Jurnal Reading
-
Upload
laila-khairina-rindera -
Category
Documents
-
view
39 -
download
7
Transcript of Jurnal Reading
JURNAL READING
MANAGEMENT GANGREN FOURNIER
Oleh :
Laili Khairani
H1A007033
Pembimbing:
dr. H. Arif Zuhan, Sp.B
DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN
KLINIK MADYA BAGIAN/SMF BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM/RSUP NTB
2012
1
BAB I
JURNAL I
Menejemen Gangren Fornier
Abstrak
Gangrene Fornier adalah infeksi langka yang ditandai dengan cepat berkembangnya
myonecrosis, yang mempengaruhi daerah-daerah seperti perineum, alat kelamin dan perianal.
Studi retrospektif ini menyajikan pengalaman penulis dan prinsip mereka dalam mendiagnosis
dini dan mengobati gangrene Fornier ini. Tujuan dari makalah ini adalah untuk menunjukkan
berbagai diagnosis dan kesulitan dalam menterapi yang sampai mengarah pada tingginya angka
kematian jika tidak memperhatikan waktu. Kami disini menggambarkan tujuh pasien laki-laki
dengan myonecrosis dan necrotizing fasciitis di daerah skrotum, perianal dan perineum. Rata-
rata usia yang didapatkan adalah 61 tahun (dari usia 57 sampai 66 tahun), dan rata-rata lama
perawatan adalah 25,8 hari (dari 14 sampai 38 hari), dengan angka kematian 14% (satu kasus).
Yang telah kami akui bahwa diabetes mellitus sebagai factor resiko, bersamaan dengan
uretrostenosis dan penyakit lain yang berada pada daerah perianal (hemoroid, fisura anus, dan
abses). Hipotesis kami adalah bahwa kunci dari keberhasilan pengobatan adalah memenejemen
sesegera mungkin setelah onset gejala, tahap dini dan necrectomy yang aggressive serta
diberikan perlindungan antibiotic spectrum luas.
Pendahuluan
Gangrene Fornier adalah infeksi langka yang ditandai dengan perkembangan
myonecrosis secara cepat, yang mempengaruhi daerah-daerah seperti perineum, alat kelamin dan
perianal. Hal ini lebih umum pada pria, antara usia 40 dan 70 tahun, dan jarang terjadi pada
wanita, tetapi juga telah dijelaskan dapat terjadi pada anak-anak berusia kurang dari 15 tahun.
2
Namun keadaan ini ditandai dengan angka kematian yang tinggi, terutama apabila didiagnosis
pada tahap akhir dari penyakit ini.
Ada dua jalur dalam penyebaran penyakit ini. Pertama dari saluran cerna, biasanya dari
daerah anorektal (abses) setelah dilakukan operasi hemoroid, trauma pada rectum dan lain
sebagainya. Yang kedua adalah dari saluran urogenital setelah penggunaan kateter jangka
panjang, periueretritis, dilatasi dengan alat pada stenosis uretra. Factor-faktor yang
mempengaruhi onset perbaikan pada semua varian dari penyakit ini adalah diabetes mellitus,
alkoholisme, defisiensi imunologi, penyakit keganasan, insufisiensi ginjal dan hati. Pathogenesis
dari penyakit ini masih belum diketahui secara pasti. Infeksi dapat terjadi pada fasia genitalia
(Buck dan Dartos), fasia perineum (Colles), serta fasia dinding abdomen (Scarpa), dari segala
arah, bahkan bisa mencapai hingga ketiak. Meskipun terbukti bahwa sinergisme dari adanya
mokroorganisme dalam perkembangan infeksi ini, biasanya dilakukan hemokultural yang
bernilai negative. Bakteri yang umum ada yaitu E. coli, pseudomonas aeroginosa, streptococcus
putridis, staphylococcus, klabsiela, tetapi juga beberapa bakteri anaerob seperti Bakteriodes,
Clostridium perfringens dan Bacillus fragilis.
Infeksi dimulai dari tampakan di bawah kulit yang normal. Meskipun gejalanya adalah
kemerahan, dan edema dari kulit skrotum dan perineum (dan kadang-kadang dari penis),
gejalanya juga dapat menjadi berlainan. Hal ini lebih sering pada kasus dimana terdapat abses
yang sangat tersembunyi (seperti abses iskhiolateral) yang dapat diamati. Suspek diagnosis dapat
berdasarkan gejala klinis yang tejadi hingga 80% dari kasus.
Pasien dan Metode
Dari periode tahun 1997 sampai 2000, ditemukan total 7 pasien. Mereka berusia antara
57 dan 66 tahun (rata-rata 61 tahun). Semua pasien adalah laki-laki. Tiga diantaranya memiliki
diabetes mellitus. Pada tiga pasien ditemukan nekrosis pada daerah skrotum, dan empat didaerah
perianal. Selain diabetes, kami juga mencatat factor resiko lain: uretrostenosis (2 pasien),
hemoroid (1 pasien), abses iskiorektal (1 pasien), sementara pada satu pasien tidak ditemukan
factor resiko.
3
Hasil
Pada pasien dengan penyebaran penyakit perianal, kami mendapatkan yang disebut
nekrosis anular hitam (Black Spot) dimana pada peradangan telah menyebar cepat sampai lebih
dalam lapisan jaringan. Diantara agen penular didapatkan Streptokokus β-hemolitikus,
Enterococus Faecalis, Pseudomonas Erogenosa dan Proteus yang terisolasi, tetapi juga
ditemukan campuran flora bakteri. Dari bakteri anaerob, kami juga menemukan Basilus Fragilis
dan Clostridium Perfringens secara umum.
Lamanya gejala sebelum masuk itu mulai dari 3 sampai 9 hari (rata-rata 5,4). Beberapa
pasien harus diobati dengan necrectomy luas yang pada umumnya anestesi diulang setiap hari,
sampai tercapainya keadaan yang memusakan tanpa infeksi yang nyata. Dari tiga pasien kami
menggunakan insisi dan drainase pada fase awal pengobatan, dan kemudian pada proses
pengobatan kami juga menggunakan necrectomy. Kami biasanya menggunakan terapi antibiotic
gabungan, menggunakan beberapa antibiotic, karena mixed infeksi.
Dari empat pasien yang kami lakukan rekonstruksi dengan menghancurkan jaringan pada
skrotum dan perineum (menggunakan jahitan sekunder) tanpa transplantasi, sedangkan dua kasus
yang lain pada seluruh area mengalami re-epitelisasi secara spontan. Penutupan dari kecacatan
dengan menggunakan kulit besar yang dapat dipindahkan tidak perlu dilakukan. Pengobatan
berlangsung rata-rata 25,8 hari, mulai dari 14 sampai 36 hari. Kami harus melakukan
orkidektomi pada satu pasien, karena peradangan yang dimiliki mencapai testis. Pada pasien
dengan peradangan daerah perianal dan perineal, dilakukan insisi yang luas, eksisi jaringan
nekrotik yang preformed, dan kami berhasil mempertahankan fungsi sfingter. Satu pasien
meninggal, sementara enam pasien dipulangkan dalam keadaan sembuh. Oksigenasi hiperbarik
tidak dipertimbangkan. Pada satu pasien kami harus melakukan kolostomi, dan pada suatu
kolostomi suprapubik lainnya terkadang dibutuhkan.
4
Diskusi
Penyakit ini merupakan penyakit langka yang ditandai dengan angka kematian yang
tinggi, bekisar antara 7 sampai 75%. Pada kali ini, hanya satu pasien (14,3%) meninggal pada
kondisi ini. Di lain studi, diabetes mellitus adalah kondisi paling umum yang terkait dengan
gangrene Fournier, sampai dengan 55,6% kasus. Meskipun sangat jarang, telah dijelaskan dapat
terjadi pada wanita dan anak-anak.
5
Meskipun teori yang telah dikenal dan diterima penyebaran infeksi dari intravaskuler
dengan melenyapkan endarteritis hipoksia pada sekitar pengembangan pembentukan nekrosis
dengan kuman anaerob, gangrene Fournier masih memiliki entitas yang jelas. Dari semua studi
yang tersedia secara deskriptif didapatkan mikroorganisme penyebab terjadinya infeksi yang
paling banyak berupa mikroorganisme anaerob, hal ini mengakibatkan meningkatnya
penggunaan antibiotic dalam pengobatan. Pande dan Mewara mencatat terdapat penurunan
frekuensi infeksi perineum pada periode tahun 1938-1975, yang disebabkan oleh penggunaan
antibiotic secara luas, dan perawat rumah sakit yang lebih baik.
6
Rea dan Wyrick menekankan pentingnya periode waktu, antara terjadinya infeksi dan
pengobatan secara dini, didapatkan bahwa dengan hal tersebut banyak pasien terselamatkan,
setelah diberikan pengobatan dalam waktu 4 hari sejak awal infeksi, sedangkan pada pasien yang
telah meninggal pengobatan dimulai pada hari ke-7 dari infeksi. Hasil yang sama didapatkan
juga oleh penulis yang lainnya. Pasien kami mengakui pada hari ke-5 (rata-rata) sejak awal
infeksi. Semua pasien mengeluhkan nyeri yang sangat, hal ini juga diamati oleh penulis yang
lainnya.
Prosedur diagnosis yang berguna bagi kami untuk memberikan informasi adalah USG
dan computed tomography, sedangkan nekrosis dan infeksi supuratif didiagnosis dengan biopsy
aspirasi. Hasil positif dari terapi pada enam pasien adalah efek dari terapi bedah secara agresif,
menggunakan sayatan, drainase dan necrectomy yang disertai dengan pengobatan antibiotic.
Pada waktu Fournier, penyakit ini dianggap menjadi idiopatik. Sampai saat ini kita
mengetahui penyebabnya, dan biasanya dengan cepat dapat dibedakan apakah asal infeksi adalah
saluran pencernaan atau urogenital. Sebagai contoh dari pasien terakhir kami menunjukkan
kemungkinan perkembangan penyakit ini yang jarang dan berat yaitu dari fisura anus yang
sederhana. Ini menunjukkan, bahwa pemeriksaan klinis awal pada pasien dengan nyeri dan
tanda-tanda infeksi pada daerah perineum adalah sangat penting, dan bahkan walaupun tampakan
inflamasi yang tidak mengkhawatirkan.
Kami juga ingin menyebutkan bahwa dari beberapa makalah menggambarkan penerapan
obat-obatan dan zat aditif lainnya, sebagai kemungkinan penyebab infeksi yang mengarahkan ke
gangren Fournier, dan juga pasien dengan hepatitis yang diinduksi alcohol dapat mempengaruhi.
Berbagai penulis melaporkan factor resiko tambahan yang mempercepat perjalanan penyakit ini
serta mempersulit terapi, seperti diabetes mellitus, penyalahgunaan alcohol dan obat-obatan,
oligophrenie, pasien dengan adanya dekubitus dan defisiensi imunologi.
Sepanjang literature yang telah dicatat, bahwa semua penulis menyarankan pengobatan
secara dini dan agresif. Menggunakan pendekatan seperti pada sebagian besar pasien kami, yang
harus kami berikan terapi rata-rata selama 25,8 hari. Morgan, dkk. Menekankan bahwa aplikasi
antigen serum, diantara efek lainnya, dapat menghilangkan bau yang tak enak dari jaringan
7
nekrotik, seperti yang didapatkan dari satu pasien yang diperoleh dari gangrene Fournier berupa
dekubitus sacrum.
Masalah seperti penurunan urine dari cystostomi, atau tinja dari kolostomi, merupakan
suatu yang controversial dan ditangani secara berbeda dari beberapa protocol pengobatan, dan
kami menemukan bahwa hal ini harus diaplikasikan sesuai dengan kondisi dari individu pasien
tersebut.
Sejak adanya pasien kami yang meninggal diakui terjadi keterlambatan dalam perjalanan
penyakit, 9 hari dari onset infeksi, pembentukan abses iskiorektalis, kami mendapatkan bahwa
keterlambatan dalam terapi pembedahan adalah penyebab utama dari kematian. Kasimpulan ini
didasarkan atas beberapa kasus serupa yang telah dilaporkan dalam literature dimana hasil
pengobatan dari gangrene Fourien akan lebih buruk pada pasien yang lebih tua, persentasinya
naik hingga 60%. Kemungkinan kekambuhan dari kondisi ini bahkan beberapa tahun setelah
pengobatan dapat terjadi.
8
BAB II
JURNAL II
Penanganan Fournier’s Gangrene dengan Teknik
Bebat Tertutup Tekanan Negatif (Bebat VAC)
Kepada Editor,
FG adalah kondisi gawat darurat bedah.Tatalaksana terdiri atas pemberian resusitasi
cairan, antibiotic spectrum luas secara IV, dan konsultasi bedah segera untuk dilakukan
debridement dan drainase.
Masalah yang sering timbul pada FG adalah timbulnya defect/lesi yang luas setelah
dilakukan operasi debridement dan drainase. Umumnya lesi ini ditangani dengan pemasangan
bebat/kompres luka yang diganti setiap hari dan luka/lesi dibiarkan sembuh sendiri. Kondisi ini
menyebabkan lamanya perawatan di rumah sakit memanjang hingga beberapa minggu untuk
menunggu penutupan luka sekunder. Pada beberapa pasien, penutupan lesi/luka dengan cara
donor kulit pernah coba dilakukan, tetapi teknik inipun tidak cukup praktis karena membutuhkan
beberapa kali operasi dan selain itu juga memiliki resiko terjadinya kegagalan donor.
Berikut ini laporan kasus pasien dengan FG yang telah menjalani operasi drainase dan
debridement dengan lesi sisa yang cukup besar dan ditangani dengan Bebat/kompres tertutup
bertekanan negatif (VAC dressing).
Presentasi Kasus dan Penjelasan Klinis
Pasien laki-laki, usia 30 tahun, penderita DM dan dirujuk oleh dokter umum yang
merawatnya dengan keluhan berupa bengkak dengan masa kenyal/empuk pada daerah skrotum 9
dan region perianal sinistra sejak dua hari lalu disertai demam yang tidak membaik dengan terapi
Atibiotik oral.
Dari hasil pemeriksaan fisik didapat pasien sadar baik tetapi tampak septik dan febris.
Pemeriksaan abdomen dalam batas normal. Terdapat area luas indurasi yang teraba lunak
didaeraah sekitar perineum dan skrotum sinistra yang melebar hingga ke bagian bawah dinding
abdomen sinistra. Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukan peningkatan jumlah hitung
leukosit (14,38 x 10^9/L) dengan peningkatan hitung neutrophil (10,78x10^9/L). Protein serum
C reactive juga mengalami peningkatan (279mg/L).pemeriksaan elektrolit dan urine lengkap
dalam batas normal.
Dari hasil diatas, ditegakan diagnosis FG. Setelah itu, pasien mulai diberikan terapi
Antibiotik sistemik yang diberikan IV dan segera dilakukan operasi debridement dan dainase.
Penemuan intraoperative menunjukan adanya abses pada daerah ischiorectal seluas 15x10cm
yang meluas hingga skrotum dan dasar penis serta subfacial plane dan region fossa iliaka
sinistra. Insisi dan drainase abses dilakukan dan bagian yang nekrotik didebridement. Hasil
postoperasi menyisakan lesi berupa kavitas seluas 12x4cm yang tidak dapat tertutup secara
primer. Untuk penyembuhan lesi, dilakukan pemesangan VAC dressing dengan tekanan negative
diseting sebesar 125 mmHg.
Setelah operasi pasien dalam keadaan baik dan suhu kembali normal. Selama perawatan
control gula darah cukup memuaskan. Debridement dan pemeriksaan luka/lesi dilakukan
kembali diruang operasi dengan anastesi pada hari ke-5 dan ke-8 setelah operasi awal. Pada saat
itu juga dilakukan penggantian bebat/kompres VAC. Hasil pemeriksaan lesi menunjukan proses
penyembuhan berjalan cukup memuaskan. Terbukti dengan ditemukannya jaringan granulasi
yang mulai terbentuk di dasar luka.Pengantian Bebat VAC dilakukan kembali pada hari ke-12
dan didapat lesi luka sudah mengecil sebesar 10x12cm.
Hasil kultur dari luka menunjukan infeksi oleh banteri S.aureus resisten Methicillin, E.
coli dan Klebsiella. Regimen antibiotic disesuaikan dengan jenis kuman dan setelah 7 hari pasca
operasi awal pemberian antibiotic IV diganti menjadi pemberian peroral.
10
Pada hari ke-21 post operasi awal, dilakukan pelepasan bebat VAC dan didapat luka
sudah tertutup sempurna. Luka terlihat bersih dan pasien dipulangkan dalam keadaan baik.
Diskusi
FG ditatalaksana, setelah dilakukan debridement yang ekstensive, dengan bebat luka
regular dan dibiarkan untuk mengalami penyembuhan sekunder. Tetapi, lesi yang luas
memerlukan waktu yang panjang untuk dapat sembuh total dengan resiko infeksi sekunder bila
Bebat/kompres luka tidak diganti secara teratur. Masalah utama terletak pada lokasi lesi yang
berada didaerah perianal dimana daerah ini sulit untuk dipertahankan higienitasnya karena
terpapar oleh urine dan feses secara langsung yang kemungkinan besar dapat mengontaminasi
lesi menyebabkan infeksi sekunder yang dapat mengganggu proses penyembuhan luka.
Pemesangan bebat VAC diperkenalkan pertama kali pada tahun 1997 oleh Argeta dan
Morykwas. Sejak itu, banyak laporan mengenai efektifitas dalam membantu proses
penyembuhan pada luka terbuka, mengurangi waktu yang diperlukan untuk proses
penyembuhan/penutupan luka dan meningkatkan keberhasilan donor kulit. Untuk kasus lesi di
daerah colorectal, selain dari lesi yang disebabkan FG, terapi ini juga digunakan pada lesi
pilonidal, Ulkus decubitus disekitar perineum dan fistula enterocutaneus.
Berdasar penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa teknik bebat VAC cukup efektif
untuk menangani lesi perianal yang luas dan kompleks. Dengan menggunakan teknik ini, dapat
dicegah terjadinya perembesah eksudat dan cairan luka sehingga perawatan luka menjadi lebih
mudah. Segel kedap udara mencegah kontaminasi feses dan urine kedalam luka, sehingga dapat
mempercepat proses penyembuhan luka. Selain itu bebat VAC memungkinkan drainase lesi yang
efektif bahkan pada lesi yang dalam, dan pada beberapa kasus dapat menghindari untuk
membuat lesi lebih luas yang mungkin diperlukan untuk mendapat drainase yang lebih baik.
Bebat luka tradisional memerlukan pergantian bebat setiap hari. Hal ini dapat
menyebabkan nyeri dan meningkatnya ketidaknyamanan pasien serta merepotkan staff medis.
Disis lain, bebat VAC hanya membutuhkan pergantian setiap 48-72jam. Sehingga jumlah
penggantian bebat pada pasien berkurang. Hal ini tentu saja dapat mengurangi rasa
ketidaknyamanan pada pasien dan mengurangi beban kerja para staff medis. Bebat VAC juga
11
portable sehingga memungkinkan dilakukan rawat jalan sehingga pasien dapat dipulangkan lebih
awal dengan bebat tetap terpasang. Hal ini dapat mengurangi resiko terjadinya infeksi
nosocomial dan permasalah lain akibat perawatan di rumah sakit yang memanjang yang sering
muncul pada terapi bebat tradisional.
Perineum adalah lokasi yang cukup sulit untuk dipasang bebat. Hal ini dikarenakan
daerah ini punya banyak lipatan dan bagian yang bergerak seperti genitalia dan kaki sehingga
bebat sulit untuk dipertahankan pada posisinya. Selain itu, sekresi urine dan feses yang melewati
daerah perianal juga sangat mungkin dapat mengenai dan mengotori bebat dan bahkan dapat
merembes kedalam luka. Bebat kedap udara memang cukup sulit diaplikasikan pada kondisi ini,
tetapi dengan teknik tertentu kondisi kedap udara dapat diciptakan.
Pertama, untuk memasang bebat VAC pasien paling baik berada pada posisi litotomi.
Kedua, untuk bisa memasang bebat pasca operasi debridement luka harus dalam keadaan bersih
dan kering. Ketiga, sebelum pemesangan bebat, pinggir luka sebaiknya dibungkus/diaplikasi
dengan bebat transparent “Tegderm” sebelum dilakukan pemesangan bebat adhesive diseluruh
luka. Hal ini dapat membantu menciptakan kondisi kedap udara dan mempertahan bebat
ditempat sehingga bebat adhesive lebih mudah diaplikasi.
Dan yang paling utama, setelah dipasang alat suction secara insitu perlu dipastikan sisi
lesi berada tetap berada disebelah bawah untuk membantu menciptakan kondisi kedap
udara/tekanan negative ketika suction diaplikasi dan mencegah merembesnya cairan luka pada
bebat. Bila cairan luka tetap merembes, pasta stomaheshive dapat membantu menutup lokasi
perembesan.
Jika diperlukan dapat dilakukan pemasangan kateter urine, bahkan dapat dilakukan
pemesangan kateter suprapubis apabila lesi meluas hingga mengenai area sekitar meautus
urethra. Pada kasus berat yang mengenai dinding bawah abdomen dapat dilakukan nephrostomy
percutan. Feses dapat dijauhkan dari daerah lesi dengan memasang alat menegement feses
“Flexiseal”. Tetapi, untuk bisa menggunakan alat ini rectum harus dikosongkan dari fese yang
keras untuk itu pemberian softener feses diperlukan pada penggunaan alat ini. Pilihan lain yang
dapat dilakukan adalah dengan melakukan kolonostomi sementara.
12
Meski didapat banyak manfaat dari aplikasi bebat VAC. Perlu diperhatikan bahwa terapi
luka tekanan negative seperti bebat VAC tidak dapat dipalikasi pada semua pasien. Terapi luka
tekanan negative dikontraindikasikan pada beberapa tipe lesi seperti lesi malignansi, lesi dengan
ekposure saraf dan vaskuler, lesi dengan eksposure organ dan anatomisis organ. Selain itu juga
dikontraindikasikan pada pasien dengan resiko tinggi perdarahan, debridement yang kurang
adekuat dan lesi disertai infeksi sekunder. Untuk itu, penting untuk pemilihan pasien secara
cermat sebelum mengaplikasikan teknik ini untuk mecegah komplikasi yang tidak diharapkan.
Kesimpulan
Terapi VAC membantu dalam penyembuhan luka terbuka yang luas pada daerah perianal
dengan cara mengurangi terjadinya kontaminasi pada luka, memungkinkan mobilisasi pasien,
dan mengurangi jumlah pergantian bebat. Kemampuannya untuk drainase cavitas yang dalam
juga memungkinkan insisi yang lebih kecil dibanding yang diperlukan pada bebat tradisional.
13
BAB III
JURNAL III
Studi Kasus : Gangren Fournier : Pengelolaan Luka
Yang Luas
Gibbins S
Abstrak
Seorang laki-laki, berusia 43 tahun dengan mengidap diabetes mellitus tipe 2, yang
mengalami infeksi berkembang pada pangkal paha kanan setelah terjatuh. Dia didiagnosis
dengan gangren Fournier, dan menjalani operasi empat kali untuk debridement bagian infeksi,
jaringan nekrotik. Sebuah luka yang luas memanjang dari pangkal paha kanan memutar ke pantat
kanan dengan margin 2 cm dari anus telah terbentuk. Setelah 10 hari dibungkus dengan kasa
normal saline, disarankan penggunaan balutan tekanan negative topical. Masalah dengan
penyimpangan dari margin luka, lokasi luka pada bagian slangkangan dan kedekatannya dengan
anus telah diatasi dengan pendekatan inovatif untuk menejemen luka.
Presentasi
Tuan L, berusia 43 tahun, dirujuk ke rumah sakit oleh dokternya dengan infeksi pada
bagian selangkangan, diagnosis sementara sebagai selulitis. Pasien tampak pucat, tingginya 185
cm, dan berat badannya 145 kg. pasien mengehlukan kepada dokternya terjadi pembengkakan
pada pangkal paha bagian kanan setelah terjatuh 5 hari yang lalu (sebelum ke dokternya). Dia
juga mengeluhkan nyeri kepala, batuk, sakit tulang rusuk, dan merasa demam. Pasien diberikan
resep Augmentin Forte untuk infeksi pada bagian dada yang dialaminya.
Lima hari kemudian dengan cepat dia dikirim ke unit gawat darurat, terdapat
pembengkakan eritematosa pada bagian pangkal paha kanan tepat di bawah scrotumnya, yang
memanjang sampai kearah pantat, dengan kulit yang rusak tampak luas dan terdapat pus. Pasien
demam dengan suhu 38,5 °C dan pasien mengeluhkan nyeri pada pangkal paha yang signifikan
14
dan mengalami disuria. Pasien dibawa ke ruang operasi untuk dilakukan debridement pada luka,
dilakukan pembersihan pada dua abses yang berkomuniasi pada pangkal paha kanan yang
memiliki pus berbau busuk.
Pada hari berikutnya dari tim penyakit infeksi berkesimpulan akhir dan berpendapat
bahwa infeksi tesebut merupakan gangrene Fournier, jenis necrosis facitis yang langka, lebih
umum pada laki-laki dan terjadi terutama setelah cedera suatu area pada individu yang
mengalami diabetes mellitus atau yang mengalami imunokompromais. Gangrene Fournier dapat
menyebabkan syok, ileus, delirium, kegagalan multiorgan dan kematian. Penyeka dari pangkal
paha yang menjadi lahan pemasukan dari perkembangan peradangan agalactiae yang moderat
dan bakteroides yang berat.
Riwayat Kesehatannya
Tuan L telah menderita diabetes mellitus tipe 2 sejak tahun 1999. Pasien menggunakan
insulin yang digunakannya tidak teratur. Tuan L memiliki riwayat seulitis, apendisektomi,
glaucoma, ortopneu dan asma ringan. Pasien menggunakan kacamata dan pasien mengalami
sesak nafas apabila beraktivitas dan pada posisi tertentu. Dari pengakuan pasien, tuan L sudah
menggunakan obat insulin QID dan Augmentin Forte TDS. Pasien tidak memiliki riwayat
alergi.
Riwayat Luka
Tuan L memliki luka yang panjang dari pankal paha kanannya diatas pubis sekitar 2 cm
pada bagian pinggir anal. Lukanya dalam, dengan terdapatnya jaringan subkutan yang hilang dan
terdapatnya pembentukan rongga disepanjang pangkal paha kanan bagian atas. Masih terdapat
lapisan jaringan yang sloughy dengan luas sekitar setengah dari dasar luka. Sisa dari alas luka
tersebut berbentuk bintik-bintik merah muda. Terdapat 1 cm potongan dari jaringan nekrotik
yang tersisa.
Pada luka tersebut sedikit berbau busuk. Terdapat eksudat Hemoserous dan terdapat
permasalahan dengan penahanannya. Kulit disekitarnya tampak eritematosa dengan terdapat
daerah kacil yang berupa maserasi. Delapan hari kemudian, luka pada bagian pantat panjangnya
10 cm, lebarnya 14 cm dan kedalamannya sekitar 2 cm. Luka pada bagian selangkangan tampak 15
tidak teratur dan kedalamanya sampai 4 cm, dengan ditelusuri hingga 5 cm sepanjang
selangkangannya. Debridement tambahan dilakukan untuk tujuan antibiotic IV (klindamisin,
siprofloksasin, dan tikarsilin untuk penggunaan selama 3 hari, diikuti dengan 6 hari penisilin dan
metronidazole) untuk menghentikan fasciitis tersebut.
Tujuan
Tujuan pengobatan adalah untuk meningkatkan penyembuhan luka melalui analisis kritis
pada pasien dan lukanya serta untuk merumuskan bukti solusi dalam memenejemen luka yang
mencakup pendekatan yang holistic.
Pengelolaan
Menejeman awal luka termasuk pembedahan debridement sebanyak empat kali dari
gangrene memperpanjang periode selama 7 hari. Debridement dilakukan untuk membersihkan
sejumlah besar pus dan jaringan nekrosis. Pada luka tersebut dipenuhi dengan kasa
providoneiodine intraoperatif. Penulis pertama memperlihatkan, luka tuan L ketika dia
membantu dalam mengubah BD normal dengan saline kasa bungkus, yang digunakan untuk
melanjutkan mekanis debridement dari dasar luka.
Pada hari ke-10, luka tersebut dinilai untuk memungkinkan pembalutan tekanan negative.
Staf bedah dan keperawatan berpendapat bahwa luka tersebut terlalu dekat dengan anus untuk
menjaga secara rapat untuk alasan berikut:
Keringat yang berlebihan didaerah selangkangan, yang dapat mengangkat balutan dari
selaput.
Margin luka yang tidak rata dengan disertai banyaknya lipatan kulit, yang bisa membuat
penggunaan pakaian sulit.
Jarak ke anus, yang dapat membatasi daerah tersebut untuk dapatnya pergantian dari
selaput, dan mengakibatkan kotaminasi feses pada luka dan terjadi pencabutan dari
balutan.
Stress pada perbaikan sekunder untuk mobilisasi dan gerakan diatas tempat tidur, yang
dapat mencabut dari balutannya.
16
Dari pengalaman penulis sebelunya, dengan menggunakan balutan tekanan negative,
kemungkinan akan memberikan solusi.
Tehnik Pembalutan
Dalam tehnik mengganti memiliki banyak langkah untuk memastikan kepatuhan dari
pergantian selaput ke kulit. Pada bagian tersebut dipersiapkan dengan menjepit rambut
kemaluan. Pada bagian kuit benar-benar dibersihkan dan dikeringkan. Sebuah pembatas yang
digunakan untuk menyeka di sekeliling kulit yang mebantu dalam perlengketan selaput yang
telah terganti, dan melindungi kulit apabila balutan bocor. Perawat lain membantu untuk
memegang lipatan kulit dan meregangkan kaki, mempertahankan permkaan tetap halus ketika
mengalami regenerasi selaput.
Awalnya luka tersebut dilakukan debridement dari sejumlah kecil yang mengelupas. Pada
luka selangkangan pertama kali dilumuri busa dan selaput dibalut, dan terpasang tubing.
Kemudian tuan L di dimiringkan ke sisi kirinya sehingga luka pada pantat dapat dipersiapkan.
Memperhatikan luka pada bagian pantat paling belakang bahwa waktu minimal yang dihabiskan
pada daerah ini sebelum tekanan negatif diterapkan, mencegah tercabutnya selaput melalui
perembesan dari eksudat di bawah selaput. Balutan slaput yang dipotong menjadi lebih kecil
untuk lebih mudah dikelola dalam pemotongan sehingga memudahkan aplikasi.
17
Balutan slaput yang ditempatkan tepat dibagian atas anus, mengikuti kontur. Sebuah
lubang sekitar 2 cm kemudian dipotong pada bagian selaput balutan untuk memberikan celah
untuk flatus. Sebuah bantalan penyerapan ditempatkan dilipatan anal untuk menyerap bagian
yang menguap. Bagian pantat diikat dengan pita yang fleksibel, mencegah terangkatnya balutan
pada saat mergerak. Tekanan negatif yang diberikan sekitar 25 mmHg yang berkelanjutan sesuai
dengan guideline.
Meskipun dari riwayat pasien, tuan L memberitahukan penulis bahwa ia biasanya BAB
setiap 2-3 hari sekali. Hal ini menjadi keuntungan agar balutan dapatdibiarkan utuh sampai
pasien memiliki keinginan untuk BAB. Pita luar (plester) dapat dibuka, dan selaput balutan
dipotong kembali untuk memungkinkan pasien dapat BAB. Mr L disarankan untuk mandi
setelah BAB saja, ketika mandi dijadikan suatu masalah dengan pengangkatan balutan.
Sebuah rencana manajemen luka mengidentifikasikan tehnik balutan dan bahan yang
digunakan. Foto digunakan untuk memvisualisasikan status luka, yang menyediakan ahli bedah
dan staf lain dengan deskripsi visual dari luka tersebut menampakkan perkembangan tanpa harus
membuka balutan.
Sejumlah manfaat positif muncul dari penggunaan balutan tekanan negatif. Hal ini
didapatkan lebih nyaman untuk tuan L dari pada dua kali sehari menggunakan kemasan saline,
mobilisasi jauh lebih mudah, dan pakaian dan perubahan linen telah diminimalkan karena
eksudat terkandung. Selain itu, penggantian balutan dikurangi menjadi tiga kali seminggu,
baunya mengalami pengurangan dengan menggunakan sistem balutan tertutup, dan luka
penyembuhannya dipercepat dikarenakan tekanan negatif secara topikal, mengurangi jumlah
cairan pada dasar luka dan merangsang angiogenesis dan produksi jaringan granulasi.
Dalam hal ini penyembuhan luka dapat saja tertunda dikarenakan tuan L memiliki
diabetes yang tidak terkontrol dan gizinya yang menurun dikarenakan nafsu makan yang
menurun selama periode awal. Penyembuhan luka tersebut mungkin dibantu oleh ahli gizi yang
memberikan minuman tinggi protein yang mengandung arginine, suatu asam amino yang
dibuktikan memicu pengendapan kolagen.
18
Selain itu, endokrinologi yang mengatur tingkat gula darah pasien melalui pemantauan
terus menerus dan penyesuaian peggunaan insulin bila dibutuhkan. Seorang pendidik diabetes
membantu meningkatkan pengetahuan pasien mengenai diabetes, yang dipupuk ditingkatkan
sesuai dengan perubahan manajemen diabetes tuan L. Meskipun kain penutup pada luka yang
membuka pertumbuhan MRSA dan pseudomonas, lukanya terus meningkat. Ahli bedah plastik
belum siap untuk menutup atau skin graf pada luka karena posisi dan tingkat kolonisasi bakteri
tersebut.
Kemajuan/Tindak Lanjut
Dua puluh empat hari setelah dimulainya pembalutan tekanan negatif secara topikal, pada
tuan L terpasang alat tekanan negatif yang dapat dibawa, dalam perawatan sejumlah perawat.
Seminggu sebelum dibuang, penulis mengatur dua kelompok perawat untuk melihat perubahan
dari balutan, selama waktu semua isuseputar pengelolaan luka dibahas. Mereka juga dilengkapi
dengan rencana salinan pengelolaan luka dan foto untuk refrensi. Luka pada pantat tersebut
mengalami penurunan ukuran panjanganya 10 cm, luasnya 6 cm dan kedalamannya sampai 1
cm. Rongga selangkangannya sekitar 2 cm.
Sehari sebelum pulang, tuan L sudah pulang dengan okupasi trapis. Pada hari itu panas,
dia menggunakan celana olahraga dan rumahnya tidak menggunakan AC. Hal ini mengakibatkan
keringat yang berlebihan didaerah selangkangan dan balutan terangkat ketika dia kembali,
meskipun terapi tekanan negatif topikal dilakukan terus menerus. Tuan L mengira dia bisa
mengatasi masalah dengan menggunakan pakaian tipis di sekitar rumahnya. Dari kelompok
perawat juga berfikir untuk tempat tidur yang terlalu rendah untuk pembalut yang panjang serta
kakinya membutuhkan istirahat pada suatu bagian yang tinggi seperti bedrail, sehingga kami
mengatur untuk menyewa tempat tidur dari sebuah rumah sakit.
19
Diskusi
Pengelolaan luka tuan L telah disempuranakan oleh proses riwayat pengambilan,
kecepatan perawatan, pendekatan multidisiplin dalam perawat pasien, dan oleh kelahlian dalam
manajemen perawatan luka yang berpengalaman dalam penyesuaian dan menerapkan
pembalutan tekanan negatif topikal. Interfensi bedah yang dilakukan pada contoh pertama untuk
mencegah konsekuensi yang mengancam kahidupan dari gangren Fournier tersebut.
Debridement ulang dilakukan dari semua nekrotik dan jaringan terinfeksi diperlukan karena
luasnya infeksi tidak dapat ditentukan oleh tepi nekrosis tersebut. Penilaian ulang untuk
debridemen lebih lanjut diperlukan yang dilakukan setiap 24-48 jam.
Antibiotik dengan cakupan spektrum luas digunakan untuk mengobati beberapa mikro-
organisme, khususnya bakteri anaerob. Penggunaan balutan tekanan negatif topokal secara
inovatif, dan peningkatan status tuan L mengenai diabetes dan nutrisinya, kemungkinan besar
mempengaruhi proses penyembuhan. Penggantian balutan tekanan negatif topikal membantu
dalam proses penyembuhan dengan merangsang aliran darah ke tempat luka, menghilangkan
eksudat yang berlebihan dan penurunan jumlah bakteri tetap menjaga kelembapan lingkungan
luka. Mekanisme memicu pembentukan graulasi jaringan. Strategi-strategi manajemen yang
memfasilitasi pengeluaran cairan dari rumah sakit sebelumnya, transisi yang dibuat secara halus
melalui konsultasi sebelumnya dengan pendidik, dan komunitas perawat untuk memastikan
kesinambungan perawatan.
20
Ringkasan
Pengelolaan secara secara scepat pada luka kronis yang timbul dari gangren Fournier sulit
dikarenakan tingkat debridement dari jaringan nekrotik, dan dalam hal ini lokasi dari luka, yang
diperpanjang dari pangkal paha kanan ke anus. Sebuah rencana manajemen yang komperhensif
yang dimulai dilakukan secara terus menerus, peninjauan ahli bedah, ahli gizi, endokrinologi dan
pendidik diabetes, serta penggunaan pembalutan tekanan negatif topikal secara inovatif dalam
pengelolaan luka.
Rekomendasi
Pendekatan multi-disiplin dibantu dengan konsultasi perawat luka yang berpengalaman
dalam manajemen luka tersebut dapat menyebabkan pengelolaan luka yang lebih efektif dan
memiliki potensi untuk mempersingkat lama opname, untuk mengurangi waktu yang digunakan
dalam perawatan pembalutan, meningkatkan waktu penyembuhan dan meningkatkan
kenyamanan pasien.
Pernyataan
Penulis menyatakan bahwa tidak ada produksi yang digunakan untuk mengobati pasien
ini yang disuplai langsung oleh suatu produsen.
21
BAB IV
RESUME
Gangren Fournier
Gangrene Fornier adalah infeksi langka yang ditandai dengan perkembangan
myonecrosis secara cepat, yang mempengaruhi daerah-daerah seperti perineum, alat kelamin dan
perianal. Hal ini lebih umum pada pria, antara usia 40 dan 70 tahun, dan jarang terjadi pada
wanita, tetapi juga telah dijelaskan dapat terjadi pada anak-anak berusia kurang dari 15 tahun.
Ada dua jalur dalam penyebaran penyakit ini. Pertama dari saluran cerna, biasanya dari
daerah anorektal (abses) setelah dilakukan operasi hemoroid, trauma pada rectum dan lain
sebagainya. Yang kedua adalah dari saluran urogenital setelah penggunaan kateter jangka
panjang, periueretritis, dilatasi dengan alat pada stenosis uretra. Factor-faktor yang
mempengaruhi onset perbaikan pada semua varian dari penyakit ini adalah diabetes mellitus,
alkoholisme, defisiensi imunologi, penyakit keganasan, insufisiensi ginjal dan hati. Pathogenesis
dari penyakit ini masih belum diketahui secara pasti.
Dari jurnal pertama dikatakan pentingnya periode waktu, antara terjadinya infeksi dan
pengobatan secara dini, didapatkan bahwa dengan hal tersebut banyak pasien terselamatkan,
setelah diberikan pengobatan dalam waktu 4 hari sejak awal infeksi, sedangkan pada pasien yang
telah meninggal pengobatan dimulai pada hari ke-7 dari infeksi. Hasil yang sama didapatkan
juga oleh penulis yang lainnya. Dari semua studi yang tersedia secara deskriptif didapatkan
mikroorganisme penyebab terjadinya infeksi yang paling banyak berupa mikroorganisme
anaerob, hal ini mengakibatkan meningkatnya penggunaan antibiotic dalam pengobatan.
FG ditatalaksana, setelah dilakukan debridement yang ekstensive, dengan bebat luka
regular dan dibiarkan untuk mengalami penyembuhan sekunder. Tetapi, lesi yang luas
memerlukan waktu yang panjang untuk dapat sembuh total dengan resiko infeksi sekunder bila
22
Bebat/kompres luka tidak diganti secara teratur. Masalah utama terletak pada lokasi lesi yang
berada didaerah perianal dimana daerah ini sulit untuk dipertahankan higienitasnya karena
terpapar oleh urine dan feses secara langsung yang kemungkinan besar dapat mengontaminasi
lesi menyebabkan infeksi sekunder yang dapat mengganggu proses penyembuhan luka.
Dari jurnal kedua didapatkan bahwa teknik bebat VAC cukup efektif untuk menangani
lesi perianal yang luas dan kompleks.Dengan menggunakan teknik ini, dapat dicegah terjadinya
perembesah eksudat dan cairan luka sehingga perawatan luka menjadi lebih mudah. Segel kedap
udara mencegah kontaminasi feses dan urine kedalam luka, sehingga dapat mempercepat proses
penyembuhan luka. Selain itu bebat VAC memungkinkan drainase lesi yang efektif bahkan pada
lesi yang dalam, dan pada beberapa kasus dapat menghindari untuk membuat lesi lebih luas yang
mungkin diperlukan untuk mendapat drainase yang lebih baik.
Serta pada jurnal ke tiga didapatkan pada pasien gangren Fournier dengan komplikasi
diabetes mellitus dilakukan manajamen yang disempuranakan oleh proses riwayat pengambilan,
kecepatan perawatan, pendekatan multidisiplin dalam perawat pasien, dan oleh kelahlian dalam
manajemen perawatan luka yang berpengalaman dalam penyesuaian dan menerapkan
pembalutan tekanan negatif topikal. Interfensi bedah yang dilakukan pada contoh pertama untuk
mencegah konsekuensi yang mengancam kahidupan dari gangren Fournier tersebut.
Debridement ulang dilakukan dari semua nekrotik dan jaringan terinfeksi diperlukan karena
luasnya infeksi tidak dapat ditentukan oleh tepi nekrosis tersebut. Penilaian ulang untuk
debridemen lebih lanjut diperlukan yang dilakukan setiap 24-48 jam. Antibiotik dengan cakupan
spektrum luas digunakan untuk mengobati beberapa mikro-organisme, khususnya bakteri
anaerob.
Pengelolaan secara secara cepat pada luka kronis yang timbul dari gangren Fournier sulit
dikarenakan tingkat debridement dari jaringan nekrotik, dan dalam hal ini lokasi dari luka, yang
diperpanjang dari pangkal paha kanan ke anus. Sebuah rencana manajemen yang komperhensif
yang dimulai dilakukan secara terus menerus, peninjauan ahli bedah, ahli gizi, endokrinologi dan
pendidik diabetes, serta penggunaan pembalutan tekanan negatif topikal secara inovatif dalam
pengelolaan luka.
23
Pada gangren Fournier manajemen yang dilakukan yaitu tidak lanjut segera dalam
mentatalaksana penyakit tersebut, dengan melakukan debridement pada daerah necrotik,
pemberian antibiotik spektrum luas, pengontrolan terhadap gula darah (pada pasien dengan
komplikasi diabetes mellitus), dan dilakukan pembalutan luka dengan tekanan negatif topikal
yang dapat memudahkan dalam imobilisasi pasien serta memberikan kenyamanan yang lebih
terhadap pasien, dikarenakan ketika menggunakan tehnik tersebut tidak dilakukan penggantian
balutan setiap hari.
24