Laporan Farmako Kelompok 11-Fix

42
LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI “POTENSI RELATIF BEBERAPA OBAT ANASTESI UMUM” Asisten : Rini Puspita Sari K1A006011 KELOMPOK 11 NURSHELA FARISKA G1A0067091 WEDHA JATI TYAS S.U. G1A0067092 AGUS HARIYANTO G1A0067093 NUR RAKHMAN PRATAMA G1A0067094 MANGGALA SARIPUTRI G1A0067095 SESIA PRADESTINE G1A0067096 ARISTI INTAN SORAYA G1A0067097 NOVA AGUSTA ISDIARTO G1A0067098 GENDIS AYU ARDIAS G1A0067099 NEUROBEHAVIOUR AND SPESIFIC SENSE SISTEMS ( NBSS ) JURUSAN KEDOKTERAN

Transcript of Laporan Farmako Kelompok 11-Fix

Page 1: Laporan Farmako Kelompok 11-Fix

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

“POTENSI RELATIF BEBERAPA OBAT ANASTESI UMUM”

Asisten :

Rini Puspita Sari

K1A006011

KELOMPOK 11

NURSHELA FARISKA G1A0067091

WEDHA JATI TYAS S.U. G1A0067092

AGUS HARIYANTO G1A0067093

NUR RAKHMAN PRATAMA G1A0067094

MANGGALA SARIPUTRI G1A0067095

SESIA PRADESTINE G1A0067096

ARISTI INTAN SORAYA G1A0067097

NOVA AGUSTA ISDIARTO G1A0067098

GENDIS AYU ARDIAS G1A0067099

NEUROBEHAVIOUR AND SPESIFIC SENSE SISTEMS ( NBSS )

JURUSAN KEDOKTERAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU – ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

PURWOKERTO

2010

Page 2: Laporan Farmako Kelompok 11-Fix

I. Judul Percobaan

Potensi relatif beberapa obat anastesi umum.

II. Tanggal Percobaan

Kamis, 25 Maret 2010

III.Tujuan Percobaan

a. Umum

Setelah menyelesaikan percobaan mahasiswa dapat menjelaskan perbedaan

potensi relatif dari beberapa obat anastesi umum.

b. Khusus

Setelah menyelesaikan percobaan ini mahasiswa dapat :

1. Menjelaskan stadium anastesi umum secara singkat.

2. Menjelaskan perbedaan beberapa obat anastesi umum dalam waktu

tertentu.

IV. Binatang Percobaan

Tiga ekor mencit

V. Definisi

Anastesi umum:

Keadaan hilangnya kesadaran disertai analgesia, amnesia, dan seringkali diikuti

dengan relaksasi otot – otot rangka.

Anestetik Umum:

Agen atau obat–obat yang dapat menimbulkan efek anastesi umum.

VI. Tinjauan Pustaka

Obat anestesi umum adalah obat atau agen yang dapat menyebabkan

terjadinya efek anestesia umum yang ditandai dengan penurunan kesadaran

secara bertahap karena adanya depresi susunan saraf pusat. Menurut rute

pemberiannya, anestesi umum dibedakan menjadi anestesi inhalasi dan

Page 3: Laporan Farmako Kelompok 11-Fix

intravena. Keduanya berbeda dalam hal farmakodinamik maupun farmakokinetik

(Ganiswara, 1995).

Tahap-tahap penurunan kesadaran dapat ditentukan dengan pengamatan

yang cermat terhadap tanda-tanda yang terjadi, terutama yang berhubungan

dengan koordinasi pusat saraf sirkulasi, respirasi, musculoskeletal dan fungsi-

fungsi otonom yang lain pada waktu-waktu tertentu. Beberapa anestetik umum

berbeda potensinya berdasarkan sifat farmakokinenik dan farmako dinamik yang

berbeda pula. Selain itu sifat farmasetika obat juga mempengaruhi potensi

anestesinya. Potensi anestetik yang kuat dapat disertai dengan potensi depresi

sususan saraf pusat yang kuat, sehingga perlu dilakukan pemantauan yang ketat,

untuk menghindari turunnya derajat kesadaran sampai derajat kematian.

( Ganiswara, 1995 ).

Eter (dietil eter, zaman dahulu dikenal sebagai sulfuric eter karena

diproduksi melalui reaksi kimia sederhana antara etil alkohol dengan asam

sulfat) digunakan pertama kali tahun 1540 oleh Valerius Cordus, botani Prusia

berusia 25 tahun. Eter sudah dipakai dalam dunia kedokteran, namun baru

digunakan sebagai agen anestetik pada manusia di tahun 1842, ketika Crawford

W. Long dan William E. Clark menggunakannya pada pasien. Namun

penggunaan ini tidak dipublikasikan. Empat tahun kemudian, di Boston, 16

Oktober 1846, William T. G. Morton memperkenalkan demostrasi publik

penggunaan eter sebagai anestetik umum (Morgan dan Mikhail, 2002). Eter

dapat dimasukkan kedalam derivat alkohol dimana H dari R-O-[H] digantikan

oleh gugus R lainnya. Eter adalah oksida organik yang berstrukur:

[R]-C-O-C-[R]Eter tidak berwarna, berbau menyengat, cairan yang mudah menguap.

Titik didihnya adalah 36,2°C. Cara pembuatan yang paling umum adalah dengan

dehidrasi alkohol bersama asam sulfat (Collins, 1996).

Alkohol (etanol; C2H5OH) ialah suatu molekul kecil, larut dalam air, dan

diserap dengan sempurna dari saluran pencernaan. Uap etanol dapat juga diserap

melalui paru-paru. Adanya makanan dalam usus memperlambat serapan.

Distribusinya cepat, konsentrasi dalam jaringan lebih kurang sama dengan

konsentrasi plasma. Kadar puncak dalam darah dapat dicapai dalam 30 menit.

Lebih 90% alkohol yang dikonsumsi dioksidasi dalam hati, sisanya dieksresikan

Page 4: Laporan Farmako Kelompok 11-Fix

dalam paru-paru dan urin. Seorang dewasa dapat memetabolisme 7-10 gram

(0,15-0,22 mmol) alkohol setiap jam (Ganiswara, 1995)

Alkohol-alkohol lain yang berhubungan dengan etanol digunakan secara

luas dalam pelarut industri dan kadang-kadang menyebabkan keracunan hebat.

Metanol (CH3OH); metal alkohol, alkohol kayu) diperoleh dari distilasi

desktruktif kayu. Metanol digunakan sebagai bahan penambah bensin, bahan

pemanas ruangan, pelarut industri, pada larutan fotokopi, serta sebagai bahan

makanan untuk bakteri yang memproduksi protein. Metanol paling banyak

dijumpai dalam rumah tangga dalam bentuk cairan pembersih kaca mobil. Dapat

diabsorpsi melalui kulit, saluran pernapasan atau pencernaan dandidistribusikan

ke dalam cairan tubuh. Mekanisme eliminasi utama methanol di dalam tubuh

manusia ialah dengan oksidasi menjadi formaldehida, asam format dan CO2.

Metanol juga dapat disingkirkan dengan membuat muntah, dan dalam jumlah

kecil diekskresikan melalui pernapasan, keringat dan urin (Ganiswara, 1995).

Alkohol polihidrat seperti etilen glikol digunakan sebagai pengubah panas,

zat anti beku, dan sebagai pelarut industri. Karena glikol mempunyai penguapan

yang rendah, maka zat ini menghasilkan sedikit uap yang berbahaya pada

temperatur biasa. Namun, karena digunakan dalam campuran anti beku dan

sebagai pengubah panas, dapat dijumpai dalam bentuk uap atau kabut, pada

temperatur tinggi. Etilen glikol tampaknya lebih toksik untuk manusia

dibandingkan dengan spesies hewan lain. Etilen alkohol dimetabolisir oleh

alkohol dehidrogenase menjadi aldehid, asam dan oksalat (Katzung, 1997).

Kloroform pada suhu dan tekanan normal mudah menguap, jernih, tidak

mudah terbakar. Nama lain untuk cloroform adalah trichloromethane dan

triklorid metil, tidak seperti eter, bau chloroform manis tidak menyengat,

walaupun uap chloroform pekat terinhalasi dapat menyababkan iritasi

permukaan mukosa yang terkena. Kloroform adalah anestesi yang lebih efektif

daripada nitro. Kloroform dosis tergantung di dalam tubuh akan dimetabolisme

didalam hati. Metabolit kloroform termasuk phosgene, carbene dan chlorine,

yang semuanya dapat berkontribusi terhadap aktivitas sitotoksik. Penggunaan

jangka panjang kloroform sebagai anestetik dapat menyebabkan toxaemia.

Keracuanan akut dapat menyebabkan sakit kepala, kejang, perubahan kesadaran,

Page 5: Laporan Farmako Kelompok 11-Fix

kelumpuhan, gangguan pernapasan. Dari sistem otonom dapat mengakibatkan

pusing, mual dan muntah. Kloroform juga dapat menyebabkan delayed-onset

kerusakan pada hati, jantung dan ginjal (Katzung, 1997).

VII. Alat dan Bahan

1. Alat

a. 3 buah beaker glass 600 cc

b. Kapas

c. Kertas selofan

d. Spuit tuberkulin

e. Jarum suntik nomor 27

2. Bahan

a. Kloroform

b. Alkohol 95%

c. Eter

VIII. Cara Kerja

1. Tiap-tiap beaker glass ditandai dengan nama atau kode obat anestesi umum

yang digunakan.

2. Pada masing-masing dasar beaker glass diletakkan kapas yang sesuai dengan

diameternya, kemudian dimasukkan seekor mencit ke dalam masing-masing

beaker glass tersebut.

3. Diperhatikan dan dicatat tingkah laku, respirasi ketiga ekor mencit tersebut.

Setelah itu masing-masing beaker glass ditutup dengan rapat dengan kertas

selofan.

4. Melalui kertas selofan tersebut, disuntikkan obat anestesi umum sesuai

dengan label pada beaker glass. Disuntikkan sebanyak 0,25 cc, diulangi

penyuntikkan dengan volume yang sama tiap 2 menit.

5. Diperhatikan tanda-tanda perubahan tingkah laku dan pernapasan ketiga

mencit, dicatat beserta waktu terjadinya.

Page 6: Laporan Farmako Kelompok 11-Fix

Beakerglass Beakerglass Beakerglass

Pada dasar letakkan kapas

Masukkan seekor mencit

+

Tutup dengan kertas selafon

Disuntikkan 0,25 cc anestesi sesuai kode,

ulangi dosis yang sama tiap 2 menit

Eter Alkohol Kloroform

Eter Alkohol Kloroform

Amati perubahan tingkah laku dan pernapasan

Gambar 1. Cara kerja

Page 7: Laporan Farmako Kelompok 11-Fix

IX. Hasil Percobaan

a. Hasil

Tabel 1. Hasil percobaan

Anastesi

Umum

Waktu

permulaan

Eksitasi Anastesi Kematian

Eter Pukul : 13.44 Menit ke: 2

menit pertama

Pukul: 13:45:44

Menit ke: 2

menit kelima

Pukul: 13:52:52

Menit ke: -

Pukul: -

Alkohol Pukul : 13.44 Menit ke: 2

menit pertama

Pukul: 13:44:35

Menit ke: 2

menit pertama

Pukul: 13:45:18

Menit ke: -

Pukul: -

Kloroform Pukul : 13.44 Menit ke: 2

menit pertama

Pukul: 13:44:30

Menit ke: 2

menit pertama

Pukul: 13:45:00

Menit ke: -

Pukul: -

b. Kesimpulan

1. Yang cepat menimbulkan eksitasi : kloroform

2. Yang cepat menimbulkan anastesi : kloroform

3. Yang cepat menimbulkan kematian : kloroform

Kematian pada ketiga mencit tidak dicantukmkan karena setelah praktikum

berakhir ketiga mencit belum ada yang mengalami kematian, hanya terjadi

perubahan tingkah laku dan pernapasan (eksitasi dan anestesi). Hal ini

disebabkan oleh beberapa kekurangan praktikum, yaitu:

1) Dosis setiap obat anestesi umum yang kurang tepat

2) Pemberian obat anestesi umum tidak dilakukan bersama dalam hitungan

detik yang tepat

3) Kertas selofan yang kecil menyebabkan beaker glass tidak menutup

secara sempurna. Hal ini memungkinkan penguapan obat anestesi umum

menguap keluar.

4) Satu ekor mencit bersembunyi di bawah kapas yang seharusnya menjadi

alas

Page 8: Laporan Farmako Kelompok 11-Fix

X. Pembahasan

A. Alkohol

Pada praktikum yang kami lakukan, dengan perlakuan alkohol 95% mencit yang

diberi perlakuan mengalami eksitasi dan anestesi. Namun, jika dibandingkan

dengan mencit yang diberi perlakuan kloroform dan eter, mencit yang diberi

perlakuan alkohol lebih lambat atau lama untuk eksitasi dan anestesi.

Alkohol mempunyai rumus umum R-OH. Strukturnya serupa dengan air, tetapi

satu hidrogennya diganti dengan satu gugus alkil. Gugus fungsi alkohol adalah

gugus hidroksil, -O. Alkohol tersusun dari unsur C, H, dan O. Struktur alkohol :

R-OH primer, sekunder dan tersier.

1. Sifat fisika alkohol :

a. Titik didih alkohol lebih besar dari pada titik didih alkena dengan jumlah

unsur C yang sama (etanol = 78oC, etena = -88,6oC)

b. Umumnya membentuk ikatan hidrogen

c. Berat jenis alkohol lebih besar dari pada berat jenis alkena

d. Alkohol rantai pendek (metanol, etanol) larut dalam air (=polar)

2. Struktur Alkohol : R – OH

R-CH2-OH               (R)2CH-OH                     (R)3C-OH

Primer                      sekunder                          tersier

3. Pembuatan alkohol :

a. Oksi mercurasi – demercurasi

b. Hidroborasi – oksidasi

c. Sintesis Grignard

d. Hidrolisis alkil halida

4. Penggunaan alkohol :

a. Metanol : pelarut, antifreeze radiator mobil, sintesis formaldehid,

metilamina, metilklorida, metilsalisilat, dll

b. Etanol : minuman beralkohol, larutan 70 % sebagai antiseptik, sebagai

pengawet, dan sintesis eter, koloroform, dll.

5. Tatanama alkohol

Nama umum untuk alkohol diturunkan dari gugus alkol yang melekat  pada –

OH dan kemudian ditambahkan kata alkohol. Dalam sisitem IUAPAC,

Page 9: Laporan Farmako Kelompok 11-Fix

akhiran-ol menunjukkan adanya gugus hidroksil. Contoh-contoh berikut

menggambarkan contoh-contoh penggunaan kaidah IUPAC (Nama umum

dinyatakan dalam tanda kurung).

Gambar 2. Penamaan Alkohol Berdasarkan IUAPAC

6. Farmakokinetik

a. Absorbsi

1) Absorbsi oral alkohol berlangsung secara cepat dilambung dan usus

halus. Kadar puncak plasma pada keadaan puasa dicapai dalam waktu

30 menit (Ramchandi, 2010).

2) Kecepatan absorpsi bervariasi, tergantung beberapa faktor, antara

lain: volume, jenis, dan konsentrasi alkohol yang dikonsumsi.

Alkohol dengan konsentrasi rendah diabsorpsi lebih lambat. Namun,

alkohol dengan konsentrasi tinggi akan menghambat proses

pengosongan lambung. Selain itu, karbonasi juga dapat mempercepat

absorpsi alkohol.

3) Kecepatan minum yaitu semakin cepat seseorang meminumnya,

semakin cepat absorpsi terjadi.

4) Makanan memegang peranan besar dalam absorpsi alkohol. Jumlah,

waktu, dan jenis makanan sangat mempengaruhi. Makanan tinggi

lemak secara signifikan dapat memperlambat absorpsi alkohol. Efek

utama makanan terhadap alkohol adalah perlambatan pengosongan

lambung. Metabolisme lambung, seperti juga metabolisme hati, dapat

secara signifikan menurunkan bioavailabilitas alkohol sebelum

memasuki sistem sirkulasi (Ramchandi, 2010).

Page 10: Laporan Farmako Kelompok 11-Fix

b. Distribusi

Alkohol didistribusikan melalui cairan tubuh. Distribusi

berlangsung cepat, alkohol tersebar secara merata ke seluruh jaringan

dan cairan tubuh. Volume of distribution alkohol kira-kira sama dengan

total cairan tubuh (0,5-0,7 L/kg). Pada sistem SSP, kadar alkohol

meningkat secara cepat sebab otak menerima aliran darah yang banyak

dan alkohol dapat melewati sawar darah otak. Alkohol juga dapat

menembus sawar urin dan masuk ke janin (Weathermon, 1999).

c. Metabolisme

Metabolisme primer alkohol adalah di hati, dengan melalui 3 tahap

(Weathermon, 1999) :

1) Pada tahap awal, alkohol dioksidasi menjadi acetaldehyde oleh

enzim alkohol dehydrogenase (ADH). Enzim ini terdapat sedikit

pada konsentrasi alkohol yang rendah dalam darah. Kemudian saat

kadar alkohol dalam darah meningkat hingga tarap sedang (social

drinking), terjadi zero-order kinetics, dimana kecepatan

metabolisme menjadi maksimal, yaitu 7-10 gram/jam (setara dengan

sekali minum dalam satu jam). Namun kecepatan metabolisme

tersebut sangat berbeda antara masing-masing individu, dan bahkan

berbeda pula pada orang yang sama dari hari ke hari.

2) Tahap kedua reaksi metabolisme, acetaldehyde diubah menjadi

acetate oleh enzim aldehyde dehydrogenase. Dalam keadaan

normal, acetaldehyde dimetabolisme secara cepat dan biasanya

tidak mengganggu fungsi normal. Namum saat sejumlah besar

alkohol di konsumsi, sejumlah acetaldehyde akan menimbulkan

gejala seperti sakit kepala, gastritis, mual, pusing, hingga perasaan

nyeri saat bangun tidur.

3) Tahap ketiga merupakan tahap akhir, terjadi konversi gugus acetate

dari koenzim A menjadi lemak, atau karbondioksida dan air. Enam

tahap ini juga dapat terjadi pada semua jaringan dan biasanya

Page 11: Laporan Farmako Kelompok 11-Fix

merupakan bagian dari siklus asam trikarbosilat (siklus Krebs).

Jaringan otak dapat mengubah alkohol menjadi asetaldehid, asetil

koenzim A, atau asam asetat.

d. Ekskresi

Ekskresi Alkohol lewat paru-paru dan urin. Hanya kurang lebih 2-

10% yang diekskresikan dalam bentuk utuh (Wiria, 2007).

7. Farmakodinamik

Efek konsumsi alkohol terutama pada susunan saraf pusat (SSP)

adalah sebagai pendepresi. Konsumsi Alkohol berefek sedasi dan

antiansietas dan pada kadar yang lebih tinggi dapat menyebabkan

ataksia,bicara tak jelas, tidak dapat menentukan keputusan dan perilaku

inhibisi, yang dapat menimbulkan kesan adanya efek stimulasi SSP dari

alkohol. Proses mental yang dipengaruhi sejak awal adalah yang

berhubungan dengan latihan dan pengalaman.daya ingat, konsentrasi dan

daya mawas diri menjadi tumpul lalu hilang. Rasa kepercayaan diri

meningkat, kepribadian menjadi ekspansif dan bersemangat, perasaan

tidak terkontrol dan letupan emosi yang nyata. Perubahan psikis ini

disertai gangguan sensorik dan motorik (Wiria, 2007).

Tabel 2. Efek alkohol dalam tubuh (Ramchandi, 2010)

Kadar alkohol

dalam darahEfek yang terjadi

50 mg/dl masih mampu bersosialisasi, tenang

80 mg/dl koordinasi berkurang (kemampuan mental & fisik

berkurang) refleks menjadi lebih lambat

(kedua hal tsb mempengaruhi keselamatan

mengemudi)

100 mg/dl gangguan koordinasi yg jelas terlihat

200 mg/dl Kebingungan

Ingatan berkurang

Gangguan koordinasi semakin berat (tidak dapat

berdiri)

300 mg/dl penurunan kesadaran

Page 12: Laporan Farmako Kelompok 11-Fix

400 mg/dl koma, kematian

8. Mekanisme Kerja

Alkohol mengganggu keseimbangan antara eksitasi dan inhibisi di

otak. Ini terjadi karena penghambatan atau penekanan saraf perangsang.

Sejak lama diduga efek depresi Alkohol pada SSP berdasarkan melarutnya

lewat membrane lipid. Efek Alkohol terhadap berbagai saraf berbeda karena

perbedaan distribusi fosfolipid dan kolesterol di membrane tidak seragam.

Data eksperimental menyokong dugaan mekanisme kerja lakohol di SSP

serupa barbiturate (Ramchandi, 2010).

B. Eter (dietil eter)

Eter didapat dengan memanaskan (dehidrasi) etil alkohol dengan asam

sulfur dibawah 130oC.

C2H5OH + H2SO4 C2HSO4 + H2O

C2H5HSO4 +C2H5OH H2SO4 + C2H5C2H5

Pada anestesi ringan, seperti halnya anestetik lain, eter menyebabkan

dilatasi pembuluh darah kulit sehingga timbul kemerahan terutama di daerah

muka, pada anastesi yang lebih dalam kulit menjadi lembek, pucat dingin dan

basah. Terhadap pembuluh darah ginjal, eter menyebabkan vasokonstriksi

sehingga terjadi penurunan laju filtrasi glomerulus dan produksi urin secara

reversible (FKUI, 1989).

Eter diabsorpsi dan diekskresi melalui paru sebagian kecil diekskresikan

juga melalui air susu, keringat dan difusi melalui kulit utuh. Eter dapat

digunakan dengan berbagai metode anastesi. Pada pengguanaan secara open

drop uap eter akan turun ke bawah karena ± 6-10 kali lebih berat daripada udara.

Penggunaan secara semi closed method dalam kombinasi dengan oksigen atau

N2O tidak dianjurkan pada operasi dengan tindakan keuterisasi. Sebab, tetap ada

bahaya timbulnya ledakan, dan bila api mencapai paru penderita akan mati

karena jaringan terbakar atau paru-parunya pecah ( FKUI, 1989 ).

Jumlah eter yang dibutuhkan tergantung dari berat badan dan kondisi

penderita, kebutuhan dalamnya anastesi dan teknik yang digunakan. Untuk

induksi, digunakan 10-20% volume uap eter dalam oksigen atau camppuran

Page 13: Laporan Farmako Kelompok 11-Fix

oksigen dan N2O. untuk dosis penunjang stadium III membutuhkan 5-15%

volume uap eter ( FKUI, 1989 ).

1. Sifat Fisik

Merupakan cairan tidak berwarna yang mudah menguap (volatile) yang

berbau khas. Berat molekulnya 74 dengan titik didih 35oC. Tekanan uap jenuh

pada 20oC adalah 245 mmHg, berat jenis uap eter 2,6, koefisien partisi darah

atau gas 12,0, MAC 1,92, tidak bereaksi dengan pengikat CO2 (soda lime),

sampai mudah terbakar atau meledak, dapat terurai oleh udara, cahaya dan

panas menjadi peroksida eter dan asetaldehid karena itu harus disimpan pada

tempat gelap dan dingin ( FKUI, 1989 ).

2. Farmakologi

a. Sistem sirkulasi

Denyut nadi akan meningkat karena pelepasan katekolamin yang

merangsang simpatis dan depresi vagal. Pada stadium lebih dalam denyut

nadi akan kembali normal. Aritmia jarang terjadi dan penggunaan

adrenalin relatif aman pada anastesi dengan eter. Tekanan darah dapat

menurun pada anestesi yang mencapai di bawah plana 2 stadium 3 dan

terus progresif karena depresi otot rangka, otot pembuluh darah, otot

jantung dan pusat vasomotor ( FKUI, 1989 ).

b. Sistem pernafasan

Pada permulaan frekuensi pernafasan bertambah, dan melambat pada

stadium anestesi dalam. Sekresi kelenjar ludah meningkat (hipersekresi).

Uap eter ini sangat iritatif menimbulkan batuk dan spasme jalan nafas.

Karena itu induksi anestesianya harus bertahap dimulai dari konsentrasi

rendah. Induksi sering tidak lancer, demikian pula masa pemulihan cukup

lama ( FKUI, 1989 ).

c. Susunan saraf pusat

Stadium analgesia akan diikuti oleh eksitasi dan anastesi disebabkan

depresi pada korteks dan medulla. Tekanan intracranial akan meningkat

karena dilatasi pembuluh darah otak. Eter kadang menyebabkan kejang

(klonus eter), yaitu stretch reflex yang berlebihan dan sering terlihat pada

stadium dangkal ( FKUI, 1989 ).

Page 14: Laporan Farmako Kelompok 11-Fix

d. Susunan saraf otonom

Rangsang sentral simpatis menimbulkan peningkatan katekolamin

plasma yang berakibat peningkatan denyut jantung, produksi glikogen dan

gula darah. Karena itu harus hati-hati pada pasien dengan diabetes,

kontraksi limpa, dilatasi usus dan menghambat peristaltic, dilatasi bronkus,

dilatasi arteri koroner, dilatasi pupil, peningkatan frekuensi nafas.

Sebaliknya rangsang semtral parasimpatis eter menyebabkan depresi

(FKUI, 1989).

e. Sistem pencernaan

Mual dan muntah terjadi pada lebih dari 50% pasien dengan anastesi

eter. Tonus gastrointestinal akan menurun terutama usus halus. Fungsi hati

juga menurun tetapi akan kembali normal dalam 24 jam. Eter juga

menekan sekresi empedu dan garam-garamnya ( FKUI, 1989 ).

f. Sistem otot

Relaksasi otot sangat baik. Jelas bahwa eter mempunyai efek-efek

yang mempunyai triad anestesi yaitu analgesia, hypnosis dan relaksasi

otot, sehingga anastesi dengan eter tidak memerlukan gabungan dengan

obat lain ( FKUI, 1989 ).

3. Keuntungan

a. Murah dan mudah didapat di Indonesia

b. Tidak perlu digabung dengan obat-obat lain karena telah memenuhi triad

anestesi.

c. Zat anastesi yang cukup aman dengan batas keamanan yang lebar

(margin of safety) sehingga petugas yang kurang pengalaman pun dapat

menggunakan eter.

d. Alat yang digunakan cukup sederhana dan portable misalnya jenis EMO

(Epstein, Macintosh dan Oxford)

4. Kekurangan

a. Mudah meledak dan terbakar

b. Bau tidak enak dan mengiritasi jalan nafas, sehingga induksi tidak lancar

dan masa pemulihan lama.

c. Menimbulkan hipersekresi kelenjar ludah

Page 15: Laporan Farmako Kelompok 11-Fix

d. Menyebabkan mual dan muntah

e. Hiperglikemia

5. Efek fisiologi

a. Sistem respirasi

Eter mengiritasi membran mukosa traktus respiratorius, menstimulasi

aliran mukus yang berlebihan, dan dapat menyebabkan batuk dan spasme

laring. Penggunaan premedikasi seperti atropin dan scopalamin

diperlukan untuk mengurangi aliran sekret. Pada fase awal anestesi, ater

menyebabkan stimulasi respirasi yang bermakna. Walaupun volume tidal

menurun, namun peningkatan laju pernafasan dapat mennyebabkan

ventilasi permenit yang lebih tinggi dan PaCO2 yang normal atau

menurun sedikit. Respirasi dipertahankan sampai konsentrasi eter dalam

darah tinggi. Eter, seperti halotan, berguna pada pasien asma karena

memiliki efek bronkodilasi (Collins, 1996).

b. Sistem saraf pusat

Terjadi depresi jaras descenden ireguler. Tanda klasik anestesi adalah

efek dari eter. Pada neuron, yang memenuhi efek sentral seperti transeksi

farmakologi berturut turut dari aksis serebrospinal (Collins, 1996).

Investigasi dari mekanisme yang tepat dan dan tempat aksi

mengungkapkan blokade dari sinaps pusat. Depresi pada multisinaps pada

formasio retikularis otak tengah. Terjadi depresi pada pengaturan suhu

dan pusat muntah, juga oksidasi jaringan dan pusat vasomotor (Collins,

1996).

c. Sirkulasi

Selama induksi, tekanan darah meningkat karena peningkatan volume

sekuncup dan nadi, keduanya terjadi karena peningkatan katekolamin.

Efek ini terjadi bahkan pada induksi lambat. Selama perawatan, tekanan

darah turun ke tingkat sebelum di anastesi atau di bawah itu, sementara

nadi tetap meningkat. Bila waktu anestesi memanjang lebih dari satu jam,

walaupun tidak ada perdarahan, tekanan darah tetap rendah dan stabil

(Collins, 1996).

d. Endokrin

Page 16: Laporan Farmako Kelompok 11-Fix

Selain stimulasi medulla glandula adrenal, korteks adrenal juga

terpengaruh. Selama anestesi, terjadi sekitar 2/3 kali peningkatan 17-

hydroxycorticosteroid. Selama induksi anestesi dan selama pembedahan,

sejumlah besar ACTH dikeluarkan secara berkala, dengan dua sampai tiga

puncak pada plasma. Sebaliknya, kadar kortisol bebas meningkat.

Penelitian Oyama, dkk menunjukkan bahwa peningkatan kortisol bebas

plasma adalah karena peningkatan aktivitas ACTH plasma (Collins, 1996;

Oyama, dkk, 1968).

6. Indikasi

Indikasi penggunaan eter termasuk pada kasus asma, penyakit bronkospastik,

dan penyakit jantung koroner (Collins, 1996).

7. Kontra indikasi

Eter tidak boleh digunakan dalam kasus asidosis, penyakit respirasi akut,

peningkatan tekanan intracranial, diabetes, dan debil (Collins, 1996).

C. Kloroform

Kloroform adalah nama umum untuk triklorometana (CHCl3).

Kloroform dikenal karena sering digunakan sebagai bahan pembius, meskipun

kebanyakan digunakan sebagai pelarut nonpolar di laboratorium atau industri.

Wujudnya pada suhu ruang berupa cairan, namun mudah menguap. Senyawa

kloroform adalah senyawa haloalkana yang mengikat tiga atom halogen klor (Cl)

pada rantai C-nya. Senyawa kloroform dapat dibuat dengan bahan dasar berupa

senyawa organik yang memiliki gugus metil (-CH3) yang terikat pada atom C

karbonil atau atom C hidroksi yang direaksikan dengan pereaksi halogen (Cl2).

Struktur dari kloroform yaitu CHCL3.

Gambar 3. Struktur Kimia Kloroform (Watts, 2004 )

Page 17: Laporan Farmako Kelompok 11-Fix

Tabel 3. Karakteristik Kloroform ( Anonim, 1995 )

Property Value

Boiling point (oC) at 101,3 kPa 61,3

Vapour pressure (kPa) at 20oC 21,3

Water solubility (g/litre) at 25oC 7,2-9,3

Density (g/cm3) at 25oC 1,48

Henry law constant (Pa-m3/mol) at

20oC

304

Log Kow 1,97

Log Koc 1,44-2,79

Pada suhu dan tekanan normal, kloroform sangat mudah menguap, tidak

berwarna, dan tidak mudah terbakar. Kloroform merupakan anestesi yang efektif

dibandingkan dengan nitrit oxide, eter dan alkohol bila digunakan secara inhalasi.

Hal ini disebabkan karena induksi dari kloroform bekerja secara cepat dan lancar

sehingga stadium dari anestesi lebih cepat terlampaui. Namun, praktek ini

dihentikan karena menyebabkan kematian karena pernapasan, aritmia jantung, dan

gagal jantung. Kloroform sangat baik dan cepat diabsorbsi, dimetabolisme, dan

dieliminasi oleh hewan mamalia ataupun manusia baik melalui oral, inhalation,

atau dermal exposure ( Anonim, 1995 ).

Metabolisme kloroform di dalam tubuh tergantung pada dosis paparannya.

Pada manusia dosis tunggal kloroform secara oral adalah 0,5 mg dan 50-52%

dapat diserap oleh tubuh dan melalui proses metabolisme diubah menjadi

karbondioksida. Level puncak dalam darah adalah hingga 1,5 jam dan memiliki

waktu paruh 13 sampai dengan 90 menit. Kloroform dosis tunggal secara inhalasi

adalah 5 mg dan terserap dalam tubuh hingga 80% (Anonim, 1997).

Kloroform yang masuk ke dalam tubuh melalui inhalasi akan tetap berada di

dalam tubuh dan akan di metabolisme oleh hati. Kloroform bersifat lipofilik yaitu

larut dalam jaringan lemak sehingga menyebabkan transpor normal oksigen

terganggu dan lama kelamaan akan menimbulkan efek anestesi. Metabolit dari

kloroform yaitu phosgene, carbene and klorin yang mempunyai aktivitas

sitotoksik. Sebenarnya, mekanisme kerja kloroform sebagai anestesi umum belum

Page 18: Laporan Farmako Kelompok 11-Fix

diketahui secara pasti. Tetapi, berdasarkan penelitian pada tahun 2008, kloroform

bekerja untuk menghambat kerja dari kanal ion TRPC5 yang berfungsi untuk

transmisi nyeri dan mengatur denyut jantung dan sebagian besar kanal tersebut

berada di otak (Anonim, 1995).

Gambar 4. Metabolisme Chloroform dalam tubuh ( Watts, 2004 )

Penggunaan kloroform yang berkepanjangan dapat menyebabkan toksemia.

Paparan akut kloroform menyebabkan sakit kepala, gangguan kesadaran, kejang,

paralysis pernapasan dan gangguan sistem saraf otonom seperti mual dan muntah.

Page 19: Laporan Farmako Kelompok 11-Fix

Selain itu, kloroform juga dapat menyebabkan iritasi saluran pencernaan

(Alexander, 2001).

Pada penggunaan kloroform secara kronik dapat menyebabkan kerusakan

hati, jantung, ginjal dan ketidakteraturan denyut jantung. Bila dipakai sebagai

anestesi, biasanya responnya dimulai ketika terjadinya eksitasi, dan diikuti oleh

hilangnya refleks, berkurangnya sensasi, dan hilangnya kesadaran. Efek samping

lain dari penggunaan kloroform, antara lain:

a. Ingesti

menyebabkan rasa terbakar pada mulut dan tenggorokan, nyeri dada dan

muntah.

b. Skin contact

menyebabkan iritasi pada kulit seperti kemerahan dan nyeri

c. Mata

menyebabkan iritasi pada mata, dan dapat terjadi kerusakan mata (Anonim,

2005).

XI. Kesimpulan

1. Hasil praktikum menunjukkan bahwa obat anestesi umum yang paling cepat

menimbulkan reaksi eksitasi, anastesi dan kematian melalui jalur inhalasi adalah

kloroform. Hal ini disebabkan sifat dari kloroform yang mudah menguap sehingga

cepat berikatan dengan oksigen.

2. Anestesi umum memiliki empat stadium, yaitu stadium analgesia, delirium

(eksitasi), pembedahan, dan paralisis medula oblongata.

3. Pada eter dari stadium eksitasi ke stadium anestesi membutuhkan waktu yang

lama karena jenis anestesi umum ini akan efektif apabila digunakan melalalui

intravena.

4. Alkohol dapat efektif apabila penggunaannya melalui jalur oral.

XII. Jawaban Pertanyaan

1. Jelaskan stadium-stadium anestesi umum.

Semua zat anestetik umum menghambat Sistem Saraf Pusat secara bertahap,

awalnya fungsi yang kompleks yang akan dihambat kemudian terakhir yang

Page 20: Laporan Farmako Kelompok 11-Fix

dihambat adalah medulla oblongata di mana terletak vasomotor dan pusat

pernafasan yang vital. Menurut Guedel (1920) membagi anestesi umum dengan

eter dalam 4 stadium dan stadium III dibagi lagi menjadi 4 tingkat yaitu

(Ganiswarna, 1995 ) :

a. Stadium I (Analgesia)

Stadium Analgesia dimulai pada saat pemberian zat analgetik sampai

menghilangnya kesadaran. Pada stadium ini penderita masih dapat mengikuti

perintah, dan rasa sakit hilang (analgesia). Pada stadium ini dapat dilakukan

pembedahan ringan misalnya cabut gigi, biopsi kelenjar dan sebagainya.

( Ganiswarna, 1995 )

b. Stadium II (Delirium/Eksitasi)

Stadium Eksitasi dimulai dari hilangnya kesadaran sampai permulaan

stadium pembedahan. Pada stadium ini terlihat jelas adanya eksitasi dan

gerakan yang tidak menurut kehendak, pasien tertawa, berteriak, menangis,

menyayi, pernapasan tidak teratur, kadang-kadang apnea dan hiperapnea,

tonus otot rangka meninggi, inkontinensia urin dan alvi, muntah, midriasis,

hipertensi, takikardi. Hal ini terjadi karena adanya hambatan pada pusat

hambatan. Pada stadium ini dapat terjadi kematian, oleh karena itu stadium

ini jarus cepat dilewati. ( Ganiswarna, 1995 )

c. Stadium III (Pembedahan)

Stadium pembedahan ini ditandai dengan teraturnya pernapasan sampai

pernapasan spontan hilang. Tanda-tanda yang harus dikenali yaitu:

1) Pernapasan yang tidak teratur pada stadium II menghilang, pernapasan

menjadi spontan dan teratur oleh karena tidak terpengaruh psikis,

sedangkan pengontrolan kehendak hilang.

2) Refleks kelopak mata dan konjungtiva menghilang, bila kelopak mata

atas diangkat dengan perlahan dan dilepaskan tidak akan menutup lagi,

kelopak mata tidak berkedip apabila bulu mata disentuh.

3) Kepala dapat digerakkan ke kanan dan ke kiri dengan bebas. Apabila

lengan diangkat lalu dilepaskan akan jatuh bebas tanpa tahanan.

4) Gerakan bola mata yang tidak menurut kehendak merupakan tanda

spesifik untuk permulaan stadium III.

Page 21: Laporan Farmako Kelompok 11-Fix

Berdasarkan tanda-tandanya stadium III dibagi menjadi 4 tingkat, yaitu:

1) Tingkat 1 : pernapasan teratur, spontan, terjadi gerakan bola mata yang

tidak menurut kehendak, miosis, pernapasan dada dan perut seimbang,

belum tercapai relaksasi otot lurik yang sempurna.

2) Tingkat 2 : pernapasan teratur tapi kurang dalam dibandingkan dengan

tingkat 1, bola mata tidak bergerak, pupil mulai melebar relaksasi otot

sedang, refleks laring hilang sehingga dapat dikerjakan intubasi.

3) Tingkat 3 : pernapasan perut lebih nyata dari pada pernapasan dada

karena otot intercostals mulai mengalami paralisis,relaksasi otot lurik

sempurna, pupil lebih lebar tapi belum maksimal.

4) Tingkat 4 : pernapasan perut sempurna karena kelumpuhan otot

interkostal sempurna, tekanan darah mulai menurun, pupil sangat lebar

dan refleks cahaya hilang.

Apabila stadium III tingkat 4 sudah tercapai, hendaknya harus berhati-

hati jangan sampai pasien masuk dalam stadium IV. Untuk dapat mengenali

keadaan ini harus diperhatikan sifat dan dalamnya pernapasan, lebar pupil

dibandingkan dengan keadaan normal dan mulai menurunnya tekanan darah.

( Ganiswarna, 1995 )

d. Stadium IV (Paralisis Medulla Oblongata)

Stadium paralisis Medula Oblongata ini dimulai dengan melemahnya

pernapasan perut disbanding stadium III tingkat IV, tekanana darah sudah

tidak dapat diukur karena adanya kolaps pembuluh darah, berhentinya denyut

jantung dapat disusul kematian. Pada stadium ini kelumpuhan pernapasan

tidak dapat diatasi dengan pernapasan buatan.

Dalamnya suatu anestesi harus ditentukan oleh yang berkompeten

dalam hal ini adalah ahli anastesi. Berdasarkan jenis rangsang rasa sakit,

derajat kesadaran, relaksasi otot dan sebagainya. Perangsangan nyeri dapat

dibagi menjadi III derajat kekuatan, yaitu:

a. Kuat, yang terjadi sewaktu pemotongan kulit, manipulasi

peritoneum,kornea mukosa uretra terutama apabila ada peradangan.

b. Sedang, yang terjadi sewaktu manipulasi fasia otot dan jaringan lemak.

Page 22: Laporan Farmako Kelompok 11-Fix

c. Ringan, yang terjadi sewaktu pemotongan dan menjahit usus serta

memotong otak. ( Ganiswarna, 1995 )

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Mula Kerja Anastesi Umum Inhalasi

Prinsip Farmakokinetk Anastetik inhalasi:

Anastetik inhalasi merupakan beberapa di antara sengat sedikit senyawa

farmakologis yang diberikan sebagai gas. Fakta bahwa senyawa-senyawa ini

berprilaku sebagai gas dan bukan sebagai cairan membutuhkan konsep

farmakokinetik yang berbeda yang akan digunakan dalam menganalisis

pengambilan dan distribusinya. Anastetik inhalasi terdistribusi di antara jaringan

sedemikian sehingga kesetimbangan tercapai ketika tekanan parsial gas anastetik

sama pada kedua jaringan. Kesetimbangan akan tercapai jika tekanan parsial

dalam gas yang terhirup sama dengan tekanan parsial pada gas tidal akhir

(alveolar) (Goodman dan Gilman, 2008).

Faktor-faktor yang mempengaruhi tekanan parsial anastetik gas dalam arteri otak

adalah:

a. Tekanan Parsial Anastetik Gas yang Diinspirasi

Tekanan ini dapat diatur melalui vaporizer atau alat lain agar sama dengan

tekanan parsialnya dengan arteri. Untuk mempercepat induksi, kadar anastetik

gas yang diinspirasi harus lebih tinggi daripada tekanan parsial yang

diharapkan dalam jaringan. Setelah tekanan parsial yang diinginkan tercapai,

tekanan parsial dalam udara inspirasi diturunkan untuk mempertahankan

anastesia.

b. Ventilasi Paru

Hiperventiasi mempercepat masuknya anastetik gas ke sirkulasi dan jaringan.

Ini terlihat nyata pada anastetik yang lebih larut dalam darah seperti halotan

dan dietileter. Sedangkan pada gas yang tidak larut dalam darah seperti

siklopropan, N2O dan etilen, pengaruh ventilasi ini tidak begitu nyata karena

kadar di darah arteri cepat mendekati kadar di alveoli.

c. Pemindahan Anastetik Gas dari Alveoli ke Aliran Darah

Membran alveoli dengan mudah dapat dilewati anastetik gas secara difusi dari

alveoli ke aliran darah, dan sebaliknya. Walaupun demikian, bila ventilasi

Page 23: Laporan Farmako Kelompok 11-Fix

alveoli terganggu, misalnya pada emfisema paru, pemindahan anastetik gas

akan terganggu pula. Faktor yang mempengaruhi difusi anastetik gas adalah:

a. Kelarutan anastetik gas dalam darah

b. Kecepatan aliran darah melalui paru

c. Tekanan parsial anastetik gas dalam arteri dan vena

d. Kelarutan

Salah satu faktor penting yang mempengaruhi transfer anastetik dari

paru ke darah arteri adalah kelarutannya. Koefisien pembagian darah: gas

merupakan indeks kelarutan yang bermakna dan merupakan tanda-tanda

afinitas relatif suatu obat anastetik terhadap darah dibandingkan dengan

udara. Koefisien ini mungkin lebih rendah dari 0,5 untuk obat anastesi seperti

nitrogen oksida atau siklopropan, yang tidak larut di alam darah. Di lain

pihak, nilai tersebut mungkin lebih dari 10 untuk obat-obat seperti

metoksifluran yang sangat larut di dalam darah ( Katzung, 1998 ).

Jika suatu anestetik dengan kelarutan dalam darah yang rendah

berdifusi dari paru ke dalam darah arteri, maka relatif diperlukan sedikit

molekul untuk meningkatkan tekanan parsialnya, dan tegangan arteri cepat

meningkat. Sebaliknya, untuk anastetik dengan kelarutan sedang sampai

tinggi, lebih banyak molekul yang larut sebelum tekanan parsial tegangan

arteri suatu gas ini akan meningkat secara perlahan-lahan (Katzung, 1998).

e. Konsentrasi Anastetik di Dalam Udara Inspirasi

Konsentrasi anastetik inhalasi di dalam campuran gas inspirasi

mempunyai efek langsung terhadap tegangan maksimum yang dapat tercapai

di dalam alveolus maupun kecepatan peningkatan tegangan ini di dalam

darah arterinya. Peningkatan konsentrasi anastetik inspirasi akan

meningkatkan kecepatan induksi anastesi karena peningkatan kecepatan

transfernya ke dalam otak sesuai dengan hukum Fick. Keuntungan dari efek

ini diambil dalam praktek anastesi dengan obat anastesi inhalasi yang

kelarutan dalam darahnya sedang seperti enfluran, isofluran, dan halotan,

yang mula kerjanya relatif lambat ( Katzung, 1998 ).

f. Aliran Darah Paru

Page 24: Laporan Farmako Kelompok 11-Fix

Perubahan kecepatan aliran darah dari dan menuju paru akan

mempengaruhi transfer obat anastetik. Peningkatan aliran darah paru akan

memperlambat kecepatan peningkatan tekanan darah arteri, terutama oleh

obat anastetik dengan kelarutan darah yang sedang sampai tinggi. Hal ini

disebabkan karena peningkatan aliran darah paru yang menghasilkan volume

darah yang lebih besar obat anastetik. Penurunan aliran darah paru

mempunyai efek yang sebaliknya dan meningkatkan tegangan arteri obat

anastetik inhalasi. Pada seseorang penderita dengan syok sirkulasi, kombinasi

efek penurunan efek penurunan curah jantung dan peningkatan ventilasi dapat

mempercepat induksi anastesi sejumlah obat anastetik. Efek ini tidak

mungkin timbul dengan nitrogen oksida karena kelarutannya yang rendah

(Katzung, 1998 ).

g. Gradien Konsentrasi Arteri Vena

Gradien konsentrasi obat anastetik antara darah arteri dan vena

campuran terutama bergantung pada ambilan obat anastesi pada jaringan itu;

yang bergantung pada kecepatan dan luas ambilan jaringan. Darah vena yang

kembali ke paru dapat mengandung obat anastesi kurang bermakna

dibandingkan yang ada dalam arteri. Semakin besar perbedaan tegangan ini

semakin lama pula mencapai keseimbangannya. Anastetik yang masuk

jaringan akan dipengaruhi oleh faktor yang serupa dengan faktor yang

menentukan transfer dari paru ke dalam darah termasuk koefisien pembagian

jaringan; darah, kecepatan aliran darah ke jaringan, dan gradien konsentrasi

(Katzung, 1998).

Selama pemeliharaan anastesi dengan obat anastetik inhalasi, mungkin

transfer obat anastetik akan berlangsung terus antar berbagai jaringan dengan

kecepatan yang bergantung pada kelarutan dan aliran darah. Otot dan kulit,

yang bersama-sama membentuk 50% massa tubuh, akan menimbun obat

anastetik lebih lambat dibandingkan dengan jaringan yang kaya vaskularisasi,

karena jaringan yang lebih lambat akan menerima seperlima aliran darah

dibandingkan dengan jaringan yang kaya vaskularisasinya. Walaupun

kebanyakan anastetik gas mempunyai kelarutan yang tinggi dalam jaringan

lemak, namun rendahnya kecepatan perfusi darah dalam jaringan tersebut

Page 25: Laporan Farmako Kelompok 11-Fix

akan memperlambat akumulasi dimana keseimbangan tidak mungkin terjadi

dengan anastetik seperti halotan dan enfluran selama berlangsungnya operasi

(Katzung, 1998).

3. Jelaskan secara skematis dan buatlh grafik potensi relatif anastesik

umum yang digunakan dalam percobaan diatas!

Eksitasi Anestesi Kematian0

2

4

6

8

10

12

EterAlkoholKloroform

Gambar 5. Potensi Relatif Anestetik Umum

Tabel 4. Potensi Relatif Anestetik Umum

Anestesi

Umum

Eksitasi

Menit ke :

Anestesi

Menit ke :

Kematian

Menit

ke :

Eter 2 9 tak terhitung

Alkohol 1 2 tak terhitung

Kloroform 1 1 tak terhitung

Grafik di atas menjelaskan bahwa kloroform adalah salah satu jenis

anestesi umum yang efektif digunakan melalui inhalasi. Hal ini dikarenakan

sifat dari kloroform yang mudah menguap sehingga cepat berikatan dengan

Page 26: Laporan Farmako Kelompok 11-Fix

oksigen sehingga stadium eksitasi, anestesi dan kematiannya paling cepat.

Pada eter dari stadium eksitasi ke stadium anestesi membutuhkan waktu yang

lama atau bahkan tak terhingga karena jenis anestesi umum ini akan efektif

apabila digunakan melalalui intravena. Alkohol dapat efektif apabila

penggunaannya melalui jalur oral ( Ganiswarna, 1995).

XIII. Daftar Pustaka

Anonim. 1995. chloroform Avaiable from : http://www.general-

anaesthesia.com/images/chloroform.htm. Acces on 24 Maret 2010.

Anonim. 1997. Chloroform Avaiable from :

http://www.atsdr.cdc.gov/tfacts6.html. Acces on 24 Maret 2010.

Anonim. 2005. chloroform Avaiable from :

www.odh.ohio.gov/ASSETS/IVEIVC506200F0IVE0AAA96D8IV6ABC0

9FIII5/Chloroform%2520Fact%2520Sheet.pdf. Acces on 24 Maret 2010.

Anonim, 2009. chloroform Avaiable from :

http://www.jtbaker.com/msds/englishhtml/C2915.htm. Acces on 24 Maret

2010.

Alexander A, 2001. Chloroform Inhalation Exposure Conditions Necessary to

Initiate Liver Toxicity in Female B6C3F1 Mice . Avaiable from :

http://toxsci.oxfordjournals.org/cgi/content/full/66/2/201. Acces on 24

Maret 2010.

Collins, Vincent J. 1996. Diethyl Ether and Chloroform. Dalam: Physiology and

Pharmacologic Bases of Anesthesia. Pennsylvania: Williams & Wilkins.

Ganiswarna, Sulistia G. 1995. Anestesi Umum. Dalam: Farmakologi dan Terapi.

Edisi IV. Jakarta: Bagian Farmakologi FKUI. Hal : 116.

Goodman dan Gilman. 2008. Anastetik Umum. Dasar Farmakologi Terapi.

Jakarta:EGC

Katzung, Bertram. 1997. Alkohol. Dalam: Farmakologi Dasar dan Terapi. Edisi

VI. Jakarta: EGC. Hal : 69, 76-7.

Morgan, G. Edward dan Maged S. Mikhail. 2002. The Practice of

Anesthesiology. Dalam: Clinical Anesthesiology. USA: McGraw-Hill.

Page 27: Laporan Farmako Kelompok 11-Fix

Oyama, Tsutomu, dkk. 1968. Plasma Levels of ACTH and Cortisol in Man

during Diethyl Ether Anesthesia and Surgery. Anesthesiology 29, 559.

Watts, Petter. 2004. Chloroform. United Nations Environment Programme, the

International Labour Organization, and the World Health Organization,

and produced within the framework of the Inter-Organization Programme

for the Sound Management of Chemicals. Avaiable from :

http://www.who.int/ipcs/publications/cicad/en/cicad58.pdf. Acces on 24

Maret 2010.

Weathermon, R. Crabb DW. 1999. Alkohol and medication interactions. Alkohol

research and health. Vol.2III, no.1

Wiria, Metta SS. 2007 Hipnotik-Sedatif dan Alkohol. Farmakologi dan Terapi.

Edisi 5. Jakarta : Gaya Baru.

www.chem-is-try.org

XIV. Lampiran

Laporan Sementara