Laporan Farmako Kelompok 11-Fix
Transcript of Laporan Farmako Kelompok 11-Fix
LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI
“POTENSI RELATIF BEBERAPA OBAT ANASTESI UMUM”
Asisten :
Rini Puspita Sari
K1A006011
KELOMPOK 11
NURSHELA FARISKA G1A0067091
WEDHA JATI TYAS S.U. G1A0067092
AGUS HARIYANTO G1A0067093
NUR RAKHMAN PRATAMA G1A0067094
MANGGALA SARIPUTRI G1A0067095
SESIA PRADESTINE G1A0067096
ARISTI INTAN SORAYA G1A0067097
NOVA AGUSTA ISDIARTO G1A0067098
GENDIS AYU ARDIAS G1A0067099
NEUROBEHAVIOUR AND SPESIFIC SENSE SISTEMS ( NBSS )
JURUSAN KEDOKTERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU – ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2010
I. Judul Percobaan
Potensi relatif beberapa obat anastesi umum.
II. Tanggal Percobaan
Kamis, 25 Maret 2010
III.Tujuan Percobaan
a. Umum
Setelah menyelesaikan percobaan mahasiswa dapat menjelaskan perbedaan
potensi relatif dari beberapa obat anastesi umum.
b. Khusus
Setelah menyelesaikan percobaan ini mahasiswa dapat :
1. Menjelaskan stadium anastesi umum secara singkat.
2. Menjelaskan perbedaan beberapa obat anastesi umum dalam waktu
tertentu.
IV. Binatang Percobaan
Tiga ekor mencit
V. Definisi
Anastesi umum:
Keadaan hilangnya kesadaran disertai analgesia, amnesia, dan seringkali diikuti
dengan relaksasi otot – otot rangka.
Anestetik Umum:
Agen atau obat–obat yang dapat menimbulkan efek anastesi umum.
VI. Tinjauan Pustaka
Obat anestesi umum adalah obat atau agen yang dapat menyebabkan
terjadinya efek anestesia umum yang ditandai dengan penurunan kesadaran
secara bertahap karena adanya depresi susunan saraf pusat. Menurut rute
pemberiannya, anestesi umum dibedakan menjadi anestesi inhalasi dan
intravena. Keduanya berbeda dalam hal farmakodinamik maupun farmakokinetik
(Ganiswara, 1995).
Tahap-tahap penurunan kesadaran dapat ditentukan dengan pengamatan
yang cermat terhadap tanda-tanda yang terjadi, terutama yang berhubungan
dengan koordinasi pusat saraf sirkulasi, respirasi, musculoskeletal dan fungsi-
fungsi otonom yang lain pada waktu-waktu tertentu. Beberapa anestetik umum
berbeda potensinya berdasarkan sifat farmakokinenik dan farmako dinamik yang
berbeda pula. Selain itu sifat farmasetika obat juga mempengaruhi potensi
anestesinya. Potensi anestetik yang kuat dapat disertai dengan potensi depresi
sususan saraf pusat yang kuat, sehingga perlu dilakukan pemantauan yang ketat,
untuk menghindari turunnya derajat kesadaran sampai derajat kematian.
( Ganiswara, 1995 ).
Eter (dietil eter, zaman dahulu dikenal sebagai sulfuric eter karena
diproduksi melalui reaksi kimia sederhana antara etil alkohol dengan asam
sulfat) digunakan pertama kali tahun 1540 oleh Valerius Cordus, botani Prusia
berusia 25 tahun. Eter sudah dipakai dalam dunia kedokteran, namun baru
digunakan sebagai agen anestetik pada manusia di tahun 1842, ketika Crawford
W. Long dan William E. Clark menggunakannya pada pasien. Namun
penggunaan ini tidak dipublikasikan. Empat tahun kemudian, di Boston, 16
Oktober 1846, William T. G. Morton memperkenalkan demostrasi publik
penggunaan eter sebagai anestetik umum (Morgan dan Mikhail, 2002). Eter
dapat dimasukkan kedalam derivat alkohol dimana H dari R-O-[H] digantikan
oleh gugus R lainnya. Eter adalah oksida organik yang berstrukur:
[R]-C-O-C-[R]Eter tidak berwarna, berbau menyengat, cairan yang mudah menguap.
Titik didihnya adalah 36,2°C. Cara pembuatan yang paling umum adalah dengan
dehidrasi alkohol bersama asam sulfat (Collins, 1996).
Alkohol (etanol; C2H5OH) ialah suatu molekul kecil, larut dalam air, dan
diserap dengan sempurna dari saluran pencernaan. Uap etanol dapat juga diserap
melalui paru-paru. Adanya makanan dalam usus memperlambat serapan.
Distribusinya cepat, konsentrasi dalam jaringan lebih kurang sama dengan
konsentrasi plasma. Kadar puncak dalam darah dapat dicapai dalam 30 menit.
Lebih 90% alkohol yang dikonsumsi dioksidasi dalam hati, sisanya dieksresikan
dalam paru-paru dan urin. Seorang dewasa dapat memetabolisme 7-10 gram
(0,15-0,22 mmol) alkohol setiap jam (Ganiswara, 1995)
Alkohol-alkohol lain yang berhubungan dengan etanol digunakan secara
luas dalam pelarut industri dan kadang-kadang menyebabkan keracunan hebat.
Metanol (CH3OH); metal alkohol, alkohol kayu) diperoleh dari distilasi
desktruktif kayu. Metanol digunakan sebagai bahan penambah bensin, bahan
pemanas ruangan, pelarut industri, pada larutan fotokopi, serta sebagai bahan
makanan untuk bakteri yang memproduksi protein. Metanol paling banyak
dijumpai dalam rumah tangga dalam bentuk cairan pembersih kaca mobil. Dapat
diabsorpsi melalui kulit, saluran pernapasan atau pencernaan dandidistribusikan
ke dalam cairan tubuh. Mekanisme eliminasi utama methanol di dalam tubuh
manusia ialah dengan oksidasi menjadi formaldehida, asam format dan CO2.
Metanol juga dapat disingkirkan dengan membuat muntah, dan dalam jumlah
kecil diekskresikan melalui pernapasan, keringat dan urin (Ganiswara, 1995).
Alkohol polihidrat seperti etilen glikol digunakan sebagai pengubah panas,
zat anti beku, dan sebagai pelarut industri. Karena glikol mempunyai penguapan
yang rendah, maka zat ini menghasilkan sedikit uap yang berbahaya pada
temperatur biasa. Namun, karena digunakan dalam campuran anti beku dan
sebagai pengubah panas, dapat dijumpai dalam bentuk uap atau kabut, pada
temperatur tinggi. Etilen glikol tampaknya lebih toksik untuk manusia
dibandingkan dengan spesies hewan lain. Etilen alkohol dimetabolisir oleh
alkohol dehidrogenase menjadi aldehid, asam dan oksalat (Katzung, 1997).
Kloroform pada suhu dan tekanan normal mudah menguap, jernih, tidak
mudah terbakar. Nama lain untuk cloroform adalah trichloromethane dan
triklorid metil, tidak seperti eter, bau chloroform manis tidak menyengat,
walaupun uap chloroform pekat terinhalasi dapat menyababkan iritasi
permukaan mukosa yang terkena. Kloroform adalah anestesi yang lebih efektif
daripada nitro. Kloroform dosis tergantung di dalam tubuh akan dimetabolisme
didalam hati. Metabolit kloroform termasuk phosgene, carbene dan chlorine,
yang semuanya dapat berkontribusi terhadap aktivitas sitotoksik. Penggunaan
jangka panjang kloroform sebagai anestetik dapat menyebabkan toxaemia.
Keracuanan akut dapat menyebabkan sakit kepala, kejang, perubahan kesadaran,
kelumpuhan, gangguan pernapasan. Dari sistem otonom dapat mengakibatkan
pusing, mual dan muntah. Kloroform juga dapat menyebabkan delayed-onset
kerusakan pada hati, jantung dan ginjal (Katzung, 1997).
VII. Alat dan Bahan
1. Alat
a. 3 buah beaker glass 600 cc
b. Kapas
c. Kertas selofan
d. Spuit tuberkulin
e. Jarum suntik nomor 27
2. Bahan
a. Kloroform
b. Alkohol 95%
c. Eter
VIII. Cara Kerja
1. Tiap-tiap beaker glass ditandai dengan nama atau kode obat anestesi umum
yang digunakan.
2. Pada masing-masing dasar beaker glass diletakkan kapas yang sesuai dengan
diameternya, kemudian dimasukkan seekor mencit ke dalam masing-masing
beaker glass tersebut.
3. Diperhatikan dan dicatat tingkah laku, respirasi ketiga ekor mencit tersebut.
Setelah itu masing-masing beaker glass ditutup dengan rapat dengan kertas
selofan.
4. Melalui kertas selofan tersebut, disuntikkan obat anestesi umum sesuai
dengan label pada beaker glass. Disuntikkan sebanyak 0,25 cc, diulangi
penyuntikkan dengan volume yang sama tiap 2 menit.
5. Diperhatikan tanda-tanda perubahan tingkah laku dan pernapasan ketiga
mencit, dicatat beserta waktu terjadinya.
Beakerglass Beakerglass Beakerglass
Pada dasar letakkan kapas
Masukkan seekor mencit
+
Tutup dengan kertas selafon
Disuntikkan 0,25 cc anestesi sesuai kode,
ulangi dosis yang sama tiap 2 menit
Eter Alkohol Kloroform
Eter Alkohol Kloroform
Amati perubahan tingkah laku dan pernapasan
Gambar 1. Cara kerja
IX. Hasil Percobaan
a. Hasil
Tabel 1. Hasil percobaan
Anastesi
Umum
Waktu
permulaan
Eksitasi Anastesi Kematian
Eter Pukul : 13.44 Menit ke: 2
menit pertama
Pukul: 13:45:44
Menit ke: 2
menit kelima
Pukul: 13:52:52
Menit ke: -
Pukul: -
Alkohol Pukul : 13.44 Menit ke: 2
menit pertama
Pukul: 13:44:35
Menit ke: 2
menit pertama
Pukul: 13:45:18
Menit ke: -
Pukul: -
Kloroform Pukul : 13.44 Menit ke: 2
menit pertama
Pukul: 13:44:30
Menit ke: 2
menit pertama
Pukul: 13:45:00
Menit ke: -
Pukul: -
b. Kesimpulan
1. Yang cepat menimbulkan eksitasi : kloroform
2. Yang cepat menimbulkan anastesi : kloroform
3. Yang cepat menimbulkan kematian : kloroform
Kematian pada ketiga mencit tidak dicantukmkan karena setelah praktikum
berakhir ketiga mencit belum ada yang mengalami kematian, hanya terjadi
perubahan tingkah laku dan pernapasan (eksitasi dan anestesi). Hal ini
disebabkan oleh beberapa kekurangan praktikum, yaitu:
1) Dosis setiap obat anestesi umum yang kurang tepat
2) Pemberian obat anestesi umum tidak dilakukan bersama dalam hitungan
detik yang tepat
3) Kertas selofan yang kecil menyebabkan beaker glass tidak menutup
secara sempurna. Hal ini memungkinkan penguapan obat anestesi umum
menguap keluar.
4) Satu ekor mencit bersembunyi di bawah kapas yang seharusnya menjadi
alas
X. Pembahasan
A. Alkohol
Pada praktikum yang kami lakukan, dengan perlakuan alkohol 95% mencit yang
diberi perlakuan mengalami eksitasi dan anestesi. Namun, jika dibandingkan
dengan mencit yang diberi perlakuan kloroform dan eter, mencit yang diberi
perlakuan alkohol lebih lambat atau lama untuk eksitasi dan anestesi.
Alkohol mempunyai rumus umum R-OH. Strukturnya serupa dengan air, tetapi
satu hidrogennya diganti dengan satu gugus alkil. Gugus fungsi alkohol adalah
gugus hidroksil, -O. Alkohol tersusun dari unsur C, H, dan O. Struktur alkohol :
R-OH primer, sekunder dan tersier.
1. Sifat fisika alkohol :
a. Titik didih alkohol lebih besar dari pada titik didih alkena dengan jumlah
unsur C yang sama (etanol = 78oC, etena = -88,6oC)
b. Umumnya membentuk ikatan hidrogen
c. Berat jenis alkohol lebih besar dari pada berat jenis alkena
d. Alkohol rantai pendek (metanol, etanol) larut dalam air (=polar)
2. Struktur Alkohol : R – OH
R-CH2-OH (R)2CH-OH (R)3C-OH
Primer sekunder tersier
3. Pembuatan alkohol :
a. Oksi mercurasi – demercurasi
b. Hidroborasi – oksidasi
c. Sintesis Grignard
d. Hidrolisis alkil halida
4. Penggunaan alkohol :
a. Metanol : pelarut, antifreeze radiator mobil, sintesis formaldehid,
metilamina, metilklorida, metilsalisilat, dll
b. Etanol : minuman beralkohol, larutan 70 % sebagai antiseptik, sebagai
pengawet, dan sintesis eter, koloroform, dll.
5. Tatanama alkohol
Nama umum untuk alkohol diturunkan dari gugus alkol yang melekat pada –
OH dan kemudian ditambahkan kata alkohol. Dalam sisitem IUAPAC,
akhiran-ol menunjukkan adanya gugus hidroksil. Contoh-contoh berikut
menggambarkan contoh-contoh penggunaan kaidah IUPAC (Nama umum
dinyatakan dalam tanda kurung).
Gambar 2. Penamaan Alkohol Berdasarkan IUAPAC
6. Farmakokinetik
a. Absorbsi
1) Absorbsi oral alkohol berlangsung secara cepat dilambung dan usus
halus. Kadar puncak plasma pada keadaan puasa dicapai dalam waktu
30 menit (Ramchandi, 2010).
2) Kecepatan absorpsi bervariasi, tergantung beberapa faktor, antara
lain: volume, jenis, dan konsentrasi alkohol yang dikonsumsi.
Alkohol dengan konsentrasi rendah diabsorpsi lebih lambat. Namun,
alkohol dengan konsentrasi tinggi akan menghambat proses
pengosongan lambung. Selain itu, karbonasi juga dapat mempercepat
absorpsi alkohol.
3) Kecepatan minum yaitu semakin cepat seseorang meminumnya,
semakin cepat absorpsi terjadi.
4) Makanan memegang peranan besar dalam absorpsi alkohol. Jumlah,
waktu, dan jenis makanan sangat mempengaruhi. Makanan tinggi
lemak secara signifikan dapat memperlambat absorpsi alkohol. Efek
utama makanan terhadap alkohol adalah perlambatan pengosongan
lambung. Metabolisme lambung, seperti juga metabolisme hati, dapat
secara signifikan menurunkan bioavailabilitas alkohol sebelum
memasuki sistem sirkulasi (Ramchandi, 2010).
b. Distribusi
Alkohol didistribusikan melalui cairan tubuh. Distribusi
berlangsung cepat, alkohol tersebar secara merata ke seluruh jaringan
dan cairan tubuh. Volume of distribution alkohol kira-kira sama dengan
total cairan tubuh (0,5-0,7 L/kg). Pada sistem SSP, kadar alkohol
meningkat secara cepat sebab otak menerima aliran darah yang banyak
dan alkohol dapat melewati sawar darah otak. Alkohol juga dapat
menembus sawar urin dan masuk ke janin (Weathermon, 1999).
c. Metabolisme
Metabolisme primer alkohol adalah di hati, dengan melalui 3 tahap
(Weathermon, 1999) :
1) Pada tahap awal, alkohol dioksidasi menjadi acetaldehyde oleh
enzim alkohol dehydrogenase (ADH). Enzim ini terdapat sedikit
pada konsentrasi alkohol yang rendah dalam darah. Kemudian saat
kadar alkohol dalam darah meningkat hingga tarap sedang (social
drinking), terjadi zero-order kinetics, dimana kecepatan
metabolisme menjadi maksimal, yaitu 7-10 gram/jam (setara dengan
sekali minum dalam satu jam). Namun kecepatan metabolisme
tersebut sangat berbeda antara masing-masing individu, dan bahkan
berbeda pula pada orang yang sama dari hari ke hari.
2) Tahap kedua reaksi metabolisme, acetaldehyde diubah menjadi
acetate oleh enzim aldehyde dehydrogenase. Dalam keadaan
normal, acetaldehyde dimetabolisme secara cepat dan biasanya
tidak mengganggu fungsi normal. Namum saat sejumlah besar
alkohol di konsumsi, sejumlah acetaldehyde akan menimbulkan
gejala seperti sakit kepala, gastritis, mual, pusing, hingga perasaan
nyeri saat bangun tidur.
3) Tahap ketiga merupakan tahap akhir, terjadi konversi gugus acetate
dari koenzim A menjadi lemak, atau karbondioksida dan air. Enam
tahap ini juga dapat terjadi pada semua jaringan dan biasanya
merupakan bagian dari siklus asam trikarbosilat (siklus Krebs).
Jaringan otak dapat mengubah alkohol menjadi asetaldehid, asetil
koenzim A, atau asam asetat.
d. Ekskresi
Ekskresi Alkohol lewat paru-paru dan urin. Hanya kurang lebih 2-
10% yang diekskresikan dalam bentuk utuh (Wiria, 2007).
7. Farmakodinamik
Efek konsumsi alkohol terutama pada susunan saraf pusat (SSP)
adalah sebagai pendepresi. Konsumsi Alkohol berefek sedasi dan
antiansietas dan pada kadar yang lebih tinggi dapat menyebabkan
ataksia,bicara tak jelas, tidak dapat menentukan keputusan dan perilaku
inhibisi, yang dapat menimbulkan kesan adanya efek stimulasi SSP dari
alkohol. Proses mental yang dipengaruhi sejak awal adalah yang
berhubungan dengan latihan dan pengalaman.daya ingat, konsentrasi dan
daya mawas diri menjadi tumpul lalu hilang. Rasa kepercayaan diri
meningkat, kepribadian menjadi ekspansif dan bersemangat, perasaan
tidak terkontrol dan letupan emosi yang nyata. Perubahan psikis ini
disertai gangguan sensorik dan motorik (Wiria, 2007).
Tabel 2. Efek alkohol dalam tubuh (Ramchandi, 2010)
Kadar alkohol
dalam darahEfek yang terjadi
50 mg/dl masih mampu bersosialisasi, tenang
80 mg/dl koordinasi berkurang (kemampuan mental & fisik
berkurang) refleks menjadi lebih lambat
(kedua hal tsb mempengaruhi keselamatan
mengemudi)
100 mg/dl gangguan koordinasi yg jelas terlihat
200 mg/dl Kebingungan
Ingatan berkurang
Gangguan koordinasi semakin berat (tidak dapat
berdiri)
300 mg/dl penurunan kesadaran
400 mg/dl koma, kematian
8. Mekanisme Kerja
Alkohol mengganggu keseimbangan antara eksitasi dan inhibisi di
otak. Ini terjadi karena penghambatan atau penekanan saraf perangsang.
Sejak lama diduga efek depresi Alkohol pada SSP berdasarkan melarutnya
lewat membrane lipid. Efek Alkohol terhadap berbagai saraf berbeda karena
perbedaan distribusi fosfolipid dan kolesterol di membrane tidak seragam.
Data eksperimental menyokong dugaan mekanisme kerja lakohol di SSP
serupa barbiturate (Ramchandi, 2010).
B. Eter (dietil eter)
Eter didapat dengan memanaskan (dehidrasi) etil alkohol dengan asam
sulfur dibawah 130oC.
C2H5OH + H2SO4 C2HSO4 + H2O
C2H5HSO4 +C2H5OH H2SO4 + C2H5C2H5
Pada anestesi ringan, seperti halnya anestetik lain, eter menyebabkan
dilatasi pembuluh darah kulit sehingga timbul kemerahan terutama di daerah
muka, pada anastesi yang lebih dalam kulit menjadi lembek, pucat dingin dan
basah. Terhadap pembuluh darah ginjal, eter menyebabkan vasokonstriksi
sehingga terjadi penurunan laju filtrasi glomerulus dan produksi urin secara
reversible (FKUI, 1989).
Eter diabsorpsi dan diekskresi melalui paru sebagian kecil diekskresikan
juga melalui air susu, keringat dan difusi melalui kulit utuh. Eter dapat
digunakan dengan berbagai metode anastesi. Pada pengguanaan secara open
drop uap eter akan turun ke bawah karena ± 6-10 kali lebih berat daripada udara.
Penggunaan secara semi closed method dalam kombinasi dengan oksigen atau
N2O tidak dianjurkan pada operasi dengan tindakan keuterisasi. Sebab, tetap ada
bahaya timbulnya ledakan, dan bila api mencapai paru penderita akan mati
karena jaringan terbakar atau paru-parunya pecah ( FKUI, 1989 ).
Jumlah eter yang dibutuhkan tergantung dari berat badan dan kondisi
penderita, kebutuhan dalamnya anastesi dan teknik yang digunakan. Untuk
induksi, digunakan 10-20% volume uap eter dalam oksigen atau camppuran
oksigen dan N2O. untuk dosis penunjang stadium III membutuhkan 5-15%
volume uap eter ( FKUI, 1989 ).
1. Sifat Fisik
Merupakan cairan tidak berwarna yang mudah menguap (volatile) yang
berbau khas. Berat molekulnya 74 dengan titik didih 35oC. Tekanan uap jenuh
pada 20oC adalah 245 mmHg, berat jenis uap eter 2,6, koefisien partisi darah
atau gas 12,0, MAC 1,92, tidak bereaksi dengan pengikat CO2 (soda lime),
sampai mudah terbakar atau meledak, dapat terurai oleh udara, cahaya dan
panas menjadi peroksida eter dan asetaldehid karena itu harus disimpan pada
tempat gelap dan dingin ( FKUI, 1989 ).
2. Farmakologi
a. Sistem sirkulasi
Denyut nadi akan meningkat karena pelepasan katekolamin yang
merangsang simpatis dan depresi vagal. Pada stadium lebih dalam denyut
nadi akan kembali normal. Aritmia jarang terjadi dan penggunaan
adrenalin relatif aman pada anastesi dengan eter. Tekanan darah dapat
menurun pada anestesi yang mencapai di bawah plana 2 stadium 3 dan
terus progresif karena depresi otot rangka, otot pembuluh darah, otot
jantung dan pusat vasomotor ( FKUI, 1989 ).
b. Sistem pernafasan
Pada permulaan frekuensi pernafasan bertambah, dan melambat pada
stadium anestesi dalam. Sekresi kelenjar ludah meningkat (hipersekresi).
Uap eter ini sangat iritatif menimbulkan batuk dan spasme jalan nafas.
Karena itu induksi anestesianya harus bertahap dimulai dari konsentrasi
rendah. Induksi sering tidak lancer, demikian pula masa pemulihan cukup
lama ( FKUI, 1989 ).
c. Susunan saraf pusat
Stadium analgesia akan diikuti oleh eksitasi dan anastesi disebabkan
depresi pada korteks dan medulla. Tekanan intracranial akan meningkat
karena dilatasi pembuluh darah otak. Eter kadang menyebabkan kejang
(klonus eter), yaitu stretch reflex yang berlebihan dan sering terlihat pada
stadium dangkal ( FKUI, 1989 ).
d. Susunan saraf otonom
Rangsang sentral simpatis menimbulkan peningkatan katekolamin
plasma yang berakibat peningkatan denyut jantung, produksi glikogen dan
gula darah. Karena itu harus hati-hati pada pasien dengan diabetes,
kontraksi limpa, dilatasi usus dan menghambat peristaltic, dilatasi bronkus,
dilatasi arteri koroner, dilatasi pupil, peningkatan frekuensi nafas.
Sebaliknya rangsang semtral parasimpatis eter menyebabkan depresi
(FKUI, 1989).
e. Sistem pencernaan
Mual dan muntah terjadi pada lebih dari 50% pasien dengan anastesi
eter. Tonus gastrointestinal akan menurun terutama usus halus. Fungsi hati
juga menurun tetapi akan kembali normal dalam 24 jam. Eter juga
menekan sekresi empedu dan garam-garamnya ( FKUI, 1989 ).
f. Sistem otot
Relaksasi otot sangat baik. Jelas bahwa eter mempunyai efek-efek
yang mempunyai triad anestesi yaitu analgesia, hypnosis dan relaksasi
otot, sehingga anastesi dengan eter tidak memerlukan gabungan dengan
obat lain ( FKUI, 1989 ).
3. Keuntungan
a. Murah dan mudah didapat di Indonesia
b. Tidak perlu digabung dengan obat-obat lain karena telah memenuhi triad
anestesi.
c. Zat anastesi yang cukup aman dengan batas keamanan yang lebar
(margin of safety) sehingga petugas yang kurang pengalaman pun dapat
menggunakan eter.
d. Alat yang digunakan cukup sederhana dan portable misalnya jenis EMO
(Epstein, Macintosh dan Oxford)
4. Kekurangan
a. Mudah meledak dan terbakar
b. Bau tidak enak dan mengiritasi jalan nafas, sehingga induksi tidak lancar
dan masa pemulihan lama.
c. Menimbulkan hipersekresi kelenjar ludah
d. Menyebabkan mual dan muntah
e. Hiperglikemia
5. Efek fisiologi
a. Sistem respirasi
Eter mengiritasi membran mukosa traktus respiratorius, menstimulasi
aliran mukus yang berlebihan, dan dapat menyebabkan batuk dan spasme
laring. Penggunaan premedikasi seperti atropin dan scopalamin
diperlukan untuk mengurangi aliran sekret. Pada fase awal anestesi, ater
menyebabkan stimulasi respirasi yang bermakna. Walaupun volume tidal
menurun, namun peningkatan laju pernafasan dapat mennyebabkan
ventilasi permenit yang lebih tinggi dan PaCO2 yang normal atau
menurun sedikit. Respirasi dipertahankan sampai konsentrasi eter dalam
darah tinggi. Eter, seperti halotan, berguna pada pasien asma karena
memiliki efek bronkodilasi (Collins, 1996).
b. Sistem saraf pusat
Terjadi depresi jaras descenden ireguler. Tanda klasik anestesi adalah
efek dari eter. Pada neuron, yang memenuhi efek sentral seperti transeksi
farmakologi berturut turut dari aksis serebrospinal (Collins, 1996).
Investigasi dari mekanisme yang tepat dan dan tempat aksi
mengungkapkan blokade dari sinaps pusat. Depresi pada multisinaps pada
formasio retikularis otak tengah. Terjadi depresi pada pengaturan suhu
dan pusat muntah, juga oksidasi jaringan dan pusat vasomotor (Collins,
1996).
c. Sirkulasi
Selama induksi, tekanan darah meningkat karena peningkatan volume
sekuncup dan nadi, keduanya terjadi karena peningkatan katekolamin.
Efek ini terjadi bahkan pada induksi lambat. Selama perawatan, tekanan
darah turun ke tingkat sebelum di anastesi atau di bawah itu, sementara
nadi tetap meningkat. Bila waktu anestesi memanjang lebih dari satu jam,
walaupun tidak ada perdarahan, tekanan darah tetap rendah dan stabil
(Collins, 1996).
d. Endokrin
Selain stimulasi medulla glandula adrenal, korteks adrenal juga
terpengaruh. Selama anestesi, terjadi sekitar 2/3 kali peningkatan 17-
hydroxycorticosteroid. Selama induksi anestesi dan selama pembedahan,
sejumlah besar ACTH dikeluarkan secara berkala, dengan dua sampai tiga
puncak pada plasma. Sebaliknya, kadar kortisol bebas meningkat.
Penelitian Oyama, dkk menunjukkan bahwa peningkatan kortisol bebas
plasma adalah karena peningkatan aktivitas ACTH plasma (Collins, 1996;
Oyama, dkk, 1968).
6. Indikasi
Indikasi penggunaan eter termasuk pada kasus asma, penyakit bronkospastik,
dan penyakit jantung koroner (Collins, 1996).
7. Kontra indikasi
Eter tidak boleh digunakan dalam kasus asidosis, penyakit respirasi akut,
peningkatan tekanan intracranial, diabetes, dan debil (Collins, 1996).
C. Kloroform
Kloroform adalah nama umum untuk triklorometana (CHCl3).
Kloroform dikenal karena sering digunakan sebagai bahan pembius, meskipun
kebanyakan digunakan sebagai pelarut nonpolar di laboratorium atau industri.
Wujudnya pada suhu ruang berupa cairan, namun mudah menguap. Senyawa
kloroform adalah senyawa haloalkana yang mengikat tiga atom halogen klor (Cl)
pada rantai C-nya. Senyawa kloroform dapat dibuat dengan bahan dasar berupa
senyawa organik yang memiliki gugus metil (-CH3) yang terikat pada atom C
karbonil atau atom C hidroksi yang direaksikan dengan pereaksi halogen (Cl2).
Struktur dari kloroform yaitu CHCL3.
Gambar 3. Struktur Kimia Kloroform (Watts, 2004 )
Tabel 3. Karakteristik Kloroform ( Anonim, 1995 )
Property Value
Boiling point (oC) at 101,3 kPa 61,3
Vapour pressure (kPa) at 20oC 21,3
Water solubility (g/litre) at 25oC 7,2-9,3
Density (g/cm3) at 25oC 1,48
Henry law constant (Pa-m3/mol) at
20oC
304
Log Kow 1,97
Log Koc 1,44-2,79
Pada suhu dan tekanan normal, kloroform sangat mudah menguap, tidak
berwarna, dan tidak mudah terbakar. Kloroform merupakan anestesi yang efektif
dibandingkan dengan nitrit oxide, eter dan alkohol bila digunakan secara inhalasi.
Hal ini disebabkan karena induksi dari kloroform bekerja secara cepat dan lancar
sehingga stadium dari anestesi lebih cepat terlampaui. Namun, praktek ini
dihentikan karena menyebabkan kematian karena pernapasan, aritmia jantung, dan
gagal jantung. Kloroform sangat baik dan cepat diabsorbsi, dimetabolisme, dan
dieliminasi oleh hewan mamalia ataupun manusia baik melalui oral, inhalation,
atau dermal exposure ( Anonim, 1995 ).
Metabolisme kloroform di dalam tubuh tergantung pada dosis paparannya.
Pada manusia dosis tunggal kloroform secara oral adalah 0,5 mg dan 50-52%
dapat diserap oleh tubuh dan melalui proses metabolisme diubah menjadi
karbondioksida. Level puncak dalam darah adalah hingga 1,5 jam dan memiliki
waktu paruh 13 sampai dengan 90 menit. Kloroform dosis tunggal secara inhalasi
adalah 5 mg dan terserap dalam tubuh hingga 80% (Anonim, 1997).
Kloroform yang masuk ke dalam tubuh melalui inhalasi akan tetap berada di
dalam tubuh dan akan di metabolisme oleh hati. Kloroform bersifat lipofilik yaitu
larut dalam jaringan lemak sehingga menyebabkan transpor normal oksigen
terganggu dan lama kelamaan akan menimbulkan efek anestesi. Metabolit dari
kloroform yaitu phosgene, carbene and klorin yang mempunyai aktivitas
sitotoksik. Sebenarnya, mekanisme kerja kloroform sebagai anestesi umum belum
diketahui secara pasti. Tetapi, berdasarkan penelitian pada tahun 2008, kloroform
bekerja untuk menghambat kerja dari kanal ion TRPC5 yang berfungsi untuk
transmisi nyeri dan mengatur denyut jantung dan sebagian besar kanal tersebut
berada di otak (Anonim, 1995).
Gambar 4. Metabolisme Chloroform dalam tubuh ( Watts, 2004 )
Penggunaan kloroform yang berkepanjangan dapat menyebabkan toksemia.
Paparan akut kloroform menyebabkan sakit kepala, gangguan kesadaran, kejang,
paralysis pernapasan dan gangguan sistem saraf otonom seperti mual dan muntah.
Selain itu, kloroform juga dapat menyebabkan iritasi saluran pencernaan
(Alexander, 2001).
Pada penggunaan kloroform secara kronik dapat menyebabkan kerusakan
hati, jantung, ginjal dan ketidakteraturan denyut jantung. Bila dipakai sebagai
anestesi, biasanya responnya dimulai ketika terjadinya eksitasi, dan diikuti oleh
hilangnya refleks, berkurangnya sensasi, dan hilangnya kesadaran. Efek samping
lain dari penggunaan kloroform, antara lain:
a. Ingesti
menyebabkan rasa terbakar pada mulut dan tenggorokan, nyeri dada dan
muntah.
b. Skin contact
menyebabkan iritasi pada kulit seperti kemerahan dan nyeri
c. Mata
menyebabkan iritasi pada mata, dan dapat terjadi kerusakan mata (Anonim,
2005).
XI. Kesimpulan
1. Hasil praktikum menunjukkan bahwa obat anestesi umum yang paling cepat
menimbulkan reaksi eksitasi, anastesi dan kematian melalui jalur inhalasi adalah
kloroform. Hal ini disebabkan sifat dari kloroform yang mudah menguap sehingga
cepat berikatan dengan oksigen.
2. Anestesi umum memiliki empat stadium, yaitu stadium analgesia, delirium
(eksitasi), pembedahan, dan paralisis medula oblongata.
3. Pada eter dari stadium eksitasi ke stadium anestesi membutuhkan waktu yang
lama karena jenis anestesi umum ini akan efektif apabila digunakan melalalui
intravena.
4. Alkohol dapat efektif apabila penggunaannya melalui jalur oral.
XII. Jawaban Pertanyaan
1. Jelaskan stadium-stadium anestesi umum.
Semua zat anestetik umum menghambat Sistem Saraf Pusat secara bertahap,
awalnya fungsi yang kompleks yang akan dihambat kemudian terakhir yang
dihambat adalah medulla oblongata di mana terletak vasomotor dan pusat
pernafasan yang vital. Menurut Guedel (1920) membagi anestesi umum dengan
eter dalam 4 stadium dan stadium III dibagi lagi menjadi 4 tingkat yaitu
(Ganiswarna, 1995 ) :
a. Stadium I (Analgesia)
Stadium Analgesia dimulai pada saat pemberian zat analgetik sampai
menghilangnya kesadaran. Pada stadium ini penderita masih dapat mengikuti
perintah, dan rasa sakit hilang (analgesia). Pada stadium ini dapat dilakukan
pembedahan ringan misalnya cabut gigi, biopsi kelenjar dan sebagainya.
( Ganiswarna, 1995 )
b. Stadium II (Delirium/Eksitasi)
Stadium Eksitasi dimulai dari hilangnya kesadaran sampai permulaan
stadium pembedahan. Pada stadium ini terlihat jelas adanya eksitasi dan
gerakan yang tidak menurut kehendak, pasien tertawa, berteriak, menangis,
menyayi, pernapasan tidak teratur, kadang-kadang apnea dan hiperapnea,
tonus otot rangka meninggi, inkontinensia urin dan alvi, muntah, midriasis,
hipertensi, takikardi. Hal ini terjadi karena adanya hambatan pada pusat
hambatan. Pada stadium ini dapat terjadi kematian, oleh karena itu stadium
ini jarus cepat dilewati. ( Ganiswarna, 1995 )
c. Stadium III (Pembedahan)
Stadium pembedahan ini ditandai dengan teraturnya pernapasan sampai
pernapasan spontan hilang. Tanda-tanda yang harus dikenali yaitu:
1) Pernapasan yang tidak teratur pada stadium II menghilang, pernapasan
menjadi spontan dan teratur oleh karena tidak terpengaruh psikis,
sedangkan pengontrolan kehendak hilang.
2) Refleks kelopak mata dan konjungtiva menghilang, bila kelopak mata
atas diangkat dengan perlahan dan dilepaskan tidak akan menutup lagi,
kelopak mata tidak berkedip apabila bulu mata disentuh.
3) Kepala dapat digerakkan ke kanan dan ke kiri dengan bebas. Apabila
lengan diangkat lalu dilepaskan akan jatuh bebas tanpa tahanan.
4) Gerakan bola mata yang tidak menurut kehendak merupakan tanda
spesifik untuk permulaan stadium III.
Berdasarkan tanda-tandanya stadium III dibagi menjadi 4 tingkat, yaitu:
1) Tingkat 1 : pernapasan teratur, spontan, terjadi gerakan bola mata yang
tidak menurut kehendak, miosis, pernapasan dada dan perut seimbang,
belum tercapai relaksasi otot lurik yang sempurna.
2) Tingkat 2 : pernapasan teratur tapi kurang dalam dibandingkan dengan
tingkat 1, bola mata tidak bergerak, pupil mulai melebar relaksasi otot
sedang, refleks laring hilang sehingga dapat dikerjakan intubasi.
3) Tingkat 3 : pernapasan perut lebih nyata dari pada pernapasan dada
karena otot intercostals mulai mengalami paralisis,relaksasi otot lurik
sempurna, pupil lebih lebar tapi belum maksimal.
4) Tingkat 4 : pernapasan perut sempurna karena kelumpuhan otot
interkostal sempurna, tekanan darah mulai menurun, pupil sangat lebar
dan refleks cahaya hilang.
Apabila stadium III tingkat 4 sudah tercapai, hendaknya harus berhati-
hati jangan sampai pasien masuk dalam stadium IV. Untuk dapat mengenali
keadaan ini harus diperhatikan sifat dan dalamnya pernapasan, lebar pupil
dibandingkan dengan keadaan normal dan mulai menurunnya tekanan darah.
( Ganiswarna, 1995 )
d. Stadium IV (Paralisis Medulla Oblongata)
Stadium paralisis Medula Oblongata ini dimulai dengan melemahnya
pernapasan perut disbanding stadium III tingkat IV, tekanana darah sudah
tidak dapat diukur karena adanya kolaps pembuluh darah, berhentinya denyut
jantung dapat disusul kematian. Pada stadium ini kelumpuhan pernapasan
tidak dapat diatasi dengan pernapasan buatan.
Dalamnya suatu anestesi harus ditentukan oleh yang berkompeten
dalam hal ini adalah ahli anastesi. Berdasarkan jenis rangsang rasa sakit,
derajat kesadaran, relaksasi otot dan sebagainya. Perangsangan nyeri dapat
dibagi menjadi III derajat kekuatan, yaitu:
a. Kuat, yang terjadi sewaktu pemotongan kulit, manipulasi
peritoneum,kornea mukosa uretra terutama apabila ada peradangan.
b. Sedang, yang terjadi sewaktu manipulasi fasia otot dan jaringan lemak.
c. Ringan, yang terjadi sewaktu pemotongan dan menjahit usus serta
memotong otak. ( Ganiswarna, 1995 )
2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Mula Kerja Anastesi Umum Inhalasi
Prinsip Farmakokinetk Anastetik inhalasi:
Anastetik inhalasi merupakan beberapa di antara sengat sedikit senyawa
farmakologis yang diberikan sebagai gas. Fakta bahwa senyawa-senyawa ini
berprilaku sebagai gas dan bukan sebagai cairan membutuhkan konsep
farmakokinetik yang berbeda yang akan digunakan dalam menganalisis
pengambilan dan distribusinya. Anastetik inhalasi terdistribusi di antara jaringan
sedemikian sehingga kesetimbangan tercapai ketika tekanan parsial gas anastetik
sama pada kedua jaringan. Kesetimbangan akan tercapai jika tekanan parsial
dalam gas yang terhirup sama dengan tekanan parsial pada gas tidal akhir
(alveolar) (Goodman dan Gilman, 2008).
Faktor-faktor yang mempengaruhi tekanan parsial anastetik gas dalam arteri otak
adalah:
a. Tekanan Parsial Anastetik Gas yang Diinspirasi
Tekanan ini dapat diatur melalui vaporizer atau alat lain agar sama dengan
tekanan parsialnya dengan arteri. Untuk mempercepat induksi, kadar anastetik
gas yang diinspirasi harus lebih tinggi daripada tekanan parsial yang
diharapkan dalam jaringan. Setelah tekanan parsial yang diinginkan tercapai,
tekanan parsial dalam udara inspirasi diturunkan untuk mempertahankan
anastesia.
b. Ventilasi Paru
Hiperventiasi mempercepat masuknya anastetik gas ke sirkulasi dan jaringan.
Ini terlihat nyata pada anastetik yang lebih larut dalam darah seperti halotan
dan dietileter. Sedangkan pada gas yang tidak larut dalam darah seperti
siklopropan, N2O dan etilen, pengaruh ventilasi ini tidak begitu nyata karena
kadar di darah arteri cepat mendekati kadar di alveoli.
c. Pemindahan Anastetik Gas dari Alveoli ke Aliran Darah
Membran alveoli dengan mudah dapat dilewati anastetik gas secara difusi dari
alveoli ke aliran darah, dan sebaliknya. Walaupun demikian, bila ventilasi
alveoli terganggu, misalnya pada emfisema paru, pemindahan anastetik gas
akan terganggu pula. Faktor yang mempengaruhi difusi anastetik gas adalah:
a. Kelarutan anastetik gas dalam darah
b. Kecepatan aliran darah melalui paru
c. Tekanan parsial anastetik gas dalam arteri dan vena
d. Kelarutan
Salah satu faktor penting yang mempengaruhi transfer anastetik dari
paru ke darah arteri adalah kelarutannya. Koefisien pembagian darah: gas
merupakan indeks kelarutan yang bermakna dan merupakan tanda-tanda
afinitas relatif suatu obat anastetik terhadap darah dibandingkan dengan
udara. Koefisien ini mungkin lebih rendah dari 0,5 untuk obat anastesi seperti
nitrogen oksida atau siklopropan, yang tidak larut di alam darah. Di lain
pihak, nilai tersebut mungkin lebih dari 10 untuk obat-obat seperti
metoksifluran yang sangat larut di dalam darah ( Katzung, 1998 ).
Jika suatu anestetik dengan kelarutan dalam darah yang rendah
berdifusi dari paru ke dalam darah arteri, maka relatif diperlukan sedikit
molekul untuk meningkatkan tekanan parsialnya, dan tegangan arteri cepat
meningkat. Sebaliknya, untuk anastetik dengan kelarutan sedang sampai
tinggi, lebih banyak molekul yang larut sebelum tekanan parsial tegangan
arteri suatu gas ini akan meningkat secara perlahan-lahan (Katzung, 1998).
e. Konsentrasi Anastetik di Dalam Udara Inspirasi
Konsentrasi anastetik inhalasi di dalam campuran gas inspirasi
mempunyai efek langsung terhadap tegangan maksimum yang dapat tercapai
di dalam alveolus maupun kecepatan peningkatan tegangan ini di dalam
darah arterinya. Peningkatan konsentrasi anastetik inspirasi akan
meningkatkan kecepatan induksi anastesi karena peningkatan kecepatan
transfernya ke dalam otak sesuai dengan hukum Fick. Keuntungan dari efek
ini diambil dalam praktek anastesi dengan obat anastesi inhalasi yang
kelarutan dalam darahnya sedang seperti enfluran, isofluran, dan halotan,
yang mula kerjanya relatif lambat ( Katzung, 1998 ).
f. Aliran Darah Paru
Perubahan kecepatan aliran darah dari dan menuju paru akan
mempengaruhi transfer obat anastetik. Peningkatan aliran darah paru akan
memperlambat kecepatan peningkatan tekanan darah arteri, terutama oleh
obat anastetik dengan kelarutan darah yang sedang sampai tinggi. Hal ini
disebabkan karena peningkatan aliran darah paru yang menghasilkan volume
darah yang lebih besar obat anastetik. Penurunan aliran darah paru
mempunyai efek yang sebaliknya dan meningkatkan tegangan arteri obat
anastetik inhalasi. Pada seseorang penderita dengan syok sirkulasi, kombinasi
efek penurunan efek penurunan curah jantung dan peningkatan ventilasi dapat
mempercepat induksi anastesi sejumlah obat anastetik. Efek ini tidak
mungkin timbul dengan nitrogen oksida karena kelarutannya yang rendah
(Katzung, 1998 ).
g. Gradien Konsentrasi Arteri Vena
Gradien konsentrasi obat anastetik antara darah arteri dan vena
campuran terutama bergantung pada ambilan obat anastesi pada jaringan itu;
yang bergantung pada kecepatan dan luas ambilan jaringan. Darah vena yang
kembali ke paru dapat mengandung obat anastesi kurang bermakna
dibandingkan yang ada dalam arteri. Semakin besar perbedaan tegangan ini
semakin lama pula mencapai keseimbangannya. Anastetik yang masuk
jaringan akan dipengaruhi oleh faktor yang serupa dengan faktor yang
menentukan transfer dari paru ke dalam darah termasuk koefisien pembagian
jaringan; darah, kecepatan aliran darah ke jaringan, dan gradien konsentrasi
(Katzung, 1998).
Selama pemeliharaan anastesi dengan obat anastetik inhalasi, mungkin
transfer obat anastetik akan berlangsung terus antar berbagai jaringan dengan
kecepatan yang bergantung pada kelarutan dan aliran darah. Otot dan kulit,
yang bersama-sama membentuk 50% massa tubuh, akan menimbun obat
anastetik lebih lambat dibandingkan dengan jaringan yang kaya vaskularisasi,
karena jaringan yang lebih lambat akan menerima seperlima aliran darah
dibandingkan dengan jaringan yang kaya vaskularisasinya. Walaupun
kebanyakan anastetik gas mempunyai kelarutan yang tinggi dalam jaringan
lemak, namun rendahnya kecepatan perfusi darah dalam jaringan tersebut
akan memperlambat akumulasi dimana keseimbangan tidak mungkin terjadi
dengan anastetik seperti halotan dan enfluran selama berlangsungnya operasi
(Katzung, 1998).
3. Jelaskan secara skematis dan buatlh grafik potensi relatif anastesik
umum yang digunakan dalam percobaan diatas!
Eksitasi Anestesi Kematian0
2
4
6
8
10
12
EterAlkoholKloroform
Gambar 5. Potensi Relatif Anestetik Umum
Tabel 4. Potensi Relatif Anestetik Umum
Anestesi
Umum
Eksitasi
Menit ke :
Anestesi
Menit ke :
Kematian
Menit
ke :
Eter 2 9 tak terhitung
Alkohol 1 2 tak terhitung
Kloroform 1 1 tak terhitung
Grafik di atas menjelaskan bahwa kloroform adalah salah satu jenis
anestesi umum yang efektif digunakan melalui inhalasi. Hal ini dikarenakan
sifat dari kloroform yang mudah menguap sehingga cepat berikatan dengan
oksigen sehingga stadium eksitasi, anestesi dan kematiannya paling cepat.
Pada eter dari stadium eksitasi ke stadium anestesi membutuhkan waktu yang
lama atau bahkan tak terhingga karena jenis anestesi umum ini akan efektif
apabila digunakan melalalui intravena. Alkohol dapat efektif apabila
penggunaannya melalui jalur oral ( Ganiswarna, 1995).
XIII. Daftar Pustaka
Anonim. 1995. chloroform Avaiable from : http://www.general-
anaesthesia.com/images/chloroform.htm. Acces on 24 Maret 2010.
Anonim. 1997. Chloroform Avaiable from :
http://www.atsdr.cdc.gov/tfacts6.html. Acces on 24 Maret 2010.
Anonim. 2005. chloroform Avaiable from :
www.odh.ohio.gov/ASSETS/IVEIVC506200F0IVE0AAA96D8IV6ABC0
9FIII5/Chloroform%2520Fact%2520Sheet.pdf. Acces on 24 Maret 2010.
Anonim, 2009. chloroform Avaiable from :
http://www.jtbaker.com/msds/englishhtml/C2915.htm. Acces on 24 Maret
2010.
Alexander A, 2001. Chloroform Inhalation Exposure Conditions Necessary to
Initiate Liver Toxicity in Female B6C3F1 Mice . Avaiable from :
http://toxsci.oxfordjournals.org/cgi/content/full/66/2/201. Acces on 24
Maret 2010.
Collins, Vincent J. 1996. Diethyl Ether and Chloroform. Dalam: Physiology and
Pharmacologic Bases of Anesthesia. Pennsylvania: Williams & Wilkins.
Ganiswarna, Sulistia G. 1995. Anestesi Umum. Dalam: Farmakologi dan Terapi.
Edisi IV. Jakarta: Bagian Farmakologi FKUI. Hal : 116.
Goodman dan Gilman. 2008. Anastetik Umum. Dasar Farmakologi Terapi.
Jakarta:EGC
Katzung, Bertram. 1997. Alkohol. Dalam: Farmakologi Dasar dan Terapi. Edisi
VI. Jakarta: EGC. Hal : 69, 76-7.
Morgan, G. Edward dan Maged S. Mikhail. 2002. The Practice of
Anesthesiology. Dalam: Clinical Anesthesiology. USA: McGraw-Hill.
Oyama, Tsutomu, dkk. 1968. Plasma Levels of ACTH and Cortisol in Man
during Diethyl Ether Anesthesia and Surgery. Anesthesiology 29, 559.
Watts, Petter. 2004. Chloroform. United Nations Environment Programme, the
International Labour Organization, and the World Health Organization,
and produced within the framework of the Inter-Organization Programme
for the Sound Management of Chemicals. Avaiable from :
http://www.who.int/ipcs/publications/cicad/en/cicad58.pdf. Acces on 24
Maret 2010.
Weathermon, R. Crabb DW. 1999. Alkohol and medication interactions. Alkohol
research and health. Vol.2III, no.1
Wiria, Metta SS. 2007 Hipnotik-Sedatif dan Alkohol. Farmakologi dan Terapi.
Edisi 5. Jakarta : Gaya Baru.
www.chem-is-try.org
XIV. Lampiran
Laporan Sementara