Makalah Coach

41
Latar Belakang Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama bagi anak yang memberi dasar perilaku, perkembangan sikap dan nilai kehidupan dari keluarga. Salah satunya adalah belajar menghormati orang yang lebih tua serta membantu menyelesaikan berbagai masalah yang timbul. Orangtua diharapkan dapat membantu anak dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan untuk mengatasi masalah secara realistik dan simpati. Oleh karena itu, keluarga sebagai tempat untuk mengkondisikan pemberian nilai positif pada anak. Di sisi lain, keluarga sering kali menjadi sumber konflik bagi sejumlah orang. Suasana keluarga yang tidak harmonis sering mendorong terjadinya konflik antara kedua orang tua. Salah satu hal yang menjadi ketakutan besar bagi seorang anak adalah perceraian orangtua. Ketika perceraian terjadi, anak akan menjadi korban utama. Orangtua yang bercerai harus tetap memikirkan bagaimana membantu anak untuk mengatasi penderitaan akibat perpisahan orangtuanya. Kasus perceraian semakin marak terjadi di lingkungan sekitar maupun melalui pemberitaan mass media. Tahun 2009 lalu, perkara perceraian yang diputus Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah mencapai 223.371 perkara. Namun demikian, selama sembilan tahun terakhir, tiap tahun rata-rata terdapat 161.656

description

coach and conseling in nursing

Transcript of Makalah Coach

Latar BelakangKeluarga merupakan lingkungan sosial pertama bagi anak yang memberi dasar perilaku, perkembangan sikap dan nilai kehidupan dari keluarga. Salah satunya adalah belajar menghormati orang yang lebih tua serta membantu menyelesaikan berbagai masalah yang timbul. Orangtua diharapkan dapat membantu anak dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan untuk mengatasi masalah secara realistik dan simpati. Oleh karena itu, keluarga sebagai tempat untuk mengkondisikan pemberian nilai positif pada anak.Di sisi lain, keluarga sering kali menjadi sumber konflik bagi sejumlah orang. Suasana keluarga yang tidak harmonis sering mendorong terjadinya konflik antara kedua orang tua. Salah satu hal yang menjadi ketakutan besar bagi seorang anak adalah perceraian orangtua. Ketika perceraian terjadi, anak akan menjadi korban utama. Orangtua yang bercerai harus tetap memikirkan bagaimana membantu anak untuk mengatasi penderitaan akibat perpisahan orangtuanya.Kasus perceraian semakin marak terjadi di lingkungan sekitar maupun melalui pemberitaan mass media. Tahun 2009 lalu, perkara perceraian yang diputus Pengadilan Agama/Mahkamah Syariyah mencapai 223.371 perkara. Namun demikian, selama sembilan tahun terakhir, tiap tahun rata-rata terdapat 161.656 perceraian. Artinya, jika diasumsikan setahun terdapat dua juta peristiwa perkawinan, maka 8 % di antaranya berakhir dengan perceraian (dalam Hermansyah, 2010).Perceraian orangtua dianggap sebagai salah satu penyebab utama kegagalan masa depan anak. Anak dapat kehilangan orientasi masa depan karena kehilangan kasih sayang orangtua. Pada umumnya setiap anak menginginkan keutuhan keluarga. Menurut Wardoyo (dalam Amelia, 2008) perceraian merupakan kegagalan dalam mengembangkan dan menyempurnakan cinta antara suami-istri. Perceraian merupakan pengalaman yang menyedihkan dan menyakitkan pada suami, istri maupun anak-anak.Perceraian adalah keputusan yang menyakitkan bagi pasangan suami istri, juga anak-anaknya. Untuk itu, Asniar (dalam Darmawati, 2006) menekankan bahwa perceraian akan sangat berdampak bagi kehidupan seluruh anggota keluarga, baik secara fisik maupun psikologis. Dampak dari perceraian pada individu bisa banyak ataupun sedikit, tergantung dari bagaimana orang tua dan anak mengatasi segala sesuatunya (Stahl, 2000).Perceraian tidak secara otomatis menyelesaikan berbagai masalah yang ada dalam perkawinan karena kadangkala perceraian menimbulkan berbagai masalah baru. Salah satu dari masalah yang timbul adalah bagaimana mereka harus membesarkan anak-anak mereka saat mereka telah bercerai. Menurut Mac-Gregor (2004) membesarkan anak-anak tidaklah gampang, bahkan saat perceraian belum terjadi, apalagi saat salah satu dari mereka yang harus melakukannya sendiri. Bagaimana anak bereaksi terhadap perceraian sangat tergantung pada umur mereka, tingkat perkembangan mereka, dan sifat pribadi mereka. Reaksi individu akan bermacammacam dan sangat luas dari anak ke anak, karena setiap anak mempunyai lingkungan keluarga yang berbeda, kekuatan dan kelemahan pribadi yang berbeda, dan cara menghadapi stres yang berbeda (Djiwandono, 2005).

BAB IIPEMBAHASANPengertian Keluarga Broken home Secara etimologi broken home diartikan sebagai keluarga retak.30 Jadi keluarga broken home adalah kondisi keluarga yang tidak harmonis dan tidak berjalan layaknya keluarga yang rukun, damai dan sejahtera karena sering terjadi keributan serta perselisihan yang menyebabkan pertengkaran dan dapat berakhir pada perceraian. Istilah broken home juga digunakan untuk menggambarkan keluarga yang berantakan akibat orang tua yang tidak lagi perduli lagi dengan situasi dan keadaan keluarga dirumah.31 Keluarga broken home yang dimaksud oleh penyusun adalah keluarga yang masing-masing anggota dalam keluarganya tidak dapat berfungsi dan berperan sebagaimana mestinya. Dengan kata lain keluarga yang mengalami disfungsi keluarga.

Penyebab Keluarga Broken home Beberapa faktor yang menyebabkan sebuah keluarga mengalami masalah serta dapat menyebabkan keluarga menjadi keluarga yang broken home antara lain: 1) Faktor Mertua Sebuah rumah tangga yang dibangun oleh suami dan istri sedapat mungkin untuk berdiri sendiri, lepas dari keluarganya masing-masing agar pembinaan rumah tangga bebas dari bermacam-macam pengaruh orang lain yang tidak selamanya membawa suasana aman. Karena intervensi yang berlebihan dari mertua dapat menimbulkan keluarga menjadi broken home. 2) Faktor Pihak Ketiga Faktor pihak ketiga dalam perkawinan merupakan faktor yang sangat berpengaruh pada keretakan rumah tangga. Dengan kehadiran pihak ketiga atau sering disebut dengan istilah WIL (wanita idaman lain) dan PIL (pria idaman lain) dalam keluarga menjadikan pasangan suami istri tidak lagi peduli dengan kewajibannya masing-masing.

3) Anak Tiri atau Orang Tua Tiri Kehadiran anak tiri atau orang tua tiri dalam keluarga dapat menjadikan sebuah keluarga mengalami permasalahan. Hal ini terjadi karena adanya kesulitan dalam menjalin hubunga pada masing-masing anggota keluarga yang bersangkutan.4) Penyakit Cemburu Rasa cemburu yang berlebihan tanpa didasari alasan yang jelas sangat berpotensi dalam perpecahan keluarga. 5) Poligami Keterbatasan suami untuk bersikap adil terhadap istri-istrinya dan anak-anaknya, baik adil dalam hal materi mapun adil dalam membagi kasih sayang dapat menimbulkan penyakit cemburu dan sangat berpotensi dalam memicu perpecahan dalam rumah tangga

Pengertian RemajaHurlock, (2008 ) menyatakan bahwa masa remaja adalah masa kritis identitas atau masalah identitas ego remaja. Identitas diri yang dicari remaja berupa usaha untuk menjelaskan siapa dirinya dan apa perannya dalam masyarakat, serta usaha mencari perasaan kesinambungan dan kesamaan baru para remaja harus memperjuangkan kembali dan seseorang akan siap menempatkan idola dan ideal seseorang sebagai pembimbing dalam mencapai identitas akhir.Hurlock (2008) berpendapat bahwa pada masa remaja terjadi proses perkembangan meliputi perubahan-perubahan yang berhubungan dengan perkembangan psikoseksual, dan juga terjadi perubahan dalam hubungan dengan orang tua dan cita-cita mereka,dimana pembentukan cita-cita merupakan proses pembentukan orientasi masa depan. Transisi perkembangan pada masa remaja berarti sebagian perkembangan masa kanak-kanak masih dialami namun sebagian kematangan masa dewasa sudah dicapai (Hurlock, 2008). Bagian dari masa kanak-kanak itu antara lain proses pertumbuhan biologis misalnya tinggi badan masih terus bertambah. Sedangkan bagian dari masa dewasa antara lain proses kematangan semua organ tubuh termasuk fungsi reproduksi dan kematangan kognitif yang ditandai dengan mampu berpikir secara abstrak (Papalia & Olds, 2009).

Ciri-ciri RemajaMenurut Santrock (2003), Masa remaja adalah suatu masa perubahan. Pada masa remaja terjadi perubahan yang cepat baik secara fisik, maupun psikologis. Ada beberapa perubahan yang terjadi selama masa remaja.1. Peningkatan emosional yang terjadi secara cepat pada masa remaja awal yang dikenal dengan sebagai masa storm & stress. Peningkatan emosional ini merupakan hasil dari perubahan fisik terutama hormon yang terjadi pada masa remaja. Dari segi kondisi sosial, peningkatan emosi ini merupakan tanda bahwa remaja berada dalam kondisi baru yang berbeda dari masa sebelumnya. Pada masa ini banyak tuntutan dan tekanan yang ditujukan pada remaja, misalnya mereka diharapkan untuk tidak lagi bertingkah seperti anak-anak, mereka harus lebih mandiri dan bertanggung jawab. Kemandirian dan tanggung jawab ini akan terbentuk seiring berjalannya waktu, dan akan nampak jelas pada remaja akhir yang duduk di awal-awal masa kuliah.2. Perubahan yang cepat secara fisik yang juga disertai kematangan seksual. Terkadang perubahan ini membuat remaja merasa tidak yakin akan diri dan kemampuan mereka sendiri. Perubahan fisik yang terjadi secara cepat, baik perubahan internal seperti sistem sirkulasi, pencernaan, dan sistem respirasi maupun perubahan eksternal seperti tinggi badan, berat badan, dan proporsi tubuh sangat berpengaruh terhadap konsep diri remaja.3. Perubahan dalam hal yang menarik bagi dirinya dan hubungan dengan orang lain. Selama masa remaja banyak hal-hal yang menarik bagi dirinya dibawa dari masa kanak-kanak digantikan dengan hal menarik yang baru dan lebih matang. Hal ini juga dikarenakan adanya tanggung jawab yang lebih besar pada masa remaja, maka remaja diharapkan untuk dapat mengarahkan ketertarikan mereka pada hal-hal yang lebih penting. Perubahan juga terjadi dalam hubungan dengan orang lain. Remaja tidak lagi berhubungan hanya dengan individu dari jenis kelamin yang sama, tetapi juga dengan lawan jenis, dan dengan orang dewasa.4. Perubahan nilai, dimana apa yang mereka anggap penting pada masa kanak-kanak menjadi kurang penting karena sudah mendekati dewasa. Kebanyakan remaja bersikap ambivalen dalam menghadapi perubahan yang terjadi. Di satu sisi mereka menginginkan kebebasan, tetapi di sisi lain mereka takut akan tanggung jawab yang menyertai kebebasan tersebut, serta meragukan kemampuan mereka sendiri untuk memikul tanggung jawab tersebut.

Aspek-aspek perkembangan pada remaja1. Perkembangan fisik Yang dimaksud dengan perkembangan fisik adalah perubahan-perubahan pada tubuh, otak, kapasitas sensoris dan ketrampilan motorik (Papalia & Olds, 2009). Perubahan pada tubuh ditandai dengan pertambahan tinggi dan berat tubuh, pertumbuhan tulang dan otot, dan kematangan organ seksual dan fungsi reproduksi. Tubuh remaja mulai beralih dari tubuh kanak-kanak yang cirinya adalah pertumbuhan menjadi tubuh orang dewasa yang cirinya adalah kematangan. Perubahan fisik otak sehingga strukturnya semakin sempurna meningkatkan kemampuan kognitif. Papalia dan Olds, (2009).2. Perkembangan kognitifMenurut Santrock (2003), seorang remaja termotivasi untuk memahami dunia karena perilaku adaptasi secara biologis mereka. Dalam pandangan Piaget, remaja secara aktif membangun dunia kognitif mereka, di mana informasi yang didapatkan tidak langsung diterima begitu saja ke dalam skema kognitif mereka. Remaja sudah mampu membedakan antara hal-hal atau ide-ide yang lebih penting dibanding ide lainnya, lalu remaja juga menghubungkan ide-ide tersebut.Seorang remaja tidak saja mengorganisasikan apa yang dialami dan diamati, tetapi remaja mampu mengolah cara berpikir mereka sehingga memunculkan suatu ide baru. Perkembangan kognitif adalah perubahan kemampuan mental seperti belajar, memori, menalar, berpikir, dan bahasa. (Piaget Papalia & Olds, 2009) mengemukakan bahwa pada masa remaja terjadi kematangan kognitif, yaitu interaksi dari struktur otak yang telah sempurna dan lingkungan social yang semakin luas untuk eksperimentasi memungkinkan remaja untuk berpikir abstrak. Piaget menyebut tahap perkembangan kognitif ini sebagai tahap operasi formal (Papalia & Olds, 2009). Pada tahap ini, remaja juga sudah mulai mampu berspekulasi tentang sesuatu, dimana mereka sudah mulai membayangkan sesuatu yang diinginkan dimasa depan. Perkembangan kognitif yang terjadi pada remaja juga dapat dilihat dari kemampuan seorang remaja untuk berpikir lebih logis. Remaja sudah mulai mempunyai pola berpikir sebagai peneliti, dimana mereka mampu membuat suatu perencanaan untuk mencapai suatu tujuan di masa depan (Santrock, 2002).Salah satu bagian perkembangan kognitif masa kanak-kanak yang belum sepenuhnya ditinggalkan oleh remaja adalah kecenderungan cara berpikir egosentrisme Papalia & Olds, (2009). Yang dimaksud dengan egosentrisme di sini adalah ketidakmampuan melihat suatu hal dari sudut pandang orang lain. Papalia & Olds, (2009) mengungkapkan salah satu bentuk cara berpikir egosentrisme yang dikenal dengan istilah personal fabel. Personal fabel adalah "suatu cerita yang kita katakan pada diri kita sendiri mengenai diri kita sendiri, tetapi cerita itu tidaklah benar". Kata fabel berarti cerita rekaan yang tidak berdasarkan fakta, biasanya dengan tokoh-tokoh hewan. Personal fabel biasanya berisi keyakinan bahwa diri seseorang adalah unik dan memiliki karakteristik khusus yang hebat, yang diyakini benar adanya tanpa menyadari sudut pandang orang lain dan fakta sebenarnya. Papalia dan Olds (2009) dengan mengutip Elkind menjelaskan personal fable sebagai berikut : Personal fable adalah keyakinan remaja bahwa diri mereka unik dan tidak terpengaruh oleh hukum alam. Belief egosentrik ini mendorong perilaku merusak diri (self-destructive) oleh remaja yang berpikir bahwa diri mereka secara logis terlindung dari bahaya. Misalnya seorang remaja putri berpikir bahwa dirinya tidak mungkin hamil (karena perilaku seksual yang dilakukannya), atau seorang remaja pria berpikir Bahwa ia tidak akan sampai meninggal dunia di jalan raya (saat mengendarai mobil), atau remaja yang mencoba-coba obat terlarang (drugs)berpikir bahwa ia tidak akan mengalami kecanduan. Remaja biasanya menganggap bahwa hal-hal itu hanya terjadi pada orang lain bukan pada dirinya.3. Perkembangan kepribadian dan socialYang dimaksud dengan perkembangan kepribadian adalah perubahan cara individu berhubungan dengan dunia dan menyatakan emosi secara unik, sedangkan perkembangan sosial berarti perubahan dalam berhubungan dengan orang lain (Papalia & Olds, 2009). Perkembangan kepribadian yang penting pada masa remaja adalah pencarian identitas diri. Yang dimaksud dengan pencarian identitas diri adalah proses menjadi seorang yang unik dengan peran yang penting dalam hidup (Papalia & Olds, 2009). Perkembangan sosial pada masa remaja lebih melibatkan kelompok teman sebaya dibanding orang tua (Papalia & Olds, 2009). Dibanding pada masa kanak-kanak, remaja lebih banyak melakukan kegiatan di luar rumah seperti kegiatan sekolah, ekstra kurikuler dan bermain dengan teman ( Papalia & Olds, 2009). Dengan demikian, pada masa remaja peran kelompok teman sebaya sangat besar. Pada diri remaja pengaruh lingkungan dalam menentukan perilaku diakui cukup kuat. Walaupun remaja telah mencapai tahap perkembangan kognitif yang memadai untuk menentukan tindakannya sendiri, namun penentuan diri remaja dalam berperilaku banyak dipengaruhi oleh tekanan dari kelompok teman sebaya. Kelompok teman sebaya diakui dapat mempengaruhi pertimbangan dan keputusan seorang remaja tentang perilakunya. Papalia & Olds (2009) mengemukakan bahwa kelompok teman sebaya merupakan sumber referensi utama bagi remaja dalam hal persepsi dan sikap yang berkaitan dengan gaya hidup. Bagi remaja teman-teman menjadi sumber informasi misalnya mengenai bagaimana cara berpakaian yang menarik, musik atau film apa yang bagus dan sebagainya.

Tahapan RemajaMasa remaja merupakan masa yang sulit, dimana terjadi pertumbuhan fisik yang pesat dalam ukuran dan bentuk, dan perbedaan antara laki-laki dan perempuan mulai terlihat, sehingga masa remaja sering disebut sebagai masa kritis (critical phasse) bagi kehidupan seseorang (WHO,1997). Terdapat banyak pendapat mengenai batasan usia remaja tetapi pada umumnya bervariasi antara 10 sampai 24 tahun. WHO membaginya dalam 3 kategori yaitu: remaja awal (early adolescence) usia antara 10 sampai 14 tahun, remaja madya (mid adolescence) usia antara 15 sampai 17 tahun dan remaja akhir (late adolescence) usia antara 18 sampai 21 tahun. Sedangkan BKKBN (2002) membagi remaja berdasarkan tahapan usia sebagai berikut :1. Remaja sehat usia antara 11-13 tahun yang ditandai dengan adanya masa akil baligh atau pubertas.2. Remaja sehat usia antara 14-18 tahun yang ditandai dengan dimulainya hubungan dengan lawan jenis atau pacaran.3. Remaja sehat usia antara 19-21 yang ditandai dengan kematangan fisik, mental dan sosial.

Masalah Umum Pada RemajaPenyesuaian remaja terhadap situasi baru dapat menimbulkan masalah akibat masa transisi dari anak-anak menuju kedewasaan yang berlangsung begitu cepat. Seiring dengan perubahan-perubahan yang terjadi pada remaja, berikut ini beberapa masalah yang dialami dalam kaitannya dengan penyesuaian diri terhadap lingkungannya (Santrock, 2002) :1. Kesulitan dalam hubungannya dengan orang tua.Merupakan masalah yang paling sering ditemui dan kerap manjadi inti yang mendasari munculnya masalah lain. Gejala kesulitan hubungan dengan orang tua biasanya disebabkan karena kesulitan komunikasi, yaitu kesulitan untuk saling mengerti.

2. Masalah keluargaAnakanak dari keluarga broken home, merupakan anak-anak dengan kesulitan tersendiri. Keretakan hubungan keluarga akan menjadi masalah yang sulit bagi remaja karena mereka kehilangan orang yang menjadi panutan bagi dirinya. Kondisi ini dapat menimbulkan kompensasi tingkah laku sebagai cara remaja menyalurkan beban atau ketegangan emosinya.3. Masalah dengan teman sebaya Pengakuan dan penerimaan oleh teman-teman merupakan kebutuhan yang mutlak bagi remaja. Remaja-remaja yang terasing dari teman sebayanya akan mengalami kesepian, kesendirian dan rendah diri, termasuk dalam masalah pacar.4. Kesulitan belajar dan mendapat pekerjaanKesulitan dalam bersaing dalam belajar dan pekerjaan bisa jadi menjadi pemicu remaja untuk bersaing secara tidak sehat.5. Masalah penyalahgunaan obatRemaja merasa dirinya harus lebih banyak menyesuaikan diri dengan norma-norma orang dewasa, bila memang ingin diidentifikasikan dengan kelompok sebaya dan tidak mau lagi dianggap anak-anak. Dalam kondisi yang demikian, rasa ingin tahu terhadap obat-obatan terus berkembang selama masa remaja, sehingga timbul kecendrungan untuk menganggap obat-obatan sebagai lambang yang penting bagi keanggotaan kelompok.6. Masalah seksualitasMasalah seksualitas di kalangan remaja timbul karena :a) Kurang adanya pendidikan seks yang tepat sehingga remaja buta terhadap masalah seksb) Banyaknya rangsangan pornografi baik berupa film, obrolan, gambar dan lain-lain.

DepresiPengertianDepresi adalah suatu gangguan alam perasaan yang ditandai dengan respon emosional yang berat dikenal melalui intensitas dan pengaruhnya terhadap fisik dan fungsi social seperti perasaan sedih dan berduka yang berlebihan dan bekepanjangan (Stuart dan Sundeen, 2005). Depresi adalah suatu jenis gangguan alam perasaan atau emosi yang disertai komponen psikologik: rasa susah, murung, sedih putus asa, dan tidak bahagia serta komponen somatic: anoreksia, konstipasi, kulit lemban(rasa dingin), tekanan darah dan denyut nadi menurun. Depresi adalah salah satu bentuk gangguan jiwa pada alam perasaan (afektif, mood) (Iyus Yosep, 2009)Depresi merupakan gangguan alam perasaan yang berat dan dimanifestasikan dengan gangguan fungsi social dan fungsi fisik yang hebat, lama dan menetap pada individu yang bersangkutan. Depresi merupakan reaksi yang normal bila berlangsung dalam waktu yang pendek dengan adanya faktor pencetus yang jelas, lama dan dalamnya depresi sesuai dengan faktor pencetusnya. Depresi merupakan gejala psikotik bila keluhan yang bersangkutan tidak sesuai lagi dengan realitas, tidak dapat menilai realitas dan tidak dapat lagi dimengerti oleh orang lain.

Dampak depresi pada remajaMenurut Fortinash (2003), Depresi dapat mengakibatkan dampak yang merugikan bagi si penderita seperti terganggunya fungsi sosial, fungsi pekerjaan,mengalami kesulitan untuk berkonsentrasi, mengalami ketidak berdayaan yang dipelajari,bahkan hingga tindakan bunuh diri yang menyebabkan kematian. Remaja hanya mengurung diri di kamar, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya semangat hidup, hilangnya kreativitas, antusiasme dan optimisme. Dia tidak mau bicara dengan orang-orang, tidak berani berjumpa dengan orang-orang, berpikir yang negatif tentang diri sendiri dan tentang orang lain, hingga hidup terasa sangat berat dan melihat masalah lebih besar dari dirinya. Remaja jadi pesimis memandang hidupnya, seakan hilang harapan, tidak ada yang bisa memahami dirinya, dan sebagainya. Ciri-ciri depresiStuart (2006), ciri-ciri umum dari depresi adalah:1. Perubahan pada Kondisi Emosionala) Perubahan pada mood (periode terus-menerus dari perasaan terpuruk, depresi, sedih atau muram)b) Penuh air mata atau menangisc) Meningkatnya iritabilitas (mudah tersinggung), kegelisahan, atau kehilangan kesabarand) Perubahan dalam Motivasi1) Perasaan tidak termotivasi, atau memiliki kesulitan untuk memulai (kegiatan) di pagi hari atau bahkan sulit bangun dari tempat tidur2) Menurunnya tingkat partisipasi sosial atau minat pada aktivitas sosial3) Kehilangan kenikmatan atau minat dalam aktivitas menyenangkan4) Menurunnya minat pada seks5) Gagal untuk berespons pada pujian atau rewarde) Perubahan dalam Fungsi dan Perilaku Motorik1) Bergerak atau berbicara dengan lebih perlahan daripada biasanya2) Perubahan dalam kebiasaan tidur (tidur terlalu banyak atau terlalu sedikit, bangun lebih awal dari biasanya dan merasa kesulitan untuk kembali tidur di pagi buta3) Perubahan dalam selera makan (makan terlalu banyak atau terlalu sedikit)4) Perubahan dalam berat badan (bertambah atau kehilangan berat badan)5) Berfungsi secara kurang efektif daripada biasanya di tempat kerja atau di sekolahPenatalaksaan depresi pada remaja dengan menggunakan teknik konseling

Pengertian Konseling Secara etimologis istilah konseling berasal dari bahasa latin, yaitu "consilium" yang berarti "dengan" atau "bersama" yang dirangkai dengan "menerima" atau "memahami". 7 Masyarakat umum telah mengenal istilah konseling berasal dari bahasa inggris yaitu dari kata "Counseling" yang artinya pemberian nasehat atau penyuluhan. Konseling adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan melalui wawancara konseling oleh seorang ahli (disebut konselor) kepada individu yang sedang mengalami sesuatu masalah (disebut klien) yang bermuara pada teratasinya masalah yang dihadapi oleh klien.9 Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa konseling adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh konselor kepada klien dengan cara yang humanis agar klien dapat menemukan potensi diri dan terlepas dari permasalahannya yang dihadapinya, baik permasalahan sekarang maupun yang akan datang. konseling adalah suatu proses di mana orang yang bermasalah (klien) dibantu secara pribadi untuk merasa dan berperilaku yang lebih memuaskan melalui interaksi dengan seseorang yang tidak terlibat (konselor) yang menyediakan informasi dan reaksi-reaksi yang merangsang klien untuk mengembangkan perilaku-perilaku yang memungkinkanya berhubungan secara lebih efektif dengan dirinya dan lingkunganya.

Latar belakang perlunya konseling Manusia dituntut untuk mampu berkembang dan menyesuaikan diri terhadap masyarakat, dan untuk itulah manusia dilengkapi dengan berbagai potensi yang berkenaan denga keindahan dan ketinggian derajat kemanusiaanya agar dapat hidup secara serasi, selaras dan seimbang. Disamping itu manusia juga diciptakan sebagai makhluk yang mulia dan sempurna dibandingkan makhluk-makhluk Allah yang lain, akan tetapi manusia juga memiliki nafsu dan perangai yang buruk Untuk itulah agar manusia tidak terjerumus kedalam lembah kenistaan perlu adanya upaya untuk saling menjaga, menasehati serta membimbing untuk menuju kecitra yang lebih baik. Sebagaimana firman Allah:

Artinya: Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. (Q.S. Al-Ashr: 1-3)12

Teknik Konseling yang di Terapkan pada kasus Stres pada remaja akibat perceraian Orang tua1. Client CenteredSecara umum tujuan dari konseling ini adalah untuk memfokuskan diri klien pada pertanggungjawaban dan kapasitasnya dalam rangka menemukan cara yang tepat untuk menghadapi realitas yang dihadapi klien atau dengan kata lain membantu klien agar berkembang secara optimal sehingga mampu menjadi manusia yang berguna. Sedangkan secara terinci tujuannya adalah sebagai berikut :a) Membebaskan klien dari berbagai konflik psikologis yang dihadapinya.b) Menumbuhkan kepercayaan pada diri klien, bahwa ia memiliki kemampuan untuk mengambil satu atau serangklaian keputusan yang terbaik bagi dirinya sendiri tanpa merugikan orang lain.c) Memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada klien untuk belajar mempercayai orang lain, dan memiliki kesiapan secara terbuka untuk menerima berbagai pengalaman orang lain yang bermanfaat bagi dirinya sendiri.d) Memberikan kesadaran kepada klien bahwa dirinya adalah merupakan bagian dari suatu lingkup sosial budaya yang luas, walaupun demikian ia tetap masih memiliki kekhasan atau keunikan tersendiri.e) Menumbuhkan suatu keyakinan kepada klien bahwa dirinya terus tumbuh dan berkembang (Process of becoming). Pandangan terhadap Klien terhadap Client centered TherapyCarl Rogers memandang manusia, dalam hal ini klien, dengan berorientasi kepada filsafat humanistik, yaitu :1. Inti sifat manusia adalah positif, sosial, menuju ke muka, dan realistik. Yang berarti pada dasarnya manusia itu bersifat positif, rasional, sosial, bergerak maju, dan realistik.tingkah laku manusia secara keseluruhan di sekitar tendensi, dan polanya ditentukan oleh kemampuan untuk membedakan antara respon yang efektif (menghasilkan rasa senang) dan respon yang tidak efektif (menimbulkan rasa tidak senang).2. Manusia pada dasarnya adalah kooperatif, konstruktif dan dapat dipercaya.3. Manusia memiliki tendensi dan usaha dasar untuk mengaktualisasi pribadi, berprestasi, dan mempertahankan diri.4. Manusia memiliki kemampuan dasar untuk memilih tujuan yang benar, dan membuat pilihan yang benar, apabila ia diberi situasi yang bebas dari ancama. Fungsi dan Peran Terapis dalam client centered therapyPeran terapis mengakar pada cara mereka berada dan bersikap, bukan ditekankan pada sisi teknik. Sikap terapis yang menjadi fasilitator terhadap perubahan pribadi pada klien, pada dasarnya terapis menggunakan dirinya sebagai instrumen perubahan. Manakala terapis berhadapan dengan klien, maka peran terapis menjadi orang yang tidak memegang peran. Fungsi terapis adalah menciptakan iklim terapeutik yang bisa membantu klien untuk tumbuh. Peran terapis di sini adalah menciptakan hubungan yang bersifat menolong di mana klien bisa mengalami kebebasan yang diperlukan dalam rangka menggali kawasan kehidupannya yang saat ini berada dalam kondisi inkongruen.Sikap terapis yang menunjukkan kepedulian, ikhlas, menghargai, menerima, dan mengerti keberadaan klien saat ini. Klien diharapkan mampu mengubah sikap defensif dan berperilaku kaku serta bergerak ke arah keberfungsian pribadi klien yang sebenarnya.Peran terapis dalam membina hubungan dengan klien adalah sangat penting. Terapis sebisa mungkin membatasi diri untuk mengintervensi klien dengan tidak memberikan nasihat, pedoman, kritik, penilaian, tafsiran, rencana, harapan, dan sebagainya, sehingga dia hanya berperan sebagai fasilitator dalam proses konseling.Rogers ( dalam Capuzzi dan Gross, 1995) juga menerangkan bahwa peran konselor client-centered adalah sebagai berikut :1. Menyediakan kondisi terapeutik agar klien dapat menolong dirinya dalam rangka mengaktualisasikan dirinya.2. Memberikan penghargaan yang positif yang tidak terkondisi bagi klien.3. Mendengarkan dan mengobservasi lebih jauh untuk mendapatkan aspek verbal dan emosional klien.4. Memberikan pemahaman empatik untuk melihat kekeliruan dan inkongruensi yang dialami oleh klien.5. Peduli dan ramah.Oleh karena itu tugas utama terapis adalah memahami dunia klien sekomprehensif mungkin dan mendorong klien untuk bertanggung jawab terhadap perbuatan dan keputusan yang diambilnya.Untuk memahami hal tersebut di atas maka terapis harusmemiliki sikap sebagai berikut :1. Menerima (acceptance), sikap yang ditujukan kepada klien agar mau terbuka dan dapat melihat, menerima, dan mengembangkan dirinya sesuai dengan keadaan realistis dirinya.2. Kehangatan (warmth), agar klien merasa aman dan memiliki penilaian yang lebih positif tentang dirinya.3. Tampil apa adanya (genuine). Kewajaran yang ditampilkan oleh konselor kepada klien akan membantu proses konseling. Klien memiliki kesan yang positif terhadap konselor. Diharapkan klien dapat memandang konselor bahwa konselor sungguh-sungguh berniat membantu klien dan klien dapat percaya serta dapat terbuka dalam menyampaikan permasalahannya.4. Empati (emphaty), yaitu menempatkan diri dalam kerangka acuan batiniah (internal frame of reference).5. Penerimaan tanpa syarat (unconditional positive regard), sikap penghargaan tanpa syarat ataupun tuntutan yang ditunjukkan oleh konselor betapapun negatifnya sikap klien akan sangat bermanfaat dalam proses bantuan ini.6. Keterbukaan (transparancy), penampilan konselor yang terbuka pada saat terapi maupun dalam keseharian konselor merupakan hal yang sangat penting bagi klien untuk mempercayai dan menimbulkan rasa aman terhadap sesuatu yang disampaikan klien.7. Kongruensi (congruence), konselor dan klien berada dalam posisi yang sejajar dalam hubungan terapi yang sehat. Sedangkan kualitas konselor bergantung kepada keikhlasan, empati, kehangatan, akurasi, respek, sikap permisif, dan kongruen dalam hubungan terapeutik ini.

2. Cognitive Behavior Therapy (CBT)Cognitive behavior therapy (CBT) merupakan istilah yang digunakan Untuk mendeskripsikan intervensi sikologis yang bertujuan untuk menurunkan distres psikologis dan menghilangkan perilaku maladaptif dengan mengubah proses kognisi (Kaplan, dkk, dalam Stallard, 2004). Menurut Beck & Weishaar (2011)cara seseorang memberikan respon terhadap hal-hal yang terjadi dalam hidupnya dipengaruhi oleh kognisi, afek, motivasi, dan perilaku mereka. Menurut Kendal (dalam Stallard, 2004), CBT memiliki asumsi bahwa afek dan perilaku seseorang dipengaruhi oleh kognisi.CBT efektif untuk mengatasi masalah dalam hubungan interpersonal atau sosial. Adanya distorsi kognitif yang kemudian memunculkan pemikiran atau keyakinan yang salah terhadap sebuah situasi, seperti yang dialami oleh individu saat berada dalam situasi sosial. Penggunaan CBT didasari oleh beberapa alasan, antara lain: a. CBT dapat mengatasi berbagai macam masalah psikologis b. CBT fokus pada satu masalah spesifik c. Terapi yang efisien dalam waktu d. Adanya hubungan yang kolaboratif antara terapis dan klien\e. CBT mempercayai bahwa individu dapat menjadi terapis bagi dirinya sendiri. Prinsip Dasar CBT Dalam CBT terdapat berbagai macam prinsip dasar, keyakinan terhadap individu, masalah individu, dan terapi yang menjadi pokok dari CBT (Westbrook, Kennerley, & Kirk, 2007). Prinsip-prinsip dasar dari CBT adalah: a. Prinsip kognitif Gagasan utama dari terapi yang berkaitan dengan kognitif adalah reaksi emosional dan perilaku individu sangat dipengaruhi oleh kognisi seseorang. Kognisi yang dimaksud adalah pikiran, keyakinan, dan interpretasi tentang dirinya sendiri atau situasi di mana mereka berada. Secara fundamental, kognisi mempengaruhi cara seseorang memaknai segala kejadian dalam hidup mereka. Kognisi membuat tiap orang memiliki pemaknaan dan reaksi emosi yang berbeda-beda terhadap peristiwa yang mereka alami. Menurut CBT, kognisi yang membuat interpretasi tiap individu berbeda. Dapat disimpulkan bahwa perbedaan kognisi memunculkan emosi yang berbeda-beda. CBT mempercayai bahwa pendekatan ini dapat membantu individu yang mengalami masalah dengan mengubah kognisinya mengenai apa yang mereka rasakan. (change their cognition change the way they feel) b. Prinsip behavioral CBT mempertimbangkan perilaku individu penting dalam mempertahankan atau mengubah kondisi psikologis seseorang. CBT mempercayai bahwa perilaku berpengaruh kuat terhadap pikiran dan emosi seseorang. Oleh karena itu, mengubah perilaku individu merupakan cara yang sangat kuat dalam mengubah pikiran dan emosi orang tersebut. c. Prinsip kontinum CBT percaya bahwa lebih baik melihat masalah kesehatan mental sebagai sebuah proses normal yang berlebihan dibandingkan sebagai kondisi patologis. Dapat dikatakan bahwa masalah psikologis berada pada ujung kontinum dan bukan dalam dimensi yang berbeda. Hal ini berarti masalah psikologis dapat terjadi pada setiap orang dan teori CBT berlaku tidak hanya bagi klien namun juga bagi terapis. d. Prinsip here and now Terapi lain, seperti psikodinamika melihat simtom sebagai masalah psikologis. Proses perkembangan, motivasi yang tersembunyi, konflik yang terjadi tanpa disasari menjadi akar dari masalah yang akan ditangani dengan terapi psikodinamika. Sedangkan behavior therapy (BT) melihat simtom sebagai target utama dari terapi dan melihat bahwa simtom terjadi dari proses yang berlangsung sejak lama. CBT sendiri mewarisi pendekatan BT dengan memfokuskan pada kondisi saat ini. Dan yang menjadi perhatian utama adalah proses yang terjadi dalam mengurus masalah yang terjadi. e. Prinsip interaksi antar sistem Prinsip ini melihat masalah sebagai interaksi antara sistem yang ada pada individu dan dengan lingkungannya. Dalam CBT terdapat 4 sistem, yaitu kognisi, afek atau emosi, perilaku, dan fisiologis. Sistem-sistem ini saling berinteraksi dalam sebuah proses kompleks dan juga berinteraksi dengan lingkungan. Lingkungan yang dimaksud adalah lingkungan fisik, sosial, keluarga, budaya, dan ekonomi. Tujuan CBT Dalam bukunya, Stallard (2004) menyatakan tujuan CBT adalah meningkatkan kesadaran diri (self-awareness), memfasilitasi pemahaman diri (self-understanding) agar menjadi lebih baik, dan memperbaiki kontrol diri (self-control) dengan mengembangkan kognisi dan perilaku yang lebih tepat. Menurut Stallard (2004), CBT bertujuan untuk: a. Membantu klien mengidentifikasi semua pemikiran dan keyakinan yang merugikan dirinya. Biasanya pemikiran dan keyakinan yang mereka miliki sifatnya negatif, salah (atau bias), dan cenderung mengkritik diri sendiri. Dalam CBT, klien akan melakukan pemantauan terhadap dirinya, pembelajaran, percobaan, dan pengujian terhadap pemikiran dan keyakinan yang ia miliki sehingga ada perubahan kognisi. Dengan demikian, perubahan kognisi menjadi lebih positif, seimbang, dan bermanfaat bagi klien. b. Identifikasi masalah kognitif dan perilaku yang dialami klien. Selain itu, terapis juga mengajarkan, menguji, mengevaluasi, dan mengkekalkan keterampilan untuk menyelesaikan masalahnya serta memunculkan perilaku baru pada diri klien. c. Pemahaman yang lebih mendalam mengenai sifat dan penyebab munculnya emosi negatif. Sesudah itu menggantinya dengan emosi yang lebih positif atau menyenangkan. d. Meyakinkan klien bahwa mereka mampu untuk menghadapi situasi baru ataupun situasi sulit dengan cara yang lebih sesuai, karena memiliki kognisi dan perilaku yang lebih adaptif.

Tahap pelaksanaan Menurut Beck & Weishaar (2011), pelaksanaan dapat CBT dibagi menjadi tiga sesi, yaitu: a. Sesi inisial Tujuan dari sesi pertama ini adalah melakukan wawancara awal. Diharapkan dengan wawancara awal terapis dapat membangun relasi dengan klien dan memperoleh informasi penting tentang klien. Di wawancara awal, penting bagi terapis untuk bertanya mengenai perasaan dan pemikiran klien mengenai harapan dari terapi yang mereka ikuti. Klien juga diperbolehkan untuk menceritakan terlebih dahulu hal-hal yang membuat mereka ingin mengikuti intervensi atau masalah yang dialami. Menurut Beck, Rush, dkk. (dalam Beck & Weishaar, 2011) diskusi mengenai harapan klien dapat membuat mereka lebih santai. Dari diskusi ini, terapis dapat menjelaskan hubungan antara kognisi dengan afek pada CBT dan membantu klien menyesuaikan diri dengan proses terapi. Salah satunya dengan membangun hubungan kolaboratif dan mengubah anggapan klien yang salah mengenai terapi, seperti mengira bahwa dalam terapi mereka akan diminta atau memperoleh instruksi dari terapis untuk melakukan hal-hal tertentu. Informasi yang diperlukan oleh terapis pada sesi pertama adalah diagnosis, sejarah munculnya keluhan, situasi kehidupan klien saat ini, masalah psikologis yang dialami, sikap klien terhadap terapi, dan motivasi untuk menjalani terapi. Di sesi pertama, terapis perlu merumuskan masalah yang dialami klien. Perumusan masalah dan pengumpulan informasi mengenai latar belakang klien dapat berlangsung selama beberapa kali pertemuan. Hal terpenting adalah pada pertemuan pertama terapis harus fokus terhadap masalah yang spesifik dan dapat memberikan ketenangan atau kelegaan pada klien dengan cepat karena sudah diberikan kesempatan untuk bercerita kepada terapis. Dalam merumuskan masalah, terapis perlu menganalisa dua aspek yang terkait dengan masalah, yaitu aspek fungsional dan kognitif. Analisa fungsional dapat mengindentifikasi elemen masalah, seperti manifestasi dari masalah, di situasi seperti apa masalah biasanya muncul, frekuensi, intensitas, dan durasi kemunculan masalah, serta konsekuensi dari masalah yang dialami. Sedangkan analisa kognitif dapat mengindentifikasi pemikiran dan gambaran yang muncul saat ada pencetus masalah yang sifatnya emosional. Termasuk bagaimana klien merasa mampu mengontrol kedua hal tersebut, bayangan mereka saat mengalami distres, dan kemungkinan munculnya respon saat masalah itu benar-benar terjadi. Pada sesi pertama ini, terapis diperbolehkan untuk lebih aktif. Selain itu, terapis juga dapat memberikan pekerjaan rumah kepada klien. Terapis biasanya mengarahkan klien untuk mengenali hubungan antara pikiran, perasaan, dan perilakunya. Pada sesi selanjutnya, klienlah yang diharapkan menjadi lebih aktif. Salah satunya dengan menentukan sendiri pekerjaan rumah yang akan dikerjakan dan pemberian tugas lebih fokus pada menguji beberapa asumsi spesifik. Selama sesi-sesi awal, perlu dibuat daftar masalah yang dialami klien. Di dalam daftar ini terdapat simtom spesifik, perilaku, ataupun masalah yang sudah ada sejak lama. Setelah itu dibuat urutan prioritas dari masalah yang ada sehingga didapatkan masalah yang ingin diselesaikan terlebih dahulu. Penentuan ini berdasarkan pada tingkat keparahan atau distres yang dialami, kemungkinan penyelesaian masalah, keparahan simtom, dan lamanya masalah ini dialami oleh klien. Jika terapis dapat membantu klien menyelesaikan masalahnya di sesi-sesi awal, keberhasilan ini dapat memotivasi klien untuk membuat perubahan dalam hidupnya. b. Sesi pertengahan dan akhir Setelah melewati sesi-sesi awal, penekanan terapi berganti dari fokus pada simtom yang dialami klien menjadi pola berpikir klien. Hubungan antara pikiran, afek, dan perilaku akan ditunjukkan melalui pengujian pikiran-pikiran otomatis (automatic thoughts). Saat klien menyadari bahwa pikiran-pikirannya yang negatif mempengaruhi keberfungsiannya, maka mereka mempertimbangkan asumsi dasar mengenai hal yang memunculkan pikiran tersebut. Peneliti membantu klien dengan mengajukan berbagai pertanyaan sampai klien menemukan sendiri alasan mengapa ia berpikir seperti itu. Seringkali asumsi tersebut tidak disadari oleh klien dan muncul setelah klien menyadari tema dari pikiran-pikiran otomatis yang dimilikinya. Saat pikiran-pikiran itu diketahui, maka asumsi dasar yang dimiliki klien dapat diintervensi. Setelah itu, asumsi tersebut akan dimodifikasi dengan menguji validitas, kesesuaian dengan hidup klien, dan fungsinya bagi mereka. Di sesi selanjutnya, klien yang akan bertanggung jawab untuk mengidentifikasi masalah, pencarian solusi, dan menentukan sendiri pekerjaan rumah. Terapis tidak lagi menjadi guru, melainkan menjadi penasehat saat klien mulai mampu menggunakan teknik kognitif dalam menyelesaikan masalahnya. Intensitas pertemuan pun semakin berkurang ketika klien tidak lagi tergantung pada terapis. Akan dilakukan terminasi ketika tujuan terapi sudah tercapai dan klien merasa mampu mengaplikasikan keterampilan mereka dan perspektif yang baru dengan mandiri. c. Sesi penyelesaian terapi Di sesi awal, perlu adanya perjanjian mengenai perkiraan lama sesi akan dilakukan. Dengan demikian, klien memahami bahwa akan ada terminasi sesuai dengan perjanjian awal. Di akhir pertemuan, klien seharusnya sudah paham bahwa tujuan dari CBT adalah membuat mereka menjadi terapis bagi dirinya sendiri. Dengan adanya daftar masalah, membuat klien tahu apa yang akan dicapai selama sesi terapi. Pengetahuan akan kemajuan atau keberhasilan dalam menyelesaikan masalah didapatkan dari observasi perilaku, memonitor diri sendiri, lapor diri, dan kuesioner. Selama sesi berlangsung, klien akan mengalami keberhasilan atau kegagalan atau kemunduran, seperti munculnya masalah yang sama di kemudian hari. Hal ini menjadi kesempatan bagi klien untuk mempraktekkan keterampilan mereka yang baru. Menjelang terminasi, klien diingatkan bahwa wajar jika terjadi kegagalan dan meyakinkan bahwa mereka seharusnya mampu mengatasi karena sudah pernah mengatasi masalah tersebut. Terapis akan menanyakan bagaimana klien menyelesaikan masalahnya selama sesi terapi. Terapis juga akan mengajak klien membayangkan tentang apa yang akan mereka lakukan jikamengalami masalah yang sama di kemudian hari dan melihat bagaimana mereka mengatasi hal tersebut. Terminasi biasanya akan diikuti dengan satu atau dua sesi lanjutan, biasanya sebulan setelah terapi selesai. Sesi ini bertujuan untuk melihat pencapaian dan membantu klien menggunakan keterampilan barunya.