sgd skenario 4.doc

38
BAB I SKENARIO Seorang laki-laki datang dengan keluhan sejak 1 bulan terakhir hampir tiap minggu keluar darah saat BAB. Keluhan keluar darah yang menetes saat buang air besar ini sebenarnya sudah sejak 1 tahun terakhir tetapi kambuh-kambuhan. 1

Transcript of sgd skenario 4.doc

Page 1: sgd skenario 4.doc

BAB I

SKENARIO

Seorang laki-laki datang dengan keluhan sejak 1 bulan terakhir hampir tiap minggu keluar darah saat BAB. Keluhan keluar darah yang menetes saat buang air besar ini sebenarnya sudah sejak 1 tahun terakhir tetapi kambuh-kambuhan.

1

Page 2: sgd skenario 4.doc

BAB II

KATA KUNCI

1. Keluar darah yang menetes saat BAB.

2

Page 3: sgd skenario 4.doc

BAB III

PROBLEM

1. Apa yang terjadi pada pasien tersebut?2. Apa penyebab keluhan pada pasien tersebut?3. Bagaimana cara diagnosa pasti pada pasien tersebut?4. Bagaimana prinsip penatalaksanaannya?5. Apa saja komplikasi yang mungkin timbul pada pasien tersebut?6. Bagaimana prognosa pada pasien tersebut?

3

Page 4: sgd skenario 4.doc

BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Anatomi KolorectalA. Anatomi Kolon

Usus besar atau kolon berbentuk tabung muskular berongga dengan panjang sekitar 1,5 m yang terentang dari sekum hingga kanalis ani. Diameter usus besar sekitar 6,5 cm, makin dekat anus diameternya makin kecil.

Usus besar dibagi menjadi sekum, kolon, sigmoid dan rektum. Pada sekum terdapat katup ileosekal dan appendiks yang melekat pada ujung sekum. Sekum menempati sekitar dua atau tiga inci pertama dari usus besar. Katup ileosekal mengendalikan aliran kimus dari ileum ke dalam sekum dan mencegah terjadinya aliran balik bahan fekal dari usus besar ke dalam usus halus. Kolon dibagi lagi menjadi kolon asenden, transversum, dan desenden. Tempat kolon membentuk kelokan tajam pada abdomen kanan dan kiri atas berturut–turut disebut sebagai fleksura hepatika dan fleksura lienalis. Sigmoid mulai setinggi krista iliaka dan membentuk lekukan berbentuk “S”. Lekukan bagian bawah membelok ke kiri sewaktu sigmoid bersagtu dengan rektum. Bagian utama usus besar yang terakhir disebut rektum, yang membentang dari sigmoid hingga anus. Satu inci terakhir dari rektum disebut sebagai kanalis ani dan dilindungi oleh otot sfingter ani eksternus dan internus. Panjang rektum dan kanalis ani adalah sekitar 15 cm.

Usus besar secara klinis dibagi menjadi belahan kiri dan kanan berdasarkan pada suplai darah yang diterima. Arteria mesentrika superior mendarahi belahan kanan (sekum, kolon asenden, dan dua pertiga proksimal koln transversum), dan arteria mesentrika inferior mendarahi belahan kiri (sepertiga distal kolon transversum, kolon desendens, sigmoid, dan bagian proksimal rektum). Suplai darah tambahan ke rektum berasal dari arteri hemoroidalis media dan inferior yang dicabangkan dari arteri iliaka interna dan aorta abdominalis.

Aliran balik vena dari kolon dan rektum superior adalah melalui vena mesentrika superior, vena mesentrika inferior, dan vena hemoroidalis superior (bagian sistem portal yang mengalirkan darah ke hati). Vena hemoroidalis media dan inferior mengalirkan darah ke vena iliaka sehingga merupakan bagian sirkulasi sistemik.

Persyarafan usus besar dilakukan oleh sistem syaraf otonom dengan perkecualian sfingter eksterna yang berada dalam pengendalian volunteer. Serabut parasimpatis berjalan melalui syaraf vagus ke bagian tengah kolon transversum, dan syaraf oelvikus yang berasal dari daerah sakral menyuplai bagian distal. Serabut simpatis meninggalkan medula spinalis melalui syaraf splangnikus. Serabut syaraf ini bersinaps dalam ganglia seliaka dan aortikorenalis, kemudian serabut pascaganglionik menuju kolon. Rangsangan simpatis menghambat sekresi dan kontraksi, serta merangsang sfingter rektum. Rangsangan parasimpatis mempunyai efek yang berlawanan.

B. Anatomi RectalSecara anatomi rektum terbentang dari vertebre sakrum ke-3 sampai garis

anorektal. Secara fungsional dan endoskopik, rektum dibagi menjadi bagian ampula

4

Page 5: sgd skenario 4.doc

dan sfingter. Bagian sfingter disebut juga annulus hemoroidalis, dikelilingi oleh muskulus levator ani dan fasia coli dari fasia supra-ani. Bagian ampula terbentang dari sakrum ke-3 ke difragma pelvis pada insersi muskulus levator ani. Panjang rrektum berkisa 10-15 cm, dengan keliling 15 cm padarectosigmoid junction dan 35 cm pada bagian ampula yang terluas. Pada orang dewasa dinding rektum mempunyai 4 lapisan : mukosa, submukosa, muskularis (sirkuler dan longitudinal), dan lapisan serosa.

Perdarahan arteri daerah anorektum berasal dari arteri hemoroidalis superior, media, dan inferior. Arteri hemoroidalis superior yang merupakan kelanjutan dari a. mesenterika inferior, arteri ini bercabang 2 kiri dan kanan. Arteri hemoroidalis merupakan cabang a. iliaka interna, arteri hemoroidalis inferior cabang dari a. pudenda interna. Vena hemoroidalis superior berasal dari 2 plexus hemoroidalis internus dan berjalan ke arah kranial ke dalam v. Mesenterika inferior dan seterusnya melalui v. lienalis menuju v. porta. Vena ini tidak berkatup sehingga tekanan alam rongga perut menentukan tekanan di dalamnya. Karsinoma rektum dapat menyebar sebagai embolus vena ke dalam hati. Vena hemoroidalis inferior mengalirkan darah ke vena pudenda interna, vena iliaka interna dan sistem vena kava.

Pembuluh limfe daerah anorektum membentuk pleksus halus yang mengalirkan isinya menuju kelenjar limfe inguinal yang selanjutnya mengalir ke kelenjar limfe iliaka. Infeksi dan tumor ganas pada daerah anorektal dapat mengakibatkan limfadenopati inguinal. Pembuluh rekrum di atas garis anorektum berjalan seiring dengan v. hemoroidalis seuperior dan melanjut ke kelenjar limfe mesenterika inferior dan aorta.

Persarafan rektum terdiri atas sistem simpatik dan parasimpatik. Serabut simpatik berasal dari pleksus mesenterikus inferior yang berasal dari lumbal 2, 3, dan 4. Serabut ini mengatur fungsi emisi air mani dan ejakulasi. Serabut parasimpatis berasal dari sakral 2, 3, dan 4. Serabut ini mengatur fungsi ereksi penis, klitoris dengan mengatur aliran darah ke dalam jaringan.

4.2 Histologi Kolon-RectumDinding usus besar/kolon mempunyai tiga lapis yaitu lapisan mukosa (bagian dalam),

yang berfungsi untuk mencerna dan absorpsi makanan, lapisan muskularis (bagian tengah) yang berfungsi untuk mendorong makanan ke bawah, dan lapisan serosa (bagian luar), bagian ini sangat licin sehingga dinding usus tidak berlengketan satu sama lain. Tidak seperti pada intestinum, mukosa kolon tidak dilengkapi villi, namun kelenjar biasanya lurus dan teratur. Permukaan mukosa terdiri dari epitel selapis tipe kolumner dan diselingi sel-sel goblet sebagai penghasil mucin/lendir. Pada lamina propria terdapat nodus jaringan limfoid.

Sel pengabsorpsi air lebih dominan pada kolon bagian proksimal (ascendens dan transversum). Sedangkan sel-sel goblet banyak dijumpai pada kolon descendens.

4.3 Fisiologi Kolon-RectumUsus besar terdiri dari kolon, sekum, apendiks, dan rectum. Dalam keadaan normal

kolon menerima sekitar 500 ml kimus dari usus halus setiap hari. Isi usus yang disalurkan ke kolon terdiri dari residu makanan yang tidak dapat dicerna missal selulosa, komponen empedu yg tidak diserap,dan sisa cairan. Apa yg tersisa untuk dieliminasi disebut feses.

Umumnya gerakan usus besar berlangsung lambat, .Kontraksi haustra secara perlahan mengaduk isi kolon maju mundur. Berawal dari dari gerakan ritmisitas otonom sel otot polos kolon (membentuk haustra)-> letak haustra berubah sewaktu waktu yang semula melemas untuk membentuk kantung secara perlahan berkontraksi sementara bagian yang

5

Page 6: sgd skenario 4.doc

semula berkontraksi melemas untuk membentuk kantung baru. Hal ini menyebabkan isi kolon terpajan ke mukosa absorptif. Sewaktu makanan masuk ke lambung terjadi gerakan massa di kolon yang terutama disebabkan oleh refleks gastrokolon. Terpicu reflek reflek untuk memindahkan isi yang sudah ada ke bagian saluran cerna yang lebih distal dan member jalan bagi makanan baru tersebut. Sehingga reflek gastrokolon mendorong isi kolon ke dalam rectum yang memicu reflek defekasi.

Gerakan massa di kolon mendorong isi kolon ke dalam rectum, terjadi peregangan rectum yang kemudian merangsaaang reseptor regang di dinding rectum dan memicu reflek defekasi. Reflek ini disebabkan oleh sfingter anus internus untuk melemas dan rectum serta kolon sigmoid berkontraksi kuat. Apabila sfingter anus eksternus juga melemas terjadi defekasi.

4.4 Penyakit yang Berhubungan1. Appendicitis

Apendisitis adalah peradangan dari apendiks vermiformis, dan merupakan penyebab nyeri abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini dapat mengenai semua umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia antara 10-30 tahun (Kapita Selekta 2000).A. Etiologi

Secara klinis, obstruksi lumen merupakan penyebab utama apendisitis. Obstruksi ini disebabkan oleh pengerasan bahan tinja (fekalit). Fekalit merupakan penyebab tersering dari obstruksi apendiks. Bahan yang mengeras ini bisa mengapur, terlihat dalam foto rontgen sebagai apendikolit (15-20%). Obstruksi akibat dari edema mukosa dapat disertai dengan infeksi virus atau bakteri (Yersinia, Salmonella, Shigella) sistemik. Tumor karsinoid, benda asing, dan ascaris jarang menjadi penyebab apendisitis (Hartman, 2000).

Penyebab lain yang diduga dapat menyebabkan apendisitis adalah erosi mukosa apendiks karena parasit seperti E. Histolytica. Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan meningkatkan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya akan mempermudah terjadinya apendisits akut (Pieter, 2005).

B. PatofisiologiAppendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh

hyperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur pada fibrosis akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma (Mansjoer, 2000).

Obstruksi lumen yang tertutup disebabkan oleh hambatan pada bagian proksimal. Selanjutnya, terjadi peningkatan sekresi normal dari mukosa apendiks yang distensi secara terus menerus karena multiplikasi cepat dari bakteri. Obstruksi juga menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa terbendung. semakin lama, mukus tersebut semakin banyak. Namun, elastisitas dinding apendiks terbatas sehingga meningkatkan tekanan intralumen. Kapasitas lumen apendiks normal hanya sekitar 0,1 ml (Schwartz, 2000).

Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan apendiks mengalami hipoksia, hambatan aliran limfe, ulserasi mukosa, dan invasi bakteri. Infeksi memperberat pembengkakan apendiks (edema). Trombosis pada pembuluh darah intramural (dinding apendiks) menyebabkan iskemik. Pada saat ini, terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium (Mansjoer, 2000).

6

Page 7: sgd skenario 4.doc

Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding. Peradangan yang meluas dan mengenai peritoneum setempat menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut (Mansjoer, 2000).

Bila kemudian arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforata (Mansjoer, 2000).

Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak kearah apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang disebut infiltrat apendikularis. Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang (Mansjoer., 2000).

Infiltrat apendikularis merupakan tahap patologi apendisitis yang dimulai di mukosa dan melibatkan seluruh lapisan dinding apendiks dalam waktu 24-48 jam pertama. Ini merupakan usaha pertahanan tubuh yang membatasi proses radang melalui penutupan apendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa. Akibatnya, terbentuk massa periapendikular. Di dalamnya, dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforata. Jika tidak terbentuk abses, apendisitis akan sembuh dan massa periapendikular akan menjadi tenang, dan selanjutnya akan mengurai diri secara lambat (Pieter, 2005).

Pada anak-anak, perforata mudah terjadi karena omentum lebih pendek, apendiks lebih panjang, dinding apendiks lebih tipis, dan daya tahan tubuh yang masih kurang. Pada orang tua, perforata mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah (Mansjoer, 2000).

Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi membentuk jaringan parut dan menyebabkan perlengketan dengan jaringan sekitar. Perlengketan ini menimbulkan keluhan berulang diperut kanan bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan mengalami eksaserbasi akut (Pieter, 2005).

C. GejalaBila letak apendiks retrosekal di luar rongga perut, karena letaknya terlindung

sekum maka tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak ada rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih ke arah perut sisi kanan atau nyeri timbul pada saat berjalan, karena kontraksi otot psoas mayor yang menegang dari dorsal (Pieter, 2005).

Apendiks yang terletak di rongga pelvis, bila meradang, dapat menimbulkan gejala dan tanda rangsangan sigmoid atau rektum sehingga peristaltik meningkat, pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang. Jika apendiks tadi menempel ke kandung kemih, dapat terjadi peningkatan frekuensi kencing, karena rangsangan dindingnya (Pieter, 2005).

Penjelekan sejak mulainya gejala sampai perforata biasanya terjadi setelah 36-48 jam. Jika diagnosis terlambat setelah 36-48 jam, angka perforata menjadi 65% (Hartman, 2000).1. Tanda awal

a. Nyeri mulai di epigastrium atau region umbilicus disertai mual dan anorexia.b. Demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,5 - 38,5ºC. Bila suhu lebih

tinggi, mungkin sudah terjadi perforasi.c. Nyeri berpindah ke kanan bawah dan menunjukkan tanda rangsangan

peritoneum lokal di titik Mc Burney.

7

Page 8: sgd skenario 4.doc

d. Nyeri tekane. Nyeri lepasf. Defans muskulerg. Nyeri rangsangan peritoneum tak langsungh. Nyeri kanan bawah pada tekanan kiri (Rovsing’s Sign)i. Nyeri kanan bawah bila tekanandi sebelah kiri dilepaskan (Blumberg’s Sign)j. Nyeri kanan bawah bila peritoneum bergerak seperti nafas dalam berjalan

batuk atau mengedan (De Jong, 2005).k. Peristalsis usus sering normal. Peristalsis dapat hilang karena ileus paralitik

pada peritonitis generalisata akibat apendisitis perforata. l. Pemeriksaan colok dubur menyebabkan nyeri bila daerah infeksi bisa dicapai

dengan jari telunjuk, misalnya pada apendisitis pelvika (Pieter, 2005).m. Pada apendisitis pelvika tanda perut sering meragukan, maka kunci diagnosis

adalah nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur.D. Pemeriksaan Fisik

1. Inspeksia. Tidak ditemukan gambaran spesifik.b. Kembung sering terlihat pada komplikasi perforasi.c. Appendisitis infiltrat atau adanya abses apendikuler terlihat dengan adanya

penonjolan di perut kanan bawah (Pieter, 2005).2. Palpasi

Palpasi abdomen harus dilakukan dengan lembut. Kuadran kanan bawah (titik Mcburney) harus dipalpasi terakhir setelah pemeriksa telah mempunyai kesempatan mempertimbangkan respons terhadap pemeriksaan kuadran yang seharusnya tidak nyeri. Hasil palpasi meliputi :a. Nyeri yang terbatas pada regio iliaka kanan, bisa disertai nyeri tekan lepas.b. Defans muscular menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietale.c. Pada apendisitis retrosekal atau retroileal diperlukan palpasi dalam untuk

menentukan adanya rasa nyeri.3. Perkusi

a. Terdapat nyeri ketok4. Auskultasi

a. Sering normalb. Peristaltic dapat hilang karena ileus paralitik pada peritonitis generalisata

akibat apendisitis perforata pada keadaan lanjutc. Bising usus tidak ada (karena peritonitis)

5. Rectal Touchera. Tonus musculus sfingter ani baikb. Ampula kolapsc. Nyeri tekan pada daerah jam 09.00-12.00d. Terdapat massa yang menekan rectum (jika ada abses).e. Pada apendisitis pelvika tanda perut sering meragukan maka kunci diagnosis

dalah nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur.6. Uji Psoas

Dilakukan dengan rangsangan otot psoas lewat hiperekstensi sendi panggul kanan atau fleksi aktif sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila apendiks yang meradang menempel di m. poas mayor, tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri.

7. Uji Obturator

8

Page 9: sgd skenario 4.doc

Digunakan untuk melihat apakah apendiks yang meradang kontak dengan m. obturator internus. Gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang akan menimbulkan nyeri pada apendisitis pelvika.

Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator merupakan pemeriksaan yang lebih ditujukan untuk mengetahui letak apendiks.

8. Alvarado ScoreDengan penemuan klinis dan pemeriksaan laboratorium, dapat digunakan suatu

alat bantu untuk diagnosis apendisitis akut, yaitu Alvarado Score. Dengan memperoleh nilai lebih dari 7, maka apendisitis akut sudah umumnya dapat ditegakkan.

Komponen Alvarado Score meliputi :

9

Page 10: sgd skenario 4.doc

Interpretasi dari Modified Alvarado Score: 1-4 : sangat mungkin bukan apendisitis akut 5-7 : sangat mungkin apendisitis akut 8-10 : pasti apendisitis akut

E. Pemeriksaan Penunjang1. Laboratorium

a. Pemeriksaan darah1) Leukositosis pada kebanyakan kasus appendisitis akut terutama pada

kasus dengan komplikasi.2) Pada appendicular infiltrat, LED akan meningkat3) Pemeriksaan urin untuk melihat adanya eritrosit, leukosit dan bakteri di

dalam urin. Pemeriksaan ini sangat membantu dalam menyingkirkan diagnosis banding seperti infeksi saluran kemih atau batu ginjal yang mempunyai gejala klinis yang hampir sama dengan appendicitis.

2. Radiologisa. Foto polos abdomen

Pada appendicitis akut yang terjadi lambat dan telah terjadi komplikasi (misalnya peritonitis) tampak :1) Psoas shadow tak tampak2) Bayangan gas usus kanan bawah tak tampak3) Garis retroperitoneal fat sisi kanan tubuh tak tampak4) 5% dari penderita menunjukkan fecalith radio-opak (Aksara Medisina

1997).b. USG

Bila hasil pemeriksaan fisik meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan USG, terutama pada wanita, juga bila dicurigai adanya abses. Dengan USG dapat dipakai untuk menyingkirkan diagnosis banding seperti kehamilan ektopik dan sebagainya.

10

Page 11: sgd skenario 4.doc

c. Barium enemaYaitu suatu pemeriksaan X-Ray dengan memasukkan barium ke colon

melalui anus. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan komplikasi-komplikasi dari appendicitis pada jaringan sekitarnya dan juga untuk menyingkirkan diagnosis banding (Schwartz 2000).

d. CT-Scan Dapat menunjukkan tanda-tanda dari appendicitis. Selain itu juga dapat

menunjukkan komplikasi dari appendicitis seperti bila terjadi abses.e. Laparoscopi

Yaitu suatu tindakan dengan menggunakan kamera fiberoptic yang dimasukkan dalam abdomen, appendix dapat divisualisasikan secara langsung. Tehnik ini dilakukan di bawah pengaruh anestesi umum. Bila pada saat melakukan tindakan ini didapatkan peradangan pada appendix maka pada saat itu juga dapat langsung dilakukan pengangkatan appendix.

Pemeriksaan radiologi dapat membantu diagnosis apendisitis secara lebih cepat dan pasti, akan tetapi secara value-based kurang disarankan. Gambaran kemampuan diagnositik dari beberapa modalitas radiologi terhadap diagnosis apendisitis adalah sebagai berikut

Modalitas Makna Klinis

Foto PolosTidak bermakna dalam diagnosis, walaupun seringkali penemuan fekalit dapat dilakukan.

USG Abdomen Sensitivitas 86%, Spesifisitas 81%CT-Scan Sensitivitas 94%, Spesifisitas 95%

2. GastritisA. Gejala

Sindrom dispepsia berupa nyeri epigastrium, mual, kembung dan muntah merupakan salah satu keluhan yang sering muncul. Ditemukan pula perdarahan saluran cerna berupa hematemesis dan melena, kemudian disesuaikan dengan tanda-tanda anemia pasca perdarahan. Biasanya, jika dilakukan anamnesis lebih dalam, tanpa riwayat penggunaan obat-obatan atau bahan kimia tertentu (Mansjoer, 1999).

Ulserasi superfisial yang dapat terjadi dan dapat menimbulkan Hemoragi, ketidaknyamanan abdomen (dengan sakit kepala, mual dan anoreksia) dan dapat terjadi muntah, serta cegukan beberapa pasien adalah asimtomatik, kolik dan diare dapat terjadi jika makanan pengiritasi tidak dimuntahkan, tetapi mencapai usus besar, pasien biasanya sembuh kira-kira dalam sehari meskipun nafsu makan kurang atau menurun selama 2 sampai 3 hari (Monica Ester, 2002).

B. Pemeriksaan DiagnostikDiagnosa gastritis berdasarkan anamnesis (tanya jawab), pemeriksaan

fisik dan pemeriksaan laboratorium. Berdasarkan anamnesis berupa keterangan dan keluhan penderita gastritis seperti nyeri ulu hati yang sifatnya seperti teriris – iris atau terbakar,mual, kembung, nafsu makan turun. Pemeriksaan fisik gastritis adanya nyeri tekan pada daerah ulu hati dan pemeriksaan laboratorium berupa pemeriksaan endoscopyuntuk melihat kondisi lambung dan jika perlu mengambil sampel lambung (biopsi)untuk deteksi H. Pylori.

11

Page 12: sgd skenario 4.doc

3. Batu Saluran Kemih (Urolithiasis)A. Gejala

1. Batu di dalam kandung kemih bisa menyebabkan nyeri di perut bagian bawah. BSK bagian atas seringkali menyebabkan nyeri karena turunnya BSK ke

ureter yang sempit. BSK pada kaliks dapat menyebabkan obstruksi, sehingga memberikan gejala kolik ginjal, sedangkan BSK non obstruktif hanya memberikan gejala nyeri periodik. Batu pada pelvis renalis dengan diameter lebih dari 1 cm umumnya menyebabkan obstruksi pada uretropelvic juction sehingga menyebabkan nyeri pada tulang belakang. Nyeri tersebut akan dijalarkan sepanjang perjalanan ureter dan testis. Pada BSK ureter bagian tengah akan dijalarkan di daerah perut bagian bawah, sedangkan pada BSK distal, nyeri dijalarkan ke suprapubis vulva (pada wanita) dan skrotum pada (pria).

2. HematuriaPada penderita BSK seringkali terjadi hematuria (air kemih berwarna seperti

air teh) terutama pada obstruksi ureter.3. Infeksi

BSK jenis apapun seringkali berhubungan dengan infeksi sekunder akibat obstruksi dan stasis di proksimal dari sumbatan. Keadaan yang cukup berat terjadi apabila terjadi pus yang berlanjut menjadi fistula renokutan.

4. DemamAdanya demam yang berhubungan dengan BSK merupakan kasus darurat

karena dapat menyebabkan urosepsis.5. Mual dan muntah

Obstruksi saluran kemih bagian atas seringkali menyebabkan mual dan muntah, dapat juga disebabkan oleh uremia sekunder.

B. Pemeriksaan FisikPada pemeriksaan fisis mungkin didapatkan nyeri ketok pada daerah kosto-

vertebra, teraba ginjal pada sisi sakit akibat hidonefrosis, terlihat tanda-tanda gagal ginjal, retensi urine, dan jika disertai infeksi didapatkan demam/menggigil.

C. Pemeriksaan Diagnostik1. Urinalisa : warna kuning, coklat gelap, berdarah. Secara umum menunjukkan

adanya sel darah merah, sel darah putih dan kristal serta serpihan, mineral, bakteri, pus, pH urine asam.

2. Urine (24 jam) : kreatinin, asam urat, kalsium, fosfat, oksalat atau sistin meningkat.

3. Kultur urine : menunjukkan adanya infeksi saluran kemih.4. Survei biokimia : peningkatan kadar magnesium, kalsium, asam urat, fosfat,

protein dan elektrolit.5. Kadar klorida dan bikarbonat serum : peningkatan kadar klorida dan penurunan

kadar bikarbonat menunjukkan terjadinya asidosis tubulus ginjal.6. Darah lengkap :

Sel darah putih : meningkat menunjukkan adanya infeksi. Sel darah merah : biasanya normal. Hb, Ht : abnormal bila pasien dehidrasi berat atau polisitemia.

7. Foto rontgen : menunjukkan adanya kalkuli atau perubahan anatomik pada area ginjal dan sepanjang ureter.

8. IVP : memberikan konfirmasi cepat urolithiasis, seperti penyebab nyeri abdominal atau panggul.

9. USG Ginjal : untuk menentukan perubahan obstruksi, lokasi batu.

12

Page 13: sgd skenario 4.doc

4. Divertikulum MeckelDivertikulum Meckel adalah outpouching atau tonjolan di bagian bawah dari usus

kecil. Tonjolan ini bawaan (hadir sejak lahir) dan merupakan sisa dari tali pusar. Divertikulum Meckel adalah cacat bawaan yang paling umum dari saluran pencernaan.A. Gejala

Kebanyakan dari pasien yang menderita Divertikulum Meckel tidak menunjukkan gejala, dan kelainan ini lebih sering ditemukan secara isidental pada pemeriksaan barium maupun laparotomi. Gejala yang timbul pada kelainan ini lebih cenderung akibat dari komplikasi yang timbul.1) Obstruksi usus (35%)

Gejala ini lebih sering ditemukan pada orang dewasa dengan prevalensi 26-53% dan pada pediatrik prevalensinya 25-40%. Gejala yang biasa dikeluhkan oleh pasien adalah vomitus bilious, distensi abdomen, nyeri periumbilikal, dan konstipasi. Dari pemeriksaan fisik akan ditemukan adanya nyeri abdomen, vomitus bilious, tegang abdomen, distensi, suara peristaltik yang hiperaktif, masa abdomen yang terpalpasi, jika berlanjut bisa terjadi iskemia atau infark dan terjadilan tanda peritoneal akut dan perdarahan gastrointestinal bawah.

2) Pendarahan (32%)Gejala ini lebih sering dikeluhkan pada pasien pediatrik dibandingkan orang

dewasa, yaitu berupa hematokezia. Perdarahan ini disebabkan oleh adanya ulkus peptikum. Mukosa gaster heterotrofik di dalam divertikulum akan mensekresi asam dan akan merusak jaringan sekitar, sehingga timbulah erosi jaringan dan pembuluh darah.

Pasien umumnya mengeluhkan adanya perdarahan rektum yang tiba-tiba dan spontan tanpa peringatan dan tanpa nyeri, namun dapat juga disertai nyeri yang ringan sampai berat. Perdarahannya berwarna merah cerah (brick red), pelan, dan menggumpal, namun dapat juga banyak yang diakibatkan oleh kontraksi fisiologis yang merupakan respon dari hipovolemia. Terdapat juga gambaran currant jelly stools yaitu kotoran yang terlapisi banyak mukus yag menandakan adanya iskemia dan intususepsi.

Pada pemeriksaan fisik perlu dievaluasi adanya tanda-tanda syok hemorhagik seperti takikardi. Jika kotoran yang teramati adalah merah cerah atau currant jelly berarati perdarahannya cepat, dan jika hitam maka perdarahannya pelan.

3) Divertikulitis (22%)Divertikulitis merupakan keadaan inflamasi pada Divertikulum Meckel yang

diakibatkan oleh obstruksi penyempitan pada mulut divertikulum oleh berbagai obstruktan seperti enterolit, fecolit, parasit, korpus alienum, neoplasma, atau inflamasi dan fibrosis dari ulkus peptikum.3,6 Divertikulits lebih sering ditemukan pada pasien dewasa.

Gejala yang dapat dikeluhkan oleh pasien adalah seperti nyeri abdomen pada daerah periumbilikal dan radiasi menuju kuadran kanan bawah, demam, dan vomitus. Pada pemeriksaan fisik akan ditemukan adanya nyeri tegang abdomen baik fokal maupun difus, dan kebanyakan pada regio periumbilikal. Pada anak kecil dapat ditemukan adanya guarding abdomen dan nyeri tegang rebound. Distensi abdomen dan peristaltik hipoaktif dapat ditemukan pada keadaan lanjut.

4) Kelainan Umbilikus (10%)

13

Page 14: sgd skenario 4.doc

Kelainan ini meliputi fistula, sinus, kista, dan pita fibrosis. Gejala yang dapat dikeluhkan oleh pasien dapat berupa discharge kronis dari sinus umbilikus, infeksi atau ekskoriasi kulit periumbilikal. Pasien juga dapat mengeluhkan adanya riwayat infeksi yang berulang, penyembuhan sinus, atau pembentukan abses dinding abdomen. Jika terdapat fistula, mukosa usus dapat terlihat diatas kulit.

5) Hernia LittreHernia Littre merupakan sebutan untuk Divertikulum Meckel yang

mengalami herniasi. Awalnya terminologi ini digunakan untuk mendeskripsikan herniasi Divertikulum Meckel di daerah femoral oleh Alexis Littre, namun sekarang digunakan untuk mewakili di lokasi manapun. Regio yang sering adalah di daerah inguinal yaitu 50%, femoral 20%, umbilical 20%, dan 10% di daerah lainnya. Gejala klinis yang ditimbulkan adalah perlahan dibandingkan hernia lainnya, dan dapat berupa distensi abdominal, nyeri, demam, dan vomitus.

6) NeoplasmaDivertikulum Meckel juga dapat berkembang menjadi tumor jinak seperti

leiomyoma, angioma, neuroma, dan lipoma, atau dapat berkembang menjadi neoplasma malignan seperti sarcoma, tumor karsinoma, adenokarsinoma dan limfoma Burkitt.

B. Pemeriksaan Penunjang1. Tes Laboratorium

Pemeriksaan darah lengkap, elektrolit gula darah, BUN, serum kreatinin, dan koagulasi tidak dapat membantu untuk menegakkan diagnosis namun penting untuk menangani perdarahan dari sistem pencernaan.

Hemoglobin dan hematokrit akan menurun pada anemia atau pendarahan dan 58% dari anak-anak dengan Divertikulum Meckel memiliki Hb di bawah 8.8 g/dL.

Anemia yang dapat ditimbulkan adalah anemia defisiensi besi namun dapat juga anemia megaloblastik akibat defisiensi folat dan vitamin B12. Jika terdapat albumin dan ferritin yang rendah hal ini bisa mengindikasikan adanya penyakit inflamasi usus (inflammatory bowel disease).

2. ImagingPenggunaan plain foto radiografi untuk kelainan ini memiliki keuntangan

yang terbatas, namun untuk komplikasi yang bersifat non-pendarahan dapat diteksi seperti enterolit, obstruksi ataupun perforasi dengan gambaran air-fluid levels.Jika terdapat gejala perdarahan dari saluran cerna dengan klinis mengarah ke Divertikulum Meckel, evaluasi diagnosis harus fokus dengan skanning Meckel, yaitu skintiskan technetium-99m pertechnetate. Isotope diinjeksi secara intravena, kemudian mukosa gaster akan mensekresikan isotope ini, dan jika divertikulum terdapat jaringan gaster ektopik maka akan nampak gambaran hot spot. Pemeriksaan ini lebih noninvasif dan akurat dibandingkan studi upper GI dan small bowel follow-through. Pada anak- anak sensitivitasnya adalah 80-90%, spesifisitas 95% dan akurasi 90%. Namun pada orang dewasa tanpa pendarahan, sensitivitasnya rendah yaitu 62.5%, spesifisitas 9% dan akurasi 46%. False positive dapat ditemukan pada mukosa gaster ektopik, ulkus duodenum, obstruksi usus kecil, duplikasi usus, obstruksi ureter, aneurisma, dan angioma. False negative ditemukan pada jika mukosa gaster pada divertikulum

14

Page 15: sgd skenario 4.doc

sangat minim atau absen, nekrosis divertikulum, atau jika bertumpuk dnegan versika urinaria.

Akurasi dari Skanning Meckel ini dapat ditingkatkan dengan pemberian cimetidine, glukagon adan pentagastrin. Jika studi barium dan skintigrafi negatif, pemeriksaan arteriografi selektif dapat diindikasikan. Hal ini biasanya terjadi pada keadaan pendarahan yang intermiten atau perbaikan yang komplit.

Pemeriksaan jenis lama yaitu serial usus kecil dengan barium dapat digunakan untuk menemukan kondisi penyerta pada Divertikulum Meckel. Enteroklisis digunakan untuk mendeteksi Divertikulum Meckel dengan gambaran berupa kantung pada sisi antimesenterik pada distal ileum, dan jika kantung tersebut berisi kemungkinan terdapat tumor. Tanda-tanda radiologisnya dapat berupa gambaran lipatan triradiat atau plateau triangular mucosal, kadang-kadang terdapat gambaran rugal gaster dalam Divertikulum Meckel.

Studi barium enema dapat digunakan untuk mencari adanya intususepsi jika ada kecurigaan. CT skan abdomen biasanya sulit digunakan untuk membedakan Divertikulum Meckel dengan loop usus kecil. Akan tetapi struktur blind-ending fluid-filled dan/atau gas-filled dalam usus kecil dapat tervisualisasi. Pemeriksaan dapat menunjukkan adanya enterolit, intususepsi, atau divertikulits. Pemeriksaan imaging dengan ultrasonografi digunakan lebih untuk memeriksa keadaan anatomi daripada komplikasinya.

3. HistologiPada pemeriksaan histologi, 62% kasus terdapat heterotrofik mukosa gaster,

6% jaringan pankreas, 5% jaringan pankreas dan mukosa gaster, 2% mukosa jejunum, 2% jaringan Brunner, dan 2% terdiri dari mukosa gaster dan duodenum.

Mukosa gaster yang ditemukan dapat berupa fundus, bodi, antrum, ataupun pilori. Mukosa fundus dan bodi terdapat kelenjar oxintik dengan parietal, chief, dan sel-sel mucous neck.

Pada Divertikulum Meckel dengan jaringan pankreas heterotrofik, dapat ditemukan acini pankreas, duktus, atau islet, ataupun kombinasi diantara ketiganya. Jaringan terletak di ujung dari Divertikulum Meckel dan merupakan daerah tempat yang sering terjadi intususepsi.

5. Crohn DiseaseA. Gejala

Gejala utama adalah diare, nyeri abdomen, dan penurunan berat badan. Sering pula didapatkan malaise, kehilangan nafsu makan, mual, muntah, dan mungkin terdapat demam subfebris. Terjadi mendadak, dapat menyerupai obstruksi dan apendisitis.

Diare terjadi pada 90% pasien. Jaringan parut dan pembentukan granuloma mempengaruhi kemampuan usus untuk mentranspor produk dari pencernaan usus atas melalui lumen terkontriksi, mengakibatkan nyeri abdomen berupa kram. Karena peristaltic usus dirangsang oleh makanan, nyeri kram terjadi setelah makan. Untuk menghindari nyeri kram ini, pasien cenderung untuk membatasi masukan makanan, mengurangi jumlah dan jenis makanan sehingga kebutuhan nutrisi normal tidak terpenuhi. Akibatnya adalah penurunan berat badan, malnutrisi, dan anemia sekunder. Selain itu, pembentukan ulkus di lapisan membrane usus dan ditempat terjadinya inflamasi, akan menghasilkan rabas pengiritasi konstan yang dialirkan ke kolon dari usus yang tipis, bengkak, yang menyebabkan diare kronis. Kekurangan nutrisi dapat terjadi akibat absorpsi terganggu. Akibatnya adalah

15

Page 16: sgd skenario 4.doc

individu menjadi kurus karena masukan makanan tidak adekuat dan cairan hilang secara terus menerus. Pada beberapa pasien, usus yang terinflamasi dapat mengalami perforasi dan membentuk abses anal dan intra-abdomen. Terjadi demam dan leukositosis. Abses, fistula, dan fisura umum terjadi.

Gejala meluas keseluruh saluran gastrointestinal dan umumnya mencakup masalah sendi (arthritis), lesi kulit (eritema nodosum), gangguan okuler (konjungtivitis), dan ulkus oral.

B. Pemeriksaan FisikPada pemeriksaan fisik didapatkan nyeri pada kuadran kanan bawah abdomen

yang dapat disertai rasa penuh atau adanya massa. Pasien juga dapat menderita anemia ringan, leukositosis, dan peningkatan LED.

Obstruksi saluran cerna merupakan komplikasi yang paling sering terjadi. Pada stadium dini, obstruksi pada ileum yang terjadi akibat edema dan inflamasi bersifat reversibel. Sejalan dengan makin memburuknya penyakit, akan terbentuk fibrosis, yang berakibat menghilangnya diare yang digantikan oleh konstipasi dan obstruksi sebagai akibat penyempitan lumen usus.

Pembentukkan fistula sering terjadi dan menyebabkan abses, malabsorpsi, fistula cutaneus, infeksi saluran kemih yang menetap, atau pneumaturia.

C. Pemeriksaan PenunjangHingga saat ini tidak ada pemeriksaan laboratorium spesifik yang berguna

dalam diagnosis Crohn’s disease, atau yang berhubungan dengan aktivitas klinis penyakit. Pemeriksaan penunjang yang disarankan adalah x-foto polos, x-foto kontras tunggal saluran cerna bagian atas dengan follow-though usus halus atau enteroclysis dengan CT, dan pemeriksaan kontras ganda usus halus. USG dan MRI dapat digunakan sebagai penunjang jika terdapat masalah dengan penggunaan kontras.

Barium enema bisa menunjukkan gambaran yang khas untuk penyakit Crohn pada usus besar. Jika masih belum pasti, bisa dilakukan pemeriksaan kolonoskopi (pemeriksaan usus besar) dan biopsi untuk memperkuat diagnosis. CT scan bisa memperlihatkan perubahan di dinding usus dan menemukan adanya abses, namun tidak digunakan secara rutin sebagai pemeriksaan diagnostik awal.

6. Ulcerative ColitisKolitis ulseratif merupakan salah satu bentuk penyakit Inflamatory Bowel Disease

(IBD), yaitu suatu peradangan kronis pada mukosa usus besar (kolon) ataupun pada rektum, pada kolitis uklseratif bisa sembuh sendiri karena peradangan hanya terjadi pada mukosa yang bisa berdeferensiasi untuk memperbaiki diri. A. Gejala

Gejala utama kolitis ulseratif adalah diare berdarah dan nyeri abdomen, seringkali dengan demam dan penurunan berat badan pada kasus berat. Pada penyakit yang ringan, bisa terdapat feses yang setengah berbentuk yang mengandung sedikit darah dan tanpa manifestasi sistemik (Glickman,2000).

Derajat klinik kolitis ulseratif dapat dibagi atas berat, sedang dan ringan, berdasarkan frekuensi diare, ada atau tidaknya demam, derajat beratnya anemia yang terjadi dan laju endap darah/erythrocyte sedimentation rate (klasifikasi Truelove). Perjalanan penyakit kolitis ulseratif dapat dimulai dengan serangan pertama yang berat ataupun dimulai ringan yang bertambah berat secara gradual setiap minggu. Berat ringannya serangan pertama sesuai dengan panjangnya kolon yang terlibat. Terutama hanya melibatkan lapisan mukosa. Secara endoskopik penilaian aktifitas penyakit kolitis ulseratif relatif mudah dengan menilai gradasi

16

Page 17: sgd skenario 4.doc

berat ringannya lesi mukosa dan luasnya bagian usus yang terlibat (Djojoningrat,2006).

Pada kolitis ulseratif, terdapat reaksi radang yang secara primer mengenai mukosa kolon. Secara makroskopik, kolon tampak berulserasi, hiperemik, dan biasanya hemoragik. Gambaran mencolok dari radang adalah bahwa sifatnya seragam dan kontinu dengan tidak ada daerah tersisa mukosa yang normal (Glickman,2000).

B. Pemeriksaan FisikTemuan fisis pada kolitis ulseratif biasanya nonspesifik; bisa terdapat distensi

abdomen atau nyeri sepanjang perjalanan kolon. Pada kasus ringan, pemeriksaan fisis umum akan normal. Demam, takikardia dan hipotensi postural biasanya berhubungan dengan penyakit yang lebih berat (Glickman,2000).

Manifestasi ekstrakolon bisa dijumpai. Hal ini termasuk penyakit okular (iritis, uveitis, episkleritis), keterlibatan kulit (eritema nodosum, pioderma gangrenosum), dan artralgia/artritis (periferal dan aksial artropati). Kolangitis sklerosing primer jarang dijumpai (Choon-Jin,2006).

C. Pemeriksaan PenunjangTemuan laboratorium seringkali nonspesifik dan mencerminkan derajat dan

beratnya perdarahan dan inflamasi. Bisa terdapat anemia yang mencerminkan penyakit kronik serta defisiensi besi akibat kehilangan darah kronik. Leukositosis dengan pergeseran ke kiri dan peningkatan laju endap darah seringkali terlihat pada pasien demam yang sakit berat. Kelainan elektrolit, terutama hipokalemia, mencerminkan derajat diare. Hipoalbuminemia umum terjadi pada penyakit yang ekstensif dan biasanya mewakili hilangnya protein lumen melalui mukosa yang berulserasi. Peningkatan kadar alkali fosfatase menunjukkan adanya penyakit hepatobiliaris yang berhubungan dengan kolitis ulseratif (Glickman,2000).

7. Ca ColonA. Gejala

Karsinoma colon dapat menyebabkan ulserasi, atau perdarahan, menimbulkan obstruksi bila membesar, atau menembus (invasi) keseluruh dinding usus dan kelenjar-kelenjar regional. Kadang-kadang bisa terjadi perforasi dan menimbulkan abses di peritonium. Keluhan dan gejala tergantung juga dari lokasi dan besarnya tumor. Karsinoma Colon Sebelah Kanan

Penting untuk diketahui bahwa umumnya pasien dengan karsinoma pada caecum atau pada ascending colon biasanya memperlihatkan gejala nonspesifik seperti kekurangan zat besi (anemia). Kejadian anemia ini biasanya meningkatkan kemungkinan terjadinya karsinoma colon yang belum terdeteksi, yang lebih cenderung berada di proksimal daripada di colon distal. Beberapa tanda gejala yang terlihat yaitu berat badan yang menurun dan sakit perut pada bagian bawah yang relatif sering, tetapi jarang terjadi pendarahan di anus. Pada 50-60% pasien terdapat massa yang teraba di sisi kanan perut.

Karsinoma colon sebelah kiriJika karsinoma terletak pada bagian distal, maka kemungkinan besar akan

ada gangguan pada kebiasaan buang air besar, serta adanya darah di feses. Beberapa karsinoma pada transversa colon dan colon sigmoid dapat teraba melalui dinding perut.

17

Page 18: sgd skenario 4.doc

Karsinoma sebelah kiri lebih cepat menimbulkan obstruksi, sehingga terjadi obstipasi. Tidak jarang timbul diare paradoksikal, karena tinja yang masih encer dipaksa melewati daerah obstruksi partial.

B. Pemeriksaan DiagnostikGejala yang paling sering dikeluhkan adalah adanya perubahan pola buang air

besar (change of bowel habits), bisa diare bisa juga obstipasi. Semakin distal letak tumor semakin jelas gejala yang ditimbulkan karena semakin ke distal feses semakin keras dan sulit dikeluarkan akibat lumen yang menyempit, bahkan bisa disertai nyeri dan perdarahan, bisa jelas atau samar. Warna perdarahan sangat bervariasi, merah terang, purple, mahogany, dan kadang kala merah kehitaman. Makin ke distal letak tumor warna merah makin pudar. Perdarahan sering disertai dengan lendir, kombinasi keduanya harus dicurigai adanya proses patologis pada colorectal. Selain itu, pemeriksaan fisik lainnya yaitu adanya massa yang teraba pada fossa iliaca dextra dan secara perlahan makin lama makin membesar. Penurunan berat badan sering terjadi pada fase lanjut, dan 5% kasus sudah metastasis jauh ke hepar.

C. Pemeriksaan Penunjang1) Pemeriksaan laboratorium

Meliputi pemeriksaan tinja apakah ada darah secara makroskopis/mikroskopis atau ada darah samar (occult blood) serta pemeriksaan CEA (carcino embryonic antigen). Kadar yang dianggap normal adalah 2,5-5 ngr/ml. Kadar CEA dapat meninggi pada tumor epitelial dan mesenkimal, emfisema paru, sirhosis hepatis, hepatitis, perlemakan hati, pankreatitis, colitis ulserosa, penyakit crohn, tukak peptik, serta pada orang sehat yang merokok. Peranan penting dari CEA adalah bila diagnosis karsinoma colorectal sudah ditegakkan dan ternyata CEA meninggi yang kemudian menurun setelah operasi maka CEA penting untuk tindak lanjut.

2) Double-contrast barium enema (DCBE)Pemeriksaan dengan barium enema dapat dilakukan dengan Single contras

procedure (barium saja) atau Double contras procedure (udara dan barium). Kombinasi udara dan barium menghasilkan visualisasi mukosa yang lebih detail. Akan tetapi barium enema hanya bisa mendeteksi lesi yang signifikan (lebih dari 1cm).

3) Flexible SigmoidoscopyFlexible Sigmoidoscopy (FS) merupakan bagian dari endoskopi yang dapat

dilakukan pada rectum dan bagian bawah dari colon sampai jarak 60 cm (sigmoid) tanpa dilakukan sedasi. Prosedur ini sekaligus dapat melakukan biopsi.

Intepretasi hasil biopsi dapat menentukan apakah jaringan normal, prekarsinoma, atau jaringan karsinoma. American Cancer Society (ACS) merekomendasikan untuk dilakukan colonoscopy apabila ditemukan jaringan adenoma pada pemeriksaan FS. Sedangkan hasil yang negatif pada pemeriksaan FS, dilakukan pemeriksaan ulang setelah 5 tahun.

4) Endoscopy dan biopsiEndoscopy dapat dikerjakan dengan rigid endoscope untuk kelainan-kelainan

sampai 25 cm – 30 cm, dengan fibrescope untuk semua kelainan dari rectum sampai caecum. Biopsi diperlukan untuk menentukan secara patologis anatomis jenis tumor.

5) Colonoscopy

18

Page 19: sgd skenario 4.doc

Colonoscopy adalah prosedur dengan menggunakan tabung fleksibel yang panjang dengan tujuan memeriksa seluruh bagian rectum dan usus besar. Colonoscopy umumnya dianggap lebih akurat daripada barium enema, terutama dalam mendeteksi polip kecil.

BAB V

HIPOTESIS AWAL

19

Page 20: sgd skenario 4.doc

1. Crohn Disease2. Gastritis3. Appendicitis

BAB VI

ANALISIS DIFFERENTIAL DIAGNOSIS

20

Page 21: sgd skenario 4.doc

a. GastritisKami mengambil DD gastritis karena memiliki gejala berupa nyeri epigastrium, mual,

kembung dan muntah. Tetapi gejala ini biasanya hilang setelah makan dan leukosit normal. Nyeri pada epigastrium tidak bertambah saat beraktifitas. Penyakit ini juga tidak menunjukkan obturator sign, psoas sign, dan rovsing sign yang positif.

b. Crohn’s DiseaseKami mengambil DD Crohn Disease karena memiliki gejala leukositosis, nyeri perut

kanan bawah, dengan mual muntah dan febris. Selain itu Crohn Disease memiliki gejala diare, penurunan berat badan dan malaise, Gejala meluas keseluruh saluran gastrointestinal dan umumnya mencakup masalah sendi (arthritis), lesi kulit (eritema nodosum), gangguan okuler (konjungtivitis), dan ulkus oral. Tetapi gejala ini tidak didapatkan pada penderita di atas, jadi kami menyingkirkan diagnosis Crohn Disease.

c. AppendicitisKami mengambil DD Appendicitis karena pada pasien terdapat gejala nyeri perut pada

kanan bawah. Mula-mula nyeri dirasakan di perut bagian tengah atas, kemudian berpindah ke kanan bawah disertai mual, perut kembung dan nafsu makan menurun. Nyeri dirasakan makin bertambah berat bila bergerak, berjalan ataupun saat batuk.

Selain itu juga didukung dengan riwayat pasien yang jarang makan sayur dan minum air putih, kadang BAB tidak teratur. Konstipasi akan meningkatkan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya akan mempermudah terjadinya apendisits akut.

Tanda lain yang membuat kelompok kami mengambil DD ini adalah rovsing sign +, obturator sign +, psoas sign +. Dimana tanda-tanda ini merupakan tanda-tanda pada appendicitis.

BAB VII

HIPOTESIS AKHIR

21

Page 22: sgd skenario 4.doc

APPENDICITIS

BAB VIII

MEKANISME DIAGNOSA

22

Page 23: sgd skenario 4.doc

BAB IX

STRATEGI MENYELESAIKAN MASALAH

23

Page 24: sgd skenario 4.doc

9.1 Penatalaksanaan Penanggulangan konservatif

Penanggulangan konservatif terutama diberikan pada penderita yang tidak mempunyai akses ke pelayanan bedah berupa pemberian antibiotik. Pemberian antibiotik berguna untuk mencegah infeksi. Pada penderita appendicitis perforasi, sebelum operasi dilakukan penggantian cairan dan elektrolit, serta pemberian antibiotik sistemik.

Sebelum operasia. Observasi

Dalam 8-12 jam setelah timbulnya keluhan, tanda dan gejala apendisitis seringkali masih belum jelas. Dalam keadaan ini observasi ketat perlu dilakukan. Pasien diminta melakukan tirah baring dan dipuasakan.

Laktasif tidak boleh diberikan bila dicurigai adanya apendiksitis ataupun bentuk peritonitis lainnya. Pemeriksaan abdomen dan rectal serta pemeriksaan darah (lekosit dan hitung jenis) diulang secara periodik.

Foto abdomen dan toraks tegak dilakukan untuk mencari kemungkinan adanya penyulit lain. Pada kebanyakan kasus, diagnosis ditegakkan dengan lokalisasi nyeri di daerah kanan bawah dalam 12 jam setelah timbulnya keluhan.

b. AntibiotikPada apendisitis tanpa komplikasi biasanya tidak perlu diberikan antibiotik,

kecuali pada apendisitis gangrenosa atau apendisitis perforate. Penundaan tindak bedah sambil memberikan antibiotik dapat mengakibatkan abses atau perforasi.

c. Pemasangan sonde lambung untuk dekompresid. Pemasangan kateter untuk kontrol produksi urine. Rehidrasif. Obat – obatan penurun panas, phenergan sebagai anti mengigil, largaktil untuk

membuka pembuluh – pembuluh darah perifer diberikan setelah rehidrasi tercapaig. Bila demam, harus diturunkan sebelum diberi anestesi.

OperasiBila diagnosa sudah tepat dan jelas ditemukan appendicitis maka tindakan yang

dilakukan adalah operasi membuang appendiks (appendektomi). Penundaan appendektomi dengan pemberian antibiotik dapat mengakibatkan abses dan perforasi (Wim De Jong, 2004).

Apendektomi bisa dilakukan secara terbuka ataupun dengan cara laparskopi. Bila apendektomi terbuka, insisi McBurney paling banyak dipilih oleh ahli bedah. Pada abses appendiks dilakukan drainage (mengeluarkan nanah).

Bila tersedia laparoskop, tindakan laparoskopi diagnostic pada kasus meragukan dapat segera menentukan akan dilakukan operasi atau tidak (Wim De Jong, 2004).

Pascaoperasi1. Perlu dilakukan observasi tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya pendarahan

didalam, syok, hipertermia, atau gangguan pernafasan. 2. Angkat sonde lambung bila pasien telah sadar, sehingga aspirasi cairan lambung

dapat dicegah.3. Baringkan pasien dalam posisi fowler. 4. Pasien dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan. Selama itu pasien

dipuasakan.

24

Page 25: sgd skenario 4.doc

5. Bila tindakan operasi lebih besar, misalnya pada perforasi atau peritonitis umum, puasa diteruskan sampai fungsi usus kembali normal.

6. Berikan minum mulai 15 ml/jam selama 4 – 5 jam lalu naikkan menjadi 30 ml/jam. Keesokan harinya berikan makanan saring dan hari berikutnya diberikan makanan lunak.

7. Satu hari pascaoperasi pasien dianjurkan untuk duduk tegak ditempat tidur selama 2x30 menit.

8. Pada hari kedua pasien dapat berdiri dan duduk diluar kamar. 9. Hari ketujuh jahitan dapat diangkat dan pasien diperbolehkan pulang.

Pada keadaan massa apendiks dengan proses radang yang masih aktif yang ditandai dengan :1. Keadaan umum klien masih terlihat sakit, suhu tubuh masih tinggi2. Pemeriksaan lokal pada abdomen kuadran kanan bawah masih jelas terdapat tanda –

tanda peritonitis3. Laboratorium masih terdapat lekositosis dan pada hitung jenis terdapat pergeseran

ke kiri

Apendiktomi harus dilakukan dalam beberapa jam setelah diagnosis ditegakkan (Pieter, 2005). Karena dikuatirkan akan terjadi abses apendiks dan peritonitis umum. Persiapan dan pembedahan harus dilakukan sebaik – baiknya mengingat penyulit infeksi luka lebih tinggi daripada pembedahan pada apendisitis sederhana tanpa perforasi (Arif Mansjoer, 2000).

Jika apendiks telah perforata, terutama dengan peritonitis menyeluruh, resusitasi cairan yang cukup dan antibiotik spektrum luas mungkin diperlukan beberapa jam sebelum apendiktomi. Pengisapan nasogastrik harus digunakan jika ada muntah yang berat atau perut kembung. Antibiotik harus mencakup organisme yang sering ditemukan (Bacteroides, Escherichia coli, Klebsiella, dan pseudomonas spesies). Regimen yang sering digunakan secara intravena adalah ampisilin (100 mg/kg/24 jam), gentamisin (5 mg/kg/24 jam), dan klindamisin (40 mg/kg/24 jam), atau metrobnidazole (Flagyl) (30 mg/kg/24 jam). Apendiktomi dilakukan dengan atau tanpa drainase cairan peritoneum, dan antibiotik diteruskan sampai 7-10 hari (Hartman, 2000)

Pada keadaan massa apendiks dengan proses radang yang telah mereda ditandai dengan :1. Umumnya klien berusia 5 tahun atau lebih2. Keadaan umum telah membaik dengan tidak terlihat sakit, suhu tubuh tidak tinggi

lagi3. Pemeriksaan lokal abdomen tidak terdapat tanda – tanda peritonitis dan hanya teraba

massa dengan jelas dan nyeri tekan ringan4. Laboratorium hitung leukosit dan hitung jenis normal.

Tindakan yang dilakukan sebaiknya konservatif dengan pemberian antibiotik dan istirahat di tempat tidur. Tindakan bedah apabila dilakukan lebih sulit dan perdarahan lebih banyak, lebih – lebih bila masa apendiks telah terbentuk lebih dari satu minggu sejak serangan sakit perut. Pembedahan dilakukan segera bila dalam perawatan terjadi abses dengan atau tanpa peritonitis umum (Arif Mansjoer dkk, 2000).

25

Page 26: sgd skenario 4.doc

BAB X

PROGNOSIS DAN KOMPLIKASI

26

Page 27: sgd skenario 4.doc

10.1 PrognosisApendiktomi yang dilakukan sebelum perforasi prognosisnya baik. Kematian dapat

terjadi pada beberapa kasus. Setelah operasi masih dapat terjadi infeksi pada 30% kasus apendiks perforasi atau apendiks gangrenosa.

10.2 Komplikasi1. Menurut Hartman, dikutip dari Nelson 1994 :

a. Perforasib. Peritonitisc. Infeksi Lukad. Abses intra abdomene. Obstruksi intestinum

2. Menurut Arif Mansjoer, 2000 :Apendisitis adalah penyakit yang jarang mereda dengan spontan, tetapi penyakit

ini tidak dapat diramalkan dan mempunyai kecenderungan menjadi progresif dan mengalami perforasi. Karena perforasi jarang terjadi dalam 8 jam pertama, observasi aman untuk dilakukan dalam masa tersebut (Arif Mansjoer dkk, 2000).

Tanda – tanda perforasi meliputi meningkatnya nyeri, spasme otot dinding perut kuadran kanan bawah dengan tanda peritonitis umum atau abses yang terlokalisasi, ileus, demam, malaise, leukositosis semakin jelas. Bila perforasi dengan peritonitis umum pembentukan abses telah terjadi sejak klien pertama sekali datang, diagnosis dapat ditegakkan dengan pasti (Arif Mansjoer dkk, 2000).

Bila terjadi peritonitis umum terapi spesifik yang dilakukan adalah operasi untuk menutup asal perforasi. Sedangkan tindakan lain sebagai penunjang : tirah baring dalam posisi fowler medium, pemasangan NGT, puasa, koreksi cairan dan elektrolit, pemberian penenang, pemberian antibiotik berspektrum luas dilanjutkan dengan pemberian antibiotik yang sesuai dengan kultur, transfusi untuk mengatasi anemia, dan penanganan syok septik secara intensif, bila ada (Arif Mansjoer dkk, 2000).

Bila terbentuk abses apendiks akan teraba masssa di kuadran kanan bawah yang cenderung menggelembung ke arah rektum atau vagina. Terapi dini dapat diberikan kombinasi antibiotik (misalnya ampisilin, gentamisin, metronidazol, atau klindamisin). Dengan sediaan ini abses akan segera menghilang, dan apendiktomi dapat dilakukan 6 – 12 minggu kemudian. Pada abses yang tetap progresif harus segera dilakukan drainase. Abses daerah pelvis yang menonjol ke arah rektum atau vagina dengan fruktuasi positif juga perlu dibuatkan drainase (Arif Mansjoer dkk, 2000).

Tromboflebitis supuratif dari sistem portal jarang terjadi tetapi merupakan komplikasi yang letal. Hal ini harus dicurigai bila ditemukan demam sepsis, menggigil, hepatomegali, dan ikterus setelah terjadi perforasi apendiks. Pada keadaan ini diindikasikan pemberian antibiotik kombinasi dengan drainase. Komplikasi lain yang terjadi ialah abses subfrenikus juga dapat terjadi akibat perlengketan (Arif Mansjoer dkk, 2000).

DAFTAR PUSTAKA

27

Page 28: sgd skenario 4.doc

De Jong Wim, Samsuhidajat R. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta Guyton, Arthur C., Hall, John E., 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Ed. 11. Jakarta Penerbit Buku Kedokteran EGC. p: 848 Kurniawan, Lilik. 2009. Karsinoma Rektum. Fakultas Kedokteran Universitas Riau. Lukito, JS. 2011. Anatomi dan Histologi Usus Besar Dan Rektum. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

28