Lapsus STEMI + VT

61
BAB I PENDAHULUAN Penyakit jantung koroner telah berkembang menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia. Pada tahun 2020 penyakit jantung koroner dan hipertensi diproyeksikan akan melampaui penyakit infeksi sebagai penyebab utama kematian dan disabilitas diseluruh dunia 1 . Sindrom Koroner Akut (Acute Coronary Syndrome atau ACS) sebagai komplikasi umum dari PJK, diasosiasikan dengan lebih dari 2,5 juta kasus rawat inap di seluruh dunia setiap tahun. Definisi ACS merujuk pada sekumpulan keluhan dan tanda klinis yang sesuai dengan iskemia miokardium akut. ACS terdiri dari beberapa spektrum klinis dalam perjalanan penderita penyakit jantung koroner. Berdasarkan hasil pemeriksaan elektrokardiogram, ACS dapat dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu ACS tanpa elevasi segmen ST (ACS-NSTE) dan ACS dengan elevasi segmen ST (ACS-STE). Angka kejadian ACS- NSTE lebih sering dijumpai daripada ACS-STE dengan angka kematian follow up jangka panjang 2 kali lipat dalam 4 tahun. 2 Acute coronary syndrome merupakan suatu kegawatdaruratan kardiovaskular. Kematian yang diakibatkan ACS paling banyak terjadi dalam empat jam 1

description

laporan kasus stemi + VT

Transcript of Lapsus STEMI + VT

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit jantung koroner telah berkembang menjadi penyebab utama

morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia. Pada tahun 2020 penyakit jantung

koroner dan hipertensi diproyeksikan akan melampaui penyakit infeksi sebagai

penyebab utama kematian dan disabilitas diseluruh dunia1.

Sindrom Koroner Akut (Acute Coronary Syndrome atau ACS) sebagai

komplikasi umum dari PJK, diasosiasikan dengan lebih dari 2,5 juta kasus rawat

inap di seluruh dunia setiap tahun. Definisi ACS merujuk pada sekumpulan

keluhan dan tanda klinis yang sesuai dengan iskemia miokardium akut. ACS

terdiri dari beberapa spektrum klinis dalam perjalanan penderita penyakit jantung

koroner. Berdasarkan hasil pemeriksaan elektrokardiogram, ACS dapat dibagi

menjadi 2 kelompok, yaitu ACS tanpa elevasi segmen ST (ACS-NSTE) dan ACS

dengan elevasi segmen ST (ACS-STE). Angka kejadian ACS-NSTE lebih sering

dijumpai daripada ACS-STE dengan angka kematian follow up jangka panjang 2

kali lipat dalam 4 tahun.2

Acute coronary syndrome merupakan suatu kegawatdaruratan

kardiovaskular. Kematian yang diakibatkan ACS paling banyak terjadi dalam

empat jam setelah awal serangan. Hal ini sangat berhubungan dengan luasnya

infark miokardium. Oleh karena itu upaya membatasi luas infark miokardium

akan menurunkan angka mortalitas akibat ACS.2 Melihat gambaran tersebut maka

dirasakan penting bagi kami sebagai dokter untuk mengetahui bagaimana

evaluasi, tatalaksana, dan follow up pasien dengan sindrom koroner akut melalui

suatu laporan kasus, dalam hal ini penulis membahas mengenai ACS. Pengenalan

gejala, penegakan diagnosis dan penanganan yang tepat dan segera akan

berdampak pada penurunan angkamorbiditas, mortalitas dan prognosis pasien

yang lebih baik.

1

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Acute Coronary Syndrome (ACS) adalah sekumpulan keluhan dan tanda klinis

yang sesuai dengan iskemia miokardium akibat gangguan aliran darah koroner

parsial hingga total dengan gejala utama berupa nyeri dada akut. Berbeda dengan

angina pectoralis stabil (Stable Angina Pectoris) gangguan aliran darah ke

miokardium pada ACS bukan disebabkan oleh penyempitan yang statis namun

akibat pembentukan thrombus di dalam arteri koroner yang bersifat dinamis.

Gejala yang timbul berupa nyeri dada tiba-tiba dengan intensitas nyeri yang

dinamis sesuai dengan derajat penyempitannya.1,2

ACS sendiri merupakan suatu spektrum klinis yang terdiri dari unstable

angina pectoris (UAP), infark miokard tanpa elevasi segmen ST ( Non ST

Elevation Myocardial Infarc atau NSTEMI), dan infark miokard dengan elevasi

segmen ST (ST Elevation Myocardial Infarc atau STEMI). Infark miokard dengan

elevasi segmen ST (STEMI) merupakan bagian dari spectrum ACS yang

menggambarkan cedera miokard transmural akibat oklusi total arteri koroner oleh

thrombus yang bila tidak segera dilakukan revaskularisasi maka akan berakibat

nekrosis miokardium.2

2.2 EPIDEMIOLOGI

Infark miokard akut merupakan salah satu diagnosis rawat inap tersering di negara

maju. Laju mortalitas awal (30 hari) pada IMA adalah 30% dengan lebih dari

separuh kematian terjadi sebelum pasien mencapai rumah sakit. Angka kejadian

NSTEMI lebih sering di bandingkan dengan STEMI.

2.3 ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO

Ada empat faktor risiko biologis infark miokard yang tidak dapat diubah, yaitu

usia, jenis kelamin, ras, dan riwayat keluarga. Risiko aterosklerosis koroner

meningkat seiring bertambahnya usia. Penyakit yang serius jarang terjadi sebelum

2

usia 40 tahun. Faktor risiko lain masih dapat diubah, sehingga berpotensi dapat

memperlambat proses aterogenik. Faktor- faktor tersebut adalah abnormalitas

kadar serum lipid, hipertensi, merokok, diabetes, obesitas, faktor psikososial,

konsumsi buah-buahan, diet dan alkohol, dan aktivitas fisik.2,3

2.4 PATOGENESIS

Patofisiologi ACS pada dasarnya diakibatkan oleh ketidakseimbangan antara

peningkatan kebutuhan oksigen dan penurunan suplai oksigen miokardium. Hal

ini diperberat dengan munculnya obstruksi koroner. Proses obstruksi dipicu oleh

trombosis akut yang diaktivasi dengan adanya ruptur plak atau proses

vasokonstriksi koroner yang berhubungan dengan aktivasi Nitric Oxide (NO)

endogen. Ruptur plak arterosklerotik dianggap sebagai penyebab terpenting pada

ACS, hal ini mengakibatkan terjadinya oklusi sub-total atau total dari pembuluh

koroner yang sebelumnya sudah mengalami penyempitan minimal. Penurunan

aliran darah secara tiba-tiba ini akan memperberat kondisi kurangnya suplai

oksigen ke miokardium. Dua pertiga dari pembuluh koroner yang mengalami

ruptur sebelumnya mempunyai penyempitan sebesar 50% atau kurang, dan pada

97% pasien dengan ACS-NSTE penyempitan yang terjadi kurang dari 70%.3

Oklusi pembuluh darah koroner dipicu oleh rupturnya plak arterosklerotik

yang tak stabil. Plak yang tidak stabil ini memiliki inti lipid yang besar, densitas

otot polos yang rendah, fibrous cap yang tipis, dan konsentrasi faktor jaringan

yang tinggi. Inti lemak yang cenderung ruptur memiliki tingkat ester kolesterol

dengan proporsi asam lemak tak jenuh yang tinggi. Terjadinya ruptur

menyebabkan aktivasi, adhesi dan agregasi platelet dan menyebabkan aktivasi

terbentuknya trombus. Bila trombus mengakibatkan oklusi total pembuluh darah

koroner, maka akan terjadi infark miokardium dengan gambaran elevasi segmen

ST, sedangkan bila trombus tidak mengakibatkan oklusi total atau hanya

menimbulkan stenosis yang berat akan terjadi ACS-NSTE atau unstable angina

pectoris (UAP).3,5

3

2.5 GAMBARAN KLINIS DAN DIAGNOSIS

Keluhan utama sindroma koroner akut adalah nyeri dada tipikal. Diagnosis kerja

ACS-STE dan ACS-NSTE merupakan suatu diagnosis rule out berdasarkan hasil

rekaman EKG. Penanda biologis khususnya troponin berguna untuk membedakan

NSTEMI dengan UAP. Modalitas imaging pada ACS berguna untuk menyisihkan

diagnosis banding.3,4

MANIFESTASI KLINIS

Keluhan yang dialami pasien merupakan hal yang sangat penting dalam diagnosis

ACS baik STE maupun NSTE. Presentasi klinis ACS-NSTE dan STE mencakup

gejala yang bervariasi, yaitu gejala prodormal berupa rasa lelah, tidak nyaman

pada dada, atau malaise beberapa hari sebelum keluhan utama muncul atau pada

ACS-STE gejala dapat muncul mendadak.

Nyeri khas pada ACS adalah nyeri retrosternal yang terasa seperti tertekan

benda berat/terasa berat, menjalar hingga ke lengan kiri, leher, atau rahang. Nyeri

bisa terjadi secara intermiten atau persisten. Keluhan ini biasanya disertai dengan

keluhan diaphoresis, mual, muntah, nyeri abdominal, dan sinkop.1 Beberapa

keluhan yang tidak khas bisa muncul, antara lain : nyeri epigastrium, indigestion,

nyeri dada seperti tertusuk, nyeri dada dengan ciri pleuritik, dan sesak nafas.

Keluhan atipikal ini sering ditemukan pada pasien yang berumur tua (> 75 tahun),

wanita, dementia dan pasien dengan gagal ginjal kronis.5,6 Pasien yang datang

dengan STEMI kebanyakan memiliki riwayat angina atau penyakit jantung

koroner, usia lanjut, dan kebanyakan laki-laki. Kejadian sebagian besar timbul

pada pagi hari, berhubungan dengan aktivitas neurohormonal dan sistem saraf

simpatis.2

PEMERIKSAAN FISIK

Tujuan penting dari pemeriksaan fisik adalah untuk mengeksklusi penyebab non-

iskemik dan non-kardiak dari nyeri dada (pulmonary embolism, pericarditis,

penyakit jantung katup, efusi pleura, pneumothorax). Pemeriksaan fisik pada ACS

umumnya adalah normal. Terkadang pasien terlihat cemas, keringat dingin atau

ditemukan tanda komplikasi berupa takipneu, takikardi-bradikardi, suara gallop

4

S3, ronki basah halus di paru, atau terdengar bising jantung (murmur). Bila tidak

terdapat komplikasi hampir tidak ditemukan kelainan yang berarti. Perbedaan

tekanan darah antara tungkai atas dan bawah, murmur, nadi ireguler, friction rub,

nyeri palpasi, dan masa abdominal dapat digunakan sebagai petunjuk untuk

diagnosis selain ACS.4,5

Kematian pada pasien STEMI sebagian besar terjadi pada jam-jam

pertama setelah serangan akibat gangguan irama ventricular fibrillation dimana

kejadian tersebut sering terjadi sebelum pasien mencapai fasilitas kesehatan. Pada

pemeriksaan fisik dapat dijumpai tanda sebagai berikut2:

Umum : Pasien tampak cemas, sesak, keringat dingin, tanda Levine (tangan

mengepal di dada) dengan tekanan darah normal maupun cenderung meningkat

Leher : Tampak normal atau tampak sedikit peningkatan JVP

Jantung : Takikardia dengan S1 lemah, dapat muncul S4 maupun S3, murmur

sistolik

Paru : terdapat ronkhi atau wheezing bila terdapat gagal jantung

Ekstrimitas : normal atau terdapat tanda penyakit vascular perifer

Aspek penting dalam pemeriksaan fisik adalah pengkajian gejala dan tanda

dari perburukan gagal jantung. Klasifikasi Killip dapat digunakan untuk

mengevaluasi status hemodinamik akibat cedera miokard dan memberikan

gambaran mengenai prognosis pasien2:

I. Tidak ada tanda CHF (Mortalitas 5.1% dalam 30 hari)

II. Ronkhi disertai peningkatan JVP atau S3 (Mortalitas 13.6% dalam 30 hari)

III. Edema paru (Mortalitas 32.2% dalam 30 hari)

IV. Syok Kardiogenik (Mortalitas 57.8% dalam 30 hari)

PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Elektrokardiogram (EKG)

Penggunaan EKG 12-lead saat istirahat adalah alat diagnosis lini pertama untuk

penilaian pasien yang dicurigai mengalami ACS. EKG harus didapatkan dalam

10 menit setelah kontak medis pertama, baik itu saat pasien datang ke ruang

emergensi atau saat kontak pertama dengan emergency medical services pada

5

situasi pra-hospital, dan harus segera diinterpretasi oleh dokter yang

berkualifikasi. Karakteristik gambaran EKG pada ACS-NSTE dapat berupa

depresi segmen ST atau inversi gelombang T dinamis serta gambaran EKG

non-diagnostik (normal atau hanya terdapat perubahan minimal). Elevasi

segmen ST yang persisten (>20 menit) mengarahkan ke diagnosis ACS-STE.

Perekaman EKG sebaiknya diulangi pada 6, 9, dan 24 jam setelah perekaman

EKG pertama.1 Perlu diperhatikan bahwa EKG normal tidak mengeksklusi

kemungkinan ACS-NSTE dan adanya elevasi segmen ST pada EKG tanpa

gejala klinis menunjukan penyebab lain selain infark miokard.2

Tabel 1. Lokasi infark berdasarkan perubahan gambaran EKG

2. Biomarker Jantung

Troponin jantung memiliki peran utama dalam menegakkan diagnosis,

stratifikasi risiko, dan untuk membedakan NSTEMI dan angina tidak stabil

(UAP). Troponin lebih sensitif dan spesifik dibandingkan dengan penanda

6

enzim jantung lainnya seperti creatinine kinase (CK) dengan isoenzimnya

(CK-MB), dan myoglobin. Troponin berfungsi mengatur interaksi kerja

filamen aktin dan myosin dalam otot jantung.2,4 Enzim ini mulai meningkat

pada jam ke-3 hingga jam ke-12 setelah onset iskemik. Mencapai puncak pada

12-24 jam dan masih tetap tinggi sampai hari ke-8-21 (troponin-T) dan 7-14

(troponin-I).5,6

Troponin merupakan protein kontraktil yang biasanya tidak ditemukan

dalam serum. Pelepasan troponin menunjukkan adanya kerusakan selular

miokardium. Troponin-T memiliki kinetika perilisan mirip dengan troponin-I,

dan kadarnya tetap tinggi selama 14 hari. Tidak ada perbedaan yang

fundamental antara troponin-T dan troponin-I. Nilai cut-off untuk diagnosis

infark miokardium adalah kadar troponin yang melebihi persentil-99 dari

referensi nilai normal.4 Perlu diperhatikan bahwa troponin juga bisa terdeteksi

apabila tubuh mengalami kondisi seperti gagal ginjal akut/kronis, stroke, krisis

hipertensi, miokarditis, takiaritmia atau bradiaritmia, dan emboli pulmoner.

Beberapa kondisi seperti emboli pulmoner dan diseksi aorta dapat

menimbulkan gejala nyeri dada sehingga harus selalu dipertimbangkan sebagai

diagnosis banding.3,5

Myoglobin merupakan suatu protein yang dilepaskan dari sel miokardium

yang mengalami kerusakan, dapat meningkat setelah jam-jam awal terjadinya

infark dan dapat mencapai puncak pada jam ke-1 hingga jam ke-4 dan tetap

tinggi sampai 24 jam. CK-MB merupakan isoenzim dari creatinin kinase yang

merupakan konsentrasi terbesar dari miokardium. Dalam jumlah kecil CK-MB

juga dapat dijumpai di otot rangka, usus kecil atau diafragma. Mulai meningkat

3 jam setelah infark dan mencapai puncak selama 12-14 jam. CKMB akan

mulai menghilang dalam darah setelah 48-72 jam infark miokard terjadi.3,5

3. Imaging

Ekokardiografi (Echocardiography) adalah modalitas imaging non-invasif

yang paling penting untuk mendiagnosis infark miokardium pada kondisi akut.

Fungsi sistolik ventrikel kiri adalah penanda prognosis penting pada pasien

7

dengan PJK dan dapat dinilai secara cepat dan mudah. Selain itu,

ekokardiografi dapat menyingkirkan diagnosis banding lainnya seperti diseksi

aorta, stenosis aorta, emboli paru, kardiomiopati hipertrofik, dan efusi

perikardial. Ekokardiografi sebaiknya tersedia pada kondisi akut dan

digunakan pada semua pasien yang dicurigai mengalami infark miokard.

Beberapa modalitas lain yang dapat digunakan untuk mendeteksi adanya

iskemia atau viabilitas miokardium adalah Cardiac Magnetic Resonance

(CMR), Nuclear Myocardial Perfusion Imaging, Rest Myocardial

Scintigraphy, dan CT-Angiography. Tetapi modalitas tersebut tidak praktis dan

belum tersedia pada semua fasilitas kesehatan.5,6

Coronary Angiography menyediakan informasi unik tentang adanya dan

tingkat keparahan penyakit arteri koroner. Karenanya pemeriksaan ini

merupakan Gold Standard. Guideline ESC merekomendasikan untuk

melakukan angiogram sebelum dan setelah pemberian vasodilator untuk

menentukan vasokonstriksi dan offset dari komponen dinamis yang terjadi pada

sindrom koroner akut. Angiografi sebaiknya dilakukan pada kondisi akut dan

digunakan untuk menentukan diagnosis apabila diagnosis banding yang lain

masih belum bisa ditegakkan.7,8

2.6 DIAGNOSIS BANDING

Beberapa penyakit kardiak dan non-kardiak dapat menimbulkan gejala yang mirip

dengan ACS yang ditunjukkan dalam tabel di bawah.

Tabel 2. Penyakit kardiak dan non-kardiak dengan gejala menyerupai ACS6

8

2.7 PENATALAKSANAAN

Pada unit gawat darurat, tujuan terapi pada pasien dengan suspek STEMI meliputi

penanganan nyeri dada, identifikasi cepat pasien yang membutuhkan terapi

reperfusi yang segera, serta penghindaran dari kesalahan memulangkan pasien

dengan STEMI.

Gambar 1. Implementasi terapi ACS serta estimasi waktu yang optimal11

1. TERAPI AWAL

Aspirin penting dalam manajemen pasien dengan suspek STEMI dan efektif pada

seluruh spektrum dari ACS. Inhibisi yang cepat dari COX-1 pada platelet diikuti

9

dengan penurunan level tromboxan A2 dicapai melalui absorpsi bukal aspirin

160-325 mg. Dosis ini dilanjutkan dengan pemberian aspirin oral setiap hari

dengan dosis 75-162 mg.8,11

Pada pasien dengan saturasi O2 arteri yang normal, pemberian suplemental

O2 tidak memberikan dampak klinis yang berarti dan tidak cost-effective. Namun

apabila terdapat hipoksemia, O2 harus diberikan melalui kanul nasal atau masker

(2-4L/m) dalam 6-12 jam setelah kejadian infark.9

Penanganan Nyeri Dada

Nitrogliserin sublingual dapat diberikan secara aman pada sebagian besar pasien

dengan STEMI, dengan dosis 0,4 mg dengan interval 5 menit sampai dengan tiga

kali dosis pemberian.9 Selain dapat menurunkan nyeri dada, nitrogliserin dapat

menurunkan kebutuhan oksigen myokardium (dengan menurunkan preload) serta

meningkatkan suplai oksigen myokardium (dengan melebarkan pembuluh darah

koroner serta kolateralnya). Pada pasien yang tidak merespon terhadap pemberian

nitrogliserin oral dengan adanya bukti sedang terjadia iskemia lebih lanjut, dapat

dipertimbangkan pemberian nitrogliserin intravena. Nitrogliserin intravena dapat

diberikan secara aman apabila dosis diberikan secara titrasi untuk mernghindari

induksi reflex takikardia atau hiporensi sistemik. Terapi dengan nitrat seharusnya

dihindari pada pasien dengan tekanan sistolik yang rendah (<90 mmHg) atau pada

pasien dengan kecurigaan infark ventrikel kanan (infark inferior pada EKG,

terdapat peningkatan JVP, dan hipotensi). Pasien dengan infark inferior sensitif

terhadap penurunan preload yang besar, dalam kasus tersebut venodilatasi akibat

pemberian nitrat dapat mengganggu cardiac output dan menurunkan aliran darah

koroner, sehingga malah dapat memperburuk oksigenasi myokardium. Reaksi

terhadap nitrat yang ditandai dengan hipotensi dapat terjadi, akan tetapi dapat

ditangani dengan pemberian cepat atropin intravena. 9,11

Morfin merupakan analgetik yang sangat efektif terhadap nyeri pada

STEMI. Namun, efek lainnya dapat menurunkan konstriksi simpatis venosa dan

arteriol dan menyebabkan pooling venosa sehingga menurunkan cardiac output

dan tekanan arteri. Gangguan hemodinamik tersebut biasanya merespon positif

10

dengan elevasi tungkai, akan tetapi beberapa pasien membutuhkan salin intravena

dengan tujuan ekspansi volume. Morfin juga memiliki efek vagotonik dan dapat

menyebabkan bradikardia dan blok jantung, yang lebih sering terjadi pada pasien

dengan infark inferior. Efek samping ini biasanya merespon terhadap pemberian

atropin 0,5 mg intravena. Morfin diberikan dengan injeksi intravena dengan dosis

kecil (2-4 mg) secara berulang setiap 5 menit.3,9,11

Beta bloker intravena juga berguna terhadap pengendalian nyeri pada

STEMI. Obat ini mengurangi nteri dada secara efektif pada beberapa pasien,

diduga dengan menurunkan kebutuhan O2 myokardium. Beta bloker intravena

menurunkan risiko infark berulang dan fibrilasi ventrikel. Regimen yang sering

digunakan adalah metoprolol, 5 mg dengan interval 2-5 menit dengan total 3

dosis. Selanjutnya, 15 menit sejak pemberian dosis intravena terakhir, regimen

oral diberikan dengan dosis awal 50 mg setial 6 jam selama 48 jam, diikuti

dengan dosis 100 mg setiap 12 jam.9,10

2. REPERFUSI

Sekitar sepertiga kasus STEMI dapat mengalami reperfusi spontan dalam 24 jam

dan mengalami proses penyembuhan pada jaringan infark, Reperfusi, baik yang

dicapai secara farmakologi (fibrinolisis) maupun dengan PCI, mempercepat

pembukaan arteri pada pasien dengan dengan fibrinolisis spontan. Proteksi

terhadap myokardium yang mengalami iskemia dengan cara mempertahankan

keseimbangan yang optimal antara suplai dan kebutuhan O2 myokardium,

penanganan gagal jantung kongestif, dan meminimalisir takikardia dan hipertensi,

dapat memperpanjang waktu sampai dilakukannya terapi reperfusi.11

1. Fibrinolisis

Fibrinolisis idealnya dilakukan dalam jangka waktu 30 menit sejak masuk

rumah sakit. Agen fibrinolitik yang digunakan antara lain tissue plasminogen

activator (tPA), streptokinase, tenecteplase (TNK), dan reteplase (rPA). Obat

tersebut bekerja dengan membantu konversi plasminogen menjadi plasmin

dimana dapat melisiskan fibrintrombus. Terapi fibrinolitik dapat menurunkan

risiko relatif mortalitas di rumah sakit sampai dengan 50% apabila diberikan

11

pada 1 jam pertama dari onset gejala, dan manfaat ini sebagian besar bertahan

sampai dengan 10 tahun. Pasien yang mendapat terapi dalam 1-3 jam pertama

mendapat manfaat terapi yang paling besar. Manfaat terapi masih didapatkan

pada pasien yang diterapi 3-6 jam pertama, dan masih memungkinkan sampai

dengan 12 jam pertama terutama apabila masih terdapat nyeri dada dan elevasi

segmen ST.

Agen fibrinolitik tPA, rPA., dan TNK lebih efektif dibandingkan dengan

streptokinase untuk mengembalikan perfusi secara penuh. Regimen tPA yang

direkomendasikan adalah bolus 15 mg diikuti 50 mg intravena dalam 30 menit

pertama, diikuti 35 mg sampai 60 menit berikutnya. Streptokinasi diberikan

dengan dosis 1,5 million units (MU) intravena dalam 1 jam. rPA diberikan

dalam regimen bolus ganda, terdiri dari bolus 10 MU selama 2-3 menit, diikuti

dengan bolus kedua 10 MU 30 menit kemudian. TNK diberikan secara bolus

intravena dengan dosis 0,53 mg/kbBB selama 10 detik. Pada terapi fibrinolitik

juga tetap diberikan antiplatelet dan antitrombotik sebagai terapi

tambahan.2,3,9,11

Tabel 3. Kontraindikasi dilakukan terapi fibrinolisis9

2. Primary Percutaneous Coronary Intervention (PCI)

PCI, dengan angioplasti dan/atau stenting tanpa fibrinolisis, disebut Primary

PCI, yang efektif untuk mengembalikan perfusi pada STEMI. Primary PCI

lebih dipilih apabila diagnosis meragukan, terdapat syok kardiogenik, terdapat

risiko perdarahan yang tinggi, atau gejala sudah muncul selama 2-3 jam

12

dimana pembekuan sudah lebih sulit untuk dihancurkan dengan terapi

fibrinolisis. Waktu optimal untuk dilakukannya PCI adalah 90-120 menit

setelah terjadinya gejala.

TATALAKSANA LANJUTAN DI RUMAH SAKIT

Ruang Intensif/ Coronary Care Unit

Durasi perawatan di ruangan intensif ditentukan oleh beberapa hal. Apabila gejala

dapat dikontrol dengan terapi oral, pasien dapat dipindahkan ke ruangan biasa.

Selain itu apabila pasien yang sudah terdiagnosis STEMI akan tetapi tergolong

low risk (tanpa riwayat infark sebelumnya, tanpa nyeri dada persisten, tidak

terdapat CHF, hipotensi, atau aritmia) dapat dipindahkan setelah 24 jam.11

Aktivitas

Pasien dengan STEMI harus tetap bed rest selama 12 jam pertama. Apabila tidak

terdapat komplikasi, pasien dituntun untuk duduk setelah 24 jam. Latihan ini

berguna untuk menurunkan tekanan kapiler paru. Apabila tidak terdapat hipotensi

dan komplikasi lainnya, pasien dapat mobilisasi di dalam kamar dalam 2-3 hari,

dengan perlahan-lahan ditingkatkan durasi dan frekuensinya.11

Diet

Oleh karena terdapat risiko muntah dan aspirasi segera setelah STEMI, pasien

diharuskan untuk puasa atau hanya diperbolehkan meminum air putih dalam 4-12

jam pertama. Untuk diet selanjutnya, porsi makanan secukupnya dan dengan

kadar potasium, magnesium, dan serat yang tinggi, akan tetapi dengan kadar

natrium dan glukosa yang rendah.10,11

Pencernaan

Bed rest dan efek narkotika yang digunakan untuk penanganan nyeri sering

berakibat pada terjadinya komplikasi. Pada kasus STEMI diberikan diet kaya serat

dan penggunaan rutin pelunak feses dan laksatif.

Sedasi

Sebagian besar pasien membutuhkan sedasi selama perawatan, untuk menangani

kegelisahan akibat tidak melakukan aktivitas. Obat yang dapat diberikan antara

13

lain diazepam (5 mg), oxazepam (15-30 mg), atau lorazepam (0,5-2 mg) 3-4 kali

sehari.

Farmakoterapi

1. Agen Antitrombotik

- P2Y12 ADP Receptor Antagonist

Penggunanaan clopidogrel dikombinasikan dengan aspirin pada STEMI dapat

menurunkan risiko komplikasi lanjutan (kematian, infark berulang, dan stroke)

dan dapat mencegah oklusi berulang pada pasien yang sudah mendapat terapi

fibrolitik. Obat terbaru yaitu prasugrel dan ticagrelor lebih efektif dibandingkan

clopidogrel dalam mencegah komplikasi iskemik pada pasien STEMI yang

menjalani terapi PCI, akan tetapi juga meningkatkan risiko perdarahan.6,7

- Unfractionated Heparin (UFH)

Sepertiga dari molekul yang ada di UFH mengikat anti-trombin dan

meningkatkan fungsinya dalam menghambat faktor Xa. Penghambatan faktor

IIa memerlukan heparin yang mengikat thrombin dan anti-thrombin sekaligus

menghubungkan mereka. Rute pemberian UFH adalah melalui injeksi

intravena. Rentang terapeutiknya sempit dan memerlukan monitoring aPTT

(target maksimum 50-75 detik). Dosis yang direkomendasikan adalah bolus

inisial 60 U/kg (maksimum 4000 U), diikuti dengan titrasi 12 U/kg per jam

(maksimum 1000 U/jam).6,9

- Low Molecular Weight Heparin (LMWH)

LMWH memiliki efek anti-faktor Xa dan anti-faktor IIa yang seimbang sesuai

dengan berat molekulnya, semakin besar berat molekulnya semakin besar pula

aktivitas anti-IIa tersebut. LMWH memiliki beberapa keuntungan dari UFH,

yakni absorbsi komplit setelah injeksi subkutan, efek pengikat protein yang

lebih rendah, efek aktivasi platelet yang lebih rendah, dan hubungan dosis-efek

terapueutik yang lebih bisa diprediksi. LMWH dikontraindikasikan pada kasus

gagal ginjal dengan klirens kreatinin kurang dari 30 mL/menit. Pada

enoxaparin, penyesuaian dosis masih bisa dilakukan apabila pasien memiliki

klirens kreatinin < 30 mL/menit yakni mengurangi dosis menjadi 1mg/kgbb

sekali pemberian.6,9 Terapi dengan enoxaparin memiliki risiko tinggi terjadinya

14

perdarahan , akan tetapi enoxaparin terbukti menurunkan risiko infark berulang

dibandingkan dengan UFH pada pasien STEMI yang mendapat terapi

fibrinolisis, sehingga memiliki manfaat klinis yang lebih besar. 6,9,11

Gambar 2. Antitrombus dan site of action

2. Beta-adrenoreceptor Blockers

Beta bloker oral diberikan pada 24 jam pertama pada pasien yang tidak

memiliki riwayat atau gejala gagal jantung, low-output state, risiko tinggi syok

kardiogenik, dan kontraindikasi relatif lainnya seperti pemanjangan PR

interval, AV blok derajat II-III, asma aktif, serta penyakit paru lainnya yang

reaktif. Obat tersebut dilanjutkan selama jangka panjang pada pasien STEMI

dan yang tidak memiliki kontraindikasi.

3. ACE inhibitor/ARB

Terdapat manfaat klinis ACE inhibitor apabila diberikan pada pasien high-risk,

yaitu pasien lansia, pasien dengan infark anterior, riwayat infark sebelumnya,

dan disfungsi ventrikel kiri. ACE inhibitor dapat diberikan pada seluruh pasien

STEMI dengan keadaan hemodinamik yang stabil, yaitu dengan tekanan

sistolik >100 mmHg. Mekanisme kerjanya berupa penurunan remodelling

ventrikel setelah infark sehingga menurunkan risiko CHF, serta juga

menurunkan angka kejadian infark berulang apabila mendapat terapi ACE

15

inhibitor jangka panjang. ARB diberikan pada pasien yang intoleran terhadap

ACE inhibitor dan pada pasien yang terdapat gejala klinis dan radiologi yang

mengarah ke gagal jantung.

4. Nitrat

Terapi lainnya yang diberikan meliputi pemberian nitrogliserin intravena

dengan dosis inisial 5-10 gram/menit dan dapat mencapai 200 gram/menit

selama stabilitas hemodinamik dapat dipertahankan, dalam 24-48 jam pertama.

5. Statin

Selain itu juga diberikan terapi lipid, yaitu dengan statin yang dapat

menurunkan risiko kematian, infark berulang, dan stroke. Terapi statin dengan

intensitas tinggi harus diberikan dan dipertahankan selama jangka panjang

pada pasien STEMI dan tidak terdapat kontraindikasi terhadap pengobatan

statin.

6. Lainnya

Glukokortikoid dan NSAID, dengan pengecualian aspirin, harus dihindari pada

pasien dengan STEMI. Obat tersebut dapat mengganggu proses penyembuhan

infark dan meningkatkan risiko ruptur myokardium, sehingga dapat berujung

pada pelebaran jaringan infark. Selain itu, obat-obatan tersebut juga dapat

meningkatkan resistensi arteri koroner, sehingga dapat menurunkan aliran

darah ke myokardium yang mengalami iskemia.

2.8 KOMPLIKASI

Komplikasi yang dapat terjadi setelah serangan, antara lain:

1. Disfungsi ventrikel

2. Gangguan hemodinamik

3. Syok kardiogenik

4. Aritmia

Aritmia dapat terjadi pada fase awal atau lambat setelah onset gejala STEMI.

Mekanisme yang terjadi antara lain ketidakseimbangan sistam saraf otonom,

gangguan elektrolit, iskemia, dan gangguan konduksi di area myokardium yang

mengalami iskemia. Pada iskemia akut, yang lebih dominan terjadi adalah

16

proses automatisitas, dimana terdapat ketidakseimbangan elektrolit yaitu

peningkatan potasium ekstraseluler yang menyebabkan terjadinya depolarisasi

myokardiosit dan meningkatkan eksitabilitas sel pada fase awal iskemia. Selain

itu juga menyebabkan penurunan kecepatan konduksi dan memperpendek

durasi aksi potensial. Perubahan ini merangsang timbulnya automatisitas pada

otot jantung yang normal dan menginisiasi VT.11,12

Pada aritmia yang terjadi lebih lambat, biasanya disebabkan karena adanya

proses reentry akibat adanya beberapa otot yang sehat diantara jaringan

infark/parut. Penanganan yang dibutuhkan pada aritmia tipe tersebut adalah

ablasia, dimana dapat secara sukses menghilangkan aritmia.13

Aritmia yang terjadi pada fase awal (24-48 jam) biasanya tidak

membutuhkan terapi jangka panjang. Akan tetapi, aritmia yang terjadi lebih

lambat membutuhkan terapi jangka panjang karena berhubungan dengan risiko

tinggi serangan jantung dan kematian. Beberapa tipe aritmia yang biasanya

terjadi pada STEMI, antara lain:

- Ventricular premature beats

- Ventricular tachycardia (VT) dan ventricular fibrillation (VF)

VT dan VF dapat terjadi dalam 24 jam pertama tanpa tanda aritmia

sebelumnya. Terjadinya VT dapat diturunkan dengan pemberian profilaksis

lidokain intravena. Akan tetapi, menurut penelitian, profilaksis lidokain tidak

menurunkan mortalitas dari STEMI, malah terdapat beberapa komplikasi lain

berupa bradikardia dan asistol. Dengan adanya manajemen kardioversi dan

defibrilasi yang memberikan hasil yang baik, penggunaan lidokain sebagai

profilaksis rutin tidak direkomendasikan lagi. Akan tetapi pada penggunaan

yang selektif untuk terapi antiaritmia tidak ditemukan peningkatan angka

mortalitas.

VT yang terjadi tanpa gangguan hemodinamik dapat diterapi dengan

regimen amiodaron intravena dengan dosis bolus 150 mg dalam 10 menit,

diikuti dengan infusi 1 mg/menit dalam 6 jam, dan selanjutnya dipertahankan

0,5 mg/menit. Selain itu juga dapat dipergunakan procainamide dengan dosis

bolus 15 mg/kg dalam 20-30 menit, dilanjutkan dengan infusi 1-4 mg/menit.

17

Apabila dengan terapi tersebut aritmia tidak teratasi, dilakukan elektroversi

unsynchronized sebanyak 200-300 J (monofasik) segera.11,12,13

- Accelerated Idioventricular Rhythm (AIVR)

Accelerated idioventricular rhythm (AIVR, "slow ventricular tachycardia"),

merupakan gelombang ventrikuler dengan laju 60-100 kali permenit, sering

terjadi sementara selama terapi fibrinolitik atau reperfusi spontan. Sebagian

besar AIVR tidak membahayakan, self limited, dan tidak membutuhkan terapi

apabila pasien diobservasi dengan ketat karena AIVR jarang berkembang

menjadi aritmia yang lebih serius. Pasien AIVR dengan infark ventrikel

kanan berisiko akan terjadinya bradiaritmia dan konsekuensi hemodinamik

dari AIVR.11

- Supraventricular arrhythmias

5. Sinus bradikardi

6. Gangguan konduksi atrioventrikuler dan intraventrikuler

7. Komplikasi lainnya, antara lain nyeri dada berulang, perikarditis,

tromboemboli, aneurisma ventrikel kiri11

18

BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 IDENTITAS PASIEN

Nama : PS

Umur : 50 tahun

Jenis kelamin : Laki - laki

Agama : Hindu

Pekerjaan : Swasta

Alamat : Bd Sekarsari Ds Banjar

Tanggal MRS : 29 Mei 2015 (Pk 08.14 WITA)

3.2 ANAMNESIS

Keluhan Utama: Nyeri dada

Riwayat Penyakit Sekarang:

Nyeri dada dirasakan di tengah menjalar sampai sisi kiri dada, serta bahu

kiri serta lengan kiri sejak 45 menit SMRS. Nyeri dikatakan seperti

tertekan, kadang terasa tertusuk. Pasien juga mengeluh mual dan muntah

sejak munculnya keluhan nyeri dada, dengan frekuensi muntah 2x, isi

makanan warna tidak kuning. Selain itu pasien juga berkeringat dingin.

Nyeri ulu hati serta rasa pahit di mulut disangkal. BAK normal, warna

kuning. BAB normal, warna coklat, konsistensi normal.

Riwayat Penyakit Dahulu:

Riwayat hipertensi sejak 5 tahun yang lalu, mengonsumsi obat rutin 1 kali

sehari, akan tetapi pasien lupa nama obat serta tidak mengonsumsi obat

tersebut sudah sejak 1 minggu. Riwayat penyakit sistemik lainnya

disangkal. Riwayat alergi obat-obatan disangkal.

Riwayat Pengobatan:

Pasien saat ini sedang mengonsumsi obat Furosemid 1 x 40 mg, alopurinol

3 x 100 mg, Meloxicam 2 x 15 mg, Lasgan 1 x 30 mg.

Riwayat Sosial:

19

Riwayat merokok sejak muda, kira-kira habis 1 bungkus per hari, akan

tetapi sudah berhenti sejak 5 tahun yang lalu. Riwayat minum alkohol

disangkal. Pasien bekerja sebagai pedagang dimana aktivitasnya hanya

berdagang dan di rumah, serta tidak pernah berolahraga.

3.3 PEMERIKSAAN FISIK

Status vital

Kesadaran : Compos Mentis, GCS E4V5M6

KU : Sedang, gelisah

TD : 140/100 mmHg

RR : 26x/mnt

HR : 90x/mnt

Temp axilla : 37,10C

VAS : 4-5

SpO2: 99%

Status general

Mata: konjungtiva anemis -/-, sklera ikterus -/-

THT: kesan tenang

Thorax :

Inspeksi: simetris, barrel chest (-)

Palpasi: gerakan dinamis dada simetris, VF simetris

Perkusi: sonor/sonor, batas jantung tidak melebar

Auskultasi: suara nafas vesikuler +/+, ronkhi , wheezing

S1S2 tunggal reguler, murmur (-)

Abdomen: Inspeksi: distensi (-)

Auskultasi: bising usus (+) normal

Palpasi: nyeri tekan (-), ballotement -/-, hepar/lien tidak teraba

Perkusi: timpani

20

Ekstremitas atas : hangat , edema , CRT < 2 detik

3.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Darah Lengkap: WBC 23,2; Hb 14,1; HCT 43,6; PLT 298

Kimia: BUN 29; SC 1,26; SGOT 19; SGPT 17; Na 127,7; K 3,05; Cl 101,7;

GDA 106 mg/dL

EKG: Irama sinus, HR 76x/m; Q patologis I, aVL, V3-V6, ST elevasi I, aVL,

V3-V6; ST depresi II, III, aVF; T inversi II, III, aVF; T hiperakut V2-V6

3.5 DIAGNOSIS

Infark Myokard Akut (IMA) Anterior Ekstensif

Hipertensi grade I

Hiponatremia + Hipokalemia

3.6 PLANNING

Diagnosis:

- Ro Thorax

Pengobatan:

IRD

- O2 4 lpm

- Aspilet 160 mg tab

- ISDN 5 mg tab SL

- CPG 300 mg tab

- Morphine 2 mg IV, 3x pemberian

di IRD

- NaCl 0,9% 12 tpm

Advice dr Sp.JP

- Rawat Intensif

- Isoket 1 mg/kgBB/jam

- Lovenox 0,3 cc IV bolus --> 15

menit kemudian dilanjutkan 0,3

cc SC --> maintenance 2 x 0,6 cc

s/d 10x

- Aspilet 160 mg tab

- CPG 300 mg tab

- Koreksi elektrolit

21

3.7 PROGNOSIS

Dubius

22

3.8 FOLLOW UP

Tgl Ruang S O A P

29/5/15 ICU Nyeri dada bertambah

berat, pasien kesakitan

TD 132/87

N 108x/menit

RR 24x/menit

Tax 36,8oC

SpO2 98%

VAS: 6-7

EKG (monitor):

gelombang ventrikel

dengan laju

80x/menit; P wave

(-), QRS complex

melebar.

AMI anterior ekstensif +

HT + Hiponatremia +

Hipokalemia + VT

Lidocaine 40 mg IV

bolus (dicairkan dalam

10 cc aquabidest)

Cordarone 300 mg

dalam D5% 100 cc habis

dalam 30 menit

O2 4 lpm

RL 20 tpm

Isoket 0,5 mg/kgBB/jam

Tyarit 3 x 200 mg

Aspilet 1 x 80 mg

CPG 1 x 75 mg

Lovenox 2 x 0,6 cc

Simvastatin 0-0-20 mg

Ceftriaxon 2x1 gr

23

Ranitidin 2 x 50 mg

Laxadine 3 x CI

Alprazolam 1 x 0,25 mg

Koreksi Kalium dengan

KCl drip

30/5/15 ICU Nyeri dada

Perdarahan (-)

TD 110/60

N 95x/menit

RR 22x/menit

SpO2 99%

Na: 135,8

K: 3,17

Cl: 99,5

AMI anterior ekstensif +

HT + VT +

Hiponatremia

Hipokalemia

(terkoreksi)

O2 4 lpm

RL 20 tpm

Isoket 0,5 mg/kgBB/jam

-> STOP

+ ISDN 3 x 5 mg

+ Ramipril 2 x 5 mg

Tyarit 3 x 200 mg

Aspilet 1 x 80 mg

CPG 1 x 75 mg

Lovenox 2 x 0,6 cc

Simvastatin 0-0-20 mg

Ceftriaxon 2x1 gr

Ranitidin 2 x 50 mg

Laxadine 3 x CI

24

Alprazolam 1 x 0,25 mg

31/5/15 ICU Nyeri dada sudah

berkurang

TD 130/60

N 90x/menit

RR 22x/menit

AMI anterior ekstensif +

HT + VT

O2 2 lpm

RL 20 tpm

ISDN 3 x 5 mg

Ramipril 2 x 5 mg

Tyarit 2 x 200 mg

Aspilet 1 x 80 mg

CPG 1 x 75 mg

Lovenox 2 x 0,6 cc

Simvastatin 0-0-20 mg

Ceftriaxon 2x1 gr

Ranitidin 2 x 50 mg

Laxadine 3 x CI

Alprazolam 1 x 0,25 mg

BPD

1/6/15 Ruang biasa Nyeri dada (-) TD 110/80

N 88x/menit

RR 20x/menit

AMI anterior ekstensif +

HT + VT

O2 2 lpm

RL 20 tpm

ISDN 3 x 5 mg

Ramipril 2 x 5 mg

25

Tyarit 2 x 200 mg

Aspilet 1 x 80 mg

CPG 1 x 75 mg

Lovenox 2 x 0,6 cc

Simvastatin 0-0-20 mg

Ceftriaxon 2x1 gr

Ranitidin 2 x 50 mg

Laxadine 3 x CI

Alprazolam 1 x 0,25 mg

2/6/15 Ruang biasa Nyeri dada (-) TD 120/80

N 82x/menit

RR 20x/menit

AMI anterior ekstensif +

HT + VT

O2 2 lpm

RL 20 tpm

ISDN 3 x 5 mg

Ramipril 2 x 5 mg

Tyarit 2 x 200 mg

Aspilet 1 x 80 mg

CPG 1 x 75 mg

Lovenox 2 x 0,6 cc

Simvastatin 0-0-20 mg

Ceftriaxon 2x1 gr

26

Ranitidin 2 x 50 mg

Laxadine 3 x CI

Alprazolam 1 x 0,25 mg

3/6/15 Ruang biasa Nyeri dada (-)

Pusing (+)

TD 130/90

N 90x/menit

RR 20x/menit

AMI anterior ekstensif +

HT + VT

O2 2 lpm

RL 20 tpm

ISDN 3 x 5 mg

Ramipril 2 x 5 mg

Tyarit 1 x 200 mg

Aspilet 1 x 80 mg

CPG 1 x 75 mg

Lovenox 2 x 0,6 cc -->

STOP

Simvastatin 0-0-20 mg

Ceftriaxon 2x1 gr -->

STOP

Ranitidin 2 x 50 mg

Laxadine 3 x CI

Alprazolam 1 x 0,25 mg

4/6/15 Ruang biasa Nyeri dada (-) TD 120/80 AMI anterior ekstensif + BPL:

27

N 82x/menit

RR 20x/menit

HT + VT - Tyarit 1 x 200 mg

- Aspilet 1 x 80 mg

- CPG 1 x 75 mg

- Simvastatin 0-0-20 mg

- Ramipril 1 x 5 mg

28

BAB IV

PEMBAHASAN

Pasien laki - laki berumur 50 tahun datang ke rumah sakit dengan

keluhan utama nyeri dada kiri yang muncul mendadak sejak ± 45 menit sebelum

masuk rumah sakit. Karakteristik nyeri dada yang dirasakan adalah nyeri dada

dengan kualitas seperti tertekan yang disertai penjalaran menuju bahu kiri serta

lengan kiri. Kuantitas nyeri terjadi secara terus-menerus dengan durasi sekitar 45

menit serta tidak dipengaruhi dengan beristirahat. Keluhan ini disertai juga dengan

keluhan penyerta seperti keringat dingin, rasa mual dan muntah.

Dari data subyektif tersebut muncul kecurigaan awal bahwa pasien

mengalami nyeri dada kiri akut berupa angina tipikal yang dapat mengarah

menuju diagnosis sindroma koroner akut. Angina tipikal merupakan keluhan nyeri

dada dengan karakteristik lokasi, kualitas, durasi, penjalaran dan gejala sistemik

penyerta yang khas menandakan adanya iskemia miokardium. Secara khusus,

kriteria subyektif tersebut memenuhi salah satu kriteria ACS-STE yaitu prolonged

anginal pain saat istirahat selama lebih dari 20 menit (45 menit). Menurut

kepustakaan, presentasi subyektif tipikal ACS-STE adalah berupa nyeri dada

retrosternal seperti tertekan/terasa berat, menjalar hingga ke lengan kiri, leher,

atau rahang. Nyeri bisa terjadi secara intermiten atau persisten. Keluhan ini

biasanya disertai dengan keluhan diaphoresis (keringat dingin), mual, muntah,

nyeri abdominal, atau sinkop.1,2 Kecurigaan yang mengarah pada diagnosis

sindroma koroner akut dalam hal ini ACS-STE diperkuat dengan ditemukannya

beberapa faktor risiko seperti riwayat penyakit hipertensi dan aktivitas fisik yang

kurang.

Hasil pemeriksaan fisik secara umum dalam batas normal. Tujuan

penting dari pemeriksaan fisik pada kasus ini adalah untuk mengeksklusi

penyebab non-iskemik dan non-kardiak dari nyeri dada, serta penyulit yang

mungkin muncul seperti gagal jantung, anemia dan gagal ginjal kronik.4,5

Dari aspek pemeriksaan penunjang, pemeriksaan EKG merupakan alat

diagnosis lini pertama untuk penilaian pasien yang dicurigai mengalami ACS.

29

EKG harus didapatkan dalam 10 menit setelah kontak medis pertama saat pasien

datang ke ruang instalasi gawat darurat (IGD).1 Hasil rekaman EKG pada kasus

ini menunjukkan gambaran infark anterior ekstensif. Infark anterior ekstensif

ditunjukkan dengan gambaran elevasi segmen ST pada sadapan lead I, aVL, V3-

V6 disertai dengan gambaran depresi segmen ST dan inversi gelombang T pada

lead II, III, aVF. Gambaran ini memiliki kesesuaian dengan pola karakteristik

gambaran EKG pada ACS-STE yang dapat berupa elevasi segmen ST.1,2

Hasil pemeriksaan darah lengkap didapatkan leukositosis 23,2 akan tetapi

tidak ditemukan tanda-tanda infeksi. Leukositosis dapat terjadi pada infark

myokardium, dimana infark akut merangsang respon sistemik terhadap jaringan

yang nekrotik, sehingga terjadi peningkatan aktivitas WBC dan sintesis protein

fase akut yang berperan dalam proses reparasi jaringan nekrosis dan pergantian

jaringan oleh kolagen. Leukositosis dapat menjadi faktor prognostik untuk

memprediksi mortalitas, infark berulang, serta gagal jantung. Adanya leukositosis

dapat mempengaruhi penyakit jantung koroner melalui mekanisme sebagai

berikut: mediator inflamasi menyebabkan kerusakan proteolitik dan oksidatif sel

endotel, menyumbat mikrovaskuler, merangsang hiperkoagulabilitas, dan

berperan dalam perluasan infark. Hemoglobin juga diperhatikan pada pemeriksaan

darah lengkap, dimana anemia berhubungan dengan prognosis buruk (henti

jantung, infark miokardium, atau iskemia berulang) pada semua spektrum ACS.

Nilai dasar hemoglobin terbukti sebagai prediktor independen risiko perdarahan.

Semakian rendah nilai Hb, semakin besar risiko perdarahan terkait prosedur,

maupun perdarahan yang tidak terkait prosedur invasif.7,8

Hasil pemeriksaan kimia darah seperti penanda fungsi hati

(SGOT/SGPT) dan penanda fungsi ginjal (BUN/SC) dalam batas normal. Penting

dilakukan tes fungsi ginjal dimana disfungsi renal terjadi pada 30-40% pasien

dengan ACS. Kalkulasi fungsi ginjal pada pasien dengan risiko tinggi/memiliki

chronic kidney disease (CKD) sebaiknya rutin dilakukan mengingat CKD pada

kasus ACS memiliki prognosis yang sangat buruk. CKD juga merupakan

prediktor independen mortalitas jangka pendek dan jangka panjang serta prediktor

risiko perdarahan mayor.7,8 Akibat keterbatasan sumber daya, saat kasus terjadi

30

belum dilakukan pemeriksaan lipid profile. Seharusnya pemeriksaan penunjang

tersebut berguna untuk mengidentifikasi faktor yang dapat memperburuk ACS

yaitu dyslipidemia/sindrom metabolik.1,2

Pada pemeriksaan elektrolit darah ditemukan adanya penurunan kadar

elektrolit berupa hiponatremia 127,7 serta hipokalemia K 3,05. Gangguan

keseimbangan elektrolit dapat mempengaruhi penyakit jantung koroner, dimana

dapat meningkatkan risiko terjadi komplikasi aritmia pada fase akut infark

myokardium, yang akan disinggung di bawah.

Pemeriksaan biomarker tidak dilakukan pada kasus ini. Hal ini

kemungkinan didasarkan pada pertimbangan biaya dan kondisi ekonomi pasien

serta petunjuk klinis yang mengarah pada gambaran ACS-STE. Namun idealnya

pemeriksaan cardiac marker rutin dilakukan untuk membantu menegakkan

diagnosis, stratifikasi risiko, dan untuk membedakan NSTEMI dengan angina

tidak stabil (UAP).3,5 Pemeriksaan imaging non-invasif berupa ekokardiografi

juga tidak dilakukan pada kasus ini. Hal ini mungkin dengan dasar pertimbangan

ketersediaan alat dan biaya yang harus dikeluarkan. Ekokardiografi pada kasus ini

merupakan modalitas imaging non-invasif yang penting untuk mendiagnosis

infark miokardium, penanda prognosis, dan berguna dalam menyingkirkan

diagnosis banding lainnya seperti diseksi aorta, stenosis aorta, emboli paru,

kardiomiopati hipertrofik, dan efusi perikardial. Idealnya ekokardiografi

sebaiknya tersedia pada kondisi akut dan digunakan pada semua pasien yang

dicurigai mengalami infark miokard.5,6

Dari informasi subyektif dan obyektif yang dipaparkan diatas, diagnosis

awal penderita adalah Infark Myokardium dengan elevasi segmen ST (STEMI)

Anterior Ekstensif + Hipertensi grade I + Hiponatremia + Hipokalemia.

Penatalaksanaan awal yang diberikan pada pasien ini adalah

pemberian/akses intravena normal saline (NaCl) 14 tetes per menit, oksigen 2-4

liter per menit via nasal kanul, Isosorbide Dinitrate (ISDN) 5mg sublingual (SL),

Aspilet (Aspirin) 160mg (2 tablet) kunyah, Clopidogrel 1 x 300mg (4 tab), morfin

intravena 2 mg sebanyak 3 kali pengulangan, serta dipindahkan ke ruang rawat

intensif (ICU). Di ruang ICU pasien diberikan injeksi lovenox 0.3 cc secara bolus

31

intravena lalu 15 menit kemudian dilakukan injeksi kedua sebanyak 0.3 cc secara

subkutan.2 Kemudian dilanjutkan dengan pemberian injeksi Lovenox (enoxaparin)

2 x 0,6cc (60 mg), Simvastatin 1 x 20mg pada malam hari, Laxadyn syrup 3 x C1,

injeksi Ranitidine 2 x 50mg, Ceftriaxon 2 x 1 gram, Alprazolam 1 x 0,25 mg, dan

monitoring rekam jantung dan tanda vital selama dirawat di ruang ICU. Pada saat

pasien dipulangkan pada hari ke-7 pasien mendapatkan terapi Tyarit 1 x 200 mg

(po), Aspilet 1 x 80 mg (po), Clopidogrel 1 x 75 mg (po), Simvastatin 0-0-0-20

mg (po) dan Ramipril 2 x 5 mg (po).

Pada fase penatalaksanaan awal pemberian oksigen pada pasien ACS

dengan saturasi oksigen >90% tidak direkomendasikan. Berdasarkan konsensus

terbaru tahun 2013 tentang STEMI oleh AHA/ACC bahwa tidak ada bukti

manfaat pemberian oksigen pada pasien ACS tanpa komplikasi kardiovaskular

atau saturasi oksigen dalam batas normal. Pemberian oksigen lebih dari 6 jam

pertama terapi secara klinis tidak bermanfaat kecuali pada keadaan seperti pasien

dengan nyeri dada menetap atau berulang, hemodinamik tidak stabil, pasien

dengan tanda bendungan paru dan saturasi oksigen dibawah 90%. 5,13

Pada prinsipnya terapi pada pasien dengan ACS terutama STE terdiri dari

terapi konservatif (agen anti-iskemik, anti-platelet, anti-koagulan) dan terapi

invasive (revaskularisasi). Pada kasus ini, agen anti-iskemik yang diberikan

adalah golongan nitrat yaitu ISDN dengan dosis awal 5 mg sublingual dilanjutkan

pemberian nitrat intravena (Isoket) 0,5 mg/kgBB/jam. Pemberian nitrat pada

kasus ini berhubungan dengan manfaat penurunan preload dan end diastolic

volume ventrikel kiri yang selanjutnya akan menurunkan kebutuhan oksigen

miokardium. Selain itu nitrat juga mengakibatkan vasodilatasi pembuluh darah

koroner yang normal maupun pembuluh darah yang mengalami aterosklerotik

serta meningkatkan aliran darah arteri koroner kolateral1,4. Selama perawatan,

pasien mendapatkan nitrat intravena (Isoket), sesuai dengan teori dimana pada

pasien dengan ACS-STE yang dirawat inap, penggunaan nitrat secara intravena

lebih efektif daripada nitrat oral/sublingual terhadap perbaikan gejala dan regresi

segmen ST1,5. Pada hari ke-2 perawatan, keluhan nyeri dada sudah dirasakan

berkurang oleh pasien dengan tekanan darah 100/60 mmHg dimana pemberian

32

nitrat intravena dihentikan, diganti dengan nitrat (ISDN) oral 3 x 5 mg. Hal ini

sesuai dengan kepustakan dimana dosis nitrat dititrasi sampai gejala berkurang

(nyeri dada atau sesak nafas) dan dihentikan apabila terjadi efek samping

(hipotensi dan nyeri kepala)1,5.

Selain pemberian anti-iskemik, pada kasus ini pasien juga diberikan

terapi anti-platelet. Terapi anti-platelet yang diberikan menggunakan regimen

Dual Anti-Platelet Therapy yaitu dengan memberikan Aspirin dan Clopidogrel.

Aspilet (aspirin) diberikan 2 tablet (160mg) dengan cara dikunyah yang

dilanjutkan dengan dosis 1 x 80mg selama rawat inap, serta diteruskan setelah

pasien dipulangkan. Menurut kepustakaan, loading dose Aspirin yang

direkomendasikan adalah 150-300mg dengan cara dikunyah. Kemudian

dilanjutkan dengan dosis maintenance 75-150 mg per hari yang memiliki efikasi

sama dengan dosis yang lebih besar tetapi dengan intoleransi gastrointestinal lebih

ringan.9,10 Pada kasus ACS, Aspirin digunakan untuk efek antitrombotik adjuvant

baik pada kasus STEMI, ACS-NSTE maupun UAP.14

Selain aspirin, anti-platelet Clopidogrel juga diberikan pada kasus ini

dengan dosis awal 1 x 300mg (loading dose) yang dilanjutkan dengan dosis 1 x

75mg selama rawat inap dan diteruskan setelah pasien dipulangkan. Clopidogrel

sebagai obat golongan P2Y12 Receptor Inhibitor digunakan secara luas sebagai

anti-platelet kombinasi dengan aspirin pada kasus ACS. Hal ini didukung oleh

Clopidogrel in Unstable Angina to Prevent Reccurent Events (CURE) trial yang

menggunakan clopidogrel sulfat dengan loading dose 300 mg, dilanjutkan dengan

dosis rumatan 75 mg sekali sehari yang diberikan bersama aspirin selama 9-12

bulan secara signifikan menurunkan risiko kematian kardiovaskular, infark

miokardium non-fatal dan stroke, pada pasien dengan ACS (UAP, ACS-NSTE

hingga non-Q-wave myocardial infaction) dengan peningkatan biomarker jantung

atau deviasi segmen ST atau usia lebih dari 60 tahun atau dengan riwayat PJK

sebelumnya, dibandingkan dengan penggunaan aspirin saja.13 Manfaat ini

konsisten untuk semua kelompok risiko (orang tua, deviasi segmen ST, dengan

atau tanpa peningkatan biomarker jantung, dengan atau tanpa PCI, pasien

diabetes).12,14

33

Pada kasus ini, pasien mendapatkan terapi tambahan berupa injeksi anti-

koagulan Lovenox (enoxapharin) 2 x 0,6cc (60 mg) (SC) sampai 10 dosis. Terapi

anti-koagulan pada ACS-STE atau STEMI akut dan ACS-NSTE bertujuan untuk

menghambat pembentukan/aktivitas thrombin sehingga menurunkan kejadian

terkait trombus.14 Terdapat bukti bahwa penggunaan anti-koagulan efektif jika

ditambahkan dengan inhibitor platelet dan kombinasi keduanya lebih efektif

dibandingkan terapi tunggal.1 Namun perlu diperhatikan bahwa pemberian

enoxapharin sebagai LMWH sangat bergantung pada fungsi ginjal. Secara umum

LMWH dikontraindikasikan pada kasus gagal ginjal dengan klirens kreatinin

kurang dari 30 mL/menit. Namun pada enoxaparin, penyesuaian dosis masih bisa

dilakukan apabila pasien memiliki klirens kreatinin <30 mL/menit yakni dengan

mengurangi dosis menjadi 1mg/kgbb sekali pemberian.6,9 Fungsi ginjal pada

pasien ini menurut rumus Cockroft-Gault adalah 85 ml/menit, sehingga tidak ada

kontraindikasi pemberian LMWH pada kasus ini.

Simvastatin diberikan selama rawat inap hingga pasien dipulangkan.

Pemberian statin (simvastatin) direkomendasikan untuk semua ACS-NSTE dan

STE tanpa melihat level kolesterol yang dimulai secara dini dalam 1 hingga 4 hari

setelah MRS. Namun bukti ini hanya berdasarkan penelitian dengan

menggunakan atorvastatin dan pravastatin. Dalam 4 bulan pertama, pemberian

statin tidak memberikan manfaat, namun terdapat 19% penurunan angka kematian

dan kejadian kardiovaskular dalam 2 tahun pertama.8,13 Pada kasus ACS-STE atau

STEMI, pemberian golongan statin berfungsi dalam pencegahan sekunder.

Pasien juga diberikan Ramipril 2 x 5 mg, dimana merupakan golongan

ACE inhibitor. Terdapat manfaat klinis ACE inhibitor apabila diberikan pada

pasien high-risk, yaitu pasien lansia, pasien dengan infark anterior, riwayat infark

sebelumnya, dan disfungsi ventrikel kiri. Manfaat klinis pemberian ACE inhibitor

jangka panjang adalah berupa penurunan remodelling ventrikel setelah infark

sehingga menurunkan risiko CHF, serta juga menurunkan angka kejadian infark

berulang. Selain itu pasien juga diberikan sedasi berupa Alprazolam 1x0,25 mg

serta laxatif berupa Laxadine 3xCI sebagai terapi adjuvan.

34

Saat di ICU pasien masih mengalami nyeri dan tiba-tiba mengalami

gangguan irama jantung, dimana terlihat adanya gelombang ventrikel dengan laju

80 kali per menit. Aritmia, yang paling sering berupa VT atau VF, merupakan

komplikasi yang sering terjadi pada fase awal infark myokardium, dimana dapat

disebabkan karena ketidakseimbangan sistam saraf otonom, gangguan elektrolit,

iskemia, dan gangguan konduksi di area myokardium yang mengalami iskemia.

Pada pasien ini yang diketahui terjadi adalah adanya gangguan elektrolit berupa

hiponatremia dan hipokalemia. Akan tetapi aritmia juga dapat terjadi oleh karena

adanya reperfusi dari pembuluh darah, dimana akan menyebabkan AIVR, yaitu

gelombang ventrikel dengan laju 60-100x menit dan biasanya self limited dan

tidak membahayakan.

Pada pasien ini, diberikan terapi antiaritmia berupa injeksi lidocain

intravena 40 mg, serta pemberian amiodarone 300 mg drip dalam D5% selama 30

menit. Pada VT, lidocain bekerja secara primer di myokardium dengan

menurunkan eksitasi elektrik, konduksi, dan kontraksi. Lidocain memiliki onset

kerja yang singkat, sekitar 1 menit setelah injeksi intravena dan bertahan 10-20

menit. Dosis lidocain yang direkomendasikan sebagai terapi VT adalah loading 1-

3 mg/kg (25-50mg/menit), dilanjutkan dengan maintenance 1-4 mg/menit.

Amiodarone juga merupakan terapi antiaritmia dimana merupakan golongan

antiaritmia kelas III, dimana mekanisme kerjanya adalah menghambat stimulasi

adrenergik, mempengaruhi kanal sodium, potasium, dan kalsium di sel,

memperpanjang aksi potensial, serta menurunkan konduksi AV dan fungsi sinus

node. Amiodarone diberikan dengan dosis bolus 150 mg dalam 10 menit, diikuti

dengan infusi 1 mg/menit dalam 6 jam, dan selanjutnya dipertahankan 0,5

mg/menit 18 jam berikutnya. Terdapat interaksi antara lidocaine dan amiodarone

dimana pemberian amiodarone menyebabkan gangguan metabolisme lidocaine di

hepar sehingga klirens sistemik (2-3 jam) dan half life lidocain akan memanjang.

Interaksi tersebut dapat membahayakan apabila pada pasien diberikan

maintenance drip lidocain, karena substrat akan terus menumpuk sementara

klirens terhambat, sehingga dapat mencapai dosis toksik. Interaksi tersebut akan

lebih diperburuk pada pasien dengan disfungsi hepar. Setelah pemberian

35

antiaritmia, dapat dilihat bahwa gelombang elektrik jantung pasien berangsur-

angsur berubah menjadi ritme sinus sekitar 40 menit setelah inisiasi pemberian

antiaritmia intravena. Antiaritmia yang diberikan sebagai terapi maintenance

adalah amiodarone (Tyarit) oral 3 x 200 mg. Pada teori, maintenance amiodarone

diberikan secara intravena dengan dosis titrasi selama 24 jam.

36

BAB V

RINGKASAN

Sindroma koroner akut dengan elevasi segmen ST (ACS-STE) sebagai salah satu

manifestasi klinis penyakit jantung koroner telah berkembang menjadi penyakit

yang sering dijumpai di negara maju maupun berkembang. Tingginya angka

morbiditas dan mortalitas yang diakibatkan membuat penyakit ini menjadi salah

satu emerging disease. Kemampuan untuk mengidentifikasi penyakit ini pada

tahap awal merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam manajemen pasien.

Penilaian keluhan subyektif berupa angina tipikal, keberadaan faktor risiko dan

kondisi komorbid lainnya, serta penilaian rekam EKG dalam 10 menit pertama

adalah hal yang harus dilakukan ketika pasien tiba di unit gawat darurat.

Pemeriksaan biomarker troponin dan ekokardiografi idealnya harus tersedia pada

setting akut yang berguna untuk menyisihkan diagnosis banding serta menentukan

prognosis pasien.

Modalitas terapi yang direkomendasikan terdiri dari agen anti-iskemik (nitrat, beta

bloker, CCB), anti-platelet (aspirin, clopidogrel), anti-koagulan (LMWH,

Fondaparinux, UFH), serta terapi invasif (revaskularisasi). Pemilihan serta

kombinasi terapi berdasarkan pada kepentingan klinis dan bukti-bukti hasil

penelitian yang mendukung.

Penting untuk melakukan observasi ketat di ruang intensif karena terdapat

beberapa komplikasi yang dapat terjadi selama fase akut infark myokardium,

salah satunya adalah aritmia ventrikel yang dapat terjadi oleh karena infark itu

sendiri atau karena adanya reperfusi dari pembuluh darah. Obat antiaritmia dapat

diberikan pada kasus tersebut. Follow-up selama rawat inap maupun pasca rawat

inap dilakukan dengan tujuan untuk mengevaluasi perjalanan penyakit,

komplikasi, respon pengobatan dan efek samping, serta untuk meminimalkan

morbiditas dan mortalitas selama dan pasca rawat inap.

37

DAFTAR PUSTAKA

.

1. Hamm C.W. et al. ESC Guidelines For The Management Of Acute Coronary

Syndromes In Patients Presenting Without Persistent ST-Segment Elevation.

European Heart Journal (2011) 32, 2999–3054

2. Juzar D, Irmalita. Sindroma Koroner Akut. In; Rilantono LI, et al. Penyakit

Kardiovaskular. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia (2013)III;5:138-160

3. Harun S, Alwi I. Infark Myokard Akut Elevasi ST. In : Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam edisi V. Editor : Sudoyo AW dkk. Jakarta : Interna

Publishing. 2009

4. Canto JG et al. Atypical presentations among Medicare beneficiaries with

unstable angina pectoris. Am J Cardiol 2002;90:248–253.

5. Cheitlin MD et al. ACC/AHA/ASE 2003 guideline update for the clinical

application of echocardiography: summary article: a report of the American

College of Cardiology/American Heart Association Task Force on Practice

Guidelines (ACC/AHA/ASE Committee to Update the 1997 Guidelines for

the Clinical Application of Echocardiography). Circulation 2003;108:1146–

1162.

6. Theroux P et al. Aspirin, heparin, or both to treat acute unstable angina. N

Engl J Med 1988;319:1105–1111.

7. Yusuf S et al. Effects of clopidogrel in addition to aspirin in patients with

acute coronary syndromes without ST-segment elevation. N Engl J Med

2001;345:494–502.

8. Harrington RA, et al. Antithrombotic therapy for ST-segment elevation acute

coronary syndromes: American College of Chest Physicians Evidence-Based

Clinical Practice Guidelines (8th Edition). Chest 2008;133: 670S–707S.

9. Anderson JL et al. ACC/AHA 2013 gudelines for the management of patients

with ST elevation myocardial infarction. Circulation 2007 Aug 14; 116 (7) :

148-304.

38

10. Zafari AM et al. Myocardial Infarction. Medscape for Android. 2015. Last

updated May 28th 2015.

11. Fauci, AS., Longo, DL., et al. Harrison’s Principles of Internal Medicine 18 th

edition. USA: The Mc Graw Hills (2012);Chapter 233&245.

12. Benito, B. and Josephson ME. Ventricular Tachycardia in Coronary Artery

Disease. Sociedad Espanola de Cardiologia: Elsevier Espana 2012 Aug

27;65(10):939-955.

13. Piccini, JP., et al. Antiarrhythmic Drug Therapy for Sustained Ventricular

Arrhythmias Complicating Acute Myocardial Infarction. Critical Care

Medicine 2011 Jan; 39(1):78-83

14. Riem, HH., et al. Interaction Between Amiodarone and Lidocaine. Journal of

Cardiovascular Pharmacology: 1996 Oct;28(4):533-539.

39