Ileus Obstruktif e.c ca colon
-
Upload
aina-ullafa -
Category
Documents
-
view
45 -
download
5
description
Transcript of Ileus Obstruktif e.c ca colon
LAPORAN KASUS
Ileus Obstruktif e.c Ca Colon
DISUSUN OLEH
Aina Ullafa 2010730006
Pembimbing: dr. Lili K.D, Sp. B
KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH
PERIODE 25 Mei – 02 Agustus 2015
RSUD CIANJUR
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2015
1
BAB I
KASUS
Nama : Tn. E
Usia : 29 tahun
Jenis kelamin : laki-laki
Pekerjaan : Freelance
Alamat : Ds. Ramasari, Haurwangi, Cianjur
MRS : 8 Juli 2015
AUTOANAMNESIS
Keluhan Utama :
Nyeri perut
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke RSUD Cianjur dengan keluhan nyeri perut terus menerus
diseluruh lapang perut, dirasakan sejak 2 minggu SMRS. Os mengeluh perut
kembung terus menerus. Muntah warna kuning cair. BAB kecil-kecil, nyeri (+),
warna agak kecoklatan, lendir (+), tidak ada darah segar. Kentut (-). Demam (-).
Merasa badan bertambah kurus.7 bulan SMRS os mengatakan BAB cair, warna
kuning, ada lendir, kadang ada darah. Berobat kedokter terdekat sembuh tapi
sering kambuh. 1 bulan SMRS Perut kembung tapi kempes setelah muntah.
Muntah setelah makan, berisi makanan yang dimakan. BAB kecil-kecil, warna
kuning, ada lendir, kadang ada darah.
Riwayat Penyakit Dahulu :
- Pasien pernah mengalami keluhan yang seperti ini sebelumnya.
- Pasien mengaku pernah dioperasi akibat kanker usus ± 1 tahun yang lalu.
2
Riwayat Penyakit Keluarga :
- Riwayat penyakit keganasan di keluarga (+) Ca rectum dialami oleh ibu kandung
pasien meninggal.
Riwayat Pengobatan :
- Sebelum dibawa ke RS pasien mengaku berobat ke klinik terdekat namun tidak ada
perubahan.
- Pasien sering konsumsi jamu-jamuan dan obat herbal yang didapatkan dari kakak pasien.
- Pasien tidak pernah minum obat-obatan penghilang nyeri dan minum obat dalam jangka
waktu yang lama.
Riwayat Kebiasaan :
Pasien mengaku makan tidak teratur, merokok (+) kadang-kadang.
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Composmentis
Tanda vital :
- TD : 100/80 mmHg
- Nadi : 80 x/menit
- Pernafasan : 24x/menit
- Suhu : 36,6°C
Status Generalis
Kepala : normochepal, rambut hitam, tidak rontok
Mata : Pupil bulat isokor, diameter 3mm/mm Refleks pupil +/+
Konjungtiva anemis +/+
Sklera ikterik -/-
THT : dalam batas normal
3
LEHER : pembesaran KGB (-), pembesaran thyroid (-)
THORAX
Inspeksi : normochest, pergerakan dada simetris.
Palpasi : tidak ada pergerakan dada yang tertinggal, nyeri tekan (-), vokal fremitus sama
simetris dekstra sinistra.
Perkusi : sonor di seluruh lapangan paru
Auskultasi
Paru : vesikular (+/+) normal, Rhonki (-/-), Wheezing (-/-), stridor (-/-)
Jantung : BJ I dan II murni regular, murmur (-), gallops (-)
ABDOMEN
Inspeksi : cembung (+), distensi, scar luka operasi (+)
Auskultasi : bising usus (+) meningkat, metalic sound (+)
Palpasi : (-) perut distensi tegang untuk dipalpasi
Perkusi : hipertimpani seluruh kuadran abdomen
Ekstremitas:
- Superior : Akral hangat, RCT < 2 detik, edema (-), sianosis (-)
- Inferior : Akral hangat, RCT < 2 detik, edema (-), sianosis (-)
Status Lokalis a/r abdomen
Abdomen tampak abdomen distensi, bising usus (+) meningkat, metalic sound (+), hipertimpani
seluruh kuadran abdomen.
Rectal touche
Tonus sfingter ani baik, ampula recti: tidak colaps, permukaan mukosa licin tidak berbenjol-
benjol, massa (-), nyeri (-), feses (-). Sarung tangan: darah (-), lendir (-), feses (-).
4
Resume
• Laki-laki, 29 tahun. Nyeri perut terus menerus diseluruh lapang perut, dirasakan sejak 2 minggu SMRS. Os mengeluh perut kembung. Muntah warna kuning cair. BAB kecil-kecil, warna kuning. Tidak bisa kentut. Merasa badan bertambah kurus. Sejak 7 bulan SMRS os mengatakan BAB cair, warna kuning, ada lendir. 1 bulan SMRS Perut kembung tapi kempes setelah muntah. Muntah setelah makan, berisi makanan yang dimakan. BAB kecil-kecil, warna kuning, ada lendir. Ibu pasien mengalami ca rectum.
• Status lokalis a/r abdomen: tampak abdomen distensi, bising usus (+) meningkat, metalic sound (+), hipertimpani seluruh kuadran abdomen.
Diagnosis banding
Ca colon Ca recti Diverticulosis Colitis ulserative
Usulan Pemeriksaan Penunjang
Darah rutin, dan fungsi hati (SGPT SGOT) Colonoscopy + biopsi
Penatalaksanaan pada pasien
• Tanggal 8/7/2015 hasil pemeriksaan darah rutin– Hb : 14.8 g/dL– Fungsi hati :
• Sgpt : 37 U/L (normal : 12-78)
• Tanggal 11/7/2015 dilakukan LE+colostomi
– Hasil : • ditemukan massa tumor di colon ascenden• Ditemukan penyabunan• Dilakukan colostomi
Terapi post operasi :IVFD RLInjeksi Ceftriaxone 1 x 1 grKetorolac 2 x 30 mg
5
BAB II
ANALISA KASUS
Ca colon Ca recti Diverticulosis Colitis ulserative
Laki laki L>P L>P L=P L=P
Usia 29 tahun Mulai dari 40
tahun
Mulai dari 40
tahun
50% > 70 tahun 15-40 tahun atau
> 50 tahun
Nyeri perut + + + +
Mual & muntah + + - +
Nyeri saat ingin
BAB
+ + -(setelah BAB nyeri perut berkurang)
+
BAB lendir + + + +
BAB darah + + + +
Tidak demam + + + -
Penurunan BB + + - +
Riwayat keganasan sebelumnya
+ + - -
Riwayat keganasan pada keluarga
+ + - -
Anemis + + - -
Metallic sound + - - -
Benjolan saat RT - + - -
6
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
I. DEFINISI DAN ANATOMI
Ca colon adalah kanker yang terjadi pada colon (usus besar). Kolon mulai
berjalan dari awal ileus terminal dan sekum dan berjalan sepanjang 3 sampai 5 kaki
sampai ke rektum. Perbatasan rektosigmoid dapat ditentukan yaitu ketika tiga taeniae coli
membentuk otot polos longitudinal luar rektum. Sekum mempunyai diameter kolon yang
paling lebar (7,5 – 8,5 cm) dan mempunyai dinding otot yang tipis. Hal ini membuat
sekum menjadi rentan terhadap perforasi dan yang paling jarang terjadi obstruksi. Kolon
asenden bagian posterior menempel pada retroperitoneum, sedangkan bagian lateral dan
anteriornya merupakan bagian dari struktur intraperitoneal. “White line of Toldt”
merupakan gabungan antara mesenterium dengan peritoneum posterior. Bagian yang
halus ini membuat pembedah sebagai panduan untuk memobilisasi kolon dan
mesenterium dari retroperitoneum.
Flexura hepatica (flexura coli dextra) menjadi penanda transisi kolon asenden
(panjang 15 cm) menjadi kolon transversum (panjang 45 cm). Kolon transversum
intraperitoneal relatif dapat bergerak, namun terikat dengan ligamentum gastrokolika dan
mesenterium kolon. Omentum majus menempel pada ujung anterior/superior kolon
transversum, hal inilah yang menyebabkan gambaran seperti segitiga pada kolon
tranversum ketika dilihat pada kolonoskopi.
Fleksura splenika (flexura coli sinistra) menjadi penanda transisi kolon
transversum menjadi kolon desendens (panjang 25 cm). Ikatan antara fleksura kolika dan
limpa (ligamentum ileokolika) merupakan ligamen yang pendek dan tebal, yang
akibatnya membuat kolektomi menjadi cukup sulit. Kolon desenden umumnya menempel
pada retroperitoneum. Kolon sigmoid bagian dari kolon dengan panjang yang bervariasi
(15 – 50 cm, rata-rata 38 cm) dan diameter yang sempit namun mempunyai pergerakan
yang luas. Meskipun kolon sigmoid terletak pada kuadran kiri bawah, akibiat
mobilitasnya yang hebat dapat berpindah ke kuadran kanan bawah. Pergerakan ini
7
menjelaskan mengapa volvulus umum ditemukan di kolon sigmoid dan mengapa
penyakit yang mengenai kolon sigmoid, contohnya divertikulitis, dapat mempunyai
gejala nyeri pada kuadran kanan bawah. Diameter yang sempit pada kolon sigmoid
membuat bagian ini sangat rentan terhadap obstruksi.
Suplai arteri pada kolon, arteri mesenterika superior bercabang menjadi arteri
ileokolika (sebanyak 20% populasi tidak memiliki arteri ini), yang menyuplai darah ke
ileus terminalis dan kolon asenden proksimal, arteri kolika dekstra, yang menyuplai darah
ke kolon asenden, dan arteri kolika media yang menyuplai kolon tranversum. Arteri
mesenterika inferior (SMA) bercabang menjadi arteri kolika sinistra yang menyuplai
kolon desenden, beberapa cabang arteri sigmoid, yang menyuplai kolon sigmoid, dan
arteri rektal superior yang menyuplai rektum proksimal. Pengecualian pada vena
mesenterika inferior, vena-vena pada kolon mempunyai terminologi yang sama seperti
arteri. Vena mesenterika inferior berjalan naik pada retroperitoneum melewati muskulus
psoas dan berjalan posterior ke pankreas untuk bergabung dengan vena splenika.
Pada kolektomi, vena ini di gerakkan secara independen dan di ligasi pada ujung
inferior pankreas. Drainase vena pada kolon transversum proksimal menuju ke vena
mesenterika superior yang begabung dengan vena splenika untuk membentuk vena porta.
Kolon transversum distal, kolon desenden, kolon sigmoid, dan sebagian besar rektum
terdrainase oleh vena mensenterika inferior yang bergerak ke atas menuju vena splenika.
II. ANGKA KEJADIAN
Adenokarsinoma kolorektum merupakan keganasan yang paling umum ditemukan pada
traktus GI. Lebih dari 150.000 kasus baru di Amerika dan lebih dari 52.000 pasien meninggal
tiap tahunnya, hal ini membuat kanker kolorektal menjadi pembunuh kedua pada penyakit
kanker di Amerika. (American Cancer Society, 2009). Deteksi dini dengan pengembangan
peralatan kedokteran yang mutakhir dianggap dapat membantu untuk mortalitas kanker
kolorektal dala beberapa tahun terakhir.
Kanker colorectal merupakan salah satu dari beberapa jenis kanker yang ada di dunia
yang menempati urutan nomor 2 dalam frekuensinya dan merupakan penyebab kematian nomor
8
4 dari kematian karena kanker di dunia. Menurut WHO (2003) CFR akibat kanker colorectal
52,3% di seluruh dunia pada tahun 2003. Pada tahun 2007 CFR akibat kanker colorectal 33,94%
di seluruh dunia.
Berdasarkan survei WHO (2002) di USA, pada tahun 2002 ditemukan CFR akibat kanker
colorectal 40,56%.8 Pada tahun 2004 Insidens Rate kanker colorectal di USA sebesar 48 per
100.000 penduduk.9 The American Cancer Society (ACS) memperkirakan bahwa pada tahun
2009 sekitar 106.100 (72,2%) penduduk didiagnosa menderita kanker colon dan 40.870 (27,8%)
penduduk didiagnosa menderita kanker rectum, 75.590 kasus (51,4%) kanker colorectal terjadi
pada laki-laki dan 71.380 kasus (48,6%) terjadi pada wanita. CFR akibat kanker colon 50,1%
dan CFR akibat kanker rectum 42,3%.
Berdasarkan Laporan Profil Kesehatan beberapa negara, kanker colorectal di Australia
pada tahun 2003-2004 mencapai 12.536 orang dengan CFR 32,52%. Sedangkan di Singapura
kanker colorectal sebanyak 2.979 orang dengan CFR 22,96%.
Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia 2008, neoplasma ganas colon di Indonesia
berada pada peringkat 9 dari 10 peringkat utama penyakit neoplasma ganas pasien rawat inap di
seluruh rumah sakit di Indonesia dengan jumlah kasus sebanyak 1.810 dengan proporsi 4,92%.
Laporan data dari Direktorat Jenderal Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI tahun
2005 kasus kanker colorectal di seluruh Rumah Sakit se Indonesia adalah 3.806 kasus dengan
proporsi 8,2% dan tahun 2006 adalah 3.442 kasus dengan proporsi 8,11% dari seluruh penyakit
kanker.13 Berdasarkan catatan di Rumah Sakit Kanker Dharmais pada tahun 2007, kanker
colorectal menempati urutan ke tujuh pada sepuluh besar kanker tersering Rumah Sakit Kanker
Dharmais dengan proporsi sebesar 4,7%. Di RSCM (1996-2001) terdapat 224 kasus kanker
colon, terbanyak yaitu 50 kasus pada tahun 2001 yang diperoleh berdasarkan pemeriksaan
colonoscopy.
9
III. ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO
Identifikasi faktor risiko untuk perkembangan kanker kolorektal merupakan hal yang penting
untuk menentukan program screening dan surveilans pada populasi dengan faktor risiko.
1. Idiopathic Inflammatory Bowel Disease
1.1 Ulseratif Kolitis
Ulseratif kolitis merupakan faktor risiko yang jelas untuk kanker kolon sekitar 1%
dari pasien yang memiliki riwayat kronik ulseratif kolitis. Risiko perkembangan kanker
pada pasien ini berbanding terbalik pada usia terkena kolitis dan berbanding lurus dengan
keterlibatan dan keaktifan dari ulseratif kolitis. Risiko kumulatif adalah 2% pada 10
tahun, 8% pada 20 tahun, dan 18% pada 30 tahun. Pendekatan yang direkomendasikan
untuk seseorang dengan risiko tinggi dari kanker kolorektal pada ulseratif kolitis dengan
mengunakan kolonoskopi untuk menentukan kebutuhan akan total proktokolektomi pada
pasien dengan kolitis yang durasinya lebih dari 8 tahun. Strategi yang digunakan
berdasarkan asumsi bahwa lesi displasia bisa dideteksi sebelum terbentuknya invasif
kanker. Sebuah studi prospektif menyimpulkan bahwa kolektomi yang dilakukan dengan
segera sangat esensial untuk semua pasien yang didiagnosa dengan displasia yang
berhubungan dengan massa atau lesi, yang paling penting dari analisa
mendemonstrasikan bahwa diagnosis displasia tidak menyingkirkan adanya invasif
10
kanker. Diagnosis dari displasia mempunyai masalah tersendiri pada pengumpulan
sampling spesimen dan variasi perbedaan pendapat antara para ahli patologi anatomi.13
1.2 Penyakit Crohn’s
Pasien yang menderita penyakit crohn’s mempunyai risiko tinggi untuk menderita
kanker kolorektal tetapi masih kurang jika dibandingkan dengan ulseratif kolitis.
Keseluruhan insiden dari kanker yang muncul pada penyakit crohn’s sekitar 20%. Pasien
dengan striktur kolon mempunyai insiden yang tinggi dari adenokarsinoma pada tempat
yang terjadi fibrosis. Adenokarsinoma meningkat pada tempat strikturoplasty menjadikan
sebuah biopsy dari dinding intestinal harus dilakukan pada saat melakukan
strikturoplasty. Telah dilaporkan juga bahwa squamous sel kanker dan adenokarsinoma
meningkat pada fistula kronik pasien dengan crohn’s disease.
2. Faktor Genetik
2.1 Riwayat Keluarga
Kira-kira, sebanyak 20% kanker kolorektum muncul dengan adanya riwayat
keluarga yang pernah menderita kanker kolorektal. Pemahaman dan penelitian yang lebih
luas terhadap pemeriksaan genetik dapat berkontribusi untuk diagnosis dini. Karena
pertimbangan medikolegal dan etika yang terlibat dengan pemeriksaan ini, seluruh pasien
harus dilakukan konseling genetik jika memang ada suspek keluarga yang dulunya
terkena kanker kolorektal.
2.2 Herediter Kanker Kolorektal
Abnormalitas genetik terlihat mampu memediasi progresi dari normal menuju
mukosa kolon yang maligna. Sekitar setengah dari seluruh karsinoma dan
adenokarsinoma yang besar berhubungan dengan mutasi. Langkah yang paling penting
dalam menegakkan diagnosa dari sindrom kanker herediter yaitu riwayat kanker pada
11
keluarga. Mutasi sangat jarang terlihat pada adenoma yang lebih kecil dari 1 cm. Allelic
deletion dari 17p ditunjukkan pada ¾ dari seluruh kanker kolon, dan deletion dari 5q
ditunjukkan lebih dari 1/3 dari karsinoma kolon dan adenoma yang besar.2 Dua sindrom
yang utama dan beberapa varian yang utama dari sindrom ini menyebabkan kanker
kolorektal telah dikenali karakternya. Dua sindrom ini, dimana mempunyai predisposisi
menuju kanker kolorektal memiliki mekanisme yang berbeda, yaitu familial adenomatous
polyposis (FAP) dan hereditary non polyposis colorectal cancer (HNPCC).
2.3 FAP (Familial Adenomatous Polyposis)
Gen yang bertanggung jawab untuk FAP yaitu gen APC, yang berlokasi pada
kromosom 5q21. Adanya defek pada APC tumor supresor gen dapat menggiring kepada
kemungkinan pembentukan kanker kolorektal pada umur 40 sampai 50 tahun. Pada FAP
yang telah berlangsung cukup lama, didapatkan polip yang sangat banyak untuk dapat
dilakukannya kolonoskopi polipektomi yang aman dan adekuat; ketika hal ini terjadi,
direkomendasikan untuk melakukan prophylactic subtotal colectomy diikuti dengan
endoskopi pada bagian yang tersisa. Idealnya prophylactic colectomy harus ditunda
kecuali terdapat terlalu banyak polip yang dapat ditangani dengan aman. Prosedur
pembedahan elektif harus sedapat mungkin dihindari ketika memungkinkan. Screening
untuk polip harus dimulai pada saat usia muda. Pasien dengan FAP yang diberi 400 mg
celecoxib, dua kali sehari selama enam bulan mengurangi rata rata jumlah polip sebesar
28%. Tumor lain yang mungkin muncul pada sindrom FAP adalah karsinoma papillary
thyroid, sarcoma, hepatoblastomas, pancreatic carcinomas, dan medulloblastomas otak.
Varian dari FAP termasuk gardner’s syndrom dan turcot’s syndrom.13,15
2.4 HNPCC (Hereditary Non Polyposis Colorectal Cancer)
Pola autosomal dominan dari HNPCC termasuk lynch’s sindrom I dan II.2
Generasi multipel yang dipengaruhi dengan kanker kolorektal muncul pada umur yang
muda (±45 tahun), dengan predominan lokasi kanker pada kolon kanan. Abnormalitas
genetik ini terdapat pada mekanisme mismatch repair yang bertanggung jawab pada
defek eksisi dari abnormal repeating sequences dari DNA, yang dikenal sebagai
12
mikrosatellite (mikrosatellite instability). Retensi dari squences ini mengakibatkan
ekspresi dari phenotype mutator, yang dikarakteristikkan oleh frekuensi DNA replikasi
error (RER+ phenotype), dimana predisposisi tersebut mengakibatkan seseorang
memiliki multitude dari malignansi primer. Pasien dengan HNPCC mungkin juga
memiliki adenoma sebaceous, carcinoma sebaceous, dan multipel keratocanthoma,
Termasuk kanker dari endometrium, ovarium, kandung kemih, ureter, lambung dan
traktus biliaris. Jika dibandingkan dengan sporadic kanker kolorektal, tumor pada
HNPCC seringkali poorly differentiated, dengan gambaran mucoid dan signet-cell, reaksi
yang mirip crohn’s (nodul lymphoid, germinal centers, yang berlokasi pada perifer
inflitrasi kanker kolorektal), kehadiran infiltrasi lymphocytes diantara tumor.
Karsinogenesis yang terakselerasi muncul pada HNPCC, pada keadaan ini adenoma
kolon yang berukuran kecil dapat menjadi karsinoma dalam 2-3 tahun, bila dibandingkan
dengan proses pada rata-rata kanker kolorektal yang membutuhkan waktu 8-10 tahun.
Pasien dengan HNPCC mempunyai kecenderungan untuk menderita kanker
kolorektal pada umur yang sangat muda, dan screening harus dimulai pada umur 20 tahun
atau lebih dini 5 tahun dari umur anggota keluarga yang pertama kali terdiagnosa kanker
kolorektal yang berhubungan HNPCC. Angka rata-rata pasien dengan HNPCC yang
didiagnosa menderita kanker kolorektal pada umur 44 tahun, dibandingkan dengan pasien
kontrol yang menderita kanker kolorektal pada umur 68 tahun. Prognosis dari pasien
HNPCC terlihat lebih baik daripada pasien dengan sporadic kanker kolon. Dari penelitian
menunjukkan bahwa pasien dengan HNPCC kurang mendapat manfaat dari adjuvant
kemoterapi berdasarkan kombinasi fluorourasil daripada pasien tanpa kelainan ini. 13,15
3. Diet
Masyarakat yang diet tinggi lemak, tinggi kalori, daging dan diet rendah serat
berkemungkinan besar untuk menderita kanker kolorektal pada kebanyakan penelitian,
meskipun terdapat juga penelitian yang tidak menunjukkan adanya hubungan antara serat
dan kanker kolorektal. Ada dua hipotesis yang menjelaskan mekanisme hubungan antara
diet dan resiko kanker kolorektal. Teori pertama adalah pengakumulasian bukti
epidemiologi untuk asosiasi antara resistensi insulin dengan adenoma dan kanker
13
kolorektal. Mekanismenya adalah menkonsumsi diet yang berenergi tinggi
mengakibatkan perkembangan resistensi insulin diikuti dengan peningkatan level insulin,
trigliserida dan asam lemak tak jenuh pada sirkulasi. Faktor sirkulasi ini mengarah pada
sel epitel kolon untuk menstimulus proliferasi dan juga memperlihatkan interaksi oksigen
reaktif. Pemaparan jangka panjang hal tersebut dapat meningkatkan pembentukan kanker
kolorektal. Hipotesis kedua adalah identifikasi berkelanjutan dari agen yang secara
signifikan menghambat karsinogenesis kolon secara experimental. Dari pengamatan
tersebut dapat disimpulkan mekanismenya, yaitu hilangnya fungsi pertahanan lokal epitel
disebabkan kegagalan diferensiasi dari daerah yang lemah akibat terpapar toksin yang tak
dapat dikenali dan adanya respon inflamasi fokal, karakteristik ini didapat dari bukti
teraktifasinya enzim COX-2 dan stres oksidatif dengan lepasnya mediator oksigen
reaktif. Hasil dari proliferasi fokal dan mutagenesis dapat meningkatkan resiko terjadinya
adenoma dan aberrant crypt foci. Proses ini dapat dihambat dengan (a) demulsi yang
dapat memperbaiki permukaan lumen kolon; (b) agen anti-inflamasi; atau (c) anti-
oksidan. Kedua mekanisme tersebut, misalnya resistensi insulin yang berperan melalui
tubuh dan kegagalan pertahanan fokal epitel yang berperan secara lokal, dapat
menjelaskan hubungan antara diet dan resiko kanker kolorektal.13,16
Observasi kanker kolorektal karsinoma lebih sering muncul pada populasi dengan
faktor diet lemak hewan yang tinggi dan rendahnya intake serat, sehingga terdapat sebuah
hipotesis bahwa faktor tersebut berkontribusi untuk menimbulkan kanker. Diet yang
tinggi unsaturated fatty acid atau polyunsaturated fatty acid meningkatkan risiko kanker
kolorektal, sedangkan diet yang tinggi asam oleat (minyak zaitun, minyak kelapa sawit,
dan minyak ikan) tidak meningkatkan risiko. Pada penelitian dengan hewan
menunjukkan lemak tersebut bersifat toksik langsung terhadap mukosa kolon sehingga
mungkin dapat menyebabkan perubahan maligna. Sebaliknya, diet yang tinggi serat sayur
nampaknya bersifat lebih protektif. Intake kalsium, selenium, vitamin A, C, dan E,
karotenoid, dan fenol dapat mengurangi kejadian kanker kolorektal. Studi ini menjadi
dasar preventif primer untuk mengeradikasi kanker kolorektal dengan cara mengatur diet
dan gaya hidup.
14
4. Gaya Hidup
Pria dan wanita yang merokok kurang dari 20 tahun mempunyai risiko tiga kali
untuk memiliki adenokarsinoma yang kecil, tapi tidak untuk yang besar. Sedangkan
merokok lebih dari 20 tahun berhubungan dengan risiko dua setengah kali untuk
menderita adenoma yang berukuran besar.
Diperkirakan 5000-7000 kematian karena kanker kolorektal di Amerika
dihubungkan dengan pemakaian rokok. Pemakaian alkohol juga menunjukkan hubungan
dengan meningkatnya risiko kanker kolorektal.
Pada berbagai penelitian telah menunjukkan hubungan antara aktifitas, obesitas
dan asupan energi dengan kanker kolorektal. Pada percobaan terhadap hewan,
pembatasan asupan energi telah menurunkan perkembangan dari kanker. Interaksi antara
obesitas dan aktifitas fisik menunjukkan penekanan pada aktifitas prostaglandin
intestinal, yang berhubungan dengan risiko kanker kolorektal. The Nurses Health Study
telah menunjukkan hubungan yang berkebalikan antara aktifitas fisik dengan terjadinya
adenoma, yang dapat diartikan bahwa penurunan aktifitas fisik akan meningkatkan risiko
terjadinya adenoma.
5. Usia
Proporsi dari semua kanker pada orang usia lanjut (≥ 65 thn) pria dan wanita
adalah 61% dan 56%. Frekuensi kanker pada pria berusia lanjut hampir 7 kali (2158 per
100.000 orang per tahun) dan pada wanita berusia lanjut sekitar 4 kali (1192 per 100.000
orang per tahun) bila dibandingkan dengan orang yang berusia lebih muda (30-64 thn).
Sekitar setengah dari kanker yang terdiagnosa pada pria yang berusia lanjut adalah
kanker prostat (451 per 100.000), kanker paru-paru (118 per 100.000) dan kanker kolon
(176 per 100.000). Sekitar 48% kanker yang terdiagnosa pada wanita yang berusia lanjut
adalah kanker payudara (248 per 100.000), kanker kolon (133 per 100.000), kanker paru
paru (118 per 100.000) dan kanker lambung (75 per 100.000).
Usia merupakan faktor paling relevan yang mempengaruhi risiko kanker
kolorektal pada sebagian besar populasi. Risiko dari kanker kolorektal meningkat 15
bersamaan dengan usia, terutama pada pria dan wanita berusia 50 tahun atau lebih, dan
hanya 3% dari kanker kolorektal muncul pada orang dengan usia dibawah 40 tahun. Lima
puluh lima persen kanker terdapat pada usia ≥ 65 tahun, angka insiden 19 per 100.000
populasi yang berumur kurang dari 65 tahun, dan 337 per 100.000 pada orang yang
berusia lebih dari 65 tahun.13
Di Amerika seseorang mempunyai risiko untuk terkena kanker kolorektal sebesar
5%. Sedangkan kelompok terbesar dengan peningkatan risiko kanker kolorektal adalah
pada usia diatas 40 tahun. Seseorang dengan usia dibawah empat puluh tahun hanya
memiliki kemungkinan menderita kanker kolorektal kurang dari 10%. Dari tahun 2000-
2003, rata-rata usia saat terdiagnosa menderita kanker kolorektal pada usia 71 tahun.
Insidensi berdasarkan usia dibawah 20 tahun sebesar 0,0%, 20-34 tahun sebesar 0,9%,
35-44 tahun sebesar 3,5%, 45-54 tahun sebesar 10,9%, 55-64 tahun sebesar 17,6%, 65-74
tahun sebesar 25,9%, 75-84 tahun sebesar 28,8%, dan > 85 sebesar 12,3%.
IV. MANIFESTASI KLINIK
Presentasi timbulnya keganasan kolon dapat dibagi menjadi tiga kategori umum: onset
gejala kronis yang asimtomatis, obstruksi intestinal akut, atau perforasi akut. Presentasi yang
paling sering timbul adalah onset gejala kronis yang asimtomatis (77 – 92%), diikuti oleh
obstruksi (6 - 16%), dan perforasi dengan peritonitis local atau difus (2 – 7%).
Gejala
Perdarahan pada anus merupakan gejala yang paling umum pada keganasan kolorektal. Namun,
pasien dan dokter lebih cenderung berpikir bahwa perdarahan pada anus diakibatkan oleh
hemoroid. Perdarahan dapat terjadi secara samar tau dapat terlihat feses yang berwana hitam,
merah marun, ungu hitam, atau merah segar tergantung pada lokasi keganasan. Perdarahan samar
dapat mempunyai gejala anemia defisiensi besi dan kelelahan.
Perubahan buang air besar merupakan gejala yang paling sering ditemukan pada urutan kedua,
dengan pasien yang mengeluh konstipasi atau diare. Konstipasi bisa terjadi pada keganasan yang
terletak pada kolon sebelah kiri karena diameter kolon sinsitra lebih kecil dan feses lebih padat
ketika mencapai kolon di sebelah kiri daripada di sebelah kanan. Pasien juga mengeluh
16
perubahan yang bertahap pada bentuk feses. Karsinoma pada kolon dextra umumnya tidak
ditemukan perubahan buang air besar, namun banyaknya jumlah mukus yang dihasilkan oleh
tumor dapat menyebabkan diare, namun jika keganasannya terletak di katup ileosekal dapat
menyebabkan obstruksi.
Nyeri abdomen juga sering ditemukan sebagaimana pasien mengeluh perubahan buang air besar.
Obstruksi pada kolon sinistra dapat menimbulkan gejala nyeri perut, juga nausea dan vomitus,
dan mereda dengan gerakan usus. Keganasan pada kolon dextra dapat berupa nyeri perut yang
sulit dilokalisasikan. Gejala umum lain yang jarang ditemukan adalah kelelahan, penurunan berat
badan, demam, massa pada abdomen, dan gejala-gejala tambahan pada traktus urinarius
(frekuensi, penumaturia, dan fekaluria). Jika ditemukan bakteremia dengan Streptococcus bovis
berarti sugestif tinggi adanya keganasan kolorektal.
Tanda
Obsrtruksi intestinal akut merupakan tanda yang ditemukan pada 15% dari 23.500 penderita.
Pada pemeriksaan fisik, mungkin agak sulit ditemukan adanya massa pada abdomen karena usus
yang terdistensi, baik keganasan primer maupun metastasis. Timpani, asites, dan distensi
mungkin bisa ditemukan pada pemeriksaan fisik abdomen. Rectal toucher hanya jarang
dilakukan untuk mengetahui adanya obstruksi, namun jarang ditemukan. Keganasan kolorektal
harus selalu dicurigai pada pasien dengan keluhan obstruksi kolon. Anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan radiologi abdomen sederhana dapat menunjang diagnosis. Pemeriksaan tambahan lain
untuk konfirmasi diagnosis lain adalah barium enema, endoskopi rigid atau flexible, atau CT-
scan abdomen atau pelvis.
Perforasi merupakan tanda umum ketiga yang sering ditemukan pada keganasan kolorektal.
Perforasi dapat menyebabkan peritonitis lokalis atau difus, dan mampu menimbulkan fistula
pada organ terdekat seperti vesika urinaria. Jika perforasi muncul ke proksimal dari obstruksi,
dan juga perforasi pada sekum yang terdilatasi proksimal dari karsinoma sigmoid, pasien akan
mengeluh peritonitis difus dan sepsis sehingga hal ini menjadi indikasi untuk dilakukannya
bedah emergensi.
17
Stadium
Sistem stadium penting untuk memprediksi hasil, memilih terapi yang akan dilakukan, dan
perbandingan terapi pada tiap pasien berbeda. Tumor yang dianggap invasif berarti harus
menembus muskularis mukosa. Sel maligna yang berada tidak menembus muskularis mukosa
tidak dianggap dapat invasif karena tidak adanya linfonodus dan dianggap sebagai carcinoma in
situ.
Banyak system stadium keganasan kolorektal yang ada, contohnya stadium TNM
(tumor/nodus/metastasis) yang diklasifikasikan oleh American College of Surgeon’s Commission
on Cancer.
Stadium Kedalaman Status Limfonodus Metastasis Jauh
Stadium 1 T1, T2 N0 M0
Stadium 2 T3, T4 N0 M0
Stadium 3 Seluruh T Setiap N (Kecuali
N0)
M0
Stadium 4 Seluruh T Setiap N M1
TX : tumor primer, tidak dapat dinilai
T0 : tidak ada bukti adanya tumor primer
Tis : carcinoma in situ
T1 : tumor menginvasi ke submukosa
T2 : tumor menginvasi muskularis propria
T3 : tumor menginvasi menembus muskularis propria ke tunika subserosa atau ke perikolika
atau ke perirektal (tunika adventisia)
T4a : tumor langsung menginvasi langsung struktur lain (misal os coccygeus)
T4b : perforasi tumor ke peritoneum visceral
18
NX : limfonodus regional tidak dapat dinilai
N0 : tidak ada limfonodus regional yang terkena
N1 : mengenai 1-3 limfonodus regional
N2 : mengenai lebih dari 3 limfonodus regional
N3 : limfonodus regional beserta pembuluh darah besar
MX : adanya metastasis jauh tidak dapat dinilai
M0 : tidak ada metastasis jauh
M1 : metastasis jauh (di luar limfonodus regional dari tumor primer)
Stadium karsinoma kolorektal menurut American Joint Committee on Cancer (AJCC). (Sumber:
Greene et al. AJCC Cancer Staging Manual, Sixth Edition (2002) published by Springer Science
and Business Media LLC, www.springerlink.com).
The American Joint Committee on Cancer (AJCC) memperkenalkan TNM staging
system, yang menempatkan kanker menjadi satu dalam 4 stadium (Stadium I-IV). 1,2,5
1. Stadium 0
Pada stadium 0, yaitu pada mukosa saja. Disebut juga carcinoma in situ.
2. Stadium I
Pada stadium I, kanker telah menyebar menembus mukosa sampai lapisan muskularis dan
melibatkan bagian dalam dinding rektum tapi tidak menyebar kebagian terluar dinding rektum
ataupun keluar dari rektum. Disebut juga Dukes A rectal cancer.
3. Stadium II
Pada stadium II, kanker telah menyebar keluar rektum kejaringan terdekat namun tidak
menyebar ke limfonodi. Disebut juga Dukes B rectal cancer.
4. Stadium III
Pada stadium III, kanker telah menyebar ke limfonodi terdekat, tapi tidak menyebar kebagian
tubuh lainnya. Disebut juga Dukes C rectal cancer.
5. Stadium IV
19
Pada stadium IV, kanker telah menyebar kebagian lain tubuh seperti hati, paru, atau ovarium.
Disebut juga Dukes D rectal cancer
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Hitung darah lengkap/Complete Blood Count (CBC) dapat menunjukkan adanya anemia. Tes
fungsi hepar dapat menunjukkan hasil yang abnormal jika sudah terjadi metastasis ke hepar. Jika
20
terjadi metastasis ke hepar maka kadar CEA juga akan ikut meningkat, namun jika tidak ada
metastasis, kadar CEA juga akan ikut meningkat
Imaging Studies
Kolonoskopi
Dengan pemeriksaan kolonoskopi, dokter mampu menilai ukuran tumor, namun tidak dengan
kedalaman invasi tumor, dan juga lokalisasi kolon. Periksaan kolonoskopi bersifat sangat sensitif
untuk mendeteksi bahkan polip yang kecil sekalipun (<1 cm) dan mampu mulakukan biopsi,
polipektomi, dan kontrol perdarahan. Namun, kolonoskopi membutuhkan
persiapan khusus (pasien diperintahkan untuk puasa sebelum dilakukan kolonoskopi) dan adanya
ketidak nyamanan pada saat pemeriksaan sehingga terkadang harus di anestesi terlebih dahulu.
Hal inilah yang membuat pemeriksaan ini menjadi mahal. Komplikasi yang dapat terjadi adalah
perdarahan dan perforasi, namun hal tersebut sangat jarang terjadi (0,2 – 0,3%).
Radiologi
Foto roentgen dada dilakukan untuk menghilangkan kemungkinan adanya lesi pulmoner
sekaligus untuk menentukan status paru dan jantung. CT-scan abdomen dilakukan selektif jika
ada pasien dengan hasil SGOT/SGPT yang abnormal, yang dimana kemungkinan telah terjadi
metastasis.
VI. DIAGNOSIS
21
Algoritme diagnosis dan terapeutik kanker kolon
VII. PENTATALAKSANAAN
Prinsip Reseksi
Tujuan penatalaksanaan karsinoma kolon adalah untuk mengangkat tumor dengan suplai
limfovaskularnya. Karena pembuluh limfe pada kolon bersamaan dengan suplai arteri, panjang
kolon yang direseksi bergantung pada pembuluh darah yang terlibat dalam menyuplai sel kanker.
Setiap jaringan yang menempel pada sel kanker, seperti omentum, yang telah terinvasi, harus
dilakukan reseksi en bloc. Jika seluruh tumor tidak dapat diangkat, maka terapi paliatif menjadi
pilihannya.
Adanya sel-sel kanker atau adenoma yang saling berhubungan, atau adanya riwayat
keluarga dengan neoplasma kolorektal, menandakanbahwa seluruh kolon berisiko terkena
karsinoma (biasanya disebut juga field defect) dan dipertimbangkan dilakukan kolektomi total
22
atau subtotal. Jika terjadi metachronous tumors (tumor kedua daritumor primerkolon) maka
dilakukan juga dengan penatalaksanaan yang sama.
Jumlah limfonodus yang diambil pada pembedahan mampu menentukan kualitas reseksi.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sebanyak minimal 12 limfonodus yang terangkat
memiliki tingkat kesembuhan yang adekuat. Namun pada penelitian lain menunjukkan bahwa
jumlah limfonodus yang terambil tidak menentukan tingakt kesembuhan.
Jika ditemukan metastasis tumor pada saat laparotomi, maka reseksi tumor primer tetap
dilakukan jika kondisi pasien stabil. Dipertimbangkan agar dilakukan anastomosis primer jika
kolon terlihat sehat, tidak terlibat karsinomatosis, dan keadaan pasien stabil.
23
Gambar 7. Panjang reseksi pada karsinoma kolon. A. Karsinoma sekum. B. Karsinoma felksura
hepatika. C. Karsinoma kolon transversum. D. Karsinomafleksura splenika. E. Karsinoma kolon
desenden. F. Karsinoma kolon sigmoid. (Sumber: Brunicardi FC, Anderson DK, Billiar TR,
Dunn DL, Hunter JG, Metthews JB, Pollock RE: Schwartz’s Principles of Surgery, 9th Edition).
Stadium 0 (Tis, N0, M0)
Polip yang mengandung karsinoma in situ (high-grade dysplasia) tidak berisiko untuk terjadi
metastasis limfonodus. Namun adanya high-grade dysplasia, menaikkan adanya risiko
karsinoma invasif di dalam polip. Akibat hal ini, polip tersebut harus di eksisi seluruhnya dan
batas patologik di sekitar polip harus terbebas dari area displasia. Umumnya polip ini dapat
dieksisi dengan endoskopi. Setelah dibedah, pasien harus tetap di followup dengan endoskopi
untuk meyakinkan bahwa polipnya tidak akan timbul kembali dan tidak n berkembang menjadi
karsinoma kolon. Jika polip tidak bias di angkat seluruhnya, maka dapat direkomendasikan
unutuk dilakukan eksisi segmental.
Stadium I: Polip Maligna (T1, N0, M0)
Penatalaksanaan polip maligna tergantung pada tempat munculnya polip dan risiko timbulnya
metastasis limfonodus. Risiko metastasis limfonodus tergantung pada kedalaman invasi.
Karsinoma invasif yang terdapat pada kepala polip tanpa mengenai batangnya memiliki risiko
metastasis yang rendah (<1%) dan dapat direseksi secara endoskopi. Namun, invasi
limfovaskular, gambaran histologi dengan diferensiasi yang luas, atau tumor dalam batas 1 mm
dari tempat reseksi mempunyai faktor risiko rekurensi lokal dan metastasis. Pada keadaan ini
merupakan indikasi dilakukannya kolostomi segmental. Karsinoma invasif yang muncul dari
polip sessile memanjang ke arah submukosa sehingga dapat dilakukan kolostomi segmental.
Stadium I dan II: Karsinoma Kolon Terlokalisir (T1-T3, N0, M0)
Kebanyakan pasien pada karsinoma kolon stadium I dan II dapat disembuhkan dengan reseksi.
Hanya beberapa pasien yang kembali timbul kanker setelah dilakukan reseksi, pengobatan
kemoterapi ajuvan tidak dapat mengurangi rekurensi kanker ini. Namun sebanyak 46% pasien
24
setelah reseksi komplit stadium II akan meninggal akibat kanker kolon. Akibat hal tersebut,
dilakukanlah pengobatan ajuvan pada beberapa pasien dengan karsinoma kolon stadium II
(pasien yang masih muda dengan gambaran radiologi dengan displasia yang tinggi). Data yang
ada masih kontroversial apakah dengan terapi ajuvan setelah bedah mampu meningkatkan
survival rate.
Stadium III: Metastasis Limfonodus (Seluruh T, N1, M0)
Pasien dengan metastasis pada limfonodus berisiko terjadinya metastasis lokal maupun jauh dan
kemoterapi ajuvan direkomendasikan pada pasien ini. 5-flurouracil (5-FU) dan levamisole
mengurangi angka kematian sampai 33% dengan efek samping yang rendah. Agen
kemoteraputik lain seperti capecitabine, irinotecan, oxaliplatin, angiogenesis inhibitors, and
imunoterapi juga menunjukkan efek yang baik.
Stadium IV: Metastasis Jauh (Seluruh T, Seluruh N, M1)
Angka keselamatan pada kanker kolon stadium IV sangat rendah. Namun, tidak seperti
keganasan lain, pasien dengan metastase yang dapat direseksi dan terlokalisir, memiliki
keuntungan dari reseksi (metastasektomi). Tempat yang paling sering terjadi metastase adalah
pada hepar dan 20% diantara pasien yang memiliki metastasis dapat direseksi. Angka
keselamatan pada pasien ini meningkat (20 – 40% dalam 5 tahun). Tempat kedua yang paling
sering terkena metastasis adalah paru, muncul sebanyak 20% pasien dengan karsinoma
kolorektal. Meski hanya beberapa pasien yang mampu menjalani reseksi (sekitar 1 – 2%), angka
keselamatan jangka panjang mencapai 30 – 40%.
Pada pasien karsinoma kolon stadium IV yang tidak dapat direseksi; fokus penatalaksanaan
tertuju pada terapi paliatif. Umumnya reseksi pada tumor primer direkomendasikan agar dapat
mencegah komplikasi seperti perdarahan dan obstruksi. Namun, bedah abdomen mayor dapat
mengurangi efek kemoterapi. Terlebih lagi, kemoterapi regimen baru mempunyai efek yang
signifikan dan pengecilan tumor. Berdasarkan teori ini, beberapa ahli bedah menganjurkan hanya
dilakukan kemoterapi tanpa reseksi pada kanker kolon stadium IV.
25
Regimen Kemoterapi yang Digunakan pada M.D. Anderson Cancer Centre (MDACC)
Pasien dengan kanker kolon stadium II dan III mempunyai risiko terkena mikrometastasis setelah
reseksi. Terapi sistemik telah didirikan untuk mencegah komplikasi tersebut. Berikut adalah
terapi yang umum digunakan pada MDACC.
Kemoterapi Adjuvan :
- Mayo Clinic Bolus: 5-FU 425 mg/m2 + leucovorin 20 mg/m2 pada hari 1–5 tiap 4 minggu. Total
6 minggu
- Roswell Park: 5-FU 500 mg/m2 + leucovorin 500 mg/m2 per minggu untuk 6 minggu dengan 2
minggu waktu istirahat (tidak minum obat). Total 3 siklus.
- Capecitabine: 2000 mg/m2 dalam dua dosis dua kali per hariselama 14 hari, 7 hari istirahat. Total
8 siklus.
- FOLFOX 4: Oxaliplatin 85 mg/m2 IV hari 1; leucovorin 200 mg/m2 IV; fluorouracil 400 mg/m2
IV bolus, diikuti oleh fluorouracil 600 mg/m2 untuk 22 jam selama hari ke-1 dan 2, diberika tiap
14 hari. Total 12 siklus.
Terapi untuk Metastasis :
- Mayo Clinic Bolus: 5-FU 425 mg/m2 + leucovorin 20 mg/m2 pada hari 1–5 tiap 4 minggu.
- Roswell Park: 5-FU 500 mg/m2 + leucovorin 500 mg/m2 per minggu selama 6 minggu dengan 2
minggu waktu istirahat.
- IFL (Saltz Regimen, Triple Therapy): CPT-11 100–125 mg/m2 IV tiap 90 min, 5-FU 500 mg/m2,
semua diberikan selama 4 minggu dan 2 minggu waktu istirahat.
- FOLFOX 4: Oxaliplatin 85 mg/m2 IV hari ke-1; leucovorin 200 mg/m2 IV; fluorouracil 400
mg/m2 IV bolus, diikuti oleh fluorouracil 600 mg/m2 untuk 22 jam selama hari ke-1 dan 2
diberikan selama 14 hari.
- XELIRI: Irinotecan 200–250 mg/m2 day 1; capecitabine 750–1000 mg/m2 PO dua kali perhari
hari ke-1–14, tiap 21 hari.
- XELOX: Oxaliplatin 100 mg/m2 hari ke- 1; capecitabine 750–1000 mg/m2 PO BID dua kali
perhari hari ke-1–14, tiap 21 hari.
26
- Bevacizumab: (Avastin) 5 mg/kg IV tiap 14 hari diselingi dengan 5-FU-based chemotherapy.
- Cetuximab: (Erbitux) 400 mg/m2 loading dose mencapai 120 menit (minggu ke-1); 250 mg/m2
selama 60 menit per minggu dosis maintenance, dengan irinotecan atau sebagai single agent pada
pasien yang tintoleransi irinotecan.
VII. PROGNOSIS
Secara keseluruhan 5-year survival rates untuk kanker rektal adalah sebagai berikut :
a. Stadium I - 72%
b. Stadium II - 54%
c. Stadium III - 39%
d. Stadium IV - 7%
Lima puluh persen dari seluruh pasien mengalami kekambuhan yang dapat berupa
kekambuhan lokal, jauh maupun keduanya. Kekambuhan lokal lebih sering terjadi pada.
Penyakit kambuh pada 5-30% pasien, biasanya pada 2 tahu pertama setelah operasi.
Faktor – faktor yang mempengaruhi terbentuknya rekurensi termasuk kemampuan ahli
bedah, stadium tumor, lokasi, dan kemapuan untuk memperoleh batas - batas negatif
tumor. 2
27
DAFTAR PUSTAKA
1. Hassan, Isaac., 2006. Rectal carcinoma. Available from www.emedicine.com.
2. Cirincione, Elizabeth., 2005. Rectal Cancer. Available from www.emedicine.com.
3. American Cancer Society, 2006. Cancer Facts and Figures 2006. American Cancer
Society Inc. Atlanta
4. Anonim, 2006. A Patient’s Guide to Rectal Cancer. MD Anderson Cancer Center,
University of Texas.
5. Anonim, 2006. Rectal Cancer Facts : What’s You Need To Know. Available from
Available from www.healthABC.info.
6. Anonim, 2006. Rectal Cancer - Overview, Screening, Diagnosis & Staging. Available
from www.OncologyChannel.com.
7. Anonim, 2005. Rectal Cancer Treatment. Available from
www.nationalcancerinstitute.htm.
8. De Jong Wim, Samsuhidajat R. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta.
9. Casciato DA, (ed). 2004. Manual of Clinical Oncology 5th ed. Lippincott Willi ams &
Wilkins: USA.p 201
10. Schwartz SI, 2005. Schwartz’s Principles of Surgery 8th Ed. United States of America:
The McGraw-Hill Companies.
11. Lynch HT, Chapelle ADL. Hereditary Colorectal Cancer. the New England Journal of
Medicine. Available from www.pubmed.com. p.348:919-932, (Download :1 maret 2015)
28
12. Soeripto et al. Gastro-intestinal Cancer in Indonesia. Asian Pacific Journal of Cancer
Prevention, (Online), 2003; Vol. 4, No. 4, Available from http://www.apocp.org/
cancer_download/Vol4_No4/Soeripto.pdf,. (Download : 1 maret 2015)
13. National Cancer Institute. 2006. SEER Cancer Statistics Review 1975-2003, Available
from http://seer.cancer.gov/statfacts/html/colorect.html.
14. MD Anderson Manual of Medical Oncology. 2007. McGraw-Hill Company.
15. Phillips, Robin. Colorectal Surgery A Companion To Specialist Surgical Practice. 2001.
Elsevier
29