Ileus Obstruktif e.c ca colon

41
LAPORAN KASUS Ileus Obstruktif e.c Ca Colon DISUSUN OLEH Aina Ullafa 2010730006 Pembimbing: dr. Lili K.D, Sp. B KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH PERIODE 25 Mei – 02 Agustus 2015 RSUD CIANJUR PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN 1

description

laporan kasus ileus obstruktif e.c ca colon stase Bedah RSUD Cianjur

Transcript of Ileus Obstruktif e.c ca colon

Page 1: Ileus Obstruktif e.c ca colon

LAPORAN KASUS

Ileus Obstruktif e.c Ca Colon

DISUSUN OLEH

Aina Ullafa 2010730006

Pembimbing: dr. Lili K.D, Sp. B

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH

PERIODE 25 Mei – 02 Agustus 2015

RSUD CIANJUR

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

2015

1

Page 2: Ileus Obstruktif e.c ca colon

BAB I

KASUS

Nama : Tn. E

Usia : 29 tahun

Jenis kelamin : laki-laki

Pekerjaan : Freelance

Alamat : Ds. Ramasari, Haurwangi, Cianjur

MRS : 8 Juli 2015

AUTOANAMNESIS

Keluhan Utama :

Nyeri perut

Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang ke RSUD Cianjur dengan keluhan nyeri perut terus menerus

diseluruh lapang perut, dirasakan sejak 2 minggu SMRS. Os mengeluh perut

kembung terus menerus. Muntah warna kuning cair. BAB kecil-kecil, nyeri (+),

warna agak kecoklatan, lendir (+), tidak ada darah segar. Kentut (-). Demam (-).

Merasa badan bertambah kurus.7 bulan SMRS os mengatakan BAB cair, warna

kuning, ada lendir, kadang ada darah. Berobat kedokter terdekat sembuh tapi

sering kambuh. 1 bulan SMRS Perut kembung tapi kempes setelah muntah.

Muntah setelah makan, berisi makanan yang dimakan. BAB kecil-kecil, warna

kuning, ada lendir, kadang ada darah.

Riwayat Penyakit Dahulu :

- Pasien pernah mengalami keluhan yang seperti ini sebelumnya.

- Pasien mengaku pernah dioperasi akibat kanker usus ± 1 tahun yang lalu.

2

Page 3: Ileus Obstruktif e.c ca colon

Riwayat Penyakit Keluarga :

- Riwayat penyakit keganasan di keluarga (+) Ca rectum dialami oleh ibu kandung

pasien meninggal.

Riwayat Pengobatan :

- Sebelum dibawa ke RS pasien mengaku berobat ke klinik terdekat namun tidak ada

perubahan.

- Pasien sering konsumsi jamu-jamuan dan obat herbal yang didapatkan dari kakak pasien.

- Pasien tidak pernah minum obat-obatan penghilang nyeri dan minum obat dalam jangka

waktu yang lama.

Riwayat Kebiasaan :

Pasien mengaku makan tidak teratur, merokok (+) kadang-kadang.

PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Composmentis

Tanda vital :

- TD : 100/80 mmHg

- Nadi : 80 x/menit

- Pernafasan : 24x/menit

- Suhu : 36,6°C

Status Generalis

Kepala : normochepal, rambut hitam, tidak rontok

Mata : Pupil bulat isokor, diameter 3mm/mm Refleks pupil +/+

Konjungtiva anemis +/+

Sklera ikterik -/-

THT : dalam batas normal

3

Page 4: Ileus Obstruktif e.c ca colon

LEHER : pembesaran KGB (-), pembesaran thyroid (-)

THORAX

Inspeksi : normochest, pergerakan dada simetris.

Palpasi : tidak ada pergerakan dada yang tertinggal, nyeri tekan (-), vokal fremitus sama

simetris dekstra sinistra.

Perkusi : sonor di seluruh lapangan paru

Auskultasi

Paru : vesikular (+/+) normal, Rhonki (-/-), Wheezing (-/-), stridor (-/-)

Jantung : BJ I dan II murni regular, murmur (-), gallops (-)

ABDOMEN

Inspeksi : cembung (+), distensi, scar luka operasi (+)

Auskultasi : bising usus (+) meningkat, metalic sound (+)

Palpasi : (-) perut distensi tegang untuk dipalpasi

Perkusi : hipertimpani seluruh kuadran abdomen

Ekstremitas:

- Superior : Akral hangat, RCT < 2 detik, edema (-), sianosis (-)

- Inferior : Akral hangat, RCT < 2 detik, edema (-), sianosis (-)

Status Lokalis a/r abdomen

Abdomen tampak abdomen distensi, bising usus (+) meningkat, metalic sound (+), hipertimpani

seluruh kuadran abdomen.

Rectal touche

Tonus sfingter ani baik, ampula recti: tidak colaps, permukaan mukosa licin tidak berbenjol-

benjol, massa (-), nyeri (-), feses (-). Sarung tangan: darah (-), lendir (-), feses (-).

4

Page 5: Ileus Obstruktif e.c ca colon

Resume

• Laki-laki, 29 tahun. Nyeri perut terus menerus diseluruh lapang perut, dirasakan sejak 2 minggu SMRS. Os mengeluh perut kembung. Muntah warna kuning cair. BAB kecil-kecil, warna kuning. Tidak bisa kentut. Merasa badan bertambah kurus. Sejak 7 bulan SMRS os mengatakan BAB cair, warna kuning, ada lendir. 1 bulan SMRS Perut kembung tapi kempes setelah muntah. Muntah setelah makan, berisi makanan yang dimakan. BAB kecil-kecil, warna kuning, ada lendir. Ibu pasien mengalami ca rectum.

• Status lokalis a/r abdomen: tampak abdomen distensi, bising usus (+) meningkat, metalic sound (+), hipertimpani seluruh kuadran abdomen.

Diagnosis banding

Ca colon Ca recti Diverticulosis Colitis ulserative

Usulan Pemeriksaan Penunjang

Darah rutin, dan fungsi hati (SGPT SGOT) Colonoscopy + biopsi

Penatalaksanaan pada pasien

• Tanggal 8/7/2015 hasil pemeriksaan darah rutin– Hb : 14.8 g/dL– Fungsi hati :

• Sgpt : 37 U/L (normal : 12-78)

• Tanggal 11/7/2015 dilakukan LE+colostomi

– Hasil : • ditemukan massa tumor di colon ascenden• Ditemukan penyabunan• Dilakukan colostomi

Terapi post operasi :IVFD RLInjeksi Ceftriaxone 1 x 1 grKetorolac 2 x 30 mg

5

Page 6: Ileus Obstruktif e.c ca colon

BAB II

ANALISA KASUS

Ca colon Ca recti Diverticulosis Colitis ulserative

Laki laki L>P L>P L=P L=P

Usia 29 tahun Mulai dari 40

tahun

Mulai dari 40

tahun

50% > 70 tahun 15-40 tahun atau

> 50 tahun

Nyeri perut + + + +

Mual & muntah + + - +

Nyeri saat ingin

BAB

+ + -(setelah BAB nyeri perut berkurang)

+

BAB lendir + + + +

BAB darah + + + +

Tidak demam + + + -

Penurunan BB + + - +

Riwayat keganasan sebelumnya

+ + - -

Riwayat keganasan pada keluarga

+ + - -

Anemis + + - -

Metallic sound + - - -

Benjolan saat RT - + - -

6

Page 7: Ileus Obstruktif e.c ca colon

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

I. DEFINISI DAN ANATOMI

Ca colon adalah kanker yang terjadi pada colon (usus besar). Kolon mulai

berjalan dari awal ileus terminal dan sekum dan berjalan sepanjang 3 sampai 5 kaki

sampai ke rektum. Perbatasan rektosigmoid dapat ditentukan yaitu ketika tiga taeniae coli

membentuk otot polos longitudinal luar rektum. Sekum mempunyai diameter kolon yang

paling lebar (7,5 – 8,5 cm) dan mempunyai dinding otot yang tipis. Hal ini membuat

sekum menjadi rentan terhadap perforasi dan yang paling jarang terjadi obstruksi. Kolon

asenden bagian posterior menempel pada retroperitoneum, sedangkan bagian lateral dan

anteriornya merupakan bagian dari struktur intraperitoneal. “White line of Toldt”

merupakan gabungan antara mesenterium dengan peritoneum posterior. Bagian yang

halus ini membuat pembedah sebagai panduan untuk memobilisasi kolon dan

mesenterium dari retroperitoneum.

Flexura hepatica (flexura coli dextra) menjadi penanda transisi kolon asenden

(panjang 15 cm) menjadi kolon transversum (panjang 45 cm). Kolon transversum

intraperitoneal relatif dapat bergerak, namun terikat dengan ligamentum gastrokolika dan

mesenterium kolon. Omentum majus menempel pada ujung anterior/superior kolon

transversum, hal inilah yang menyebabkan gambaran seperti segitiga pada kolon

tranversum ketika dilihat pada kolonoskopi.

Fleksura splenika (flexura coli sinistra) menjadi penanda transisi kolon

transversum menjadi kolon desendens (panjang 25 cm). Ikatan antara fleksura kolika dan

limpa (ligamentum ileokolika) merupakan ligamen yang pendek dan tebal, yang

akibatnya membuat kolektomi menjadi cukup sulit. Kolon desenden umumnya menempel

pada retroperitoneum. Kolon sigmoid bagian dari kolon dengan panjang yang bervariasi

(15 – 50 cm, rata-rata 38 cm) dan diameter yang sempit namun mempunyai pergerakan

yang luas. Meskipun kolon sigmoid terletak pada kuadran kiri bawah, akibiat

mobilitasnya yang hebat dapat berpindah ke kuadran kanan bawah. Pergerakan ini

7

Page 8: Ileus Obstruktif e.c ca colon

menjelaskan mengapa volvulus umum ditemukan di kolon sigmoid dan mengapa

penyakit yang mengenai kolon sigmoid, contohnya divertikulitis, dapat mempunyai

gejala nyeri pada kuadran kanan bawah. Diameter yang sempit pada kolon sigmoid

membuat bagian ini sangat rentan terhadap obstruksi.

Suplai arteri pada kolon, arteri mesenterika superior bercabang menjadi arteri

ileokolika (sebanyak 20% populasi tidak memiliki arteri ini), yang menyuplai darah ke

ileus terminalis dan kolon asenden proksimal, arteri kolika dekstra, yang menyuplai darah

ke kolon asenden, dan arteri kolika media yang menyuplai kolon tranversum. Arteri

mesenterika inferior (SMA) bercabang menjadi arteri kolika sinistra yang menyuplai

kolon desenden, beberapa cabang arteri sigmoid, yang menyuplai kolon sigmoid, dan

arteri rektal superior yang menyuplai rektum proksimal. Pengecualian pada vena

mesenterika inferior, vena-vena pada kolon mempunyai terminologi yang sama seperti

arteri. Vena mesenterika inferior berjalan naik pada retroperitoneum melewati muskulus

psoas dan berjalan posterior ke pankreas untuk bergabung dengan vena splenika.

Pada kolektomi, vena ini di gerakkan secara independen dan di ligasi pada ujung

inferior pankreas. Drainase vena pada kolon transversum proksimal menuju ke vena

mesenterika superior yang begabung dengan vena splenika untuk membentuk vena porta.

Kolon transversum distal, kolon desenden, kolon sigmoid, dan sebagian besar rektum

terdrainase oleh vena mensenterika inferior yang bergerak ke atas menuju vena splenika.

II. ANGKA KEJADIAN

Adenokarsinoma kolorektum merupakan keganasan yang paling umum ditemukan pada

traktus GI. Lebih dari 150.000 kasus baru di Amerika dan lebih dari 52.000 pasien meninggal

tiap tahunnya, hal ini membuat kanker kolorektal menjadi pembunuh kedua pada penyakit

kanker di Amerika. (American Cancer Society, 2009). Deteksi dini dengan pengembangan

peralatan kedokteran yang mutakhir dianggap dapat membantu untuk mortalitas kanker

kolorektal dala beberapa tahun terakhir.

Kanker colorectal merupakan salah satu dari beberapa jenis kanker yang ada di dunia

yang menempati urutan nomor 2 dalam frekuensinya dan merupakan penyebab kematian nomor

8

Page 9: Ileus Obstruktif e.c ca colon

4 dari kematian karena kanker di dunia. Menurut WHO (2003) CFR akibat kanker colorectal

52,3% di seluruh dunia pada tahun 2003. Pada tahun 2007 CFR akibat kanker colorectal 33,94%

di seluruh dunia.

Berdasarkan survei WHO (2002) di USA, pada tahun 2002 ditemukan CFR akibat kanker

colorectal 40,56%.8 Pada tahun 2004 Insidens Rate kanker colorectal di USA sebesar 48 per

100.000 penduduk.9 The American Cancer Society (ACS) memperkirakan bahwa pada tahun

2009 sekitar 106.100 (72,2%) penduduk didiagnosa menderita kanker colon dan 40.870 (27,8%)

penduduk didiagnosa menderita kanker rectum, 75.590 kasus (51,4%) kanker colorectal terjadi

pada laki-laki dan 71.380 kasus (48,6%) terjadi pada wanita. CFR akibat kanker colon 50,1%

dan CFR akibat kanker rectum 42,3%.

Berdasarkan Laporan Profil Kesehatan beberapa negara, kanker colorectal di Australia

pada tahun 2003-2004 mencapai 12.536 orang dengan CFR 32,52%. Sedangkan di Singapura

kanker colorectal sebanyak 2.979 orang dengan CFR 22,96%.

Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia 2008, neoplasma ganas colon di Indonesia

berada pada peringkat 9 dari 10 peringkat utama penyakit neoplasma ganas pasien rawat inap di

seluruh rumah sakit di Indonesia dengan jumlah kasus sebanyak 1.810 dengan proporsi 4,92%.

Laporan data dari Direktorat Jenderal Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI tahun

2005 kasus kanker colorectal di seluruh Rumah Sakit se Indonesia adalah 3.806 kasus dengan

proporsi 8,2% dan tahun 2006 adalah 3.442 kasus dengan proporsi 8,11% dari seluruh penyakit

kanker.13 Berdasarkan catatan di Rumah Sakit Kanker Dharmais pada tahun 2007, kanker

colorectal menempati urutan ke tujuh pada sepuluh besar kanker tersering Rumah Sakit Kanker

Dharmais dengan proporsi sebesar 4,7%. Di RSCM (1996-2001) terdapat 224 kasus kanker

colon, terbanyak yaitu 50 kasus pada tahun 2001 yang diperoleh berdasarkan pemeriksaan

colonoscopy.

9

Page 10: Ileus Obstruktif e.c ca colon

III. ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO

Identifikasi faktor risiko untuk perkembangan kanker kolorektal merupakan hal yang penting

untuk menentukan program screening dan surveilans pada populasi dengan faktor risiko.

1. Idiopathic Inflammatory Bowel Disease

1.1 Ulseratif Kolitis

Ulseratif kolitis merupakan faktor risiko yang jelas untuk kanker kolon sekitar 1%

dari pasien yang memiliki riwayat kronik ulseratif kolitis. Risiko perkembangan kanker

pada pasien ini berbanding terbalik pada usia terkena kolitis dan berbanding lurus dengan

keterlibatan dan keaktifan dari ulseratif kolitis. Risiko kumulatif adalah 2% pada 10

tahun, 8% pada 20 tahun, dan 18% pada 30 tahun. Pendekatan yang direkomendasikan

untuk seseorang dengan risiko tinggi dari kanker kolorektal pada ulseratif kolitis dengan

mengunakan kolonoskopi untuk menentukan kebutuhan akan total proktokolektomi pada

pasien dengan kolitis yang durasinya lebih dari 8 tahun. Strategi yang digunakan

berdasarkan asumsi bahwa lesi displasia bisa dideteksi sebelum terbentuknya invasif

kanker. Sebuah studi prospektif menyimpulkan bahwa kolektomi yang dilakukan dengan

segera sangat esensial untuk semua pasien yang didiagnosa dengan displasia yang

berhubungan dengan massa atau lesi, yang paling penting dari analisa

mendemonstrasikan bahwa diagnosis displasia tidak menyingkirkan adanya invasif

10

Page 11: Ileus Obstruktif e.c ca colon

kanker. Diagnosis dari displasia mempunyai masalah tersendiri pada pengumpulan

sampling spesimen dan variasi perbedaan pendapat antara para ahli patologi anatomi.13

1.2 Penyakit Crohn’s

Pasien yang menderita penyakit crohn’s mempunyai risiko tinggi untuk menderita

kanker kolorektal tetapi masih kurang jika dibandingkan dengan ulseratif kolitis.

Keseluruhan insiden dari kanker yang muncul pada penyakit crohn’s sekitar 20%. Pasien

dengan striktur kolon mempunyai insiden yang tinggi dari adenokarsinoma pada tempat

yang terjadi fibrosis. Adenokarsinoma meningkat pada tempat strikturoplasty menjadikan

sebuah biopsy dari dinding intestinal harus dilakukan pada saat melakukan

strikturoplasty. Telah dilaporkan juga bahwa squamous sel kanker dan adenokarsinoma

meningkat pada fistula kronik pasien dengan crohn’s disease.

2. Faktor Genetik

2.1 Riwayat Keluarga

Kira-kira, sebanyak 20% kanker kolorektum muncul dengan adanya riwayat

keluarga yang pernah menderita kanker kolorektal. Pemahaman dan penelitian yang lebih

luas terhadap pemeriksaan genetik dapat berkontribusi untuk diagnosis dini. Karena

pertimbangan medikolegal dan etika yang terlibat dengan pemeriksaan ini, seluruh pasien

harus dilakukan konseling genetik jika memang ada suspek keluarga yang dulunya

terkena kanker kolorektal.

2.2 Herediter Kanker Kolorektal

Abnormalitas genetik terlihat mampu memediasi progresi dari normal menuju

mukosa kolon yang maligna. Sekitar setengah dari seluruh karsinoma dan

adenokarsinoma yang besar berhubungan dengan mutasi. Langkah yang paling penting

dalam menegakkan diagnosa dari sindrom kanker herediter yaitu riwayat kanker pada

11

Page 12: Ileus Obstruktif e.c ca colon

keluarga. Mutasi sangat jarang terlihat pada adenoma yang lebih kecil dari 1 cm. Allelic

deletion dari 17p ditunjukkan pada ¾ dari seluruh kanker kolon, dan deletion dari 5q

ditunjukkan lebih dari 1/3 dari karsinoma kolon dan adenoma yang besar.2 Dua sindrom

yang utama dan beberapa varian yang utama dari sindrom ini menyebabkan kanker

kolorektal telah dikenali karakternya. Dua sindrom ini, dimana mempunyai predisposisi

menuju kanker kolorektal memiliki mekanisme yang berbeda, yaitu familial adenomatous

polyposis (FAP) dan hereditary non polyposis colorectal cancer (HNPCC).

2.3 FAP (Familial Adenomatous Polyposis)

Gen yang bertanggung jawab untuk FAP yaitu gen APC, yang berlokasi pada

kromosom 5q21. Adanya defek pada APC tumor supresor gen dapat menggiring kepada

kemungkinan pembentukan kanker kolorektal pada umur 40 sampai 50 tahun. Pada FAP

yang telah berlangsung cukup lama, didapatkan polip yang sangat banyak untuk dapat

dilakukannya kolonoskopi polipektomi yang aman dan adekuat; ketika hal ini terjadi,

direkomendasikan untuk melakukan prophylactic subtotal colectomy diikuti dengan

endoskopi pada bagian yang tersisa. Idealnya prophylactic colectomy harus ditunda

kecuali terdapat terlalu banyak polip yang dapat ditangani dengan aman. Prosedur

pembedahan elektif harus sedapat mungkin dihindari ketika memungkinkan. Screening

untuk polip harus dimulai pada saat usia muda. Pasien dengan FAP yang diberi 400 mg

celecoxib, dua kali sehari selama enam bulan mengurangi rata rata jumlah polip sebesar

28%. Tumor lain yang mungkin muncul pada sindrom FAP adalah karsinoma papillary

thyroid, sarcoma, hepatoblastomas, pancreatic carcinomas, dan medulloblastomas otak.

Varian dari FAP termasuk gardner’s syndrom dan turcot’s syndrom.13,15

2.4 HNPCC (Hereditary Non Polyposis Colorectal Cancer)

Pola autosomal dominan dari HNPCC termasuk lynch’s sindrom I dan II.2

Generasi multipel yang dipengaruhi dengan kanker kolorektal muncul pada umur yang

muda (±45 tahun), dengan predominan lokasi kanker pada kolon kanan. Abnormalitas

genetik ini terdapat pada mekanisme mismatch repair yang bertanggung jawab pada

defek eksisi dari abnormal repeating sequences dari DNA, yang dikenal sebagai

12

Page 13: Ileus Obstruktif e.c ca colon

mikrosatellite (mikrosatellite instability). Retensi dari squences ini mengakibatkan

ekspresi dari phenotype mutator, yang dikarakteristikkan oleh frekuensi DNA replikasi

error (RER+ phenotype), dimana predisposisi tersebut mengakibatkan seseorang

memiliki multitude dari malignansi primer. Pasien dengan HNPCC mungkin juga

memiliki adenoma sebaceous, carcinoma sebaceous, dan multipel keratocanthoma,

Termasuk kanker dari endometrium, ovarium, kandung kemih, ureter, lambung dan

traktus biliaris. Jika dibandingkan dengan sporadic kanker kolorektal, tumor pada

HNPCC seringkali poorly differentiated, dengan gambaran mucoid dan signet-cell, reaksi

yang mirip crohn’s (nodul lymphoid, germinal centers, yang berlokasi pada perifer

inflitrasi kanker kolorektal), kehadiran infiltrasi lymphocytes diantara tumor.

Karsinogenesis yang terakselerasi muncul pada HNPCC, pada keadaan ini adenoma

kolon yang berukuran kecil dapat menjadi karsinoma dalam 2-3 tahun, bila dibandingkan

dengan proses pada rata-rata kanker kolorektal yang membutuhkan waktu 8-10 tahun.

Pasien dengan HNPCC mempunyai kecenderungan untuk menderita kanker

kolorektal pada umur yang sangat muda, dan screening harus dimulai pada umur 20 tahun

atau lebih dini 5 tahun dari umur anggota keluarga yang pertama kali terdiagnosa kanker

kolorektal yang berhubungan HNPCC. Angka rata-rata pasien dengan HNPCC yang

didiagnosa menderita kanker kolorektal pada umur 44 tahun, dibandingkan dengan pasien

kontrol yang menderita kanker kolorektal pada umur 68 tahun. Prognosis dari pasien

HNPCC terlihat lebih baik daripada pasien dengan sporadic kanker kolon. Dari penelitian

menunjukkan bahwa pasien dengan HNPCC kurang mendapat manfaat dari adjuvant

kemoterapi berdasarkan kombinasi fluorourasil daripada pasien tanpa kelainan ini. 13,15

3. Diet

Masyarakat yang diet tinggi lemak, tinggi kalori, daging dan diet rendah serat

berkemungkinan besar untuk menderita kanker kolorektal pada kebanyakan penelitian,

meskipun terdapat juga penelitian yang tidak menunjukkan adanya hubungan antara serat

dan kanker kolorektal. Ada dua hipotesis yang menjelaskan mekanisme hubungan antara

diet dan resiko kanker kolorektal. Teori pertama adalah pengakumulasian bukti

epidemiologi untuk asosiasi antara resistensi insulin dengan adenoma dan kanker

13

Page 14: Ileus Obstruktif e.c ca colon

kolorektal. Mekanismenya adalah menkonsumsi diet yang berenergi tinggi

mengakibatkan perkembangan resistensi insulin diikuti dengan peningkatan level insulin,

trigliserida dan asam lemak tak jenuh pada sirkulasi. Faktor sirkulasi ini mengarah pada

sel epitel kolon untuk menstimulus proliferasi dan juga memperlihatkan interaksi oksigen

reaktif. Pemaparan jangka panjang hal tersebut dapat meningkatkan pembentukan kanker

kolorektal. Hipotesis kedua adalah identifikasi berkelanjutan dari agen yang secara

signifikan menghambat karsinogenesis kolon secara experimental. Dari pengamatan

tersebut dapat disimpulkan mekanismenya, yaitu hilangnya fungsi pertahanan lokal epitel

disebabkan kegagalan diferensiasi dari daerah yang lemah akibat terpapar toksin yang tak

dapat dikenali dan adanya respon inflamasi fokal, karakteristik ini didapat dari bukti

teraktifasinya enzim COX-2 dan stres oksidatif dengan lepasnya mediator oksigen

reaktif. Hasil dari proliferasi fokal dan mutagenesis dapat meningkatkan resiko terjadinya

adenoma dan aberrant crypt foci. Proses ini dapat dihambat dengan (a) demulsi yang

dapat memperbaiki permukaan lumen kolon; (b) agen anti-inflamasi; atau (c) anti-

oksidan. Kedua mekanisme tersebut, misalnya resistensi insulin yang berperan melalui

tubuh dan kegagalan pertahanan fokal epitel yang berperan secara lokal, dapat

menjelaskan hubungan antara diet dan resiko kanker kolorektal.13,16

Observasi kanker kolorektal karsinoma lebih sering muncul pada populasi dengan

faktor diet lemak hewan yang tinggi dan rendahnya intake serat, sehingga terdapat sebuah

hipotesis bahwa faktor tersebut berkontribusi untuk menimbulkan kanker. Diet yang

tinggi unsaturated fatty acid atau polyunsaturated fatty acid meningkatkan risiko kanker

kolorektal, sedangkan diet yang tinggi asam oleat (minyak zaitun, minyak kelapa sawit,

dan minyak ikan) tidak meningkatkan risiko. Pada penelitian dengan hewan

menunjukkan lemak tersebut bersifat toksik langsung terhadap mukosa kolon sehingga

mungkin dapat menyebabkan perubahan maligna. Sebaliknya, diet yang tinggi serat sayur

nampaknya bersifat lebih protektif. Intake kalsium, selenium, vitamin A, C, dan E,

karotenoid, dan fenol dapat mengurangi kejadian kanker kolorektal. Studi ini menjadi

dasar preventif primer untuk mengeradikasi kanker kolorektal dengan cara mengatur diet

dan gaya hidup.

14

Page 15: Ileus Obstruktif e.c ca colon

4. Gaya Hidup

Pria dan wanita yang merokok kurang dari 20 tahun mempunyai risiko tiga kali

untuk memiliki adenokarsinoma yang kecil, tapi tidak untuk yang besar. Sedangkan

merokok lebih dari 20 tahun berhubungan dengan risiko dua setengah kali untuk

menderita adenoma yang berukuran besar.

Diperkirakan 5000-7000 kematian karena kanker kolorektal di Amerika

dihubungkan dengan pemakaian rokok. Pemakaian alkohol juga menunjukkan hubungan

dengan meningkatnya risiko kanker kolorektal.

Pada berbagai penelitian telah menunjukkan hubungan antara aktifitas, obesitas

dan asupan energi dengan kanker kolorektal. Pada percobaan terhadap hewan,

pembatasan asupan energi telah menurunkan perkembangan dari kanker. Interaksi antara

obesitas dan aktifitas fisik menunjukkan penekanan pada aktifitas prostaglandin

intestinal, yang berhubungan dengan risiko kanker kolorektal. The Nurses Health Study

telah menunjukkan hubungan yang berkebalikan antara aktifitas fisik dengan terjadinya

adenoma, yang dapat diartikan bahwa penurunan aktifitas fisik akan meningkatkan risiko

terjadinya adenoma.

5. Usia

Proporsi dari semua kanker pada orang usia lanjut (≥ 65 thn) pria dan wanita

adalah 61% dan 56%. Frekuensi kanker pada pria berusia lanjut hampir 7 kali (2158 per

100.000 orang per tahun) dan pada wanita berusia lanjut sekitar 4 kali (1192 per 100.000

orang per tahun) bila dibandingkan dengan orang yang berusia lebih muda (30-64 thn).

Sekitar setengah dari kanker yang terdiagnosa pada pria yang berusia lanjut adalah

kanker prostat (451 per 100.000), kanker paru-paru (118 per 100.000) dan kanker kolon

(176 per 100.000). Sekitar 48% kanker yang terdiagnosa pada wanita yang berusia lanjut

adalah kanker payudara (248 per 100.000), kanker kolon (133 per 100.000), kanker paru

paru (118 per 100.000) dan kanker lambung (75 per 100.000).

Usia merupakan faktor paling relevan yang mempengaruhi risiko kanker

kolorektal pada sebagian besar populasi. Risiko dari kanker kolorektal meningkat 15

Page 16: Ileus Obstruktif e.c ca colon

bersamaan dengan usia, terutama pada pria dan wanita berusia 50 tahun atau lebih, dan

hanya 3% dari kanker kolorektal muncul pada orang dengan usia dibawah 40 tahun. Lima

puluh lima persen kanker terdapat pada usia ≥ 65 tahun, angka insiden 19 per 100.000

populasi yang berumur kurang dari 65 tahun, dan 337 per 100.000 pada orang yang

berusia lebih dari 65 tahun.13

Di Amerika seseorang mempunyai risiko untuk terkena kanker kolorektal sebesar

5%. Sedangkan kelompok terbesar dengan peningkatan risiko kanker kolorektal adalah

pada usia diatas 40 tahun. Seseorang dengan usia dibawah empat puluh tahun hanya

memiliki kemungkinan menderita kanker kolorektal kurang dari 10%. Dari tahun 2000-

2003, rata-rata usia saat terdiagnosa menderita kanker kolorektal pada usia 71 tahun.

Insidensi berdasarkan usia dibawah 20 tahun sebesar 0,0%, 20-34 tahun sebesar 0,9%,

35-44 tahun sebesar 3,5%, 45-54 tahun sebesar 10,9%, 55-64 tahun sebesar 17,6%, 65-74

tahun sebesar 25,9%, 75-84 tahun sebesar 28,8%, dan > 85 sebesar 12,3%.

IV. MANIFESTASI KLINIK

Presentasi timbulnya keganasan kolon dapat dibagi menjadi tiga kategori umum: onset

gejala kronis yang asimtomatis, obstruksi intestinal akut, atau perforasi akut. Presentasi yang

paling sering timbul adalah onset gejala kronis yang asimtomatis (77 – 92%), diikuti oleh

obstruksi (6 - 16%), dan perforasi dengan peritonitis local atau difus (2 – 7%).

Gejala

Perdarahan pada anus merupakan gejala yang paling umum pada keganasan kolorektal. Namun,

pasien dan dokter lebih cenderung berpikir bahwa perdarahan pada anus diakibatkan oleh

hemoroid. Perdarahan dapat terjadi secara samar tau dapat terlihat feses yang berwana hitam,

merah marun, ungu hitam, atau merah segar tergantung pada lokasi keganasan. Perdarahan samar

dapat mempunyai gejala anemia defisiensi besi dan kelelahan.

Perubahan buang air besar merupakan gejala yang paling sering ditemukan pada urutan kedua,

dengan pasien yang mengeluh konstipasi atau diare. Konstipasi bisa terjadi pada keganasan yang

terletak pada kolon sebelah kiri karena diameter kolon sinsitra lebih kecil dan feses lebih padat

ketika mencapai kolon di sebelah kiri daripada di sebelah kanan. Pasien juga mengeluh

16

Page 17: Ileus Obstruktif e.c ca colon

perubahan yang bertahap pada bentuk feses. Karsinoma pada kolon dextra umumnya tidak

ditemukan perubahan buang air besar, namun banyaknya jumlah mukus yang dihasilkan oleh

tumor dapat menyebabkan diare, namun jika keganasannya terletak di katup ileosekal dapat

menyebabkan obstruksi.

Nyeri abdomen juga sering ditemukan sebagaimana pasien mengeluh perubahan buang air besar.

Obstruksi pada kolon sinistra dapat menimbulkan gejala nyeri perut, juga nausea dan vomitus,

dan mereda dengan gerakan usus. Keganasan pada kolon dextra dapat berupa nyeri perut yang

sulit dilokalisasikan. Gejala umum lain yang jarang ditemukan adalah kelelahan, penurunan berat

badan, demam, massa pada abdomen, dan gejala-gejala tambahan pada traktus urinarius

(frekuensi, penumaturia, dan fekaluria). Jika ditemukan bakteremia dengan Streptococcus bovis

berarti sugestif tinggi adanya keganasan kolorektal.

Tanda

Obsrtruksi intestinal akut merupakan tanda yang ditemukan pada 15% dari 23.500 penderita.

Pada pemeriksaan fisik, mungkin agak sulit ditemukan adanya massa pada abdomen karena usus

yang terdistensi, baik keganasan primer maupun metastasis. Timpani, asites, dan distensi

mungkin bisa ditemukan pada pemeriksaan fisik abdomen. Rectal toucher hanya jarang

dilakukan untuk mengetahui adanya obstruksi, namun jarang ditemukan. Keganasan kolorektal

harus selalu dicurigai pada pasien dengan keluhan obstruksi kolon. Anamnesis, pemeriksaan

fisik, dan radiologi abdomen sederhana dapat menunjang diagnosis. Pemeriksaan tambahan lain

untuk konfirmasi diagnosis lain adalah barium enema, endoskopi rigid atau flexible, atau CT-

scan abdomen atau pelvis.

Perforasi merupakan tanda umum ketiga yang sering ditemukan pada keganasan kolorektal.

Perforasi dapat menyebabkan peritonitis lokalis atau difus, dan mampu menimbulkan fistula

pada organ terdekat seperti vesika urinaria. Jika perforasi muncul ke proksimal dari obstruksi,

dan juga perforasi pada sekum yang terdilatasi proksimal dari karsinoma sigmoid, pasien akan

mengeluh peritonitis difus dan sepsis sehingga hal ini menjadi indikasi untuk dilakukannya

bedah emergensi.

17

Page 18: Ileus Obstruktif e.c ca colon

Stadium

Sistem stadium penting untuk memprediksi hasil, memilih terapi yang akan dilakukan, dan

perbandingan terapi pada tiap pasien berbeda. Tumor yang dianggap invasif berarti harus

menembus muskularis mukosa. Sel maligna yang berada tidak menembus muskularis mukosa

tidak dianggap dapat invasif karena tidak adanya linfonodus dan dianggap sebagai carcinoma in

situ.

Banyak system stadium keganasan kolorektal yang ada, contohnya stadium TNM

(tumor/nodus/metastasis) yang diklasifikasikan oleh American College of Surgeon’s Commission

on Cancer.

Stadium Kedalaman Status Limfonodus Metastasis Jauh

Stadium 1 T1, T2 N0 M0

Stadium 2 T3, T4 N0 M0

Stadium 3 Seluruh T Setiap N (Kecuali

N0)

M0

Stadium 4 Seluruh T Setiap N M1

TX : tumor primer, tidak dapat dinilai

T0 : tidak ada bukti adanya tumor primer

Tis : carcinoma in situ

T1 : tumor menginvasi ke submukosa

T2 : tumor menginvasi muskularis propria

T3 : tumor menginvasi menembus muskularis propria ke tunika subserosa atau ke perikolika

atau ke perirektal (tunika adventisia)

T4a : tumor langsung menginvasi langsung struktur lain (misal os coccygeus)

T4b : perforasi tumor ke peritoneum visceral

18

Page 19: Ileus Obstruktif e.c ca colon

NX : limfonodus regional tidak dapat dinilai

N0 : tidak ada limfonodus regional yang terkena

N1 : mengenai 1-3 limfonodus regional

N2 : mengenai lebih dari 3 limfonodus regional

N3 : limfonodus regional beserta pembuluh darah besar

MX : adanya metastasis jauh tidak dapat dinilai

M0 : tidak ada metastasis jauh

M1 : metastasis jauh (di luar limfonodus regional dari tumor primer)

Stadium karsinoma kolorektal menurut American Joint Committee on Cancer (AJCC). (Sumber:

Greene et al. AJCC Cancer Staging Manual, Sixth Edition (2002) published by Springer Science

and Business Media LLC, www.springerlink.com).

The American Joint Committee on Cancer (AJCC) memperkenalkan TNM staging

system, yang menempatkan kanker menjadi satu dalam 4 stadium (Stadium I-IV). 1,2,5

1. Stadium 0

Pada stadium 0, yaitu pada mukosa saja. Disebut juga carcinoma in situ.

2. Stadium I

Pada stadium I, kanker telah menyebar menembus mukosa sampai lapisan muskularis dan

melibatkan bagian dalam dinding rektum tapi tidak menyebar kebagian terluar dinding rektum

ataupun keluar dari rektum. Disebut juga Dukes A rectal cancer.

3. Stadium II

Pada stadium II, kanker telah menyebar keluar rektum kejaringan terdekat namun tidak

menyebar ke limfonodi. Disebut juga Dukes B rectal cancer.

4. Stadium III

Pada stadium III, kanker telah menyebar ke limfonodi terdekat, tapi tidak menyebar kebagian

tubuh lainnya. Disebut juga Dukes C rectal cancer.

5. Stadium IV

19

Page 20: Ileus Obstruktif e.c ca colon

Pada stadium IV, kanker telah menyebar kebagian lain tubuh seperti hati, paru, atau ovarium.

Disebut juga Dukes D rectal cancer

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium

Hitung darah lengkap/Complete Blood Count (CBC) dapat menunjukkan adanya anemia. Tes

fungsi hepar dapat menunjukkan hasil yang abnormal jika sudah terjadi metastasis ke hepar. Jika

20

Page 21: Ileus Obstruktif e.c ca colon

terjadi metastasis ke hepar maka kadar CEA juga akan ikut meningkat, namun jika tidak ada

metastasis, kadar CEA juga akan ikut meningkat

Imaging Studies

Kolonoskopi

Dengan pemeriksaan kolonoskopi, dokter mampu menilai ukuran tumor, namun tidak dengan

kedalaman invasi tumor, dan juga lokalisasi kolon. Periksaan kolonoskopi bersifat sangat sensitif

untuk mendeteksi bahkan polip yang kecil sekalipun (<1 cm) dan mampu mulakukan biopsi,

polipektomi, dan kontrol perdarahan. Namun, kolonoskopi membutuhkan

persiapan khusus (pasien diperintahkan untuk puasa sebelum dilakukan kolonoskopi) dan adanya

ketidak nyamanan pada saat pemeriksaan sehingga terkadang harus di anestesi terlebih dahulu.

Hal inilah yang membuat pemeriksaan ini menjadi mahal. Komplikasi yang dapat terjadi adalah

perdarahan dan perforasi, namun hal tersebut sangat jarang terjadi (0,2 – 0,3%).

Radiologi

Foto roentgen dada dilakukan untuk menghilangkan kemungkinan adanya lesi pulmoner

sekaligus untuk menentukan status paru dan jantung. CT-scan abdomen dilakukan selektif jika

ada pasien dengan hasil SGOT/SGPT yang abnormal, yang dimana kemungkinan telah terjadi

metastasis.

VI. DIAGNOSIS

21

Page 22: Ileus Obstruktif e.c ca colon

Algoritme diagnosis dan terapeutik kanker kolon

VII. PENTATALAKSANAAN

Prinsip Reseksi

Tujuan penatalaksanaan karsinoma kolon adalah untuk mengangkat tumor dengan suplai

limfovaskularnya. Karena pembuluh limfe pada kolon bersamaan dengan suplai arteri, panjang

kolon yang direseksi bergantung pada pembuluh darah yang terlibat dalam menyuplai sel kanker.

Setiap jaringan yang menempel pada sel kanker, seperti omentum, yang telah terinvasi, harus

dilakukan reseksi en bloc. Jika seluruh tumor tidak dapat diangkat, maka terapi paliatif menjadi

pilihannya.

Adanya sel-sel kanker atau adenoma yang saling berhubungan, atau adanya riwayat

keluarga dengan neoplasma kolorektal, menandakanbahwa seluruh kolon berisiko terkena

karsinoma (biasanya disebut juga field defect) dan dipertimbangkan dilakukan kolektomi total

22

Page 23: Ileus Obstruktif e.c ca colon

atau subtotal. Jika terjadi metachronous tumors (tumor kedua daritumor primerkolon) maka

dilakukan juga dengan penatalaksanaan yang sama.

Jumlah limfonodus yang diambil pada pembedahan mampu menentukan kualitas reseksi.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sebanyak minimal 12 limfonodus yang terangkat

memiliki tingkat kesembuhan yang adekuat. Namun pada penelitian lain menunjukkan bahwa

jumlah limfonodus yang terambil tidak menentukan tingakt kesembuhan.

Jika ditemukan metastasis tumor pada saat laparotomi, maka reseksi tumor primer tetap

dilakukan jika kondisi pasien stabil. Dipertimbangkan agar dilakukan anastomosis primer jika

kolon terlihat sehat, tidak terlibat karsinomatosis, dan keadaan pasien stabil.

23

Page 24: Ileus Obstruktif e.c ca colon

Gambar 7. Panjang reseksi pada karsinoma kolon. A. Karsinoma sekum. B. Karsinoma felksura

hepatika. C. Karsinoma kolon transversum. D. Karsinomafleksura splenika. E. Karsinoma kolon

desenden. F. Karsinoma kolon sigmoid. (Sumber: Brunicardi FC, Anderson DK, Billiar TR,

Dunn DL, Hunter JG, Metthews JB, Pollock RE: Schwartz’s Principles of Surgery, 9th Edition).

Stadium 0 (Tis, N0, M0)

Polip yang mengandung karsinoma in situ (high-grade dysplasia) tidak berisiko untuk terjadi

metastasis limfonodus. Namun adanya high-grade dysplasia, menaikkan adanya risiko

karsinoma invasif di dalam polip. Akibat hal ini, polip tersebut harus di eksisi seluruhnya dan

batas patologik di sekitar polip harus terbebas dari area displasia. Umumnya polip ini dapat

dieksisi dengan endoskopi. Setelah dibedah, pasien harus tetap di followup dengan endoskopi

untuk meyakinkan bahwa polipnya tidak akan timbul kembali dan tidak n berkembang menjadi

karsinoma kolon. Jika polip tidak bias di angkat seluruhnya, maka dapat direkomendasikan

unutuk dilakukan eksisi segmental.

Stadium I: Polip Maligna (T1, N0, M0)

Penatalaksanaan polip maligna tergantung pada tempat munculnya polip dan risiko timbulnya

metastasis limfonodus. Risiko metastasis limfonodus tergantung pada kedalaman invasi.

Karsinoma invasif yang terdapat pada kepala polip tanpa mengenai batangnya memiliki risiko

metastasis yang rendah (<1%) dan dapat direseksi secara endoskopi. Namun, invasi

limfovaskular, gambaran histologi dengan diferensiasi yang luas, atau tumor dalam batas 1 mm

dari tempat reseksi mempunyai faktor risiko rekurensi lokal dan metastasis. Pada keadaan ini

merupakan indikasi dilakukannya kolostomi segmental. Karsinoma invasif yang muncul dari

polip sessile memanjang ke arah submukosa sehingga dapat dilakukan kolostomi segmental.

Stadium I dan II: Karsinoma Kolon Terlokalisir (T1-T3, N0, M0)

Kebanyakan pasien pada karsinoma kolon stadium I dan II dapat disembuhkan dengan reseksi.

Hanya beberapa pasien yang kembali timbul kanker setelah dilakukan reseksi, pengobatan

kemoterapi ajuvan tidak dapat mengurangi rekurensi kanker ini. Namun sebanyak 46% pasien

24

Page 25: Ileus Obstruktif e.c ca colon

setelah reseksi komplit stadium II akan meninggal akibat kanker kolon. Akibat hal tersebut,

dilakukanlah pengobatan ajuvan pada beberapa pasien dengan karsinoma kolon stadium II

(pasien yang masih muda dengan gambaran radiologi dengan displasia yang tinggi). Data yang

ada masih kontroversial apakah dengan terapi ajuvan setelah bedah mampu meningkatkan

survival rate.

Stadium III: Metastasis Limfonodus (Seluruh T, N1, M0)

Pasien dengan metastasis pada limfonodus berisiko terjadinya metastasis lokal maupun jauh dan

kemoterapi ajuvan direkomendasikan pada pasien ini. 5-flurouracil (5-FU) dan levamisole

mengurangi angka kematian sampai 33% dengan efek samping yang rendah. Agen

kemoteraputik lain seperti capecitabine, irinotecan, oxaliplatin, angiogenesis inhibitors, and

imunoterapi juga menunjukkan efek yang baik.

Stadium IV: Metastasis Jauh (Seluruh T, Seluruh N, M1)

Angka keselamatan pada kanker kolon stadium IV sangat rendah. Namun, tidak seperti

keganasan lain, pasien dengan metastase yang dapat direseksi dan terlokalisir, memiliki

keuntungan dari reseksi (metastasektomi). Tempat yang paling sering terjadi metastase adalah

pada hepar dan 20% diantara pasien yang memiliki metastasis dapat direseksi. Angka

keselamatan pada pasien ini meningkat (20 – 40% dalam 5 tahun). Tempat kedua yang paling

sering terkena metastasis adalah paru, muncul sebanyak 20% pasien dengan karsinoma

kolorektal. Meski hanya beberapa pasien yang mampu menjalani reseksi (sekitar 1 – 2%), angka

keselamatan jangka panjang mencapai 30 – 40%.

Pada pasien karsinoma kolon stadium IV yang tidak dapat direseksi; fokus penatalaksanaan

tertuju pada terapi paliatif. Umumnya reseksi pada tumor primer direkomendasikan agar dapat

mencegah komplikasi seperti perdarahan dan obstruksi. Namun, bedah abdomen mayor dapat

mengurangi efek kemoterapi. Terlebih lagi, kemoterapi regimen baru mempunyai efek yang

signifikan dan pengecilan tumor. Berdasarkan teori ini, beberapa ahli bedah menganjurkan hanya

dilakukan kemoterapi tanpa reseksi pada kanker kolon stadium IV.

25

Page 26: Ileus Obstruktif e.c ca colon

Regimen Kemoterapi yang Digunakan pada M.D. Anderson Cancer Centre (MDACC)

Pasien dengan kanker kolon stadium II dan III mempunyai risiko terkena mikrometastasis setelah

reseksi. Terapi sistemik telah didirikan untuk mencegah komplikasi tersebut. Berikut adalah

terapi yang umum digunakan pada MDACC.

Kemoterapi Adjuvan :

- Mayo Clinic Bolus: 5-FU 425 mg/m2 + leucovorin 20 mg/m2 pada hari 1–5 tiap 4 minggu. Total

6 minggu

- Roswell Park: 5-FU 500 mg/m2 + leucovorin 500 mg/m2 per minggu untuk 6 minggu dengan 2

minggu waktu istirahat (tidak minum obat). Total 3 siklus.

- Capecitabine: 2000 mg/m2 dalam dua dosis dua kali per hariselama 14 hari, 7 hari istirahat. Total

8 siklus.

- FOLFOX 4: Oxaliplatin 85 mg/m2 IV hari 1; leucovorin 200 mg/m2 IV; fluorouracil 400 mg/m2

IV bolus, diikuti oleh fluorouracil 600 mg/m2 untuk 22 jam selama hari ke-1 dan 2, diberika tiap

14 hari. Total 12 siklus.

Terapi untuk Metastasis :

- Mayo Clinic Bolus: 5-FU 425 mg/m2 + leucovorin 20 mg/m2 pada hari 1–5 tiap 4 minggu.

- Roswell Park: 5-FU 500 mg/m2 + leucovorin 500 mg/m2 per minggu selama 6 minggu dengan 2

minggu waktu istirahat.

- IFL (Saltz Regimen, Triple Therapy): CPT-11 100–125 mg/m2 IV tiap 90 min, 5-FU 500 mg/m2,

semua diberikan selama 4 minggu dan 2 minggu waktu istirahat.

- FOLFOX 4: Oxaliplatin 85 mg/m2 IV hari ke-1; leucovorin 200 mg/m2 IV; fluorouracil 400

mg/m2 IV bolus, diikuti oleh fluorouracil 600 mg/m2 untuk 22 jam selama hari ke-1 dan 2

diberikan selama 14 hari.

- XELIRI: Irinotecan 200–250 mg/m2 day 1; capecitabine 750–1000 mg/m2 PO dua kali perhari

hari ke-1–14, tiap 21 hari.

- XELOX: Oxaliplatin 100 mg/m2 hari ke- 1; capecitabine 750–1000 mg/m2 PO BID dua kali

perhari hari ke-1–14, tiap 21 hari.

26

Page 27: Ileus Obstruktif e.c ca colon

- Bevacizumab: (Avastin) 5 mg/kg IV tiap 14 hari diselingi dengan 5-FU-based chemotherapy.

- Cetuximab: (Erbitux) 400 mg/m2 loading dose mencapai 120 menit (minggu ke-1); 250 mg/m2

selama 60 menit per minggu dosis maintenance, dengan irinotecan atau sebagai single agent pada

pasien yang tintoleransi irinotecan.

VII. PROGNOSIS

Secara keseluruhan 5-year survival rates untuk kanker rektal adalah sebagai berikut :

a. Stadium I - 72%

b. Stadium II - 54%

c. Stadium III - 39%

d. Stadium IV - 7%

Lima puluh persen dari seluruh pasien mengalami kekambuhan yang dapat berupa

kekambuhan lokal, jauh maupun keduanya. Kekambuhan lokal lebih sering terjadi pada.

Penyakit kambuh pada 5-30% pasien, biasanya pada 2 tahu pertama setelah operasi.

Faktor – faktor yang mempengaruhi terbentuknya rekurensi termasuk kemampuan ahli

bedah, stadium tumor, lokasi, dan kemapuan untuk memperoleh batas - batas negatif

tumor. 2

27

Page 28: Ileus Obstruktif e.c ca colon

DAFTAR PUSTAKA

1. Hassan, Isaac., 2006. Rectal carcinoma. Available from www.emedicine.com.

2. Cirincione, Elizabeth., 2005. Rectal Cancer. Available from www.emedicine.com.

3. American Cancer Society, 2006. Cancer Facts and Figures 2006. American Cancer

Society Inc. Atlanta

4. Anonim, 2006. A Patient’s Guide to Rectal Cancer. MD Anderson Cancer Center,

University of Texas.

5. Anonim, 2006. Rectal Cancer Facts : What’s You Need To Know. Available from

Available from www.healthABC.info.

6. Anonim, 2006. Rectal Cancer - Overview, Screening, Diagnosis & Staging. Available

from www.OncologyChannel.com.

7. Anonim, 2005. Rectal Cancer Treatment. Available from

www.nationalcancerinstitute.htm.

8. De Jong Wim, Samsuhidajat R. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Penerbit Buku

Kedokteran EGC. Jakarta.

9. Casciato DA, (ed). 2004. Manual of Clinical Oncology 5th ed. Lippincott Willi ams &

Wilkins: USA.p 201

10. Schwartz SI, 2005. Schwartz’s Principles of Surgery 8th Ed. United States of America:

The McGraw-Hill Companies.

11. Lynch HT, Chapelle ADL. Hereditary Colorectal Cancer. the New England Journal of

Medicine. Available from www.pubmed.com. p.348:919-932, (Download :1 maret 2015)

28

Page 29: Ileus Obstruktif e.c ca colon

12. Soeripto et al. Gastro-intestinal Cancer in Indonesia. Asian Pacific Journal of Cancer

Prevention, (Online), 2003; Vol. 4, No. 4, Available from http://www.apocp.org/

cancer_download/Vol4_No4/Soeripto.pdf,. (Download : 1 maret 2015)

13. National Cancer Institute. 2006. SEER Cancer Statistics Review 1975-2003, Available

from http://seer.cancer.gov/statfacts/html/colorect.html.

14. MD Anderson Manual of Medical Oncology. 2007. McGraw-Hill Company.

15. Phillips, Robin. Colorectal Surgery A Companion To Specialist Surgical Practice. 2001.

Elsevier

29