Gangguan Cemas

62
Gangguan Cemas GANGGUAN CEMAS DEFINISI GANGGUAN CEMAS Cemas didefinisikan sebagai suatu perasaan yang difus, tidak menyenangkan, yang umumnya disertai gejala otonom seperti nyeri kepala, berkeringat, palpitasi, rasa sesak di dada, tidak nyaman pada perut, dan gelisah. Cemas merupakan suatu sinyal sensor terhadap suatu keadaan yang tidak menguntungkan, yang memungkinkan seseorang bertindak antisipatif terhadap keadaan tersebut. Cemas merupakan sinyal yang digunakan untuk mengenali ancaman dari luar maupun dalam. Rasa cemas, berdasarkan konsepnya, memiliki kualitas yang dapat menyelamatkan hidup, dengan cara menyadarkan terhadap bahaya nyeri, rasa tidak berdaya, hukuman, ataupun luka batin seperti ditinggal orang-orang terkasih yang pada akhirnya memberikan kesempatan untuk seseorang mengambil langkah-langkah yang tepat untuk mencegahnya terjadi. Rasa cemas dapat datang dari eksternal atau internal. Masalah eksternal umumnya terkait dengan Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Jiwa Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Khusus Jiwa Dharma Graha Periode 24 Maret 2014 – 26 April 2014 3

description

gangguan cemas

Transcript of Gangguan Cemas

Page 1: Gangguan Cemas

Gangguan Cemas

GANGGUAN CEMAS

DEFINISI GANGGUAN CEMAS

Cemas didefinisikan sebagai suatu perasaan yang difus, tidak

menyenangkan, yang umumnya disertai gejala otonom seperti nyeri kepala,

berkeringat, palpitasi, rasa sesak di dada, tidak nyaman pada perut, dan gelisah.

Cemas merupakan suatu sinyal sensor terhadap suatu keadaan yang tidak

menguntungkan, yang memungkinkan seseorang bertindak antisipatif terhadap

keadaan tersebut.

Cemas merupakan sinyal yang digunakan untuk mengenali ancaman dari

luar maupun dalam. Rasa cemas, berdasarkan konsepnya, memiliki kualitas yang

dapat menyelamatkan hidup, dengan cara menyadarkan terhadap bahaya nyeri,

rasa tidak berdaya, hukuman, ataupun luka batin seperti ditinggal orang-orang

terkasih yang pada akhirnya memberikan kesempatan untuk seseorang mengambil

langkah-langkah yang tepat untuk mencegahnya terjadi.

Rasa cemas dapat datang dari eksternal atau internal. Masalah eksternal

umumnya terkait dengan hubungan antara seseorang dengan komunitas, teman,

atau keluarga. Masalah internal umumnya terkait dengan pikiran seseorang

sendiri. Beratnya rasa cemas juga ditentukan oleh ego seseorang. Bila ego

seseorang normal, bila terdapat ketidakseimbangan dalam faktor eksternal atau

internal, ia dapat mengatasinya.

TANDA DAN GEJALA GANGGUAN CEMAS

Gejala-gejala cemas pada dasarnya terdiri dari dua komponen yakni,

kesadaran terhadap sensasi fisiologis ( palpitasi atau berkeringat ) dan kesadaran

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran JiwaUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Khusus Jiwa Dharma GrahaPeriode 24 Maret 2014 – 26 April 2014

3

Page 2: Gangguan Cemas

Gangguan Cemas

terhadap rasa gugup atau takut. Selain dari gejala motorik dan viseral, rasa cemas

juga mempengaruhi kemampuan berpikir, persepsi, dan belajar. Umumnya hal

tersebut menyebabkan rasa bingung dan distorsi persepsi. Aspek yang penting

pada rasa cemas, umumnya orang dengan rasa cemas akan melakukan seleksi

terhadap hal-hal disekitar mereka yang dapat membenarkan persepsi mereka

mengenai suatu hal yang menimbulkan rasa cemas.

PATOFISIOLOGI GANGGUAN CEMAS

Terdapat tiga teori yang mendasari rasa cemas yang patologis, yaitu :

Teori psikoanalitik

Teori perilaku

Teori eksistensi

Teori Psikoanalitik

Rasa cemas dianggap sebagai sinyal terhadap hal-hal yang tidak

menguntungkan di alam bawah sadar. Sebagai respon terhadap sinyal tersebut,

ego seseorang membentuk suatu mekanisme pertahanan untuk mencegah perasaan

dan pikiran, yang tidak dapat diterima, untuk tidak muncul ke alam sadar. Tujuan

terapi pada gangguan cemas adalah bukan untuk menghilangkan rasa cemas itu,

melainkan untuk meningkatkan tingkat toleransi seseorang terhadap rasa cemas

itu, sehingga seseorang itu dapat mengidentifikasi masalah yang menimbulkan

rasa cemas itu.

Teori Perilaku

Berdasarkan teori perilaku, rasa cemas dianggap timbul sebagai respon

dari stimulus lingkungan yang spesifik. Contohnya, seorang anak perempuan yang

dibesarkan oleh ayah yang memperlakukannya semena-mena, akan segera merasa

cemas bila ia melihat ayahnya. Dan melalui proses generalisasi, ia akan menjadi

tidak percaya dengan pria-pria disekitarnya. Selain itu, diduga bila rasa cemas itu

dapat ditiru, seperti seorang anak yang meniru sifat orangtuanya yang cemas.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran JiwaUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Khusus Jiwa Dharma GrahaPeriode 24 Maret 2014 – 26 April 2014

4

Page 3: Gangguan Cemas

Gangguan Cemas

Teori Eksistensi

Teori eksistensi memberikan penjelasan mengenai gangguan cemas

menyeluruh, dimana sesungguhnya tidak didapatkan stimulus rasa cemas yang

bersifat kronis. Inti dari teori eksistensi adalah seseorang merasa hidup di dalam

dunia yang tidak bertujuan. Rasa cemas adalah respon mereka terhadap rasa

kekosongan eksistensi dan arti.

Riset genetik menunjukan terdapatnya komponen gen yang berkontribusi

pada kelainan gangguan cemas. Hereditas telah diakui sebagai faktor predisposisi

pembentukan kelainan gangguan cemas. Hampir separuh dari pasien dengan

gangguan cemas juga memiliki seseorang dalam keluarganya yang mengalami

gangguan serupa. Data dari kelahiran kembar juga mendukung hipotesis gen yang

berperan dalam kelainan gangguan cemas.

Berdasarkan aspek biologis, didapatkan beberapa teori yang mendasari

timbulnya cemas yang patologis antara lain:

Sistem saraf otonom

Neurotransmiter

Sistem Saraf Otonom

Stimulus terhadap sistem saraf otonom menimbulkan gejala-gejala tertentu

pada sistem kardiovaskuler (palpitasi), muskuloskeletal (nyeri kepala),

gastrointestinal (diare), dan respirasi (takipneu). Sistem saraf otonom pada pasien

dengan gangguan cemas, terutama pada pasien dengan gangguan serangan panik,

mempertunjukan peningkatan tonus simpatetik, yang beradaptasi lambat pada

stimuli repetitif dan berlebih pada stimuli yang sedang.

Neurotransmiter

Ditemukan tiga neurotransmiter yang berkaitan dengan rasa cemas, yakni

norepinephrine ( NE ), serotonin, dan γ-aminobutryic acid ( GABA ).

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran JiwaUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Khusus Jiwa Dharma GrahaPeriode 24 Maret 2014 – 26 April 2014

5

Page 4: Gangguan Cemas

Gangguan Cemas

Norepinephrine

Gejala kronis yang ditunjukan oleh pasien dengan gangguan cemas berupa

serangan panik, insomnia, terkejut, dan autonomic hyperarousal, merupakan

karakteristik dari peningkatan fungsi noradrenergik. Teori umum dari keterlibatan

norepinephrine pada gangguan cemas, adalah pasien tersebut memiliki

kemampuan regulasi sistem noradrenergik yang buruk terkait dengan peningkatan

aktivitas yang mendadak. Sel-sel dari sistem noradrenergik terlokalisasi secara

primer pada locus ceruleus pada rostral pons, dan memiliki akson yang menjurus

pada korteks serebri, sistem limbik, medula oblongata, dan medula spinalis.

Percobaan pada primata menunjukan bila diberi stimulus pada daerah tersebut

menimbulkan rasa takut dan bila dilakukan inhibisi, primata tersebut tidak

menunjukan adanya rasa takut. Studi pada manusia, didapatkan pasien dengan

gangguan serangan panik, bila diberikan agonis reseptor β-adrenergik

( Isoproterenol ) dan antagonis reseptor α-2 adrenergik dapat mencetuskan

serangan panik secara lebih sering dan lebih berat. Kebalikannya, clonidine,

agonis reseptor α-2 menunjukan pengurangan gejala cemas.

Serotonin

Ditemukannya banyak reseptor serotonin telah mencetuskan pencarian

peran serotonin dalam gangguan cemas. Berbagai stress dapat menimbulkan

peningkatan 5-hydroxytryptamine pada prefrontal korteks, nukleus accumbens,

amygdala, dan hipotalamus lateral. Penelitian tersebut juga dilakukan berdasarkan

penggunaan obat-obatan serotonergik seperti clomipramine pada gangguan

obsesif kompulsif. Efektivitas pada penggunaan obat buspirone juga menunjukan

kemungkinan relasi antara serotonin dan rasa cemas. Sel-sel tubuh yang memiliki

reseptor serotonergik ditemukan dominan pada raphe nuclei pada rostral

brainstem dan menuju pada korteks serebri, sistem limbik, dan hipotalamus.

GABA

Peran GABA pada gangguan cemas sangat terlihat dari efektivitas obat-

obatan benzodiazepine, yang meningkatkan aktivitas GABA pada reseptor GABA

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran JiwaUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Khusus Jiwa Dharma GrahaPeriode 24 Maret 2014 – 26 April 2014

6

Page 5: Gangguan Cemas

Gangguan Cemas

tipe A. Walaupun benzodiazepine potensi rendah paling efektif terhadap gejala

gangguan cemas menyeluruh, benzodiazepine potensi tinggi seperti alprazolam

dan clonazepam ditemukan efektif pada terapi gangguan serangan panik

Pada suatu studi struktur dengan CT scan dan MRI menunjukan

peningkatan ukuran ventrikel otak. Pada sebuah studi, peningkatan ukuran

ventrikel otak terkait dengan lamanya pasien mengkonsumsi obat benzodiazepine.

Pada satu studi MRI, sebuah defek spesifik pada lobus temporal kanan ditemukan

pada pasien dengan gangguan serangan panik. Beberapa studi pencitraan otak

lainnya juga menunjukan adanya penemuan abnormal pada hemisfer kanan otak,

tapi tidak ada pada hemisfer kiri. Hal ini menunjukan keasimetrisan otak memiliki

peran pada pembentukan gangguan cemas pada pasien-pasien spesifik. fMRI,

SPECT, dan EEG menunjukan penemuan abnormal pada korteks frontal pasien

dengan gangguan cemas, yang ditemukan juga pada area oksipital, temporal, dan

girus hippocampal. Pada gangguan obsesif kompulsif diduga terdapat kelainan

pada nukleus kaudatus. Pada PTSD, fMRI menunjukan pengingkatan aktivitas

pada amygdala.

Berdasarkan pertimbangan neuroanatomis, daerah sistem limbik dan

korteks serebri dianggap memegang peran penting dalam proses terjadinya cemas.

Sistem Limbik

Selain menerima inervasi dari noradrenergik dan serotonergik, sistem

limbik juga memiliki reseptor GABA dalam jumlah yang banyak. Ablasi dan

stimulasi pada primata juga menunjukan jikalau sistem limbik berpengaruh pada

respon cemas dan takut. Dua area pada sistem limbik menarik perhatian peneliti,

yakni peningkatan aktivitas pada septohippocampal, yang diduga berkaitan

dengan rasa cemas, dan cingulate gyrus, yang diduga berkaitan dengan gangguan

obsesif kompulsif.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran JiwaUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Khusus Jiwa Dharma GrahaPeriode 24 Maret 2014 – 26 April 2014

7

Page 6: Gangguan Cemas

Gangguan Cemas

Korteks Serebri

Korteks serebri bagian frontal berhubungan dengan regio

parahippocampal, cingulate gyrus, dan hipotalamus, sehingga diduga berkaitan

dengan gangguan cemas. Korteks temporal juga dikaitkan dengan gangguan

cemas. Hal ini diduga karena adanya kemiripan antara presentasi klinis dan EEG

pada pasien dengan epilepsy lobus temporal dan gangguan obsesif kompulsif.

KLASIFIKASI GANGGUAN CEMAS

Berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders

( DSM-IV), gangguan cemas terdiri dari :

(1) Serangan panik dengan atau tanpa agoraphobia;

(2) Agoraphobia dengan atau tanpa Serangan panik;

(3) Fobia spesifik;

(4) Fobia sosial;

(5) Gangguan Obsesif-Kompulsif;

(6) Post Traumatic Stress Disorder ( PTSD );

(7) Gangguan Stress Akut;

(8) Gangguan Cemas Menyeluruh (Generalized Anxiety Disorder).

Berdasarkan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di

Indonesia III, gangguan cemas dikaitkan dalam gangguan neurotik, gangguan

somatoform dan gangguan yang berkaitan dengan stress (F40-48).

F40–F48 GANGGUAN NEUROTIK, GANGGUAN SOMATOFORM DAN

GANGGUAN YANG BERKAITAN DENGAN STRES

F40 Gangguan Anxieta Fobik

F40.0 Agorafobia

.00 Tanpa gangguan panik

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran JiwaUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Khusus Jiwa Dharma GrahaPeriode 24 Maret 2014 – 26 April 2014

8

Page 7: Gangguan Cemas

Gangguan Cemas

.01 Dengan gangguan panik

F40.1 Fobia sosial

F40.2 Fobia khas (terisolasi)

F40.8 Gangguan anxietas fobik lainnya

F40.9 Gangguan anxietas fobik YTT

F41 Gangguan Anxietas Lainnya

F41.0 Gangguan panik (anxietas paroksismal episodik)

F41.1 Gangguan anxietas menyeluruh

F41.2 Gangguan campuran anxietas dan depresif

F41.3 Gangguan anxietas campuran lainnya

F41.8 Gangguan anxietas lainnya YDT

F41.9 Gangguan anxietas YTT

F42 Gangguan Obsesif-Kompulsif

F42.0 Predominan pikiran obsesional atau pengulangan

F42.1 Predominan tindakan kompulsif (obsesional ritual)

F42.2 Campuran tindakan dan pikiran obsesional

F42.8 Gangguan obsesif kompulsif lainnya

F42.9 Gangguan obsesif kompulsif YTT

F43 Reaksi Terhadap Stres Berat dan Gangguan Penyesuaian (F43.0-F43.9)

F44 Gangguan Disosiatif (Konversi) (F44.0-F44.9)

F45 Gangguan Somatoform (F45.0-F45.9)

F48 Gangguan Neurotik Lainnya (F48.0-F48.9)

Pada pembahasan ini akan dikupas lebih lanjut mengenai fobia, gangguan

anxietas menyeluruh, dan gangguan obsesif kompulsif yang cukup banyak

ditemui kelainannya di masyarakat.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran JiwaUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Khusus Jiwa Dharma GrahaPeriode 24 Maret 2014 – 26 April 2014

9

Page 8: Gangguan Cemas

Gangguan Cemas

2.1 FOBIA

Definisi Fobia

Fobia adalah suatu ketakutan irasional yang jelas, menetap, dan berlebihan

terhadap suatu objek spesifik, keadaan atau situasi. Berasal dari bahasa Yunani

yaitu Fobos yang berarti ketakutan.

Fobia merupakan suatu gangguan jiwa yang merupakan salah satu tipe dari

gangguan anxietas dan dibedakan dalam tiga jenis menurut jenis objek atau situasi

ketakutan yaitu agorafobia, fobia spesifik, dan fobia sosial.

Fobia spesifik adalah suatu rasa takut yang kuat dan persisten pada suatu

objek atau situasi. Fobia sosial adalah rasa takut yang kuat dan persisten dimana

dapat timbul rasa malu.

Epidemiologi Fobia

Fobia merupakan salah satu gangguan jiwa yang umum, dimana terdapat

kurang lebih 5 – 10 % dari seluruh populasi yang mengalaminya. Gangguan yang

ditimbulkan dari fobia, terutama apabila mereka tidak dihiraukan, dapat

menyebabkan munculnya gangguan cemas lainnya, depresi, dan gangguan yang

berhubungan dengan penggunaan obat terlarang.

Fobia spesifik lebih sering dijumpai dibandingkan dengan fobia sosial.

Diduga fobia spesifik merupakan gangguan yang paling sering dialami perempuan

dan kedua tersering pada pria. Prevalensi 6 bulan fobia spesifik berkisar antara 5 –

10 / 100 orang. Tingkat prevalensi fobia spesifik pada perempuan berkisar antara

13.6 – 16.1 % lebih tinggi dibandingkan pria, yakni 5.2 – 6.7 %, walaupun rasio

untuk fobia terhadap darah, suntikan, dan sakit berkisar antara 1 : 1. Puncak onset

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran JiwaUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Khusus Jiwa Dharma GrahaPeriode 24 Maret 2014 – 26 April 2014

10

Page 9: Gangguan Cemas

Gangguan Cemas

fobia spesifik darah-suntikan-sakit berkisar antara 5 – 9 tahun. Sedangkan puncak

onset fobia spesifik yang lain berkisar pada umur 20. Umumnya objek penyebab

rasa takut adalah hewan, badai, ketinggian, sakit, cedera, dan kematian.

Prevalensi untuk fobia sosial berkisar antara 3 – 13 %. Untuk prevalensi 6

bulannya berkisar antara 2 – 3 / 100 orang. Pada studi epidemiologis, kaum

perempuan lebih sering mengalami fobia sosial dibandingkan pria, namun pada

studi klinis seringkali ditemukan kebalikannya. Puncak onset fobia sosial adalah

pada masa remaja, namun berkisar antara usia 5 hingga 35 tahun.

Tingkat komorbiditas fobia sosial dapat didahului dengan riwayat

gangguan cemas lainnya, gangguan mood, gangguan karena penggunaan obat-

obat terlarang, dan mungkin bulimia nervosa. Sebagai tambahan, gangguan

pribadi yang menghindar umum terjadi pada seseorang dengan gangguan fobia

sosial menyeluruh.

Etiopatogenesis Fobia

Prinsip-prinsip umum pada fobia terdiri dari faktor perilaku dan faktor

psikoanalitik.

Faktor Perilaku

Pada tahun 1920, John B. Watson memiliki hipotesis mengenai fobia,

yakni fobia muncul dari rasa cemas dari stimuli yang menakutkan yang muncul

bersamaan dengan stimuli lain yang bersifat netral. Sebagai hasil dari kemunculan

stimuli yang bersamaan tersebut, stimuli netral tersebut menjadi menakutkan juga.

Contohnya pada seseorang yang fobia dengan anjing, dahulu ia pernah digigit

oleh anjing, dimana gigitan tersebut merupakan stimuli yang menakutkan,

sedangkan anjing tersebut merupakan stimuli yang netral, namun karena stimuli

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran JiwaUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Khusus Jiwa Dharma GrahaPeriode 24 Maret 2014 – 26 April 2014

11

Page 10: Gangguan Cemas

Gangguan Cemas

tersebut muncul secara bersamaan, sehingga anjing tersebut juga menjadi stimuli

yang menakutkan.

Didapatkan juga teori lain, yakni teori klasik stimulus-respon. Rasa cemas

adalah suatu motor penggerak pada organisme yang menyebabkannya melakukan

perilaku tertentu untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Perilaku yang

dilakukan dapat berupa penghindaran untuk mengurangi rasa cemas tersebut.

Teori ini dapat diaplikasikan pada fobia spesifik terhadap situasi tertentu atau

fobia sosial, dimana seseorang dapat menghindari elevator atau berbicara didepan

khayalak ramai.

Faktor Psikoanalitik

Formulasi Sigmund Freud mengenai phobic neurosis masih merupakan

penjelasan psikoanalisis untuk fobia spesifik dan fobia sosial. Hipotesa Freud

adalah, rasa cemas merupakan sinyal untuk menyadarkan ego, jikalau terdapat

dorongan terlarang di alam bawah sadar yang akan memuncak dan untuk

menyadarkan ego untuk melakukan mekanisme defensif terhadap daya insting.

Freud melihat jikalau fobia merupakan hasil konflik yang terpusat pada masalah

masa kanak-kanak yang tidak terselesaikan. Ketika tindakan represi untuk

mencegah cemas gagal, sistem ego seseorang akan mengaktifkan mekanisme

pertahanan yang berupa “mempersalahkan” ( displacement ), dimana masalah

yang tidak selesai dari masa kanak-kanak akan dialihkan kepada objek atau situasi

yang memiliki kemampuan untuk membangkitkan rasa cemas. Objek atau situasi

tersebut menjadi simbol dari masalah yang dahulu dialaminya ( Symbolization ).

Mekanisme pertahanan ego terhadap rasa cemas terdiri dari tiga hal, yakni

represion, displacement, dan symbolization. Sehingga rasa cemas tersebut teratasi

dengan membentuk phobic neurosis.

Namun pada agoraphobia atau erythrophobia, rasa cemas diduga datang

dari rasa malu yang mempengaruhi superego. Perlu diperhatikan juga bahwa

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran JiwaUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Khusus Jiwa Dharma GrahaPeriode 24 Maret 2014 – 26 April 2014

12

Page 11: Gangguan Cemas

Gangguan Cemas

setiap orang dilahirkan dengan tingkat temperamen yang berbeda yang

menyebabkan mereka dapat menangani stimuli stress dari luar dengan cara yang

berbeda pula. Namun untuk memunculkan fobia, diperlukan tingkat stress yang

cukup, seperti kematian dari yang terkasih, kekerasan dalam rumah tangga, dan

terkucilkan dari kehidupan sosial.

Berikut ini etiopatogenesis fobia spesifik dan fobia sosial :

Fobia Spesifik

Pembentukan fobia spesifik muncul karena proses pemasangan objek

spesifik atau situasi tertentu dengan perasaan takut dan panik. Beberapa

mekanisme dalam pemasangan tersebut telah dibahas sebelumnya. Secara umum

kecenderungan nonspesifik untuk merasakan takut dan cemas membentuk efek

pemasangan, contohnya pada suatu keadaan tertentu seperti menyetir, bila

dipasangkan dengan pengalaman kecelakaan, akan menyebabkan seseorang

mengalami asosiasi permanen antara menyetir dengan kecelakaan. Salah satu teori

lain adalah modelling, dimana seseorang mempelajari respon orang lain terhadap

suatu stimulus tertentu dan mengikutinya, atau seseorang yang diajarkan

mengenai bahaya dari suatu stimuli.

Faktor genetik juga memiliki peran dalam fobia spesifik, contohnya pada

fobia terhadap darah-suntikan-sakit yang tampak nyata terkait dengan keluarga.

Hasil studi menemukan jikalau seseorang dengan fobia spesifik tersebut memiliki

anggota keluarga tingkat satu memiliki fobia dengan jenis yang sama.

Fobia Sosial

Beberapa studi menunjukan jikalau beberapa anak kemungkinan memiliki

faktor keturunan berdasarkan konsistensi inhibisi perilaku. Hal ini terutama

terlihat pada anak-anak dengan orang tua yang memiliki gangguan serangan

panik, yang akan menyebabkan rasa malu yang terus meningkat. Hal ini

kemungkinan disebabkan oleh lingkungan didikan keluarga yang tertutup, kurang

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran JiwaUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Khusus Jiwa Dharma GrahaPeriode 24 Maret 2014 – 26 April 2014

13

Page 12: Gangguan Cemas

Gangguan Cemas

perduli, dan terlalu protektif mengenai anak mereka. Kadang-kadang beberapa hal

kecil dapat menjadi indikator dari sifat seseorang, seperti seseorang yang berjalan

dengan dagu terangkat dan melakukan kontak mata umumnya memiliki sifat yang

dominan, bila dibandingkan dengan seseorang yang sering berjalan dengan kepala

tertunduk dan jarang melakukan kontak mata yang umumnya bersifat submisif.

Kesuksesan memberikan terapi pada pasien dengan fobia sosial telah

menimbulkan dua hipotesa neurokima yang spesifik terhadap dua jenis fobia

sosial. Secara spesifik, penggunaan obat antagonis reseptor β-adrenergik

( propanolol ) untuk fobia pertunjukan. Seseorang dengan fobia pertunjukan

umumnya melepaskan lebih banyak norepinephrine atau epinephrine, secara

sentral maupun perifer, dibandingkan orang-orang non-fobik, atau orang-orang

tersebut lebih sensitif terhadap stimulasi kadar adrenergik yang normal.

Berdasarkan hasil observasi mengenai penggunaan obat monoamine oxidase

inhibitor (MAOI) yang lebih efektif dibandingkan obat-obatan tricylcic pada

terapi fobia sosial menyeluruh, diduga jikalau aktivitas dopaminergik

berhubungan dengan patogenesis gangguan fobia sosial. Pada salah studi dengan

single photon emission computed tomography (SPECT) menunjukan penurunan

reuptake dopamine pada daerah striatal.

Faktor genetik diduga memiliki keterkaitan dengan fobia sosial. Anggota

keluarga tingkat pertama pada seseorang dengan gangguan fobia memiliki

kecenderungan untuk mengalami fobia sosial sebanyak tiga kali lebih sering

dibandingkan dengan yang tidak. Selain itu, pada kembar monozigotik juga

didapatkan prevalensi yang lebih tinggi dibandingkan kembar dizigotik.

Tanda dan Gejala Fobia

Fobia terkarakterisasi dengan terinduksinya rasa cemas yang hebat ketika

dipaparkan terhadap suatu objek stimulan atau situasi tertentu. DSM-IV-TR

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran JiwaUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Khusus Jiwa Dharma GrahaPeriode 24 Maret 2014 – 26 April 2014

14

Page 13: Gangguan Cemas

Gangguan Cemas

menyatakan bila serangan panik dapat terjadi pada pasien dengan fobia spesifik

atau fobia sosial, namun mereka sudah mengetahui kemungkinan terjadinya

serangan panik tersebut. Pajanan terhadap stimulan tertentu dapat mencetuskan

terjadinya serangan panik.

Seseorang yang memiliki fobia akan menghindari stimulus fobianya,

bahkan sampai pada taraf yang berlebihan. Contohnya seseorang yang fobia

terhadap pesawat akan memilih untuk melintasi negara dengan bus dibandingkan

naik pesawat. Seringkali, pasien dengan gangguan fobia juga memiliki masalah

dengan gangguan penggunaan zat-zat terlarang sebagai upaya pelarian mereka

dari rasa cemas tersebut. Secara keseluruhan, sepertiga dari seluruh pasien fobia

juga memiliki keadaan depresif yang berat.

Tanda dan gejala yang paling terlihat pada seseorang dengan fobia adalah

adanya pemikiran yang tidak logis dan rasa takut yang ego-distonik mengenai

suatu stimulus. Pasien umumnya dapat menceritakan bagaimana cara mereka

menghindari stimulus tersebut. Umumnya pasien dengan fobia juga memiliki

gejala depresi.

Pedoman Diagnosis Fobia

Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders IV ( DSM-IV-

TR)

Fobia Spesifik

Berdasarkan revisi keempat dari Diagnostic and Statistical Manual of

Mental Disorders ( DSM-IV-TR ), hasil revisi tersebut menggunakan isitilah

fobia spesifik untuk dicocokkan dengan hasil revisi kesepuluh dari International

Statistical Classification of Diseases and Related Health Problems ( ICD-10 ).

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran JiwaUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Khusus Jiwa Dharma GrahaPeriode 24 Maret 2014 – 26 April 2014

15

Page 14: Gangguan Cemas

Gangguan Cemas

DSM-IV-TR 300.29 FOBIA SPESIFIK

A. Ketakutan yang jelas dan menetap yang berlebihan atau tidak beralasan, ditandai oleh adanya atau antisipasi dari suatu obyek atau situasi spesifik (misalnya, naik pesawat terbang, ketinggian, binatang, mendapat suntikkan, melihat darah).

B. Pemaparan stimulus fobik hampir selalu mencetuskan respon kecemasan segera, dapat berupa serangan panik yang berhubungan dengan situasi atau predisposisi oleh situasi.

Catatan : pada anak-anak, kecemasan dapat diekspresikan dengan menangis, tantrum, diam membeku, atau melekat erat menggendong.

C. Orang menyadari bahwa ketakutan adalah berlebihan atau tidak beralasan .

Catatan : pada anak-anak, gambaran ini mungkin tidak ditemukanD. Situasi fobik dihindari atau kalau dihadapi adalah dengan kecemasan atau

dengan penderitaan yang jelas.

E. Penghindaran, kecemasan antisipasi, atau penderitaan dalam situasi yang ditakuti secara bermakna mengganggu rutinitas normal, fungsi pekerjaan (atau akademik), atau aktivitas sosial atau hubungan dengan orang lain, atau terdapat penderitaan yang jelas karena menderita fobia.

F. Pada individu yang berusia dibawah 18 tahun, durasi paling sedikit 6 bulan.

G. Kecemasan, serangan panik, atau penghindaran fobik dihubungkan dengan objek atau situasi spesifik tidak lebih baik dijelaskan oleh gangguan mental lain, seperti Gangguan Obsesif-Kompulsif (misalnya,seseorang takut kotoran dengan obsesi tentang kontaminasi), Gangguan Stres pascatrauma (misalnya,penghindaran stimulus yang berhubungan dengan stresor yang berat0, Gangguan Cemas Perpisahan (misalnya,menghindari sekolah), Fobia Sosial (misalnya,menghindari situasi sosial karena takut merasa malu), Gangguan Panik dengan Agorafobia, atau Agorafobia Tanpa Riwayat Gangguan Panik.

Sebutkan tipe : Tipe Binatang

Tipe Lingkungan Alam (misalanya, ketinggan, badai, air)

Tipe Darah, Injeksi, Cedera

Tipe Situasional (misalnya, pesawat udara, elevator, tempat tertutup)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran JiwaUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Khusus Jiwa Dharma GrahaPeriode 24 Maret 2014 – 26 April 2014

16

Page 15: Gangguan Cemas

Gangguan Cemas

Tipe Lainnya (misalnya, ketakutan tersedak, muntah, atau mengidap penyakit ; pada anak-anak, ketakutan pada suara keras atau karakter bertopeng).

Kriteria A dan B telah diterakan secara hati-hati didalam DSM-IV-TR

untuk memberikan kemungkinan jikalau suatu pajanan terhadap stimulus fobia

dapat mencetuskan serangan panik. Kontras dengan gangguan serangan panik,

serangan panik pada fobia spesifik sangat terikat dengan stimulus penyebabnya.

Pada DSM-IV-TR dicantumkan beberapa contoh fobia spesifik. Fobia darah-

suntikan-sakit dibedakan dari fobia yang lain karena didapatkan respon yang

berbeda dari fobia tersebut, yakni hipotensi yang disusul dengan bradikardi. Salah

satu jenis fobia yang terbaru adalah space phobia, dimana seseorang terus merasa

takut jatuh bila disekitarnya tidak ada benda yang dapat dijadikan tumpuannya,

seperti tembok atau kursi. Penegakan diagnosa fobia spesifik juga harus

difokuskan pada benda yang menjadi stimulus fobia. Contoh-contoh fobia spesifik

terdapat pada tabel berikut :

Acrophobia Takut akan ketinggian

Agoraphobia Takut akan tempat terbuka

Ailurophobia Takut akan kucing

Hydrophobia Takut akan air

Claustrophobia Takut akan tempat tertutup

Cynophobia Takut akan anjing

Mysophobia Takut akan kotoran dan kuman

Pyrophobia Takut akan api

Xenophobia Takut akan orang yang asing

Zoophobia Takut akan hewan

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran JiwaUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Khusus Jiwa Dharma GrahaPeriode 24 Maret 2014 – 26 April 2014

17

Page 16: Gangguan Cemas

Gangguan Cemas

Fobia Sosial

Kriteria yang diberikan DSM-IV-TR untuk fobia sosial mengakui bila

fobia sosial dapat diikuti dengan serangan panik. DSM-IV-TR juga menyertakan

untuk fobia sosial yang bersifat menyeluruh yang berguna untuk menentukan

terapi, prognosis, dan respon terhadap terapi. DSM-IV-TR menyingkirkan

diagnosa fobia sosial bila gejala yang timbul merupakan akibat dari penghindaran

sosialisasi karena rasa malu dari kelainan mental atau non-mental.

DSM-IV-TR Diagnostic Criteria for Social Phobia

A. Ketakutan yang jelas dan menetap terhadap satu atau lebih situasi sosial atau memperlihatkan perilaku dimana orang bertemu dengan orang asing atau kemungkinan diperiksa oleh orang lain. Ketakutan bahwa ia akan bertindak dengan cara (atau menunjukkan gejala kecemasan) yang akan menghinakan atau memalukan.

Catatan : pada anak-anak, harus terbukti adanya kemampuan sesuai usianya untuk melakukan hubungan sosial dengan orang yang telah dikenalnya dan kecemasan hanya terjadi dalam lingkungan teman sebaya, bukan dalam interaksi dengan orang dewasa.

B. Pemaparan dengan situasi sosial yang ditakuti hampir selalu mencetuskan kecemasan, dapat berupa seragan panik yang berhubungan dengan situasi atai dipredisposisi oleh situasi.

Catatan : pada anak-anak, kecemasan dapat diekspresikan dengan menangism tantrumm diam membeku, atau bersembunyi dari situasi sosial dengan orang asing.

C. Orang menyadari bahwa ketakutan adalah berlebihan atau tidak beralasan.

Catatan : pada anak-anak, gambaran ini mungkin tidak ditemukanD. Situasi sosial atau memperlihatkan perilaku dihindari atau kalau dihadapi

adalah dengan kecemasan atau dengan penderitaan yang jelas

E. Penghindaran, kecemasan antisipasi, atau penderitaan dalam situasi yang ditakuti secara bermakna mengganggu rutinitas normal, fungsi pekerjaan (atau akademik), atau aktivitas sosial atau hubungan dengan orang lain, atau terdapat penderitaan yang jelas karena menderita fobia.

F. Pada individu yang berusia dibawah 18 tahun, durasi paling sedikit 6 bulan.

G. Kecemasan atau penghindaran fobik bukan karena efek fisiologis langsung dari zat (misalnya, penyalahgunaan zat, pengobatan) atau suatu kondisi medis

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran JiwaUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Khusus Jiwa Dharma GrahaPeriode 24 Maret 2014 – 26 April 2014

18

Page 17: Gangguan Cemas

Gangguan Cemas

umum dan tidak lebih baik dijelaskan oleh gangguan mental lain ( misalnya, Gangguan Panik Dengan atau Tanpa Agorafobia, Gangguan Cemas Perpisahan, Gangguan Dismorfik Tubuh, Gangguan Perkembangan Pervasif, atau Gangguan Kepribadian Skizoid).

H. Jika terdapat suatu kondisi medis umum atau gangguan mental dengannya misalnya takut adalah bukan gagap, gemetar pada penyakit Parkinson, atau memperlihatkan perilaku makan abnormal pada Anoreksia Nervosa atau Bulimia Nervosa.

Sebutkan Jika :Menyeluruh : jika ketakutan termasuk situasi yang paling sosial (juga pertimbangkan diagnosis tambahan Gangguan Kepribadian Menghindar)

Menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa III (PPDGJ)

Agorafobia

Semua kriteria ini harus dipenuhi untuk :

a. Gejala psikologis/otonomik yang timbul harus merupakan manifestasi

primer dari anxietas dan bukan merupakan gejala lain yang sekunder

seperti waham atau pikiran obsesif.

b. Anxietas yang timbul harus terutama terjadi dalam sekurang-kurangnya

dua dari situasi berikut :

• Banyak orang

• Tempat-tempat umum

• Bepergian keluar rumah

• Bepergian sendiri

c. Menghindari situasi fobik harus/sudah merupakan gambaran yang

menonjol

Fobia Sosial

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran JiwaUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Khusus Jiwa Dharma GrahaPeriode 24 Maret 2014 – 26 April 2014

19

Page 18: Gangguan Cemas

Gangguan Cemas

Semua kriteria di bawah ini harus dipenuhi untuk suatu diagnosis pasti:

• Gejala-gejala psikologis, perilaku /otonomik harus merupakan manifestasi

primer dari anxietas dan bukan sekundari gejala lain seperti waham /

pikiran obsesif

• Anxietas harus hanya terbatas / menonjol pada situasi sosial tertentu saja

• Penghindaran dari situasi fobik harus merupakan gambaran yang menonjol

Fobia Khas (Terisolasi)

Semua kriteria yang dibawah ini untuk diagnosis :

a. Gejala psikologis atau otonomik harus merupakan manifestasi primer dari

anxietas, dan bukan sekunder dari gejala-gejala lain seperti waham atau

pikiran obsesif.

b. Anxietas harus terbatas pada adanya objek situasi fobik tertentu.

c. Situasi fobik tersebut sedapat mungkin dihindarinya.

Diagnosa Banding Fobia

Diagnosis fobia harus dapat dibandingkan dengan rasa takut yang wajar

dan malu yang umum. DSM-IV-TR membantu dalam memberikan penegakan

diagnosis, dengan memberi syarat bahwa rasa takut atau malu yang dialami pasien

telah mengganggu kemampuan berfungsi orang tersebut. Keadaan medis lain yang

bersifat non-psikiatrik yang dapat mencetuskan fobia berupa penggunaan obat-

obat atau zat-zat terlarang, tumor sistem saraf pusat, dan penyakit serebrovaskuler.

Skizofrenia merupakan salah satu gangguan jiwa yang perlu dibandingkan dengan

fobia, karena fobia dapat menjadi salah satu gejala psikosis mereka. Namun

berbeda dengan pasien skizofrenia, pasien yang mengalami fobia menyadari

ketidaklogisan dari rasa cemasnya dan tidak memiliki imajinasi yang bizar seperti

pada psikosis.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran JiwaUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Khusus Jiwa Dharma GrahaPeriode 24 Maret 2014 – 26 April 2014

20

Page 19: Gangguan Cemas

Gangguan Cemas

Dalam penegakan diagnosis fobia, dokter perlu memperhatikan dan

menimbang kemungkinan diagnosa serangan panik, agoraphobia, dan gangguan

pribadi menghindar. Pada kasus-kasus individual, penegakan diagnosisnya cukup

sulit, namun secara umum pasien yang mengalami fobia akan segera merasa

cemas ketika dihadapkan dengan stimulannya. Dan umumnya pada fobia sosial,

pasien akan merasa cemas bila dihadapkan pada situasi yang spesifik.

Pasien dengan agoraphobia akan menunjukan rasa lebih tenang ketika ada

seseorang lain dalam keadaan yang mencetuskan rasa cemas, dimana pasien

dengan fobia sosial akan semakin merasa cemas. Gejala yang umum muncul pada

fobia sosial berupa wajah yang merona, kedut-kedutan, dan rasa cemas yang

menyebabkannya ingin segera meninggalkan situasi mencemaskan itu.

Diagnosis banding untuk fobia spesifik dapat berupa hipokondriasis,

gangguan obsesif-kompulsif, dan gangguan pribadi paranoid. Hipokondriasis

dibedakan dimana pasien merasa sudah sakit, sedangkan fobia pasien merasa takut

akan terkena penyakit. Pada pasien dengan gangguan obsesif kompulsif,

penegakan diagnosis lebih sulit karena untuk membedakan alasan mereka

menjauhi stimulan tersebut kadang-kadang kurang jelas. Pasien dengan gangguan

pribadi paranoid akan cenderung menghindari segala macam stimuli dibandingkan

dengan fobia spesifik yang akan merasa cemas hanya pada stimuli tertentu.

Diagnosis banding untuk fobia sosial adalah gangguan depresi berat dan

gangguan kepribadian schizoid. Penghindaran dari segala bentuk sosialisasi akan

mengarah pada gangguan depresi berat. Pada gangguan kepribadian schizoid,

pasien umumnya tidak ingin berinteraksi dibandingkan takut berinteraksi dengan

sosial.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran JiwaUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Khusus Jiwa Dharma GrahaPeriode 24 Maret 2014 – 26 April 2014

21

Page 20: Gangguan Cemas

Gangguan Cemas

Perjalanan Penyakit dan Prognosis Fobia

Belum banyak diketahui tentang prognosis fobia, namun kecenderungan

menjadi kronis dan dapat terjadi komorbiditas dengan gangguan lain seperti

depresi, penyalahgunaan alkohol, dan obat bila tidak mendapat terapi.

75% orang dengan fobia spesifik dapat mengatasi ketakutannya dengan

terapi kognitif perilaku

• 80% orang dengan fobia sosial membaik dengan farmakoterapi, terapi

kognitif perilaku atau kombinasi

• Agorafobia dengan gangguan panik yang diterapi :

o 30-40% : bebas gejala untuk waktu yang lama

o 50% : gejala ringan

o 10-20% : tidak membaik

Penatalaksanaan Fobia

Terdapat beberapa macam bentuk terapi, yakni terapi perilaku, psikoterapi

dan berbagai modalitas terapi lainnya.

Terapi Perilaku

Terapi yang paling sering digunakan dan dipelajari adalah terapi perilaku.

Kunci kesuksesan bergantung pada :

komitmen pasien dengan terapi

permasalahan dan tujuan terapi yang jelas

berbagai strategi yang dapat digunakan untuk menangani masalah.

Bentuk terapi perilaku yang sering digunakan adalah desensitisasi

sistematis, dimana pasien dipajankan dengan stimuli-stimuli yang berkekuatan

menimbulkan cemas yang paling rendah hingga yang paling kuat. Dengan

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran JiwaUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Khusus Jiwa Dharma GrahaPeriode 24 Maret 2014 – 26 April 2014

22

Page 21: Gangguan Cemas

Gangguan Cemas

penggunaan obat-obat antianxietas, hipnosis, dan instruksi relaksasi otot, pasien

diajarkan untuk membentuk suatu mekanisme respon yang baru terhadap

stimulus-stimulus tersebut. Selain terapi desensitisasi sistematis, ada terapi

perilaku yang lain yakni image flooding. Pada terapi perilaku ini, pasien

dipajankan dengan gambar-gambar stimulus cemas sampai pada masa dimana

pasien tidak merasakan cemas lagi.

Psikoterapi

Dahulu psikiater-psikiater percaya jikalau psikoterapi merupakan terapi

yang terutama, namun dengan seiring berjalannya waktu, psikiater dihadapkan

pada kenyataan bahwa psikoterapi tidak mengurangi kecemasan yang timbul dari

respon pasien terhadap stimulus tersebut. Psikiater kemudian berinisiatif untuk

menghimbau pasien menghadapi sumber-sumber kecemasannya.

Terapi Modalitas Lainnya

Hipnosis, terapi suportif, dan terapi keluarga dapat berguna pada terapi

gangguan fobia. Hipnosis digunakan dengan cara pasien diyakinkan bila stimulus

tersebut tidaklah berbahaya, dan teknik hipnosis diri untuk digunakan ketika

pasien berhadapan dengan stimulus tersebut. Terapi suportif dan terapi keluarga

sangat membantu terutama bila pasien sering berkonfrontasi dengan stimulusnya.

Obat-obatan seperti antagonis reseptor α-2 adrenergik dapat berguna pada pasien

dengan fobia spesifik, benzodiazepine, psikoterapi, atau terapi kombinasi dapat

digunakan pada kasus fobia spesifik. Pada kasus fobia sosial, psikoterapi dan

farmakoterapi berguna untuk menangani gangguan fobia sosial. Menggabungkan

kedua bentuk terapi diduga meningkatkan efektivitas terapi. Obat-obatan yang

dapat digunakan pada fobia sosial berupa :

Selective Serotonin Reuptake Inhibitor

Benzodiazepine

Venlafaxine

Buspirone

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran JiwaUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Khusus Jiwa Dharma GrahaPeriode 24 Maret 2014 – 26 April 2014

23

Page 22: Gangguan Cemas

Gangguan Cemas

2.2 GANGGUAN ANXIETAS MENYELURUH

Definisi Gangguan Anxietas Menyeluruh

Gangguan cemas menyeluruh (Generalized Anxiety Disorder, GAD)

merupakan kondisi gangguan yang ditandai dengan kecemasan dan kekhawatiran

yang berlebihan dan tidak rasional bahkan tidak realistik terhadap berbagai

peristiwa kehidupan sehari-hari serta tidak terbatas pada atau hanya menonjol

pada setiap lingkungan tertentu saja (misalnya sifat ‘mengambang’ atau “free

floating”). Kondisi ini dialami hampir sepanjang hari, berlangsung sekurang-

kurangnya selama 6 bulan. Kecemasan yang dirasakan sulit untuk dikendalikan

dan berhubungan dengan gejala-gejala somatik seperti ketegangan otot,

iritabilitas, kesulitan tidur, keluhan epigastrik dan kegelisahan sehingga

menyebabkan penderitaan yang jelas dan gangguan yang bermakna dalam fungsi

sosial dan pekerjaan. Ketakutan bahwa dirinya atau anggota keluarganya akan

mengalami kecelakaan atau mengalami sakit dalam waktu dekat, merupakan

keluhan yang sering kali diungkapkan, bersamaan dengan berbagai

kekhawatirandan firasat lain.

Epidemiologi Gangguan Anxietas Menyeluruh

Angka prevalensi untuk gangguan cemas menyeluruh 3-8% dan rasio

antara perempuan dan laki-laki sekitar 2:1. Pasien gangguan cemas menyeluruh

sering mengalami komorbiditas dengan gangguan mental lainnya seperti

gangguan panik, gangguan obsesif kompulsif, dan gangguan depresi berat.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran JiwaUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Khusus Jiwa Dharma GrahaPeriode 24 Maret 2014 – 26 April 2014

24

Page 23: Gangguan Cemas

Gangguan Cemas

Etiologi Gangguan Anxietas Menyeluruh

Teori Biologi

Area otak yang diduga terlibat pada timbulnya gangguan ini adalah lobus

oksipitalis yang mempunyai reseptor benzodiazepin tertinggi di otak. Basal

ganglia, sistem limbik dan korteks frontal juga dihipotesiskan terlibat pada

timbulnya gangguan ini. Pada pasien juga ditemukan sistem serotonergik yang

abnormal. Neurotransmitter yang berkaitan adalah GABA, serotonin,

norepinefrin, glutamat, dan kolesitokinin. Pemeriksaan PET (Positron Emission

Tomography) ditemukan penurunan metabolisme di ganglia basal dan massa putih

otak.

Teori Genetik

Pada sebuah studi didapatkan bahwa terdapat hubungan genetik pasien

gangguan anxietas menyeluruh dan gangguan depresi mayor pada pasien wanita.

Sekitar 25% dari keluarga tingkat pertama penderita juga mengalami gangguan

yang sama. Sedangkan penelitian pada pasangan kembar didapatkan angka 50%

pada kembar monozigotik dan 15% pada kembar dizigotik.

Teori Psikoanalitik

Teori psikoanalitik menghipotesiskan bahwa anxietas adalah gejala dari

konflik bawah sadar yang tidak terselesaikan. Pada tingkat yang paling primitif

anxietas dihubungkan dengan perpisahan dengan objek cinta. Pada tingkat yang

lebih matang lagi dihubungkan dengan kehilangan cinta dari objek yang penting.

Anxietas kastrasi berhubungan dengan fase oedipal sedangkan anxietas superego

merupakan ketakutan seseorang untuk mengecewakan nilai dan pandangannya

sendiri (merupakan anxietas yang paling matang).

Teori Kognitif Perilaku

Penderita berespon secara salah dan tidak tepat terhadap ancaman,

disebabkan oleh perhatian yang selektif terhadap hal-hal negatif pada

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran JiwaUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Khusus Jiwa Dharma GrahaPeriode 24 Maret 2014 – 26 April 2014

25

Page 24: Gangguan Cemas

Gangguan Cemas

lingkungannya, adanya distorsi pada pemrosesan informasi dan pandangan yang

sangat negatif terhadap kemampuan diri untuk menghadapi ancaman.

Tanda dan Gejala Klinis Gangguan Anxietas Menyeluruh

Gejala utama adalah anxietas, ketegangan motorik, hiperaktivitas otonom,

dan kewaspadaan secara kognitif. Kecemasan bersifat berlebihan dan

mempengaruhi aspek kehidupan pasien. Ketegangan motorik bermanifestasi

sebagai bergetar, kelelahan dan sakit kepala. Hiperaktivotas otonom timbul dalam

bentuk pernafasan yang pendek, berkeringat, palpitasi, dan disertai gejala saluran

pencernaan. Terdapat juga kewaspadaan kognitif dalam bentuk iritabilitas.

Pedoman Diagnostik Gangguan Anxietas Menyeluruh

Menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa III (PPDGJ

III)

Penderita harus menunjukkan gejala primer anxietas yang berlangsung

hampir setiap hari selama beberapa minggu, bahkan biasanya sampai beberapa

bulan. Gejala-gejala ini biasanya mencakup hal-hal berikut :

a) Kecemasan tentang masa depan (khawatir akan nasib buruk, perasaan

gelisah seperti di ujung tanduk, sulit berkonsentrasi, dan sebagainya) ;

b) Ketegangan motorik (gelisah, sakit kepala, gemetaran, tidak dapat santai) ;

c) Overaktivitas otonomik (kepala terasa ringan, berkeringat, takikardi,

takipneu, keluhan epigastrik, pusing kepala, mulut kering, dan

sebagainya).

Pada anak-anak sering terlihat adanya kebutuhan berlebihan untuk

ditenangkan serta keluhan somatik berulang-ulang. Adanya gejala-gejala lain yang

bersifat sementara, terutama depresi, tidak menyingkirkan gangguan anxietas

menyeluruh sebagai diagnosis utama, selama pasien tidak memenuhi kriteria

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran JiwaUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Khusus Jiwa Dharma GrahaPeriode 24 Maret 2014 – 26 April 2014

26

Page 25: Gangguan Cemas

Gangguan Cemas

lengkap dari episode depresif (F32), gangguan anxietas fobik (F40), gangguan

panik (F41.0) atau gangguan obsesif kompulsif (F42).

Termasuk :

Neurosis anxietas

Reaksi anxietas

Keadaan anxietas

Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders IV ( DSM-IV-

TR)

Kriteria Diagnosis berdasarkan DSM-IV TR :

A. Kecemasan dan kekhawatiran berlebihan (harapan yang

mengkhawatirkan), terjadi lebih banyak dibandingkan tidak selama paling

kurang 6 bulan, tentang sejumlah peristiwa atau aktivitas (seperti

pekerjaab atau prestasi sekolah).

B. Orang kesulitan untuk mengendalikan kekhawatiran.

C. Kecemasan dan kekhawatiran adalah dihubungkan dengan tiga (atau lebih)

dari enam gejala berikut (dengan paling kurang beberapa gejala terjadi

lebih banyak dibandingkan tidak selama 6 bulan terakhir). Catatan :

Hanya satu gejala yang diperlukan pada anak-anak.

Catatan : Hanya satu gejala yang diperlukan pada anak-anak :

1. Gelisah atau perasaan tegang atau cemas

2. Merasa mudah lelah

3. Sulit berkonsentrasi atau pikiran menjadi kosong

4. Iritabilitas

5. Ketegangan otot

6. Gangguan tidur (kesulitan untuk memulai atau tetap tertidur, atau

tidur yang gelisah dan tidak memuaskan)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran JiwaUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Khusus Jiwa Dharma GrahaPeriode 24 Maret 2014 – 26 April 2014

27

Page 26: Gangguan Cemas

Gangguan Cemas

D. Fokus kecemasan dan kekhawatiran adalah tidak dibatasi pada gambaran

utama gangguan Aksis I, misalnya, kecemasan atau ketakutan adalah

bukan suatu Serangan Panik (seperti pada Gangguan Panik), merasa malu

di depan umum(seperti pada Fobia Sosial), terkontaminasi (seperti pada

Gangguan Obsesif Kompulsif), merasa jauh dari rumah atau kerabat dekat

(seperti pada Gangguan Cemas Perpisan), pertambahan berat badan

(seperti pada Anoreksia Nervosa), menderita berbagai keluhan fisik

(seperti pada Gangguan Somatisasi), atau menderita penyakit serius

(seperti pada Hipokondriasis), serta kecemasan dan kekhawatiran tidak

terjadi secara eksklusif selama Gangguan Stres Pascatrauma.

E. Kecemasan, kekhawatiran, atau gejala fisik menyebabkan penderitaan

yang bermakna secara klinis atau gangguan pada fungsi sosial, pekerjaan,

atau fungsi penting lainnya.

F. Gangguan tidak disebabkan oleh efek fisiologis langsung dari zat

(misalnya, penyalahgunaan zat, pengobatan) atau suatu kondisi medis

umum (misalnya hipertiroidisme) dan tidak terjadi secara eksklusif selama

suatu Gangguan Mood, Ganguan Psikotik, atau Gangguan Perkembangan

Pervasif.

Diagnosis Banding Gangguan Anxietas Menyeluruh

Gangguan anxietas menyeluruh perlu dibedakan dari kecemasan akibat

kondisi medis umum maupun gangguan yang berhubungan dengan penggunaan

zat. Diperlukan pemeriksaan medis termasuk tes kimia darah, EKG dan fungsi

tiroid. Gangguan psikiatrik lain yang merupakan diagnosis banding adalah

gangguan panik, fobia, gangguan obsesfi kompulsif, hipokondriasis, gangguan

somatisasi, gangguan penyesuaian dengan kecemasan, dan gangguan kepribadian.

Penatalaksanaan Gangguan Cemas Menyeluruh

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran JiwaUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Khusus Jiwa Dharma GrahaPeriode 24 Maret 2014 – 26 April 2014

28

Page 27: Gangguan Cemas

Gangguan Cemas

a. Farmakoterapi

Benzodiazepin

Merupakan pilihan obat pertama. Pemberian benzodiazepin dimulai

dengan dosis terendah dan ditingkatkan sampai mencapai respon terapi,

Penggunaan sediaan dengan waktu paruh menengah dan dosis terbagi dapat

mencegah terjadinya efek yang tidak diinginkan. Lama pengobatan rata-rata

adalah 2-6 minggu.

Buspiron

Buspiron lebih efektif dalam memperbaiki gejala kognitif dibanding

dengan gejala somatik. Tidak menyebabkan withdrawl. Kekurangannya adalah

efek klinisnya baru terasa setelah 2-3 minggu. Terdapat bukti bahwa penderita

yang sudah menggunakan benzodiazepin tidak akan memberikan respon yang

baik dengan buspiron. Dapat dilakukan penggunaan bersama antara benzodiazepin

dengan buspiron kemudian dilakukan tapering benzodiazepin setelah 2-3 minggu,

disaat efek terapi buspiron sudah mencapai maksimal.

SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor)

Sertraline dan paroxetine merupakan pilihan yang lebih baik daripada

fluoksetin. Pemberian fluoksetin dapat meningkatkan anxietas sesaat. SSRI efektif

terutama pada pasien gangguan anxietas menyeluruh dengan riwayat depresi.

b. Psikoterapi

Terapi Kognitif Perilaku

Pendekatan kognitif mengajak pasien secara langsung mengenali distorsi

kognitif dan pendekatan perilaku, mengenali gejala somatik, secara langsung.

Teknik utama yang digunakan adalah pada pendekatan behavioral adalah relaksasi

dan biofeedback.

Terapi Suportif

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran JiwaUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Khusus Jiwa Dharma GrahaPeriode 24 Maret 2014 – 26 April 2014

29

Page 28: Gangguan Cemas

Gangguan Cemas

Pasien diberikan reassurance dan kenyamanan, digali potensi-potensi

yang ada dan belum tampak, didukung egonya, agar lebih bisa beradaptasi optimal

dalam fungsi sosial dan pekerjaannya.

Psikoterapi Berorientasi Tilikan

Terapi ini mengajak pasien untuk mencapai penyingkapan konflik bawah

sadar, menilik egostrength, relasi obyek, serta keutuhan diri pasien. Dari

pemahaman akan komponen-komponen tersebut, kita sebagai terapis dapat

memperkirakan sejauh mana pasien dapat diubah menjadi lebih matur; bila tidak

tercapai, minimal kita memfasilitasi agar pasien dapat beradaptasi dalam fungsi

sosial dan pekerjaannya.

Prognosis Gangguan Anxietas Menyeluruh

Gangguan anxietas menyeluruh merupakan suatu keadaan kronis yang

mungkin berlangsung seumur hidup. Sebanyak 25% penderita akhirnya

mengalami gangguan panik, juga dapat mengalami gangguan depresi mayor.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran JiwaUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Khusus Jiwa Dharma GrahaPeriode 24 Maret 2014 – 26 April 2014

30

Page 29: Gangguan Cemas

Gangguan Cemas

2.3 GANGGUAN OBSESIF KOMPULSIF

Definisi Gangguan Obsesif Kompulsif

Ciri gangguan ini adalah adanya pikiran obsesif atau tindakan kompulsif

yang berulang. Pikiran obsesional adalah gagasan, bayangan, pikiran atau impuls

yang timbul dalam pikiran individu secara berulang-ulang dalam bentuk yang

sama. Umumnya hal tersebut dirasakan mengganggu dan penderita sering kali

mencoba menghilangkan tanpa hasil. Meskipun terjadinya secara involunter dan

seringkali tidak dikehendaki, pikiran tersebut dikenali sebagai pikiran individu

sendiri.

Tindakan atau ritual yang kompulsif merupakan perilaku yang stereotipik,

yang diulang berkali-kali. Tindakan ini merupakan usaha untuk meredakan

kecemasan yang berhubungan dengan obsesi namun tidak selalu berhasil

meredakan ketegangan dan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat. Biasanya,

walaupun tidak selalu, individu menyadari bahwa perilaku tersebut tidak ada

tujuannya atau tidak ada manfaatnya dan berulang kali untuk menentangnya; pada

kasus yang sudah berlangsung sangat lama, resistensi sudah menjadi minimal.

Meskipun sering kali terlihat gejala otonomik dan anxietas, bisa juga terjadi

perasaan tertekan dan ketegangan psikis tanpa disertai gejala otonomik yang jelas.

Ada kaitan erat antara gejala obsesional , terutama pikiran obsesional,

dengan depresi. Individu dengan gangguan obsesi kompulsif sering kali juga

menunjukkan gejala depresi, dan sebaliknya pasien dengan gangguan depresif

berulang dapat mengembangkan pikiran-pikiran obsesional selama episode

depresinya. Dalam situasi manapun dari keduanya, peningkatan atau penurunan

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran JiwaUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Khusus Jiwa Dharma GrahaPeriode 24 Maret 2014 – 26 April 2014

31

Page 30: Gangguan Cemas

Gangguan Cemas

keparahan gejala depresif umumnya disertai oleh perubahan yang sejajar dalam

keparahan gejala obsesionalnya.

Epidemiologi Gangguan Obsesif Kompulsif

Prevalensi gangguan obsesi kompulsif sebesar 2-2,4%. Sebagian besar

gangguan dialami pada saat remaja atau dewasa muda (umur 18-24 tahun), tetapi

bisa terjadi pada masa kanak. Perbandingan laki-laki : perempuan berimbang, dan

seringkali dilatar belakangi oleh ciri kepribadian anankastik yang menonjol.

Etiologi Gangguan Obsesif Kompulsif

Penyebab gangguan obsesi kompulsif bersifat multifactorial, yaitu

interaksi antara factor biologik, genetik, factor psikososial.

Faktor Biologik

Neurotransmitter

1. Sistem Serotonergik

Telah banyak pengujian obat yang mendukung hipotesis bahwa disregulasi

dari obat-obat serotonergik lebih efektif dari obat yang mempengaruhi

sistem neurotransmitter lain, tetapi patofisiologi jelas hubungan serotonin

dapat mempengaruhi gangguan obsesif kompulsif masih belum jelas. Studi

klinis yang telah meneliti konsentrasi metabolisme serotonin pada cairan

serebrospinal dan afinitasnya dan jumlah platelet-binding sites dari

tritiated imipramine (Trofranil), yang berhubungan dengan daerah

perlekatan reuptake serotonin, dan telah dilaporkan temuan variabel pada

pasien gangguan obsesi kompulsif.

2. Sistem noradrenergik

Pada masa sekarang ini, sudah berkurang bukti-bukti nyata yang

menyatakan bahwa disfungsi pada sistem noradrenergik pada gangguan

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran JiwaUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Khusus Jiwa Dharma GrahaPeriode 24 Maret 2014 – 26 April 2014

32

Page 31: Gangguan Cemas

Gangguan Cemas

obsesi kompulsif. Laporan anekdotal menunjukkan kemajuan pada gejala

obsesi kompulsif yang menggunakan clonidine oral, obat yang

menurunkan jumlah pelepasan norephineprin dari ujung saraf presinaptik.

Neuroimunnologi

Berdasarkan sejumlah kejadian nyata, terdapat hubungan positif antara

infeksi streptokokus dan gangguan obsesi kompulsif. Infeksi Streptokokus

hemoliticus grup-a dapat menyebabkan demam rematik, dan berkisar antara 10-

30% dari pasien tersebut berkembang menjadi Sydenham’s chorea dan

menunjukkan gejala obsesi kompulsif.

Studi Pencitraan Otak

Neuroimaging pada pasien dengan gangguan obsesi kompulsif telah

menghasilkan data yang menunjukkan kelainan fungsi pada jalinan saraf antara

korteks orbitofrontal, kaudatus, dan thalamus. Contoh studi pencitraan otak

lainnya yaitu positron emission tomography (PET) telah menunjukkan aktivitas

yang meningkat (metabolisme dan aliran darah) pada lobus frontal, basal ganglia

(terutama pada kaudatus), dan cingulum pada pasien dengan gangguan obsesi

kompulsif. Keterlibatan pada area tersebut pada patologi pasien dengan gangguan

obsesi kompulsif. Tampak lebih berhubungan dengan jalur kortikostiatal daripada

jalur amigdala yang lebih fokus pada penelitian gangguan cemas. Tatalaksana

secara farmakologi dan kebiasaan dilaporkan dapat memperbaiki abnormalitas.

Data dari studi fungsi kerja otak sesuai dengan data dari studi gambaran otak

secara struktural. Studi computed tomographic (CT) dan magnetic resonance

imaging (MRI) menemukan bahwa bagian kaudatus bilateral lebih kecil pada

pasien dengan gangguan obsesi kompulsif. Kedua studi pencitraan otak tersebut

juga menunjukkan hasil yang mendukung observasi prosedur neurologis yang

melibatkan cingulum, kadang menunjukkan hasil efektif pada pengobatan

gangguan obsesi kompulsif. Pernah dilaporkan pada studi MRI, terdapat

peningkatan waktu relaksasi T1 pada korteks frontal, temuan tersebut sesuai

dengan lokasi abnormalitas pada studi PET.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran JiwaUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Khusus Jiwa Dharma GrahaPeriode 24 Maret 2014 – 26 April 2014

33

Page 32: Gangguan Cemas

Gangguan Cemas

Genetik

Terdapat studi yang mendukung hipotesis bahwa terdapat pengaruh

genetik pada gangguan obsesi kompulsif. Terdapat bukti tiga sampai lima kali

lebih besar kemungkinan mendapatkan gangguan obsesi kompulsif atau jenis

lainnya pada angka kejadian. Studi juga menunjukkan hubungan gangguan obsesi

kompulsif pada pasien kembar lebih tinggi pada kembar monozigot daripada

kembar dizigot. Studi lain juga menunjukkan peningkatan angka kejadian pada

gangguan yang menyerupai obsesi kompulsif, gangguan tik, gangguan bentuk

tubuh, hipokondriasis, gangguan makan, dan gangguan kebiasaan, seperti

menggigit kuku.

Data Biologis Lainnya

Studi elektrofisiologi, studi elektroensepalogram saat tidur, dan studi

neuroendokrin telah memberkan data yang mengindikasi beberapa kesamaan

antara gangguan depresif dan gangguan obsesi kompulsif. Insiden menunjukkan

peningkatan pada abnormalitas EEG nonspesifik yang terdapat pada pasien

gangguan obsesi kompulsif. Studi sleep EEG menunjukkan abnormalitas yang

menyerupai gangguan depresif, seperti menurunnya rapid eye movement latency.

Studi neuroendokrin juga telah menunjukkan analogi dengan gangguan depresif,

seperti nonsupresi pada tes supresi dexametason pada satu pertiga pasien dan

turunnya sekresi hormon pertumbuhan dengan infus klonidin.

Seperti telah disebutkan, studi telah menyarankan hubungan yang

memungkinkan antara kasus gangguan obsesi kompulsif sebelunya dan beberapa

tipe sindrom tik motorik. Sebagian besar studi keluarga dari probandus dengan

gangguan obsesi kompulsif ditemukan peningkatan angka kejadian kelainan

Tourette dan tik motorik yang kronis hanya disekitar kerabat yang juga

mendapatkan kelainan tik. Hasil studi juga menunjukkan kotransmisi antara

sindrom Tourette, gangguan obsesi kompulsif, dan tik motorik kronis pada

keluarga.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran JiwaUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Khusus Jiwa Dharma GrahaPeriode 24 Maret 2014 – 26 April 2014

34

Page 33: Gangguan Cemas

Gangguan Cemas

Faktor Kebiasaan

Berdasarkan studi teori, obsesi adalah kondisi yang menstimulus.

Hubungan antara stimulus netral menjadi berasosiasi dengan ketakutan atau

anxietas melalui proses dari hasil pengkondisian yang berhubungan yang

menyebabkan anxietas. Pada objek sebelumnya dan dikatakan bahwa stimuli yang

sesuai dapat mencetuskan anxietas atau rasa tidak nyaman.

Kompulsi diartikan dalam arti lain. Ketika seseorang menemukan bahwa

melakukan suatu tindakan dapat mengurangi anxietas yang berhubungan dengan

pikiran yang obsesif, ia menjadikan kegiatan tersebut sebagai strategi untuk

melakukan kegiatan kompulsi atau kebiasaan untuk mengendalikan anxietas.

Secara bertahap, karena efek pengurangan anxietas, strategi tersebut menjadi

menetap, menjadi suatu pola kebiasaan yang kompulsif. Mempelajari teori

menunjukkan teori yang berguna untuk menjelaskan beberapa aspek dari

gangguan obsesi kompulsif, sebagai contoh ide-ide yang mencetuskan anxietas

tidaklah sepenuhnya menyebabkan ketakutan, dan tindakan yang dilakukan

hanyalah berupa pola atau suatu kebiasaan.

Faktor Psikososial

Faktor Personalitas

Gangguan obsesi kompulsif dihubungkan dengan pikiran obsesif yang

perduli pada detail, perfeksionalitas, dan personalitas lainnya. Sebagian besar

orang dengan gangguan obsesi kompulsif tidak memiliki gejala kompulsif yang

menyertai sebelumnya. Hanya sekitar lima belas sampai tiga puluh lima persen

dari pasien dengan gangguan obsesi kompulsif yang terdapat gangguan obsesif

yang berkembang.

Faktor Psikodinamik

Insight psikodinamik mungkin dapat membantu pada pemahaman masalah

pada penatalaksanaan, kesulitan interpersonal, dan masalah pesonalitas yang

sesuai dengan gangguan Axis I. Tidak sedikit pasien dengan gangguan obsesi

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran JiwaUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Khusus Jiwa Dharma GrahaPeriode 24 Maret 2014 – 26 April 2014

35

Page 34: Gangguan Cemas

Gangguan Cemas

kompulsif menolak berkooperatif dengan pengobatan secara efektif dengan

selective serotonin reuptake inhibitor (SSRIs) dan terapi kebiasaan.

Bagaimanapun juga gejala dari gangguan obsesi kompulsif mungkin saja disertai

secara biologis, gangguan psikodinamis mungkin menyertai. Pasien dapat menjadi

sadar bahwa gejalanya dapat menetap.

Kontribusi lainnya untuk pengertian psikodinamis melibatkan dimensi

interpersonal. Studi telah menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang saling

mendukung pasien melalui partisipasi aktif dalam ritual atau modifikasi pada

rutinitas sehari-hari. Akomodasi studi pada keluarga yang berhubungan dengan

stress yang terjadi pada keluarga, penolakan kebiasaan yang dilakukan pasien, dan

keadaan keluarga yang miskin. Seringkali anggota keluarga terlibat dalam usaha

untuk mengurangi kecemasan atau mengontrol ekspresi kemarahan pasien. Pola

ini atau hubungannya disesuaikan dengan pola penatalaksanaan yang akan

dilakukan. Dengan melihat pada pola hubungan interpersonal dari perspektif

psikodinamik, pasien dapat mempelajari bagaimana kelainan pasien dapat

mempengaruhi orang lain.

Penelitian menyarankan bahwa gangguan obsesi kompulsif dapat

meningkatkan angka stresor lingkungan, terutama pada mereka yang dalam proses

kehamilan, kelahiran, atau proses tumbuh kembang pada anak-anak.

Gambaran Klinis Gangguan Obsesif Kompulsif

Pada umumnya obsesi dan kompulsif mempunyai gambaran tertentu

seperti :

Adanya ide atau impuls yang terus-menerus menekan ke dalam kesaran

individu.

Perasaan cemas/takut akan ide atau impuls yang aneh

Obsesi dan kompulsi yang egoalien

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran JiwaUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Khusus Jiwa Dharma GrahaPeriode 24 Maret 2014 – 26 April 2014

36

Page 35: Gangguan Cemas

Gangguan Cemas

Pasien mengenali obsesi dan kompulsif merupakan sesuatu yang abstrae

dan irasional

Individu yang menderita obsesi kompulsif merasa adanya keinginan kuat

untuk melawan

Ada 4 pola gejala utama gangguan obsesi kompulsif yaitu :

1. Kontaminasi; pola yang paling sering terjadi yang diikuti oleh perilaku

mencuci dan menghindari obyek yang dicurigai terkontaminasi

2. Sikap ragu-ragu yang patologik; obsesi tentang ragu-ragu yang ikuti

dengan perilaku mengecek/memeriksa. Tema obsesi tentang situasi

berbahaya atau kekerasan (seperti lupa mematikan kompor atau tidak

mengunci rumah).

3. Pikiran yang intrusif; pola yang jarang, pikiran yang intrusif tidak disertai

kompulsi, biasanya pikira berulang tentang seksual atau tindakan agresif.

4. Simetri; obsesi yang tema kebutuhan untuk simetri, ketepatan sehingga

bertindak lamban, misalnya makan memerlukan waktu berjam-jam, atau

mencukur kumis dan janggut.

Pola yang lain : obsesi bertema keagamaan, trichotilomania, dan

menggigit-gigit jari.

Pedoman Diagnostik Gangguan Obsesif dan Kompulsif

Menurut International Classification of Diseas e X (ICD-10)

Untuk menegakkan diagnosis pasti, gejala-gejala obsesional dan tindakan

kompulsif, atau kedua-duanya, harus ada hampir setiap hari selama sedikitnya dua

minggu berturut-turut, dan merupakan sumber distres dan gangguan aktivitas.

Gejala-gejala obsesional harus memiliki ciri-ciri berikut :

a) Harus dikenal/disadari sebagai pikiran atau impuls dari diri individu

sendiri;

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran JiwaUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Khusus Jiwa Dharma GrahaPeriode 24 Maret 2014 – 26 April 2014

37

Page 36: Gangguan Cemas

Gangguan Cemas

b) Sedikitnya ada satu pikiran atau tindakan yang masih tidak berhasil

dilawan, meskipun ada lainnya yang tidak lagi dilawan oleh penderita;

c) Pikiran untuk melaksanakan tindakan tersebut di atas bukan merupakan

hal yang memberi kepuasan atau kesenangan (sekadar perasaan lega dari

ketegangan atau anxietas tidak dianggap sebagai kesenangan seperti

dimaksud di atas);

d) Pikiran, bayangan, atau impuls tersebut harus merupakan pengulangan

yang tidak menyenangkan.

Termasuk :

Neurosis anankastik

Neurosis obsesional

Neurosis obsesif-kompulsif

Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders IV (

DSM-IV-TR)

Kriteria Diagnosis berdasarkan DSM-IV TR

A. Salah satu obsesi atau kompulsi :

Obsesi seperti yang didefinisikan oleh (1),(2),(3), dan (4) :

1. Pikiran, impuls, atau layangan yang berulang dan menetap yang dialami, pada

suatu saat selama gangguan, dirasakan mengganggu dan tidak sesuai, dan

menyebabkan kecemasan dan penderitaan yang jelas.

2. Pikiran, impuls, atau bayangan tidak hanya kekhawatiran berlebihan tentang

masalah kehidupan yang nyata.

3. Orang berusaha untuk mengabaikan atau menekan pikiran, Impuls, atau bayangan

tersebut untuk menetralkannya dengan pikiran atau tindakan lain

4. Orang menyadari bahwa pikiran, impuls, atau bayangan obsesional adalah hasil

dari pikirannya sendiri (tidak disebabkan dari luar seperti penyisipan pikiran)

Kompulsi seperti yang didefinisikan oleh (1) dan (2) :

1. Perilaku berulang (misalnya, mencuci tangan, mengurutkan, memeriksa) atau

tindakan mental (misalnya, berdoa, menghitung, mengulangi kata-kata dalam

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran JiwaUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Khusus Jiwa Dharma GrahaPeriode 24 Maret 2014 – 26 April 2014

38

Page 37: Gangguan Cemas

Gangguan Cemas

hati) yang dirasakannya mendorong untuk melakukan sebagai respon terhadap

suatu obsesi, atau menurut dengan aturan yang harus dipatuhi secara kaku.

2. Perilaku atau tindakan mental ditujukan untuk mencegah atau mengurangi

penderitaan atau mencegah suatu kejadian atau situasi yang menakutkan; akan

tetapi, perilaku atau tindakan mental tersebut tidak dihubungkan dengan cara

yang realistik dengan apa yang mereka maksudkan untuk menetralkan atau

mencegah, atau secara jelas berlebihan.

B. Pada suatu waktu selama perjalanan gangguan, orang menyadari bahwa obsesi

atau kompulsi adalah berlebihan atau tidak beralasan. Catatan : hal ini tidak

berlaku untuk anak-anak.

C. Obsesi atau kompulsi menyebabkan penderitaaan yang jelas, menghabiskan

waktu (lebih dari 1 jam sehari), atau secara bermakna mengganggu rutinitas

normal, fungsi pekerjaan (atau akademik), atau kegiatan atau hubungan sosial

biasanya.

D. Jika terdapat gangguan Aksis I lainnya, Isi obsesi atau kompulsi tidak terbatas

padanya (misalnya, preokupasi dengan makanan yang terdapat pada Gangguan

Makan; mencabut rambut yang terdapat pada Trikotilomania; perhatian pada

penampilan yang terdapat pada Gangguan Dismorfik Tubuh; preokupasi dengan

zat yang terdapat pada suatu Gangguan Penggunaan Zat; preokupasi dengan

menderita suatu penyakit serius yang terdapat pada Hipokondriasis; preokupasi

dengan dorongan atau fantasi seksual yang terdapat pada Parafilia; atau

perenungan bersalah yang terdapat pada Gangguan Depresi Mayor.

E. Gangguan tidak disebabkan oleh efek fisiologis langsung dari zat (misal,

penyalahgunaan zat, pengobatan) atau suatu kondisi medis umum

Sebutkan Jika :

Dengan tilikan buruk : jika, selama sebagian besar waktu episode terakhir,

orang tidak menyadari bahwa obsesi dan kompulsi adalah berlebihan atau

tidak beralasan.

Diagnosa Banding Gangguan Obsesif Kompulsif

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran JiwaUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Khusus Jiwa Dharma GrahaPeriode 24 Maret 2014 – 26 April 2014

39

Page 38: Gangguan Cemas

Gangguan Cemas

Untuk membedakan gangguan obsesif kompulsif dengan gangguan depresi

mungkin sulit, karena gejala-gejala dari kedua jenis tersebut sering kali terjadi

bersamaan. Dalam suatu episode akut, dari gangguan, maka harus diutamakan

gejala-gejala yang timbul lebih dahulu; apabila kedua jenis ada tetapi tidak ada

yang menonjol, maka biasanya yang terbaik adalah untuk menganggap depresi

sebagai diagnosis primer. Pada gangguan yang kronis, maka prioritas diberikan

pada gejala yang paling sering bertahan saat gejala yang lain menghilang.

Serangan panik atau gejala fobik ringan yang hanya sekali-kali saja, tidak

harus didiagnosis. Namun demikian, gejala obsesional yang terjadi/berkembang

pada gangguan skizofrenia, sindrom Tourette, atau gangguan mental organik,

harus dianggap sebagai bagian dari kondisi-kondisi tersebut.

Perjalanan Penyakit/Prognosis Gangguan Obsesif Kompulsif

Lebih dari 50% pasien dengan gangguan obsesif kompulsif gejala awalnya

muncul mendadak. Permulaan gangguan terjadi setelah adanya peristiwa yang

menimbulkan stres, seperti kehamilan, masalah seksual, kematian keluarga.

Seringkali pasien merahasiakan gejala sehingga terlambat datang berobat.

Perjalanan penyakit bervariasi, sering berlangsung panjang, beberapa pasien

mengalami perjalanan penyakit yang berfluktuasi sementara sebagian lain

menetap dan terus-menerus ada.

Kira-kira 20-30 % pasien mengalami perbaikan gejala yang bermakna,

sementara 40-50% perbaikan sedang, sedangkan sisanya 20-40% gejalanya

menetap atau memburuk. Sepertiga gangguan obsesif kompulsif disertai gangguan

depresi, dan semua pasien dengan gangguan obsesif kompulsif memiliki risiko

bunuh diri.

Indikasi prognosis buruk adalah: kompulsi yang diikuti, awitan masa

kanak, kompulsi yang bizarre, memerlukan perawatan rumah sakit, ada

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran JiwaUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Khusus Jiwa Dharma GrahaPeriode 24 Maret 2014 – 26 April 2014

40

Page 39: Gangguan Cemas

Gangguan Cemas

komorbiditas dengan gangguan depresi, adanya kepercayaan yang mengarah ke

waham dan adanya gangguan kepribadian(terutama kepribadian skizotipal).

Indikasi adanya prognosis yang baik adalah adanya penyesuaian sosial dan

pekerjaan yang baik, adanya peristiwa yang menjadi pencetus, gejaja yang

episodik.

Penatalaksaan Gangguan Obsesif Kompulsif

Mengingat faktor utama penyebab gangguan obsesif kompulsif adalah

faktor biologik, maka pengobatan yang disarankan adalah pemberian

farmakoterapi dan terapi perilaku. Banyak pasien gangguan obsesif kompulsif

yang resisten terhadap usaha pengobatan yang diberikan baik dengan obat

maupun terapi perilaku. Walaupun dasar gangguan obsesif kompulsif adalah

biologik, namun gejala obsesif kompulsifnya mungkin mempunyai makna

psikologis penting yang membuat pasien menolak akan pengobatan. Eksplorasi

psikodinamik terhadap resistensi pasien terhadap pengobatan sering memperbaiki

kepatuhan berobat. Beberapa penelitian mendapatkan bahwa kombinasi

farmakoterapi dan terapi perilaku lebih efektif menurunkan gejala obsesif-

kompulsif.

Obat-obatan yang umum digunakan pada gangguan obsesif-kompulsif

berupa SSRI sebagai terapi lini pertama contohnya fluoxetine, fluvoxamine,

paroxetine, sertraline, dan citalopram; antidepresan trisiklik seperti clomipramine

yang terbukti paling efektif dibandingkan dengan obat-obatan trisiklik lainnya.

Obat-obatan tersebut memiliki efek samping, SSRI memiliki efek samping berupa

rasa mual, gangguan tidur, nyeri kepala, dan rasa gelisah yang sifatnya transient

sehingga tidak terlalu mengganggu. Untuk pengobatan dengan clomipramine

perlu diperhatikan pemberian dosis awal, karena memiliki efek samping gangguan

sistem gastrointestinal, hipotensi ortostatik, dan efek antikolinergi serta sedasi

berat. Bila terapi dengan SSRI dan clomipramine tidak efektif, dapat diberikan

beberapa obat lain seperti valproat, litihium, atau carbamazepine. Venlafaxine,

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran JiwaUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Khusus Jiwa Dharma GrahaPeriode 24 Maret 2014 – 26 April 2014

41

Page 40: Gangguan Cemas

Gangguan Cemas

pindolol, dan obat-obatan MAOI (phenelzine) juga dapat digunakan sebagai

tambahan.

Terapi perilaku pada seseorang dengan gangguan obsesif-kompulsif dapat

berupa exposure and response prevention dimana pasien dipanjankan dengan

stimulusnya namun diingatkan dan diawasi untuk menahan perasaan

kompulsifnya. Desensitisasi, thought stopping, dan thought flooding, merupakan

terapi yang dapat digunakan pada pasien dengan gangguan obsesif kompulsif.

Untuk keberhasilan dari terapi perilaku, sebaiknya terapi ini digabungkan dengan

obat-obatan, psikoterapi, dan yang terutama memerlukan tingkat komitmen pasien

yang tinggi. Dalam proses terapi, diperlukan dukungan dari keluarga yang cukup

sehingga pasien dapat mempertahankan tingkat komitmennya terhadap terapi

yang dijalaninya. Dalam kondisi tertentu, terapi kelompok juga dapat membantu

seorang pasien dalam terapinya.

Pada kasus-kasus yang ekstrim, dapat dipertimbangkan terapi elektro-

konvulsi dan bedah psikis. Yang umumnya digunakan terkait dengan kasus

gangguan obsesif-kompulsif adalah cingulotomy yang sukses pada 25-30 %

pasien. Selain itu juga terdapat capsulotomy.Teknik bedah nonablasi dimana

menanamkan elektrode-elektrode pada nukleus-nukleus ganglia basal. Terapi-

terapi ini dilakukan dengan bantuan MRI. Komplikasi dari terapi bedah tersebut

umumnya adalah kejang, yang dapat diterapi dengan fenitoin.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran JiwaUniversitas TarumanagaraRumah Sakit Khusus Jiwa Dharma GrahaPeriode 24 Maret 2014 – 26 April 2014

42