Lap Farmako Fix
-
Upload
togi-andres -
Category
Documents
-
view
311 -
download
12
Transcript of Lap Farmako Fix
I. Tujuan Intruksional
A. Umum
Setelah menyelesaikan praktikum farmakologi dan terapeutik ini
mahasiswa akan dapat menerapkan prinsip-prinsip farmakologi
berbagai macam obat dan memiliki keterampilan dalam memberi
dan mengaplikasikan obat secara rasional untuk kepentingan
klinik.
B. Khusus
Setelah menyelesaikan percobaan ini mahasiswa akan dapat :
1. Menjelaskan efek obat katartik
2. Menjelaskan jenis-jenis obat katartik
3. Menjelaskan bahan-bahan alami yang dapat bersifat katartik
4. Memilih jenis obat katartik yang paling tepat dalam praktek
klinik
II. Tinjauan Pustaka
Laksansia atau pencahar bekerja dengan cara menstimulasi gerakan
peristaltik dinding usus sehingga mempermudah buang air besar (defikasi) dan
meredakan sembelit. Tujuannya adalah untuk menjaga agar tinja (feces) tidak
mengeras dan defikasi menjadi normal. Makanan yang masuk ke dalam tubuh
akan melalui lambung, usus halus, dan akhirnya menuju usus besar/ kolon. Di
dalam kolon inilah terjadi penyerapan cairan dan pembentukan massa feses. Bila
massa feses berada terlalu lama dalam kolon, jumlah cairan yang diserap juga
banyak, akibatnya konsistensi feses menjadi keras dan kering sehingga dapat
menyulitkan pada saat pengeluaran feses. Konstipasi merupakan suatu kondisi di
mana seseorang mengalami kesulitan defekasi akibat tinja yang mengeras, otot
polos usus yang lumpuh maupun gangguan refleks defekasi yang mengakibatkan
frekuensi maupun proses pengeluaran feses terganggu (Neal,M.J, 2005).
Frekuensi defekasi/ buang air besar (BAB) yang normal adalah 3 sampai
12 kali dalam seminggu. Namun, seseorang baru dapat dikatakan konstipasi jika
ia mengalami frekuensi BAB kurang dari 3 kali dalam seminggu, disertai
konsistensi feses yang keras, kesulitan mengeluarkan feses (akibat ukuran feses
besar-besar maupun akibat terjadinya gangguan refleks defekasi), serta mengalami
sensasi rasa tidak puas pada saat BAB. Orang yang frekuensi defekasi/ BAB-nya
kurang dari normal belum tentu menderita konstipasi jika ukuran maupun
konsistensi fesesnya masih normal. Konstipasi juga dapat disertai rasa tidak
nyaman pada bagian perut dan hilangnya nafsu makan (Neal,M.J, 2005).
Konstipasi sendiri sebenarnya bukanlah suatu penyakit, tetapi lebih tepat
disebut gejala yang dapat menandai adanya suatu penyakit atau masalah dalam
tubuh misalnya terjadi gangguan pada saluran pencernaan (irritable bowel
syndrome), gangguan metabolisme (diabetes), maupun gangguan pada sistem
endokrin (hipertiroidisme) (Neal,M.J, 2005).
Sasaran terapi konstipasi yaitu: (1) massa feses, (2) refleks peristaltik
dinding kolon. Tujuan terapinya adalah menghilangkan gejala, artinya pasien
tidak lagi mengalami konstipasi atau proses defekasi/ BAB (meliputi frekuensi
dan konsistensi feses) kembali normal. Strategi terapi dapat menggunakan terapi
farmakologis maupun non-farmakologis. Terapi non-farmakologis digunakan
untuk meningkatkan frekuensi BAB pada pasien konstipasi, yaitu dengan
menambah asupan serat sebanyak 10-12 gram per hari dan meningkatkan volume
cairan yang diminum, serta meningkatkan aktivitas fisik/ olahraga. Sumber
makanan yang kaya akan serat, antara lain: sayuran, buah, dan gandum. Serat
dapat menambah ‘volume’ feses (karena dalam saluran pencernaan manusia ia
tidak dicerna), mengurangi penyerapan air dari feses, dan membantu mempercepat
feses melewati usus sehingga frekuensi defekasi/ BAB meningkat
sedangkan terapi farmakologis dengan obat laksatif/ pencahar digunakan untuk
meningkatkan frekuensi BAB dan untuk mengurangi konsistensi feses yang
kering dan keras (Neal,M.J, 2005).
Secara umum, mekanisme kerja obat pencahar meliputi pengurangan
absorpsi air dan elektrolit, meningkatkan osmolalitas dalam lumen, dan
meningkatkan tekanan hidrostatik dalam usus. Obat pencahar ini mengubah
kolon, yang normalnya merupakan organ tempat terjadinya penyerapan cairan
menjadi organ yang mensekresikan air dan elektrolit. Obat pencahar sendiri dapat
dibedakan menjadi 3 golongan, yaitu: (1) pencahar yang melunakkan feses dalam
waktu 1-3 hari (pencahar bulk-forming, docusates, dan laktulosa); (2) pencahar
yang mampu menghasilkan feses yang lunak atau semicair dalam waktu 6-12 jam
(derivat difenilmetan dan derivat antrakuinon), serta (3) pencahar yang mampu
menghasilkan pengluaran feses yang cair dalam waktu 1-6 jam (saline katartik,
larutan elektrolit poli etilen glikol) (Tjay, Tan Hoan, 2007).
Pencahar yang melunakkan feses secara umum merupakan senyawa yang
tidak diabsorpsi dalam saluran pencernaan dan beraksi dengan meningkatkan
volume padatan feses dan melunakkan feses supaya lebih mudah dikeluarkan.
Pencahar bulk-forming meningkatkan volume feses dengan menarik air dan
membentuk suatu hidrogel sehingga terjadi peregangan dinding saluran cerna dan
merangsang gerak peristaltik. Penggunaan obat pencahar ini perlu memperhatikan
asupan cairan kedalam tubuh harus mencukupi, jika tidah bahaya terjadi dehidrasi
(Tjay, Tan Hoan, 2007).
Derivat difenilmetan yang biasa digunakan adalah bisakodil dan
fenolptalein. Senyawa-senyawa ini merangsang sekresi cairan dan saraf pada
mukosa kolon yang mengakibatkan kontraksi kolon sehingga terjadi pergerakan
usus (peristaltik) dalam waktu 6-12 jam setelah diminum, atau 15-60 menit
setelah diberikan melalui rektal. Namun penggunaan fenilptalein sudah dilarang
karena bersifat karsinogen. Senyawa ini tidak direkomendasikan untuk digunakan
tiap hari. Jarak antara setiap kali penggunaan harus cukup lama, sekitar beberapa
minggu, untuk mengobati konstipasi ataupun untuk mempersiapkan pengosongan
kolon jika diperlukan untuk pembedahan (Tjay, Tan Hoan, 2007).
Saline katartik merupakan garam anorganik yang mengandung ion-ion
seperti Mg, S, P, dan sitrat, yang bekerja dengan mempertahankan air tetap dalam
saluran cerna sehingga terjadi peregangan pada dinding usus, yang kemudian
merangsang pergerakan usus (peristaltik). Selain itu, Mg juga merangsang sekresi
kolesitokinin, suatu hormon yang merangsang pergerakan usus besar dan sekresi
cairan. Senyawa ini dapat diminum ataupun diberikan secara rektal. Pencahar
saline ini juga dapat digunakan untuk mengosongkan kolon dengan cepat sebagai
persiapan sebelum pemeriksaan radiologi, endoskopi, dan pembedahan pada
bagian perut (Tjay, Tan Hoan, 2007).
Sebagian besar obat pelangsing dapat menimbulkan dampak negatif
seperti: gangguan emosi, hiperaktivitas, sulit tidur, perut kembung dan perih,
keletihan terus menerus, depresi, ketagihan, mual, muntah, dan tubuh gemetar.
Ada juga yang menggangu kesuburan dan sikulasi menstruasi . Penggunaan obat
pelangsing yang bersifat pencahan atau laksatif dapat
menyebabkan usus bereaksi lebih aktif menyerap makanan, sehingga membuat
makanan yang dikonsumsi cepat dibuang sebelum diserap. Akibatnya bila
konsumsi obat dihentikan maka tubuh akan semakin gemuk karena usus jadi lebih
efisien dalam menyerap makanan (Neal,M.J, 2005).
Penggunaan laksatif yang berlebihan mempunyai efek yang sama dengan
mengabaikan keinginan BAB – refleks pada proses defekasi yang alami dihambat.
Kebiasaan pengguna laksatif bahkan memerlukan dosis yang lebih besar dan kuat,
sejak mereka mengalami efek yang semakin berkurang dengan penggunaan yang
terus-menerus (toleransi obat) (Neal,M.J, 2005).
III. Alat dan Bahan
A. Alat
1. Beakerglass 1000 ml
2. Sonde lambung
3. Spuit injeksi 3 cc
4. Kertas saringa
B. Bahan
1. MgSO4
2. Bisakodil
3. Vegetas
4. Merit
C. Binatang percobaan
1. Tikus putih
IV. Rencana Kerja
1. Ambil empat ekor tikus putih. Timbang berat badan tikus lalu masing-
masing dimasukan kedalam beakerglass yang sudah dilandasi dengan
kertas saring.
2. Amati selama 30 menit bentuk fesenya (padat, kental, cair). Feses yang
baik adalah feses yang padat dan tidak membasahi kertas saring.
3. Berilah obat pada setiap 1 ekor tikus putih secara oral dengan sonde
lambung.
a. MgSO4 50 g/kg BB
b. Bisakodil 10 mg/kgBB
c. Vegeta (2 bungkus untuk orang dewasa)
d. Merit (2 pil untuk orang dewasa)
4. Amati perubahan konsistensi fesenya dalam 3 jam pertama dan 3 jam
kedua.
V. Hasil Percobaan
A. Hasil
1. Dosis Obat
i. MgSO4
1) Berat Badan Tikus = 250 g
2) Dosis konversi = 0,018
3) Dosis Pengenceran = 30 g dalam 60 ml
4) Dosis Anjuran = 50 g x 0,018
= 0,9 g /200 g tikus
5) Dosis obat (g) = 250 x0,9200
= 1,125 g
6) Dosis obat (ml) = 1,125
0,5
= 2,25 ml
ii. Bisakodil
1) Berat Badan Tikus = 375 g
2) Dosis konversi = 0,018
3) Dosis Pengenceran = 0,4 mg / cc
4) Dosis Anjuran = 0,2 mg / 200 g tikus
5) Dosis obat (g) = 375 x0,2200
= 0, 375 g
6) Dosis obat (ml) = 1,1250,4
= 0, 9375 ml
iii. Vegeta
1) Berat Badan Tikus = 125 g
2) Dosis manusia = 2 bungkus dalam 200 cc air
3) Dosis konversi = 0,018
4) Dosis Anjuran = 200 x 0 , 018
200 g =
3,6 cc200g
5) Dosis obat (ml) = 125 x3,6200
= 3,15 ml
iv. Merit
1) Berat Badan Tikus = 125 g
2) Dosis Encer = 6 pil dalam 40 cc
3) Dosis konversi = 0,018
4) Dosis Anjuran = 40 x0 ,018
200 g =
0,72 cc200 g
5) Dosis obat (ml) = 125 x0,72200
= 0, 45 ml
Tabel 1.1 Pengamatan Feses Tikus
No. Jenis Obat 30 Menit
Sebelum
Pemberian Obat
3 Jam Pertama
Setelah
Pemberian Obat
3 Jam Kedua
Setelah
Pemberian Obat
1. MgSO4
Jumlah Banyak Sedang Sedikit
Konsistensi Padat Lembek Lembek
2. Bisakodil
Jumlah Banyak Banyak Sedikit
Konsistensi Padat Padat Agak lembek
3. Vegeta
Jumlah Banyak Sangat Lembek Sangat Lembek
Konsistensi Padat Sedikit Sedang
4. Merit
Jumlah Banyak Agak lembek Agak lembek
Konsistensi Padat Banyak Sedikit
B. Pembahasan
Tikus putih dengan berat 250 g yang diberi obat garam magnesium (MgSO4
atau garam inggris) pada pengamatan 30 menit pertama sebelum pemberiaan obat
jumlah dan konsistensi normal. Pada pengamatan 3 jam pertama setelah pemberian
garam magnesium sudah terlihat perubahan yaitu jumlah tinjanya menjadi sedang
dan konsistensinya lembek sedangkan pada pengamatan 3 jam kedua jumlah
tinjanya menjadi sedikit dan konsistensinya lembek. Dari hasil percobaan sesuai
dengan teori yaitu tinja menjadi lembek setelah 3-6 jam, ini terjadi karena daya
osmotiknya yang berpengaruh pada peningkatan peristaltik usus, sehingga air
ditarik ke dalam lumen usus dan menyebabkan tinja menjadi lembek. Efek
pencahar yang besar bisa menyebabkan kosongnya jumlah feses yang harus
dikeluarkan pada defekasi berikutnya sehingga jumlahnya menjadi lebih sedikit.
Tikus putih dengan berat 375 g yang diberi obat bisakodil pada pengamatan
30 menit pertama sebelum pemberiaan obat jumlah dan konsistensi normal. Pada
pengamatan 3 jam pertama setelah pemberian bisakodil belum terlihat perubahan
yaitu jumlah tinjanya masih banyak dan konsistensinya masih padat sedangkan
pada pengamatan 3 jam kedua jumlah tinjanya menjadi sedikit dan konsistensinya
menjadi agak lembek dari sebelumnya. Dari hasil percobaan membuktikan jika 3
jam pertama obat bisakodil belum bereaksi dan baru mulai terlihat efeknya setelah
3 jam kedua yaitu konsistensi tinja yang agak lembek dari sebelumnya. Bila
diberikan secara oral efek pencahar bisakodil timbul setelah 6-12 jam sedangkan
efeknya akan bekerja lebih cepat yaitu sekitar seperempat sampai satu jam.
Bisakodil merupakan jenis obat pencahar perangsang yang kerjanya merangsang
mukosa, saraf intramural, dan otot polos sehingga peristaltik meningkat dan sekresi
lendir meningkat. Meningkatnya motilitas usus mengakibatkan menurunnya
absorpsi garam dan air dan selanjutnya mengurangi waktu transit sehingga tinja
menjadi tidak padat dan mengandung air yang mampu membasahi kertas.
Tikus putih dengan berat 125 g yang diberi vegeta pada pengamatan 30
menit pertama sebelum pemberiaan obat jumlah dan konsistensi normal. Pada
pengamatan 3 jam pertama setelah pemberian vegeta sudah terlihat perubahan yaitu
jumlah tinjanya sedang dan konsistensinya sangat lembek sedangkan pada
pengamatan 3 jam kedua jumlah tinjanya menjadi sedikit dan konsistensinya sangat
lembek. Vegeta mengandung psilium yaitu jenis obat pencahar pembentuk massa.
Obat ini bekerja dengan mengikat air dan ion dalam lumen kolon, dengan demikian
feses akan menjadi lebih lunak. Pada pengamatan 3 jam pertama konsistensi tinja
tikus sudah sangat lembek, artinya vegeta yang diberikan pada tikus ini dalam 3
jam pertama sudah bekerja, tetapi pada pengamatan 3 jam kedua jumlah tinjanya
menjadi lebih sedikit karena feses yang ada sudah dikeluarkan pada jam-jam
sebelumnya. Sehingga kemungkinan yang terjadi jika penggunaan secara rutin
akan merusak siklus BAB normal.
Tikus putih dengan berat 125 g yang diberi merit pada pengamatan 30 menit
pertama sebelum pemberiaan obat jumlah dan konsistensi normal. Pada
pengamatan 3 jam pertama setelah pemberian merit sudah terlihat perubahan yaitu
jumlah tinjanya banyak dan konsistensinya agak lembek sedangkan pada
pengamatan 3 jam kedua jumlah tinjanya menjadi sedikit dan konsistensinya agak
lembek. Merit dikalangan awam dikenal sebagai obat pelangsing tubuh, kandungan
merit antara lain Rhei Radix yang bersifat pencahar yaitu memacu pergerakan
peristaltik usus besar sehingga akan mempermudah buang air besar. Bahan ini akan
menstimulasi dinding usus besar sehingga mengurangi absorpsi cairan dari massa
feses dan meningkatkan pergerakan peristaltik usus besar untuk mendorong proses
buang air besar lebih mudah dan membuat feses lebih lembek dan banyak.
VI. Aplikasi Klinis
A. Penyakit Hirschsprung
Definisi
Penyakit Hirschsprung disebut juga kongenital aganglionik
megakolon. Dilihat dari namanya penyakit ini merupakan keadaan
usus besar (kolon) yang tidak mempunyai persarafan (aganglionik).
Jadi, karena ada bagian dari usus besar (mulai dari anus kearah atas)
yang tidak mempunyai persarafan (ganglion), maka terjadi “kelumpuhan”
usus besar dalam menjalanakan fungsinya sehingga usus menjadi
membesar (megakolon). Panjang usus besar yang terkena berbeda-
beda untuk setiap individu ( Universitas Sumatera Utara. 2006).
Penyebab
Penyebab timbulnya penyakit Hirschsprung adalah kelainan
genetik. Penyakit ini juga dapat ditemukan bersamaan dengan sindrom
Down, kanker tiroid, dan neuroblastoma ( Universitas Sumatera Utara.
2006).
Gejala
Karena terjadi “kelumpuhan” usus besar dalam menjalankan
fungsinya, maka tinja tidak dapat keluar. Biasanya bayi baru lahir akan
mengeluarkan tinja pertamanya (mekonium) dalam 24 jam
pertama. Namun pada bayi yang menderita penyakit Hirschsprung, tinja
akan keluar terlambat atau bahkan tidak dapat keluar sama sekali. Selain
itu perut bayi juga akan terlihat menggembung, disertai muntah. Jika
dibiarkan lebih lama, berat badan bayi tidak akan bertambah dan akan
terjadi gangguan pertumbuhan. Gambar. Penyakit Hirschsprung (
Universitas Sumatera Utara. 2006).
Perhatikan perbedaan besar usus antara gambar yang kiri dan kanan.
Diagnosa
Gambaran Klinis
Gambaran klinis penyakit Hirschsprung dapat kita bedakan
berdasarkan usia gejala klinis mulai terlihat :
(1). Periode Neonatal. Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai,
yakni pengeluaran mekonium yang terlambat, muntah hijau dan
distensi abdomen. Pengeluaran mekonium yang terlambat (lebih dari 24
jam pertama) merupakan tanda klinis yang signifikans. Swenson
(1973) mencatat angka 94% dari pengamatan terhadap 501 kasus ,
sedangkan Kartono mencatat angka 93,5% untuk waktu 24 jam dan
72,4% untuk waktu 48 jam setelah lahir. Muntah hijau dan distensi
abdomen biasanya dapat berkurang manakala mekonium dapat
dikeluarkan segera. Sedangkan enterokolitis merupakan ancaman
komplikasi yang serius bagi penderita penyakit Hirschsprung ini, yang
dapat menyerang pada usia kapan saja, namun paling tinggi saat usia
2-4 minggu, meskipun sudah dapat dijumpai pada usia 1 minggu.
Gejalanya berupa diarrhea, distensi abdomen, feces berbau busuk
dan disertai demam. Swenson mencatat hampir 1/3 kasus Hirschsprung
datang dengan manifestasi klinis enterokolitis, bahkan dapat pula terjadi
meski telah dilakukan kolostomi (Kartono,1993; Fonkalsrud dkk,1997;
Swenson dkk,1990). (Gambar 6)
Gambar 6. Foto pasien penderita Hirschsprung berusia 3 hari. Terlihat
abdomen sangat distensi dan pasien kelihatan menderita sekali.
(ii). Anak. Pada anak yang lebih besar, gejala klinis yang menonjol
adalah konstipasi kronis dan gizi buruk (failure to thrive). Dapat pula
terlihat gerakan peristaltik usus di dinding abdomen. Jika dilakukan
pemeriksaan colok dubur, maka feces biasanya keluar menyemprot,
konsistensi semi-liquid dan berbau tidak sedap. Penderita biasanya buang
air besar tidak teratur, sekali dalam beberapa hari dan biasanya sulit untuk
defekasi. (Gambar 7)
Gambar 7. Foto anak yang telah besar, sebelum dan sesudah
tindakandefinitif bedah. Terlihat status gizi anak membaik setelah
operasi.
Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi merupakan pemeriksaan yang penting pada
penyakit Hirschsprung. Pada foto polos abdomen dapat dijumpai
gambaran obstruksi usus letak rendah, meski pada bayi sulit untuk
membedakan usus halus dan usus besar. Pemeriksaan yang merupakan
standard dalam menegakkan diagnosa Hirschsprung adalah barium
enema, dimana akan dijumpai 3 tanda khas :
1. Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal
yang panjangnya bervariasi;
2. Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah
penyempitan ke arah daerah dilatasi;
3. Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi
(Kartono,1993).
Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas
penyakit Hirschsprung, maka dapat dilanjutkan dengan foto retensi
barium, yakni foto setelah 24-48 jam barium dibiarkan membaur
dengan feces. Gambaran khasnya adalah terlihatnya barium yang
membaur dengan feces kearah proksimal kolon.
Sedangkan pada penderita yang bukan Hirschsprung namun
disertai dengan obstipasi kronis, maka barium terlihat
menggumpal di daerah rektum dan sigmoid (Kartono,1993, Fonkalsrud
dkk,1997; Swenson dkk,1990).
Gambar 8. Terlihat gambar barium enema
penderitaHirschsprung. Tampak rektum yang mengalami
penyempitan,dilatasi sigmoid dan daerah transisi yang
melebar.
Pemeriksaan patologi anatomi
Diagnosa histopatologi penyakit Hirschsprung didasarkan atas
absennya sel ganglion pada pleksus mienterik (Auerbach) dan pleksus
sub-mukosa (Meissner). Disamping itu akan terlihat dalam jumlah
banyak penebalan serabut syaraf (parasimpatis). Akurasi pemeriksaan
akan semakin tinggi jika menggunakan pengecatan immunohistokimia
asetilkolinesterase, suatu enzim yang banyak ditemukan pada serabut
syaraf parasimpatis, dibandingkan dengan pengecatan konvensional
dengan haematoxylin eosin. Disamping memakai
asetilkolinesterase, juga digunakan pewarnaan protein S-100, metode
peroksidase-antiperoksidase dan pewarnaan enolase. Hanya saja
pengecatan immunohistokimia memerlukan ahli patologi anatomi yang
berpengalaman, sebab beberapa keadaan dapat memberikan
interpretasi yang berbeda seperti dengan adanya perdarahan (Cilley
dkk,2001).
Swenson pada tahun 1955 mempelopori pemeriksaan histopatologi
dengan eksisi seluruh tebal dinding otot rektum, untuk
mendapatkan gambaran pleksus mienterik. Secara tekhnis, metode ini
sulit dilakukan sebab memerlukan anastesi umum, dapat menyebabkan
inflamasi dan pembentukan jaringan ikat yang mempersulit
tindakan bedah definitif. Noblett tahun 1969 mempelopori tekhnik biopsi
hisap dengan menggunakan alat khusus, untuk mendapatkan jaringan
mukosa dan sub-mukosa sehingga dapat melihat keberadaan pleksus
Meissner. Metode ini kini telah menggantikan metode biopsi eksisi
sebab tidak memerlukan anastesi dan akurasi pemeriksaan
mencapai 100% (Junis dkk, Andrassy dkk). Biasanya biopsi hisap
dilakukan pada 3 tempat : 2,3,dan 5 cm proksimal dari anal verge. Apabila
hasil biopsi hisap meragukan, barulah dilakukan biopsi eksisi otot
rektum untuk menilai pleksus Auerbach. Dalam laporannya, Polley
(1986) melakukan 309 kasus biopsi hisap rektum tanpa ada hasil negatif
palsu dan komplikasi (Kartono,1993; Swenson dkk,1990;
Swenson,2002).
Manometri anorektal
Pemeriksaan manometri anorektal adalah suatu
pemeriksaan objektif mempelajari fungsi fisiologi defekasi pada penyakit
yang melibatkan spinkter anorektal. Dalam prakteknya, manometri
anorektal dilaksanakan apabila hasil pemeriksaan klinis, radiologis dan
histologis meragukan. Pada dasarnya, alat ini memiliki 2 komponen dasar
: transduser yang sensitif terhadap tekanan seperti balon mikro dan kateter
mikro, serta sisitem pencatat seperti poligraph atau komputer
(Shafik,2000; Wexner,2000; Neto dkk,2000).
Beberapa hasil manometri anorektal yang spesifik bagi penyakit
Hirschsprung adalah :
1. Hiperaktivitas pada segmen yang dilatasi;
2. Tidak dijumpai kontraksi peristaltik yang terkoordinasi pada segmen usus
aganglionik;
3. Sampling reflex tidak berkembang. Tidak dijumpai relaksasi spinkter
interna setelah distensi rektum akibat desakan feces. Tidak
dijumpai relaksasi spontan (Kartono,1993; Tamate,1994; Neto,2000).
Gambar 10. Tampak gambar skema dari manometri
anorekatal,yang memakai balon berisi udara sebagai transducernya.
Padapenderita Hirschsprung (kanan), tidak terlihat relaksasi spinkter ani.
Penatalaksanaan
Terdapat 2 langkah operasi yang dapat dilakukan untuk menangani
penyakit ini, yaitu :
Langkah pertama adalah dengan dilakukan kolostomi, yaitu
pembuatan saluran pembuangan tinja pada dinding perut dengan cara
membuat lubang pada dinding perut lalu kemudian menyambungkan usus
(yang masih sehat) ke lubang tersebut. Hal ini memungkinkan
pengeluaran tinja melalui dinding perut.
Langkah kedua adalah setelah berat badan, usia, dan kondisi bayi
sudah cukup, dapat dilakukan penutupan kolostomi tersebut serta
menyambungkan kembali usus besar ke tempatnya semula,
yaitu di anus ( Universitas Sumatera Utara. 2006).
B. Hemorrhoids
Hemorrhoids adalah pembengkakan dan peradangan vena pada
anus dan rectum bawah. Hemorrhoids antara lain disebabkan karena
ketegangan selama buang air besar atau peningkatan tegangan pada vena
tersebut karena kehamilan. Hemorrhoids bisa terletak di dalam rectum
(Internal Hemorrhoids) atau di luar rectum (external Hemorrhoids). Tanda
dan gejala dari Internal hemorrhoids biasanya tidak sakit, dapat terjadi
perdaraan bila teriritasi, dapat berkembang menjadi Prolapsed
Hemorrhoids dan Strangulated, sedangkan Eksternal Hemorrhoids
biasanya sangat sakit, sering terjadi pembengkakan dan iritasi, gatal karena
iritasi kulit, dapat menyebabkan masalah pada fungsi anus, terutama anal
sphincter, dapat berkembang menjadi Thrombosed Hemorrhoids (Geissle,
2006).
Faktor-Faktor yang bisa menjadi penyebab Hemorrhoids
diantaranya:
1. Mengejan saat buang air besar
2. Duduk untuk jangka waktu yang lama
3. Diare kronis atau sembelit
4. Kegemukan
5. Kehamilan
6. Anal intercourse
Kemungkinan terkena Hemorrhoids lebih besar saat usia
bertambah karena jaringan yang mendukung pembuluh darah di rectum
dan anus menjadi lebih lemah karena penuaan (Geissle, 2006).
VII. Kesimpulan
1. Laksansia atau pencahar bekerja dengan cara menstimulasi gerakan
peristaltik dinding usus sehingga mempermudah buang air besar
(defikasi) dan meredakan sembelit.
2. Sasaran terapi konstipasi yaitu: (1) massa feses, (2) refleks
peristaltik dinding kolon. Tujuan terapinya adalah menghilangkan
gejala, artinya pasien tidak lagi mengalami konstipasi atau proses
defekasi/ BAB (meliputi frekuensi dan konsistensi feses) kembali
normal.
3. Penggunaan laksatif yang berlebihan mempunyai efek yang sama
dengan mengabaikan keinginan BAB – refleks pada proses
defekasi yang alami dihambat.
VIII. Evaluasi
1. Mengapa dosis vegeta dan merit yang digunakan besarnya
seperti itu?
Dosis anjuran merupakan dosis yang dipakai untuk hewan uji yang
telah dokonversi dari dosis normal untuk manusia. Dosis anjuran
untuk vegeta 3,6mL/200gr dan dosis anjuran untuk merit 0,72mL/200gr.
Dosis ini merupakan dosis yang telah dikonversi dari dosis aman untuk
manusia ke dosis untuk hewan coba dengan perhitungan apabila berat
hewan coba 200 gram. Kedua tikus uji memiliki berat 125 gr
sehingga didapatkan dosis vegeta sebanyak 2,25 mL dan dosis merit 0,45
mL. Dosis ini langsung dalam satuan mL dan tidak ada lagi konversi ke
dalam dosis cair karena bentuk obat sudah dalam bentuk larutan cair.
2. Jelaskan mekanisme kerja vegeta dan merit!
Vegeta komposisinya menganung plantago atau psilium yang
termasuk golongan pencahar pembentuk massa. Mekanisme kerja
dengan meningkatkan volume air dalam kolon sehingga tinja
menjadi lebih lunak dan lebih mudah untuk dikeluarkan.
Merit adalah obat pelangsing tubuh dengan komposisi Guazumae
Folium, Rhei Radix, Granati Fructus Cortex. Guazumae folium
mengandung zat lendir yang berfungsi melapisi GI tract sehingga
penyerapan zat makanan menjadi lebih sedikit dan makanan lebih
cepat dikeluarkan. Rhei radix bekerja sebagai pencahar rangsang yang
aktif meningkatkan peristaltic usus. Sedangkan granati fructus cortex
memperkecil bidang penyerapan pada usus sehingga meningkatkan
jumlah feses saat defekasi. Secara umum merit bekerja sebagai
pencahar rangsang.
3. Jelaskan mekanisme kerja obat katartik!
1.Pencahar Rangsang
Pencahar ini bekerja dengan merangsang mukosa
lumen serta saraf intramural/otot polos sehingga
gerakan peristaltic dan sekresi lumen usus meningkat.
2.Pencahar Garam dan Pencahar Osmotik
Bekerja dengan prinsip osmotic yaittu obat yang berbentuk
garam yang masuk ke lumen GI tract akan
meningkatkan tekanan intralumen sehingga air akan
berpindah ke lumen dan melunakkan tinja dan mempermudah
proses defekasi.
3.Pencahar Pembantuk Massa
Bekerja mengikar air dan ion ke dalam lumen kolon
sehingga tinja menjadi banyak.
4.Pencahar Emolien
Memudahkan defekasi dengan cara melunakkan tinja tanpa
merangsang peristaltic usus yang kemudian menurunkan tegangan
permukaan pada feses sehingga air dan lemak mudah masuk ke
dalam tinja.
Daftar Pustaka
Geissle, M. Doenges. 2006. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC
Tjay, Tan Hoan; Kirana Rahardja.2007.Obat-Obat Penting.Edisi
keenam.Jakarta:PT.Alex Media Komputindo.
Neal, M.J . 2005. At a Glance Farmakologi Medis. Jakarta: PT Gelora Aksara
Pratama
Cilley RE, Statter MB, Hirschl RB,et al. Definitive treatment of Hirschsprung’s
disease in the newborn with a one stage procedure. Arch Dis Child 2001;84:212-
7.
Kartono D. Penyakit Hirschsprung : Perbandingan prosedur Swenson dan
Duhamel modifikasi. Disertasi. Pascasarjana FKUI. 1993.
Shafik A. Surgical anatomy of the anal canal.In: Neto JA,editor. New trends in
coloproctology. Rio de Jainero;Livraria:2000.p.3-18.