Laporan Kasus Tetanus Fixedd

63
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penyusun panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan rahmat – Nya penyusun dapat menyelesaikan case yang berjudul “ TETANUS”. Penyusunan case ini dimaksudkan untuk melengkapi tugas di Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah di RSUD Budhi Asih Jakarta Periode 10 juni – 24 Agustus 2013. Pada kesempatan ini saya mengucapkan banyak terimakasih kepada dr. Benno Syahbana Sp.B selaku pembimbing, serta seluruh pihak yang telah membantu dalam penyusunan referat ini. Penyusun menyadari bahwa dalam referat ini masih ditemui banyak kekurangan baik isi maupun format penyusun. Maka dari itu penyusun mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan di masa mendatang Akhir kata, saya selaku penyusun berharap case ini, mengenai ‘TETANUS” ini dapat berguna bagi rekan – rekan sekalian Jakarta, 29 Juli 2013 1

description

laporan kasus tetanus

Transcript of Laporan Kasus Tetanus Fixedd

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penyusun panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan rahmat –

Nya penyusun dapat menyelesaikan case yang berjudul “ TETANUS”. Penyusunan case ini

dimaksudkan untuk melengkapi tugas di Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah di RSUD Budhi Asih

Jakarta Periode 10 juni – 24 Agustus 2013.

Pada kesempatan ini saya mengucapkan banyak terimakasih kepada dr. Benno Syahbana Sp.B

selaku pembimbing, serta seluruh pihak yang telah membantu dalam penyusunan referat ini.

Penyusun menyadari bahwa dalam referat ini masih ditemui banyak kekurangan baik isi maupun

format penyusun. Maka dari itu penyusun mengharapkan kritik dan saran yang membangun

untuk perbaikan di masa mendatang

Akhir kata, saya selaku penyusun berharap case ini, mengenai ‘TETANUS” ini dapat berguna

bagi rekan – rekan sekalian

Jakarta, 29 Juli 2013

( I Nyoman Gde Danu Kumara)

1

PENDAHULUAN

Pendahuluan

Tetanus merupakan penyakit yang sering ditemukan, dimana masih terjadi di masyarakat

terutama masyarakat kelas menengah ke bawah. Di RSU Dr. Soetomo sebagian besar pasien

tetanus berusia > 3 tahun dan < 1 minggu (1).

Angka kejadian tetanus tinggi di negara-negara berkembang, terutama disebabkan

kontaminasi tali pusat, infeksi telinga kronik, luka tusuk pada anak usia sekolah,kehamilan

dengan abortus. Penyakit ini dapat dicegah dengan imunisasi, akan tetapi angka kejadiannya

masih tetap tinggi dengan angka kematian yang tinggi pula.

Di negara maju, kasus tetanus jarang ditemui. Karena penyakit ini terkait erat dengan

masalah sanitasi dan kebersihan selama proses kelahiran. Kasus tetanus memang banyak

dijumpai di sejumlah negara tropis dan negara yang masih memiliki kondisi kesehatan rendah (2).

* Coassistant FK TRISAKTI Periode 10 Juni 2013 –24 Agustus 2013

** Dokter Spesialis Bedah RSUD Budhi Asih

2

I. DATA IDENTITAS PASIEN

Nama Pasien : Tn. Nana Juhana

Jenis Kelamin : Laki - laki

Nomor R.M : 87 94 24

Umur : 28 th 10bl 11hr

Alamat : Jalan gang Taslim RT 10 /RW 10

Kelurahan : Bidara Cina

Kecamatan : Jatinegara

Tanggal masuk : 18 Juni 2013 pukul 01.50

II. ANAMNESIS

Keluhan Utama :

Pasien datang dengan keluhan sulit untuk membuka mulut sejak 1 hari yang lalu

Riwayat Penyakit Sekarang

Seorang laki - laki datang ke IGD pada tanggal 18 Juni 2013 pukul 01.50. Pasien mengeluh sulit

untuk membuka mulut sejak 1 hari yang lalu. . Demam disangkal oleh pasien, kejang disangkal

oleh pasien, Penurunan kesadaran disangkal oleh pasien. Selain itu, pasien menyangkal adanya

mual ataupun muntah serta pasien tidak mengalami sakit kepala. Dua minggu yang lalu sebelum

masuk rumah sakit Budhi Asih, pasien sempat mengalami luka robek pada jari kelingking kaki

kiri saat bekerja terkena meja dan pasien pergi berobat ke klinik 24 jam. Pada klinik tersebut

pasien mengaku luka sempat dibersihkan terlebih dahulu, dijahit dan diberi tiga macam obat,

tetapi pasien menyangkal diberi ATS ataupun Toksoid Tetanus (didapat dari anamnesis dimana

pasien mengaku tidak mendapatkan suntikan baik di lengan ataupun bokong).

3

Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien sebelumnya tidak pernah mengalami hal yang sama, Riwayat hipertensi (-), Riwayat DM

(-), Riwayat alergi obat (-), Riwayat epilepsy (-), Riwayat kejang demam saat kecil disangkal

pasien.Sebelumnya pasien tidak pernah tergigit oleh binatang seperti anjing atau kucing.

Riwayat kelahiran

Pasien mengaku pada saat lahir pasien tidak di rumah sakit melainkan di bidan. Pasien lahir

cukup bulan.

Riwayat Imunisasi

Pasien mengaku tidak mengingat apakah sebelumnya sudah diimunisasi/ divaksin atau belum.

Riwayat Kebiasaan

Pasien tidak merokok maupun meminum alcohol.

Riwayat pengobatan

Pasien mengaku sebelum ke rs budhi asih sebelumnya sempat ke klinik dan kaki yang terluka

dibersihkan serta diberi 3 macam obat, tetapi pasien tidak mengingat nama obat tersebut dan juga

pasien diberi obat herbal oleh teman pasien di tempatnya bekerja

4

III. Pemeriksaan Fisik

Follow up Perawatan pasien (19/6/2013)

Pemeriksaan Umum

Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang

Kesadaran : Compos Mentis.

Tekanan Darah : 120/80mmHg

Nadi : 96 x/menit

Suhu : 36,1oC

Pernafasaan : 20 x/menit

Keadaan gizi : Baik

Tinggi Badan : 171 cm

Berat Badan : 60 kg

IMT : 20,54 kg/m2 (Normal)

Sianosis : Tidak ada

Udema umum : Tidak ada

Cara berjalan : Tidak dinilai (pasien bed rest)

Mobilitas ( aktif / pasif ) : Pasif

Umur menurut taksiran pemeriksa : Sesuai

Aspek Kejiwaan

Tingkah laku : Wajar

Alam Perasaan : Biasa

Proses Pikir : Wajar

5

Kulit

Warna : Kuning langsat Efloresensi : Tidak ada

Pertumbuhan rambut : Merata Turgor : Baik

Suhu raba : Hangat Lapisan lemak : Merata

Keringat : Ada Ikterus / edema : Tidak ada

Lain – lain : bekas jahitan (+)

Status generalis

Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-),

reflex pupil (+/+), pupil isokor

Telinga : Tidak terdapat sekret dan tidak nyeri tekan

Hidung : Dalam batas normal (tidak ada sekret), nafas

cuping hidung (-)

Mulut : Tidak didapatkan adanya caries, bibir tidak

Cianosis, didapatkan adanya trismus (1,5 – 1,7 cm)

Kepala : Ekspresi wajah Risus sardonicus, rambut merata,

Hitam, Wajah simetris

Leher : Tidak terdapat jejas, terdapat kaku pada leher.

Kelenjar getah bening tidak nampak membesar.

Thorax : Bentuk simetris,elips, sela iga tidak terlalu lebar

atau tidak terlalu sempit

Pulmo

Depan Belakang

Inspeksi (Kanan) Gerakan dada simetris Tidak dilakukan

(Kiri) Gerakan dada simetris Tidak dilakukan

Palpasi (Kanan) Fremitus simetris, tidak ada Tidak dilakukan

6

benjolan, Nyeri tekan (-)

(Kiri) Fremitus simetris Benjolan

tidak ada, Nyeri tekan (-)

Tidak dilakukan

Perkusi (Kanan) Sonor diseluruh lapang paru Tidak dilakukan

(Kiri) Sonor diseluruh lapang paru Tidak dilakukan

Auskultasi (Kanan) Suara nafas vesikuler,

wheezing (-), Rhonchi (-)

Tidak dilakukan

(Kiri) Suara nafas vesikuler,

wheezing (-), Rhonchi (-)

Tidak dilakukan

*Pemeriksan pada bagian belakang sulit untuk dilakukan karena pasien tidak bisa duduk akibat

kaku karena toksin tetanus .

Jantung

Inspeksi Ictus cordis tidak nampak saat inspeksi

Palpasi Iktus cordis teraba di ICS VI di garis

midklavikula kiri

Perkusi Batas atas : ICS III linea parastternal kiri

Batas kiri : ICS VI 1 cm medial linea

midklavikula kiri

Batas kanan : ICS IV linea parasternal kanan

Auskultasi BJI, II Murni regular, murmur (-), gallop (-)

Perut

Inspeksi Datar, dilatasi vena (-)

Palpasi Nyeri tekan (-), nyeri lepas (-), defens

muscular (+), massa (-). Hepar tidak teraba

7

Perkusi Timpani, shifting dullness (-), undulasi (-)

Auskultasi Bising Usus normal

Anggota gerak lengan Kanan Kiri

Tonus otot Normotonus Normotonus

Massa Eutrofi Eutrofi

Gerakan Aktif Aktif

Oedem (-) (-)

Anggota gerak bawah

(tungkai)

Kanan Kiri

Luka Tidak ada Terdapat luka pada sela - sela

kelingking kaki kiri yang telah

dijahit 2 minggu yang lalu

Tonus Normotonus Hipertonus

Subjektif Objektif Assesment Perencanaan

• Riwayat luka pada

kaki 2 minggu yg lalu

• Sering berkeirngat

• Tidak bisa

membuka mulut

• Leher dan

• Tekanan darah :

120/80

• Nadi 88x/mnt

• RR : 26x/mnt

• Suhu : 37o C

• Trismus (+), (1

Tetanus

stadium IV

• ATS 20.000 IU

(Hari ke 2)

• Diazepam 1 amp

• Ceftriaxone 2 x 1

gr

• Luminal 100 mg

8

punggung terasa kaku

• Kejang (+)

sebanyak 3 kali dalam 1

hari

• Tidak bisa duduk

cm)

• Kaku kuduk (+)

• Cuci luka dengan

Peroksida dan

Metronidazole

Ket : Setelah visit

Ceftriaxone ganti

dengan Penicilin

Prokain 3 x 1,2 juta

unit

Follow up Perawatan pasien (20/6/2013)

Subjektif Objektif Assesment Perencanaan

• Sering berkeirngat

• Tidak bisa

membuka mulut

• Leher, perut dan

punggung terasa kaku

• Kejang apabila

terdapat rangsangan

• Tidak bisa duduk

• Tekanan darah :

130/80

• Nadi 100x/mnt

• RR : 24x/mnt

• Suhu : 37,5o C

• Trismus (+),

(1,5 cm)

• Kaku kuduk (+)

• Defens muscular

(+)

Tetanus

stadium III

• ATS 20.000 IU

(Hari ke 3)

• Diazepam 1 amp

• Penicilin Prokain

3 x 1,2 juta unit

• Luminal 100 mg

• Cuci luka dengan

Peroksida dan

Metronidazole

Follow up Perawatan pasien (21/6/2013)

Subjektif Objektif Assesment Perencanaan

9

• Sering berkeirngat

• Tidak bisa

membuka mulut

• Leher, perut dan

punggung terasa kaku

• Kejang apabila

terdapat rangsangan

• Tidak bisa duduk

• Sulit mengunyah

• Kesemutan

• Tekanan darah :

130/100

• Nadi 80 x/mnt

• RR : 24x/mnt

• Suhu : 37,4o C

• Trismus (+),

(1,5 cm)

• Kaku kuduk (+)

• Defens muscular

(+)

Tetanus

stadium III

• ATS 20.000 IU

(Hari ke 4)

• Diazepam 1 amp

• Penicilin Prokain

3 x 1,2 juta unit

• Luminal 100 mg

• Cuci luka dengan

Peroksida dan

Metronidazole

Follow up Perawatan pasien (22/6/2013)

Subjektif Objektif Assesment Perencanaan

• Sulit membuka

mulut tetapi sudah lebih

baik dari sebelumnya

• Leher, perut dan

punggung terasa kaku

• Kejang apabila

terdapat rangsangan

• Tidak bisa duduk

• Sulit mengunyah

• Tekanan darah :

130/100

• Nadi 100x/mnt

• RR : 24x/mnt

• Suhu : 37,5o C

• Trismus (+),

(1,7 cm)

• Kaku kuduk (+)

• Defens muscular

(+)

Tetanus

stadium III

• ATS 20.000 IU

(Hari ke 5)

• Diazepam 1 amp

• Penicilin Prokain

3 x 1,2 juta unit

• Luminal 100 mg

• Ketorolac

• Cuci luka dengan

Peroksida dan

Metronidazole

Follow up Perawatan pasien (23/6/2013)

10

Subjektif Objektif Assesment Perencanaan

• Sulit membuka

mulut

• Leher, perut dan

punggung terasa kaku

• Kejang apabila

terdapat rangsangan

• Tidak bisa duduk

• Tekanan darah :

130/100

• Nadi 80x/mnt

• RR : 22x/mnt

• Suhu : 37,4o C

• Trismus (+),

(1,7 cm)

• Kaku kuduk (+)

• Defens muscular

(+)

Tetanus

stadium III

Diazepam 1 amp

Penicilin Prokain

3 x 1,2 juta unit

Luminal 100 mg

Ketorolac

Cuci luka dengan

Peroksida dan

Metronidazole

Follow up Perawatan pasien (24/6/2013)

Subjektif Objektif Assesment Perencanaan

• Sulit membuka

mulut

• Leher, perut dan

punggung terasa kaku

• Kejang apabila

terdapat rangsangan

• Tidak bisa duduk

• Tekanan darah :

120/80

• Nadi 96x/mnt

• RR : 20x/mnt

• Suhu : 36,1o C

• Trismus (+),

(1,7 cm)

• Kaku kuduk (+)

• Defens muscular

(+)

Tetanus

stadium III

Diazepam 1 amp

Penicilin Prokain

3 x 1,2 juta unit

Luminal 100 mg

Ketorolac

Cuci luka dengan

Peroksida dan

Metronidazole

11

Follow up Perawatan pasien (25/6/2013)

Subjektif Objektif Assesment Perencanaan

• Sulit membuka

mulut

• Leher, perut dan

punggung terasa kaku

• Kejang apabila

terdapat rangsangan

• Tidak bisa duduk

• Tekanan darah :

120/80

• Nadi 100x/mnt

• RR : 20x/mnt

• Suhu : 36,5o C

• Trismus (+),

(1,7 cm)

• Kaku kuduk (+)

• Defens muscular

(+)

Tetanus

stadium III

Diazepam 1 amp

Penicilin Prokain

3 x 1,2 juta unit

Luminal 100 mg

Ketorolac

Cuci luka dengan

Peroksida dan

Metronidazole

IV. Pemeriksaan Laboratorium

Hematologi Hasil Nilai Normal

Leukosit 13.700µL 3.800 – 10.600 µL

Hemoglobin 15.400 g/dl 13.200 – 17.300 g/dl

Hematokrit 46% 40 – 52 %

Trombosit 407.000 µL 150.000 – 440.000 µL

Kimia Klinik Elektrolit Hasil Nilai Normal

Natrium (Na) 147 mmol/L 135 – 155 mmol/L

Kalium (K) 4,1 mmol/L 3,6 – 5,5 mmol/L

Klorida (Cl) 107 mmol/L 98 – 109 mmol/L

12

V. Analisa Kasus

Pasien datang dengan keluhan sulit untuk membuka mulut, keadaan ini mungkin disebabkan

oleh beberapa penyakit seperti infeksi local pada mulut,tetanus, dan lain sebagainya. Tetanus

dapat dijadikan sebagai diagnosis kerja terlebih dahulu sebelum melakukan pemeriksaan lanjutan

dan pemeriksaan laboratorium, mengingat berdasarkan anamnesis yang telah dilakukan

sebelumnya pasien mengaku sempat terkena meja pada jari kaki (kelingking kiri) yang mungkin

merupakan focus infeksi bagi C. Tetani. C.tetani merupakan suatu bakteri yang bersifat anaerob

dimana bakteri ini termasuk gram positif dan dapat menimbulkan gejala berupa trismus atau sulit

untuk membuka mulut seperti yang terjadi pada pasien akibat toksin yang dikeluarkan oleh

bakteri ini berupa tetanospasmin dan tetanolysisn. Bakteri ini dapat masuk ke dalam tubuh

manusia melalui luka, seperti luka robek, luka bakar,bahkan dapat melalui gigi yang berlubang

ataupun OMSK. Pada saat masuk ke dalam tubuh,dan dalam keadaan anaerob maka bentuk spora

akan bergerminasi membentuk bentuk vegetative yang mensekresi toksin.Terdapat dua toksin

yang disekresikan yaitu tetanolysin dan tetanospasmin. Tetanolysin tidak berakibat langsung

pada terjadinya trismus ini melainkan menimbulkan kondisi yang optimal bagi pertumbuhan dari

C. Tetani. Tetanospasmin terdiri atas protein yang bersifat toksik terhadap sel saraf. Toksin dari

tempat luka menyebar ke motor endplate dan setelah masuk lewat ganglioside dijalarkan secara

intraaxonal ke dalam sel saraf tepi, kemudian ke kornu anterior medula spinalis. Cara kerja dari

toksin tetanus ini sendiri adalah dengan cara menghambat neurotransmitter inhibitorik (GABA

dan Glisin) sehingga menyebabkan dominannya neurotransmitter excitatorik yang menyebabkan

gejala spasme pada otot yang pada awalnya mengenai otot masetter sehingga pasien sulit untuk

membuka mulut dan juga dapat mengakibatkan kaku pada punggung maupun kaku pada otot

perut yang menyebabkan defens muscular positif pada saat pemeriksaan, keluhan ini muncul saat

toksin telah berada di kornu anterior medulla spinalis dan dapat pula menimbulkan kejang.

Apabila toksin mencapai korteks serebri (cereberal ganglioside), maka pasien akan mulai

mengalami kejang umum yang spontan. Keluhan nyeri dan kesemutan kemungkinan disebabkan

oleh karena adanya spasme otot yang menekan saraf tertentu sehingga menimbulkan gejala

tersebut.(3,4)

Diagnosis

13

Diagnosis didasarkan atas anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium. Pada

saat dilakukan anamnesis telah didapatkan adanya trismus yang merupakan gejala dari tetanus

meskipun masih mungkin diakibatkan oleh penyakit lain. Setelah dilakukan anamnesis pasien

mengaku 2 minggu yang lalu, pernah terluka pada bagian jari kelingking kaki kiri dan selain itu

setelah beberapa hari dirawat pasien mengalami kejang yang bersifat tonik. Pada saat kejang

pasien tidak mengalami penurunan kesadaran. Riwayat kejang demam pada saat anak - anak

ataupun epilepsy disangkal oleh pasien. Selain itu pasien juga mengeluh kaku pada punggung

dan juga perut dan setelah dilakukan pemeriksaan defens muscular ditemukan pada pasien serta

kaku kuduk positif. Pemeriksaan laboratorium telah dilakukan namun kadar elektrolit pasien

masih dalam batas normal. Stadium tetanus dibagi berdasarkan :

Menurut berat ringannya tetanus dibagi atas:

1. Stadium 1 : umumnya trismus

2. Stadium 2 : opisthotonus

3. Stadium 3 : Kejang rangsang

4. Stadium 4 : kejang spontan (5)

Dari pembagian diatas, maka pada saat awal pasien datang, pasien mengalami kejang spontan,

diagnosis didapatkan tetanus stadium IV dan setelah dilakukan terapi dengan pemberian ATS

dan Penisilin Prokain, kejang hanya timbul apabila terdapat rangsangan misalnya perubahan

cahaya dari gelap ke terang, oleh karena itu didapatkan diagnosis berupa tetanus stadium III.

Diagnosis banding dapat disingkirkan melalui anamnesis dan juga berdasarkan pemeriksaan fisik

dan pemeriksaan laboatorium. Meningitis bacterial dapat disingkirkan karena pada saat kejang,

kesadaran pasien tidak menurun dan tidak disertai adanya trismus meskipun dapat disertai

dengan kaku kuduk. Diagnosis ditegakkan dengan melakukan lumbal pungsi, dimana adanya

kelainan cairan serebrospinal yaitu jumlah sel meningkat, kadar protein meningkat dan glukosa

menurun. Pada penyakit poliomyelitis

Didapatkan adanya paralisis flaksid dengan tidak dijumpai adanya trismus. Pemeriksaan cairan

serebrospinalis menunjukan lekositosis. Diagnosis dapat ditegakkan dengan mengisolasi virus

polio dari tinja dan pemeriksaan serologis, titer antibody meningkat.Pada penyakit rabies

14

biasanya didahului oleh gigitan binatang seperti anjing atau hewan lain. Trismus jarang

ditemukan,kejang bersifat klonik.Keracunan strychnine

Pada keadaan ini trismus jarang, gejala berupa kejang tonik umum.Tetani

Timbul karena ketidakseimbangan elektrolit, sementara pada kasus telah dilakukan pemeriksaan

laboratorium dan menunjukkan hasil yang normal. Yang khas bentuk spasme otot ialah

karpopedal spasme dan biasanya diikuti dengan laringospasme, jarang dijumpai trismus.Histeria

keadaan dimana pasien berpura – pura sakit, biasanya untuk menarik perhatian dan untuk

bermalas – malasan ataupun untuk mendapatkan kompensasi gaji dan asuransi.(4,6)

Penatalaksanaan.

Toksin yang telah beredar di system saraf terminal tidak dapat dinetralisir dan biasanya bertahan

selama 23 hari sehingga biasanya tidak terdapat perubahan pada gaya jalan pasien. Penisilin

diberikan untuk membunuh C. tetani, sementara metronidazole lebih efektif menurunkan

morbiditas dan mortalitas daripada penisilin.Sementara itu untuk mengatasi toksin yang beredar

dapat dinetralkan dengan pemberian serum antitetanus atau Human Imunoglobulin . ATS

diberikan dengan dosis 20.000 IU/ hari selama lima hari berturut – turut. Pada pemberian ATS

harus diingat kemungkinan adanya reaksi alergi. Sehingga sebelum pemberian sebaiknya

dilakukan skin test terlebih dahulu. Pemberian Human immunoglobulin cukup dengan dosis

tunggal 3000 – 6000 unit; pemberian tidak perlu diulang karena waktu paruh antibody ini 31/2 –

41/2 minggu.Untuk profilaksis dapat diberikan 250 IU pd anak dengan umur 10 tahun atau lebih

atau 500 IU jika 24 jam setelah kontaminasi kuman yang cukup banyak. Sementara pada kasus

yang diberikan kepada pasien adalah ATS selama 5 hari berturut – turut.Untuk mengontol

rigiditas dan spasme yang terjadi pada pasien diberikan golongan Benzodiazepin yang

merupakan GABA agonis. Cara kerja obat ini dengan menghambat inhibitor endogen pada

GABA reseptor. Derivat benzodiazepine yang dianjurkan dan digunakan pula pada kasus ini

adalah diazepam/ (oxazepam atau desmethyldiazepam). (4,7)

15

TINJAUAN PUSTAKA

Mekanisme Impuls Saraf

Impuls dapat dihantarkan melalui beberapa cara, di antaranya melalui sel saraf dan sinapsis. Berikut

ini akan dibahas secara rinci kedua cara tersebut.

1. Penghantaran Impuls Melalui Sel Saraf

Penghantaran impuls baik yang berupa rangsangan ataupun tanggapan melalui

serabut saraf (akson) dapat terjadi karena adanya perbedaan potensial listrik antara

bagian luar dan bagian dalam sel. Pada waktu sel saraf beristirahat, kutub positif

terdapat di bagian luar dan kutub negatif terdapat di bagian dalam sel saraf.

Diperkirakan bahwa rangsangan (stimulus) pada indra menyebabkan terjadinya

pembalikan perbedaan potensial listrik sesaat. Perubahan potensial ini (depolarisasi) terjadi

berurutan sepanjang serabut saraf. Kecepatan perjalanan gelombang perbedaan potensial

bervariasi antara 1 sampai dengan 120 m per detik, tergantung pada diameter akson dan ada atau

tidaknya selubung mielin.

Bila impuls telah lewat maka untuk sementara serabut saraf tidak dapat dilalui

oleh impuls, karena terjadi perubahan potensial kembali seperti semula (potensial

istirahat). Untuk dapat berfungsi kembali diperlukan waktu 1/500 sampai 1/1000 detik. Energi

yang digunakan berasal dari hasil pernapasan sel yang dilakukan oleh mitokondria dalam

sel saraf.

Stimulasi yang kurang kuat atau di bawah ambang (threshold) tidak akan menghasilkan

impuls yang dapat merubah potensial listrik. Tetapi bila kekuatannya di atas ambang maka impuls

akan dihantarkan sampai ke ujung akson. Stimulasi yang kuat dapat menimbulkan jumlah impuls

yang lebih besar pada periode waktu tertentu daripada impuls yang lemah.

16

2. Penghantaran Impuls Melalui Sinapsis

Titik temu antara terminal akson salah satu neuron dengan neuron lain

dinamakan sinapsis. Setiap terminal akson membengkak membentuk tonjolan sinapsis.

Di dalam sitoplasma tonjolan sinapsis terdapat struktur kumpulan membran kecil berisi

neurotransmitter; yang disebut vesikula sinapsis. Neuron yang berakhir pada tonjolan sinapsis

disebut neuron pra-sinapsis. Membran ujung dendrit dari sel berikutnya yang membentuk sinapsis

disebut post-sinapsis. Bila impuls sampai pada ujung neuron, maka vesikula bergerak dan melebur

dengan membran pra-sinapsis. Kemudian vesikula akan melepaskan neurotransmitter berupa

asetilkolin.

Neurontransmitter adalah suatu zat kimia yang dapat menyeberangkan impuls dari neuron pra-

sinapsis ke post-sinapsis. Neurontransmitter ada bermacam-macam misalnya dopamin,

norepinefrin, serotonin, asam gama-aminobutirat (GABA), glisin dan asetilkolin yang terdapat

di seluruh tubuh, noradrenalin terdapat di sistem saraf simpatik, dan dopamin serta serotonin yang

terdapat di otak.

Asetilkolin kemudian berdifusi melewati celah sinapsis dan menempel pada reseptor yang

terdapat pada membran post-sinapsis. Penempelan asetilkolin pada reseptor menimbulkan

impuls pada sel saraf berikutnya. Bila asetilkolin sudah melaksanakan tugasnya maka akan

diuraikan oleh enzim asetilkolinesterase yang dihasilkan oleh membran post-sinapsis.

17

Mekanisme Timbulnya Kontraksi Otot

Timbulnya kontraksi pada otot rangka dimulai dengan potensial aksi dalam serabut-

serabut otot. Potensial aksi ini menimbulkan arus listrik yang menyebar ke bagian dalam

serabut, dimana menyebabkan dilepaskannya ion-ion kalsium dari retikulum endoplasma.

Selanjutnya ion kalsium menimbulkan peristiwa-peristiwa kimia proses kontraksi.

Dalam fungsi tubuh normal, serabut-serabut otot rangka dirangsang oleh serabut serabut saraf

besar bermielin. Serabut-serabut saraf ini melekat pada serabut-serabut otot rangka dalam

hubungan saraf otot (neuromuscular junction) yang terletak di pertengahan otot. Ketika potensial

aksi sampai pada neuromuscular junction, terjadi depolarisasi dari membran saraf, menyebabkan

dilepaskan Acethylcholin, kemudian akan terikat pada motor end plate membran menyebabkan

terjadinya pelepasan ion kalsium yang menyebabkan terjadinya ikatan Actin-Miosin yang

akhirnya menyebabkan kontraksi otot. Oleh karena itu potensial aksi menyebar dari tengah serabut

ke arah kedua ujungnya, sehingga kontraksi hampir bersamaan terjadi di seluruh sarkomer otot.

18

Gerak dapat dilakukan secara sadar (gerak biasa) dan secara tidak sadar (gerak

reflek). Perbedaan dari kedua macam gerak tersebut adalah berkaitan dengan jalannya

impuls saraf yang melewati sistem saraf pusat, yaitu jika impuls melewati otak maka gerak yang

dilakukan sebagai hasil respon dari otak dinamakan gerak sadar, sedangkan jika impuls tidak

melewati otak tetapi sumsum tulang belakang, maka gerak yang dihasilkan sebagai respon dari

sumsum tulang belakang dinamakan gerak reflek.

Mekanisme gerak biasa (gerak sadar)

Rangsangan saraf sensorik otak saraf motorik gerak otot

Mekanisme gerak reflek (gerak tidak sadar)

Rangsangan saraf sensorik pusat integrasi di sumsum tulang

Belakang saraf motorik gerak otot

Langkah – langkah penggabungan eksitasi, kontraksi dan relaksasi

1. Asetil kolin yang dikeluarkan dari ujung terminal neuron motorik mengawali potensial aksi di

sel otot yang merambat ke seluruh permukaan membran aktivitas listrik permukaan

2. Aktivitas listrik permukaan dibawa ke bagian tengah (sentral) serat otot oleh tubulus T

3. Penyebaran potensial aksi ke tubulus T mencetuskan pelepasan simpanan Ca dari kantung –

kantung lateral retikulum sarkoplasma di dekat tubulus

4. Ca yang dilepaskan berikatan dengan troponin dan mengubah bentuknya sehingga kompleks

troponin – tropomiosin secara fisik tergeser ke samping, membuka tempat pengikatan

jemabatan silang aktin.

5. Bagian aktin yang telah terpajan tersebut berikatan dengan jembatan silang myosin, yang

sebelumnya telah mendapat energi dari penguraian ATP menjadi ADP + P + energy oleh ATP

ase di jembatan silang.

19

6. Pengikatan aktin dan myosin di jembatan silang menyebabkan jembatan silang menekuk,

menghasilkan suatu gerakan mengayun kuat yang menarik filament tipis ke arah dalam.

Pergeseran kea rah dalam dari semua filamen tipis yang mengelilingi filament tebal

memperpendek sarkomer (kontraksi otot)

7. Selama gerakan mengayun yang kuat tersebut, ADP dan P dibebaskan di jembatan silang.

8. Perlekatan sebuah molekul ATP baru memungkinkan terlepasnya jembatan silang, yang

mengembalikan bentuknya ke konfirmasi semula.

9. Penguraian molekul ATP yang baru oleh ATP –ase myosin kembali memberikan energy

sebagai jembatan silang

10. Apabila Ca masih ada sehingga kompleks troponin – tropomiosin tetap bergeser ke samping,

jembatan silang kembali menjalani siklus pengikatan dan penekukan, menarik filament tipis

selanjutnya.

11. Apabila tidak lagi terdapat potensial aksi local dan Ca secara aktif telah kembali ke tempat

penyimpanannya di kantung lateral reticulum sarkoplasma, kompleks troponin – tropomiosin

bergeser kembali ke posisinya menutupi tempat pengikatan jembatan silang aktin, sehingga

aktin dan myosin tidak lagi berikatan di jembatan silang, dan filament tipis bergeser kembali

ke posisi istirahat seiring dengan terjadinya proses relaksasi. (8,9)

20

21

Definisi

Tetanus adalah Gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya tonus otot dan spasme,

yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu toksin protein yang kuat yang dihasilkan oleh

Clostridium tetani.

Penyakit ini disebabkan oleh Clostridium tetani, merupakan basil Gram positif anaerob. Bakteri

ini nonencapsulated dan berbentuk spora, yang tahan panas, pengeringan dan desinfektan. Spora

terdapat di mana-mana dan ditemukan di tanah, debu rumah, usus hewan dan kotoran manusia.

Spora ini akan memasuki tubuh penderita, lalu mengeluarkan toksin yang bernama

tetanospasmin.

Karakteristik clostridium Tetani

Clostridium tetani

C. tetani termasuk dalam bakteri Gram positif, anaerob obligat, dapat membentuk spora, dan

berbentuk drumstick. Spora yang dibentuk oleh C. tetani

22

ini sangat resisten terhadap panas dan antiseptik . Ia dapat tahan walaupun telah diautoklaf

(1250C, 10-15 menit) dan juga resisten terhadap fenol dan agen kimia lainnya. Bakteri

Clostridium tetani ini banyak ditemukan ditanah,kotoran manusia dan hewan peliharaan dan di

daerah pertanian. Umumnya, spora bakteri ini terdistribusi pada tanah dan saluran pencernaan

serta feses dari kuda, domba, anjing, kucing, tikus, babi, dan ayam. Ketika bakteri tersebut

berada di dalam tubuh, ia akan menghasilkan neurotoksin (sejenis protein yang bertindak sebagai

racun yang menyerang bagian sistem saraf). C. tetani menghasilkan dua buah eksotoksin, yaitu

tetanolysin dan tetanospasmin. Fungsi dari tetanolysin tidak diketahui dengan pasti, namun juga

dapat menyebabkan lisis dari sel-sel darah hal ini mengakibatkan tetanolysin tidak secara

langsung menimbulkan tetanus, dengan menambah optimal kondisi local untuk berkembangnya

bakteri. Tetanospasmin terdiri atas protein yang bersifat toksik terhadap sel saraf. Toksin ini

diabsorpsi oleh saraf end organ diujung saraf motorik dan diteruskan melalui saraf sampai ke sel

ganglion dan susunan saraf pusat (medulla spinalis). Bila telah mencapai susunan saraf pusat dan

terikat pada sel saraf, toksin tersebut tidak dapat dinetralkan lagi. Saraf yang terpotong atau

berdegenerasi lambat menyerap toksin, sedangkan saraf sensorik sama sekali tidak menyerap

toksin.

Tetanospasmin merupakan toksin yang cukup kuat. Tetanospasmin merupakan protein dengan

berat molekul 150.000 Dalton, larut dalam air, labil pada panas dan cahaya, rusak dengan enzim

proteolitik. Bentuk vegetative tidak tahan terhadap panas dan beberapa antiseptic. Kuman tetanus

tumbuh subur pada suhu 17oC dalam media kaldu daging dan media agar darah. Demikian pula

media bebas gula karena kuman tetanus tidak dapat memfermentasi glukosa. (10)

Patogenesis

Tetanus disebabkan oleh neurotoksin (tetanospasmin) dari bakteri Gram positif anaerob,

Clostridium tetani, dengan mula-mula 1 hingga 2 minggu setelah inokulasi bentuk spora ke

dalam tubuh yang mengalami cedera/luka (masa inkubasi). Penyakit ini merupakan 1 dari 4

penyakit penting yang manifestasi klinis utamanya adalah hasil dari pengaruh kekuatan

eksotoksin (Tetanolisin dan Tetanospasmin). Tempat masuknya kuman penyakit ini bisa berupa

luka yang dalam yang berhubungan dengan kerusakan jaringan lokal, tertanamnya benda asing

atau sepsis dengan kontaminasi tanah, lecet yang dangkal dan kecil atau luka geser yang

terkontaminasi tanah, trauma pada jari tangan atau jari kaki yang berhubungan dengan patah

23

tulang jari dan luka pada pembedahan dan pemotongan tali pusat yang tidak steril. Bahkan

apabila tidak ditemukan adanya luka, tetanus bisa terjadi akibat adanya gigi berlubang atau otitis

media supuratif kronis. Pada keadaan anaerobik , spora bakteri ini akan bergerminasi menjadi sel

vegetatif bila dalam lingkungan yang anaerob, dengan tekanan oksigen jaringan yang rendah.

Selanjutnya,toksin akan diproduksi dan menyebar ke seluruh bagian tubuh melalui peredaran

darah dan sistem limpa. Toksin tersebut akan beraktivitas pada tempat-tempat tertentu seperti

pusat sistem saraf termasuk otak, sebelum mencapai otak penderita umumnya meninggal akibat

gagal nafas. Gejala klinis timbul sebagai dampak eksotoksin pada sinaps ganglion spinal dan

neuromuscular junction serta syaraf autonom. Toksin dari tempat luka menyebar ke motor

endplate dan setelah masuk lewat ganglioside dijalarkan secara intraaxonal ke dalam sel saraf

tepi, kemudian ke kornu anterior sumsum tulang belakang. Gejala klinis yang ditimbulkan dari

eksotoksin terhadap susunan saraf tepi dan pusat tersebut adalah dengan memblok pelepasan dari

neurotransmiter sehingga terjadi kontraksi otot yang tidak terkontrol/ eksitasi terus menerus dan

spasme. Neuron ini menjadi tidak mampu untuk melepaskan neurotransmitter. Neuron, yang

melepaskan gamma aminobutyric acid (GABA) dan glisin, neurotransmitter inhibitor utama,

sangat sensitif terhadap tetanospasmin, menyebabkan kegagalan penghambatan refleks respon

motorik terhadap rangsangan sensoris. Kekakuan mulai pada tempat masuknya kuman atau pada

otot masseter (trismus), pada saat toxin masuk ke medulla spinalis terjadi kekakuan yang berat,

pada extremitas, otot-otot pada dada, perut dan mulai timbul kejang. Apabila toksin mencapai

korteks serebri, maka pasien akan mulai mengalami kejang umum yang spontan. Karakteristik

dari spasme tetani ialah menyebabkan kontraksi umum kejang otot agonis dan antagonis.

neurotoksin ini pertama kali menyerang saraf tepi terpendek yang berasal dari sistem saraf

kranial, dengan gejala awal distorsi wajah dan punggung serta kekakuan dari otot leher.

Tetanospasmin pada sistem saraf otonom juga berpengaruh, sehingga terjadi gangguan

pernapasan, metabolisme, hemodinamika, hormonal, saluran cerna, saluran kemih, dan

neuromuscular. Spasme larynx, hipertensi, gangguan irama janjung, hiperflexi, hyperhidrosis

merupakan penyulit akibat gangguan saraf otonom, yang dulu jarang terjadi karena penderita

sudah meninggal sebelum gejala timbul. Dengan penggunaan diazepam dosis tinggi dan

pernapasan mekanik, kejang dapat diatasi namun gangguan saraf otonom harus dikenali dan di

kelola dengan teliti.

24

Tetanospasmin adalah toksin yang menyebabkan spasme, bekerja pada beberapa level dari

susunan syaraf pusat, dengan cara :

Toksin menghalangi neuromuscular transmission dengan cara menghambat pelepasan

GABA dari terminal nerve di otot.

Karakteristik spasme dari tetanus terjadi karena toksin mengganggu fungsi dari reflex

synaptik di spinal cord.

Kejang pada tetanus, mungkin disebabkan pengikatan dari toksin oleh cerebral

ganglioside.

Timbulnya kegagalan mekanisme inhibisi yang normal, yang menyebabkan meningkatnya

aktifitas dari neuron yang mempersarafi otot masetter sehingga terjadi trismus. Oleh karena otot

masetter adalah otot yang paling sensitif terhadap toksin tetanus tersebut. Stimuli terhadap

afferen tidak hanya menimbulkan kontraksi yang kuat, tetapi juga dihilangkannya kontraksi

agonis dan antagonis sehingga timbul spasme otot yang khas .Ada dua hipotesis tentang cara

bekerjanya toksin, yaitu:

1. Toksin diabsorbsi pada ujung syaraf motorik dari melalui sumbu silindrik dibawa ke

kornu anterior medulla spinalis

2. Toksin diabsorbsi oleh susunan limfatik, masuk kedalam sirkulasi darah arteri kemudian

masuk kedalam medulla spinalis.

Akibat dari tetanus adalah rigid paralysis (kehilangan kemampuan untuk bergerak) pada

voluntary muscles (otot yang geraknya dapat dikontrol), sering disebut lockjaw karena biasanya

pertama kali muncul pada otot rahang dan wajah. Kematian biasanya disebabkan oleh kegagalan

pernafasan dan angka kematian sangatlah tinggi, (4,7,11)

Epidemiologi

Di negara yang telah maju seperti Amerika Serikat kejadian tetanus yang dilaporkan telah

menurun secara substansial sejak pertengahan 1940 karena meluasnya penggunaan imunisasi

terhadap tetanus . Selain itu sanitasi lingkungan yang bersih,juga menyebabkan menurunnya

angka kejadian tetanus di Amerika Serikat. Namun berbeda dengan yang terjadi di negara

berkembang seperti Indonesia, insiden dan angka kematian akibat tetanus masih cukup tinggi,

hal ini disebabkan karena tingkat kebersihan masih sangat kurang, mudah terjadi kontaminasi,

25

perawatan luka yang kurang diperhatikan, kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya

kebersihan dan kekebalan terhadap tetanus. Oleh karena itu tetanus masih menjadi masalah

kesehatan, terutama penyebab kematian neonatal tersering oleh karena tetanus neonatorum.

Akhir- akhir ini dengan adanya penyebarluasan program imunisasi di seluruh dunia, maka angka

kesakitan dan kematian menurun secara drastis. Pada tahun 2011 menurut WHO terdapat kasus

sebanyank 14.132. Sementara pada tahun 2008, 61.000 diantaranya tercatat meninggal dibawah

usia 5 tahun, dan sekitar 83% diantaranya dapat diatasi dengan DTP.(12)

(cited : http://www.who.int/immunization_monitoring/diseases/tetanus/en/)

Gejala Klinis

26

Masa inkubasi tetanus umumnya antara 3-12 hari, namun dapat singkat 1-2 hari dan kadang lebih

satu bulan; makin pendek masa inkubasi makin buruk prognosis. Terdapat hubungan antara jarak

tempat masuk kuman Clostridium tetani dengan susunan saraf pusat, dengan interval antara

terjadinya luka dengan permulaan penyakit ; makin jauh tempat invasi, masa inkubasi makin

panjang. Tetanus tak segera dapat terdeteksi karena masa inkubasi penyakit ini berlangsung

hingga 21 hari setelah masuknya kuman tetanus ke dalam tubuh. Pada masa inkubasi inilah baru

timbul gejala awalnya. Gejala penyakit tetanus bisa dibagi dalam tiga tahap, yaitu :

Tahap awal

Rasa nyeri punggung dan perasaan tidak nyaman di seluruh tubuh merupakan gejala awal

penyakit ini. Satu hari kemudian baru terjadi kekakuan otot. Beberapa penderita juga mengalami

kesulitan menelan. Gangguan terus dialami penderita selama infeksi tetanus masih berlangsung.

Tahap kedua

Gejala awal berlanjut dengan kejang yang disertai nyeri otot pengunyah( Trismus). Gejala tahap

kedua ini disertai sedikit rasa kaku di rahang, yang meningkat sampai gigi mengatup dengan

ketat, dan mulut tidak bisa dibuka sama sekali. Kekakuan ini bisa menjalar ke otot-otot wajah,

sehingga wajah penderita akan terlihat menyeringai (Risus Sardonisus), karena tarikan dari otot-

otot di sudut mulut. Selain itu, otot-otot perut pun menjadi kaku tanpa disertai rasa nyeri.

Kekakuan tersebut akan semakin meningkat hingga kepala penderita akan tertarik ke belakang

(Ophistotonus). Keadaan ini dapat terjadi 48 jam setelah mengalami luka.Pada tahap ini, gejala

lain yang sering timbul yaitu penderita menjadi lambat dan sulit bergerak, termasuk bernafas dan

menelan makanan. Penderita mengalami tekanan di daerah dada, suara berubah karena berbicara

melalui mulut atau gigi yang terkatu berat, dan gerakan dari langit-langit mulut menjadi terbatas.

Tahap ketiga

27

Daya rangsang dari sel-sel saraf otot semakin meningkat, maka terjadilah kejang refleks.

Biasanya hal ini terjadi beberapa jam setelah adanya kekakuan otot. Kejang otot ini bisa terjadi

spontan tanpa rangsangan dari luar, bisa pula karena adanya rangsangan dari luar. Misalnya

cahaya, sentuhan, bunyi-bunyian dan sebagainya. Pada awalnya,kejang ini hanya berlangsung

singkat, tapi semakin lama akan berlangsung lebih lama dan dengan frekuensi yang lebih sering.

Selain dapat menyebabkan radang otot jantung (myocarditis), tetanus dapat menyebabkan sulit

buang air kecil dan sembelit. Pelukaan lidah, bahkan patah tulang belakang dapat terjadi akibat

adanya kejang otot hebat. Pernafasan pun juga dapat terhenti karena kejang otot ini, sehingga

beresiko kematian. Hal ini disebabkan karena sumbatan saluran nafas, akibat kolapsnya saluran

nafas, sehingga refleks batuk tidak memadai, dan penderita tidak dapat menelan.

Karakteristik dari tetanus

• Kejang bertambah berat selama 3 hari pertama, dan menetap selama 5 -7 hari.

• Setelah 10 hari kejang mulai berkurang frekuensinya

• Setelah 2 minggu kejang mulai hilang.

• Biasanya didahului dengan ketegangaan otot terutama pada rahang dari leher.Kemudian

timbul kesukaran membuka mulut ( trismus, lockjaw ) karena spasme otot masetter.

• Kejang otot berlanjut ke kuduk kaku ( opistotonus , nuchal rigidity )

• Risus sardonicus karena spasme otot muka dengan gambaran alis tertarik keatas, sudut

Mulut tertarik keluar dan ke bawah, bibir tertekan kuat .

• Gambaran umum yang khas berupa badan kaku dengan opistotonus, tungkai dengan

eksistensi,lengan kaku dengan mengepal, biasanya kesadaran tetap baik.

• Karena kontraksi otot yang sangat kuat, dapat terjadi asfiksia dan sianosis, retensi urin, bahkan

dapat terjadi fraktur collumna vertebralis ( pada anak ).

28

Secara klinis, tetanus dibedakan atas :

1. Tetanus lokal

Ditandai dengan rasa nyeri dan spasmus otot di bagian proksimal luka; gejala ini dapat terjadi

selama beberapa minggu dan menghilang tanpa gejala sisa. Bentuk ini dapat berkembang

menjadi bentuk umum; kasus fatal kira-kira 1%.

2. Tetanus umum

Merupakan bentuk tetanus yang paling banyak dijumpai, dapat timbul mendadak, trismus

merupakan gejala awal yang paling sering dijumpai. Spasmus otot maseter dapat terjadi

bersamaan dengan kekakuan otot leher dan kesukaran menelan, biasanya disertai kegelisahan

dan iritabilitas. Trismus yang menetap menyebabkan ekspresi wajah yang karakteristik berupa

risus sardonicus. Kontraksi otot meluas, pada otot-otot perut menyebabkan perut papan (defens

muscular) dan kontraksi otot punggung yang menetap menyebabkan opistotonus; dapat timbul

kejang ,selama periode ini penderita berada dalam kesadaran penuh.

29

3. Tetanus sefalik

Jenis ini jarang dijumpai; masa inkubasi 1-2 hari, biasanya setelah luka dikepala, wajah atau

otitis media; banyak kasus berkembang menjadi tipe umum. Tetanus tipe ini mempunyai

prognosis buruk.

4. Tetanus neonatorum

Bentuk tetanus ini terjadi pada neonatus. Tetanus neonatorum terjadi pada negara yang belum

berkembang dan menyumbang sekitar setengah kematian neonatus. Penyebab yang sering adalah

penggunaan alat-alat yang terkontaminasi untuk memotong tali pusat pada ibu yang belum

diimunisasi. Masa inkubasi sekitar 3-10 hari. Neonatus biasanya gelisah, rewel, sulit minum ASI,

mulut mencucu dan spasme berat. Angka mortalitas dapat melebihi 70%.

Menurut berat ringannya tetanus dibagi atas ( criteria berdasarkan stadium klinis pada anak)

1. Tetanus ringan : Trismus lebih dari 3 cm, tidak disertai kejang umum walaupun

dirangsang

2. Tetanus sedang : trismus kurang dari 3 cm dan disertai kejang umum bila dirangsang.

3. Tetanus berat : trismus kurang 1 cm dan disertai kejang umum yang spontan.

Kriteria di bawah berdasarkan stadium klinis pada dewasa

1. Stadium 1 : umumnya trismus

2. Stadium 2 : opisthotonus

3. Stadium 3 : Kejang rangsang

4. Stadium 4 : kejang spontan (4,5,7)

Cole dan Youngman (1969) membagi tetanus umum atas :

30

Grade I: ringan Grade II: sedang Grade III: berat

Masa inkubasi lebih

dari 14 hari.

Period of onset > 6

hari

Trismus positif tapi

tidak berat

Sukar makan dan

minum tetapi disfagi

tidak ada

Lokalisasi kekakuan

dekat dengan luka

berupa spasme

disekitar luka dan

kekakuan umum

terjadi beberapa jam

atau hari.

Masa inkubasi 10-14

hari

Period of onset 3 hari

atau kurang

Trismus dan disfagi

ada

Kekakuan umum

terjadi dalam beberapa

hari tetapi dispnoe dan

sianosis tidak ada

Masa inkubasi < 10

hari

Period of onset < 3

hari

Trismus dan disfagia

berat

Kekakuan umum dan

gangguan pernapasan

asfiksia, ketakutan,

keringat banyak dan

takikardia.

Klasifikasi Ablett untuk Derajat Manifestasi Klinis Tetanus Derajat

Manifestasi Klinis

I : Ringan Trismus ringan sampai sedang;spastisitas umum tanpa spasme atau gangguan pernapasan;tanpa disfagia atau disfagia ringan

II : Sedang Trismus sedang; rigiditas dengan spasme ringan sampai sedang dalam waktu singkat; laju napas>30x/menit; disfagia ringan

III : Berat Trismus berat; spastisitas umum; spasmenya lama; laju napas>40x/menit; laju nadi > 120x/menit, apneic spell, disfagia berat

IV : Sangat berat (derajat III + gangguan sistem otonom termasuk kardiovaskular) Hipertensi berat dan takikardia yang dapat diselang-seling dengan hipotensi relatif dan bradikardia, dan salah satu keadaan tersebut dapat menetap

31

Diagnosis

Diagnosis tetanus dapat diketahui dari pemeriksaan fisik pasien sewaktu istirahat, berupa :

1 .Gejala klinik

Kejang tetanic, trismus, dysphagia, risus sardonicus ( sardonic smile ).

2. Adanya luka yang mendahuluinya. Luka adakalanya sudah dilupakan.

3. Kultur: C. tetani positif (biasanya sulit dilakukan).

4. Lab : SGOT, CPK meninggi (tidak spesifik untuk mendiagnosis tetanus)

Umumnya dengan gejala klinis yang cukup jelas dan pemeriksaan fisik diagnosis tetanus

biasanya dapat ditegakkan (13)

Diagnosis banding

Untuk membedakan diagnosis banding dari tetanus, tidak akan sukar sekali dijumpai dari

pemeriksaan fisik, laboratorium test (dimana cairan serebrospinal normal dan pemeriksaan darah

rutin normal atau sedikit meninggi, sedangkan SGOT, CPK dan serum aldolase sedikit meninggi

karena kekakuan otot-otot tubuh), serta riwayat imunisasi yang lengkap atau tidak lengkap,

kekakuan otot-otot tubuh), risus sardonicus dan kesadaran yang tetap normal.

32

1. Meningitis bacterial

Pada penyakit ini trismus tidak ada da kesadaran penderita biasanya menurun. Diagnosis

ditegakkan dengan melakukan lumbal pungsi, dimana adanya kelainan cairan

serebrospinal yaitu jumlah sel meningkat, kadar protein meningkat dan glukosa menurun.

2. Poliomyelitis

Didapatkan adanya paralisis flaksid dengan tidak dijumpai adanya trismus. Pemeriksaan

cairan serebrospinalis menunjukan lekositosis. Virus polio diisolasi dari tinja dan

pemeriksaan serologis, titer antibody meningkat.

3. Rabies

Sebelumnya ada riwayat gigitan anjing atau hewan lain. Trismus jarang

ditemukan,kejang bersifat klonik.

4. Keracunan strychnine

Pada keadaan ini trismus jarang, gejala berupa kejang tonik umum.

5. Tetani

Timbul karena hipokalsemia dan hipofosfatemia dimana kadar kalsium dan fosfat dalam

serum rendah. Yang khas bentuk spasme otot ialah karpopedal spasme dan biasanya

diikuti dengan laringospasme, jarang dijumpai trismus.

6. Histeria

keadaan dimana pasien berpura – pura sakit, biasanya untuk menarik perhatian dan untuk

bermalas – malasan ataupun untuk mendapatkan kompensasi gaji dan asuransi (7)

Penyakit Gambaran diferensial

Meningoensefalitis Demam, tidak ada trismus, pemeriksaan

CSF abnormal

Polio tidak ada trismus, pemeriksaan CSF

abnormal,paralisis tipe flaccid

Rabies Riwayat gigitan binatang, trismus tidak

ada, hanya oropharyngeal spasm

33

Keracunan stychrine Relaksasi komplet diantara spasme

Tetani Hanya carpopedal dan laringospasm,

hipocalcemi

Lesi oropharyngeal Hanya local, rigiditas seluruh tubuh atau

spasme tidak ada

Penatalaksanaan

A. Umum

Tujuan terapi ini berupa mengeliminasi kuman tetani, menetralisirkan peredaran toksin,

mencegah spasme otot dan memberikan bantuan pernafasan sampai pulih. Dan tujuan tersebut

dapat diperinci sebagai berikut :

1. Merawat dan membersihkan luka sebaik-baiknya, berupa:

Membersihkan luka, irigasi luka, debridement luka (eksisi jaringan nekrotik), membuang

benda asing dalam luka serta kompres dengan H202 ,dalam hal ini penata

laksanaan,terhadap luka tersebut dilakukan 1 -2 jam setelah ATS dan pemberian

Antibiotika. Sekitar luka disuntik ATS. Lakukan observasi ketat pada jalan nafas,

perubahan posisi dan perawatan kulit untuk mencegah dekubitus

2. Diet cukup kalori dan protein, bentuk makanan tergantung kemampuan membuka mulut

dan menelan. Bila ada trismus, makanan dapat diberikan personde atau parenteral

(apabila pasase usus baik dan trismus minimal pemberian peroral merupakan pilihan

utama)

3. Isolasi untuk menghindari rangsang luar seperti suara dan tindakan terhadap penderita

(metode ini mulai ditinggalkan ).

4. Oksigen, pernafasan buatan dan tracheostomi bila perlu (apabila terdapat kekauan pada

laring).

5. Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit (rehidrasi).

B. Obat- obatan Antibiotika :

34

Diberikan parenteral Peniciline 50.000 IU / KgBB/hari dibagi dalam 3 dosis selama 10 hari, IM..

Bila sensitif terhadap peniciline, obat dapat diganti dengan preparat lain seperti tetrasiklin dosis

30-40 mg/kgBB/ 24 jam, tetapi dosis tidak melebihi 2 gram dan diberikan dalam dosis terbagi ( 4

dosis ). Bila tersedia Peniciline intravena, dapat digunakan dengan dosis 200.000 unit /kgBB/ 24

jam, dibagi 6 dosis selama 10 hari. Pemberian penicillin beberapa sumber menganjurkan untuk

tidak diberikan karena memiliki sifat GABA antagonis yang justru akan menambah efek spasme

pada pasien, lebih dianjurkan untuk pemberian metronidazol .Antibiotika ini hanya bertujuan

membunuh bentuk vegetatif dari C.tetani, bukan untuk toksin yang dihasilkannya. Bila dijumpai

adanya komplikasi, pemberian antibiotika broad spektrum dapat dilakukan.Tetrasiklin,

Eritromisin dan Metronidazole diberikan terutama bila penderita alergi penisilin. Tertasiklin : 30-

50 mg/kgbb/hari dalam 4 dosis

Eritromisin : 50 mg/kgbb/hari dalam 4 dosis, selama 10 hari.

Metronidazole loading dose 15 mg/KgBB/jam selanjutnya 7,5 mg/KgBB tiap 6 jam. ATAU 3 x 1

gr / hari. Metronidazole juga dapat diberikan untuk mengatasi kuman anaerob yang merupakan

karakteristik dari C. Tetani. Metronidazole lebih efektif menurunkan angka mortalitas dan

morbiditas daripada penisilin.Kuman penyebab dapat dihilangkan melalui perawatan luka yang

dicurigai sebagai sumber infeksi dengan cara mencuci luka menggunakan larutan antiseptic,

eksisi luka. Apabila tidak ditemukan sumber infeksi maka antimikroba merupakan satu – satunya

usaha untuk menghilangkan kuman penyebab.

Anti tetanus toksin

Selama infeksi, toksin tetanus beredar dalam 2 bentuk:

Toksin bebas dalam darah

Toksin bergabung dengan jaringan saraf.

Yang dapat dinertalisir adalah toksin yang bebas dalam darah. Sedangkan yang telah bergabung

dengan jaringan saraf tidak dapat dinetralisir oleh antitoksin. Sebelum pemberian antitoksin

harus dilakukan : anamnesa apakah ada riwayat alergi, tes kulit (skin test), dan harus sedia

adrenalin 1:1000. Toksin yang masih bererdar dinetralkan melalui pemberian ATS atau

immunoglobulin tetanus manusia. ATS diberikan 20.000 IU/hari selama lima hari berturut –

35

turut. Pada pemberian ATS harus diingat kemungkinan adanya reaksi alergi sehingga hal – hal

yang telah disebutkan diatas harus disiapkan dan dilakukan terlebih dahulu

Antitoksin dapat digunakan Human Tetanus Immunoglobulin ( TIG) dengan dosis 3000-6000

U, , pemberian tidak perlu diulang karena waktu paruh antibody ini 3 1/2 – 4 ½ minggu secara

IM tidak boleh diberikan secara intravena karena TIG mengandung "anti complementary

aggregates of globulin ", yang mana ini dapat mencetuskan reaksi allergi yang serius.

Tetanus toksoid

Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertama,dilakukan bersamaan dengan pemberian

antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda dengan alat suntik yang berbeda. Pemberian

dilakukansecara I.M. Pemberian TT harus dilanjutkan sampai imunisasi dasar terhadap tetanus

selesai.(11,4)

Indikasi pemberian imunisasi tetanus

Imunisasi

sebelumnya

Luka bersih Luka Kotor

Toksoid ATS Toksoid ATS

Tidak ada / tidak

pasti

Ya* Tidak Ya* Ya

1x DT atau DTP Ya* Tidak Ya* Ya

2x DT atau DTP Ya* Tidak Ya* Ya

3x DT atau DTP Tidak+ Tidak Tidak++ Tidak

Keterangan :

* = seri imunisasinya harus dilengkapi

+ = kecuali booster terakhir sudah 10 tahun yang lalu

36

++ = kecuali booster terakhir sudah 5 tahun yang lalu atau lebih

Cara pemberian melalui intramuscular (ATS 1500 U/ immunoglobulin 250U) (4)

Antikonvulsan

Pemberian antikonvulsan bertujuan untuk mengontol spasme dan rigiditas. Adapun jenis obat

yang dapat digunakan, tertera dalam teabel.

Jenis Obat Dosis Efek Samping

Diazepam 0,5 – 1,0 mg/kg Berat badan /

4 jam (IM)

Stupor, Koma

Meprobamat 300 – 400 mg/ 4 jam (IM) Tidak Ada

Klorpromasin 25 – 75 mg/ 4 jam (IM) Hipotensi

Fenobarbital 50 – 100 mg/ 4 jam (IM) Depressi pernafasan

Obat yang lazim digunakan ialah :

Diazepam. Bila penderita datang dalam keadaan kejang maka diberikan dosis

0,5mg/kgbb/kali i.v. perlahan-lahan dengan dosis optimum 10mg/kali diulang setiap kali

kejang. Kemudian diikuti pemberian diazepam peroral- (sonde lambung) dengan dosis

0,5/kgbb/kali sehari diberikan 6 kali.Diazepam diberikan karena memiliki margin of

safety yang cukup baik, onset ketja obat ini cukup cepat, kumulasi cukup tinggi dalam 72

jam.

Dosis maksimal diazepam 240mg/hari. Bila masih kejang (tetanus yang sangat berat),

harus dilanjutkan dengan bantuan ventilasi mekanik, dosis diazepam dapat ditingkatkan

sampai 480mg/hari dengan bantuan ventilasi mekanik, dengan atau tanpa kurarisasi.

Dapat pula dipertimbangkan penggunaan magnesium sulfat, bila ada gangguan saraf

otonom.

Fenobarbital. Dosis awal : 1 tahun 50 mg i.m.; 1 tahun 75 mg i.m. Dilanjutkan dengan

dosis oral 5-9 mg/kgbb/hari dibagi dalam 3 dosis. Fenotiazin bekerja dengan cara

meningkatkan aktivitas neurotransmitter GABA begitu juga dengan phenotiazine dan

klopromazine.

Largactil. Dosis yang dianjurkan 4 mg/kgbb/hari dibagi dalam 6 dosis.

37

Komplikasi

Pada saluran pernapasan

Oleh karena spasme otot-otot pernapasan dan spasme otot laring dan seringnya kejang

menyebabkan terjadinya asfiksia. Karena akumulasi sekresi saliva serta sukar menelan air

liur dan makanan dan minuman sehingga sering terjadi pneumonia aspirasi, atelektasis

akibat obstruksi oleh secret. Pneumothoraks dan mediastinal emfisema biasanya terjadi

akibat dilakukannya trakeostomi.

Pada kardiovaskular

Komplikasi berupa aktivitas simpatis meningkat antara lain berupa takikardia, hipertensi,

vasokonstriksi perifer dan rangsangan miokardium.

Pada tulang dan otot

38

Pada otot karena spasme yang berkepanjangan bisa terjadi perdarahan dalam otot.Pada

tulang dapat terjadi fraktur columna vertebralis akibat kejang yang terus menerus

terutama pada anak dan orang dewasa, beberapa peneliti melaporkan juga dapat terjadi

miositis ossifikans sirkumskripta.

Komplikasi yang lain :

Laserasi lidah akibat kejang

Dekubitus karena penderita berbaring satu posisi saja

.Panas yang tinggi karena infeksi sekunder atau toksin yang menyebar luas

Dan mengganggu pusat pengatur suhu.Penyebab kematian pada tetanus ialah

akibat komplikasi yaitu : bronkopneumonia,cardiac arrest, septicemia dan

pneumothoraks.(14)

Pencegahan

Mengingat banyaknya masalah dalam penanggulangan tetanus serta masih tingginya angka

kematian (30 – 60%), tindakan pencegahan merupakan usaha yang sangat penting untuk

menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat tetanus. Ada dua pencegahan tetanus, yaitu

perawatan luka dan imunisasi aktif serta pasif.Imunisasi aktif didapat dari penyuntikan toksoid

tetanus untuk merangsang tubuh membentuk antibody. Manfaat imunisasi aktif ini sudah banyak

dibuktikan. Imunisasi pasif diperoleh dari pemberian serum yang mengandung antitoksin

heterolog (ATS) atau antitoksin homolog (immunoglobulin antitetanus). Berdasarkan riwayat

imunisasi dan jenis luka, baru ditentukan pemberian antitetanus serum atau toksoid. Ada

keraguan dalam memberikan serum antitetanus bersamaan dengan toksoid karena ditakutkan

terjadi netralisasi toksoid oleh ATS. Hal ini dapat dihindari dengan memberikannya secara

terpisah pada tempat penyuntikan yang berjauhan, misalnya lengan kanan dan paha kiri.(4

Prognosis

Prognostic scoring systems in tetanus: Dakar score

39

Prognostic factor

Dakar score

Score 1 Score 0

Incubation

period <7 days

⩾7 days or

unknown

Period of

onset <2 days ⩾2 days

Entry site

Umbilicus, burn, uterine, open fracture,

surgical wound, intramuscular injection

All others plus

unknown

Spasms Present Absent

Fever >38.4°C <38.4°C

Tachycardia

Adult>120

beats/min

Adult<120

beats/min

Neonate>150

beats/min

Neonate<150

beats/min

Total score

Table 2

Prognostic scoring systems in tetanus: Phillips score

 Factor Score

Incubation time:

 <48 hours 5

2–5 days  4

5–10 days  3

10–14 days  2

 >14 days 1

Site of infection:

Internal and umbilical  5

Head, neck, and body wall  4

Peripheral proximal  3

Peripheral distal  2

40

Unknown  1

State of protection:

None  10

Possibly some or maternal immunisation in neonatal patients  8

Protected  >10 years ago 4

Protected  <10 years ago 2

Complete protection  0

Complicating factors:

Injury or life threatening illness  10

Severe injury or illness not immediately life threatening  8

Injury or non-life threatening illness  4

Minor injury or illness  2

ASA Grade 1  0

Total score

Prognosis pasien berdasarkan kriteria philip :

KRITERIA SCORE

Pasien mengaku terkena paku sejak

2 minggu yang lalu

2

Letak luka pada kaki kiri 2

Kemungkinan mendapat imunisasi

saat lahir

8

Apabila score < 9 = Rawat Jalan atau rawat inap

Apabila score 10 - 16 = Rawat Inap

Apabila score > 17 = ICU

Berdasarkan skor diatas, pasien memang seharusnya dirawat di rumah sakit. Pada dasarnya,

prognosis pada tetanus didasarkan pada masa inkubasi, letak infeksi, dan ada atau tidaknya

komplikasi yang diakibatkan oelh infeksi tetanus itu sendiri.

41

DAFTAR PUSTAKA

1. Ningsih, S., and Witarti, N., 2007. Asuhan Keperawatan Dengan Tetanus. Available from :

www.pediatrik.com/perawat_pediatrik/061031-joiq163.doc. Accested : June 27, 2013.

2. Lubis, U. N., 2004. Tetanus Lokal pada Anak. Available from :

www.kalbe.co.id/files/cdk/files/15. Accested : June 27, 2013.

3. Ismoedijanto, and Darmowandowo, W., 2006. Tetanus. Available from : www.pediatrik.com.

Accested : June 28, 2013.

42

4. De Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. In : Sjamsuhidajat R, Karnadihardja W, Prasetyono TOH,

Rudiman R, editors. 3 ed. Jakarta : EGC; 2012; p. 45 – 50.

5. Bachsinar. B.,Bedah Minor : Tetanus . Jakarta. Hipokrates Jakarta ; 1992; p 83 – 90

6. Suraatmaja, S., and Soetjiningsih, 2000. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan

Anak RSUP Sanglah. Fakultas Kedokteran Udayana. Denpasar.

7. Taylor . A. M., 2006. Tetanus, Continuing Education In Anaesthesia Critical Care and Pain.

Available from : http://ceaccp.oxfordjournals.org/Accested : July 16, 2013.

8. Sherwood.L ., Fisiologi Manusia dari sel ke system : Fisiologi otot. Ed 2. Jakarta. EGC,

2001; p 221

9. Mardjono.M., Sidartha P., : Neurologi Klinis Dasar : Susunan Neuromuskular.Jakarta. Dian

rakyat; 2010; 15; (10-11)

10. Kayser.F.H.,Kurt .A.,Eckert J.,Medical Microbiology. New York . Thiemme Stuttgart ; 2005;

p 274.

11. Hassel. B., 2012. Tetanus: Pathophysiology, Treatment, and the Possibility of

Using Botulinum Toxin against Tetanus-Induced Rigidity and Spasms. Available from:

www.mdpi.com/journal/toxins. Accested ; June 30, 2013

12. World Health Organization., 2012 : Immunization surveillance, assessment and monitoring.

Available from:

http://www.who.int/immunization_monitoring/diseases/tetanus/en/index.html Accested ;

June 30, 2013

13. Adams R.D, et al : Tetanus in : principles of New’ology, Mc Graw – Hill, ed 1997, p 1205 –

07

14. Anaesth. B.J., 2001. Tetanus : A Review of Literature. Available from:

http://bja.oxfordjournals.org/content/87/3/477.full. Accested ; June 30, 2013

15. J J Farrar a ,b, L M Yen c , T Cook d , N Fairweather e , N Binh c , J Parry a ,b. Neurological

Aspects Of Tropical Disease. [serial online] 2000 [cited 2013 Jul 5. ] ; 69 : 292 - 301

Available : http://jnnp.bmj.com/content/69/3/292.full

43