Konstruktivisme Dari Sudut Politik Luar Negeri

16
KONSTRUKTIVISME DARI SUDUT POLITIK LUAR NEGERI: (STUDI KASUS: WTO DAN INDONESIA) PENDAHULUAN LATAR BELAKANG Berdasarkan Teori dari Alexander Wendt bahwa Konstruktivisme, merupakan sebuah teori yang muncul ditengah perdebatan antara teori-teori yang digolongkan ke dalam aliran materialisme-rasionalisme seperti realisme, neorealisme, neoliberalisme, liberalisme/pluralisme, Marxisme dengan teori-teori radikal yang digolongkan ke dalam aliran reflektivis seperti teori kritis, feminisme dan postmodernisme. Perdebatan kedua aliran tersebut terkait dengan pondasi ilmu hubungan internasional yang dalam bahasa filsafat disebut dengan perdebatan ontologis dan epistemologis. Aliran rasionalisme menganggap bahwa ada sesuatu di luar sana (fakta materi) yang independen dari pengetahuan kita, sedangkan reflektivis menganggap bahwa tidak ada sesuatu di luar sana yang terpisah dari pengaruh konstruksi pengetahuan subyek dan interaksi dengan lingkungannya. Semua femomena yang ada adalah hasil dari konstruksi sosial. Dengan kata lain rasionalis menganggap bahwa fakta itu ada sedangkan reflektivis tidak mengakui adanya fakta. Dalam konteks inilah konstruktivisme muncul sebagai suatu jalan tengah atau jembatan antara perbedaan tajam teori-teori rasionalis seperti neorealisme dan neoliberal dengan teori-teori reflektifis seperti postmodernisme, feminisme, critical theori.

description

sospol

Transcript of Konstruktivisme Dari Sudut Politik Luar Negeri

Page 1: Konstruktivisme Dari Sudut Politik Luar Negeri

KONSTRUKTIVISME DARI SUDUT POLITIK LUAR NEGERI: (STUDI KASUS: WTO DAN INDONESIA)

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Berdasarkan Teori dari Alexander Wendt bahwa Konstruktivisme, merupakan sebuah teori yang muncul ditengah perdebatan antara teori-teori yang digolongkan ke dalam aliran materialisme-rasionalisme seperti realisme, neorealisme, neoliberalisme, liberalisme/pluralisme, Marxisme dengan teori-teori radikal yang digolongkan ke dalam aliran reflektivis seperti teori kritis, feminisme dan postmodernisme. Perdebatan kedua aliran tersebut terkait dengan pondasi ilmu hubungan internasional yang dalam bahasa filsafat disebut dengan perdebatan ontologis dan epistemologis.Aliran rasionalisme menganggap bahwa ada sesuatu di luar sana (fakta materi) yang independen dari pengetahuan kita, sedangkan reflektivis menganggap bahwa tidak ada sesuatu di luar sana yang terpisah dari pengaruh konstruksi pengetahuan subyek dan interaksi dengan lingkungannya. Semua femomena yang ada adalah hasil dari konstruksi sosial. Dengan kata lain rasionalis menganggap bahwa fakta itu ada sedangkan reflektivis tidak mengakui adanya fakta. Dalam konteks inilah konstruktivisme muncul sebagai suatu jalan tengah atau jembatan antara perbedaan tajam teori-teori rasionalis seperti neorealisme dan neoliberal dengan teori-teori reflektifis seperti postmodernisme, feminisme, critical theori. Konstruktivisme muncul untuk memberikan suatu pandangan bahwa realitas sosial tidak bisa dilihat sebagai suatu yang secara alamiah (given) ada dengan sendirinya dan independen dari interaksi (rasionalis) dan sebaliknya tidak bisa juga dilihat sebagai sesuatu yang nihil atau tidak ada dan semata-mata hanya dilihat sebagai refleksi ide-ide manusia (reflektifis). Asumsi yang berbeda secara mendasar tersebut dalam pandangan konstruktivis pada dasarnya bisa dipertemukan dalam satu titik temu yaitu dengan argumennya bahwa realitas sosial tidak sepenuhnya given dan tidak juga sepenuhnya nihil (tidak ada). Konstruktivis melihat relitas dunia ini sebagai sesuatu yang didasarkan oleh (fakta) evidence yang secara materil bisa ditangkap ataupun tidak oleh panca indera namun fakta tersebut tidak menuntun/tidak menentukan bagaimana kita (manusia) melihat realitas sosial. Sebaliknya relitas sosial menurut konstruktivis adalah hasil konstruksi manusia (konstruksi sosial).

Page 2: Konstruktivisme Dari Sudut Politik Luar Negeri

PEMBAHASAN

Teori Konstruktivisme

Konstruktivisme merupakan salah satu tradisi pemikiran yang sangat berpengaruh dalam studi hubungan internasional saat ini. Tradisi ini berkembang di Amerika sejak berakhirnya Perang Dingin sebagai reaksi terhadap kegagalan tradisi-tradisi dominan dalam studi hubungan internasional ¾ realisme dan liberalisme ¾ untuk memprediksi ataupun memahami transformasi sistemik yang mengubah tatanan dunia secara drastis. Secara ontologis, konstruktivisme dibangun atas tiga proposisi utama. Pertama, struktur sebagai pembentuk perilaku aktor sosial dan politik, baik individual maupun negara, tidak hanya terdiri memiliki aspek material, tetapi juga normatif dan ideasional. Berbeda dengan neorealis dan marxis, misalnya, yang menekankan pada struktur material hanya dalam bentuk kekuatan militer dan ekonomi dunia yang kapitalis, konstruktivis berargumen bahwa sistem nilai, keyakinan dan gagasan bersama sebenarnya juga memiliki karakteristik struktural dan menentukan tindakan sosial maupun politik. Sumber-sumber material sebenarnya hanya bermakna bagi tindakan atau perilaku melalui struktur nilai atau pengetahuan bersama. Disamping itu, struktur normatif dan ideasionallah yang sebenarnya membentuk identitas sosial aktor-aktor politik. Kedua,  kepentingan (sebagai dasar bagi tindakan atau perilaku politik) bukan menggambarkan rangkaian preferensi yang baku, yang telah dimiliki oleh aktor-aktor politik, melainkan sebagai produk dari identitas aktor-aktor tersebut. Berbeda para teoretisi neorealis, neoliberal ataupun marxist, yang hanya memberi perhatian pada aspek-aspek strategis dalam arti bagaimana akator-aktor politik bertindak mencapai kepentingan mereka, teoretisi konstruktivis lebih menekankan pada sumber-sumber munculnya kepentingan, yakni bagaimana aktor-aktor politik mengembangkan kepentingan-kepentingan mereka. Dalam artian ini, terkait dengan proposisi ontologis yang pertama, Alexander Wendt secara jelas mengatakan bahwa, ‘Identities are the basis of interests’ (1992). Ketiga struktur dan agen saling menentukan satu sama lain. Konstruktivis pada dasarnya adalah strukturasionis yakni menekankan peran struktur non-material terhadap identitas dan kepentingan serta, pada saat yang bersamaan, menekankan peran praktek dalam membentuk struktur-struktur tersebut. Artinya, meskipun sangat menentukan identitas (dan oleh karenanya juga kepentingan) aktor-aktor politik, struktur ideasional atau normatif tidak akan muncul tanpa adanya tindakan-tindakan aktor-aktor politik. Dalam definisi Emanuel Adler, konstruktivisme merujuk pandangan yang melihat bahwa terdapat suatu pola di mana dunia materi pada dasarnya terbentuk dan dibentuk oleh tindakan dan interaksi manusia yang tergantung pada interpretasi-interpretasi terhadap dunia materi yang tentunya berbeda (antara manusia satu dengan manusia lainnya) karena adanya perbedaan latar belakang secara normatif dan epistemik. Jika kita akan memakan roti, bukan roti itu yang menentukan pisau apa yang akan kita pakai untuk mengirisnya, sebaliknya konstruksi pikiran kitalah yang menentukan pisau jenis apa yang tepat menurut kita, atau sangat terbuka kemungkinan kita untuk menggunakan sesuatu yang bukan disebut pisau asalkan menurut pikiran kita alat tersebut bisa digunakan untuk mengiris roti. Tulisan ini dibagi ke dalam dua bagian. Bagian pertama membahas tentang ontologi dan posisi ontologis konstruktivisme di antara teori-teori hubungan internasional. Bagian kedua menjelaskan tentang bagaimana konstruktivisme melihat realitas hubungan internasional.

Ontologi Konstruktvisme

Page 3: Konstruktivisme Dari Sudut Politik Luar Negeri

Konstruktivis muncul sebagai suatu pendekatan yang penting di dalam hubungan internasional karena posisi ontologisnya yang secara nyata berbeda dari pendekatan-pendekatan rasionalis yang lebih dulu ada dan sangat dominan. Konstruktivis muncul memberikan alternatif lain di dalam melihat hubungan internasional yang selama ini didominasi oleh pemahaman materialis-rasionalis yang berbasiskan pada materi. Teori-teori itu mengklaim bahwa negara ataupun power actors pada umumnya, telah mengetahui dengan pasti apa kepentingan mereka, serta mengetahui bagaimana cara mewujudkannya. Bagi rasionalis, logika yang berlaku adalah negara merupakan aktor rasional yang selalu mengejar power atau selalu memaksimalkan keuntungan dan kepentingannya.Sebaliknya, konstruktivis dibangun dari basis ide, norma, budaya, dan nilai. Atas dasar itulah konstruktivis digolongkan ke dalam teori idealis. Formulasi teoritik konstruktivis menyatakan bahwa lingkungan sosial menentukan bentuk identitas aktor. Identitas kemudian menentukan kepentingan, dan kepentingan akan menentukan bentuk tingkah laku, aksi ataupun kebijakan dari aktor. Pada tahap berikutnya identitas juga akan mempengaruhi bentuk dari lingkungan sosial.Kerangka Berpikir Konstruktivis.Secara sederhana proses itu bisa dijelaskan dengan identitas seseorang di dalam masyarkat. Identitas seseorang ada bermacam-macam terkait dengan institutional role yang diperankannya. Misalnya seseorang bisa saja berperan sebagai Saudara, Anak, Guru, dan Warga negara. Komitmen dan kepentingan yang terdapat di dalam berbagai identitas itu berbeda-beda, namun masing-masing identitas tersebut semuanya merupakan definisi sosial terhadap aktor di mana aktor-aktor mengikatkan diri mereka sendiri antara satu dengan lainnya. Identitas-identitas itu kemudian membentuk struktur sosial (social world). Selanjutnya identitas aktor akan menentukan kepentingannya, karena identitas merupakan dasar dari kepentingan. Aktor tidak memiliki kepentingan yang tidak didasarkan pada identitas yaitu yang secara independen dimilikinya di dalam konteks sosial. Aktor mendefinisikan kepentingannya di dalam proses mendefinisikan situasi. Seorang politisi memiliki kepentingan untuk dipilih kembali karena Ia merasa dirinya sebagai politisi; Profesor memiliki kepentingan untuk mendapatkan jabatan karena Ia melihat dirinya adalah seorang profesor. Proses terbentuknya identitas dan kepentingan disebut sebagai “socialization”. Sosialisasi merupakan suatu proses pembelajaran (learning) untuk penyesuaian diri -tingkah laku (behavioral) seseorang- dengan ekspektasi sosialnya. Selain digolongkan ke dalam kelompok teori idealis, konstruktivis juga dapat dimasukkan ke dalam kategori teori sistem. Penggolongan ini di dasarkan pada posisi konstruktivis yang menjelaskan tingkah laku aktor pada level sistem/struktur. Konstruktivis mengasumsikan bahwa suatu unit yang kemudian disebut agent dipengaruhi oleh lingkungan sosial yang mengelilinginya. Teori-teori yang mengambil sudut pandang dari posisi struktur selanjutnya disebut dengan teori holisme. Secara sederhana bisa dikatakan bahwa identitas, tingkah laku dan kepentingan seorang individu dipengaruhi oleh masyarakat tempat ia bersosialisasi. Jadi identitas, perilaku, dan kepentingan individu tidak secara alamiah ada dengan sendirinya dan murni muncul dari dalam individu itu sendiri, akan tetapi merupakan bentuk dari pengaruh lingkungan sosial terhadap individu tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa konstruktivisme terletak di dalam kelompok teori yang idealism-holism. Posisi konstruktivis sebagai teori yang idealism-holism dijelaskan oleh Alexander Wendt dengan menggunakan mapping struktur teorisasi. Wendt membagi teori-teori sosial ke dalam empat kuadran yaitu materialis-individualism yang menekankan pada peran human nature yang sangat penting di dalam terbentuknya national interest; Materialis-holism menyatakan bahwa the properties of agent dikonstruksi di dalam level

Page 4: Konstruktivisme Dari Sudut Politik Luar Negeri

internasional dengan basis material; Idealis-individualism menyatakan bahwa identitas dan kepentingan kepentingan negara diciptakan oleh politik domestik dan mempunyai social view terhadap terbentuknya sistem internasional; Kategori terakhir yaitu idealism-holism merujuk pada pandangan bahwa struktur internasional secara fundamental terdiri dari shared knowledge, dan hal itu tidak hanya mempengaruhi tingkah laku negara tetapi juga memebentuk identitas dan kepentingan negara.Pandangan Konstruktivis tentang Realitas Hubungan lnternasionalPandangan konstruktivis terhadap realitas hubungan internasional pada dasarnya muncul untuk sebagai reaksi terhadap realisme terutama dalam pandangan neorealis.  Neorealis selalu memandang realitas hubungan internasional sebagai sesuatu yang anarkis. Kondisi tersebut sifatnya given (ada dengan sendirinya) baik keberadaannya dan sifatnya yang permissive.Konsep “permissive” merujuk pada kondisi yang memungkinkan negara-negara untuk berperang. Dalam konteks ini perang terjadi karena tidak ada yang mencegah negara-negara untuk berperang. Sifat alamiah manusialah atau keadaan politik domestik negara predator yang menyebabkan terjadinya konflik. Jadi jika negara A menyerang negara B, kemudian B melakukan tindakan defense, maka itu disebabkan semata-mata hanya oleh faktor sifat alamiah manusia atau politik domestik. Jadi sistem internasional yang anarkis dan negara adalah sesuatu yang terpisah dan tidak saling mempengaruhi. Semua perilaku negara terjadi di dalam sistem anarkis itu tanpa ada pengaruh apapun dari perilaku negara-negara terhadap sistem tersebut. Neorealis tidak melihat bahwa “practices” negara menentukan karakter anarchy. Dalam pandangan neorealis anarchy adalah sistem yang sifatnya self- help dan ditentukan oleh persaingan power politics, di mana keduanya adalah given oleh struktur sistem negara. Konstruktivis tidak dalam posisi untuk menolak asumsi anarkis itu, namun memberikan argumen bahwa terjadi interaksi antar negara di dalam sistem anarkis tersebut. jadi, “anarkis adalah apa yang dibuat negara darinya”.  Dalam proses interaksi terjadi proses saling mempengaruhi antar negara sehingga memberikan “bentuk” terhadap struktur internasional. Dalam interaksi itu negara membawa subyektifitas masing-masing yang didasarkan pada meanings yang dimiliki. Proses interaksi menyebabkan terjadinya interaksi subyektifitas, dan kesepahaman tentang persepsi atau pengakuan identitas pihak lain yang selanjutnya disebut others dan diri sendiri (negara) disebut self-- memunculkan konsep intersubyektifitas. Intersubyektifitas menyangkut kesepakatan ataupun pengakuan terhadap meanings bersama atau collective meanings. Masing-masing pihak di dalam proses interaksi telah sepakat tentang “sesuatu” yaitu bisa berupa musuh, teman, ancaman, atau kerja sama.Menurut konstruktivisme, setiap tindakan negara didasarkan pada meanings yang muncul dari interaksinya dengan lingkungan internasional. Negara- negara membangun satu sama lain dalam hubungan mereka, dan degan demikian juga membangun anarkis internasional yang menegaskan hubungan mereka. Singkatnya, dunia politik, termasuk hubungan internasional diciptakan dan dibentuk seluruhnya oleh masyarakat.  Tindakan negara terhadap musuhnya tentulah berbeda dengan tindakan terhadap temannya. Negara akan memberikan ancaman terhadap musuhnya dan tentu tidak terhadap temannya.Tindakan negara dalam pandangan konstruktivisme memberikan pengaruh terhadap bentuk sistem internasional, sebaliknya sistem tersebut juga memberikan pengaruh pada perilaku negara-negara. Dalam proses saling mempengaruhi itu terbentuklah apa yang disebut dengan collective meanings. Collective meanings itulah yang menjadi dasar terbentuknya intersubyektifitas dan kemudian membentuk struktur dan pada akhirnya mengatur tindakan negara-negara.

Page 5: Konstruktivisme Dari Sudut Politik Luar Negeri

Terkait dengan asumsi neorealis yang menyatakan bahwa sistem internasional diwarnai oleh adanya distribution of power dan hal itu mempengaruhi negara-negara dalam melakukan kalkulasi, konstruktivis menegaskan bahwa bagaimana mungkin kalkulasi itu terjadi jika tidak ada “distribution of knowledge” di antara negara-negara di dalam sistem internasional tersebut. Distribusi knowledge tersebut akan menentukan atau membentuk konsepsi negara-negara tentang self dan other. Jika tidak ada distribusi knowledge yang menjadi dasar terbentuknya collective meanings bagaimana bisa suatu negara menganggap suatu negara lain adalah “teman” atau aliansinya sementara negara suatu negara lainnya adalah musuhnya. Jadi intersubjective understandings dan ekspektasilah yang menentukan konsepsi negara tentang self dan other. Sebagai contoh mengapa AS menganggap Kuba adalah musuhnya sedangkan Kanada adalah sekutunya. Secara geografis, kedua negara tersebut adalah tetangga AS. Demikian juga mengapa kepemilikan nuklir Iran dianggap berbahaya oleh AS bagi keamanan dunia dan dirinya sementara kepemilikan nuklir Inggris tidak membahayakan negara manapun? Perbedaan-perbedaan persepsi yang selanjutnya menjadi perbedaan sikap terhadap others tersebut menurut Wendt disebabkan oleh adanya collective meanings yang tercipta di dalam interaksi. Tanpa adanya perbedaan meanings maka sudah tentu AS akan menganggap berbahaya semua negara tetangganya dan semua negara yang memiliki kekuatan senjata nuklir, atau sebaliknya AS akan menganggap semua negara adalah temannya.Contoh lain misalnya, mungkin Perang Dingin tidak akan pernah berakhir jika AS dan Uni Soviet masih menganggap bahwa mereka adalah musuh. Jadi jelas bahwa Perang berakhir karena kedua belah pihak sudah menganggap pihak lainnya bukan lagi musuh.Contoh sederhana lainnya yaitu jika masyarakat sudah lupa tentang apakah universitas itu, maka powers dan practices profesor dan mahasiswa tidak akan ada lagi. Untuk memperjelas bagaimana konstruktivis memandang realitas hubungan internasional berikut akan dijelaskan tentang varian-varian konstruktivis. Pembagian berikut tentu saja tidak mencakup semua bentuk varian konstruktivis seperti varian John Gerard Ruggie, Friedrich Kratochwil, Nicholas Onuf dan Reus Smith.Hal ini penting untuk diutarakan mengingat satu varian akan sangat berbeda sisi/ bagian penekanannya dibandingkan dengan varian lainnya. Menurut John M. Hobson, konstruktivis dapat dibedakan berdasarkan pada dua kondisi yaitu, pertama, kemampuan untuk membuat kebijakan tanpa adanya hambatan-hambatan dometik (domestic agential state power). Kedua, yaitu, kemampuan untuk membuat kebijakan tanpa adanya hambatan-hambatan internasional (international agential state power).Berdasarkan dua kondisi tersebut konstruktivis dapat dibagi menjadi tiga varian yaitu: pertama, teori konstruktivis yang digolongkan ke dalam international society-centric constructivism. Varian ini mengasumsikan bahwa kemampuan untuk membuat kebijakan sangat ditentukan oleh lingkungan internasional, sedangkan lingkungan domestik sangat kecil pengaruhnya terhadap pembuatan kebijakan. (The theory of the low domestic agential power of the state and high international agential state power). Salah satu teoritisi yang termasuk di dalam varian ini adalah Martha Finnemore. Menurut dia, HI sangatlah agent-centric. Ia mengasumsikan bahwa negara tidak selalu mengetahui apa yang diinginkannya, sehingga pertanyaan penting yang harus dijawab adalah bagaimana kepentingan negara ditentukan (defined). Identitas dan kepentingan negara menurutnya ditentukan oleh struktur norma internasional. Oleh karena itu perilaku negara harus dianalisa pada level sistem.Kedua, teori konstruktivis yang digolongkan ke dalam radical-constructivism. Varian ini mengasumsikan bahwa pengaruh domestik sangat kecil di dalam pembuatan kebijakan suatu

Page 6: Konstruktivisme Dari Sudut Politik Luar Negeri

negara. Sedangkan pengaruh lingkungan internasional tidak terlalu besar (moderat). (The theory of the very low domestic agential power of the state but moderate international agential sate power). Konstruktivisme radikal menurut Hobson adalah postmodernisme. Menurut varian ini, proses pembentukan identitas negara yang dipengaruhi oleh norma global menyebabkan munculnya kekerasan, penindasan, penderitaan dan marginalisasi kaum minoritas.Selain itu varian ini juga mengasumsikan bahwa kedaulatan negara bukanlah sesuatu yang terbentuk dari basis materi, tetapi sesuatu yang socially construct. Lebih spesifik varian ini mengatakan bahwa kedaulatan, perbatasan, legitimasi, bangsa atau komunitas politik domestik, haruslah dilihat dalam konteks proses yang masih berlangsung dan bukan sesuatu yang telah usai (finished or completed). Ketiga, teori konstruktivis yang digolongkan ke dalam state-centric constructivism. Varian ini mengasumsikan bahwa pengaruh domestik maupun lingkungan internasional sama-sama rendah atu moderat. (The theory of the low/moderate domestic agential power of the state and moderate/high international agential state power). Salah satu tokoh utama varian ini adalah Peter J. Katzenstein. Ia mengatakan bahwa teori sistem (systemic theory) tidak mampu menjelaskan perilaku negara, karena, teori sistem memperlakukan negara sebagai suatu kotak hitam (black-boxes) sehingga gagal dalam menjelaskan hubungan antar struktur di dalam negara yang sifatnya kompleks. Katzenstein mengasumsikan bahwa setiap negara berbeda secara internal, dan hal itu menentukan perilaku mereka di dalam sistem internasional.

Contoh Kasus

Dalam makalah ini, kami akan mencoba membahas tentang konstruksi sosial yang dibangun oleh WTO terhadap negara berkembang,dan dalam hal ini kami mengambil kajian negara Indonesia.

WTO

Organisasi Perdagangan Dunia (WTO, World Trade Organization) adalah organisasi internasional yang mengawasi banyak persetujuan yang mendefinisikan "aturan perdagangan" di antara anggotanya. Didirikan pada 1 Januari 1995 untuk menggantikan GATT, persetujuan setelah Perang Dunia II untuk meniadakan hambatan perdagangan internasional. Prinsip dan persetujuan GATT diambil oleh WTO, yang bertugas untuk mendaftar dan memperluasnya. WTO merupakan pelanjut Organisasi Perdagangan Internasional (ITO, International Trade Organization). ITO disetujui oleh PBB dalam Konferensi Dagang dan Karyawan di Havana pada Maret 1948, namun ditutup oleh Senat AS. WTO bermarkas di Jenewa, Swiss. Direktur Jendral sekarang ini adalah Pascal Lamy (sejak 1 September 2005). Pada Juli 2008 organisasi ini memiliki 153 negara anggota. Seluruh anggota WTO diharuskan memberikan satu sama lain status negara paling disukai, sehingga pemberian keuntungan yang diberikan kepada sebuah anggota WTO kepada negara lain harus diberikan ke seluruh anggota WTO. Pada akhir 1990-an, WTO menjadi target protes oleh gerakan anti-globalisasi. WTO memiliki berbagai kesepakatan perdagangan yang telah dibuat, namun kesepakatan tersebut sebenarnya bukanlah kesepakatan yang sebenarnya. Karena kesepakatan tersebut adalah pemaksaan kehendak oleh WTO kepada negara-negara untuk tunduk kepada keputusan-keputusan yang WTO buat. Privatisasi pada prinsip WTO memegang peranan sungguh penting. Privatisasi berada di top list dalam tujuan WTO. Privatisasi yang didukung oleh WTO akan membuat peraturan-peraturan pemerintah sulit untuk mengaturnya. WTO membuat sebuah peraturan secara global sehingga penerapan peraturan-peraturan tersebut di setiap negara belum tentulah cocok. Namun, meskipun peraturan

Page 7: Konstruktivisme Dari Sudut Politik Luar Negeri

tersebut dirasa tidak cocok bagi negara tersebut, negara itu harus tetap mematuhinya, jika tidak, negara tersebut dapat terkena sanksi ekonomi oleh WTO. Negara-negara yang tidak menginginkan keputusan-keputusan yang dirasa tidak fair, tetap tidak dapat memberikan suaranya. Karena pencapaian suatu keputusan dalam WTO tidak berdasarkan konsensus dari seluruh anggota. Merupakan sebuah rahasia umum bahwa empat kubu besar dalam WTO (Amerika Serikat, Jepang, Kanada, dan Uni Eropa) lah yang memegang peranan untuk pengambilan keputusan. Pertemuan-pertemuan besar antara seluruh anggota hanya dilakukan untuk mendengarkan pendapat-pendapat yang ada tanpa menghasilkan keputusan. Pengambilan keputusan dilakukan di sebuah tempat yang diberi nama "Green Room". Green Room ini adalah kumpulan negara-negara yang biasa bertemu dalam Ministerial Conference (selama 2 tahun sekali), negara-negara besar yang umumnya negara maju dan memiliki kepentingan pribadi untuk memperbesar cakupan perdagangannya. Negara-negara berkembang tidak dapat mengeluarkan suara untuk pengambilan keputusan.

Indonesia dalam WTO

Indonesia masuk dalam GATT sejak 24 Febuari 1950 dan kemudian menjadi original member WTO setelah meratifikasi perjanjian perdagangan multilateral dengan UU No 7 Tahun 1994. Indonesia menjadi anggota GATT atas dasar ketentuan pasal XXVI:S(c) yakni yang disebut succession. Negara-negara baru merdeka biasanya menjadi anggota dengan ketentuan ini. Sebagai salah satu anggota pendiri WTO, Indonesia memiliki kepentingan yang besar dalam membentuk suatu rezim perdagangan global yang didasarkan pada aturan aturan sistem multilateral. Melihat kondisi proses negosiasi saat ini di WTO yang berjalan lambat, Indonesia memiliki kesempatan untuk melakukan kajian ulang mengenai prioritas Indonesia dalam forum ini sehingga dapat memenuhi kepentingan Indonesia di masa depan.Tantangan utama bagi Indonesia saat ini adalah bagaimana meningkatkan kesiapan Indonesia di dalam negeri dalam menghadapi negosiasi WTO ke depan. Untuk itu, kiranya perlu untuk mengetahui potensi dalam negeri terlebih dahulu serta tantangan yang akan dihadapi ke depannya untuk menyusun skala prioritas dalam negosiasi WTO.Dilihat dari penerapan prinsip – prinsip nondiskriminasi, yang menguntungkan bagi Indonesia misalnya ketika negara kita hendak mengimpor sesuatu ke negara lain, maka berdasarkan prinsip MFN bea masuk yang akan dikenakan terhadap komoditi dari Indonesia adalah sama dengan yang diberlakukan terhadap komoditi dari negara lainnya, dan hal ini menguntungkan bagi negara kita.Sebaliknya, penerapan prinsip National Treatment bisa saja merugikan Indonesia, dimana berdasarkan prinsip ini harus diberlakukan sama antara barang dalam negeri dengan barang dari luar negeri. Apabila Indonesia tidak siap untuk bersaing dengan barang – barang import yang masuk, maka barang produksi dalam negeri tentu saja akan kalah oleh barang – barang yang masuk dari luar negeri tersebut.Selain itu, Pemerintah Indonesia berdasarkan prinsip ini tidak boleh membedakan perlakuan terhadap pengusaha dalam negeri dengan perlakuan terhadap pengusaha dari luar negeri. Meskipun ada pengecualian untuk negara yang sedang berkembang seperti Indonesia, dimana prinsip – prinsip nondiskriminasi dalam WTO ini boleh dikesampingkan hanya dalam jangka waktu 10 tahun saja. Dalam jangka waktu itu negara – negara berkembang yang mengesampingkan prinsip – prinsip WTO diberikan kesempatan untuk menata perekonomiannya agar dapat bersaing dalam pasar bebas.

Page 8: Konstruktivisme Dari Sudut Politik Luar Negeri

Penerapan prinsip ini juga dapat menurunkan pendapatan negara dari bea masuk barang import, karena tidak boleh ada pembedaan tarif bagi barang dari negara manapun. Setelah jangka waktu 10 tahun itu, Pemerintah disuatu negara berkembang tidak dapat lagi memberikan perlakuan khusus seperti pemberian subsidi bagi pengusaha dalam negeri, karena dengan Masuknya Indonesia ke WTO berarti Indonesia harus patuh pada semua aturan.Dari contoh kasus diatas, kami mencoba menganalisis konstruktivisme yang dibangun WTO terhadap Indonesia, yang menghasilkan 2 nilai penting :

1. Adanya konstruksi sosial bahwa negara-negara yang masuk dalam WTO akan mendorong perdagangan negaranya, mengadakan perundingan dan menyelesaikan sengketa perdagangan antar negara.

2. Adanya konstruksi sosial dimana hanya negara-negara yang bergabung dalam WTO adalah negara yang bisa melakukan perdagangan antar negara.

WTO sebagai suatu organisasi di tingkat internasional, diakui telah memainkan suatu peranan yang sangat signifikan dalam menciptakan sistem perdagangan internasional. Konstruksi yang dibangun oleh WTO terhadap negara-negara berkembang terutama Indonesia telah membuat kostruksi sosial dimana jalur perdagangan internasional hanya bisa dijalin ketika bergabung dengan WTO dan seakan-akan hanya WTO lah yang mampu menetapkan dan mengawasi kebijakan perdagangan internasional. Selain itu juga, dalam perkembangannya selama ini, WTO mampu mengkonstruksikan nilai-nilai ketergantungan pada negara-negara berkembang yang tergabung dalam WTO belum mampu mengatur kebijakan perdagangan internasionalnya.   Berdasarkan konstruksi yang dibangun oleh WTO,Indonesia berpandangan bahwa salah satu cara untuk mendapatkan akses kerjasama internasional adalah dengan bergabung dengan WTO. WTO mengkonstruksikan negara-negara berkembang, salah satunya Indonesia akan meminimalkan kesulitan ekonomi internasional. Indonesia dijamin dengan masuknya terkonologi, dan supaya dapat embuat Indonesia semakin menarik bagi para investor asing, standar perlindungan yang tinggi di depan negara- negara dunia.Penerapan pendekatan konstruktivis dapat dilihat dengan meminjam ide wendt tentang konsep identitas. Konstruktivis tidak menganggap kepentingan sebagai sesuatu yang otomatis dilakukan oleh negara, tetapi kepentingan dapat dikatakan merupakan fungsi identitas suatu negara. Berbeda dengan identitas di kalangan realis dimana negara selalu mempunyai kepentingan sendiri mencari keamanan,  identitas dalam kacamata konstruktivis tidaklah dengan sendirinya dilekatkan pada negara tetapi ia terbentuk secara sosial (dalam proses sosial) dan historically contingent (bergantung pada kondisi).Identitas WTO sebagai sebuah organisasi internasional memang sangat besar terhadap negara- negara di dunia. WTO dipandang sebagai sebuah jembatan yang menghubungkan negara- negara yang ada di seluruh dunia (dalam hal ini negara- negara WTO) untuk saling membantu. WTO beranggapan bahwa dirinya sudah menjadi kebutuhan banyak negara-negara di dunia. Namun kenyataannya, negara-negara berkembang seperti Indonesia kurang dapat merasakan keuntungan dari keanggotaan WTO. Bahkan boleh dikatakan, Indonesia sebenarnya merasakan kerugian karena dengan masuknya Indonesia menjadi anggota WTO akan membuat Indonesia semakin bergantung dengan WTO dalam hal perdagangan.

Page 9: Konstruktivisme Dari Sudut Politik Luar Negeri

PENUTUP

KESIMPULAN

Pada bab ini, kami ingin menyimpulkan bahwa kerjasama WTO dengan Indonesia itu lebih cenderung ke arah ekonomi politik. Beberapa poin penting dapat kita ambil hikmahnya dari terbentuknya WTO ini dan masuknya Indonesia ke dalam organisasi Perdagangan bebas (WTO) ini.Sebelumnya telah dijelaskan bahwa esensi dan implikasi dari terbentuknya WTO ini memiliki tujuan yang Positif, selain itu juga memiliki dampak yang negatif bagi negara anggotanya, termasuk Indonesia. Kita juga telah mengetahui peranan WTO bagi dunia.Sedikit kembali mengenai WTO bahwa saat ini, terdapat satu organisasi perdagangan internasional sebagai salah satu wujud kesepakatan internasional dalam rangka mencapai suatu sistem perdagangan internasional yang adil dan kompetitif yaitu di bawah komando organisasi World Trade Organization.WTO sebagai organisasi Perdagangan Dunia adalah suatu organisasi yang bertujuan untuk meningkatkan perdagangan dunia melalui pengurangan hambatan tarif dan non tarif serta menerapkan pemberlakukan tarif untuk perdagangan barang. Selain itu juga untuk menata sistem perdagangan dunia agar lebih efisien dan efektif. Organisasi ini juga merupakan suatu forum negosiasi bagi para anggota untuk merundingkan kepentingan nasional masing-masing negara anggota.WTO juga sebagai badan yang memantau secara langsung perjanjian-perjanjian dalam bidang perdagangan diantara negara-negara anggotanya. Hal ini menjadi penting dalam rangka memastikan bahwa perdagangan internasional berjalan dengan semestinya berdasarkan perjanjian yang telah disepakati bersama. Selain itu, WTO juga dianggap sebagai forum dalam rangka penyelesaian sengketa perdagangan yang terjadi diantara sesama negara-negara anggotanya. Selain itu dikatakan bahwa yang menjadi tujuan dari sistem penyelesaian sengketa.WTO adalah untuk memastikan bahwa sistem perdagangan multilateral adalah suatu sistem yang diakui dan dapat diprediksi. Oleh karena itu, dalam rangka mencapai tujuan ini, sistem penyelesaian sengketa harus dapat menyelesaikan setiap sengketa yang diajukan secara adil dan dilaksanakan tanpa adanya pihak yang diutamakan. Pada akhirnya sebuah perjanjian yang dibangun atas dasar konstruksi bersama sekalipun tidak selamanya memiliki tujuan yang baik. Dibalik setiap kerjasama yang merupakan hasil konstruksi sosial masyarakat memiliki dampak negatif. Benarlah jika apa yang disebutkan oleh Alexander Wendt, bahwa dimasa globalisasi ini, konstruksi sosial itu dibangun berdasarkan oleh mereka yang kuat dari banyak sektor.Kesimpulan terakhir, bahwa sebenarnya konstruksivisme yang dapat diperlihatkan dari kasus WTO dan Indonesia ini ialah kondisi dimana satu sisi Indonesia untung namun di sisi lain mendapat kerugian yang besar pula. Kita berharap agar alangkah lebih baik jika konstruktivisme itu dibangun berdasarkan kesadaran akan saling membutuhkan dan saling ketergantungan, bukan malah menggantungkan sepenuhnya kepada sebuah organisasi demi memperoleh brand nama dari organisasi tersebut. Konstruksi sosial yang dibangun dari WTO ini ialah cenderung mengkesampingkan masyarakat Indonesia. WTO hanyalah segelintir negara yang menginginkan penyebaran Hegemoni dan pencarian daerah kekuasaan baru.

Sekian dan Terima kasih.

Page 10: Konstruktivisme Dari Sudut Politik Luar Negeri

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Hata. 2006. Perdagangan Internasional dalam Sistem GATT dan WTO: Aspek-Aspek Hukum dan Non Hukum. Refika Aditama: Bandung.

Hara, Abubakar Eby. 2010. Pengantar Analisis Politik Luar Negeri: Dari Realisme sampai Konstruktivisme. Nuansa Cendekia: Jakarta.

Kartadjoemena, H.S. 1996. GATT dan WTO. UI Press: Jakarta. Sorensen, Georg dan Robert Jackson. 2005.  Pengantar Studi Hubungan Internasional.

Pustaka Pelajar : Yogyakarta.

Internet :

http://konstruktivisme-dalam-hubungan.html/ diakses 18 desember 2011, 12:17 http://KONSTRUKTIVISME DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL« soraya.htm/

diakses 18 desember 2011 12:18 http://konstruktivisme-dalam-perspektif.html/ diakses 18 desember 2011, 17:18 http://posisi-indonesia-dan-perkembangan-perundingan-wto8.pdf/ diakses 18 desember

2011, 17:12

http://ekaprasdika.blogspot.com/2013/07/konstruktivisme-dari-sudut-politik-luar_7392.html

https://plus.google.com/108169755191107350985/posts