Laporan Kasus Tetanus Fixedd
-
Upload
danu-kumara -
Category
Documents
-
view
255 -
download
1
description
Transcript of Laporan Kasus Tetanus Fixedd
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penyusun panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan rahmat –
Nya penyusun dapat menyelesaikan case yang berjudul “ TETANUS”. Penyusunan case ini
dimaksudkan untuk melengkapi tugas di Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah di RSUD Budhi Asih
Jakarta Periode 10 juni – 24 Agustus 2013.
Pada kesempatan ini saya mengucapkan banyak terimakasih kepada dr. Benno Syahbana Sp.B
selaku pembimbing, serta seluruh pihak yang telah membantu dalam penyusunan referat ini.
Penyusun menyadari bahwa dalam referat ini masih ditemui banyak kekurangan baik isi maupun
format penyusun. Maka dari itu penyusun mengharapkan kritik dan saran yang membangun
untuk perbaikan di masa mendatang
Akhir kata, saya selaku penyusun berharap case ini, mengenai ‘TETANUS” ini dapat berguna
bagi rekan – rekan sekalian
Jakarta, 29 Juli 2013
( I Nyoman Gde Danu Kumara)
1
PENDAHULUAN
Pendahuluan
Tetanus merupakan penyakit yang sering ditemukan, dimana masih terjadi di masyarakat
terutama masyarakat kelas menengah ke bawah. Di RSU Dr. Soetomo sebagian besar pasien
tetanus berusia > 3 tahun dan < 1 minggu (1).
Angka kejadian tetanus tinggi di negara-negara berkembang, terutama disebabkan
kontaminasi tali pusat, infeksi telinga kronik, luka tusuk pada anak usia sekolah,kehamilan
dengan abortus. Penyakit ini dapat dicegah dengan imunisasi, akan tetapi angka kejadiannya
masih tetap tinggi dengan angka kematian yang tinggi pula.
Di negara maju, kasus tetanus jarang ditemui. Karena penyakit ini terkait erat dengan
masalah sanitasi dan kebersihan selama proses kelahiran. Kasus tetanus memang banyak
dijumpai di sejumlah negara tropis dan negara yang masih memiliki kondisi kesehatan rendah (2).
* Coassistant FK TRISAKTI Periode 10 Juni 2013 –24 Agustus 2013
** Dokter Spesialis Bedah RSUD Budhi Asih
2
I. DATA IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien : Tn. Nana Juhana
Jenis Kelamin : Laki - laki
Nomor R.M : 87 94 24
Umur : 28 th 10bl 11hr
Alamat : Jalan gang Taslim RT 10 /RW 10
Kelurahan : Bidara Cina
Kecamatan : Jatinegara
Tanggal masuk : 18 Juni 2013 pukul 01.50
II. ANAMNESIS
Keluhan Utama :
Pasien datang dengan keluhan sulit untuk membuka mulut sejak 1 hari yang lalu
Riwayat Penyakit Sekarang
Seorang laki - laki datang ke IGD pada tanggal 18 Juni 2013 pukul 01.50. Pasien mengeluh sulit
untuk membuka mulut sejak 1 hari yang lalu. . Demam disangkal oleh pasien, kejang disangkal
oleh pasien, Penurunan kesadaran disangkal oleh pasien. Selain itu, pasien menyangkal adanya
mual ataupun muntah serta pasien tidak mengalami sakit kepala. Dua minggu yang lalu sebelum
masuk rumah sakit Budhi Asih, pasien sempat mengalami luka robek pada jari kelingking kaki
kiri saat bekerja terkena meja dan pasien pergi berobat ke klinik 24 jam. Pada klinik tersebut
pasien mengaku luka sempat dibersihkan terlebih dahulu, dijahit dan diberi tiga macam obat,
tetapi pasien menyangkal diberi ATS ataupun Toksoid Tetanus (didapat dari anamnesis dimana
pasien mengaku tidak mendapatkan suntikan baik di lengan ataupun bokong).
3
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien sebelumnya tidak pernah mengalami hal yang sama, Riwayat hipertensi (-), Riwayat DM
(-), Riwayat alergi obat (-), Riwayat epilepsy (-), Riwayat kejang demam saat kecil disangkal
pasien.Sebelumnya pasien tidak pernah tergigit oleh binatang seperti anjing atau kucing.
Riwayat kelahiran
Pasien mengaku pada saat lahir pasien tidak di rumah sakit melainkan di bidan. Pasien lahir
cukup bulan.
Riwayat Imunisasi
Pasien mengaku tidak mengingat apakah sebelumnya sudah diimunisasi/ divaksin atau belum.
Riwayat Kebiasaan
Pasien tidak merokok maupun meminum alcohol.
Riwayat pengobatan
Pasien mengaku sebelum ke rs budhi asih sebelumnya sempat ke klinik dan kaki yang terluka
dibersihkan serta diberi 3 macam obat, tetapi pasien tidak mengingat nama obat tersebut dan juga
pasien diberi obat herbal oleh teman pasien di tempatnya bekerja
4
III. Pemeriksaan Fisik
Follow up Perawatan pasien (19/6/2013)
Pemeriksaan Umum
Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : Compos Mentis.
Tekanan Darah : 120/80mmHg
Nadi : 96 x/menit
Suhu : 36,1oC
Pernafasaan : 20 x/menit
Keadaan gizi : Baik
Tinggi Badan : 171 cm
Berat Badan : 60 kg
IMT : 20,54 kg/m2 (Normal)
Sianosis : Tidak ada
Udema umum : Tidak ada
Cara berjalan : Tidak dinilai (pasien bed rest)
Mobilitas ( aktif / pasif ) : Pasif
Umur menurut taksiran pemeriksa : Sesuai
Aspek Kejiwaan
Tingkah laku : Wajar
Alam Perasaan : Biasa
Proses Pikir : Wajar
5
Kulit
Warna : Kuning langsat Efloresensi : Tidak ada
Pertumbuhan rambut : Merata Turgor : Baik
Suhu raba : Hangat Lapisan lemak : Merata
Keringat : Ada Ikterus / edema : Tidak ada
Lain – lain : bekas jahitan (+)
Status generalis
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-),
reflex pupil (+/+), pupil isokor
Telinga : Tidak terdapat sekret dan tidak nyeri tekan
Hidung : Dalam batas normal (tidak ada sekret), nafas
cuping hidung (-)
Mulut : Tidak didapatkan adanya caries, bibir tidak
Cianosis, didapatkan adanya trismus (1,5 – 1,7 cm)
Kepala : Ekspresi wajah Risus sardonicus, rambut merata,
Hitam, Wajah simetris
Leher : Tidak terdapat jejas, terdapat kaku pada leher.
Kelenjar getah bening tidak nampak membesar.
Thorax : Bentuk simetris,elips, sela iga tidak terlalu lebar
atau tidak terlalu sempit
Pulmo
Depan Belakang
Inspeksi (Kanan) Gerakan dada simetris Tidak dilakukan
(Kiri) Gerakan dada simetris Tidak dilakukan
Palpasi (Kanan) Fremitus simetris, tidak ada Tidak dilakukan
6
benjolan, Nyeri tekan (-)
(Kiri) Fremitus simetris Benjolan
tidak ada, Nyeri tekan (-)
Tidak dilakukan
Perkusi (Kanan) Sonor diseluruh lapang paru Tidak dilakukan
(Kiri) Sonor diseluruh lapang paru Tidak dilakukan
Auskultasi (Kanan) Suara nafas vesikuler,
wheezing (-), Rhonchi (-)
Tidak dilakukan
(Kiri) Suara nafas vesikuler,
wheezing (-), Rhonchi (-)
Tidak dilakukan
*Pemeriksan pada bagian belakang sulit untuk dilakukan karena pasien tidak bisa duduk akibat
kaku karena toksin tetanus .
Jantung
Inspeksi Ictus cordis tidak nampak saat inspeksi
Palpasi Iktus cordis teraba di ICS VI di garis
midklavikula kiri
Perkusi Batas atas : ICS III linea parastternal kiri
Batas kiri : ICS VI 1 cm medial linea
midklavikula kiri
Batas kanan : ICS IV linea parasternal kanan
Auskultasi BJI, II Murni regular, murmur (-), gallop (-)
Perut
Inspeksi Datar, dilatasi vena (-)
Palpasi Nyeri tekan (-), nyeri lepas (-), defens
muscular (+), massa (-). Hepar tidak teraba
7
Perkusi Timpani, shifting dullness (-), undulasi (-)
Auskultasi Bising Usus normal
Anggota gerak lengan Kanan Kiri
Tonus otot Normotonus Normotonus
Massa Eutrofi Eutrofi
Gerakan Aktif Aktif
Oedem (-) (-)
Anggota gerak bawah
(tungkai)
Kanan Kiri
Luka Tidak ada Terdapat luka pada sela - sela
kelingking kaki kiri yang telah
dijahit 2 minggu yang lalu
Tonus Normotonus Hipertonus
Subjektif Objektif Assesment Perencanaan
• Riwayat luka pada
kaki 2 minggu yg lalu
• Sering berkeirngat
• Tidak bisa
membuka mulut
• Leher dan
• Tekanan darah :
120/80
• Nadi 88x/mnt
• RR : 26x/mnt
• Suhu : 37o C
• Trismus (+), (1
Tetanus
stadium IV
• ATS 20.000 IU
(Hari ke 2)
• Diazepam 1 amp
• Ceftriaxone 2 x 1
gr
• Luminal 100 mg
8
punggung terasa kaku
• Kejang (+)
sebanyak 3 kali dalam 1
hari
• Tidak bisa duduk
cm)
• Kaku kuduk (+)
• Cuci luka dengan
Peroksida dan
Metronidazole
Ket : Setelah visit
Ceftriaxone ganti
dengan Penicilin
Prokain 3 x 1,2 juta
unit
Follow up Perawatan pasien (20/6/2013)
Subjektif Objektif Assesment Perencanaan
• Sering berkeirngat
• Tidak bisa
membuka mulut
• Leher, perut dan
punggung terasa kaku
• Kejang apabila
terdapat rangsangan
• Tidak bisa duduk
• Tekanan darah :
130/80
• Nadi 100x/mnt
• RR : 24x/mnt
• Suhu : 37,5o C
• Trismus (+),
(1,5 cm)
• Kaku kuduk (+)
• Defens muscular
(+)
Tetanus
stadium III
• ATS 20.000 IU
(Hari ke 3)
• Diazepam 1 amp
• Penicilin Prokain
3 x 1,2 juta unit
• Luminal 100 mg
• Cuci luka dengan
Peroksida dan
Metronidazole
Follow up Perawatan pasien (21/6/2013)
Subjektif Objektif Assesment Perencanaan
9
• Sering berkeirngat
• Tidak bisa
membuka mulut
• Leher, perut dan
punggung terasa kaku
• Kejang apabila
terdapat rangsangan
• Tidak bisa duduk
• Sulit mengunyah
• Kesemutan
• Tekanan darah :
130/100
• Nadi 80 x/mnt
• RR : 24x/mnt
• Suhu : 37,4o C
• Trismus (+),
(1,5 cm)
• Kaku kuduk (+)
• Defens muscular
(+)
Tetanus
stadium III
• ATS 20.000 IU
(Hari ke 4)
• Diazepam 1 amp
• Penicilin Prokain
3 x 1,2 juta unit
• Luminal 100 mg
• Cuci luka dengan
Peroksida dan
Metronidazole
Follow up Perawatan pasien (22/6/2013)
Subjektif Objektif Assesment Perencanaan
• Sulit membuka
mulut tetapi sudah lebih
baik dari sebelumnya
• Leher, perut dan
punggung terasa kaku
• Kejang apabila
terdapat rangsangan
• Tidak bisa duduk
• Sulit mengunyah
• Tekanan darah :
130/100
• Nadi 100x/mnt
• RR : 24x/mnt
• Suhu : 37,5o C
• Trismus (+),
(1,7 cm)
• Kaku kuduk (+)
• Defens muscular
(+)
Tetanus
stadium III
• ATS 20.000 IU
(Hari ke 5)
• Diazepam 1 amp
• Penicilin Prokain
3 x 1,2 juta unit
• Luminal 100 mg
• Ketorolac
• Cuci luka dengan
Peroksida dan
Metronidazole
Follow up Perawatan pasien (23/6/2013)
10
Subjektif Objektif Assesment Perencanaan
• Sulit membuka
mulut
• Leher, perut dan
punggung terasa kaku
• Kejang apabila
terdapat rangsangan
• Tidak bisa duduk
• Tekanan darah :
130/100
• Nadi 80x/mnt
• RR : 22x/mnt
• Suhu : 37,4o C
• Trismus (+),
(1,7 cm)
• Kaku kuduk (+)
• Defens muscular
(+)
Tetanus
stadium III
Diazepam 1 amp
Penicilin Prokain
3 x 1,2 juta unit
Luminal 100 mg
Ketorolac
Cuci luka dengan
Peroksida dan
Metronidazole
Follow up Perawatan pasien (24/6/2013)
Subjektif Objektif Assesment Perencanaan
• Sulit membuka
mulut
• Leher, perut dan
punggung terasa kaku
• Kejang apabila
terdapat rangsangan
• Tidak bisa duduk
• Tekanan darah :
120/80
• Nadi 96x/mnt
• RR : 20x/mnt
• Suhu : 36,1o C
• Trismus (+),
(1,7 cm)
• Kaku kuduk (+)
• Defens muscular
(+)
Tetanus
stadium III
Diazepam 1 amp
Penicilin Prokain
3 x 1,2 juta unit
Luminal 100 mg
Ketorolac
Cuci luka dengan
Peroksida dan
Metronidazole
11
Follow up Perawatan pasien (25/6/2013)
Subjektif Objektif Assesment Perencanaan
• Sulit membuka
mulut
• Leher, perut dan
punggung terasa kaku
• Kejang apabila
terdapat rangsangan
• Tidak bisa duduk
• Tekanan darah :
120/80
• Nadi 100x/mnt
• RR : 20x/mnt
• Suhu : 36,5o C
• Trismus (+),
(1,7 cm)
• Kaku kuduk (+)
• Defens muscular
(+)
Tetanus
stadium III
Diazepam 1 amp
Penicilin Prokain
3 x 1,2 juta unit
Luminal 100 mg
Ketorolac
Cuci luka dengan
Peroksida dan
Metronidazole
IV. Pemeriksaan Laboratorium
Hematologi Hasil Nilai Normal
Leukosit 13.700µL 3.800 – 10.600 µL
Hemoglobin 15.400 g/dl 13.200 – 17.300 g/dl
Hematokrit 46% 40 – 52 %
Trombosit 407.000 µL 150.000 – 440.000 µL
Kimia Klinik Elektrolit Hasil Nilai Normal
Natrium (Na) 147 mmol/L 135 – 155 mmol/L
Kalium (K) 4,1 mmol/L 3,6 – 5,5 mmol/L
Klorida (Cl) 107 mmol/L 98 – 109 mmol/L
12
V. Analisa Kasus
Pasien datang dengan keluhan sulit untuk membuka mulut, keadaan ini mungkin disebabkan
oleh beberapa penyakit seperti infeksi local pada mulut,tetanus, dan lain sebagainya. Tetanus
dapat dijadikan sebagai diagnosis kerja terlebih dahulu sebelum melakukan pemeriksaan lanjutan
dan pemeriksaan laboratorium, mengingat berdasarkan anamnesis yang telah dilakukan
sebelumnya pasien mengaku sempat terkena meja pada jari kaki (kelingking kiri) yang mungkin
merupakan focus infeksi bagi C. Tetani. C.tetani merupakan suatu bakteri yang bersifat anaerob
dimana bakteri ini termasuk gram positif dan dapat menimbulkan gejala berupa trismus atau sulit
untuk membuka mulut seperti yang terjadi pada pasien akibat toksin yang dikeluarkan oleh
bakteri ini berupa tetanospasmin dan tetanolysisn. Bakteri ini dapat masuk ke dalam tubuh
manusia melalui luka, seperti luka robek, luka bakar,bahkan dapat melalui gigi yang berlubang
ataupun OMSK. Pada saat masuk ke dalam tubuh,dan dalam keadaan anaerob maka bentuk spora
akan bergerminasi membentuk bentuk vegetative yang mensekresi toksin.Terdapat dua toksin
yang disekresikan yaitu tetanolysin dan tetanospasmin. Tetanolysin tidak berakibat langsung
pada terjadinya trismus ini melainkan menimbulkan kondisi yang optimal bagi pertumbuhan dari
C. Tetani. Tetanospasmin terdiri atas protein yang bersifat toksik terhadap sel saraf. Toksin dari
tempat luka menyebar ke motor endplate dan setelah masuk lewat ganglioside dijalarkan secara
intraaxonal ke dalam sel saraf tepi, kemudian ke kornu anterior medula spinalis. Cara kerja dari
toksin tetanus ini sendiri adalah dengan cara menghambat neurotransmitter inhibitorik (GABA
dan Glisin) sehingga menyebabkan dominannya neurotransmitter excitatorik yang menyebabkan
gejala spasme pada otot yang pada awalnya mengenai otot masetter sehingga pasien sulit untuk
membuka mulut dan juga dapat mengakibatkan kaku pada punggung maupun kaku pada otot
perut yang menyebabkan defens muscular positif pada saat pemeriksaan, keluhan ini muncul saat
toksin telah berada di kornu anterior medulla spinalis dan dapat pula menimbulkan kejang.
Apabila toksin mencapai korteks serebri (cereberal ganglioside), maka pasien akan mulai
mengalami kejang umum yang spontan. Keluhan nyeri dan kesemutan kemungkinan disebabkan
oleh karena adanya spasme otot yang menekan saraf tertentu sehingga menimbulkan gejala
tersebut.(3,4)
Diagnosis
13
Diagnosis didasarkan atas anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium. Pada
saat dilakukan anamnesis telah didapatkan adanya trismus yang merupakan gejala dari tetanus
meskipun masih mungkin diakibatkan oleh penyakit lain. Setelah dilakukan anamnesis pasien
mengaku 2 minggu yang lalu, pernah terluka pada bagian jari kelingking kaki kiri dan selain itu
setelah beberapa hari dirawat pasien mengalami kejang yang bersifat tonik. Pada saat kejang
pasien tidak mengalami penurunan kesadaran. Riwayat kejang demam pada saat anak - anak
ataupun epilepsy disangkal oleh pasien. Selain itu pasien juga mengeluh kaku pada punggung
dan juga perut dan setelah dilakukan pemeriksaan defens muscular ditemukan pada pasien serta
kaku kuduk positif. Pemeriksaan laboratorium telah dilakukan namun kadar elektrolit pasien
masih dalam batas normal. Stadium tetanus dibagi berdasarkan :
Menurut berat ringannya tetanus dibagi atas:
1. Stadium 1 : umumnya trismus
2. Stadium 2 : opisthotonus
3. Stadium 3 : Kejang rangsang
4. Stadium 4 : kejang spontan (5)
Dari pembagian diatas, maka pada saat awal pasien datang, pasien mengalami kejang spontan,
diagnosis didapatkan tetanus stadium IV dan setelah dilakukan terapi dengan pemberian ATS
dan Penisilin Prokain, kejang hanya timbul apabila terdapat rangsangan misalnya perubahan
cahaya dari gelap ke terang, oleh karena itu didapatkan diagnosis berupa tetanus stadium III.
Diagnosis banding dapat disingkirkan melalui anamnesis dan juga berdasarkan pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan laboatorium. Meningitis bacterial dapat disingkirkan karena pada saat kejang,
kesadaran pasien tidak menurun dan tidak disertai adanya trismus meskipun dapat disertai
dengan kaku kuduk. Diagnosis ditegakkan dengan melakukan lumbal pungsi, dimana adanya
kelainan cairan serebrospinal yaitu jumlah sel meningkat, kadar protein meningkat dan glukosa
menurun. Pada penyakit poliomyelitis
Didapatkan adanya paralisis flaksid dengan tidak dijumpai adanya trismus. Pemeriksaan cairan
serebrospinalis menunjukan lekositosis. Diagnosis dapat ditegakkan dengan mengisolasi virus
polio dari tinja dan pemeriksaan serologis, titer antibody meningkat.Pada penyakit rabies
14
biasanya didahului oleh gigitan binatang seperti anjing atau hewan lain. Trismus jarang
ditemukan,kejang bersifat klonik.Keracunan strychnine
Pada keadaan ini trismus jarang, gejala berupa kejang tonik umum.Tetani
Timbul karena ketidakseimbangan elektrolit, sementara pada kasus telah dilakukan pemeriksaan
laboratorium dan menunjukkan hasil yang normal. Yang khas bentuk spasme otot ialah
karpopedal spasme dan biasanya diikuti dengan laringospasme, jarang dijumpai trismus.Histeria
keadaan dimana pasien berpura – pura sakit, biasanya untuk menarik perhatian dan untuk
bermalas – malasan ataupun untuk mendapatkan kompensasi gaji dan asuransi.(4,6)
Penatalaksanaan.
Toksin yang telah beredar di system saraf terminal tidak dapat dinetralisir dan biasanya bertahan
selama 23 hari sehingga biasanya tidak terdapat perubahan pada gaya jalan pasien. Penisilin
diberikan untuk membunuh C. tetani, sementara metronidazole lebih efektif menurunkan
morbiditas dan mortalitas daripada penisilin.Sementara itu untuk mengatasi toksin yang beredar
dapat dinetralkan dengan pemberian serum antitetanus atau Human Imunoglobulin . ATS
diberikan dengan dosis 20.000 IU/ hari selama lima hari berturut – turut. Pada pemberian ATS
harus diingat kemungkinan adanya reaksi alergi. Sehingga sebelum pemberian sebaiknya
dilakukan skin test terlebih dahulu. Pemberian Human immunoglobulin cukup dengan dosis
tunggal 3000 – 6000 unit; pemberian tidak perlu diulang karena waktu paruh antibody ini 31/2 –
41/2 minggu.Untuk profilaksis dapat diberikan 250 IU pd anak dengan umur 10 tahun atau lebih
atau 500 IU jika 24 jam setelah kontaminasi kuman yang cukup banyak. Sementara pada kasus
yang diberikan kepada pasien adalah ATS selama 5 hari berturut – turut.Untuk mengontol
rigiditas dan spasme yang terjadi pada pasien diberikan golongan Benzodiazepin yang
merupakan GABA agonis. Cara kerja obat ini dengan menghambat inhibitor endogen pada
GABA reseptor. Derivat benzodiazepine yang dianjurkan dan digunakan pula pada kasus ini
adalah diazepam/ (oxazepam atau desmethyldiazepam). (4,7)
15
TINJAUAN PUSTAKA
Mekanisme Impuls Saraf
Impuls dapat dihantarkan melalui beberapa cara, di antaranya melalui sel saraf dan sinapsis. Berikut
ini akan dibahas secara rinci kedua cara tersebut.
1. Penghantaran Impuls Melalui Sel Saraf
Penghantaran impuls baik yang berupa rangsangan ataupun tanggapan melalui
serabut saraf (akson) dapat terjadi karena adanya perbedaan potensial listrik antara
bagian luar dan bagian dalam sel. Pada waktu sel saraf beristirahat, kutub positif
terdapat di bagian luar dan kutub negatif terdapat di bagian dalam sel saraf.
Diperkirakan bahwa rangsangan (stimulus) pada indra menyebabkan terjadinya
pembalikan perbedaan potensial listrik sesaat. Perubahan potensial ini (depolarisasi) terjadi
berurutan sepanjang serabut saraf. Kecepatan perjalanan gelombang perbedaan potensial
bervariasi antara 1 sampai dengan 120 m per detik, tergantung pada diameter akson dan ada atau
tidaknya selubung mielin.
Bila impuls telah lewat maka untuk sementara serabut saraf tidak dapat dilalui
oleh impuls, karena terjadi perubahan potensial kembali seperti semula (potensial
istirahat). Untuk dapat berfungsi kembali diperlukan waktu 1/500 sampai 1/1000 detik. Energi
yang digunakan berasal dari hasil pernapasan sel yang dilakukan oleh mitokondria dalam
sel saraf.
Stimulasi yang kurang kuat atau di bawah ambang (threshold) tidak akan menghasilkan
impuls yang dapat merubah potensial listrik. Tetapi bila kekuatannya di atas ambang maka impuls
akan dihantarkan sampai ke ujung akson. Stimulasi yang kuat dapat menimbulkan jumlah impuls
yang lebih besar pada periode waktu tertentu daripada impuls yang lemah.
16
2. Penghantaran Impuls Melalui Sinapsis
Titik temu antara terminal akson salah satu neuron dengan neuron lain
dinamakan sinapsis. Setiap terminal akson membengkak membentuk tonjolan sinapsis.
Di dalam sitoplasma tonjolan sinapsis terdapat struktur kumpulan membran kecil berisi
neurotransmitter; yang disebut vesikula sinapsis. Neuron yang berakhir pada tonjolan sinapsis
disebut neuron pra-sinapsis. Membran ujung dendrit dari sel berikutnya yang membentuk sinapsis
disebut post-sinapsis. Bila impuls sampai pada ujung neuron, maka vesikula bergerak dan melebur
dengan membran pra-sinapsis. Kemudian vesikula akan melepaskan neurotransmitter berupa
asetilkolin.
Neurontransmitter adalah suatu zat kimia yang dapat menyeberangkan impuls dari neuron pra-
sinapsis ke post-sinapsis. Neurontransmitter ada bermacam-macam misalnya dopamin,
norepinefrin, serotonin, asam gama-aminobutirat (GABA), glisin dan asetilkolin yang terdapat
di seluruh tubuh, noradrenalin terdapat di sistem saraf simpatik, dan dopamin serta serotonin yang
terdapat di otak.
Asetilkolin kemudian berdifusi melewati celah sinapsis dan menempel pada reseptor yang
terdapat pada membran post-sinapsis. Penempelan asetilkolin pada reseptor menimbulkan
impuls pada sel saraf berikutnya. Bila asetilkolin sudah melaksanakan tugasnya maka akan
diuraikan oleh enzim asetilkolinesterase yang dihasilkan oleh membran post-sinapsis.
17
Mekanisme Timbulnya Kontraksi Otot
Timbulnya kontraksi pada otot rangka dimulai dengan potensial aksi dalam serabut-
serabut otot. Potensial aksi ini menimbulkan arus listrik yang menyebar ke bagian dalam
serabut, dimana menyebabkan dilepaskannya ion-ion kalsium dari retikulum endoplasma.
Selanjutnya ion kalsium menimbulkan peristiwa-peristiwa kimia proses kontraksi.
Dalam fungsi tubuh normal, serabut-serabut otot rangka dirangsang oleh serabut serabut saraf
besar bermielin. Serabut-serabut saraf ini melekat pada serabut-serabut otot rangka dalam
hubungan saraf otot (neuromuscular junction) yang terletak di pertengahan otot. Ketika potensial
aksi sampai pada neuromuscular junction, terjadi depolarisasi dari membran saraf, menyebabkan
dilepaskan Acethylcholin, kemudian akan terikat pada motor end plate membran menyebabkan
terjadinya pelepasan ion kalsium yang menyebabkan terjadinya ikatan Actin-Miosin yang
akhirnya menyebabkan kontraksi otot. Oleh karena itu potensial aksi menyebar dari tengah serabut
ke arah kedua ujungnya, sehingga kontraksi hampir bersamaan terjadi di seluruh sarkomer otot.
18
Gerak dapat dilakukan secara sadar (gerak biasa) dan secara tidak sadar (gerak
reflek). Perbedaan dari kedua macam gerak tersebut adalah berkaitan dengan jalannya
impuls saraf yang melewati sistem saraf pusat, yaitu jika impuls melewati otak maka gerak yang
dilakukan sebagai hasil respon dari otak dinamakan gerak sadar, sedangkan jika impuls tidak
melewati otak tetapi sumsum tulang belakang, maka gerak yang dihasilkan sebagai respon dari
sumsum tulang belakang dinamakan gerak reflek.
Mekanisme gerak biasa (gerak sadar)
Rangsangan saraf sensorik otak saraf motorik gerak otot
Mekanisme gerak reflek (gerak tidak sadar)
Rangsangan saraf sensorik pusat integrasi di sumsum tulang
Belakang saraf motorik gerak otot
Langkah – langkah penggabungan eksitasi, kontraksi dan relaksasi
1. Asetil kolin yang dikeluarkan dari ujung terminal neuron motorik mengawali potensial aksi di
sel otot yang merambat ke seluruh permukaan membran aktivitas listrik permukaan
2. Aktivitas listrik permukaan dibawa ke bagian tengah (sentral) serat otot oleh tubulus T
3. Penyebaran potensial aksi ke tubulus T mencetuskan pelepasan simpanan Ca dari kantung –
kantung lateral retikulum sarkoplasma di dekat tubulus
4. Ca yang dilepaskan berikatan dengan troponin dan mengubah bentuknya sehingga kompleks
troponin – tropomiosin secara fisik tergeser ke samping, membuka tempat pengikatan
jemabatan silang aktin.
5. Bagian aktin yang telah terpajan tersebut berikatan dengan jembatan silang myosin, yang
sebelumnya telah mendapat energi dari penguraian ATP menjadi ADP + P + energy oleh ATP
ase di jembatan silang.
19
6. Pengikatan aktin dan myosin di jembatan silang menyebabkan jembatan silang menekuk,
menghasilkan suatu gerakan mengayun kuat yang menarik filament tipis ke arah dalam.
Pergeseran kea rah dalam dari semua filamen tipis yang mengelilingi filament tebal
memperpendek sarkomer (kontraksi otot)
7. Selama gerakan mengayun yang kuat tersebut, ADP dan P dibebaskan di jembatan silang.
8. Perlekatan sebuah molekul ATP baru memungkinkan terlepasnya jembatan silang, yang
mengembalikan bentuknya ke konfirmasi semula.
9. Penguraian molekul ATP yang baru oleh ATP –ase myosin kembali memberikan energy
sebagai jembatan silang
10. Apabila Ca masih ada sehingga kompleks troponin – tropomiosin tetap bergeser ke samping,
jembatan silang kembali menjalani siklus pengikatan dan penekukan, menarik filament tipis
selanjutnya.
11. Apabila tidak lagi terdapat potensial aksi local dan Ca secara aktif telah kembali ke tempat
penyimpanannya di kantung lateral reticulum sarkoplasma, kompleks troponin – tropomiosin
bergeser kembali ke posisinya menutupi tempat pengikatan jembatan silang aktin, sehingga
aktin dan myosin tidak lagi berikatan di jembatan silang, dan filament tipis bergeser kembali
ke posisi istirahat seiring dengan terjadinya proses relaksasi. (8,9)
20
Definisi
Tetanus adalah Gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya tonus otot dan spasme,
yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu toksin protein yang kuat yang dihasilkan oleh
Clostridium tetani.
Penyakit ini disebabkan oleh Clostridium tetani, merupakan basil Gram positif anaerob. Bakteri
ini nonencapsulated dan berbentuk spora, yang tahan panas, pengeringan dan desinfektan. Spora
terdapat di mana-mana dan ditemukan di tanah, debu rumah, usus hewan dan kotoran manusia.
Spora ini akan memasuki tubuh penderita, lalu mengeluarkan toksin yang bernama
tetanospasmin.
Karakteristik clostridium Tetani
Clostridium tetani
C. tetani termasuk dalam bakteri Gram positif, anaerob obligat, dapat membentuk spora, dan
berbentuk drumstick. Spora yang dibentuk oleh C. tetani
22
ini sangat resisten terhadap panas dan antiseptik . Ia dapat tahan walaupun telah diautoklaf
(1250C, 10-15 menit) dan juga resisten terhadap fenol dan agen kimia lainnya. Bakteri
Clostridium tetani ini banyak ditemukan ditanah,kotoran manusia dan hewan peliharaan dan di
daerah pertanian. Umumnya, spora bakteri ini terdistribusi pada tanah dan saluran pencernaan
serta feses dari kuda, domba, anjing, kucing, tikus, babi, dan ayam. Ketika bakteri tersebut
berada di dalam tubuh, ia akan menghasilkan neurotoksin (sejenis protein yang bertindak sebagai
racun yang menyerang bagian sistem saraf). C. tetani menghasilkan dua buah eksotoksin, yaitu
tetanolysin dan tetanospasmin. Fungsi dari tetanolysin tidak diketahui dengan pasti, namun juga
dapat menyebabkan lisis dari sel-sel darah hal ini mengakibatkan tetanolysin tidak secara
langsung menimbulkan tetanus, dengan menambah optimal kondisi local untuk berkembangnya
bakteri. Tetanospasmin terdiri atas protein yang bersifat toksik terhadap sel saraf. Toksin ini
diabsorpsi oleh saraf end organ diujung saraf motorik dan diteruskan melalui saraf sampai ke sel
ganglion dan susunan saraf pusat (medulla spinalis). Bila telah mencapai susunan saraf pusat dan
terikat pada sel saraf, toksin tersebut tidak dapat dinetralkan lagi. Saraf yang terpotong atau
berdegenerasi lambat menyerap toksin, sedangkan saraf sensorik sama sekali tidak menyerap
toksin.
Tetanospasmin merupakan toksin yang cukup kuat. Tetanospasmin merupakan protein dengan
berat molekul 150.000 Dalton, larut dalam air, labil pada panas dan cahaya, rusak dengan enzim
proteolitik. Bentuk vegetative tidak tahan terhadap panas dan beberapa antiseptic. Kuman tetanus
tumbuh subur pada suhu 17oC dalam media kaldu daging dan media agar darah. Demikian pula
media bebas gula karena kuman tetanus tidak dapat memfermentasi glukosa. (10)
Patogenesis
Tetanus disebabkan oleh neurotoksin (tetanospasmin) dari bakteri Gram positif anaerob,
Clostridium tetani, dengan mula-mula 1 hingga 2 minggu setelah inokulasi bentuk spora ke
dalam tubuh yang mengalami cedera/luka (masa inkubasi). Penyakit ini merupakan 1 dari 4
penyakit penting yang manifestasi klinis utamanya adalah hasil dari pengaruh kekuatan
eksotoksin (Tetanolisin dan Tetanospasmin). Tempat masuknya kuman penyakit ini bisa berupa
luka yang dalam yang berhubungan dengan kerusakan jaringan lokal, tertanamnya benda asing
atau sepsis dengan kontaminasi tanah, lecet yang dangkal dan kecil atau luka geser yang
terkontaminasi tanah, trauma pada jari tangan atau jari kaki yang berhubungan dengan patah
23
tulang jari dan luka pada pembedahan dan pemotongan tali pusat yang tidak steril. Bahkan
apabila tidak ditemukan adanya luka, tetanus bisa terjadi akibat adanya gigi berlubang atau otitis
media supuratif kronis. Pada keadaan anaerobik , spora bakteri ini akan bergerminasi menjadi sel
vegetatif bila dalam lingkungan yang anaerob, dengan tekanan oksigen jaringan yang rendah.
Selanjutnya,toksin akan diproduksi dan menyebar ke seluruh bagian tubuh melalui peredaran
darah dan sistem limpa. Toksin tersebut akan beraktivitas pada tempat-tempat tertentu seperti
pusat sistem saraf termasuk otak, sebelum mencapai otak penderita umumnya meninggal akibat
gagal nafas. Gejala klinis timbul sebagai dampak eksotoksin pada sinaps ganglion spinal dan
neuromuscular junction serta syaraf autonom. Toksin dari tempat luka menyebar ke motor
endplate dan setelah masuk lewat ganglioside dijalarkan secara intraaxonal ke dalam sel saraf
tepi, kemudian ke kornu anterior sumsum tulang belakang. Gejala klinis yang ditimbulkan dari
eksotoksin terhadap susunan saraf tepi dan pusat tersebut adalah dengan memblok pelepasan dari
neurotransmiter sehingga terjadi kontraksi otot yang tidak terkontrol/ eksitasi terus menerus dan
spasme. Neuron ini menjadi tidak mampu untuk melepaskan neurotransmitter. Neuron, yang
melepaskan gamma aminobutyric acid (GABA) dan glisin, neurotransmitter inhibitor utama,
sangat sensitif terhadap tetanospasmin, menyebabkan kegagalan penghambatan refleks respon
motorik terhadap rangsangan sensoris. Kekakuan mulai pada tempat masuknya kuman atau pada
otot masseter (trismus), pada saat toxin masuk ke medulla spinalis terjadi kekakuan yang berat,
pada extremitas, otot-otot pada dada, perut dan mulai timbul kejang. Apabila toksin mencapai
korteks serebri, maka pasien akan mulai mengalami kejang umum yang spontan. Karakteristik
dari spasme tetani ialah menyebabkan kontraksi umum kejang otot agonis dan antagonis.
neurotoksin ini pertama kali menyerang saraf tepi terpendek yang berasal dari sistem saraf
kranial, dengan gejala awal distorsi wajah dan punggung serta kekakuan dari otot leher.
Tetanospasmin pada sistem saraf otonom juga berpengaruh, sehingga terjadi gangguan
pernapasan, metabolisme, hemodinamika, hormonal, saluran cerna, saluran kemih, dan
neuromuscular. Spasme larynx, hipertensi, gangguan irama janjung, hiperflexi, hyperhidrosis
merupakan penyulit akibat gangguan saraf otonom, yang dulu jarang terjadi karena penderita
sudah meninggal sebelum gejala timbul. Dengan penggunaan diazepam dosis tinggi dan
pernapasan mekanik, kejang dapat diatasi namun gangguan saraf otonom harus dikenali dan di
kelola dengan teliti.
24
Tetanospasmin adalah toksin yang menyebabkan spasme, bekerja pada beberapa level dari
susunan syaraf pusat, dengan cara :
Toksin menghalangi neuromuscular transmission dengan cara menghambat pelepasan
GABA dari terminal nerve di otot.
Karakteristik spasme dari tetanus terjadi karena toksin mengganggu fungsi dari reflex
synaptik di spinal cord.
Kejang pada tetanus, mungkin disebabkan pengikatan dari toksin oleh cerebral
ganglioside.
Timbulnya kegagalan mekanisme inhibisi yang normal, yang menyebabkan meningkatnya
aktifitas dari neuron yang mempersarafi otot masetter sehingga terjadi trismus. Oleh karena otot
masetter adalah otot yang paling sensitif terhadap toksin tetanus tersebut. Stimuli terhadap
afferen tidak hanya menimbulkan kontraksi yang kuat, tetapi juga dihilangkannya kontraksi
agonis dan antagonis sehingga timbul spasme otot yang khas .Ada dua hipotesis tentang cara
bekerjanya toksin, yaitu:
1. Toksin diabsorbsi pada ujung syaraf motorik dari melalui sumbu silindrik dibawa ke
kornu anterior medulla spinalis
2. Toksin diabsorbsi oleh susunan limfatik, masuk kedalam sirkulasi darah arteri kemudian
masuk kedalam medulla spinalis.
Akibat dari tetanus adalah rigid paralysis (kehilangan kemampuan untuk bergerak) pada
voluntary muscles (otot yang geraknya dapat dikontrol), sering disebut lockjaw karena biasanya
pertama kali muncul pada otot rahang dan wajah. Kematian biasanya disebabkan oleh kegagalan
pernafasan dan angka kematian sangatlah tinggi, (4,7,11)
Epidemiologi
Di negara yang telah maju seperti Amerika Serikat kejadian tetanus yang dilaporkan telah
menurun secara substansial sejak pertengahan 1940 karena meluasnya penggunaan imunisasi
terhadap tetanus . Selain itu sanitasi lingkungan yang bersih,juga menyebabkan menurunnya
angka kejadian tetanus di Amerika Serikat. Namun berbeda dengan yang terjadi di negara
berkembang seperti Indonesia, insiden dan angka kematian akibat tetanus masih cukup tinggi,
hal ini disebabkan karena tingkat kebersihan masih sangat kurang, mudah terjadi kontaminasi,
25
perawatan luka yang kurang diperhatikan, kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya
kebersihan dan kekebalan terhadap tetanus. Oleh karena itu tetanus masih menjadi masalah
kesehatan, terutama penyebab kematian neonatal tersering oleh karena tetanus neonatorum.
Akhir- akhir ini dengan adanya penyebarluasan program imunisasi di seluruh dunia, maka angka
kesakitan dan kematian menurun secara drastis. Pada tahun 2011 menurut WHO terdapat kasus
sebanyank 14.132. Sementara pada tahun 2008, 61.000 diantaranya tercatat meninggal dibawah
usia 5 tahun, dan sekitar 83% diantaranya dapat diatasi dengan DTP.(12)
(cited : http://www.who.int/immunization_monitoring/diseases/tetanus/en/)
Gejala Klinis
26
Masa inkubasi tetanus umumnya antara 3-12 hari, namun dapat singkat 1-2 hari dan kadang lebih
satu bulan; makin pendek masa inkubasi makin buruk prognosis. Terdapat hubungan antara jarak
tempat masuk kuman Clostridium tetani dengan susunan saraf pusat, dengan interval antara
terjadinya luka dengan permulaan penyakit ; makin jauh tempat invasi, masa inkubasi makin
panjang. Tetanus tak segera dapat terdeteksi karena masa inkubasi penyakit ini berlangsung
hingga 21 hari setelah masuknya kuman tetanus ke dalam tubuh. Pada masa inkubasi inilah baru
timbul gejala awalnya. Gejala penyakit tetanus bisa dibagi dalam tiga tahap, yaitu :
Tahap awal
Rasa nyeri punggung dan perasaan tidak nyaman di seluruh tubuh merupakan gejala awal
penyakit ini. Satu hari kemudian baru terjadi kekakuan otot. Beberapa penderita juga mengalami
kesulitan menelan. Gangguan terus dialami penderita selama infeksi tetanus masih berlangsung.
Tahap kedua
Gejala awal berlanjut dengan kejang yang disertai nyeri otot pengunyah( Trismus). Gejala tahap
kedua ini disertai sedikit rasa kaku di rahang, yang meningkat sampai gigi mengatup dengan
ketat, dan mulut tidak bisa dibuka sama sekali. Kekakuan ini bisa menjalar ke otot-otot wajah,
sehingga wajah penderita akan terlihat menyeringai (Risus Sardonisus), karena tarikan dari otot-
otot di sudut mulut. Selain itu, otot-otot perut pun menjadi kaku tanpa disertai rasa nyeri.
Kekakuan tersebut akan semakin meningkat hingga kepala penderita akan tertarik ke belakang
(Ophistotonus). Keadaan ini dapat terjadi 48 jam setelah mengalami luka.Pada tahap ini, gejala
lain yang sering timbul yaitu penderita menjadi lambat dan sulit bergerak, termasuk bernafas dan
menelan makanan. Penderita mengalami tekanan di daerah dada, suara berubah karena berbicara
melalui mulut atau gigi yang terkatu berat, dan gerakan dari langit-langit mulut menjadi terbatas.
Tahap ketiga
27
Daya rangsang dari sel-sel saraf otot semakin meningkat, maka terjadilah kejang refleks.
Biasanya hal ini terjadi beberapa jam setelah adanya kekakuan otot. Kejang otot ini bisa terjadi
spontan tanpa rangsangan dari luar, bisa pula karena adanya rangsangan dari luar. Misalnya
cahaya, sentuhan, bunyi-bunyian dan sebagainya. Pada awalnya,kejang ini hanya berlangsung
singkat, tapi semakin lama akan berlangsung lebih lama dan dengan frekuensi yang lebih sering.
Selain dapat menyebabkan radang otot jantung (myocarditis), tetanus dapat menyebabkan sulit
buang air kecil dan sembelit. Pelukaan lidah, bahkan patah tulang belakang dapat terjadi akibat
adanya kejang otot hebat. Pernafasan pun juga dapat terhenti karena kejang otot ini, sehingga
beresiko kematian. Hal ini disebabkan karena sumbatan saluran nafas, akibat kolapsnya saluran
nafas, sehingga refleks batuk tidak memadai, dan penderita tidak dapat menelan.
Karakteristik dari tetanus
• Kejang bertambah berat selama 3 hari pertama, dan menetap selama 5 -7 hari.
• Setelah 10 hari kejang mulai berkurang frekuensinya
• Setelah 2 minggu kejang mulai hilang.
• Biasanya didahului dengan ketegangaan otot terutama pada rahang dari leher.Kemudian
timbul kesukaran membuka mulut ( trismus, lockjaw ) karena spasme otot masetter.
• Kejang otot berlanjut ke kuduk kaku ( opistotonus , nuchal rigidity )
• Risus sardonicus karena spasme otot muka dengan gambaran alis tertarik keatas, sudut
Mulut tertarik keluar dan ke bawah, bibir tertekan kuat .
• Gambaran umum yang khas berupa badan kaku dengan opistotonus, tungkai dengan
eksistensi,lengan kaku dengan mengepal, biasanya kesadaran tetap baik.
• Karena kontraksi otot yang sangat kuat, dapat terjadi asfiksia dan sianosis, retensi urin, bahkan
dapat terjadi fraktur collumna vertebralis ( pada anak ).
28
Secara klinis, tetanus dibedakan atas :
1. Tetanus lokal
Ditandai dengan rasa nyeri dan spasmus otot di bagian proksimal luka; gejala ini dapat terjadi
selama beberapa minggu dan menghilang tanpa gejala sisa. Bentuk ini dapat berkembang
menjadi bentuk umum; kasus fatal kira-kira 1%.
2. Tetanus umum
Merupakan bentuk tetanus yang paling banyak dijumpai, dapat timbul mendadak, trismus
merupakan gejala awal yang paling sering dijumpai. Spasmus otot maseter dapat terjadi
bersamaan dengan kekakuan otot leher dan kesukaran menelan, biasanya disertai kegelisahan
dan iritabilitas. Trismus yang menetap menyebabkan ekspresi wajah yang karakteristik berupa
risus sardonicus. Kontraksi otot meluas, pada otot-otot perut menyebabkan perut papan (defens
muscular) dan kontraksi otot punggung yang menetap menyebabkan opistotonus; dapat timbul
kejang ,selama periode ini penderita berada dalam kesadaran penuh.
29
3. Tetanus sefalik
Jenis ini jarang dijumpai; masa inkubasi 1-2 hari, biasanya setelah luka dikepala, wajah atau
otitis media; banyak kasus berkembang menjadi tipe umum. Tetanus tipe ini mempunyai
prognosis buruk.
4. Tetanus neonatorum
Bentuk tetanus ini terjadi pada neonatus. Tetanus neonatorum terjadi pada negara yang belum
berkembang dan menyumbang sekitar setengah kematian neonatus. Penyebab yang sering adalah
penggunaan alat-alat yang terkontaminasi untuk memotong tali pusat pada ibu yang belum
diimunisasi. Masa inkubasi sekitar 3-10 hari. Neonatus biasanya gelisah, rewel, sulit minum ASI,
mulut mencucu dan spasme berat. Angka mortalitas dapat melebihi 70%.
Menurut berat ringannya tetanus dibagi atas ( criteria berdasarkan stadium klinis pada anak)
1. Tetanus ringan : Trismus lebih dari 3 cm, tidak disertai kejang umum walaupun
dirangsang
2. Tetanus sedang : trismus kurang dari 3 cm dan disertai kejang umum bila dirangsang.
3. Tetanus berat : trismus kurang 1 cm dan disertai kejang umum yang spontan.
Kriteria di bawah berdasarkan stadium klinis pada dewasa
1. Stadium 1 : umumnya trismus
2. Stadium 2 : opisthotonus
3. Stadium 3 : Kejang rangsang
4. Stadium 4 : kejang spontan (4,5,7)
Cole dan Youngman (1969) membagi tetanus umum atas :
30
Grade I: ringan Grade II: sedang Grade III: berat
Masa inkubasi lebih
dari 14 hari.
Period of onset > 6
hari
Trismus positif tapi
tidak berat
Sukar makan dan
minum tetapi disfagi
tidak ada
Lokalisasi kekakuan
dekat dengan luka
berupa spasme
disekitar luka dan
kekakuan umum
terjadi beberapa jam
atau hari.
Masa inkubasi 10-14
hari
Period of onset 3 hari
atau kurang
Trismus dan disfagi
ada
Kekakuan umum
terjadi dalam beberapa
hari tetapi dispnoe dan
sianosis tidak ada
Masa inkubasi < 10
hari
Period of onset < 3
hari
Trismus dan disfagia
berat
Kekakuan umum dan
gangguan pernapasan
asfiksia, ketakutan,
keringat banyak dan
takikardia.
Klasifikasi Ablett untuk Derajat Manifestasi Klinis Tetanus Derajat
Manifestasi Klinis
I : Ringan Trismus ringan sampai sedang;spastisitas umum tanpa spasme atau gangguan pernapasan;tanpa disfagia atau disfagia ringan
II : Sedang Trismus sedang; rigiditas dengan spasme ringan sampai sedang dalam waktu singkat; laju napas>30x/menit; disfagia ringan
III : Berat Trismus berat; spastisitas umum; spasmenya lama; laju napas>40x/menit; laju nadi > 120x/menit, apneic spell, disfagia berat
IV : Sangat berat (derajat III + gangguan sistem otonom termasuk kardiovaskular) Hipertensi berat dan takikardia yang dapat diselang-seling dengan hipotensi relatif dan bradikardia, dan salah satu keadaan tersebut dapat menetap
31
Diagnosis
Diagnosis tetanus dapat diketahui dari pemeriksaan fisik pasien sewaktu istirahat, berupa :
1 .Gejala klinik
Kejang tetanic, trismus, dysphagia, risus sardonicus ( sardonic smile ).
2. Adanya luka yang mendahuluinya. Luka adakalanya sudah dilupakan.
3. Kultur: C. tetani positif (biasanya sulit dilakukan).
4. Lab : SGOT, CPK meninggi (tidak spesifik untuk mendiagnosis tetanus)
Umumnya dengan gejala klinis yang cukup jelas dan pemeriksaan fisik diagnosis tetanus
biasanya dapat ditegakkan (13)
Diagnosis banding
Untuk membedakan diagnosis banding dari tetanus, tidak akan sukar sekali dijumpai dari
pemeriksaan fisik, laboratorium test (dimana cairan serebrospinal normal dan pemeriksaan darah
rutin normal atau sedikit meninggi, sedangkan SGOT, CPK dan serum aldolase sedikit meninggi
karena kekakuan otot-otot tubuh), serta riwayat imunisasi yang lengkap atau tidak lengkap,
kekakuan otot-otot tubuh), risus sardonicus dan kesadaran yang tetap normal.
32
1. Meningitis bacterial
Pada penyakit ini trismus tidak ada da kesadaran penderita biasanya menurun. Diagnosis
ditegakkan dengan melakukan lumbal pungsi, dimana adanya kelainan cairan
serebrospinal yaitu jumlah sel meningkat, kadar protein meningkat dan glukosa menurun.
2. Poliomyelitis
Didapatkan adanya paralisis flaksid dengan tidak dijumpai adanya trismus. Pemeriksaan
cairan serebrospinalis menunjukan lekositosis. Virus polio diisolasi dari tinja dan
pemeriksaan serologis, titer antibody meningkat.
3. Rabies
Sebelumnya ada riwayat gigitan anjing atau hewan lain. Trismus jarang
ditemukan,kejang bersifat klonik.
4. Keracunan strychnine
Pada keadaan ini trismus jarang, gejala berupa kejang tonik umum.
5. Tetani
Timbul karena hipokalsemia dan hipofosfatemia dimana kadar kalsium dan fosfat dalam
serum rendah. Yang khas bentuk spasme otot ialah karpopedal spasme dan biasanya
diikuti dengan laringospasme, jarang dijumpai trismus.
6. Histeria
keadaan dimana pasien berpura – pura sakit, biasanya untuk menarik perhatian dan untuk
bermalas – malasan ataupun untuk mendapatkan kompensasi gaji dan asuransi (7)
Penyakit Gambaran diferensial
Meningoensefalitis Demam, tidak ada trismus, pemeriksaan
CSF abnormal
Polio tidak ada trismus, pemeriksaan CSF
abnormal,paralisis tipe flaccid
Rabies Riwayat gigitan binatang, trismus tidak
ada, hanya oropharyngeal spasm
33
Keracunan stychrine Relaksasi komplet diantara spasme
Tetani Hanya carpopedal dan laringospasm,
hipocalcemi
Lesi oropharyngeal Hanya local, rigiditas seluruh tubuh atau
spasme tidak ada
Penatalaksanaan
A. Umum
Tujuan terapi ini berupa mengeliminasi kuman tetani, menetralisirkan peredaran toksin,
mencegah spasme otot dan memberikan bantuan pernafasan sampai pulih. Dan tujuan tersebut
dapat diperinci sebagai berikut :
1. Merawat dan membersihkan luka sebaik-baiknya, berupa:
Membersihkan luka, irigasi luka, debridement luka (eksisi jaringan nekrotik), membuang
benda asing dalam luka serta kompres dengan H202 ,dalam hal ini penata
laksanaan,terhadap luka tersebut dilakukan 1 -2 jam setelah ATS dan pemberian
Antibiotika. Sekitar luka disuntik ATS. Lakukan observasi ketat pada jalan nafas,
perubahan posisi dan perawatan kulit untuk mencegah dekubitus
2. Diet cukup kalori dan protein, bentuk makanan tergantung kemampuan membuka mulut
dan menelan. Bila ada trismus, makanan dapat diberikan personde atau parenteral
(apabila pasase usus baik dan trismus minimal pemberian peroral merupakan pilihan
utama)
3. Isolasi untuk menghindari rangsang luar seperti suara dan tindakan terhadap penderita
(metode ini mulai ditinggalkan ).
4. Oksigen, pernafasan buatan dan tracheostomi bila perlu (apabila terdapat kekauan pada
laring).
5. Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit (rehidrasi).
B. Obat- obatan Antibiotika :
34
Diberikan parenteral Peniciline 50.000 IU / KgBB/hari dibagi dalam 3 dosis selama 10 hari, IM..
Bila sensitif terhadap peniciline, obat dapat diganti dengan preparat lain seperti tetrasiklin dosis
30-40 mg/kgBB/ 24 jam, tetapi dosis tidak melebihi 2 gram dan diberikan dalam dosis terbagi ( 4
dosis ). Bila tersedia Peniciline intravena, dapat digunakan dengan dosis 200.000 unit /kgBB/ 24
jam, dibagi 6 dosis selama 10 hari. Pemberian penicillin beberapa sumber menganjurkan untuk
tidak diberikan karena memiliki sifat GABA antagonis yang justru akan menambah efek spasme
pada pasien, lebih dianjurkan untuk pemberian metronidazol .Antibiotika ini hanya bertujuan
membunuh bentuk vegetatif dari C.tetani, bukan untuk toksin yang dihasilkannya. Bila dijumpai
adanya komplikasi, pemberian antibiotika broad spektrum dapat dilakukan.Tetrasiklin,
Eritromisin dan Metronidazole diberikan terutama bila penderita alergi penisilin. Tertasiklin : 30-
50 mg/kgbb/hari dalam 4 dosis
Eritromisin : 50 mg/kgbb/hari dalam 4 dosis, selama 10 hari.
Metronidazole loading dose 15 mg/KgBB/jam selanjutnya 7,5 mg/KgBB tiap 6 jam. ATAU 3 x 1
gr / hari. Metronidazole juga dapat diberikan untuk mengatasi kuman anaerob yang merupakan
karakteristik dari C. Tetani. Metronidazole lebih efektif menurunkan angka mortalitas dan
morbiditas daripada penisilin.Kuman penyebab dapat dihilangkan melalui perawatan luka yang
dicurigai sebagai sumber infeksi dengan cara mencuci luka menggunakan larutan antiseptic,
eksisi luka. Apabila tidak ditemukan sumber infeksi maka antimikroba merupakan satu – satunya
usaha untuk menghilangkan kuman penyebab.
Anti tetanus toksin
Selama infeksi, toksin tetanus beredar dalam 2 bentuk:
Toksin bebas dalam darah
Toksin bergabung dengan jaringan saraf.
Yang dapat dinertalisir adalah toksin yang bebas dalam darah. Sedangkan yang telah bergabung
dengan jaringan saraf tidak dapat dinetralisir oleh antitoksin. Sebelum pemberian antitoksin
harus dilakukan : anamnesa apakah ada riwayat alergi, tes kulit (skin test), dan harus sedia
adrenalin 1:1000. Toksin yang masih bererdar dinetralkan melalui pemberian ATS atau
immunoglobulin tetanus manusia. ATS diberikan 20.000 IU/hari selama lima hari berturut –
35
turut. Pada pemberian ATS harus diingat kemungkinan adanya reaksi alergi sehingga hal – hal
yang telah disebutkan diatas harus disiapkan dan dilakukan terlebih dahulu
Antitoksin dapat digunakan Human Tetanus Immunoglobulin ( TIG) dengan dosis 3000-6000
U, , pemberian tidak perlu diulang karena waktu paruh antibody ini 3 1/2 – 4 ½ minggu secara
IM tidak boleh diberikan secara intravena karena TIG mengandung "anti complementary
aggregates of globulin ", yang mana ini dapat mencetuskan reaksi allergi yang serius.
Tetanus toksoid
Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertama,dilakukan bersamaan dengan pemberian
antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda dengan alat suntik yang berbeda. Pemberian
dilakukansecara I.M. Pemberian TT harus dilanjutkan sampai imunisasi dasar terhadap tetanus
selesai.(11,4)
Indikasi pemberian imunisasi tetanus
Imunisasi
sebelumnya
Luka bersih Luka Kotor
Toksoid ATS Toksoid ATS
Tidak ada / tidak
pasti
Ya* Tidak Ya* Ya
1x DT atau DTP Ya* Tidak Ya* Ya
2x DT atau DTP Ya* Tidak Ya* Ya
3x DT atau DTP Tidak+ Tidak Tidak++ Tidak
Keterangan :
* = seri imunisasinya harus dilengkapi
+ = kecuali booster terakhir sudah 10 tahun yang lalu
36
++ = kecuali booster terakhir sudah 5 tahun yang lalu atau lebih
Cara pemberian melalui intramuscular (ATS 1500 U/ immunoglobulin 250U) (4)
Antikonvulsan
Pemberian antikonvulsan bertujuan untuk mengontol spasme dan rigiditas. Adapun jenis obat
yang dapat digunakan, tertera dalam teabel.
Jenis Obat Dosis Efek Samping
Diazepam 0,5 – 1,0 mg/kg Berat badan /
4 jam (IM)
Stupor, Koma
Meprobamat 300 – 400 mg/ 4 jam (IM) Tidak Ada
Klorpromasin 25 – 75 mg/ 4 jam (IM) Hipotensi
Fenobarbital 50 – 100 mg/ 4 jam (IM) Depressi pernafasan
Obat yang lazim digunakan ialah :
Diazepam. Bila penderita datang dalam keadaan kejang maka diberikan dosis
0,5mg/kgbb/kali i.v. perlahan-lahan dengan dosis optimum 10mg/kali diulang setiap kali
kejang. Kemudian diikuti pemberian diazepam peroral- (sonde lambung) dengan dosis
0,5/kgbb/kali sehari diberikan 6 kali.Diazepam diberikan karena memiliki margin of
safety yang cukup baik, onset ketja obat ini cukup cepat, kumulasi cukup tinggi dalam 72
jam.
Dosis maksimal diazepam 240mg/hari. Bila masih kejang (tetanus yang sangat berat),
harus dilanjutkan dengan bantuan ventilasi mekanik, dosis diazepam dapat ditingkatkan
sampai 480mg/hari dengan bantuan ventilasi mekanik, dengan atau tanpa kurarisasi.
Dapat pula dipertimbangkan penggunaan magnesium sulfat, bila ada gangguan saraf
otonom.
Fenobarbital. Dosis awal : 1 tahun 50 mg i.m.; 1 tahun 75 mg i.m. Dilanjutkan dengan
dosis oral 5-9 mg/kgbb/hari dibagi dalam 3 dosis. Fenotiazin bekerja dengan cara
meningkatkan aktivitas neurotransmitter GABA begitu juga dengan phenotiazine dan
klopromazine.
Largactil. Dosis yang dianjurkan 4 mg/kgbb/hari dibagi dalam 6 dosis.
37
Komplikasi
Pada saluran pernapasan
Oleh karena spasme otot-otot pernapasan dan spasme otot laring dan seringnya kejang
menyebabkan terjadinya asfiksia. Karena akumulasi sekresi saliva serta sukar menelan air
liur dan makanan dan minuman sehingga sering terjadi pneumonia aspirasi, atelektasis
akibat obstruksi oleh secret. Pneumothoraks dan mediastinal emfisema biasanya terjadi
akibat dilakukannya trakeostomi.
Pada kardiovaskular
Komplikasi berupa aktivitas simpatis meningkat antara lain berupa takikardia, hipertensi,
vasokonstriksi perifer dan rangsangan miokardium.
Pada tulang dan otot
38
Pada otot karena spasme yang berkepanjangan bisa terjadi perdarahan dalam otot.Pada
tulang dapat terjadi fraktur columna vertebralis akibat kejang yang terus menerus
terutama pada anak dan orang dewasa, beberapa peneliti melaporkan juga dapat terjadi
miositis ossifikans sirkumskripta.
Komplikasi yang lain :
Laserasi lidah akibat kejang
Dekubitus karena penderita berbaring satu posisi saja
.Panas yang tinggi karena infeksi sekunder atau toksin yang menyebar luas
Dan mengganggu pusat pengatur suhu.Penyebab kematian pada tetanus ialah
akibat komplikasi yaitu : bronkopneumonia,cardiac arrest, septicemia dan
pneumothoraks.(14)
Pencegahan
Mengingat banyaknya masalah dalam penanggulangan tetanus serta masih tingginya angka
kematian (30 – 60%), tindakan pencegahan merupakan usaha yang sangat penting untuk
menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat tetanus. Ada dua pencegahan tetanus, yaitu
perawatan luka dan imunisasi aktif serta pasif.Imunisasi aktif didapat dari penyuntikan toksoid
tetanus untuk merangsang tubuh membentuk antibody. Manfaat imunisasi aktif ini sudah banyak
dibuktikan. Imunisasi pasif diperoleh dari pemberian serum yang mengandung antitoksin
heterolog (ATS) atau antitoksin homolog (immunoglobulin antitetanus). Berdasarkan riwayat
imunisasi dan jenis luka, baru ditentukan pemberian antitetanus serum atau toksoid. Ada
keraguan dalam memberikan serum antitetanus bersamaan dengan toksoid karena ditakutkan
terjadi netralisasi toksoid oleh ATS. Hal ini dapat dihindari dengan memberikannya secara
terpisah pada tempat penyuntikan yang berjauhan, misalnya lengan kanan dan paha kiri.(4
Prognosis
Prognostic scoring systems in tetanus: Dakar score
39
Prognostic factor
Dakar score
Score 1 Score 0
Incubation
period <7 days
⩾7 days or
unknown
Period of
onset <2 days ⩾2 days
Entry site
Umbilicus, burn, uterine, open fracture,
surgical wound, intramuscular injection
All others plus
unknown
Spasms Present Absent
Fever >38.4°C <38.4°C
Tachycardia
Adult>120
beats/min
Adult<120
beats/min
Neonate>150
beats/min
Neonate<150
beats/min
Total score
Table 2
Prognostic scoring systems in tetanus: Phillips score
Factor Score
Incubation time:
<48 hours 5
2–5 days 4
5–10 days 3
10–14 days 2
>14 days 1
Site of infection:
Internal and umbilical 5
Head, neck, and body wall 4
Peripheral proximal 3
Peripheral distal 2
40
Unknown 1
State of protection:
None 10
Possibly some or maternal immunisation in neonatal patients 8
Protected >10 years ago 4
Protected <10 years ago 2
Complete protection 0
Complicating factors:
Injury or life threatening illness 10
Severe injury or illness not immediately life threatening 8
Injury or non-life threatening illness 4
Minor injury or illness 2
ASA Grade 1 0
Total score
Prognosis pasien berdasarkan kriteria philip :
KRITERIA SCORE
Pasien mengaku terkena paku sejak
2 minggu yang lalu
2
Letak luka pada kaki kiri 2
Kemungkinan mendapat imunisasi
saat lahir
8
Apabila score < 9 = Rawat Jalan atau rawat inap
Apabila score 10 - 16 = Rawat Inap
Apabila score > 17 = ICU
Berdasarkan skor diatas, pasien memang seharusnya dirawat di rumah sakit. Pada dasarnya,
prognosis pada tetanus didasarkan pada masa inkubasi, letak infeksi, dan ada atau tidaknya
komplikasi yang diakibatkan oelh infeksi tetanus itu sendiri.
41
DAFTAR PUSTAKA
1. Ningsih, S., and Witarti, N., 2007. Asuhan Keperawatan Dengan Tetanus. Available from :
www.pediatrik.com/perawat_pediatrik/061031-joiq163.doc. Accested : June 27, 2013.
2. Lubis, U. N., 2004. Tetanus Lokal pada Anak. Available from :
www.kalbe.co.id/files/cdk/files/15. Accested : June 27, 2013.
3. Ismoedijanto, and Darmowandowo, W., 2006. Tetanus. Available from : www.pediatrik.com.
Accested : June 28, 2013.
42
4. De Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. In : Sjamsuhidajat R, Karnadihardja W, Prasetyono TOH,
Rudiman R, editors. 3 ed. Jakarta : EGC; 2012; p. 45 – 50.
5. Bachsinar. B.,Bedah Minor : Tetanus . Jakarta. Hipokrates Jakarta ; 1992; p 83 – 90
6. Suraatmaja, S., and Soetjiningsih, 2000. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan
Anak RSUP Sanglah. Fakultas Kedokteran Udayana. Denpasar.
7. Taylor . A. M., 2006. Tetanus, Continuing Education In Anaesthesia Critical Care and Pain.
Available from : http://ceaccp.oxfordjournals.org/Accested : July 16, 2013.
8. Sherwood.L ., Fisiologi Manusia dari sel ke system : Fisiologi otot. Ed 2. Jakarta. EGC,
2001; p 221
9. Mardjono.M., Sidartha P., : Neurologi Klinis Dasar : Susunan Neuromuskular.Jakarta. Dian
rakyat; 2010; 15; (10-11)
10. Kayser.F.H.,Kurt .A.,Eckert J.,Medical Microbiology. New York . Thiemme Stuttgart ; 2005;
p 274.
11. Hassel. B., 2012. Tetanus: Pathophysiology, Treatment, and the Possibility of
Using Botulinum Toxin against Tetanus-Induced Rigidity and Spasms. Available from:
www.mdpi.com/journal/toxins. Accested ; June 30, 2013
12. World Health Organization., 2012 : Immunization surveillance, assessment and monitoring.
Available from:
http://www.who.int/immunization_monitoring/diseases/tetanus/en/index.html Accested ;
June 30, 2013
13. Adams R.D, et al : Tetanus in : principles of New’ology, Mc Graw – Hill, ed 1997, p 1205 –
07
14. Anaesth. B.J., 2001. Tetanus : A Review of Literature. Available from:
http://bja.oxfordjournals.org/content/87/3/477.full. Accested ; June 30, 2013
15. J J Farrar a ,b, L M Yen c , T Cook d , N Fairweather e , N Binh c , J Parry a ,b. Neurological
Aspects Of Tropical Disease. [serial online] 2000 [cited 2013 Jul 5. ] ; 69 : 292 - 301
Available : http://jnnp.bmj.com/content/69/3/292.full
43