meningoensefalitis e.c TB

download meningoensefalitis e.c TB

of 27

Transcript of meningoensefalitis e.c TB

  • 7/29/2019 meningoensefalitis e.c TB

    1/27

    LAPORAN PBL II

    BLOK NEUROLOGY & SPECIFIC SENSE SYSTEMS (NSS)

    Mengantuk terus.....

    Tutor:

    Tutor :

    dr. Diah Krisnansari, MSi

    Disusun Oleh:

    KELOMPOK III

    1. Sarah Maulina O. G1A009015

    2. Dikodemus Ginting G1A009019

    3. Dias Isnanti G1A009034

    4.

    Prabawa Yogaswara G1A009048

    5. Femy Indriani G1A009052

    6. Radita Ikapratiwi G1A009103

    7. Esti Setyaningsih G1A009106

    8. Benza Asa Dicaraka G1A009119

    9. Winda Tryani G1A009128

    10.Elis Marifah G1A008018

    11.

    Radityo Arif K1A005036

    KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

    UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

    FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN

    JURUSAN KEDOKTERAN

    PURWOKERTO

    2012

  • 7/29/2019 meningoensefalitis e.c TB

    2/27

    BAB I

    PENDAHULUAN

    INFORMASI 1

    Mengantuk terus.......

    RPS

    Tn M. Usia 38 tahun datang ke IGD diantar keluarganya dengan keluhan

    penurunan kesadaran sejak 1 jam yang lalu ketika sedang tiduran.

    Sebelumnya 6 jam sebelum masuk rumah sakit, pagi hari setelah bangun

    tidur pasien mengeluh sakit pada kepalanya yang semakin lama semakin hebat

    hingga pasien muntah, keluhan ini tidak hilang dengan mengonsumsi obat

    penghilang rasa sakit. Sehingga oleh keluarganya Tn.M dibawa ke rumah sakit,

    ditengah perjalanan Tn.M mengalami kejang selama 10 menit. Sesampainya di

    IGD pasien mengalami kejang kembali selama 5 menit

    Seminggu sebelum masuk rumah sakit pasien merasa demam. Pasien

    mempunyai riwayat 1 bulan yang lalu, pasien mengeluh batuk, sering berkeringat

    pada malam hari dan pasien merasakan berat badannya turun sehingga dengan

    keluhan ini pasien berobat ke dokter. Oleh dokter, pasien dilakukan foto rontgen

    dan diketahui terdapat infeksi pada paru-parunya. Pasien diharuskan meminum

    obat yang tidak boleh putus sama sekali selama 6 bulan, akan tetapi karena

    keterbatasan biaya pasien tidak berobat kembali.

  • 7/29/2019 meningoensefalitis e.c TB

    3/27

    INFORMASI 2

    RPD

    Riwayat hipertensi disangkal

    Riwayat DM disangkal

    Riwayat penyakit jantung disangkal

    Riwayat kejang sebelumnya disangkal

    Riwayat trauma disangkal

    INFORMASI 3

    Pemeriksaan Fisik

    KU : penurunan kesadaran

    Kesadaran : E2M3V2

    Vital Sign : TD : 120/80

    Nadi : 100 x/menit

    RR : 24 x/menit

    S : 390C

    Orientasi

    - Waktu : jelek

    - Orang : jelek

    - Tempat : jelek

    Kepala dan leher

    - Kepala : mesosephal, tanda trauma (jejas) (-)

    -Leher : kaku kudk (+)

    - Mata : dbn

    Jantung : dbn

    Paru : stridor (+)

  • 7/29/2019 meningoensefalitis e.c TB

    4/27

    BAB II

    PEMBAHASAN

    A. Kejelasan Istilah dan Konsep1.Penurunan kesadaran :

    Tingkat kesadaran :

    a. Kompos mentis

    Keadaan waspada dan terjaga pada seseorang yang bereaksi

    sepenuhnya dan adekuat terhadap rangsangan visual, auditorik, dan

    sensorik

    b.

    Apatis

    Sikap acuh tak acuh, tidak segera menjawab bila ditanya

    c. Delirium

    Kesadaran menurun disertai kekacauan mental dan motorik seperti

    disorientasi, iritatif, salah persepsi terhadap rangsang sensorik, sering

    timbul ilusi, dan halusinasi

    d. Somnolen

    Penderita mudah dibangunkan, dapat bereaksi secara motorik atau

    verbal yang layak tetapi setelah memberikan respon, ia terlena kembali

    bila rangsangan dihentikan

    e. Sopor

    Penderita hanya dapat dibangunkan dalam waktu singkat oleh

    rangsang nyeri yang hebat dan berulang-ulang

    f. Koma

    Tidak ada sama sekali jawaban terhadap rangsang nyeri yangbagaimanapun hebatnya (Lumbantobing, 2008; Juwono, 1996).

    2.Kejang : perubahan fungsi otak mendadak dan sementara sebagai akibat

    dari aktivitas neuronal yang abnormal dan pelepasan listrik serebral yang

    berlebihan. (Betz dan Sowden, 2009)

  • 7/29/2019 meningoensefalitis e.c TB

    5/27

    B. Menetapkan Definisi Dan Batasan Permasalahan Yang TepatAnamnesis

    1. IdentitasNama : Tn.M

    Usia : 38 tahun

    KU : Penurunan kesadaran

    Onset : Sejak 1jam yang lalu ketika sedang tidur

    2. RPSKU : Penurunan kesadaran

    Onset : Sejak 1jam yang lalu ketika sedang tidur

    3. RPD- Seminggu sebelum masuk RS pasien merasa demam

    - 1 bulan yang lalu pasien mengeluh batuk, sering berkeringat pada

    malam hari, berat badan turun,

    - Foto rontgen terdapat infeksi pada paru-paru, pasien diharuskan minum

    obat yang tidak boleh putus sama sekali selama 6bulan tapi pasien tidak

    berobat kembali

    4. RPK5. RPSOS

    C. Menganalisa Permasalahan1. Anatomi meninges

    2. Bagian otak mana yang mempengaruhi kesadaran

    3. Etiologi gangguan kesadaran

    4.

    Klasifikasi kejang5. Penyakit Tn. M sebelumnya

    6. Hipotesis Sementara

    a. Meningitis tuberkulosa

    b. Abses otak

    c. Epilepsi

  • 7/29/2019 meningoensefalitis e.c TB

    6/27

    D. Menyusun Berbagai Penjelasan Mengenai Permasalahan1. Anatomi meninges

    Sumber :

    http://www.theodora.com/anatomy/the_meninges_of_the_brain_and_medu

    lla_spinalis.html

    Meninges craniales (pembungkus meningeal otak) terdiri dari tiga lapis :

    1. Duramater cranialis, lapisan luar yang tebal dan kuat. Duramater

    terdiri dari dua lapisan yaitu endosteal yang membungkus

    permukaan dalam calvaria dan meningeal yang membungkus otak

    serta medulla spinalis. Selain itu terdapat lapisan epidural (di atas

    endosteal duramater) dan lapisan subdural (di bawah meningeal

    duramater) yang aplikasi klinisnya berupa perdarahan cranialis.

    2. Arachnideamater cranialis, lapisan yang menyerupai sarang laba-

    laba. Di bawahnya terdapat lapisan subarachnoideamater yang

    berisi cairan LCS

    3. Piamater cranialis, lapisan terdalam yang halus dan banyak

    mengandung pembulub darah (Moore & Agur. 2002)

    http://www.theodora.com/anatomy/the_meninges_of_the_brain_and_medulla_spinalis.htmlhttp://www.theodora.com/anatomy/the_meninges_of_the_brain_and_medulla_spinalis.htmlhttp://www.theodora.com/anatomy/the_meninges_of_the_brain_and_medulla_spinalis.htmlhttp://www.theodora.com/anatomy/the_meninges_of_the_brain_and_medulla_spinalis.htmlhttp://www.theodora.com/anatomy/the_meninges_of_the_brain_and_medulla_spinalis.html
  • 7/29/2019 meningoensefalitis e.c TB

    7/27

    2. Bagian otak mana yang mempengaruhi kesadaran

    a) Infratentorial secara langsung melibatkan batang otak

    b) Supratentorial menekan batang otak Penyebab patologis serupa yang

    mengenai hemisfer cerebri kanan. (Ginsberg,2002)

    3. Etiologi gangguan kesadaran

    Penurunan tingkat kesadaran mengindikasikan difisit fungsi otak. Tingkat

    kesadaran dapat menurun ketika otak mengalami kekurangan oksigen

    (hipoksia); kekurangan aliran darah (seperti pada keadaan syok); penyakit

    metabolic seperti diabetes mellitus (koma ketoasidosis) ; pada keadaan

    hipo atau hipernatremia ; dehidrasi; asidosis, alkalosis; pengaruh obat-

    obatan, alkohol, keracunan: hipertermia, hipotermia; peningkatan tekanan

    intrakranial (karena perdarahan, stroke, tomor otak); infeksi

    (encephalitis); epilepsi

    4. Klasifikasi kejang

    Kejang di bagi menjadi 2 klasifikasi ada yang kejang parsial dan kejang

    genralisata . pembagian kejang parsial :

    Kejang parsial sederhana : kesadaran masih ada selama serangan

    Kejang parsial kompleks : kesadaran terganggu di setiap tahap serangan

    (Ginsberg,2002)

    5. Penyakit Tn. M sebelumnya

    Tuberculosis Paru dengan alasan :

    Seminggu sebelum masuk RS pasien merasa demam

    1 bulan yang lalu pasien mengeluh batuk, sering berkeringat pada

    malam hari, berat badan turun, Foto rontgen terdapat infeksi pada paru-paru, pasien diharuskan

    minum obat yang tidak boleh putus sama sekali selama 6bulan tapi

    pasien tidak berobat kembali

  • 7/29/2019 meningoensefalitis e.c TB

    8/27

    6. Hipotesis Sementara

    a. Meningitis tuberkulosa

    Karena ditemukannya gejala penyakit TB paru seperti pasien

    mengeluh batuk, sering berkeringat pada malam hari dan pasien

    merasakan berat badannya turun dan pasien juga mengalami kejang

    b. Abses otak

    Gejala awal adanya trias TIK yaitu muntah proyektil, edema pupil dan

    sakit kepala. Kemudian setelah itu akan terjadi gejala infeksi,yaitu

    demam dan gejala neurologic fokal. Adanya kejang dan juga adanya

    malaise dan anoreksia.

    c.

    Epilepsi

    Ditemukan nya gejala yang sama seperti kejang yang

    membedakannya kejang di epilepsy terjadi secara terus menerus

    kurang lebih 20-30menit.

    E. Merumuskan Tujuan Belajar1. Pemeriksaan

    a.

    Kaku kuduk

    Pastikan bahwa penderita tidak ada cedera servikal kemudian letakkan

    tangan kiri dibawah kepala pasien. Menggoyangkan kepala pasien ke

    kanan dan ke kiri. Memfleksikan maksimal kepala ke anterior, sampai

    dagu menyentuh dada. Hasil positif apabila dagu tidak dapat

    menyentuh dada (Lumbaltobing, 2008).

    b. Pemeriksaan Kernig

    1.

    Posisikan pasien untuk tidur terlentang2. Fleksikan sendi panggul tegak lurus (90)dengan tubuh, tungkai

    atasdan bawah pada posisi tegak lurus pula.

    3. Setelah itu tungkai bawah diekstensikan pada persendian lutut

    sampai membentuk sudut lebih dari 135 terhadap paha.

    4. Bila teradapat tahanan dan rasa nyeri sebelum atau kurang dari

    sudut 135, karena nyeri atau spasme otot hamstring / nyeri

    sepanjang

  • 7/29/2019 meningoensefalitis e.c TB

    9/27

    N.Ischiadicus, sehingga panggul ikut fleksi dan juga bila terjadi fleksi

    involuter pada lutut kontralateral maka dikatakan Kernig sign positif.

    c.

    Pemeriksaan Brudzinski

    1. Brudzinski I (Brudzinskis neck sign)

    Pasien berbaring dalam sikap terlentang, tangan kanan ditempatkan

    dibawah kepala pasien yang sedang berbaring , tangan pemeriksa

    yang satu lagi ditempatkan didada pasien untuk mencegah

    diangkatnya badan kemudian kepala pasien difleksikan sehingga dagu

    menyentuh dada. Brudzinski I positif bila gerakan fleksi kepala

    disusul dengan gerakan fleksi di sendi lutut dan panggul kedua

    tungkai secara reflektorik

    2. Brudzinski II

    Pasien berbaring terlentang. Tungkai yang akan dirangsang

    difleksikan pada sendi lutut, kemudian tungkai atas diekstensikan

    pada sendi panggul.

  • 7/29/2019 meningoensefalitis e.c TB

    10/27

    3. Brudzinski III (Brudzinskis Check Sign)

    Pasien tidur terlentang tekan pipi kiri kanan dengan kedua ibu jari

    pemeriksa tepat di bawah os ozygomaticum.

    4. Brudzinski IV (Brudzinskis Symphisis Sign)

    Pasien tidur terlentang tekan simpisis pubis dengan kebua ibu jari

    tangan pemeriksaan.

    d. Pemeriksaan Kernig sign

    1. Pasien berbaring terlentang, tangan diangkat dan dilakukan fleksi

    pada sendi

    2. panggul kemudian ekstensi tungkai bawah pada sendi lutut sejauh

    mengkin tanpa rasa

    3. nyeri. Tanda Kernig positif (+) bila ekstensi sendi lutut tidak

    mencapai sudut 135

    4. (kaki tidak dapat di ekstensikan sempurna) disertai spasme otot

    paha biasanya diikuti

    5. rasa nyeri.

    2.Port de Entry bakteriMycobacterium tuberculosis

    Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri aerob, oleh

    karena itu pada kasus TBC biasanya mereka ditemukan pada daerah yang

    banyak udaranya. Mikobakteria mendapat energi dari oksidasi berbagai

    senyawa karbon sederhana. Aktivitas biokimianya tidak khas, dan laju

    pertumbuhannya lebih lambat dari kebanyakan bakteri lain karena

    sifatnya yang cukup kompleks dan dinding selnya yang impermeable,

    sehingga penggandaannya hanya berlangsung setiap kurang lebih 18 jam.Karena pertumbuhannya yang lamban, seringkali sulit untuk

    mendiagnostik tuberculosis dengan cepat. Bentuk saprofit cenderung

    tumbuh lebih cepat, berkembangbiak dengan baik pada suhu 22-23oC,

    menghasilkan lebih banyak pigmen, dan kurang tahan asam dari pada

    bentuk yang pathogen. Mikobakteria cepat mati dengan sinar matahari

    langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam ditempat yang gelap

    dan lembab (Pujiati,2009)

  • 7/29/2019 meningoensefalitis e.c TB

    11/27

    Jalan masuk utama penularan kuman tuberkulosis ke dalam tubuh

    penderita adalah saluran pernafasan. Seseorang akan tertular oleh kuman

    ini bila menghirup udara yang mengandung droplet nuclei berisi kuman

    tuberkulosis yang berasal dari batuk dan bersin penderita tuberkulosis

    BTA positip. Kuman masuk ke dalam paru kemudian menyebar ke organ

    tubuh lainnya melalui sistem saluran limfe, melalui saluran darah, melalui

    sistem pernapasan atau penyebaran milier langsung ke organ tubuh

    lainnya (Pujiati,2009).

    Daya penularan dari seorang penderita tuberkulosis ditentukan

    oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Sekali batuk dapat

    menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Umumnya penularan terjadi

    dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama.

    Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari

    langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama

    beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab. Faktor yang

    memungkinkan seseorang terpajan kuman tuberkulosis ditentukan oleh

    konsentrasi percikan dahak dalam udara dan lamanya menghirup udara

    tersebut. Pasien tuberkulosis paru dengan BTA positif memberikan

    kemungkinan risiko penularan lebih besar dari pasien tuberkulosis paru

    dengan BTA negatif. Semakin tinggi positifnya hasil pemeriksaan dahak

    semakin tinggi daya penularan penderita tuberkulosis tersebut

    (Pujiati,2009).

    Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali melalui

    hirupan droplet mengandung kuman TBC, lalu kuman melewati sistem

    pertahanan mukosilier bronkus terus berjalan sampai ke alveolus. SaatMikobakterium tuberkulosa berhasil menginfeksi paru-paru, maka dengan

    segera akan tumbuh koloni bakteri yang berbentuk bulat (globular).

    Biasanya melalui serangkaian reaksi imunologis, bakteri TBC ini akan

    berusaha dihambat melalui pembentukan dinding di sekeliling bakteri itu

    oleh sel-sel paru. Mekanisme pembentukan dinding itu membuat jaringan

    di sekitarnya menjadi jaringan parut dan bakteri TBC akan menjadi

  • 7/29/2019 meningoensefalitis e.c TB

    12/27

    dormant (istirahat). Bentuk-bentuk dormant inilah yang sebenarnya

    terlihat sebagai tuberkel pada pemeriksaan foto rontgen (Pujiati,2009).

    Pada sebagian orang dengan sistem imun yang baik, bentuk ini

    akan tetap dormant sepanjang hidupnya. Sedangkan pada orang-orang

    dengan sistem kekebalan tubuh yang kurang, bakteri ini akan mengalami

    perkembangbiakan sehingga tuberkel bertambah banyak. Tuberkel yang

    banyak ini membentuk sebuah ruang di dalam paru-paru. Ruang inilah

    yang nantinya menjadi sumber produksi dahak (sputum). Seseorang yang

    telah memproduksi sputum dapat diperkirakan sedang mengalami

    pertumbuhan tuberkel berlebih dan positif terinfeksi TBC (Pujiati,2009)

    3. Patogenesis Meningitis tuberkulosa

    Infeksi tuberkulosis pada susunan saraf pusat disebabkan oleh

    Mycobacterium tuberkulosis (bakteri obligat aerob yang secara alamiah

    reservoirnya adalah manusia). Bakteri ini tumbuh perlahan dan butuh 15-

    20 jam untuk berkembang biak dan menyebar

    Inhalasi partikel infektif

    (tiap droplet mengandung beberapa organisme yang dapat mencapai

    alveoli dan bereplikasi dalam makrofag yang ada dalam ruang elveolar

    dan dalam sirkulasi)

    2-4 minggu pertama tidak ada respon imun untuk menghambat replikasi

    mikobakteri

    Basil menyebar ke seluruh tubuh menembus paru, hepar, lien, sumsum

    tulang

    2-4 minggu kemudian, dibentuk respon imun diperantarai sel yang akan

    menghancurkan makrofag yang mengandung basil TB dengan bantuan

    limfokin

  • 7/29/2019 meningoensefalitis e.c TB

    13/27

    Kumpulan organisme yang telah dibunuh, limfosit, dan sel-sel yang

    mengelilingi membentuk suatu fokus perkejuan

    Disedorpsi oleh makrofag disekitarnya dan meninggalkan bekas infeksi

    Bila fokus terlalu besar, maka akan dibentuk kapsula fibrosa yang

    mengelilingi fokus tersebut

    (namun, mikobakterium yang masih hidup di dalamnya dapat mengalami

    reaktivasi kembali)

    Ketika imun turun, fokus semakin besar dan encer (terjadi proliferasi

    mikobakterium)

    Imun lemah, fokus infeksi primer akan mudah ruptur

    Menyebabkan TB milier ekstra paru

    Menyerang meningens(Schossberg, 2006)

    4. Patofisiologi

    a. DemamUntuk tubuh mencapai suatu suhu lebih tinggi kehilangan

    panas melalui kulit dikurangi dengan vasokonstriksi, sehingga dalam

    waktu singkat, sewaktu suhu meningkat, kulit secara paradoks

    menjadi dingin. Saat pergeseran ini, secara klinis terlihat sebagai

    gemetar, yang artinya suhu lingkungan mendadak diterjemahkan

    sebagai dingin (Guyton,1997).

    IL-1, IL-6 dan TNF adalah mediator-mediator penting dari

    reaksi ini. Sitokin-sitokin ini dihasilkan oleh leukosit dan jenis sel lain

    dalam respon terhadap organisme infeksi atau reaksi-reaksi

    imunologis dan toksik, yang dilepaskan dalam sirkulasi. IL-1 dan IL-6

    mempunyai efek yang sama dalam menghasilkan reaksi fase akut,

  • 7/29/2019 meningoensefalitis e.c TB

    14/27

    keduanya menghasilkan demam melalui interaksi dengan reseptor-

    reseptor vaskuler dalam pusat termoregulator dari hipotalamus dengan

    aksi langsung dari sitokin atau lebih cenderung melalui induksi

    produksi prostaglandin lokal (PGE), informasi ini kemudian

    ditransmisi dari hipotalamus anterior ke posterior ke pusat vasomotor,

    menyebabkan stimulasi saraf simpatis, vasokonstriksi pembuluh-

    pembuluh kulit, mengurangi perspirasi dan timbul panas demam.

    Pirogen endogen yang diketahui mencakup TNF, IL-1 dan IL-6.

    Mereka dilepaskan oleh monosit/makrofag dan sel-sel inang yang lain

    dalam respons terhadap mikroba dan stimulasi pirogen lain. Aspirin

    melawan demam dangan melalui inhibisi siklooksigenasi dalam

    hipotalamus. TNF juga menstimulasi pusat hipotalamus secara

    langsung (Guyton,1997).

    b. Sakit kepala :Sistem ascending dan descending pain pathway yang berperan

    dalam transmisi dan modulasi nyeri terletak dibatang otak. Batang

    otak memainkan peranan yang paling penting sebagai dalam pembawa

    impuls nosiseptif dan juga sebagai modulator impuls tersebut.

    Modulasi transmisi sensoris sebahagian besar berpusat di batang otak

    (misalnya periaquaductal grey matter, locus coeruleus, nukleus raphe

    magnus dan reticular formation), ia mengatur integrasi nyeri, emosi

    dan respons otonomik yang melibatkan konvergensi kerja dari korteks

    somatosensorik, hipotalamus, anterior cyngulate cortex, dan struktur

    sistem limbik lainnya. Dengan demikian batang otak disebut jugasebagai generator dan modulator sefalgi (Cecchini,2003).

    c. Muntah :a. Fase Nausea

    sensasi psikis akibat rangsangan pada organ dan emosi.

    ditandai dengan keinginan untuk muntah yang dirasakan di

    tenggorokan atau perut.

  • 7/29/2019 meningoensefalitis e.c TB

    15/27

    disertai dengan hipersalivasi, pucat, berkeringat, takikardia,

    anoreksia.

    terjadi penurunan tonus kurvutura mayor, korpus, dan fundus.

    Antrum dan duodenum akan berkontraksi secara berulang-ulang,

    sedangkan bulbus duodeni relaksasi sehingga terjadi refluks cairan

    abdomen ke lambung (Guyton,1997).

    b.Fase Retching

    terjadi kekejangan dan terhentinya perbapasan yang berulang-

    ulang, sementara glotis tertutup.

    Otot pernapasan dan diagprahma berkontraksi menyebabkan

    tekanan intratorakal menjadi negatif. Pada waktu yang bersamaan,

    akan terjadi kontraksi otot abdomen dan lambung. Fundus akan

    berdilatasi sedangkan antrum dan pilorus akan berkontraksi.

    Sfringter esofaguS bawah akan membuka namun sfringter esofagus

    bagian atas masi tertutup sehingga menyebabkan kimus tetap

    berada di dalam esofagus.

    Pada akhir fase yang tadinya sudah masuk ke esofagus, kimus akan

    kembali lagi ke lambung. Fase ini dapat berlangsung beberapa

    siklus (Guyton,1997).

    c. Fase Ekspulsif (Muntah)

    Apabila retching mencapai puncaknya dan didukung oleh kontraksi

    otot abdomen dan diapraghma, akan berlanjut menjadi muntah jika

    tekanan tersebut dapat mengatasi mekanisme anti refluks dari

    sfringter esofagus bagian bawah.

    Pada fase ini, pylorus dan antrum akan berkontraksi , sedangkan

    fundus dan esofagus akan berelaksasi dan mulut akan terbuka

    terjadi kontraksi yang cepat dari diagprahma yang menekan fundus

    sehingga terjadi refluks isi lambung ke dalam esofagus. Bila

    ekspulsi telah terjadi, tekanan intratorakal akan kembali positif dan

    diagprahma kembali ke posisi normal (Guyton,1997).

  • 7/29/2019 meningoensefalitis e.c TB

    16/27

    d. Kejang

    e. Patofisiologi kejang (Soetomenggolo, 2000)

    Glukosa + oksigen

    Sumber energi neuron

    Na-K ATPase pertahankan potensial membran

    Infeksi

    Demam

    Peningkatan metabolisme basal (10-15%) dan kebutuhan oksigen

    (20%) per peningkatan 10 C

    Perubahan keseimbangan potensial membran

    Difusi Na2+

    -K+

    (Na menumpuk di intrasel)

    Muatan listrik lepas

    Neurotransmitter

    Menyebar ke seluruh neuron

    KEJANG

    f. Kaku kuduk :

    Kaku kuduk (epistotonus) disebabkan karena mengejangnya otot-otot

    ekstensor tengkuk (Israr, 2008)

  • 7/29/2019 meningoensefalitis e.c TB

    17/27

    g. Penurunan kesadaran :

    Meningitis (radang di selaput otak)

    Bakteri menyebar ke parenkim otak

    Meningoencephalitis (radang di selaput dan parenkim)

    Cerebrum

    Diencephalon

    Truncus Encephali

    ARAS (Ascending Reticular Activaing System)

    Bakteri menyerang pusat kesadaran\

    Penurunan kesadaran

    5. Encephalitis

    a. Definisi

    Encephalitis adalah infeksi jaringan atas oleh berbagai macam

    mikroorganisme (Ilmu Kesehatan Anak, 1985).

    Encephalitis adalah infeksi yang mengenai CNS yang disebabkan

    oleh virus atau mikroorganisme lain yang non-purulen (+)

    (Pedoman diagnosis dan terapi, 1994).

    Encephalitis adalah radang jaringan otak yang dapat disebabkan

    oleh bakteri cacing, protozoa, jamur, ricketsia atau virus (Harsono,

    2000).

    b. Tanda dan Gejala (Mansjoer, 2000).

    1. Demam

    2. Sakit kepala dan biasanya pada bayi disertai jeritan

    3. Pusing

    4. Muntah

    5. Nyeri tenggorokan

    6. Malaise

  • 7/29/2019 meningoensefalitis e.c TB

    18/27

    7. Nyeri ekstrimitas

    8. Pucat

    9. Halusinasi

    10. Kaku kuduk

    11. Kejang

    12. Gelisah

    13. Iritable

    14. Gangguan kesadaran

    c. Pemeriksaan Diagnostik

    1. Pemeriksaan cairan serebrospinal.

    Warna dan jernih terdapat pleocytosis berkisar antara 50-200 sel

    dengan dominasi sel limfosit. Protein agak meningkat sedangkan

    glucose dalam batas normal.

    2. Pemeriksaan EEG.Memperlihatkan proses inflamasi yang difuse bilateral dengan

    aktivitas rendah.

    3. Pemeriksaan virus.

    Ditemukan virus pada CNS didapatkan kenaikan titer antibody

    yang spesifik terhadap virus penyebab (Mansjoer, 2000).

    6. Meningitis tuberkulosa

    a. DefinisiMeningitis adalah infeksi cairan otak disertai radang yang

    mengenai piameter (lapisan dalam selaput otak) dan arakhnoid serta

    dalam derajat yang lebih ringan mengenai jaringan otak dan medula

    spinalis yang superfisial.

    Meningitis dibagi menjadi dua golongan berdasarkan perubahan

    yang terjadi pada cairan otak yaitu meningitis serosa dan meningitis

  • 7/29/2019 meningoensefalitis e.c TB

    19/27

    purulenta. Meningitis serosa ditandai dengan jumlah sel dan protein

    yang meninggi disertai cairan serebrospinal yang jernih. Penyebab

    yang paling sering dijumpai adalah kuman Tuberculosis dan virus.

    Meningitis purulenta atau meningitis bakteri adalah meningitis yang

    bersifat akut dan menghasilkan eksudat berupa pus serta bukan

    disebabkan oleh bakteri spesifik maupun virus. Meningitis

    Meningococcus merupakan meningitis purulenta yang paling sering

    terjadi. (Harsono, 2003)

    b. InsidensiDi Indonesia, meningitis tuberkulosis masih banyak ditemukan

    karena morbiditastuberkulosis pada anak masih tinggi. Penyakit ini

    dapat saja menyerang semua usia, termasuk bayi dan anak kecil

    dengan kekebalan alamiah yang masih rendah. Angka kejadian

    tertinggidijumpai pada anak umur 6 bulan sampai dengan 4 atau 6

    tahun, jarang ditemukan pada umur dibawah 6 bulan, hampir tidak

    pernah ditemukan pada umur dibawah 3 bulan. Meningitistuberkulosis

    menyerang 0,3% anak yang menderita tuberkulosis yang tidak diobati

    (Kliegman, 2004).

    c. EtiologiKuman mikobakterium tuberkulosa varian hominis (Harsono,2003).

    d. Gejalademam, mudah kesal, obstipasi, muntah- muntah, ditemukan tanda-

    tanda perangsangan meningen seperti kaku kuduk, suhu badan naik

    turun, nadi sangat labil/lambat, hipertensi umum, abdomen tampak

    mencekung, gangguan saraf otak (Harsono,2003).e. Pemeriksaanfisik

    Penderita dengan meningoensefalitis dapat menunjukkan kombinasi

    gejala meningitis dan ensefalitis

    1) Meningitis

    a) Demam

    b) Nadi labil, lebih sering dijumpai nadi yang lambat

    c) Abdomen tampak mencekung

  • 7/29/2019 meningoensefalitis e.c TB

    20/27

    d) Gangguan saraf otak, yang sering terkena adalah nervus III

    dan VII

    e) Afasia motorik atau sensorik

    f)

    Kelumpuhan ekstremitas

    g) Kaku kuduk

    h) Gangguan kesadaran / kesadaran menurun

    i) Tanda Kernig dan Brudzinsky positif

    j) Tanda khas : apatis, refleks pupil yang lambat, dan refleks

    tendo yang lemah (Mansjoer, 2000).

    2) Ensefalitis

    a)

    Trias ensefalitis : demam, kejang, dan kesadaran menurun

    (Mansjoer, 2000).

    f. Pemeriksaan penunjang1. Pungsi lumbal dan pemeriksaan LCS, biasanya didapatkan hasil

    Xantochrome, glukosa rendah, dan limfositosis

    2. Tes tuberculin, tes ini biasanya lebih sensitive pada anak.

    3.

    KulturM. Tuberculosa (Gold Standard), pemeriksaan ini lambat

    dan kurang sensitive. Bahkan pengobatan sudah dimulai sebelum

    hasil keluar. Biasanya dibutuhkan waktu sekitar dua minggu.

    4. PemeriksaanAcid Fast Bacilli, salah satu pemeriksaan yang cukup

    cepat dan efektif. Metode ini cukup sering dipakai

    5. PCR, metode terbaru ini masih diteliti hingga saat ini keefektifan

    dan penggunaannya.

    6.

    CT-Scan dan MRI, digunakan untuk melihat perkembangan danprognosis penyakit, serta informasi diagnostic. Dengan

    pemeriksaan ini didapatkan diantaranya hidrosefalus, infark

    neuron, letak eksudat, serta lesi tuberkuloma. (Thwaites et al.,

    2000)

    g. PenatalaksanaanPenanganan penderita meningitis meliputi:

  • 7/29/2019 meningoensefalitis e.c TB

    21/27

    1. Farmakologis:

    Terapi diberikan sesuai dengan konsep baku tuberkulosis yakni:

    1. Fase intensif selama 2 bulan dengan 4 sampai 5 obat anti tuberkulosis,

    yakni isoniazid, rifampisin, pirazinamid, streptomisin, dan etambutol.

    2. Terapi dilanjutkan dengan 2 obat anti tuberkulosis, yakni isoniazid dan

    rifampisin hingga 12 bulan.

    Berikut ini adalah keterangan mengenai obat-obat anti tuberkulosis yang

    digunakan pada terapi meningitis tuberkulosis:

    a. Isoniazid

    Bersifat bakterisid dan bakteriostatik. Obat ini efektif pada

    kuman intrasel dan ekstrasel, dapat berdifusi ke dalam selutuh jaringan

    dan cairan tubuh, termasuk liquor cerebrospinalis, cairan pleura,

    cairan asites, jaringan kaseosa, dan memiliki adverse reaction yang

    rendah. Isoniazid diberikan secara oral. Dosis harian yang biasa

    diberikan adalah 5-15 mg / kgBB / hari, dosis maksimal 300 mg / hari

    dan diberikan dalam satu kali pemberian. Isoniazid yang tersedia

    umumnya dalam bentuk tablet 100 mg dan 300 mg, dan dalam bentuk

    sirup 100 mg / 5 ml. Konsentrasi puncak di darah, sputum, dan liquor

    cerebrospinalis dapat dicapai dalam waktu 1-2 jam dan menetap

    paling sedikit selama 6-8 jam. Isoniazid terdapat dalam air susu ibu

    yang mendapat isoniazid dan dapat menembus sawar darah plasenta.

    Isoniazid mempunyai dua efek toksik utama, yakni hepatotoksik dan

    neuritis perifer. Keduanya jarang terjadi pada anak, biasanya lebih

    banyak terjadi pada pasien dewasa dengan frekuensi yang meningkat

    dengan bertambahnya usia. Untuk mencegah timbulnya neuritisperifer, dapat diberikan piridoksin dengan dosis 25-50 mg satu kali

    sehari, atau 10 mg piridoksin setiap 100 mg isoniazid (Nastiti N.

    Rahajoe, 2007).

    b. Rifampisin

    Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat

    memasuki semua jaringan dan dapat membunuh kuman semidorman

    yang tidak dapat dibunuh oleh isoniazid. Rifampisin diabsorbsi

  • 7/29/2019 meningoensefalitis e.c TB

    22/27

    dengan baik melalui sistem gastrointestinal pada saat perut kosong (1

    jam sebelum makan) dan kadar serum puncak dicapai dalam 2 jam.

    Rifampisin diberikan dalam bentuk oral, dengan dosis 10-20 mg /

    kgBB / hari, dosis maksimalmya 600 mg per hari dengan dosis satu

    kali pemberian per hari. Jika diberikan bersamaan dengan isoniazid,

    dosis rifampisin tidak boleh melebihi 15 mg / kgBB / hari dan dosis

    isoniazid 10 mg/ kgBB / hari. Rifampisin didistribusikan secara luas

    ke jaringan dan cairan tubuh, termasuk liquor cerebrospinalis.

    Distribusi rifampisin ke dalam liquor cerebrospinalis lebih baik pada

    keadaan selaput otak yang sedang mengalami peradangan daripada

    keadaan normal. Efek samping rifampisin adalah perubahan warna

    urin, ludah, keringat, sputum, dan air mata menjadi warma oranye

    kemerahan. Efek samping lainnya adalah mual dan muntah,

    hepatotoksik, dan trombositopenia. Rifampisin umumya tersedia

    dalam bentuk kapsul 150 mg, 300 mg, dan 450 mg (Nastiti N.

    Rahajoe, dkk., 2007).

    c. Pirazinamid

    Pirazinamid merupakan derivat dari nikotinamid, berpenetrasi

    baik pada jaringan dan cairan tubuh, termasuk liquor cerebrospinalis.

    Obat ini bersifat bakterisid hanya pada intrasel dan suasana asam dan

    diresorbsi baik pada saluran cerna. Dosis pirazinamid 15-30 mg /

    kgBB / hari dengan dosis maksimal 2 gram / hari. Kadar serum

    puncak 45 g / ml tercapai dalam waktu 2 jam. Pirazinamid diberikan

    pada fase intensif karena pirazinamid sangat baik diberikan pada saat

    suasana asam yang timbul akibat jumlah kuman yang masih sangatbanyak. Efek samping pirazinamid adalah hepatotoksis, anoreksia,

    iritasi saluran cerna, dan hiperurisemia (jarang pada anak-anak).

    Pirazinamid tersedia dalam bentuk tablet 500 mg (Nastiti N. Rahajoe,

    dkk., 2007).

    d. Streptomisin

    Streptomisin bersifat bakterisid dan bakteriostatik terhadap

    kuman ekstraselular pada keadaan basal atau netral, sehingga tidak

  • 7/29/2019 meningoensefalitis e.c TB

    23/27

    efektif untuk membunuh kuman intraselular. Saat ini streptomisin

    jarang digunakan dalam pengobatan tuberkulosis, tetapi

    penggunaannya penting pada pengobatan fase intensif meningitis

    tuberkulosis dan MDR-TB (multi drug resistent-tuberculosis).

    Streptomisin diberikan secara intramuskular dengan dosis 15-40 mg /

    kgBB / hari, maksimal 1 gram / hari, dan kadar puncak 45-50 g / ml

    dalam waktu 1-2 jam. Streptomisin sangat baik melewati selaput otak

    yang meradang, tetapi tidak dapat melewati selaput otak yang tidak

    meradang. Streptomisin berdifusi dengan baik pada jaringan dan cairan

    pleura dan diekskresi melalui ginjal. Penggunaan utamanya saat ini

    adalah jika terdapat kecurigaan resistensi awal terhadap isoniazid atau

    jika anak menderita tuberkulosis berat. Toksisitas utama streptomisin

    terjadi pada nervus kranial VIII yang mengganggu keseimbangan dan

    pendengaran, dengan gejala berupa telinga berdengung (tinismus) dan

    pusing. Streptomisin dapat menembus plasenta, sehingga perlu berhati-

    hati dalam menentukan dosis pada wanita hamil karena dapat merudak

    saraf pendengaran janin, yaitu 30% bayi akan menderita tuli berat

    (Nastiti N. Rahajoe, dkk., 2007).

    e. Etambutol

    Etambutol memiliki aktivitas bakteriostatik, tetapi dapat bersifat

    bakterid jika diberikan dengan dosis tinggi dengan terapi intermiten.

    Selain itu, berdasarkan pengalaman, obat ini dapat mencegah

    timbulnya resistensi terhadap obat-obat lain. Dosis etambutol adalah

    15-20 mg / kgBB / hari, maksimal 1,25 gram / hari dengan dosis

    tunggal. Kadar serum puncak 5 g dalam waktu 24 jam. Etambutoltersedia dalam bentuk tablet 250 mg dan 500 mg. Etambutol

    ditoleransi dengan baik oleh dewasa dan anak-anak pada pemberian

    oral dengan dosis satu atau dua kali sehari, tetapi tidak berpenetrasi

    baik pada SSP, demikian juga pada keadaan meningitis. Kemungkinan

    toksisitas utama etambutol adalah neuritis optik dan buta warna merah-

    hijau, sehingga seringkali penggunaannya dihindari pada anak yang

    belum dapat diperiksa tajam penglihatannya. Penelitian di FKUI

  • 7/29/2019 meningoensefalitis e.c TB

    24/27

    menunjukkan bahwa pemberian etambutol dengan dosis 15-25 mg /

    kgBB / hari tidak menimbulkan kejadian neuritis optika pada pasien

    yang dipantau hingga 10 tahun pasca pengobatan. Rekomendasi WHO

    yang terakhir mengenai pelaksanaan tuberkulosis pada anak, etambutol

    dianjurkan penggunaannya pada anak dengan dosis 15-25 mg / kgBB /

    hari. Etambutol dapat diberikan pada anak dengan TB berat dan

    kecurigaan TB resisten-obat jika obat-obat lainnya tidak tersedia atau

    tidak dapat digunakan (Nastiti N. Rahajoe, dkk., 2007).

    Bukti klinis mendukung penggunaan steroid pada meningitis

    tuberkulosis sebagai terapi ajuvan. Penggunaan steroid selain sebagai

    anti inflamasi, juga dapat menurunkan tekanan intrakranial dan

    mengobati edema otak. Steroid yang dipakai adalah prednison dengan

    dosis 1-2 mg / kgBB / hari selama 4-6 minggu, setelah itu dilakukan

    penurunan dosis secara bertahap (tappering off) selama 4-6 minggu

    sesuai dengan lamanya pemberian regimen (Nastiti N. Rahajoe, dkk.,

    2007).

    a. Pengobatan simptomatis

    1) Menghentikan kejang:

    Diazepam 0,2-0,5 mg/KgBB/dosis IV atau 0,4-0,6

    mg/KgBB/dosis REKTAL SUPPOSITORIA, kemudian

    dilanjutkan dengan:

    Phenytoin 5 mg/KgBB/hari IV/PO dibagi dalam 3 dosis atau

    Phenobarbital5-7 mg/Kg/hari IM/PO dibagi dalam 3 dosis

    2) Menurunkan panas:

    Antipiretika: Paracetamol 10 mg/KgBB/dosis PO atau

    Ibuprofen 5-10 mg/KgBB/dosis PO diberikan 3-4 kali sehari

    Kompres air hangat/biasa

    b.Pengobatan suportif

    Cairan intravena

    Oksigen. Usahakan agar konsentrasi O2 berkisar antara 30-50%.

  • 7/29/2019 meningoensefalitis e.c TB

    25/27

    2. Perawatan:

    a. Pada waktu kejang:

    o Longgarkan pakaian, bila perlu dibuka

    o Hisap lendir

    o Kosongkan lambung untuk menghindari muntah dan aspirasi

    o Hindarkan penderita dari rudapaksa (misalnya jatuh)

    b. Bila penderita tidak sadar lama:

    o Beri makanan melalui sonde

    o Cegah dekubitus dan pnemonia ortostatik dengan merubah

    posisi penderita sesering mungkin, minimal ke kiri dan ke

    kanan setiap 6 jam

    o Cegah kekeringan kornea dengan boorwater/salep antibiotika

    c. Bila mengalami inkontinensia urin lakukan pemasangan kateter

    d. Bila mengalami inkontinensia alvi lakukan lavement

    e. Pemantauan ketat:

    o Tekanan darah

    o Pernafasan

    o Nadi

    o Produksi air kemih

    o Faal hemostasis untuk mengetahui secara dini ada DIC

    f. Fisioterapi dan rehabilitasi.

    h. KomplikasiKomplikasi ada tiga

    1.

    Komplikasi akut : terjadinya hipertensi intracranial, edema otak, kejang2. Komplikasi intermediet : efusi serebral, demam, abses otak,

    hydrocephalus

    3. Komplikasi kronik : memburuknya fungsi kognitif, kecacatan motorik,

    ketulian (Marjono,2009).

  • 7/29/2019 meningoensefalitis e.c TB

    26/27

    i. PrognosisPrognosis berkorelasi paling dekat dengan stadium klinis penyakit

    pada saat pengobatan dimulai. Stadium satu hasil akhir sangat baik.

    Stadium tiga yang bertahan hidup menderita kecacatan permanen,

    termasuk kebutaan, tuli, paraplegia tau retardasi mental (Harsono, 2003)

    F. Belajar Mandiri Secara Individual Atau KelompokSudah dilaksanakan

    G. Menarik Atau Mengambil Sistem Informasi Yang Dibutuhkan DariInformasi Yang Ada

  • 7/29/2019 meningoensefalitis e.c TB

    27/27

    DAFTAR PUSTAKA

    Betz, Cecily Lynn dan Linda A. Sowden. 2009. Buku Saku Keperawatan Pediatri

    Ed.5. Jakarta : EGC. p.575

    Ginsberg L, LECTURE NOTES Neurologi. Edisi ke 8. Penerbit Erlangga Medical

    Series.Jakarta 2002

    Guyton C.A., Hall E.J. 1997. Pengaturan Suhu.Buku Ajar Fisiologi

    Kedokteran. Jakarta. EGC. 1141-1155.

    Harsono. 2003. Meningitis. Kapita Selekta Neurologi. 2 URL :

    http://www.uum.edu.my/medic/meningitis.htm

    Juwono, T. 1996.Pemeriksaan Klinik Neurologik Dalam Praktek. Jakarta : EGC.

    Lumbantobing, S.M. 2008. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental.

    Jakarta : Balai Penerbit FKUI.

    Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2 Edisi Ketiga. Jakarta :

    Media Aesculapius.

    Mardjono, Mahar, Priguna Sidharta. 2009. Mekanisme Infeksi Susunan Saraf

    dalam Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat. Hal: 306-320

    Moore, K. L. dan Anne M. R. A. 2002. Anatomi Klinis Dasar. Jakarta :

    Hipokrates

    Pujiati,Sri. 2009.Mycobacterium Tuberculosis. Jakarta : FKM UI

    Rahajoe N, Basir D, Makmuri, Kartasasmita CB. 2007. Pedoman Nasional

    Tuberkulosis Anak. Jakarta :Unit Kerja Pulmonologi PP IDAI

    Saharso,Darto. 2006.Meningitis. Surabaya: FK UNAIR

    Schossberg, D. 2006. Infections of the Nervous System. Philadelphia,

    Pennsylvania : Springer Verlag.Soetomenggolo T S, Ismael S. 1999. Buku Ajar Neurologi Anak IDAI. Jakarta.

    halaman 363- 371.

    Soetomenggolo. 2000.Kejang Demam dan Penghentian Kejang. FKUI : Jakarta

    Thwaites, G., et al. 2000. Tuberculous Meningitis. J Neurol Neurosurg

    Psychiatry. 68 : 3. 289-299