laporan skenario 2.doc
-
Upload
nadhira-puspita-ayuningtyas -
Category
Documents
-
view
140 -
download
8
description
Transcript of laporan skenario 2.doc
LAPORAN KELOMPOK TUTORIALBLOK SISTEM KARDIOVASKULAR
SKENARIO 2
PENYAKIT JANTUNG BAWAAN
Kelompok 7
Aflifia Birruni Sabila (G0009005)Anita Rachman (G0009019)Bela Dirk (G0009037)Dwiana Ardianti (G0009067)Ferika Brillian Sabania (G0009081)Kristiana Margareta (G0009117)Nadhira Puspita Ayuningtyas (G0009145)Reyhan Pradnya Pradana (G0009181)Rizka Solehah (G0009189)Siti Fatimah Risa (G0009201)Wisnu Yudho Hutomo (G0009213)
Tutor :
FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS SEBELAS MARET
2010
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sistem kardiovaskuler adalah suatu sistem yang terdiri atas jantung sebagai
pompa darah serta pembuluh darah yang berfungsi untuk mendistribusikan darah
ke seluruh tubuh. Apabila terdapat sedikit saja gangguan pada sistem ini, maka
dapat pula menyebabkan gangguan dalam pengaliran darah ke seluruh tubuh.
Banyak juga kasus-kasus kematian yang disebabkan oleh komplikasi akibat
adanya gangguan pada sistem ini dan tidak jarang juga yang meninggal.
Kelainan jantung pada anak dibagi menjadi menjadi 2 golongan yaitu
penyakit jantung bawaan dan penyakit jantung didapat. Penyakit jantung bawaan
adalah kelainan susunan jantung yang mungkin sudah terdapat sejak lahir.
Prevalensi penyakit jantung bawaan diperkirakan sebesar 6-8/1000 kelahiran
hidup dan sepertiganya memerlukan penanganan dibawah usia 5 tahun. Sementara
itu, penyakit jantung didapat merupakan penyakit jantung yang didapatkan setelah
lahir, biasanya akibat dari infeksi kuman.
Untuk dapat mendiagnosis suatu kelainan atau gangguan pada sistem
kardiovaskuler, seorang mahasiswa kedokteran harus memahami dengan baik
tentang anatomi dan histologi jantung dan pembuluh serta fisiologi dari sistem
kardiovaskuler. Adapun skenario yang digunakan sebagai acuan untuk
mempelajarinya adalah sebagai berikut :
Seorang anak laki-laki berusia 10 tahun diantar ke puskesmas dengan
keluhan sering batuk pilek dan cepat lelah. Menurut cerita ibunya, anak tersebut
lahir prematur, bila menangis bibir tidak tampak kebiruan. Napsu makan sedikit
terganggu, tumbuh kembang dalam batas normal. Pada saat balita pernah
diperiksakan ke dokter anak dan dinyatakan mempunyai kelainan jantung.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan data : tekanan darah 120/80 mmHg,
denyut nadi 90 kali per menit. Pada inspeksi dinding dada tampak normal. Pada
palpasi iktus kordis teraba di SIC V 2 cm lateral linea medioklavikularis kiri.
Pada auskultasi jantung terdengar bising pansistolik dengan punctum maksimum
SIC IV – V linea parasternalis kiri. Pada ekstremitas tidak terlihat jari-jari tabuh
dan sianosis. Pemeriksaan hematologi rutin normal. Pemeriksaan EKG
menunjukkan axis ke kiri, LVH, LAH. Pemeriksaan foto thoraks : CTR 0.60, apeks
bergeser ke lateral bawah. Oleh dokter puskesmas dirujuk ke dokter spesialis.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah patofisiologi dari gejala-gejala klinik yang diderita
pasien?
2. Bagaimana Fisiologi dan embriologi dari perkembangan jantung?
3. Apa saja klasifikasi dari penyakit jantung bawaan?
4. Apa hubungan kelahiran premature dengan kelainan yang diderita
pasien?
5. Apa saja pemeriksaan yang harus dilakukan untuk menegakkan
diagnosis pada anak?
6. Apa saja DD untuk penyakit yang diderita pasien?
7. Bagaimana epidemiologi dan faktor resiko dari penyakit jantung
bawaan?
8. Bagaimana penatalaksanaan yang tepat untuk penyakit yang diderita
pasien?
9. Bagaimana prognosis dari penyakit pasien?
C. Tujuan Pembelajaran
1. Untuk mengetahui bagaimanakah patofisiologi dari gejala-gejala klinik
yang diderita pasien
2. Untuk mengetahui bagaimana Fisiologi dan embriologi dari
perkembangan jantung
3. Untuk mengetahui klasifikasi dari penyakit jantung bawaan
4. Untuk mengetahui hubungan kelahiran premature dengan kelainan
yang diderita pasien
5. Untuk mengetahui apa saja pemeriksaan yang harus dilakukan untuk
menegakkan diagnosis pada anak
6. Untuk mengetahui DD untuk penyakit yang diderita pasien
7. Untuk mengetahui bagaimana epidemiologi dan faktor resiko dari
penyakit jantung bawaan
8. Untuk mengetahui bagaimana penatalaksanaan yang tepat untuk
penyakit yang diderita pasien
9. Untuk mengetahui bagaimana prognosis dari penyakit pasien
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Perkembangan Jantung
Embriogenesis jantung merupakan serangkaian proses yang kompleks,
secara garis besar meliputi empat tahapan: (1) Tubing, yaitu tahapan ketika
bakal jantung masih merupakan tabung sederhana; (2) Looping, yakni suatu
peristiwa kompleks berupa perputaran bagian-bagian bakal jantung dan arteri
besar (aorta dan arteri pulmonalis); (3) Septasi, yakni proses pemisahan
bagian-bagian jantung serta arteri besar dengan pembentukan berbagai ruang
jantung; (4) Migrasi, yakni pergeseran bagian-bagian jantung sebelum
mencapai bentuk akhirnya. Keempat proses tersebut merupakan proses yang
terpisah merupakan rangkaian proses yang saling tumpang tindih ((Ikatan
Dokter Anak Indonesia, 1994).
Perkembangan ventrikel sangat penting bagi fungsi jantung karena
memberikan tekanan kontraktil utama pada jantung sehingga darah dapat
dipompa ke seluruh tubuh. Ventrikel jantung terdiri atas beberapa miokardium
yang berkembang pada titik yang berbeda. Trabecular myocardium merupakan
lapisan yang terlipat pada endokardium. Pada perkembangan tahap akhir,
lapisan tersebut mengalami remodeling menjadi musculus papillaris, sistem
konduksi jantung, dan septum interventricularis. Tipe miokardium yang kedua
merupakan miokardium padat yang mendasari epikardium, membentuk dinding
otot ventrikel yang tebal dengan bagian ventrikel sinister yang lebih tebal
(Moorman and Christoffels, 2003).
Tangisan pertama merupakan proses masuknya oksigen yang pertama
kali ke dalam paru. Peristiwa ini menyebabkan pengembangan paru, penurunan
tahanan ekstravaskular paru dan peningkatan tekanan oksigen sehingga terjadi
vasodilatasi, penurunan tahanan dan penipisan dinding arteri pulmonalis. Hal
ini mengakibatkan penurunan tekanan ventrikel kanan serta peningkatan
saturasi oksigen sistemik. Perubahan selanjutnya terjadi peningkatan aliran
darah ke paru secara progresif sehingga tekanan di atrium kiri meningkat
sampai melebihi tekanan atrium kanan. Kondisi ini mengakibatkan penutupan
foramen ovale, peningkatan tekanan ventrikel kiri, peningkatan tekanan dan
penebalan sistem arteri sistemik. Peningkatan tekanan oksigen sistemik,
perubahan sintesis dan metabolisme bahan vasoaktif prostaglandin
mengakibatkan kontraksi awal dan penutupan fungsional dari duktus arteriosus
sehingga tahanan arteri pulmonalis menurun. Pada neonatus normal, konstriksi
awal dari duktus arteriosus terjadi pada 10-15 jam pertama kehidupan, lalu
terjadi penutupan duktus arteriosus secara fungsional setelah 72 jam postnatal.
Selanjutnya terjadi proses trombosis, proliferasi intimal dan fibrosis setelah 3-4
minggu postnatal yang akhirnya terjadi penutupan secara anatomis. Pada
neonatus prematur, mekanisme penutupan duktus arteriosus ini terjadi lebih
lambat, bahkan bisa sampai usia 4-12 bulan (Ontoseno, 2006).
Pemotongan tali pusat mengakibatkan peningkatan tahanan vaskuler
sistemik, terhentinya aliran darah, penurunan tekanan darah di vena cava
inferior dan penutupan duktus venosus, sehingga tekanan di atrium kanan juga
menurun sampai di bawah tekanan atrium kiri. Hal ini mengakibatkan
penutupan foramen ovale, dengan demikian ventrikel kanan hanya mengalirkan
darahnya ke arteri pulmonalis. Peristiwa ini disusul penebalan dinding
ventrikel kiri karena menerima beban tekanan lebih besar untuk menghadapi
tekanan arteri sistemik. Sebaliknya, ventrikel kanan mengalami penipisan
akibat penurunan beban tekanan untuk menghadapi tekanan arteri pulmonalis
yang mengalami penurunan ke angka normal. Penutupan duktus venosus,
duktus arteriosus dan foramen ovale diawali penutupan secara fungsional.
Selanjutnya, proses proliferasi endotel dan jaringan fibrous mengakibatkan
penutupan secara anatomis (permanen) (Ontoseno, 2006).
B. Penyakit Jantung Bawaan dan Klasifikasinya
Penyakit jantung bawaan (PJB) adalah penyakit dengan kelainan pada
struktur jantung atau fungsi sirkulasi jantung yang dibawa dari lahir yang
terjadi akibat adanya gangguan atau kegagalan perkembangan struktur jantung
pada fase awal perkembangan janin. (Poppy S Roebiono, 2004)
Kelahiran kongenital jantung terjadi pada sekitar 8 per 1000 kelahiran
hidup, yang menjadikannya salah satu tipe malformasi kongenital tersering.
Dengan menurunnya insidensi demam rematik akut, penyakit jantung
kongenital sekarang menjadi penyebab tersering penyakit jantung pada anak di
dunia Barat. Penyakit jantung kongenital mencakup beragam malformasi,
berkisar dari kelainan ringan yang hanya menimbulkan gejala minimal sampai
usia dewasa, hingga anomali berat yang menyebabkan kematian pada masa
perinatal. Penyebab sebagian besar penyakit jantung kongenital tidak diketahui.
(Vinay Kumar, 2007)
Sekitar 30 % dari angka kejadian penyakit jantung bawaan, telah
memberikan gejala pada minggu-minggu pertama kehidupan. Bila tidak
terdeteksi secara dini dan tidak ditangani dengan baik, 50% kematiannya akan
terjadi pada bulan pertama kehidupan. Di negara maju hampir semua jenis PJB
telah dideteksi dalam masa bayi bahkan pada usia kurang dari 1 bulan,
sedangkan di negara berkembang banyak yang baru terdeteksi setelah anak
lebih besar, sehingga pada beberapa jenis PJB yang berat mungkin telah
meninggal sebelum terdeteksi. Pada beberapa jenis PJB tertentu sangat
diperlukan pengenalan dan diagnosis dini agar segera dapat diberikan
pengobatan serta tindakan bedah yang diperlukan. Untuk memperbaiki
pelayanan di Indonesia, selain pengadaan dana dan pusat pelayanan kardiologi
anak yang adekwat, diperlukan juga kemampuan deteksi dini PJB dan
pengetahuan saat rujukan yang optimal oleh para dokter umum yang pertama
kali berhadapan dengan pasien. (Poppy S Roebiono, 2004)
Faktor genetik jelas berperan pada sebagian kasus, seperti dibuktikan oleh
kemunculan bentuk familial penyakit jantung kongenital serta keterkaitan erat
antara kelainan kromosom tertentu (misal, trisomi 13, 15, 18, 21, serta
sindrome Turner) dan malformasi jantung kongenital. Faktor lingkungan,
seperti infeksi rubela kongenital, berperan pada beberapa kasus. Namun, secara
keseluruhan pengaruh genetik atau lingkungan yang nyata dapat teridentifikasi
hanya pada sekitar 10% kasus penyakit jantung kongenital. Pada 90% sisanya,
penyebab tidak jelas. Faktor genetik dan lingkungan multifaktor mungkin
merupakan penyebab pada banyak kasus poenyakit jantung kongenital yang
saat ini diklasifikasikan sebagai kelainan idiopatik. (Vinay Kumar, 2007)
Ada 2 golongan besar PJB, yaitu non sianotik (tidak biru) dan sianotik
(biru) yang masing-masing memberikan gejala dan memerlukan
penatalaksanaan yang berbeda. (Poppy S Roebiono, 2004)
1. Penyakit Jantung Bawaan Non Sianotik
Penyakit jantung bawaan (PJB) non sianotik adalah kelainan struktur dan
fungsi jantung yang dibawa lahir yang tidak ditandai dengan sianosis; misalnya
lubang di sekat jantung sehingga terjadi pirau dari kiri ke kanan, kelainan salah
satu katup jantung dan penyempitan alur keluar ventrikel atau pembuluh darah
besar tanpa adanya lubang di sekat jantung. Masing-masing mempunyai
spektrum presentasi klinis yang bervariasi dari ringan sampai berat tergantung
pada jenis dan beratnya kelainan serta tahanan vaskuler paru. Yang akan
dibicarakan disini hanya 2 kelompok besar PJB non sianotik, yaitu:
a. PJB non sianotik dengan lesi atau lubang di jantung sehingga terdapat
aliran pirau dari kiri ke kanan, misalnya ventricular septal defect
(VSD), atrial septal defect (ASD) dan patent ductus arteriosus (PDA).
b. PJB non sianotik dengan lesi obstruktif di jantung bagian kiri atau
kanan tanpa aliran pirau melalui sekat di jantung, misalnya aortic
stenosis (AS), coarctatio aorta (CoA) dan pulmonary stenosis (PS).
(Poppy S Roebiono, 2004)
2. Penyakit Jantung Bawaan Sianotik
Pada PJB sianotik didapatkan kelainan struktur dan fungsi jantung
sedemikian rupa sehingga sebagian atau seluruh darah balik vena sistemik yang
mengandung darah rendah oksigen kembali beredar ke sirkulasi sistemik.
Terdapat aliran pirau dari kanan ke kiri atau terdapat percampuran darah balik
vena sistemik dan vena pulmonalis. Sianosis pada mukosa bibir dan mulut serta
kuku jari tangan–kaki dalah penampilan utama pada golongan PJB ini dan akan
terlihat bila reduce haemoglobin yang beredar dalam darah lebih dari 5 gram
%.
Bila dilihat dari penampilan klinisnya, secara garis besar terdapat 2
golongan PJB sianotik, yaitu :
a. PJB Sianotik dengan gejala aliran darah ke paru yang berkurang,
misalnya Tetralogi of Fallot (TF) dan Pulmonal Atresia (PA) dengan
VSD.
b. PJB Sianotik dengan gejala aliran darah ke paru yang bertambah,
misalnya Transposition of the Great Arteries (TGA) dan Common
Mixing. (Poppy S Roebiono, 2004)
BAB III
PEMBAHASAN
Berdasarkan anamnesis, dan hasil pemeriksaan fisik pasien dalam skenario
dan merujuk pada hasil diskusi tutorial dan tinjauan pustaka, didapatkan
kesimpulan bahwa pasien menderita kelainan jantung bawaan yang tidak
menyebabkan sianosis. Diagnosis banding sementara mengarah ke Ventrikel
Septal Defect (VSD), Patent Ductus Arteriosus (PDA), dan Insufisiensi mitral.
Penyakit Jantung Bawaan (PJB) adalah penyakit jantung yang dibawa sejak
lahir, sebab kelainan pembentukan jantung terjadi pada awal kehamilan karena
akhir minggu kesembilan kehamilan, pembentukan jantung sudah lengkap.
Riwayat lahir prematur pada pasien di skenario berkaitan erat dengan faktor
resiko terjadinya PDA karena pada bayi premature, ductus arteriosus yang
normalnya menutup pada 3-4 minggu postnatal baru terjadi setelah 4-12 bulan.
Namun, melihat hasil auskultasi pada pasien yaitu didapatkan bising pansistolik
dengan punctum maksimum di SIC IV-V linea parasternal kiri, menyingkirkan
diagnosis PDA karena pada PDA, bising yang terjadi adalah bising kontinyu
dengan punctum maksimum di SIC II.
Pada VSD, pembentukan sekat ventrikel kiri dan kanan tidak sempurna
sehingga dapat terjadi pirau/percampuran darah dari kedua ventrikel. Karena
tekanan di ventrikel kiri lebih besar dari ventrikel kanan, dan darah mengalir dari
tekanan tinggi ke tekanan rendah, maka pirau yang terjadi adalah pirau kiri ke
kanan.. Secara sistematis, sirkulasi darah pada VSD dapat digambarkan sebagai
berikut: darah dari sirkulasi sistemikatrium kananventrikel kananlangsung
ke a.pumonalisparu, darah dioksigenasiv.pulmonalisatrium kiri ventrikel
kiri sebagian ke aorta untuk diedarkan ke seluruh tubuh, sebagian kembali ke
ventrikel kanan dan kembali mengikuti siklus awal.
Pirau ini menyebabkan darah untuk sirkulasi sistemik menjadi berkurang
sehingga ventrikel kiri harus bekerja lebih keras agar tetap dapat mempertahankan
curah ventrikel normal per denyut (volume sekuncup) tetap normal. Sesuai hukum
Frank-Starling, peningkatan kontraksi miokardium akan disertai dengan dilatasi
ventrikel sehingga pada VSD ditemukan gambaran hipertrofi ventrikel
kiri/LVH. Beban kerja jantung yang meningkat ini mengakibatkan jantung tidak
dapat memenuhi kebutuhan sirkulasi dengan cepat dalam keadaan kebutuhan yang
meningkat(cadangan jantung berkurang) sehingga pasien cenderung cepat lelah.
Volume darah yang meningkat di ventrikel kanan karena pirau ini akan
diteruskan ke atrium kiri dan mengakibatkan volume di atrium kiri juga
meningkat sehingga pada VSD juga ditemukan gambaran hipertrofi atrium kiri/
LAH yang mekanismenya sama dengan LVH. Dilatasi atrium terjadi karena
volume atrium kiri meningkat akibat ketidakmampuan atrium untuk
mengosongkan diri secara normal. Dalam hal ini, meskipun beban volume yang
ditanggung ventrikel kanan dan atrium kiri sama-sama meningkat, akan tetapi
atrium kiri lebih dulu mengalami hipertrofi karena miokardium di ventrikel lebih
tebal sehingga dapat mengkompensasi beban volume tambahan tersebut lebih
lama dibandingkan dengan atrium. Namun, pada VSD besar hipertrofi ventrikel
kanan terjadi lebih cepat karena beban volume tambahan akibat pirau lebih
banyak.
Sianosis, merupakan manifestasi saturasi oksigen arteri yang berkurang dan
terlihat sebagai warna kebiruan disekitar mulut dan ujung-ujung jari. Hal ini dapat
disebabkan suplai oksigen perifer yang berkurang karena aliran darah yang kurang
maupun karena jumlah oksigen yang diangkut darah tidak adekuat. Pada VSD,
meskipun terjadi percampuran antara darah arteri dan darah vena, tetapi darah
yang bercampur di ventrikel kanan tersebut segera dibawa ke paru dan di
oksigenasi kembali sehingga darah yang beredar ke seluruh tubuh adalah darah
kaya oksigen. Maka, pada VSD tidak terjadi sianosis.
Pada fase systole, tekanan ventrikel kiri tinggi agar dapat memompa ke aorta
dan bersamaan dengan itu, juga terjadi pirau dari ventrikel kiri ke ventrikel kanan
sehingga mengakibatkan turbulensi karena aliran darah yang cepat sekali dan
terjadi perbedaan tekanan antara ventrikel kiri dan kanan yang besar (115 mmHg
berbanding 25 mmHg) hal ini menyebabkan bising yang terdengar di seluruh fase
sistolik/bising pansistolik.
Punctum maksimum yaitu tempat terdengarnya bising yang paling keras.
Penjalaran dapat terjadi melalui dua cara yaitu penjalaran ke semua arah akibat
konduksi dinding dada dan penjalaran yang khas sesuai aliran darah. Punctum
maksimum pada VSD terdengar di SIC IV-V linea parasternalis kiri karena batas
jantung kiri terletak mulai spatium intercostale (SIC) V, 1 jari di sebelah medial
linea midclavicularis sampai SIC II kiri linea parasternalis dan turbulensi aliran
darah terjadi di sekat interventrikularis yang letaknya di sekitar SIC IV-V linea
parasternalis kiri. Thrill dapat teraba apabila defek VSD besar.
Pada stadium awal, atrium dan ventrikel kiri masih mampu mengkompensasi
peningkatan beban volume tambahan tersebut. Namun, karena keadaan ini
berlangsung terus-menerus, atrium dan ventrikel kiri menjadi tidak mampu lagi
untuk berdilatasi sehingga peningkatan volume dan tekanan atrium kiri
dipantulkan ke belakang ke dalam pembuluh darah paru. Secara bertahap, urutan
kejadian yang diperkirakan akan terjadi pada paru-paru dan jantung kanan adalah:
1) kongesi vena pulmonalis; 2) edema interstisial; 3) hipertensi pulmonal; 4)
hipertrofi ventrikel kanan.
Peningkatan aliran darah ke paru ini akan mengakibatkan infeksi saluran nafas
berulang salah satunya adalah batuk pilek karena traktus respiratorius penderita
menjadi basah sehingga fungsi toilet bronchial menjadi terganggu. Infeksi
berulang ini dapat mengakibatkan nafsu makan berkurang.
Apabila peningkatan aliran darah ke paru ini berlangsung massif dan kronis,
maka dapat mengakibatkan kerusakan yang irreversible pada vaskularisasi paru
dan aliran pirau menjadi berubah dari ventrikel kanan ke ventrikel kiri (sindrom
Eisenmenger) sehingga penderita tampak sianosis dengan jari-jari tabuh. Pada
fase lanjut, akan terjadi gagal jantung kongestif yang mengakibatkan hambatan
tumbuh kembang.
Umur pasien, 10 tahun merupakan factor predisposisi terkena/kambuhnya
demam rematik yang dapat mengakibatkan insufisiensi mitral, dimana serangan
pertama paling banyak terjadi pada umur 5-15 tahun dan kambuh paling sering
pada 3-5 tahun kemudian. Namun hasil pemeriksaan laboratorium hematalogi
rutin normal menyingkirkan diagnosis penyakit jantung karena infeksi yang
berakibat pada kelainan katup ini. Selain itu, punctum maksimum bising
pansistolik pada insufisiensi mitral terdengar di apeks dan tidak sesuai dengan
bising yang ada pada scenario. Hasil foto thorax: CTR: 0.6 apeks bergeser ke
lateral bawah menunjukkan terjadinya kardiomegali karena LAH dan LVH.
Pada pasien tidak didapatkan hambatan tumbuh kembang, sianosis, jari tabuh,
tekanan darah dan denyut nadi dalam batas normal, inspeksi dinding dada normal,
tidak teraba thrill, dan manifestasi klinis lain yang mengarah ke VSD besar,
mengindikasikan bahwa kemungkinan pasien menderita VSD kecil karena pasien
masih dapat bertahan sampai umur 10 tahun dengan manifestasi klinis yang
minimal.
Penatalaksanaan yang diberikan bertujuan untuk mencegah timbulnya
kelainan vascular paru yang irreversible, mempertahankan fungsi atrium dan
ventrikel kiri, dan mencegah kejadian endokarditif infektif. Operasi penutupan
defek dapat dilakukan apabila ratio aliran ke paru terhadap sistemik dan
tahanannya lebih dari 2 selain itu juga tergantung pada besar kecilnya aliran darah
(pirau) dan ada tidaknya gagal jantung kongestif, peningkatan tekanan pembuluh
darah paru (hipertensi pulmonal) serta penyulit lain. Namun bila tidak dilakukan
tindakan operasi, kemungkinan prognosis masih tetap baik, karena 90% defek
septum ini dapat menutup spontan saat umur 10 tahun.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
.
DAFTAR PUSTAKA
Kumar, Vinay, et all. 2007. Buku Ajar Patologi. Jakarta : EGC
Moorman AF, Christoffels VM. 2003. Cardiac chamber formation: development,
genes, and evolution. Physiol Rev. (83):1223-67
Ontoseno T. 2006. Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Jantung Bawaan yang
Kritis pada Neonatus. Surabaya: FK UNAIR
Roebiono, Poppy S. 2004. Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Jantung Bawaan.
Jakarta : Bagian Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler FKUI