gejala konstitusional adalah demam, rasa lelah,
lemah, dan berkurangnya berat badan yang biasanya timbul pada awal penyakit dan dapat
berulang dalam perjalanan penyakit ini. Keletihan dan rasa lemah bisa timbul sebagai
gejala sekunder dari anemia ringan yang ditimbulkan SLE.
Manifestasi kulit mencakup ruam eritamatosa yang dapat timbul pada wajah, leher,
ekstremitas, atau pada tubuh. Kira-kira 40% dari pasien SLE memiliki ruam khas
berbentuk kupu-kupu. Sinar matahari dapat memperburuk ruam kulit ini. Dapat timbul
alopesia (rambut rontok), yang kadang-kadang dapat menjadi berat. Rambut biasanya
dapat tumbuh kembali tanpa masalah. Juga dapat terjadi ulserasi pada mukosa mulut dan
nasofaring.
Pleuritis (nyeri dada) dapat timbul akibat proses peradangan kronik dari SLE. SLE
juga dapat menyebabkan karditis yang menyerang miokardium, endokardium, dan
perikardium. SLE juga dapat menyerang sistem saraf pusat maupun perifer. Gejala-gejala
yang ditimbulkannya meliputi perubahan tingkah laku (depresi), kejang-kejang,
gangguan saraf otak, dan neuropati perifer. Perubahan-perubahan pada sistem saraf pusat
sering diakibatkan oleh bentuk penyakit yang ganas dan seringkali fatal.5
Kriteria diagnosis laboratorium SLE menurut the American Rheumatology
Association (ARA) antara lain adanya beberapa autoantibodi yaitu ANA, anti ds-DNA,
anti Sm dan antifosfolipid seperti ACA, LA, atau VDRL positif palsu. ANA sangat
sensitif untuk SLE karena dijumpai pada 90-100% penderita sehingga merupakan
pemeriksaan pertama pada penderita yang diduga SLE.
ANA umumnya terdeteksi lewat imunofluoresensi tak langsung. Pola
imunofluoresensi ( misalnya bersifat homogen, perifer, bercak nukleoler) walaupun tidak
spesifik, dapat menunjukan tipe antibodi yang beredar. ANA dapat pula ditemukan pada
kelainan autoimun (terdapat hingga 10% dari orang-orang normal) tetapi adanya
antibodi-antiDNA benang rangkap dan antibodi antigen anti-Smith merupakan petunjuk
kuat ke arah SLE.
Sebagian lainnya mempengaruhi pemeriksaan assay koagulasi in vitro
(memperpanjang masa pembekuan). Antibodi yang disebut antikoagulan lupus ini
6
sebenarnya menimbulkan efek prokoagulan in vivo sehingga terjadi trombosis vaskuler
rekuren, keguguran dan iskemia seberal (sindrom antibodi antifosfolipid sekunder).7
The American Rheumatism Association telah mengembangkan kriteria untuk
memilah SLE. Adanya empat dari ke-11 kriteria, baik secara serial maupun simultan,
cukup untuk menegakkan diagnosis.7
1. Ruam di daerah malar, ruam berupa eritema terbatas, rata, atau meninggi, letaknya di
daerah malar, biasanya teletak di pipi.
2. Lesi diskoid, lesi ini berupa bercak eritematosa yang meninggi dengan sisik keratin
yang melekat disertai penyumbatan folikel. Pada lesi yang lama mungkin akan
terbentuk sikatriks.
3. Fotosensitivitas, terjadi lesi kulit sebagai akibat reaki abnormal terhadap cahaya
matahari. Hal ini diketahui melalui anamnesis atau melalui pengamatan dokter.
4. Ulkus pada mulut Ulserasi di mulut atau nasofaring, biasanya tidak nyeri, diketahui
melalui pemeriksaan dokter.
5. Artritis
Artritis non-erosif yang mengenai 2 sendi perifer ditandai dengan nyeri, bengkak, atau
efusi.
6. Serositis: Pleuritis : adanya riwayat nyeri pleural atau terdengarnya bunyi gesekan
pleura oleh dokter atau adanya efusi pleura.
Perikarditis : diperoleh dari gambaran EKG atau terdengarnya bunyi
gesekan perikardium atau adanya efusi perikardium
7. Gangguan pada ginjal; proteinuria (+3) atau 0,5 g/hari proteinuria persisten atau
silinder sel khas, mungkin eritrosit, hemoglobulin granular tubular, atau campuran.
8. Gangguan neurologik; kejang-kejang atau psikosis tanpa adanya penyebab lain
(adanya obat-obatan yang dapat menyebabkan atau kelainan metabolik seperti uremia,
ketosidosis, dan gangguan keseimbangan elektrolit).
9. Gangguan hematologik; anemia hemolitik, leucopenia, limfopenia, atau
trombositopenia.
- Anemia hemolitik dengan retikulositosis.
- Leukopenia, kurang dari 4000/mm3 pada 2 kali pemeriksaan atau lebih.
- Limfopenia, kurang dari 1500/mm3 pada 2 kali pemeriksaan atau lebih.
- Trombositopenia, kurang dari 100.000/mm3, tanpa adanya obat yang mungkin
menyebabkannya.
7
10. Gangguan imunologik; sel-sel lupus eritematosus (LE) positif, anti-DNA, anti-Sm,
atau suatu uji serologik positif palsu untuk sifilis.
- Anti-DNA : antibodi terhadap native DNA dengan titer abnormal.
- Uji serologi untuk sifilis yang positif seem selama paling sedikit 6 bulan dan
diperkuat oeh uji imobilisasi Treponema pallidum atau uji fluoresensi
absorpsi antibodi treponema.
11. Kelainan antinuklear, titer abnormal antibodi antinuklear yang diukur dengan cara
imunofluoresensi atau cara lain yang setara pada waktu yang sama dan dengan tidak
adanya obat-obat yang berkaitan dengan sindrom lupus karena obat
Kecurigaan akan penyakit SLE bisa dijumpai 2 atau lebih keterlibatan organ
sebagaimana tercantum dibawah ini, yaitu:
- Jender wanita pada rentang usia reproduksi
- Gejala konstitusional: kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi) dan penurunan berat
badan
- Muskuloskeletal: artritis, artalgia, miositis
- Kulit: ruam kupu-kupu (butterfly atau malar rash), fotosensitivitas, SLE membrana
mukosa, alopseia, fenomena raynaud, purpura, urtikaria, vaskulitis.
- Ginjal: hematuria, proteinuria, cetakan sindroma nefrotik
- Gastrointestinal: mual, muntah, nyeri abdomen
- Paru-paru: pleurisy, hipertensi pulmonal, SLEi parenkhim paru
- Jantung: perikarditis, endokarditis, miokarditis
- Retikulo-endotel: organomegali (limfadenopati, splenomegali, hepatomegali)
- Hematologi: anemia, leukopenia, dan trombositopenia
- Neuropsikiatri: psikosis, kejang, sindroma otak organik, mielitis transversa, neuropati
kranial dan perifer.7
Diagnosis Banding (Differential diagnose)
1. Rhematouid Arthritis, oleh karena sering terjadi artritis dan artralgia8
Atritis reumatoid pengertian penyakit inflamasi sistemik kronik yang terutama
mengenai sendi diartrodial. Termasuk penyakit autoimun dengan etiologi yang tidak
diketahui. Penyakit ini merupakan suatu penyakit autoimun yang ditandai dengan
terdapatnya sinovitis erosif simetrik yang walaupun terutama mengenai jaringan
persendian, seringkali juga melibatkan organ tubuh lainnya. Sebagian besar penderita
8
menunjukkan gejala penyakit kronik yang hilang timbul, yang jika tidak diobati akan
menyebabkan terjadinya kerusakan persendian dan deformitas sendi yang progresif yang
menyebabkan disabilitas bahkan kematian dini. Walaupun faktor genetik, hormon sex,
infeksi dan umur telah diketahui berpengaruh kuat dalam menentukan pola morbiditas
penyakit ini hingga etiologi AR yang sebenarnya tetap belum dapat diketahui dengan
pasti.
Gejala klinis utama AR adalah poliartritis yang mengakibatkan terjadinya
kerusakan pada rawan sendi dan tulang disekitarnya. Kerusakan ini terutama mengenai
sendi perifer pada tangan dan kaki yang umum nya bersifat simetris. Pada kasus AR yang
jelas diagnosis tidak begitu sulit untuk ditegakkan. Akan tetapi pada masa permulaan
penyakit seringkali gejala AR tidak bermanifestasi dengan jelas, sehingga kadang kadang
timbul kesulitan dalam menegakkan diagnosis.
2. Arthritis Gout
Gout yang juga disebut pirai ini merupakan kelainan metabolisme purin bawaan
yang ditandai dengan peningkatan kadar asam urat serum dengan akibat penimbunan
kristal asam urat di sendi yang menimbulkan artritis urika akut. Berbeda dengan RA,
penyakit ini lebih sering ditemukan pada pria dengan ratio 20:1. Biasanya menunjukkan
gejala pada usia dewasa muda dengan puncaknya setelah berusia 40 tahun. Penyakit ini
sering menyerang sendi perifer kaki dan tangan, dan tersering mengenai persendian meta
tarso falangeal ibu jari kaki.4
Pada anamnesis, biasanya ditemukan keluhan sendi kemerahan disertai nyeri akut
seringkali pada ibu jari kaki. Rasa sakit pada sendi dengan permulaan eksplosif dan khas
menyerang sendi-sendi kecil terutama jari-jari kaki. Rasa sakit biasanya selalu berulang-
ulang dengan sendi yang terkena bengkak, panas, kemerahan dan sakit, sering dijumpai
thopi. Pada penderita seringkali terdapat batu ginjal. Pada pemeriksaan laboratorium,
didapatkan kadar asam urat meningkat, ditemukannya Kristal-kristal asam urat dalam
cairan synovial sendi yang terserang. Stadium awal berupa serangan monoartikuler yang
ditandai dengan nyeri sendi hebat karena artritis akut. Biasanya terdapat kemerahan,
pembengkakan, nyeri tekan lokal dan sendi tidak dapat digerakkan.
Artritis akut ini disertai demam dan leukositosis serta gambaran gejala selulitis dan
artritis septik akut. Umumnya serangan berakhir dalam beberapa hari, akan tetapi
serangan yang berat dapat menetap untuk beberapa minggu. Setelah beberapa tahun, 50%
akan berkembang menjadi pirai bertophus. Tophus adalah nodul kecil yang terdiri dari
9
kristal asam urat. Artritis pirai kronik, ditandai dengan adanya pembengkakan dan
kekakuan sendi. Pada stadium lanjut yang kronik ini serangan akut dapat terjadi. Pada
foto rontgen, timbunan kristal asam urat murni memberi gambaran radiolusen sedangkan
timbunan kalsium tampak radioopak. Pada pemeriksaan laboratorium, ditemukan
hiperurisemia dan pada 50% penderita ditemukan kristal urat pada cairan sinovial atau
tophus. Pada penderita penyakit ini, dapat dipakai obat urikosurik yaitu probenesid dan
sulfinpirazon yang bekerja menghambat reabsorpsi asam urat di tubuli ginjal. Kadar asam
urat dalam duktus kolektivus meninggi sehingga kemungkinan timbul batu ginjal menjadi
lebih tinggi. Hal ini dapat diatasi dengan minum banyak. Kemudian bisa diberikan
allupurinol yang menghambat enzim xantin oksidase sehingga mengurangi pembentukan
asam urat. Kadar asam urat ini perlu diturunkan sampai di bawah 7 mg%. Dengan
menurunnya kadar urat, maka tophi lambat laut akan menghilang.9
4. Epidemiologi
SLE adalah propotipe penyakit autoimun multisitem, yang ditandai oleh beragam
autoantibodi, terutama antibodi antinukleus (ANA). Penyakit ini memiliki awitan
mendadak atau perlahan, bersifat kronik, dapat mereda dan kambuh, sering disertai
demam serta terutama ditandai oleh kelainan di kulit, ginjal, sendi, dan membran serosa.
Akan tetapi, hampir semua organ lain di tubuh dapat terkena. SLE merupakan penyakit
yang relatif sering, dengan prevalensi yang dapat mencapai 1 dari 2500 pada populasi
tertentu. Serupa dengan banyak penyakit autoimun lainnya, SLE terutama mengenai
wanita, dengan frekuensi 1 dari 700 wanita berusia subur dan rasio wanita terhadap pria
9:1. Sebagai perbandingan, rasio wanita terhadap pria untuk penyakit yang timbul pada
masa anak atau setelah usia setelah 65 tahun menjadi 2:1. Meskipun biasanya muncul
pada usia 20-an dan 30-an, SLE dapat muncul pada semua usia, bahkan pada masa anak-
anak dini.
Diketahui bahwa wanita memiliki kecenderungan terkena lupus lebih besar
daripada laki-laki yaitu 8 kali lebih banyak daripada laki-laki. Penyakit ini kebanyakan
menyerang umur 20-45 tahun. Menurut laporan statistik lupus lebih banyak 2 sampai 3
kali terjadi pada perempuan Afrika-Amerika daripada wanita kaukasian.6 Beberapa data
yang ada di Indonesia, diperoleh dari pasien yang dirawat dirumah sakit berdasarkan dari
3 peneliti di Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, pada periode yang berbeda pada
kasus yang terjadi di Jakarta diperoleh data sebagai berikut : antara 1969-1970 ditemukan
5 kasus, 1972-1976 ditemukan 1 kasus LES insidensi 15/10000 perawatan, 1988-1990
insidensi rata-rata 37,7/10000 perawatan. Ketiganya menggunakan kriteria yang berbeda-
10
beda, yaitu berturut-turut kriteria Dubois, criteria pendahuluan ARA dan criteria ARA
yang telah diperbaiki.7
5. Etiologi
Etiologi dari penyakit Lupus eritematosus sistemik atau systemic lupus
erythematosus (SLE) adalah penyakit radang multisistem yang sebabnya belum
diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut, kroik, remisi, dan eksaserbasi,
disertai oleh terdapat berbagai macam autoantibodi dalam tubuh.7
Meskipun penyebab SLE masih belum dapat diketahui secara pasti, tetapi adanya
antibodi (terhadap antigen-antigen diri) yang jumlahnya seperti tidak terbatas pada para
pasien sehingga menunjukkan bahwa kelainan mendasar pada SLE adalah kegagalan
mekanisme yang mempertahankan toleransi diri. Terdapat antibodi terhadap beragam
komponen nukleus dan sitoplasma sel yang tidak spesifik terhadap organ atau spesies.
Selain itu, terdapat kelompok ketiga dari antibodi yang ditunjukkan pada antigen
permukaan sel darah. Selain manfaatnya dalam diagnosis dan penanganan dalam pasien
SLE, antibodi-antibodi ini memiliki makna patogenetik yang besar, misalnya pada
glomerulonefritis yang diperantarai kompleks imun yang sangat khas untuk penyakit ini.
SLE merupakan prototipe penyakit autoimun multisistem, dimana SLE ditandai
dengan munculnya sekumpulan reaksi imun abnormal yang ditandai oleh sejumlah
autoantibodi, khususnya antibodi antinukleus (ANA) serta menghasilkan beragam
manifestasi klinis. Faktor genetik memegang peranan penting dalam kerentanan serta
ekspresi penyakit. Sekitar 10%-20% pasien SLE mempunyai kerabat dekat yang juga
menderita SLE. Penelitian-penelitian terakhir menunjukan bahwa banyak gen yang
berperan, terutama gen yang mengkode unsur-unsur sistem imun, misalnya gen yang
mengkode reseptor sel T, imunoglobulin dan sitokin.4 Faktor lingkungan seperti obat
kontrasepsi oral diduga penyebab timbulnya penyakit ini serta paparan sinar matahari
juga mempengaruhi serangan pendahuluan SLE, pada sekitar 1/3 penderita.11
Pola fluoresensi tidak mutlak bersifat spesifik untuk jenis antibodi dan karena
mungkin terdapat banyak autoantibodi, kombinasi pola sering dijumpai. Uji
imunofluoresensi untuk ANA positif pada hampir semua SLE. Oleh karena itu,
pemeriksaan ini sensitif tetapi tidak spesifik karena penyakit autoimun lain seringkali
memberikan hasil positif. Selain itu, sekitar 5% sampai 15% orang normal memiliki
berbagai antibodi ini dalam kadar rendah. Insidennya meningkat seiring dengan
pertambahan usia. Untuk mendeteksi antibodi terhadap antigen nukleus spesifik
diperlukan teknik-teknik khusus.
11
Selain ANA, pasien lupus memiliki sejumlah antibodi lain. sebagian ditujukan pada
unsur-unsur darah, misalnya sel darah merah, trombosit, dan limfosit, sedang yang lain
ditujukan pada protein-protein yang berikatan dengan fosfolipid. Pada tahun-tahun
terakhir, perhatian banyak ditujukan pada sindrom antibodi antifosfolipid. Sindrom ini
terdapat pada 40%-50% pasien lupus. Meskipun awalnya diperkirakan ditujukan pada
fosfolipid anionik, antibodi-antibodi tersebut sebenarnya ditujukan pada epitop-epitop
protein plasma yang terpapar ketika protein berikatan dengan fosfolipid. Berbagai subsrat
protein diperkirakan berperan, termasuk protrombin, aneksin V, β2 glikoprotein 1, protein
S, dan protein C. Antibodi terhadap kompleks fosfolipid β2 glikoprotein juga berikatan
dengan antigen kardiolipin, yang digunakan dalam serologi sifilis sehingga pasien lupus
dapat memiliki hasil positif palsu pada pemeriksaan serologi untuk sifilis. Sebagian dari
antibodi ini mengganggu uji pembekuan secara in vitro, misalnya waktu tromboplastin
parsial. Oleh karena itu, antibodi-antibodi ini terkadang disebut antikoagulan lupus.
Meskipun memiliki antikoagulan dalam darah yang memperlambat pembekuan secara in
vitro, pasien-pasien ini tetap mengalami hambatan yang berkaitan dengan keadaan
hiperkoagulabilitas. Pasien mengalami trombosis vena dan arteri, yang dapat
menyebabkan abortus spontan berulang dan iskemia fokal di otak atau mata. Kumpulan
gejala klinis, jika berkaitan dengan lupus disebut sebagai sindrom antibodi antifosfolipid
sekunder.8
6. Patogenesis
Ada empat faktor yang menjadi perhatian bila membahas patogenesis SLE, yaitu :
faktor genetik, lingkungan, kelainan sistem imun dan hormon.
1. Faktor genetik memegang peranan pada banyak penderita lupus denganresiko yang
meningkat pada saudara kandung dan kembar monozigot.Studi lain mengenai faktor
genetik ini yaitu studi yang berhubungan dengan HLA(Human Leucocyte Antigens)
yang mendukung konsep bahwa gen MHC (Major Histocompatibility Complex)
mengatur produksi autoantibodi spesifik. Penderita lupus (kira-kira 6%) mewarisi
defisiensi komponen komplemen, seperti C2,C4, atau C1q dan imunoglobulin(IgA),
atau kecenderungan jenis fenotip HLA (-DR2 dan -DR3). Faktor imunopatogenik
yang berperan dalam LES bersifat multipel, kompleks dan interaktif. Kekurangan
komplemen dapat merusak pelepasan sirkulasi kompleks imun oleh sistem fagositosit
mononuklear, sehingga membantu terjadinya deposisi jaringan. Defisiensi C1q
12
menyebabkan fagositis gagal membersihkan sel apoptosis, sehingga komponen
nuklear akan menimbulkan respon imun.
2. Faktor lingkungan dapat menjadi pemicu pada penderita lupus, seperti radiasi ultra
violet, obat-obatan, virus. Sinar UV mengarah pada self-immunity dan hilang toleransi
karena menyebabkan apoptosis keratinosit.Selain itu sinar UV menyebabkan
pelepasan mediator imun pada penderita lupus, dan memegang peranan dalam fase
induksi yanng secaralangsung merubah sel DNA, serta mempengaruhi sel
imunoregulator yang bila normal membantu menekan terjadinya kelainan pada
inflamasi kulit. Pengaruh obat memberikan gambaran bervariasi pada penderita lupus,
yaitu meningkatkan apoptosis keratinosit. Faktor lingkungan lain yaitu peranan agen
infeksius terutama virus rubella, sitomegalovirus,dapat mempengaruhi ekspresi sel
permukaan dan apoptosis.
3. Faktor imunologis, selama ini dinyatakan bahwa hiperaktivitas sellimfosit B menjadi
dasar dari pathogenesis lupus eritematosus sistemik.Beberapa autoantibodi ini secara
langsung bersifat patogen termasuk dsDNA (double-stranded DNA), yang berperan
dalam membentuk kompleks imun yang kemudian merusak jaringan.Selama
perjalanan penyakit lupus tubuh membuat beberapa jenis autoantibodi terhadap
berbagai antigen diri. Di antara berbagai jenisautoantibodi yang paling sering dijumpai
pada penderita lupus adalah antibodi antinuklear (autoantibodi terhadap DNA, RNA,
nukleoprotein,kompleks protein-asam nukleat). Umumnya titer antiDNA
mempunyaikorelasi dengan aktivitas penyakit lupus.Beberapa antibodi antinuklear
mempunyai aksi patologis direk,yaitu bersifat sitotoksik dengan mengaktifkan
komplemen, tetapi dapat juga dengan mempermudah destruksi sel sebagai perantara
bagi sel makrofag yang mempunyai reseptor Fc imunoglobulin. Contoh klinis
mekanisme terakhir ini terlihat sebagai sitopenia autoimun. Ada pulaautoantibodi
tertentu yang bersifat membahayakan karena dapat berinteraksi dengan substansi
antikoagulasi, diantaranya antiprotrombin,sehingga dapat terjadi trombosis disertai
perdarahan. Antibodi antinuklear telah dikenal pula sebagai pembentuk kompleks
imun yang sangat berperan sebagai penyebab vaskulitis.Autoantibodi pada lupus tidak
selalu berperan pada pathogenesis ataupun bernilai sebagai petanda imunologik
penyakit lupus. Antibodi antinuklear dapat ditemukan pada bukan penderita lupus,
atau juga dalam darah bayi sehat dari seorang ibu penderita lupus. Selain itu diketahui
pula bahwa penyakit lupus ternyata tak dapat ditularkan secara pasif dengan serum
penderita lupus.Adanya keterlibatan kompleks imun dalam patogenesis
13
LESdidasarkan pada adanya kompleks imun pada serum dan jaringan yangterkena
(glomerulus renal, tautan dermis-epidermis, pleksus koroid) dan aktivasi komplemen
oleh kompleks imun menyebabkan hipokomplemenemia selama fase aktif dan adanya
produk aktivasi komplemen. Beberapa kompleks imun terbentuk di sirkulasi dan
terdeposit di jaringan, beberapa terbentuk insitu (suatu mekanisme yang sering terjadi
pada antigen dengan afinitas tinggi, seperti dsDNA).Komponen C1q dapat terikat
langsung pada dsDNA dan menyebabkan aktivasi komplemen tanpa bantuan
autoantibodi.
4. Meskipun hormon steroid (sex hormone) tidak menyebabkan LES, namunmempunyai
peran penting dalam predisposisi dan derajat keparahan penyakit. Penyakit LES
terutama terjadi pada perempuan antara menarsdan menopause, diikuti anak-anak dan
setelah menopause. Namun, studiolehCooper menyatakan bahwa menars yang
terlambat dan menopausedini juga dapat mendapat LES, yang menandakan bahwa
pajanan estrogen yang lebih lama bukan risiko terbesar untuk mendapat LES.Adanya
defisiensi relatif hormon androgen dan peningkatan hormon estrogen merupakan
karakteristik pada LES. Anak-anak denganLES juga mempunyai kadar hormon FSH
(Follicle-stimulating hormone),LH (Luteinizing hormone) dan prolaktin meningkat.
Pada perempuandengan LES, juga terdapat peningkatan kadar 16 alfa hidroksiestron
danestriol. Frekuensi LES meningkat saat kehamilan trimester ketiga dan postpartum.
Pada hewan percobaan hormon androgen akan menghambat perkembangan penyakit
lupus pada hewan betina, sedangkan kastrasi prapubertas akan mempertinggi angka
kematian penderita jantan.11
Adanya satu atau beberapa faktor pemicu yang tepat pada individu yang
mempunyai predisposisi genetik akan menghasilkan tenaga pendorong abnormal terhadap
sel T CD4+, mengakibatkan hilangnya toleransi sel T terhadap self antigen. Sebagai
akibatnya muncullah sel T autoreaktif yang akan menyebabkan induksi serta ekspansi sel
B, baik yang memproduksi autoantibody maupun yang berupa sel memori. Ujud pemicu
ini masih belum jelas. Sebagian dari yang diduga termasuk di dalamnya ialah hormone
seks, sinar UV, dan berbagai macam infeksi.
Pada SLE, autoantibodi yang terbentuk ditujukan terhadap antigen yang terutama
terletak pada nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi DNA, protein histon dan non-
histon. Kebanyakan diantaranya dalam keadaan alamiah terdapat dalam bentuk agregat
protein dan atau kompleks protein RNA yang disebut partikel ribonukleoprotein (RNA).
14
Cirri khas autoantigen ini ialah bahwa mereka tidak tissue-spesific dan merupakan
komponen integral semua jenis sel.
Antibodi ini secara bersama-sama disebut ANA (anti-nuclear-antibody) dengan
antigennya yang spesifik, ANA membentuk kompleks imun yang beredar dalam
sirkulasi. Telah ditunjukkan bahwa penanganan kompleks imun pada SLE terganggu.
Dapat berupa gangguan klirens kompleks imun besar yang larut, gangguan pemprosesan
komplek imun dalam hati, dan penurunan uptake kompleks imun pada limpa.
Gangguan-gangguan ini memungkinkan terbentuknya deposit kompleks imun di
luar sistem fagosit mononuklear. Kompleks imun ini akan mengendap pada berbagai
macam organ dengan akibat terjadinya fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa
ini menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan substansi penyebab timbulnya
reaksi radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan timbulnya keluhan atau gejala
pada organ atau tempat yang bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus
koroideus, kulit, dan sebagainya. Bagian yang penting dalam patogenesis ini ialah
terganggunya mekanisme regulasi dalam keadaan normal mencegah autoimunitas
patologis pada individu yang resisten.
Lupus eritematosus sistemik (SLE) dimasukan dalam golongan penyakit autoimun.
Penyakit autoimun ini terjadi karena gangguan pada toleransi terhadap diri sendiri (self-
tolerance)−yaitu suatu keadaan nonresponsif yang normal terhadap antigen-diri sendiri.
Karena set T-helper mengendalikan imunitas seluler maupun humoral,toleransi sel T-
helper dianggap sangat penting bagi pencegahan penyakit autoimun.5 Berdasarkan profil
sitokin sel T dibagi menjadi 2 yaitu Th1 dan Th2. Sel Th1 berfungsi mendukung cell-
mediated immunity, sedangkan Th2 menekan sel tersebut dan membantu sel B untuk
memproduksi antibodi. Pada pasien SLE ditemukan adanya IL-10 yaitu sitokin yang
diproduksi oleh sel Th2 yang berfungsi menekan sel Th1 sehingga mengganggu cell-
mediated immunity.
Sel T pada SLE juga mengalami gangguan berupa berkurangnya produksi IL-2 dan
hilangnya respon terhadap rangsangan pembentukan IL-2 yang dapat membantu
meningkatkan ekspresi sel T. Abnormalitas dan disregulasi sistem imun pada tingkat
seluler dapat berupa gangguan fungsi limfosit T dan B, NKC, dan APCs. Hiperaktivitas
sel B terjadi seiring dengan limfositopenia sel T karena antibodi antilimfosit T.
Peningkatan sel B yang teraktivasi menyebabkan terjadinya hipergamaglobulinemia yang
berhubungan dengan reaktivitas self-antigen. Pada sel B, reseptor sitokin, IL-2,
mengalami peningkatan sedangkan CR1 menurun. Hal ini juga meningkatkan heat shock
15
protein 90 (hsp 90) pada sel B dan CD4+. Kelebihan hsp 90 akan terlokalisasi pada
permukaan sel limfosit dan akan menyebabkan terjadinya respon imun. Sel T mempunyai
2 subset yaitu CD8+ (supresor/sitotoksik) dan CD4+ (inducer/helper). SLE ditandai
dengan peningkatan sel B terutama berhubungan dengan subset CD4+ dan CD45R+.
CD4+ membantu menginduksi terjadinya supresi dengan menyediakan signal bagi
CD8+). Berkurang jumlah total sel T juga menyebabkan berkurangnya subset tersebut
sehingga signal yang sampai ke CD8+ juga berkurang dan menyebabkan kegagalan sel T
dalam menekan sel B yang hiperaktif. Berkurangnya kedua subset sel T ini yang umum
disebut double negative (CD4-,CD8-) mengaktifkan sintesis dan sekresi autoantibodi.
Ciri khas autoantibodi ini adalah bahwa mereka tidak spesifik pada satu jaringan tertentu
dan merupakan komponen integral dari semua jenis sel sehingga menyebabkan inflamasi
dan kerusakan organ secara luas melalui 3 mekanisme yaitu pertama kompleks imun
(misalnya DNA-anti DNA) terjebak dalam membran jaringan dan mengaktifkan
komplemen yang menyebabkan kerusakan jaringan. Kedua, autoantibodi tersebut
mengikat komponen jaringan atau antigen yang terjebak di dalam jaringan, komplemen
akan teraktivasi dan terjadi kerusakan jaringan. Mekanisme yang terakhir adalah
autoantibodi menempel pada membran dan menyebabkan aktivasi komplemen yang
berperan dalan kematian sel atau autoantibodi masuk ke dalam sel dan berikatan dengan
inti sel dan menyebabkan menurunnya fungsi sel tetapi belum diketahui mekanismenya
terhadap kerusakan jaringan.7,9
7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pasien SLE bersifat banyak segi dan meliputi penyuluhan, terapi
obat yang kompleks, dan tindakan-tindakan pencegahan. Periode timbulnya penyakit ini
tersering adalah pada akhir masa remaja, dan awal dari masa dewasa seorang perempuan.
Karena masa ini adalah tahun-tahun reproduksi yang paling prima, maka diperlukan
penyuluhan serius dalam mengambil keputusan akan memiliki anak atau tidak.
Kehamilan dapat menyebabkan timbulnya SLE, yang dapat berbahaya pada perempuan
yang memiliki kerusakan ginjal. Obat-obatan sitotoksik mungkin diperlukan untuk
mengendalikan penyakit ini, dan obat-obatan ini sangat berpotensi untuk mencelakan
fetus. Metode kontraseptif oral tidak diperbolehkan karena dapat memperberat SLE. IUD
dapat menjadi suatu masalah bagi perempuan yang mendapat pengobatan dengan
kortikosteroid sistemik karena adanya potensi untuk menimbulkan infeksi.
Terapi dengan obat bagi pasien SLE mencakup pemberian obat-obat anti inflamasi
non-steroid (OAINS), kortikosteroid, antimalaria, dan agen penekan imun. Pemilihan
16
obat yang sesuai bergantung pada organ-organ yang terserang oleh penyakit ini. OAINS
dipakai untuk mengatasi artritis dan atralgia. Aspirin saat ini lebih jarang dipakai karena
memiliki insidens hepatotoksik tertinggi, dan sebagian pasien SLE juga mengalami
gangguan pada hepar. Seseorang dengan SLE juga memiliki risiko tinggi terhadap efek
samping OAINS pada kulit, hepar, dan ginjal, sehingga pemberiannya harus dipantau
dengan seksama.
Terapi antimalaria kadang-kadang dapat efektif apabila OAINS tidak dapat
mengendalikan gejala-gejala SLE. Biasanya antimalaria mula-mula diberikan dengan
dosis tinggi untuk memperoleh kedaan remisi. Bersihnya lesi kulit merupaka parameter
untuk memantau pemakaian dosis. Terapi penekan imun (siklofosfamid dan azatioprin)
dapat dilakukan dengan menekan aktivitas autoimun SLE. Obat-obatan ini biasanya
dipakai ketika diagnosis pasti sudah ditegakkan, adanya gejala-gejala berat yang
mengancam jiwa, kegagalan tidakan-tindakan pengobatan lainnya, dan tidak adanya
infeksi. Serangan akut SLE diobati dengan kortikosteroid oral dosis tinggi untuk waktu
yang singkat. Dosis obat-obatan ini biasanya dikurangi setelah beberapa minggu.
Aspek penting dari pencegahan serangan SLE adalah menghindari sinar ultraviolet.
Bagaimana sinar matahari dapat menimbulkan serangan SLE masih belum dapat
dimengerti sepenuhnya. Salah satu penjelasan adalah DNA yang terkena sinar ultraviolet
secara normal akan bersifat antigenik dan hal ini akan menimbulkan serangan setelah
terkena sinar. Pasien SLE harus dianjurkan untuk memakai paying, topi, dan baju lengan
panjang apabila ke luar rumah.7
Medica mentosa
Obat-obat yang sering digunakan pada penderita SLE:
Tabel 1. : Obat-obat yang sering digunakan pada penderita LES12
Antimalaria Hidroksiklorokin 3-7 mg/kg/hari PO sebagai garam sulfat (maksimal 400 mg/hari)
Kortiko-steroid PrednisonDosis harian(1 mg/kg/hari); prednison dosis alternate yang lebih tinggi (5 mg/kg/hari, tak lebih 150-250 mg); prednison dosis rendah harian (0.5 mg/kg)/hari yg digunakan bersamamethylprednisolone dosis tinggi intermitten (30 mg/kg/dosis, maksimum mg) per minggu
Obat imuno-supresif Siklofosfamid 500-750 mg/m2 IV 3 kali sehari selama 3 minggu. maksimal 1 g/m2. Harus diberikan IV dengan infus terpasang, dan dimonitor. Monitor lekosit pada 8-14 hari mengikuti setiap dosis (lekosit dimaintenance > 2000-3000/mm3)Azathioprine 1-3 mg/kg/hari PO 4 kali sehari
Non-steroidal anti-inflam-matory drugs (NSAIDs)
17
Naproxen7-20 mg/kg/hari PO dibagi 2-3 dosis maksimal 500-1000 mg/hariTolmetin15-30 mg/kg/hari PO dibagi 2-3 dosis maksimal 1200-1800 mg/hariDiclofenac< 12 tahun : tak dianjurkan> 12 tahun : 2-3 mg/kg/hari PO digagi 2 dosis maksimal 100-200 mg/hari
Suplemen Kalsium dan vitamin D Kalsium karbonat < 6 bulan : 360 mg/hari6-12 bulan : 540 mg/hari1-10 bulan : 800 mg/hari11-18 bulan : 1200 mg/hariCalcifediol< 30 kilogram : 20 mcg PO 3 kali/minggu > 30 kilogram : 50 mcg PO 3 kali/minggu
Anti-hipertensiNifedipin 0.25-0.5 mg/kg/dosis PO dosis awal, tak lebih dari 10 mg, diulang tiap 4-8 jam.Enalapril 0.1 mg/kg/hari PO 4 kali sehari atau 2 kali sehari bisa ditingkatkan bila perlu, maksimum 0.5 mg/kg/hariPropranolol 0.5-1 mg/kg/hari PO dibagi 2-3 dosis, dapat ditingkatkan bertahap dalam 3-7 hari dengan dosis biasa 1-5 mg/kg/hari
Non-medica mentosa
1. Penyuluhan dan intervasi psikosional sangat penting diperhatikan dalam
pentalaksanaan penderita SLE terutama penderita yang baru di diagnosis.
2. Kelelahan bisa karena sakitnya atau penyakit lain, seperti anemi, demam infeksi,
gangguan hormonal, komplikasi pengobatan, atau stres emosional. Upaya mengurangi
kelelahan disamping obat ialah cukup istirahat, pembatasan aktivitas yang berlebih,
dan mampu mengubah gaya hidup
3. Hindari Merokok
4. Hindari perubahan cuaca karena mempengaruhi proses inflamasi
5. Hindari stres dan trauma fisik
6. Hindari sinar ultraviolet dan paparan sinar matahari untuk meminimalkan gejala
memburuk akibat photosensitivity
7. Hindari pemakaian kontrasespsi atau obat lain yang mengandung hormon estrogen.
Karena studi terbaru menyarankan bahwa kontrasepsi oral tidak dapat dikaitkan
dengan flare penyakit atau risiko trombosis pada pasien dengan lupus ringan tanpa
antifosfolipid antibodies.
18
8. Penggunaan minyak ikan pada pasien SLE yang mengandung vitamin E 75 IU and
500 IU/kg diet dapat menurunkan produksi sitokin proinflamasi seperti IL-4, IL-6,
TNF-a, IL-10, dan menurunkan kadar antibodi anti-DNA.
9. Terapi antimalaria (hydroxychloroquine) telah ditunjukkan untuk mencegah relaps dan
meningkatkan mortality.
10. Angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor dan / atau angiotensin reseptor
blockers mungkin berguna pada pasien dengan penyakit ginjal.
11. Kalsium, vitamin D, dan bifosfonat profilaksis dapat mengurangi risiko osteoporosis
yang diinduksi glukokortikoid.
8. Komplikasi
Infeksi oportunistik dapat terjadi, paling sering pada pasien yang menerima terapi
imunosupresif kronis. Komplikasi lain yang kurang umum adalah osteonekrosis, terutama
bagian pinggul dan lutut setelah penggunaan dosis tinggi kortikosteroid berkepanjangan.
Lebih umum, penyakit aterosklerosis prematur dan infark miokard adalah komplikasi
indolen peradangan kronis.
Yang paling sering ditakutkan adalah jika pada ginjal dan jantung terjadi kelainan
sistemik. Penyebab mortalitas paling tinggi terjadi pada awal perjalanan penyakit SLE
adalah infeksi yang disebabkan oleh pemakaian imunosupresan. Sedangkan mortalitas
pada penderita SLE dengan komplikasi nefritis paling banyak ditemukan dalam 5 tahun
pertama ketika dimulainya gejala. Penyakit jantung dan kanker yang berkaitan dengan
inflamasi kronik dan terapi sitotoksik juga merupakan penyebab mortalitas.Penyebab
peningkatan penyakit coronary artery disease (CAD) merupakan multifaktor termasuk
disfungsi endotelial, mediator inflamasi, kortikosteroid yang menginduksi arterogenesis,
dan dislipidemia yang berkaitan dengan penyakit ginjal (salah satu manifestasi klinis dari
SLE).7
9. Prognosis
Prognosis untuk SLE bervariasi dan bergantung pada keparahan gejala, organ-organ
yang terlibat, dan lama waktu remisi dapat dipertahankan. SLE tidak dapat disembuhkan,
penatalaksanaan ditujukan untuk mengatasi gejala. Prognosis berkaitan dengan sejauh
mana gejala-gejala ini dapat diatasi.
19
SLE memiliki angka survival untuk masa 10 tahun sebesar 90%.Penyebab kematian
dapat langsung akibat penyakit lupus, yaitu karena gagalginjal, hipertensi maligna,
kerusakan SSP, perikarditis, sitopenia autoimun.Data dari beberapa penelitian tahun
1950-1960, menunjukkan5-year survival ratessebesar 17.5%-69%. Sedangkan tahun
1980-1990,5-year survival ratessebesar 83%-93%. Beberapa peneliti melaporkan bahwa
76%-85% pasien SLE dapat hidup selama 10 tahun, sebesar 88% dari pasien mengalami
sedikitnya cacat dalam beberapa organ tubuhnya secara jangka panjang dan menetap.7,12
Kesimpulan
Dari hasil pembahasan di atas, dapat disimpulkan bila terdapat nyeri dan bengkak pada
sendi pergelangan tangan, jari-jari tangan dan tumit serta ruam merah pada pipi merupakan
gejala dari SLE yang disebabkan oleh karena autoimun (respon imun yang tidak normal).
Yang mana pada keadaan normal, tubuh memiliki tolerance yaitu tidak timbulnya respon
imun pada antigen sendiri.
.
Daftar Pustaka
1. Goldstan BG, Goldstein A. Dermatologi praktis. Jakarta:Hipokrates; 2001. hal. 267-270.
2. Gleade J. At a glance: anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga; 2005. hal.
197. Pf
3. Gambar Butterfly rush. Edisi November 2010. Diunduh dari:
http://www.medicinenet.com/systemic_lupus. 16 Maret 2012.
4. Suryaatmadja M. Pendidikan kesinambungan patologi klinik. Edisi 1. Jakarta: FKUI;
2003. hal. 47-79.
5. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi 6, vol 2.
Jakarta: EGC; 1392-5.
6. Anna MQ, Peter VR, et al.Diagnosis of Systemic Lupus Eritematosus. Edisi Desember
2003. Diunduh dari: Available at: http://www.aafp.org. 16 Maret 2012.
7. Diagnosis: Isbagio H, Kasjmir YI, Setyohadi B, Suarjana N. Lupus eritematosus
sistemik, dalam: ilmu penyakit dalam. Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing; 2009. hal.
2572.
8. R S Siregar. Saripati. Penyakit kulit. Edisi 2. Jakarta: EGC; 2004. hal. 232-234.
9. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku ajar patologi robbins. Edisi 7. Jakarta: EGC;
2007. hal. 464-6.
20
10. Marwali H. Ilmu penyakit kulit. Jakarta:Hipokrates; 2000. hal.191-6.
11. Robbin, Cotran. Dasar patologis penyakit. Edisi 7. Jakarta: EGC; 2009. hal. 235-7.
12. Klein G, Miller ML. Systemic Lupus Erythematosus. In : Behrman RE, Kliegman RM,
Jenson HB. Textbook of Pediatrics.edisi ke-17. Philadelphia:WB Saunders;2004.p. 809-
12.
21