Difteri pada Anak.docx

download Difteri pada Anak.docx

of 13

Transcript of Difteri pada Anak.docx

  • 8/14/2019 Difteri pada Anak.docx

    1/13

    Difteri pada Anak

    Angela Merici Sengo Bay

    Kelompok : A7

    Fakultas 102011145Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

    Jalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510

    email : [email protected]

    Pendahuluan

    Difteri merupakan salah satu penyakit yang sangat menular (contagious disease).Penyakit ini

    disebabkan oleh infeksi bakteri Corynebacterium diphtheriae, yaitu kuman yang menginfeksi

    saluran pernafasan, terutama bagian tonsil, nasofaring (bagian antara hidung dan faring/

    tenggorokan) dan laring. Penularan difteri dapat melalui kontak hubungan dekat, melalui udara

    yang tercemar oleh karier atau penderita yang akan sembuh, juga melalui batuk dan bersin

    penderita. Penderita difteri umumnya anak-anak, usia di bawah 15 tahun. Dilaporkan 10 % kasus

    difteri dapat berakibat fatal, yaitu sampai menimbulkan kematian. Selama permulaan pertama

    dari abad ke-20, difteri merupakan penyebab umum dari kematian bayi dan anak anak muda.

    Penyakit ini juga dijumpai pada daerah padat penduduk dengan tingkat sanitasi rendah. Oleh

    karena itu, menjaga kebersihan sangatlah penting, karena berperan dalam menunjang kesehatan

    kita. Lingkungan buruk merupakan sumber dan penularan penyakit.

    Sejak diperkenalkan vaksin DPT (Dyphtheria, Pertusis dan Tetanus), penyakit difteri mulai

    jarang dijumpai. Vaksin imunisasi difteri diberikan pada anak-anak untuk meningkatkan sistem

    kekebalan tubuh agar tidak terserang penyakit tersebut. Anak-anak yang tidak mendapatkan

    vaksin difteri akan lebih rentan terhadap penyakit yang menyerang saluran pernafasan ini.

    mailto:[email protected]:[email protected]
  • 8/14/2019 Difteri pada Anak.docx

    2/13

    Anamnesis

    Wawancara yang baik seringkali sudah dapat mengarahkan masalah pasien ke diagnosis penyakit

    tertentu. Di dalam Ilmu Kedokteran, wawancara terhadap pasien disebut anamnesis. Anamnesis

    dapat langsung dilakukan terhadap pasien (auto-anamnesis) atau terhadap keluarganya atau

    pengantarnya (alo-anamnesis) bila keadaan pasien tidak memungkinkan untuk diwawancarai,

    misalnya keadaan gawat-darurat, afasia akibat strok dan lain sebagainya. 1 Anamnesis yang baik

    akan terdiri dari identitas, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu,

    riwayat penyakit dalam keluarga, anamnesis susunan sistem dan anamnesis pribadi (meliputi

    keadaan sosial ekonomi, budaya, kebiasaan, obat-obatan, lingkungan).

    Berdasarkan kasus, anamnesa yang harus dilakukan terhadap pasien ialah alloanamnesis, dimanayang kita lakukan ::

    Menanyakan identitas pasien seperti umur dan pekerjaannya.

    Menanyakan keluhan utama pasien.

    Menanyakan riwayat penyakit sekarang.

    Menanyakan riwayat penyakit dahulu.

    Menanyakan riwayat penyakit keluarga.

    Menanyakan riwayat social dan kebiasaan.

    Pemeriksaan

    Fisik

    a. Pada pemeriksaan fisik perlu dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital (suhu,

    frekuensi nadi).

    b. Pada inspeksi, kita melihat ukuran dan bentuk perut bayi serta gerakan dinding perut.

    Biasanya perut anak kecil POT BELLY membuncit (otot abdomen tipis dan

  • 8/14/2019 Difteri pada Anak.docx

    3/13

    lordosis), sedangkan gerakan dinding perut pada bayi dan anak sampai umur enam

    sampai tujuh tahun lebih terlihat daripada gerakan dada.

    c. Pada palpasi, perlu adanya kesabaran, latihan dan pengalaman. Palpasi dilakukan

    dalam posisi tidur terlentang dan lutut ditekuk dan dilakukan saat anak menaril napas

    dalam. Jika ada perubahan mimic atau perubahan nada tangis berarti ada nyeri tekan

    pada daerah tersebut.

    d. Perkusi dilakukan dari epigastrium ke bagian bawah abdomen dan terdengar timpani

    diseluruh permukaan abdomen kecuali pada daerah hepar dan lien.

    e. Pada auskultasi normal terdengar suara peristaltic dengan intensitas rendah terdengar

    tiap sepuluh sampai tiga puluh detik.

    Penunjang 2

    1. Bakteriologik : preparat hapusan difteri dari dari bahan hapusan mukosa hidung dan

    tenggorok ( nasofaringeal swab ).

    2. Darah rutin : Hb, Ht, leukosit, eritrosit, albumin, dll.

    3. Tes Schick

    Untuk mengetahui seseorang mempunyai antitoxin didalam serumnya, disamping

    pemeriksaan yang akurat dengan pemeriksaan langsung titer antitoxin yang beredar

    dalam darah, dapat dilakukan Schick test dengan cara menggunakan bahan Schick test

    toxin. Dengan bahan dari Perum Biofarma yang tersedia dalam sediaan 5 cc, dimana

    setiap cc-nya mengandung toxin difteri yang stabil 1/50 d.l.m, dengan cara menyuntikkan

    0,1 cc secara intra cutan pada lengan bawah kiri.bagian voler dengan menggunakan jarum

    suntik 1 cc. Beberapa penderita mengalami hypersensitif terhadap toxin ataupun terhadap

    antigen lain yang terdapat didalam persediaan toxin. Untuk ini diperlukan kontrol.

    Kontrol dapat dilakukan dengan menginjeksikan difteri diberikan secara intra dermal pada lengan yang berbeda.

  • 8/14/2019 Difteri pada Anak.docx

    4/13

    Diagnosis

    Diagnosis kerja : Difteri

    Diagnosis banding :

    1. Tonsilitis akut

    Tonsillitis akut adalah radang akut pada tonsil akibat infeksi kuman terutama

    Streptococcus B hemolitikus ( 50 % ), Streptococcus viridians dan Streptococcus

    piogenes. Bakteri penyebab tonsilitis akut lainnya meliputi Stafilokokus

    Sp.,Pneumokokus, dan Hemofilus influenzae. Hemofilus influenzae menyebabkan

    tonsilitis akut supuratif. Tonsilitis akut paling sering terjadi pada anak-anak terutama

    berusia 5 tahun dan 10 tahun. Penyebarannya terutama melalui droplet yang infeksius,

    alat makan dan makanan. 3

    2. Peritonsilar abses

    Peritonsilar abses sering disebut sebagai PTA yang adalah berisi nanah pada jaringan

    peritonsil yang terbentuk sebagai hasil dari supuratif tonsillitis. Abses peritonsil terjadi

    sebagai akibat komplikasi tonsillitis akut atau infeksi yang bersumber dari kelenjar

    mucus weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman penyebabnya sama dengan kuman penyebab tonsillitis. Abses peritonsiler disebabkan oleh organism yang bersifat aerob

    maupun yang bersifat anaerob. Organism aerob yang paling sering menyebabkan abses

    peritonsiler adalah Streptococcus piogenes ( grup A Beta-hemolotik streptocoocus ),

    Stapylococcus aureus, dan Haemophilus Influenza. Sedangkan organism anaerob yang

    berperan adalah sebagian besar Fusobacterium. Untuk kebanyakan abses peritonsiler,

    diduga disebabkan oleh kombinasi aerob dan anaerob. Diagnosis ditegakkan berdasarkan

    gejala dan hasil pemeriksaan fisik. Pada pemeriksaan leher dan tenggorokan, tonsil,

    langit-langit, tenggorokan, leher dan kulit dada tampak merah dan membengkak.

    Pembiakan cairan yang berasal dari abses bisa menunjukkan adanya bakteri .

    3. Retrofaringeal abses

  • 8/14/2019 Difteri pada Anak.docx

    5/13

    Abses Retrofaringeal adalah suatu penimbunan nanah di dalam jaringan tenggorokan

    bagian belakang. Penyebab abses biasanya disebabkan oleh infeksi Streptokokus yang

    berasal dari amandel, tenggorokan, sinus, adenoid, hidung atau telinga tengah.Kadang

    cedera pada tenggorokan bagian belakang akibat tertusuk duri ikan juga bisa

    menyebabkan abses retrofaringeal. Meskipun jarang, abses retrofaringel juga bisa

    disebabkan oleh tuberkulosis

    Epidemiologi

    Penderita difteri umumnya anak-anak, usia di bawah 15 tahun. Dilaporkan 10 % kasus difteri

    dapat berakibat fatal, yaitu sampai menimbulkan kematian. Selama permulaan pertama dari abad

    ke-20, difteri merupakan penyebab umum dari kematian bayi dan anak anak muda. 3

    Etoilogi

    Penyebabnya adalah bakteri Corynebacterium diphtheriae. Bakteri ini ditularkan melalui

    percikan ludah yang dari batuk penderita atau benda maupun makanan yang telah terkontaminasi

    oleh bakteri. Biasanya bakteri berkembang biak pada atau disekitar permukaan selaput lendir

    mulut atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan beberapa jenis bakteri ini menghasilkan

    teksik yang sangat kuat, yang dapat menyebabkan kerusakan pada jantung dan otak. Masa

    inkubasi 1-7 hari (rata-rata 3 hari). Hasil difteria akan mati pada pemanasan suhu 60oc selama 10

    menit, tetapi tahan hidup sampai beberapa minggu dalam es, air, susu dan lender yang telah

    mengering.

    Anatomi dan Fisiologi Faring

    Faring adalah suatu kantung fibromuskuler yang bentuknya seperti corong, yang besar di bagian

    atas dan sempit di bagian bawah. Ke atas, faring berhubungan dengan rongga hidung melalui

    koana, ke depan berhubungan dengan rongga mulut melalui isthmus faucium, sedangkan dengan

    laring di bawah berhubungan melalui aditus pharyngeus, dan ke bawah berhubungan

    esofagus. Faring terdiri atas:

  • 8/14/2019 Difteri pada Anak.docx

    6/13

    Gambar 1. Anatomi faring. 4

    1. Nasofaring

    Relatif kecil, mengandung serta berhubungan dengan erat dengan beberapa struktur penting,

    seperti adenoid, jaringan limfoid pada dinding lateral faring, torus tubarius, kantong Rathke,

    choanae, foramen jugulare, dan muara tuba Eustachius.

    Batas antara cavum nasi dan nasopharynx adalah choana. Kelainan kongenitalkoana

    salahsatunya adalah atresia choana.

    Struktur Nasofaring :

    1. Ostium Faringeum tuba auditiva muara dari tuba auditiva

    2. Torus tubarius, penonjolan di atas ostium faringeum tuba auditiva yang disebabkan karena

    cartilago tuba auditiva

    3. Torus levatorius, penonjolan di bawah ostium faringeum tuba auditiva yang disebabkan karena

    musculus levator veli palatini.

    4. Plica salpingopalatina, lipatan di depan torus tubarius

    http://4.bp.blogspot.com/-xNaMTfw1ZTc/TsN_st6eOLI/AAAAAAAAAKs/9ehZa6UijJQ/s1600/pharynx.jpg
  • 8/14/2019 Difteri pada Anak.docx

    7/13

    5. Plica salpingopharingea, lipatan di belakang torus tubarius, merupakan penonjolan dari

    musculus salphingopharingeus yang berfungsi untuk membuka ostium faringeum tuba auditiva

    terutama ketika menguap atau menelan.

    6. Recessus Pharingeus disebut juga fossa rossenmuller. Merupakan tempat predileksi

    Nasopharingeal Carcinoma.

    7. Tonsila pharingea, terletak di bagian superior nasopharynx. Disebut adenoid jika ada

    pembesaran. Sedangkan jika ada inflammasi disebut adenoiditis.

    8. Tonsila tuba, terdapat pada recessus pharingeus.

    9. Isthmus pharingeus merupakan suatu penyempitan di antara nasopharing da oropharing karena

    musculus sphincterpalatopharing

    10. Musculus constrictor pharingeus dengan origo yang bernama raffae pharingei

    2. Orofaring

    Struktur yang terdapat di sini adalah dinding posterior faring, tonsil palatina, fossa tonsilaris,

    arcus faring, uvula, tonsil lingual, dan foramen caecum.

    a. Dinding posterior faring, penting karena ikut terlibat pada radang akut atau radang kronik

    faring, abses retrofaring, serta gangguan otot-otot di bagian tersebut.

    b. Fossa tonsilaris, berisi jaringan ikat jarang dan biasanya merupakan tempat nanah memecah ke

    luar bila terjadi abses.

    c. Tonsil, adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan ikat dan

    ditunjang kriptus di dalamnya. Ada 3 macam tonsil, yaitu tonsil faringeal (adenoid), tonsil

    palatina, dan tonsil lingual, yang ketiganya membentuk lingkaran yang disebut cincin Waldeyer.

    Epitel yang melapisi tonsil adalah epitel skuamosa yang juga meliputi kriptus. Di dalam kriptus

    biasanya ditemukan leukosit, limfosit, epitel yang terlepas, bakteri, dan sisa makanan

    3. Laringofaring

    Struktur yang terdapat di sini adalah vallecula epiglotica, epiglotis, serta fossa piriformis.

    Fungsi faring yang terutama adalah untuk respirasi, pada waktu menelan, resonansi suara, dan

    untuk artikulasi.

  • 8/14/2019 Difteri pada Anak.docx

    8/13

    Anatomi dan fisiologi Tonsil

    Tonsil terbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus

    yang meluas ke dalam yang meluas ke jaringan tonsil. Tonsil tidak mengisi seluruh fosa

    tonsilaris, daerah kosong di atasnya dikenal sebagai fosa supratonsilaris. Bagian luar tonsil

    terikat longgar pada muskulus konstriktor faring superior, sehingga tertekan setiap

    kali makan. Walaupun tonsil terletak di orofaring karena perkembangan yang berlebih tonsil

    dapat meluas ke arah nasofaring sehingga dapat menimbulkan insufisiensi velofaring atau

    obstruksi hidung walau jarang ditemukan. Arah perkembangan tonsil tersering adalah ke arah

    hipofaring, sehingga sering menyebabkan terjaganya anak saat tidur karena gangguan pada jalan

    nafas. Secara mikroskopik mengandung 3 unsur utama:

    1. Jaringan ikat/trabekula sebagai rangka penunjang pembuluh darah saraf.

    2. Folikel germinativum dan sebagai pusat pembentukan sel limfoid muda.3. Jaringan interfolikuler yang terdiri dari jaringan limfoid dalam berbagai stadium.

    Tonsil (amandel) dan adenoid merupakan jaringan limfoid yang terdapat pada daerah faring atau

    tenggorokan. Keduanya sudah ada sejak anak dilahirkan dan mulai berfungsi sebagai bagian dari

    sistem imunitas tubuh setelah imunitas warisan dari ibu mulai menghilang dari tubuh anak.

    Pada saat itu (usia lebih kurang 1 tahun) tonsil dan adenoid merupakan organ imunitas utama

    pada anak, karena jaringan limfoid lain yang ada di seluruh tubuh belum bekerja secara optimal.

    Sistem imunitas ada 2 macam yaitu imunitas seluler dan humoral. Imunitas seluler bekerja

    dengan membuat sel (limfoid T) yang dapat memakan kuman dan virus serta membunuhnya.

    Sedangakan imunitas humoral bekerja karena adanya sel (limfoid B) yang dapat menghasilkan

    zat immunoglobulin yang dapat membunuh kuman dan virus.Kuman yang dimakan oleh

    imunitas seluler tonsil dan adenoid terkadang tidak mati dan tetap bersarang disana serta

    menyebabklan infeksi amandel yang kronis dan berulang (Tonsilitis kronis). Infeksi yang

    berulang ini akan menyebabkan tonsil dan adenoid bekerja terus dengan memproduksi sel-sel

    imun yang banyak sehingga ukuran tonsil dan adenoid akan membesar dengan cepat melebihi

    ukuran yang normal. Tonsil dan adenoid yang demikian sering dikenal sebagai amandel yang

    dapat menjadi sumber infeksi (fokal infeksi) sehingga anak menjadi sering sakit demam dan

    batuk pilek.Selain itu folikel infeksi pada amandel dapat menyebabkan penyakit pada ginjal

    (Glomerulonefritis), katup jantung (Endokarditis), sendi (Rhematoid Artritis) dan kulit.

  • 8/14/2019 Difteri pada Anak.docx

    9/13

    (Dermatitis). Penyakit sinusitis dan otitis media pada anak seringkali juga disebabkan adanya

    infeksi kronis pada amandel dan adenoid.

    Patofisiologi

    Corynebacterium diphteriae masuk kehidung atau mulut dimana basil akan menempel di mukosa

    saluran nafas bagian atas, kadang-kadang kulit, mata atau mukosa genital. Setelah 2-4 jam hari

    masa inkubasi kuman dengan corynephage menghasilkan toksik yang mula-mula diabsorbsi oleh

    membran sel, kemudian penetrasi dan interferensi dengan sintesa protein bersama-sama dengan

    sel kuman mengeluarkan suatu enzim penghancur terhadap Nicotinamide Adenine Dinucleotide

    (NAD). Sehingga sintesa protein terputus karena enzim dibutuhkan untuk memindahkan asam

    amino dan RNA dengan memperpanjang rantai polipeptida akibatnya terjadi nekrose sel yangmenyatu dengan nekrosis jaringan dan membentuk eksudat yang mula-mula dapat diangkat,

    produksi toksin kian meningkat dan daerah infeksi makin meluas akhirnya terjadi eksudat fibrin,

    perlengketan dan membentuk membran yang berwarna dari abu-abu sampai hitam tergantung

    jumlah darah yang tercampur dari pembentukan membran tersebut apabila diangkat maka akan

    terjadi perdarahan dan akhirnya menimbulkan difteri. Hal tersebut dapat menimbulkan beberapa

    dampak antara lain sesak nafas sehingga menyebabkan pola nafas tidak efektif, anoreksia

    sehingga penderita tampak lemah sehingga terjadi intoleransi aktifitas. 5

    Manifestasi klink

    Masa tunas 3-7 hari khas adanya pseudo membrane, selanjutnya gejala klinis dapat dibagi dalam

    gejala umum dan gejala akibat eksotoksin pada jaringan yang terkena. Gejala umum yang timbul

    berupa demam tidak terlalu tinggi lesu, pucat nyeri kepala dan anoreksia sehingga tampak

    penderita sangatlemah sekali. Gejala ini biasanya disertai dengan gejala khas untuk setiap bagianyang terkena seperti pilek atau nyeri menelan atau sesak nafas dengan sesak dan strides,

    sedangkan gejala akibat eksotoksin bergantung kepada jaringan yang terkena seperti iniokorditis

    paralysis jaringan saraf atau nefritis. Tergantung pada berbagai faktor, maka

    manifestasi penyakit ini bisa bervariasi dari tanpa gejala sampai suatu keadaan/penyakit yang

    hipertoksik serta fatal. Sebagai faktor primer adalah imunitas penderita terhadap

  • 8/14/2019 Difteri pada Anak.docx

    10/13

    toksin diphtheria, virulensi serta toksinogenesitas (kemampuan membentuk toksin)

    Corynebacterium diphtheriae, dan lokasi penyakit secara anatomis. Faktor-faktor lain termasuk

    umur, penyakit sistemik penyerta dan penyakit-penyakit pada daerah nasofaring yang sudah

    ada sebelumnya. Penderita pada umumnya datang untuk berobat setelah beberapa hari menderita

    keluhan sistemik. Demam jarang melebihi 38,9o C dan keluhan serta gejala lain tergantung

    pada lokasi penyakit diphtheria. 5,6

    Komplikasi

    a. Aluran Pernafasan : obstruksi jalan nafas dengan segala bronkopnemonia atelaktasio.

    b. Kardiovaskuler : Miokarditir akibat toksin yang dibentuk kuman penyakit ini.

    c. Urogenital : Dapat terjadi Nefritis.

    d. Susunan daraf : Kira-kira 10% penderita difteria akan mengalami komplikasi yang mengenai

    system susunan saraf terutama system motorik .

    e Paralisis / parese dapat berupa :

    1. Paralasis / paresis palatum mole sehingga terjadi rinolalia, kesukaran menelan sifatnya

    reversible dan terjadi pada minggu ke satu dan kedua.

    2. Paralisis / paresis otot-otot mutu, sehingga dapat mengakibatkan strabisinus gangguan

    akomodasi, dilatasi pupil atau ptosis, yang setelah minggu ke tiga.

    3. Paralisis umum yang dapat timbul setelah minggu ke 4, kelainan dapat mengenai otot

    muka, leher anggota gerak dan yang paling penting dan berbahaya bila mengenai otot

    pernafasan.

    Penatalaksanaan

    Medika mentosa

  • 8/14/2019 Difteri pada Anak.docx

    11/13

    a. Anti Diphteria Serum (ADS) diberikan sebanyak 20.000 untuk hari selama 2 hari

    berturut-turut dengan sebelumnya dilakukan uji kulit dan mata bila ternyata penderita

    peka terhadap serum tersebut, maka harus dilakukan desentitisasi dengan cara besderka.

    b. Antibiotika diberikan penisilan 50.000 untuk kgbb/hari sampai 3 hari bebas panas. Pada

    penderita yang dilakukan trakeostomi, ditambahkan kloramfenikol 75 mm/kg bb/hari

    dibagi 4 dosis.

    c. Kortikosteroid obat ini di maksudkan untuk mencegah timbulnya komplikasi miokarditis

    yang sangat berbahaya. Dapat diberikan prednison 2 mg/kkbb/hari selama 3 minggu yang

    kemudian dihentikan secara bertahap

    Non Medika Mentosa

    Terdiri dari : Perawatan yang baik, istirahat mutlak ditempat tidur, isolasi penderita dan

    pengawasan yang ketat atas kemungkinan timbulnya komplikasi antara lain pemeriksaan EKG

    tiap minggu.

    Pencegahan

    - Difteri jenis penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Berikanlah imunisasi pada

    bayi umur dua bulan sebanyak tiga kali dengan selang satu bulan. Jenis imunisasi ini

    termasuk dalam Lima Imunisasi Dasar Lengkap. Biasanya imunisasi ini berbarengan

    dengan imunisasi polio, hepatitis B. Sedangkan imunisasi Difteri tergabung dalam

    Imunisasi D P T atau Difteri, Pertusis dan Tetanus. Untuk bayi umur sembilan bulan

    dilengkapi dengan imunisasi Campak (Morbili). Dengan pemberian DPT ataupun DT

    iberikan 0,5 ml secara I.M. Imunisasi dasar diberikan sebanyak 3 kali pemberian dengan

    interval waktu pemberian 6 -8 minggu. Ulangan dilakukan satu tahun sesudahnya dan

    ulangan kedua dilakukan 3 tahun setelah ulangan yang pertama.

    - Pencegahan terhadap difteri juga termasuk didalamnya isolasi dari penderita, dengan

    tujuan untuk mencegah seminimal mungkin penyebaran penyakit ke orang lain. Penderita

    adalah infectious sampai basil difteri tidak dijumpai pada kultur yang diambil dari tempat

    infeksi. Tiga kali berulang kultur negatif dibutuhkan sebelum penderita dibebaskan dari

    isolasi.

  • 8/14/2019 Difteri pada Anak.docx

    12/13

    Prognosis

    Sebelum adanya antioksidan dan antibiotic, angka kematian mencapai 30-50 %. Namun dengan

    adanya antibiotic maka kematian menurun menjadi 5-10 %. Dimana prognosa tergentung dari

    usia dimana makin rendah usia makin jelek prognosisnya serta waktu pengobatan.

    Kesimpulan

    Difteri merupakan salah satu penyakit yang sangat menular (contagious disease). Penyakit ini

    disebabkan oleh infeksi bakteri Corynebacterium diphtheria yaitu kuman yang menginfeksi

    saluran pernafasan, terutama bagian tonsil, nasofaring (bagian antara hidung dan faring atau

    tenggorokan) dan laring. Penularan difteri dapat melalui hubungan dekat, udara yang tercemaroleh carier atau penderita yang akan sembuh, juga melalui batuk dan bersin penderita.

    Penderita difteri umumnya anak-anak, usia dibawah 15 tahun. Dilaporkan 10 % kasus difteri

    dapat berakibat fatal, yaitu sampai menimbulkan kematian.

    Sejak diperkenalkan vaksin DPT (Dyptheria, Pertusis, Tetanus), penyakit difteri jarang dijumpai.

    Vaksi imunisasi difteri diberikan pada anak-anak untuk meningkatkan system kekebalan tubuh

    agar tidak terserang penyakit tersebut. Anak-anak yang tidak mendapatkan vaksi difteri akan

    lebih rentan terhadap penyakit yang menyerang saluran pernafasan ini. Penyakit ini juga dijmpai

    pada daerah padat penduduk dingkat sanitasi rendah. Oleh karena itu, menjaga kebersihan diri

    sangatlah penting, karena berperan dalam menunjang kesehatan kita.

    Daftar isi

    1. Welsby, philip d. Pemeriksaan Fisik dan Anamnesa Klinis.Jakarta: EGC .2006.Hal 182-3.

    2. Behrman, Kliegman, Arvin. Ilmu kesehatan anak. Volume 2. Edisi ke-15. Jakarta:

    Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2000. h. 1460-1461

    3. Snell RS. Anatomi klinik. Edisi 6. Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC; 2006.

    4. www.google.com/gambarfaring , diunduh pada Jumad, 5 Juli 2013.

    http://www.google.com/gambarfaringhttp://www.google.com/gambarfaringhttp://www.google.com/gambarfaring
  • 8/14/2019 Difteri pada Anak.docx

    13/13

    5. Sherwood L. Fisiologi manusia dari sel ke sistem. Edisi 2. Jakarta: Penerbit buku

    kedokteran EGC; 2001.

    6. Gunawan SG, Setiabudy R, Nafrialdy, editors. Farmakologi dan terapi. Edisi 5. Jakarta:

    Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI; 2007.