Kecap Ikan_Irene Okthie Ratnasari_13.70.0142_D3_UNIKA SOEGIJAPRAN1

23
Acara III KECAP IKAN LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI HASIL LAUT Disusun oleh: Nama : Irene Okthie Ratnasari NIM : 13.70.0142 Kelompok : D3 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA SEMARANG 2015

Transcript of Kecap Ikan_Irene Okthie Ratnasari_13.70.0142_D3_UNIKA SOEGIJAPRAN1

Page 1: Kecap Ikan_Irene Okthie Ratnasari_13.70.0142_D3_UNIKA SOEGIJAPRAN1

Acara III

KECAP IKAN

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM

TEKNOLOGI HASIL LAUT

Disusun oleh:

Nama : Irene Okthie Ratnasari

NIM : 13.70.0142

Kelompok : D3

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA

SEMARANG

2015

Page 2: Kecap Ikan_Irene Okthie Ratnasari_13.70.0142_D3_UNIKA SOEGIJAPRAN1

1

1. MATERI METODE

1.1. Materi

1.1.1. Alat

Alat yang digunakan dalam pratikum ini adalah blender, pisau, botol, toples, panci, kain

saring, dan pengaduk kayu

1.1.2. Bahan

Bahan yang digunakan dalam praktikum ini yaitu tulang dan kepala ikan, enzim papain

komersial, garam, gula kelapa, dan bawang putih.

1.2. Metode

Tulang dan kepala ikan dihancurkan dan dimasukkan ke dalam toples

sebanyak 50 gram

Enzim papain ditambahkan ke dalam toples dengan konsentrasi 0,2% (kelompok

D1), konsentrasi 0,4% (kelompok D2), konsentrasi 0,6% (kelompok D3),

konsentrasi 0,8% (kelompok D4); konsentrasi 1% (kelompok D5)

Page 3: Kecap Ikan_Irene Okthie Ratnasari_13.70.0142_D3_UNIKA SOEGIJAPRAN1

2

Toples diinkubasi pada suhu ruang selama 4 hari

Hasil fermentasi ditambahkan dengan air sebanyak 300 ml

Hasil fermentasi disaring menggunakan kain saring

Page 4: Kecap Ikan_Irene Okthie Ratnasari_13.70.0142_D3_UNIKA SOEGIJAPRAN1

3

Filtrat ditambahkan dengan 50 gram bawang putih, 50 gram garam,

dan 50 gram gula kelapa.

Filtrat direbus sampai mendidih sambil diaduk selama 30 menit

Setelah dingin hasil perebusan disaring

Page 5: Kecap Ikan_Irene Okthie Ratnasari_13.70.0142_D3_UNIKA SOEGIJAPRAN1

4

Dilakukan pengamatan uji sensori berupa warna, rasa, dan aroma kecap

Kecap diambil sebanyak 1 ml dan diencerkan dengan aquades sebanyak 9 ml

(pengenceran 10-1

)

Dilakukan uji salinitas kecap dengan menggunakan hand refractometer

Page 6: Kecap Ikan_Irene Okthie Ratnasari_13.70.0142_D3_UNIKA SOEGIJAPRAN1

5

Salinitas = hasil refraksi

1000 x 100%

Salinitas kecap ikan dihitung dengan menggunakan rumus:

Page 7: Kecap Ikan_Irene Okthie Ratnasari_13.70.0142_D3_UNIKA SOEGIJAPRAN1

6

2. HASIL PENGAMATAN

Hasil Pengamatan Kecap Ikan dengan Penambahan Enzim Papain dapat dilihat pada

Tabel 1.

Tabel 1. Kecap Ikan dengan Penambahan Enzim Papain

Kel. Perlakuan Warna Rasa Aroma Penampakan Salinitas (%)

D1 Enzim papain 0,2% ++++ +++++ ++ +++++ 4,00

D2 Enzim papain 0,4% +++++ ++++ ++ ++++ 3,00

D3 Enzim papain 0,6% +++ ++++ ++ +++ 3,00

D4 Enzim papain 0,8% +++ ++ ++++ + 2,50

D5 Enzim papain 1% +++ +++++ +++ + 3,50

Keterangan:

Warna : Aroma

+ : tidak coklat gelap + : sangat tidak tajam

++ : kurang coklat gelap ++ : kurang tajam

+++ : agak coklat gelap +++ : agak tajam

++++ : coklat gelap ++++ : tajam

+++++ : sangat coklat gelap +++++ : sangat tajam

Rasa Penampakan

+ : sangat tidak asin + : sangat cair

++ : kurang asin ++ : cair

+++ : agak asin +++ : agak kental

++++ : asin ++++ : kental

+++++ : sangat asin +++++ : sangat kental

Berdasarkan Tabel 1. di atas, Pada parameter warna, warna kecap ikan yang paling

gelap diperoleh pada kecap ikan dengan penggunaan enzim papain dengan konsentrasi

0,4% yaitu pada kelompok D2, sedangkan warna kecap ikan paling muda dihasilkan

pada kelompok D3-D5 yang berwarna kurang coklat gelap. Pada hasil pengamatan rasa,

rasa yang sangat asin diperoleh pada kecap ikan dengan konsentrasi papain 0,2% dan

1%; dan yang mendapatkan rasa asin adalah pada kecap ikan dengan konsentrasi 0,4%

dan 0,6%; sedangkan pada kosentrasi papain 0,8% dihasilkan kecap ikan yang kurang

asin. Pada pengamatan aroma, diperoleh aroma tajam pada konsentrasi papain 0,8%.

Dari penampakannya, kecap ikan yang sangat cair didapatkan oleh kelompok D4 dan

D5 dengan penambahan enzim papain 0,8% dan 1%. Kecap ikan yang sangat kental

didapatkan oleh kelompok D1 yang dilakukan penambahan enzim papain sebesar 0,2%.

Sedangkan dari pengukuran kadar salinitas, tingkat salinitas yang paling tinggi

didapatkan pada kelompok D1 yang menggunakan kosentrasi enzim papain 0,2%,

Page 8: Kecap Ikan_Irene Okthie Ratnasari_13.70.0142_D3_UNIKA SOEGIJAPRAN1

7

sedangkan salinitas paling rendah didapatkan pada kelompok D4, dimana %

salinitasnyasebesar2,5%.

Page 9: Kecap Ikan_Irene Okthie Ratnasari_13.70.0142_D3_UNIKA SOEGIJAPRAN1

8

3. PEMBAHASAN

Kecap ikan atau yang biasa disebut kecap asin merupakan cairan yang didapatkan dari

proses fermentasi ikan dalam larutan garam. Berdasarkan teori dari Hezayen et al,

(2010) dalam jurnal Oceanobacillus aswanensis Strain FS10 sp.an extremely

halotolerat Bacterium Isolated From Salted Fish Sauce in Aswan city,Egypt diketahui

selama terjadinya proses fermentasi kecap ikan, mikroba yang bersifat halofilik atau

halotoleran seperti jenis Torulopsis, Salinococcus, Saccharomyces, dan Pediococcus

yang merupakan mikroba tahan garam pada konsentrasi NaCl 0,32% dapat tumbuh

dan berkembang menghasilkan senyawa flavor yang khas pada kecap ikan . Sebagai

contoh menurut pendapat dari Udomsil., et al (2010) dalam jurnal Proteinase.-

producing halophilic Lactic Acid Bacteria Isolated From Fish Sauce Fermentation and

Their Ability to Produce Volatile Compound., kecap ikan yang berasal dari Thailand

yakni nam pla mengandung bakteri T. Halophilus selama proses fermentasi. Proses

pembuatan kecap ikan dapat melalui 2 tahap yakni yang pertama secara tradisional yaitu

dengan penambahan garam sebagai senyawa pengontrol mikroba dan yang kedua adalah

dengan cara hidrolisis enzimatis. Proses hidrolisis enzimatis ini merupakan yang paling

umum digunakan dalam industri pembuatan kecap ikan karena pada proses ini

ditambahkan enzim untuk mempercepat proses hidrolisis protein ikan sehingga waktu

fermentasi ikan menjadi lebih cepat. Sedangkan proses pembuatan kecap ikan secara

tradisional sendiri membutuhkan waktu yang lama berkisar 6-12 bulan.

Pada praktikum ini digunakan ikan bawal sebagai bahan utama pembuatan kecap ikan.

Dari 100 gram ikan bawal dengan 80% bagian ikan yang dapat dikonsumsi terkandung

protein sebanyak 19 gram; lemak sebanyak 1,7 gram; kalsium sebanyak 20 miligram;

fosfor sebanyak 150 miligram; zat besi sebanyak 2 miligram; vitamin A sebanyak 150

IU; dan vitamin B1 sebanyak 0,05 miligram (Sitanggang,2014). Berdasarkan

kandungan gizi ikan bawal tersebutt dapat diketahui bahwa komponen yang

mendominasi adalah protein yakni sebanyak 19 gram. Hal ini sesuai dengan pendapat

dari Ibrahim (2010) yang mengatakan bahwa syarat untuk membuat kecap ikan adalah

menggunakan bahan baku ikan yang mengandung kadar protein yang tinggi sehingga

dapat mempermudah enzim proteolitik yang ditambahkan seperti enzim bromelin dan

Page 10: Kecap Ikan_Irene Okthie Ratnasari_13.70.0142_D3_UNIKA SOEGIJAPRAN1

9

18

papain untuk memecah protein selama proses fermentasi. Adapun bagian ikan bawal

yang digunakan adalah pada bagian tulang, ekor, dan kepala, sedangkan daging ikan

digunakan untuk praktikum pembuatan surimi. Hal ini sesuai dengan pendapat dari

Hariyono, et al. (2007), bagian ikan yang tidak dapat dimakan selain daging yaitu

kepala, insang, dan tulang juga dapat dimanfaatkan untuk dijadikan produk lain, salah

satunya adalah kecap ikan yang dibuat pada praktikum ini. Tidak digunakannya organ

bagian dalam ikan disebabkan sebagaimana pendapat dari Hariyono, et al. (2007) yang

mengatakan bahwa penggunaan organ bagian dalam ikan tidak disarankan dalam

pembuatan kecap karena mengandung racun tetrodotoksin.

Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pembuatan kecap, antara lain

penggunaan konsentrasi garam, lama tidaknya proses fermentasi yang dilakukan, enzim

maupun tambahan bahan lain , kebersihan (jika alat yang digunakan tidak bersih dan

dapat dengan mudah dicemari kontaminan, maka aktivitas fermentatif dari

mikroorganisme yang diinginkan justru terhambat karena terjadinya perebutan substrat

dengan mikroorganisme kontaminan), serta kondisi selama berlangsungnya proses

fermentasi (kadar garam dan suhu) (Ibrahim,2010). Keunggulan dari kecap ikan adalah

terdapat pada proses pembuatannya yaitu bahan baku yang digunakan tidak hanya

menggunakan jenis ikan tertentu. Ikan yang sudah tidak bernilai ekonomis seperti ikan-

ikan kecil masih dapat digunakan untuk dijadikan bahan pembuatan kecap ikan. Yang

membedakan adalah jika memakai ikan yang berukuran sedang maupun berukuran

besar, maka ikan harus dibuang bagian jeroan dan insang baru kemudian ikan dicuci dan

dipotong-potong. Sedangkan jika menggunakan ikan yang berukuran kecil seperti ikan

teri maka ikan hanya cukup dicuci lalu ditiriskan (Kemal,2001). Keunggulan lain yang

dimiliki kecap ikan adalah dapat dengan mudah dicerna serta diserap pada tubuh

manusia. Hal ini disebabkan komposisi yang terdapat dalam kecap ikan berat

molekulnya rendah, dimana sifat pelarutannya sendiri dengan air hingga 90%

kelarutannya dan total nitrogen total yakni sebesar 45%. Adapun senyawa protein

utama dalam kecap ikan berupa peptida sederhana, asam amino esensial, maupun asam

amino esensial yang lengkap sehingga dengan bentuk yang sederhana tersebut akan

memudahkan proses pencernaan dan penyerapan dalam tubuh (Kasmidjo,1990).

Ditambahkan oleh Akolkar et al, (2009) dalam jurnal Halobacterium sp. SP1(1) as a

Page 11: Kecap Ikan_Irene Okthie Ratnasari_13.70.0142_D3_UNIKA SOEGIJAPRAN1

10

18

starter culture for accelerating fish sauce fermentation, asam amino esendial yang

mendominasi pada kecap ikan yaitu asam aspartat, asam glutamat, glisin, alanin, dan

serin. Sedangkan asam amino esensial yang mendominasi adalah lisin, valin, dan leusin.

Kedua jenis asam amino ini berada dalam konsentrasi yang seimbang dalam kecap ikan.

Kelemahan dari kecap ikan sendiri dapat diketahui dari metode kecap ikan yang

digunakan. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya terdapat 2 macam metode yakni

secara tradisional dan secara enzimatis. Cara tradisional sendiri memiliki banyak

kelemahan yakni penggunaan garam dalam fermentasi akan membutuhkan waktu yang

lama yakni 6-12 bulan sehingga tidak cocok dalam skala industri massal. Adapun

prinsip dari metode tradisional ini sendiri yakni penarikan komponen ikan terutama

protein oleh garam karena jumlah garam yang tinggi akan mempunyai akan mempunyai

tekanan osmotik yang besar, sehingga air ini dapat ditarik dari dalam tubuh ikan untuk

keluar. Air yang keluar tentu kaya akan gizi (protein dan mineral). Akan tetapi

pembuatan kecap ikan menggunakan metode tradisional memiliki keunggulan yakni

dengan penambahan garam, ikan akan terlindung dari kontaminasi belatung, lalat dan

yang paling utama adalah pembusukan oleh bakteri pembusuk (Astawan &

Astawan,1988).Selain itu kelemahan kecap ikan menurut Zaman et al, (2010) dalam

jurnal Occurrence of Biogenic Amines and Amines Degrading Bacteria in Fish Sauce,

kecap ikan mengandung amina yang didominasi oleh hismtamin, putresin,cadaverin,

dan tiramine. Histamin merupakan amina yang paling aktif dan dapat menyebabkan

insiden keracunan, padahal disisi lain amina ini sendiri sulit untuk dihilangkan

sekalipun dengan perlakuan panas.

Pada praktikum ini digunakan penambahan enzim papain. Enzim yang dapat digunakan

sebagai bahan pembuat kecap ikan adalah enzim proteolitik yang berfungsi

mempercepat penguraian protein, sehingga dengan metode ini kecap ikan yang dibuat

prosesnya menjadi lebih singkat yaitu sekitar beberapa hari saja. Penggunaan enzim

papain ini sesuai dengan pendapat dari Astawan & Astawan (1988) menambahkan

bahwa enzim yang paling umum digunakan dalam membuat kecap ikan yaitu enzim

Page 12: Kecap Ikan_Irene Okthie Ratnasari_13.70.0142_D3_UNIKA SOEGIJAPRAN1

11

18

protease, sebagai contoh yaitu enzim bromelin yang berasarl dari buah nanas yang

masih muda dan enzim papain yang berasal dari getah buah papaya. Kedua enzim ini

mampu membuat protein terurai menjadi peptone, peptida, dan asam amino yang saling

berinteraksi menciptakan rasa yang khas. Keuntungannya adalah waktu menjadi lebih

singkat, selain itu nilai protein yang lebih tinggi juga akan didapat. Namun, kerugiannya

kecap ikan yang dibuat dengan menggunakan bantuan enzim aroma dan rasa yang

dihasilkan tidak begitu masyarakat umum.

3.1. Pembuatan Kecap Ikan

Langkah pertama yang dilakukan dalam pembuatan kecap ikan yakni mengambil bagian

ekor, tulang, dan kepala ikan bawal. Kemudian bagian ikan tersebut dihancurkan dan

diambil 50 gram untuk tiap kelompok. Shahidi, et al. (1994) menjelaskan bahwa tujuan

dilakukannya penghancuran bahan dengan cara diblender adalah untuk agar efektivitas

ekstraksi dapat ditingkatkan karena terjadi kerusakan sel dan flavor akan mudah untuk

keluar, dimana flavor ini merupakan flavor yang khas pada kecap ikan. Senyawa

pembentuk flavor ini akan terdistribusi secara terikat di bagian air, protein ataupunpada

lemak, sehingga proses penghancuran diperlukan sebagai langkah awal. Kemudian

hancuran bagian ikan ini dimasukkan ke dalam wadah fermentasi berupa toples

berukuran 300 ml. Selanjutnya ditambahkan enzim papain komersial dengan

konsentrasi kelompok D1 ditambahkan sebanyak 0,2%; kelompok D2 ditambahkan

ebesar 0,4%; kelompok D3 ditambahkan sebanyak 0,6%; kelompok D4 dItambahkan

sebanyak 0,8%; dan kelompok D5 ditambahkan dengan enzim papain sebanyak 1%.

Menurut pendapat dari Lay (1994) enzim papain yang digunakan ini termasuk dalam

enzim protease sulfhidril golongan protein yang mampu menghidrolisis protein menjadi

komponen-komponen seperti peptone, peptida, maupun asam amino dimana ketiganya

akan berinteraksi dan menciptakan rasa kecap asin yang khas, dan mempercepat proses

fermentasi. Adapun proses tahapan yang dilakukan oleh enzim menurut Lay(1994)

adalah enzim akan membantu merusak struktur jaringan otot rangkaikan yang tersusun

oleh miofibril dimana ini merupakan protein, sehingga beberapa komponen penyusun

flavor seperti peptida, peptone dan asam amino yang akan lepas dan akhirnya berikatan

satu sama lain membentuk flavor yang khas.

Page 13: Kecap Ikan_Irene Okthie Ratnasari_13.70.0142_D3_UNIKA SOEGIJAPRAN1

12

Langkah selanjutnya yaitu dilakukan inkubasi selama 4 hari pada suhu ruang atau dapat

disebut tahapan ini merupakan tahap fermentasi. Proses ini dilakukan dengan cara

menutup wadah toples dengan rapat menggunakan isolasi. Wadah seperti yang

digunakan dalam praktikum ini yaitu berupa toples harus terjaga dalam kondisi tertutup

dengan cara ditutup dengan isolasi sehingga dapat diciptakan konsidi anaerob. Fungsi

dari penutupan wadah ini adalah untuk mempercepat proses fermentasi dan mencegah

terjadinya kontaminasi. Pada umunya, sebelum dilakukan inkubasi, bahan ditambahkan

garam terlebih dahulu. Akan tetapi dalam percobaan ini tidak dilakukan penambahan

garam. Penambahan garam bertujuan melindungi dari cemaran lalat,belatung, dan

bakteri pembusuk pada ikan. Selain tujuan tersebut, penambahan garam juga bertujuan

untuk menciptakan kondisi yang membuat mikroorganisme halofilik yaitu Torulopsis,

Saccharomyces, dan Pediococcus dapat berkembang sehingga mampu menghasilkan

flavor tertentu (Astawan & Astawan, 1988). Proses fermentasi kecap ikan yang

dilakukan pada praktikum ini sesuai dengan pendapat Astawan & Astawan (1988) yang

berpendapat bahwa proses fermentasi pada pembuatan kecap adalah 1 sampai dengan 4

hari dan jika terlalu cepat proses fermentasinya, maka aktivitas yang dilakuaknenzim

dalam menghasilkan komponen tidak dapat terlaksana, sehingga reaksi pun tidak

berlangsung, namun jika waktu fermentasi terlalu lama, maka semakin banyak enzim

yang dihasilkan, sehingga cita rasa yang terjadi menjadi kurang baik. Hal ini

dikarenakan terdapatnya hasil dari kegiatan pemecahan senyawa gizi yang mulanya

kompleks menjadi sederhana karena terdapatnya enzim yang diperoleh selama proses

fermentasi berlangsung seperti enzim amilase, lipatase, fosfatase, lipase, proteinase,

maltase,dll yang dapat mempengaruhi rasa dari kecap ikan hasil fermentasi..

Setelah melalui masa inkubasi maka toples dibuka dan ditambahkan dengan 300 ml air

keran lalu diaduk untuk menghomogenkan bahan dan disaring dengan kain saring.

Penyaringan ini bertujuan untuk memisahkan filtrat dari ampas limbah ikan. Air dalam

ikan yang dkeluarkan ini mempunyai komponen-komponen gizi yang ikut hilang

seperti protein dan mineral. Air yang sudah didapatkan (filtrat) kemudian dimasak

dengan bumbu, yang terdiri dari garam sebanyak 50 gram; bawang putih sebanyak 50

gram; serta gula yaitu jenis gula jawa dimana gula ini telah dipotong kecil hingga

didapat sebanyak 50 gram gula jawa. Pemasakan dihentikan setelah semua bahan yang

Page 14: Kecap Ikan_Irene Okthie Ratnasari_13.70.0142_D3_UNIKA SOEGIJAPRAN1

13

ditambahkan (bawang putih, gula jawa, dan garam) larut dan larutan telah mendidih

yakni kurang lebih selama 15 menit. Tujuan penambahan bahan-bahan tersebut yaitu

untuk meningkatkan aroma dan rasa dari kecap ikan sehingga menimbulkan rasa dan

aroma yang khas seperti kecap ikan pada umumnya. Fachruddin (1997) menjelaskan

bahwa gula jawa berfungsi untuk untuk mengurangi rasa asin yang berlebihan dari

garam maupun hasil fermentasi, memberik rasa yang lembut pada produk, sebagai

pengawet serta yang terpenting adalah dapat meningkatkan cita rasa, aroma, dan warna

produk yang dihasilkan dimana dalam hal ini produk yang dihasilkan yaitu kecap ikan.

Kecap ikan yang dihasilkan memiliki warna coklat karena adanya reaksi pencoklatan

atau dapat disebut reaksi maillard yang terjadi antara gula jawa yang digunakan dengan

komponen-komponen lain yang membentuk cita rasa pada kecap ikan. Selain itu, panas

selama pemasakan dapat mengakibatkan gula terkaramelisasi sehingga warna kecap

ikan menjadi coklat (Kasmidjo, 1990). Penambahan garam berfungsi untuk memberi

rasa asin, menguatkan rasa kecap ikan, dan memberi efek pengawetan pada kecap ikan

sebab garam memiliki kemampuan untuk menurunkan Aw (Water Activity),

menurunkan kelarutan oksigen, serta mengganggu terjadinya keseimbangan ion pada

sel mikroorganisme karena proton menjadi meningkat di dalam sel. Sehingga dapat

menghambat mikroba yang bersifat merusak pada kecap ikan kecap (Desrosier &

Desrosier ,1977). Penggunaan bawang putih sendiri berfungsi sebagai zat antimikroba

yang mengandung zat allicin juga bertujuan untuk membantu proses pengawetan

terhadap produk karena zat allicin efektif untuk membunuh bakteri Fachruddin (1997).

Setelah pemasakan dihentikan, kemudian kecap tersebut didiamkan agak dingin dan

disaring kembali dengan kain saring. Penyaringan ini bertujuan supaya kotoran yang

berasal dari bumbu dan ampas-ampas yang lain dapat hilang dan didapatkan kecap ikan

yang benar-benar bersih. Filtrat yang dihasilkan kemudian akan dilakukan pengujian

secara sensoris yang terdiri dari rasa, aroma, warna, dan penampakan oleh satu orang

panelis. Selain itu dilakukan uji salinitas menggunakan hand refractometer. Cara yang

dilakukan yaitu 1 ml kecap ditambahkan 9 ml aquades, kemudian baru dilanjutkan

dengan uji salinitas. Refraktometer terdiri dari 2 jenis, yaitu refraktometer Abbe dan

hand refractometer. Sedangkan yang digunakan dalam praktikum ini adalah hand

refractometer. Menurut Arpah (1993), hand refractometer ini digunakan untuk

Page 15: Kecap Ikan_Irene Okthie Ratnasari_13.70.0142_D3_UNIKA SOEGIJAPRAN1

14

mengukur kandungan total padatan terlarut (TPT). Padatan terlarut biasanya ditentukan

dengan menggunakan refraktometer pada suhu 2000C tanpa koreksi untuk keasaman.

Padatan terlarut ini dapat berupa gula, garam, dan protein. Prinsip kerja alat ini adalah

dengan menggunakan refraksi cahaya, sehingga saat pengujian dibutuhkan cahaya untuk

melihat hasilnya.

3.2. Hasil Pengamatan

Berdasarkan data hasil uji sensoris pada tabel 1 diketahui bahwa ada 4 hal yang menjadi

parameter dalam uji sensoris ini yaitu meilputi warna, rasa, aroma, dan penampakan.

Hal prtama yang akan dibahas adalah warna. Warna coklat gelap diperoleh dengan

penggunaan enzim papain sebanyak 0,4% pada kelompok D2, warna coklt gelap

diperoleh oleh konsentrasi penambahan enzim papain 0,2% pada kelompok D1,

sedangkan pada konsentrasi enzim papain 0,6%, 0,8%, dan 1% mendapatkan kecap

ikan dengan warna agak coklat gelap. Dari segi warna, warna kecap ikan yang coklat

sesuai dengan teori dari Ibrahim (2010) yang mengungkapkan bahwa warna dari kecap

ikan adalah coklat. Warna coklat ini didapatkan karena beberapa faktor. Faktor yang

utama, menurut teori Kasmidjo (1990), disebabkan karena adanya reaksi pencoklatan

atau yang dapat disebut reaksi maillard antara gula jawa dengan beberapa komponen

pembentuk citarasa lainnya. Selain itu, menurut Astawan & Astawan (1988), aktivitas

enzim proteolitik yang berlangsung didalam tubuh ikan dapat menyebabkan cairan yang

terbentuk lebih berwarna coklat, sehingga semakin banyak enzim yang ditambahkan,

maka warna akhirnya akan semakin coklat gelap. Panas dalam proses pemasakan dapat

menyebabkan terjadinya suatu proses yaitu proses karamelisasi gula, warna

campuranpun akan menjadi coklat. (Shahidi et al 1994). Berdasarkan hasil pengamatan

dari segi warna, terjadi ketidaksesuaian dengan teori dimana semakin besar konsentrasi

papain justru waran yang dihasilkan kurang coklat, sedangkan kecap ikan yang

ditambahkan konsentrasi papain rendah yakni 0,2% dan 0,4% justru warna kecap yang

dihasilkan cenderung coklat gelap. Seharusnya ketika konsentrasi enzim papain yang

ditambahkan semakin banyak, maka warna dari kecap ikan akan semakin gelap.

Ketidaksesuaian ini dapat dikarenakan suhu dan lama pemanasan yang berbeda tiap

kelompok, sehingga dapat disimpulkan kelompok yang menghasilkan warna kecap ikan

coklat gelap pada konsentrasi papain yang rendah sewaktu pemasakan menggunakan

Page 16: Kecap Ikan_Irene Okthie Ratnasari_13.70.0142_D3_UNIKA SOEGIJAPRAN1

15

suhu yang tinggi dan waktu pemanasan yang lama. Selain itu juga dapat disebabkan

banyaknya penambahan gula jawa antar kelompok yang tidak sama sehingga kelompok

yang menambahkan gula jawa terlalu banyak akan menghasilkan warna kecap ikan

yang lebih gelap .

Dari hasil uji sensori segi rasa, rasa sangat asin didapatkan oleh kelompok D1 dan D5

dengan konsentrasi enzim papain berturut-turut adalah 0,2% dan 1%. Data yang

dihasilkan dari kelompok D5 dengan konsentrasi papain tertinggi tersebut sesuai dengan

teori Astawan & Astawan (1988) yang menyatakan bahwa ketika jumlah enzim papain

yang ditambahkan semakin meningkat, maka enzim yang diguanakan untuk memecah

protein yang pada tubuh ikan juga akan makin besar, sehingga proses fermentasi akan

berjalan dengan lebih sempurna. Proses fermentasi yang sempurna akan menimbulkan

protein yang menghasilkan senyawa-senyawa yang mampu pembentuk cita rasa, seperti

amilase, maltase, fosfatase, lipase, dan proteinase dalam jumlah yang semakin banyak.

Keberadaan senyawa-senyawa itulah yang akan menghasilkan kecap ikan dengan rasa

yang kuat, sehingga pada kecap ikan dengan penambahan enzim papain konsentrasi

tertinggi yaitu 1%, tingkat rasa asin yang diperoleh paling tinggi (paling asin). Akan

tetapi hal ini tidak sesuai dengan kelompok D1 dengan konsentrasi papain terendah

justru menghasilkan rasa yang sangat asin. Tidak sesuainya teori dan hasil praktikum

dapat disebabkan karena beberapa faktor. Menurut Astawan & Astawan (1988), rasa

kecap ikan dipengaruhi oleh penambahan bumbu atau rempah-rempah lainnya yang

berfungsi untuk meningkatkan aroma dan cita rasa pada produk akhir yang dihasilkan,

sehingga ketika penambahan bumbu tiap kelompok tidak sesuai dengan yang

seharusnya yakni 50 gram garam maka akan memberikan rasa yang berbeda. Dari segi

penampakan terlihat bahwa kecap ikan dengan penambahan enzim yang tinggi yakni

0,8% dan 1% menghasilkan penampakan kecap ikan yang sangat cair. Hal ini sesuai

dengan pernyataan Astawan & Astawan (1988) yang menyatakan bahwa enzim papain

akan menguraikan protein menjadi peptida, pepton, dan asam amino, dimana proses

penguraian akan menurunkan viskositas, sehingga kecap ikan menjadi lebih cair.

Dari segi aroma, kelompok D4 dan D5 yang menggunakan enzim papain konsentrasi

0,8% dan 1 % menghasilkan kecap asin berturut-turut tajam dan agak tajam. Menurut

Page 17: Kecap Ikan_Irene Okthie Ratnasari_13.70.0142_D3_UNIKA SOEGIJAPRAN1

16

Jiang et al (2008) dalam jurnal Analysis of Volatile Compounds in Traditional Chinese

Fish Sauce (Yu Lu), aroma atau bau dari kecap ikan merupakan campuran dari senyawa

amoniak, cheesy, meaty (berbau daging) yang berasal dari hidrolisis protein dan

oksidasi lemak. Bau amoniak diproduksi dari amonia,amina, dan komponen nitrogen

lainnya. Bau cheesy berasal dari senyawa volatil asam lemak. Komponen volatil dari

kecap ikan walaupun sama proses produksinya akan tetapi memiliki perbedaan pada

intensitasnya seperti pada kecap ikan yang berasal dari Thailand (nam pla) terdapat 43

macam senyawa volatil. Menurut Kasmidjo (1990) bumbu yang ditambahkan dapat

mempengaruhi flavor yang spesifik pada kecap asin. Afrianto & Liviawaty (1989)

menambahkan bahwa proses penguraian protein dengan bantuan enzim protease akan

membentuk komponen protein yang terdiri dari pepton, peptida, dan asam amino yang

saling berinteraksi satu sama lain dan menciptakan aroma yang khas. Sehingga dengan

semakin kuat sifat proteolitik dan semakin meningkatnya konsentrasi dari enzim, maka

aroma amis dari kecap ikan akan menjadi semakin tajam.Data hasil praktikum

sebenarnya sudah sesuai dengan teori tersebut akan tetapi pada kelompok D1, D2, dan

D3 justru aroma yang dihasilkan cenderung sama. Ketidaksesuaian antara teori dengan

hasil dari praktikum dapat terjadi dikarenakan uji sensoris yang dilakukan bersifat

subjektif. Hal ini sesuai dengan pernyataan Aitken, et al. (1982) bahwa metode sensoris

memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya adalah dapat diaplikasikan

pada semua produk, tidak membutuhkan fasilitas laboratorium lengkap, cepat, tidak

merusak sampel untuk diolah lebih lanjut, dan sesuai dengan kriteria evaluasi yang

mampu diterima oleh konsumen, sedangkan kekurangannya adalah sulit untuk

distandarisasi karena penilaian bersifat subjektif. Selain itu proses pembuatan kecap

ikan melalui proses enzimatis relatif cepat, namun mutu kecap ikan yang dihasilkan dari

penambahan enzim papain lebih rendah daripada mutu kecap ikan yang dibuat secara

tradisional. Hal ini terjadi karena pada proses penguraian protein dengan bantuan enzim

papain yang akan membentuk senyawa peptida tertentu, sehingga menimbulkan rasa

pahit dan bau kurang sedap. Hal ini juga dapat membuat ketidaksesuaian hasil

pengujian sensoris yang telah dijelaskan diatas.

Page 18: Kecap Ikan_Irene Okthie Ratnasari_13.70.0142_D3_UNIKA SOEGIJAPRAN1

17

Berdasarkan hasil pengujian salinitas, kadar salinitas pada masing-masing kelompok

berbeda-beda dan mengalami fluktuasi, dimana kadar salinitas tertinggi didapatkan pada

kecap ikan dengan penambahan enzim papain 0,2%, yaitu sebesar 4%, sedangkan pada

kecap ikan dengan penambahan enzim papain 0,8% kadar saliniatasnya terendah, yaitu

sebesar 2,5%. Hal ini tidak sesuai dengan teori dari Astawan & Astawan (1988) yang

mengungkapkan bahwa semakin banyak enzim papain yang ditambahkan, maka akan

membuat proses fermentasi berjalan lebih sempurna dan menghasilkan cita rasa yang

kuat, oleh karena itu dikatakan bahwa yang seharusnya memiliki rasa paling asin adalah

kecap ikan pada konsentrasi pemberian enzim papain adalah 1%, dan seharusnya kadar

salinitas pada kecap ikan yang paling tinggi adalah pada kecap ikan dengan pemberian

enzim papain 1%. Salinitas sendiri memiliki keterkaitan dengan hasil sensoris rasa yaitu

saling berbanding lurus, dimana semakin tinggi kadar salinitasnya, maka semakin tinggi

pula tingkat rasa asin, namun pada praktikum kali ini, hasil sensoris rasa dengan kadar

salinitas kelompok D2, D3, D4, dan D5 tidak berbanding lurus. Ketidaksesuaian ini

dapat terjadi karena proses pemanasan dengan waktu dan suhu yang berbeda, sehingga

akan mengakibatkan reaksi kimia yang berbeda pula, serta uji sensoris yang dilakukan

tidak sesuai dikarenakan bersifat subjektif. Selain itu, pembacaan alat dengan hand

refractometer oleh panels yang tidak sesuai juga dapat membuat bias pembacaan,

sehingga mempengaruhi kadar salinitas.

Page 19: Kecap Ikan_Irene Okthie Ratnasari_13.70.0142_D3_UNIKA SOEGIJAPRAN1

18

4. KESIMPULAN

Kecap asin merupakan cairan yang didapatkan dari proses fermentasi ikan dalam

larutan garam.

Mikroba halofilik seperti jenis Torulopsis, Salinococcus, Saccharomyces, dan

Pediococcus yang merupakan mikroba yang tumbuh selama fermentasi kecap ikan.

Syarat bahan baku kecap ikan yaitu ikan yang mengandung kadar protein yang

tinggi seperti pada ikan bawal.

Faktor yang dapat berpengaruh pada pembuatan kecap ikan, yaitu konsentrasi

garam yang ditamabahkan, lamanya proses fermentasi, penambahan enzim dan

bahan lain, kebersihan, serta kondisi selama proses fermentasi (kadar garam dan

suhu).

Enzim papain yang dapat digunakan sebagai bahan pembuat kecap ikan adalah

enzim proteolitik yang berfungsi untuk mempercepat penguraian protein.

Faktor utama yang menyebabkan warna coklat pada kecap ikan adalah adanya

reaksi maillard antara gula jawa dengan beberapa komponen pembentuk citarasa

lainnya.

Konsentrasi tertinggi pada enzim papain yaitu 1%, mendapatkan tingkat rasa asin

yang diperoleh paling tinggi (paling asin).

Penggunaan bumbu yang ditambahkan bisa memberikan pengaruh pada flavor

spesifik kecap ikan yang dihasilkan .

Semarang, 26 Oktober 2015 Asisten Dosen :

Praktikan, - Michelle Darmawan

Irene Okthie Ratnasari

(13.70.0142)

Page 20: Kecap Ikan_Irene Okthie Ratnasari_13.70.0142_D3_UNIKA SOEGIJAPRAN1

19

5. DAFTAR PUSTAKA

Afrianto, E. dan Liviawaty. (1989). Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Kanisius.

Yogyakarta.

Aitken, A.; I. M. Mackie; J. H. Merrit & M. L. Windsor. (1982). Fish Handling and

Processing 2nd Edition. Ministry of Agriculture, Fisheries, and Food. USA.

Akolkar, A.V., D. Durai and A.J. Desai.(2010). Halobacterium sp. SP1(1) as a starter

culture for accelerating fish sauce fermentation. The Society for Applied

Microbiology, Journal of Applied Microbiology 109 44–53

Arpah, M. (1993). Pengawasan Mutu Pangan. Tarsito. Bandung.

Astawan M.W. & M.W. Astawan. (1988). Teknologi Pengolahan Pangan Hewani Tepat

Guna. Akademika Pressindo. Jakarta.

Desroisier, N. W. (1977). The Technology of Food Preservation. AVI Publishing

Company. Connecticut.

Distantina, S. ; Wiratni; Moh. Fahrurrozi; and Rochmadi. (2011). Carrageenan

Properties Extracted From Eucheuma cottonii, Indonesia. World Academy of

Science, Engineering and Technology 54 : 738-742.

Fachruddin, L. (1997). Membuat Aneka Selai. Kanisius. Yogyakarta

Hariyono, I; Yeap S.E; Kok T.N; dan Ang G.T. (2005). Use of Koji and Protease in

Fish Sauce Fermentation.J Pri Ind 32: 19-29 2005/06. Singapore.

Hezayen, Francis F., Magdi A.M. Younis, Naura S.A. Hagaggi And Mohamed S.A.

Shabeb.(2010).Oceanobacillus aswanensis Strain FS10 sp.nov., an Extremely

Halotolerant Bacterium Isoalted from Salted Fish Sauce in Aswan City, Egypt.

Global journal of moleculer science 5(1): 01-06

Ibrahim, S. M. (2010). Utilization of Gambusia (Affinis affinis) For Fish Sauce

Production. Turkish Journal of Fisheries and Aquatic Sciences 10: 169-172.

Jiang, Jin- Jin, Qing- Xiao Zeng & Zhi-Wei Zhu. (2008). Analysis of Volatile

Compounds in Traditional Chinese Fish Sauce (Yu Lu). Springer Science +

Business Media, LLC.

Kasmidjo, R. B. (1990). Tempe: Mikrobiologi dan Biokimia Pengolahan serta

Pemanfaatannya. PAU UGM. Yogyakarta.

Page 21: Kecap Ikan_Irene Okthie Ratnasari_13.70.0142_D3_UNIKA SOEGIJAPRAN1

20

Kemal, Talwiyah.2001. Kecap Ikan Teknologi Tepat Guna Agroindustri Kecil Sumatera

Barat, Hasbullah,Dewan Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Industri Sumatera

Barat.http://www.warintek.ristek.go.id/pangan/ikan,%20daging,%20telor%20d

an%20udang/kecap_ikan.pdf. Diakses tanngal 25 Oktober 2015 pukul13.20

WIB.

Kurniwan, Ronny. 2008. Pengaruh Konsentrasi Larutan Garam dan Waktu Fermentasi

Terhadap Kualitas Kecap Ikan Lele. Jurnal Teknik Kimia Volume 2 No 2.

Diakses tanggal 25 Oktober 2015 pukul 10.15 WIB.

Lay, B. W. (1994). Analisis Mikroba dalam Laboraturium. PT Raja Grafindo Persada.

Jakarta.

Lee, J.M. 1992.Biochemical Engineering. New Jersey: Prentice Hall

Saleh, M ; A. Ahyar ; Murdinah ; dan N. Haq. (1996). Ekstraksi Kepala Udang Menjadi

Flavor Udang Cair. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol. II, No.1, hal 60-

68.

Sangjindayvong, Mathana; Juta Mookdasanit, Pongtep Wilaipun, Pranisa Chuapoehuk

and Chamaiporn Akkanvanitch. (2009). Using Pineapple to Produce Fish

Sauce from Surimi Waste. Kasetsart J. (Nat. Sci.) 43 : 791 – 795.Shahidi, F. &

J.R. Botta. (1994). Seafoods: Chemistry, Processing, Technology & Quality.

Chapman & Hall. USA.

Udomsil, Natteewan, Sureelak Rodtong, Somboon Tanasupawat and Jirawat

Yongsawatdigul. (2010). Proteinase-producing halophilic lactic acid bacteria

isolated from fish sauce fermentation and their ability to produce volatile

compounds. International Journal of Food Microbiology (141)186–194.

Zaman,Muhammad Zukhrufuz; Fatimah abu Bakar, Jinap Selamat and Jamilah

Bakar.2010.Occurrence of Biogenic Amines and Amines Degrading Bacteria

in Fish Sauce. Czech J. Food Sci Vol. 28, 2010, No. 5: 440–449.

Page 22: Kecap Ikan_Irene Okthie Ratnasari_13.70.0142_D3_UNIKA SOEGIJAPRAN1

21

6. LAMPIRAN

6.1. Perhitungan

Rumus:

(%) =

1000 100%

Kelompok D1

Hasil pengukuran = 40

(%) =40

1000 100% = 4 %

Gram Papain :

0 2 % = 0 2

100 50 = 0 1

Kelompok C2

Hasil pengukuran = 30

(%) =30

1000 100% = 3 %

Gram Papain :

0 4 % = 0 4

100 50 = 0 2

Kelompok C3

Hasil pengukuran = 30

(%) =30

1000 100% = 3 %

Gram Papain :

0 6 % = 0 6

100 50 = 0 3

Kelompok C4

Hasil pengukuran = 25

Page 23: Kecap Ikan_Irene Okthie Ratnasari_13.70.0142_D3_UNIKA SOEGIJAPRAN1

22

21

(%) =25

1000 100% = 2 5 %

Gram Papain : 0 % =

50 = 0 4

Kelompok C5

Hasil pengukuran = 35

(%) =35

1000 100% = 3 5 %

Gram Papain :

1 % = 1

100 50 = 0 5

6.2. Laporan Sementara

6.3. Diagram Alir

6.4. Abstrak Jurnal