DETEKSI DINI CA- LENGKAP
-
Upload
darma-yudistira -
Category
Documents
-
view
141 -
download
7
Transcript of DETEKSI DINI CA- LENGKAP
PENDAHULUAN
Dewasa ini dirasakan, bahwa masalah kanker semakin menonjol
dibandingkan dengan 10 sampai 20 tahun yang lalu. Para klinisi yang
bekerja di rumah sakit mendapat kesan, bahwa penderita kanker semakin
banyak dan analisa data yang dilaporkan oleh pelbagai rumah sakit
menunjukkan, bahwa dalam sepuluh tahun terakhir ini jumlah penderita
yang ditemukan paling sedikit telah bertambah menjadi dua kali lipat.
Sekitar 3,5 % dari semua penderita yang dirawat di rumah sakit adalah
penderita neoplasma (Ditjen Yanmed Depkes RI, 1988). Data yang dapat
dipercaya mengenai kanker di Indonesia masih sangat langka dan
insidensi yang sesungguhnya dari penyakit kanker di Indonesia belumlah
dapat ditentukan. Penyakit kanker yang ditemukan di rumah sakit dan
laboratorium Patologi Anatomi masih belum diregistrasi secara baik.
Cara pencatatan yang belum seragam menyulitkan untuk diadakannya
perbandingan dan interpretasi (Gunawan, 1988).
Kanker sebagai sebab kematian di rumah sakit, angka
mortalitasnya cukup tinggi dan dewasa ini menduduki urutan ke-enam
sesudah penyakit infeksi, kecelakaan, penyakit kardiovaskuler, penyakit
cerebrovaskuler, penyakit syaraf dan jiwa. Jumlah penderita kanker yang
dirawat setiap harinya semakin terus bertambah. Hal ini antara lain
disebabkan oleh semakin sadarnya masyarakat terhadap bahaya penyakit
kanker, di samping telah dilengkapinya beberapa rumah sakit dengan
tenaga keahlian, sarana diagnostic maupun terapeutik yang semakin
memadai. Meningkatnya insiden kanker di Indonesia ini sesuai dengan
laporan WHO yang memperlihatkan, bahwa kanker telah menjadi salah
satu dari sebab utama kematian pada usia produktif.
1
Manajemen penanggulangan kanker memerlukan teknologi
canggih, ketrampilan dan pengalaman yang luas. Dirasakan saat ini
perlunya peningkatan upaya pelayanan kesehatan, khususnya di rumah
sakit, karena jumlah penderita kanker yang datang untuk memperoleh
pelayanan di rumah sakit terus meningkat dan lebih-lebih menyangkut
golongan umur yang produktif. Itupun kita semua maklumi, bahwa pada
umumnya penderita kanker baru terdeteksi setelah proses penyakitnya
mencapai tingkat yang sudah sulit atau tidak mungkin lagi untuk
disembuhkan.
Mengingat biaya penanggulangan penyakit kanker cukup tinggi
dan umumnya memakan waktu lama, maka manajemen
penanggulangannya memerlukan pertimbangan bagaimana supaya
penanganannya semakin bermutu dan efisien, sehingga berhasil guna dan
berdaya guna. Di satu pihak ekonomi masyarakat kemampuannya masih
serba terbatas, sedang di pihak lain akibat kehadiran peralatan canggih di
rumah-rumah sakit untuk menegakkan diagnosa dan menentukan jenis
terapi, mengakibatkan semakin membengkaknya penderita kanker yang
datang berobat, dimana sebagian terbesar dari mereka datang kasip yang
tidak mungkin lagi dapat disembuhkan. Hal-hal semacam ini memerlukan
pemikiran disamping perlunya kita terus menerus memberi penyuluhan,
menyebarkan pengetahuan kepada masyarakat luas tentang cara-cara
pencegahannya.
Langkah-langkah kain yang cukup mendesak dan perlu diambil
guna peningkatan penanggulangan kanker adalah menetapkan pola
pelayanan penderita kanker di rumah-rumah sakit berikut upaya
rujukannya dan pengambilan keputusan tentang faktor-faktor apa yang
diperlukan sebagai pendukungnya. Disamping itu, kegiatan seperti
2
pendidikan, seminar dan symposia perlu digalakkan sebagai upaya jangka
pendek peningkatan pelayanan yang semakin bermutu.
Sebab-sebab terus meningkatnya kanker, adalah:
1. proporsi penduduk usia lanjut meningkat,
2. penyakit infeksi dan parasit berkurang,
3. konsumsi tembakau terus meningkat,
4. gaya hidup dan pola makan penduduk berubah,
5. pencemaran lingkungan akibat industrialisasi.
Mengingat akan sangat terbatasnya sumber-sumber dana, baik itu
berasal dari pemerintah maupun masyarakat, maka formulasi kebijakan
perencanaan program penanggulangannya harus melalui penetapan
prioritas agar tepat guna, pelaksanaannya di-implementasikan ke dalam
system pelayanan kesehatan yang sudah ada secara terpadu dan
dikoordinir rapi di antara semua unsure yang terkait, baik itu pemerintah
maupun swasta.
Pada dasarnya ada 4 macam kebijakan (strategi) penanggulangan kanker
(WHO, 1985):
1. pencegahan primer
2. deteksi dini
3. pengobatan dengan tujuan kesembuhan (kuratif)
4. penanggulangan nyeri (cancer pain relief) pada suportive-&
terminal-core.
DETEKSI ATAU DIAGNOSA DINI
Oleh sebab etiologi yang sebenarnya dari kanker ginekologik
belumlah diketahui secara pasti, maka dalam konteks pencegahan
3
diartikan usaha menemukan kelainan tersebut dalam tingkatan yang
sedini mungkin untuk kemudian ditangani secara benar, syukur masih
dalam tingkatan yang dikenal sebagai fase pramaligna atau lesi
praneoplatik (pencegahan sekunder). Lebih ideal sebenarnya bilamana
masyarakat dapat diarahkan untuk menghindari factor-faktor yang secara
epidemiologic diketahui memberikan predisposisi akan terjadinya
keganasan tertentu (pencegahan primer). Untuk itu penelitian-penelitian
epidemiologic baik di klinik maupun dalam komunitas perlu terus
digalakkan.
Kita sama-sama memaklumi, bahwa semakin dini diagnosa lesi
ganas dapat dibuat, semakin mudah dan murah penanganannya dan
semakin baik pula prognosa penderitanya. Untuk keganasan ginekologik
barangkali hanya lesi ganas ovarium saja yang merupakan satu-satunya
keganasan yang mengingat lokasinya yang begitu tersembunyi, deteksi
dini sukar diupayakan. Meski demikian hal ini mungkin masih dapat
diatasi, bilman yang bersangkutan cukup sadar dan mengerti perlunya
pemeriksaan ginekologik teratur setiap 6 bulan sekali bagi setiap wanita
di atas umur 35 tahun, lebih-lebih bagi mereka yang berada dalam tahun-
tahun perimenopausal.
Semakin dini lesi ganas dapat ditemukan, lebih-lebih bila sudah
dikenalnya dalam fase praneoplastik, dengan penanganan yang adekuat,
yang kadang-kadang cukup sederhana, kesembuhan 100% dapat
diharapkan (Mardjikoen, 1982).
Tidak pelak lagi, bahwa diagnosa awal atau deteksi dini lesi ganas
merupakan kunci keberhasilan pengobatan dan pengendalian kanker.
Pada table I (lihat lampiran) tergambar hubungan antara harapan hidup
4
penderita selama 5 tahun sejak diagnosa keganasan ditegakkan yang
mendapat penanganan adekuat dengan stadia klinik penyakitnya waktu
ditemukan (Engel, 1973). Jelas bahwa semakin dini lesi ganas itu dapat
ditangkap, dengan penanganan yang benar akan semakin besar harapan
penderitanya untuk dapat mencapai ketahanan hidup 5 tahun.
Dari apa yang telah disesuaikan diatas kiranya dapatlah difahami
bahwa untuk keberhasilan pengelolaan penderita kanker pencegahan dan
deteksi dini merupakan “kunci”nya. Untuk itu wajar diusahakan agar
setiap tenaga kesehatan, dimanapun mereka bekerja, baik di pusat-pusat
rujukan sampai kepada mereka yang berada di ujung tombak pelayanan
kesehatan (Puskesmas) mampu mengidentifikasi penderita golongan
risiko tinggi untuk mengidap pelbagai jenis kanker tertentu dan
menguasai serta terampil menggunakan cara-cara sederhana untuk dapat
mendeteksinya dalam stadia awal.
Bagi penderita yang perlu dirujuk kepada ahlinya, kerjasama yang
serasi antara onkolog dengan dokter umum atau “dokter keluarga” sangat
penting unutk menjamin penanganan penderitanya secara optimal di
bidang diagnostik, terapi, follow-up dan rehabilitasi. Masalah kapan, ke
mana dan bagaimana merujuknya merupakan bagian penting pula dari
pengelolaan penderita kanker. Hubungan kerjasama antara “dokter
keluarga” dengan ahli onkologi sendiri sangat erat terkait dalam
pengelolaan penderita tersebut hendaknya sedemikian rupa, hingga
memungkinkan follow-up bersama untuk seawal mungkin dapat
mendeteksi tidak saja munculnya residif (relapse), akan tetapi juga
komplikasi yang timbul akibat terapi yang dijalankan untuk kemudian
menanganinya secara optimal (Mardjikoen, 1982).
5
Seorang dokter Puskesmas perlu mengetahui tentang hal ikhwal
penyakit ganas, agar ia menjadi peka terhadap gejala-gejala yang
bagaimanakah yang perlu dicurigai ke arah keganasan, di samping ia
sendiri seharusnya menguasai simtomatologi dari proses ganas.
Pendeknya seorang dokter Puskesmas harus “sadar kanker” (cancer
minded) dan rakyat “tidak buta kanker” (cancer aware). Untuk mencapai
tujuan itu wajarlah kalau kita perjuangkan agar ilmu onkologi secara
resmi dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan di Fakultas
Kedokteran, semua sekolah perawatan termasuk Akademi Perawatan
yang ada, baik milik pemerintah maupun swasta. Untuk tidak menambah
beban mahasiswanya, barangkali tidak disajikan sebagai mata kuliah
tersendiri, akan tetapi dapat diberikan sebagai kegiatan terpadu
interdisipliner yang dikoordinir rapi oleh Pokja Onkologi Fakultas
Kedokteran atau Tim Kanker Rumah Sakit Pendidikannya (Kardjikoen,
1983).
Dari riwayat penyakit (anamnesa) penderita tidak banyak yang
dapat diperoleh, oleh karena lesi ganas dalam tingkatannya yang awal,
umumnya tidak memberi keluh kesah sama sekali. Kalau ada, keluhan
tersebut tidak patognomonik. Meski demikian, ada beberapa tanda yang
meminta perhatian kita akan kemungkinan adanya proses ganas
ginekologik, seperti keluhan-keluhan sebagai berikut:
a) Perdarahan pervaginam yang tidak ada hubungannya dengan siklus
haid: metroragia, menoragia, meno-metroragia.
b) Leukore atau fluor albus yang tidk sembuh-sembuh (menahun)
apalagi bercampur darah dan berbau (foetor ex vaginae). Bila
sudah ada foetor biasanya prosesnya sudah agak lanjut.
c) Rasa sakit samar-samar di perut bagian bawah yang kadang dirasa
menyebar dan banyak variasinya, sering sulit diinterpretasi dan bila
6
ada kaitannya dengan lesi ganas umumnya rasa nyeri ini menunjuk
kepada proses yang sudah agak lanjut.
d) Rasa penuh atau sebah di perut, merasa lekas kenyang pada waktu
baru mulai makan atau perut terasa berat seakan-akan tertarik ke
bawah, sering kembung-kembung, tidak ada nafsu makan, rasa
lekas capai dan sebagainya merupakan keluh kesah samar-samar
yang sukar diinterpretasinya. Keluhan semacam ini sering
mengawali wanita yang mengidap tumor ganas ovarium.
Dari itu cara yang paling baik untuk dapat mendeteksi dan
mendiagnosa kanker ginekologik dalam stadium awal ialah dengan
mengusahakan pendidikan dan penyuluhan kesehatan agar setiap wanita
dewasa mau memeriksakan dirinya secara teratur untuk mendapatkan
chek up ginekologik. Setidak-tidaknya mereka yang tergolong
mempunyai risiko tinggi untuk mengidap kelainan tertentu. (selective
screening) (Mardjikoen, 1980).
Menurut terminology American Cancer Society (ACS): “deteksi
dini” diartikan sebagai penggunaan tes-tes kanker pada penderita yang
asimtomatik secara individual, sedang “screening” sebagai penggunaan
tes kanker pada populasi yang benar, diantaranya mungkin terjaring
penderita yang sudah menunjukkan gejala-gejala (simtomatik), sedang
dengan “diagnosa dini” dimaksudkan mengevaluasi pada seseorang dan
dapat menetapkan secara awal adanya penyakit pada individu dalam
komunitas yang menunjukkan keluhan atau gejala penyakit kanker
(Mardjikoen, 1982).
7
I. KANKER LEHER RAHIM
Dalam tingkatannya yang awal karsinoma serviks umumnya tidak
memberi keluh-kesah apapun. Hal ini menekankan betapa pentingnya
peranan Pap’smear (usapan Papanicolau) dalam upaya mendeteksi
penyakit ini dalam stadiumnya yang dini. Kebanyakan penderita dengan
karsinoma serviks dalam riwayat penyakitnya tidak pernah sama sekali
mendapat Pap’smear sebelumnya atau paling tidak semenjak anaknya
yang terkecil lahir (Beecham, et al., 1983). Ini membuktikan bahwa
karsinoma serviks dalam tingkatannya yang awal tidak memberikan
keluhan yang dapat mendorong penderitanya datang pada kita untuk
minta pertolongan. Baru setelah ada keluhan-keluhan seperti: perdarahan
kontak (sesudah senggama), cyspareunia, perdarahan spontan
intermenstrum, mengeluarkan “discharge” (getah atau cairan) vagina
yang berbau, mereka datang berobat yang umumnya stadium penyakitnya
sudah agak lanjut.
Stadium Pra-maligna
Ujud lesi perimer yang dianggap sebagai stadium pra-neoplastik
adalah diskariosis atau displasia serviks dengan pelbagai tingkatannya
mulai dari yang ringan, sedang, berat (CIN-I, CIN-II, CIN-III) kemudian
karsinoma in-situ (KIS, karsinoma stadium 0). Perubahan epitel serviks
yang demikian itu merupakan suatu proses yang berkesinambungan yang
sifatnya reversible menurut apa yang disebut sebagai konsep Unitarian
dari Richart (Richart, 1966). Akan tetapi sekali ia telah menjadi
karsinoma yang invasive, prosesnya tak akan berbalik lagi, terus berlanjut
untuk mengalami progresi.
8
Displasia serviks dikenal pula dengan istilah lain seperti:
diskariosis, hyperplasia atypik, basal cell hyperplasia (hyperplasi sel-sel
basal yang atypik) dan anaplasia. Secara harfiah displasia artinya tiada
lain adalah pertumbuhan atau perkembangan yang tidak teratur.
Deteksi Dini
Untuk karsinoma serviks tidak ada pedileksi golongan umur
tertentu, akan tetapi dapat diderita oleh wanita dari semua golongan umur
(15-34 tahun) (Beecham, et al., 1983), justru dalam usia-usia masa
reproduksi, meskipun ada juga yang mengidapnya baru sesudah umur 35
tahun. Akan tetapi dapat dikatakan, kalau sampai umur 65 tahun wanita
itu tidak menderita karsinoma serviks, maka untuk seterusnya iapun akan
bebas dari penyakit tersebut.
Histopatologis untuk sebagian besar (93%) lesi tersebut berupa
epidermoid – atau skuamo karsinoma, sedang sebagian kecil berupa
adeno karsinoma (5%) dan sisanya (2%) yang lain seperti mesonephroid
atau clearcell-karsinoma dan sarcoma yang jarang ditemukan. Dengan
kemajuan teknologi sitologi vaginal yang dapat dilakukan dengan
pelbagai macam cara. Mulai dari aspirasi lender serviks, usapan-usapan
serviko-vaginal dengan kapas lidi sampai kepada usapan endoservikal
dengan Ayer-scraper, biopsy serviks terarah dengan tes Schiller dan
menggunakan kolposkop, kuretase bertahap serta konisasi serviks,
stadium dini karsinoma serviks hampir selalu dapat ditangkap.
Kenyataannya hanya 10-15% penderita di USA setiap tahunnya
yang sempat mendapat Pap’smear (Beecham, et al.,1983; Guzick, 1978;
Hakama, 1976; Kim, et al., 1978). Andaikan semua wanita tiap tahunnya
9
mau mendapatkan Pap’smear, hampir semua karsinoma serviks dapat
didiagnosa dalam tingkatannya yang pre-invasif. (Beecham,et al., 1983;
Cramer, 1974; Nelson, et al., 1975; Rylander, 1976)
“Screening “ massal dengan pemeriksaan sitologis Pap’smear di
negara maju telah lama dijalankan dan dengan menghilangkan semua lesi
serviks yang “potensiil invasive”, Boyes di British Columbia dalam tahun
1969 telah berhasil menurunkan mortalitas akibat karsinoma serviks dari
11,4 menjadi 6,4 per 100.000 populasi wanita (Boyes, 1969).
Menurut laporan Walton (1976) angka insidensi kasar karsinoma
serviks bagi wanita berumur di atas 20 tahun di British Columbia telah
berhasil diturunkan secara menyolok dari 28,4 per 100.000 populasi
dalam tahun 1955 menjadi 8,6 per 100.000 populasi di tahun 1974
(Walton, 1976). Demikian pula angka kematian tahunan rata-rata
karsinoma serviks penduduk golongan kulit putih atau kulit hitam (negro)
dio AS telah berhasil diturunkan dari berturut-turut 9,6 dan 22 per
100.000 populasi wanita dalam tahun 1950-51 menjadi 5,0 dan 13,1 tiap
100.000 populasi dalam tahun 1970-71 (Kessler,1979). Dalam kurun
waktu 1945-75 (selama 30 tahun) di USA insidensi karsinoma serviks
telah berhasil diturunkan hampir menjadi separohnya, yang semula
prevalensinya 23 kasus baru per 100.000 populasi setiap tahunnya
kemudian menjadi kira-kira 12 kasus baru saat ini per 100.000 populasi
setiap tahun (Beecham,et al., 1983; Silverberg, 1982).
Sebaliknya insidensi karsinoma in-situ (KIS) telah meningkat
secara dramatis (Beecham,et al., 1983; Di Saia, 1981), yang menunjukkan
bahwa perbaikan ketahanan hidup penderita dapat disebabkan oleh
semakin seringnya diagnosis dini (dalam tingkatan yang masih
10
prainvasif) dapat ditegakkan. Kesimpulan akhirnya yang dapat ditarik
ialah bahwa sebenarnya wanita itu tidak perlu mati karena karsinoma
serviks.
Di sini “screening’ massal karsinoma serviks belum perlu
dilaksanakan, mengingat besarnya biaya yang dibutuhkan dan kurang
tersedianya fasilitas dan sarana saat ini dalam bentuk tenaga (qualified
cyto technicians dan cytologist) dan laboratorium. Untuk menghemat
beaya, maka “screening” ini dapat dilakukan secara selektif, misalnya
terhadap mereka yang dianggap mempunyai risiko karena memiliki
faktor-faktor predisposisi. Mengenai pelaksanaan usapannya (Paps’mear)
tidak perlu olah dokter keluarga atau dokter puskesmas, akan tetapi dapat
diserahkan kepada tenaga perawat atau bidan yang terdidik untuk tugas
tersebut, agar pengambilan sample spesimennya dapat dianggap
representative oleh laboratorium Patologi Anatomi. Amat
menggembirakan sebesarnya bahwa akhir-akhir ini Departemen
Kesehatan RI dan BKKBN telah memulai dengan program Paps’mear
yang dikaitkan dengan peserta KB, namun sayang pelaksanaannya serta
organisasinya belum mantap benar.
Pap’smear (usapan Papanicolaou)
Mengingat bahwa lebih dari 98% karsinoma serviks mulai
prosesnya pada batas epitel antara epitel kolumner selapis dari
endoserviks dengan epitel gepeng berlapis dari ektoserviks (dikenal
dengan squamo columner junction = SCJ), maka pada pembuatan usapan
hendaknya sel-sel dari daerah inilah yang dapat diambil dengan pelbagai
macam cara seperti aspirasi dengan pipet, kerokan dengan spatel, scraper,
sikat, atau sendok kuret dan sebagainya, untuk kemudian dioleskan pada
11
gelas obyek difiksir dalam campuran alcohol-eter (sama banyak)
sedikitnya selama waktu 2 jam untuk kemudian dibiarkan kering buat
selanjutnya dikirim ke laboratorium PA.
Golongan risiko tinggi
Dari hasil penelitian epidermiologis diambil kesimpulan bahwa
penyebab (etiologi) karsinoma seviks bukan satu factor, tetapi banyak
factor (multifaktorial) baik eksogen maupun endogen sebagaimana
halnya dengan kebanyakan lesi ganas lain pada umumnya. Lebih dari
75% adalah oleh factor eksogen.
Adapun wanita yang dianggap mempunyai risiko tinggi untuk mengidap
kelainan ini adalah mereka yang (Mardjikoen,1982, Beecham et al.,
1983):
1. kondisi social ekonominya rendah
2. hygiene seksualnya tak baik
3. kawin muda atau mengalami koitus pertama (coitarche) pada
usia yang sangat muda.
4. banyak anaknya, lebih-lebih dengan interval persalinan
pendek
5. melakukan promiskuitas
6. pasangannya tidak disunat (circumsisi)
Dokter di puskesmas jangan segan-segan untuk melihat kondisi
serviks wanita termasuk dalam golongan di atas melalui speculum dan
membuat usapan servikovaginal, kalau perlu biopsy serviks pada lesi
yang dicurigai. Bilamana hasil pemeriksaan sitologis menyebut adanya
displasia berat atau KIS, segera saja penderita tersebut dirujuk kepada
ahlinya di RS kabupaten (tipe C) atau RS propinsi (tipe B), karena kasus
12
demikian perlu penanganan diagnostic maupun terapeutik yang lebih
sahih.
II. KANKER INDUNG TELUR
Tumor ganas ini di USA menempati urutan ke-4 sebab kematian
wanita karena kanker, sesudah tumor ganas mamma, colon dan paru. Tiap
tahun diperkirakan 18.000 kasus baru didiagnosa dan 11.000 diantaranya
akan meninggal karena penyakit tersebut (Beecham, et al., 1983). Selama
kehidupannya seorang dari 80% wanita akan mengidap kelainan ini dan
rasio kesembuhan dari semua stadia secara keseluruhan hanyalah 30%.
Angka kematian akibat karsinoma ovari mencapai puncaknya pada
golongan umur peri-menopausal. Tak banyak ditemukan pada golongan
umur muda atau lanjut usia.
Karsinoma ovarii epithelial lebih umum dijumpai di negara-negara
industri maju dan masyarakat modern seperti di Switzerland, USA dan
Skandinavia, tetapi sebaliknya tak seberapa banyak di Negara-negara
Timur dan Amerika Latin (Kottmeier, et al.,1976;1979)
Stadium pra-maligna
Ujud lesi primer yang dianggap sebagai stadium pra-neoplastik
adalah kistadenoma ovarii papaliferum serosum maupun musinosum.
Meskipun histologis jinak, lebih-lebih yang termasuk “borderline” (low
malignant potential), segera harus diangkat. Yang bersifat serosum
mempunyai kecenderungan lebih besar untuk menjadi ganas. Oleh sebab
makroskopis durante operationem tidak dapat dipastikan ganas-tidaknya,
maka seksi beku (frozen section) selalu harus dijalankan. Sebab,
13
bilamana diketahui adanya tanda-tanda keganasan, teknik
pembedahannya akan lain; disesuaikan dengan stadium penyakitnya saat
ditemukan.
Deteksi dini
Karsinoma ovarii merupakan satu-satunya tumor ganas alat
reproduksi wanita yang paling sulit ditangkap dalam stadiumnya yang
awal oleh sebab letaknya yang tersembunyi dan pada tingkatan
penyakitnya yang awal sama sekali tidak memberikan keluhan-keluhan.
Kira-kira 70% dari wanita yang mengidap kelainan ini datang dalam
stadium yang sudah lanjut (Barber,et al., 1975). Anehnya mereka dalam
riwayat penyakitnya telah sementara 2-6 bulan terakhir mengeluhkan rasa
tidak enak perut yang samar-samar, sering kembung-kembung, merasa
sebah atau penuh dan kalau makan sedikit saja dirasa lekas kenyang serta
pakaian yang dipakainya terasa serba tak cocok atau tak enak. Lambat
laun dengan keluhan ascites keluhan semakin nyata, sering disfungsi
peristalsis usus halus akibat penyebaran sel-sel tumor di tunica serosa
usus-usus dan peritoneum. Kesulitan bernafas dapat timbul sebagai akibat
naiknya diafragma karena desakan tumor yang semakin membesar,
ascites atau effusi pleural. Tumor kistik yang kadangkala sangat, dapat
timbul biasanya, dalam stadium terminal sebagai tanda-tanda ileus akibat
perlengketan antara jerat-jerat usus disebabkan oleh metastasis yang
tersebar di seluruh permukaan usus dan peritoneum.
Pada waktu ini di Amerika Serikat lebih banyak wanita yang
meninggal akibat karsinoma ovarii daripada karena karsinoma serviks. Di
negeri Belanda lebih kurang sama banyak antara kedua jenis kanker
tersebut. Insidensi tumor ganas ini polanya ada kecenderungan untuk
14
bergeser, bahwa nantinya akan semakin banyak wanita mati (diperkirakan
25% lebih banyak) akibat karsinoma ovarii daripada akibat karsinoma
serviks. Hal ini disebabkan karena karsinoma serviks dianggap sebagai
tumor ganas ginekologik yang kurabel (dapat disembuhkan), oleh sebab
dapat diangkat dalam stadium yang dini sedang tidak demikian halnya
dengan karsinoma ovarii. Dari sebab itu karsinoma ovarii dikenal sebagai
“The Silent Lady Killer” yang saat ini di USA menjadi the number one
lady killer.
Golongan risiko tinggi
Tidak banyak diketahui tentang etiologi karsinoma jenis ini. Dari
itu pencegahan primer sulit diupayakan. Dari hasil penelitian
epidemiologis diduga bahwa wanita yang mempunyai predisposisi untuk
mengidap karsinoma ovarii adalah mereka yang:
mandul (infertil) atau sukar dihamilkan (subfertil),
menderita endometriosis,
“exposed” terhadap estrogen yang diberikan terus
menerus,
dari luar, lebih-lebih dalam masa sesudah
menopause.
Wanita yang meminum pil-pil kontrasepsi ternyata mempunyai
risiko yang lebih rendah dibanding dengan kelompok kontrol dalam
populasi. Begitu pula kehamilan ternyata memberikan semacam proteksi
(perlindungan) terhadap “serangan” kanker ovarium (Beral, et al., 1978).
Wanita banyak anak kecil risikonya untuk menderita karsinoma serviks.
15
III. KANKER BADAN RAHIM
Diperkirakan 38.000 kasus baru muncul di USA tiap tahunnya di
antara mana 3.000 wanita meninggal setahunnya akibat karsinoma
endometrii ini (Beecham, et al., 1983). Factor penyebabnya tidak satu,
tapi beberapa factor yang bekerja bersama, yang diduga dasarnya adalah
“hyperoestrogenisme”, seperti: nulliparitas, menopause yang lambat,
berat badan yang melebihi 15% dari normal (obesitas), “intake” estrogen
dari luar terutama senyawa yang dikonjugasi (conjugated estrogen).
Wanita gemuk karena timbunan lemaknya yang banyak merupakan epot
ideal buat estrogen dan pelepasannya secara pelan-pelan dari jaringan
lemak tersebut ke dalam darah akan mempengaruhi endometrium
(hiperplansia endometrii). Selain itu obesitas pada wanita melebihi batas
berat tertentu sering menyebabkan gangguan pada “aksis hypothalamus-
hypophysis-ovarium” yang menyebabkan siklus-siklus ovarium
anovulatoir disetai perdarahan pervaginam.
Dari tahun 1960-1975 insidensi karsinoma endometrii di USA naik 91%
pada wanita kelompok umur 50-54 tahun. Ini diduga ada kaitannya
dengan pemakaian luas dari “conjugated estrogen” sebagai obat untuk
mengendalikan syndrome menopausal. Meski insidensinya meningkat,
angka kematian akibat karsinoma endometrii pada periode yang sama
jelas menurun. Ini membuktikan bahwa penyakit ini sebenarnya dapat
dikontrol dan diobati. Saat sekarang diperkirakan 1 wanita di antara 1.000
akan mengidap kelainan ini setahunnya (1%) (Beecham, et al., 1983).
Stadium pra-maligna
16
Ujud lesi primer yang dianggap stadium pra-neoplastik adalah
hyperplasia adenomatosa endometrii dan hyperplasia endometrii yang
atypik. Insidensinya tinggi pada wanita di bawah umur 40 tahun atau di
atas 60 tahun.
Deteksi dini
Karena umumnya hyperoestrogenisme bermanifestasi sebagai
perdarahan-perdarahan vaginal yang tidak teratur (monoragia, metroragia
dan meno-metroragia) yang biasanya sifatnya “anovulatoir”, maka
dengan kuretase diagnosa dini hampir selalu dapat ditegakkan. Lebih-
lebih bagi wanita dalam usia peri- dan post-menopausal kuretase bertahap
(fractional D&C) merupakan suatu keharusan. Jangan mencoba-coba
untuk memberikan obat-obat uterotonika atau hormonal dalam hal ini.
Golongan risiko tinggi
Wanita yang dianggap mempunyai risiko tinggi untuk menderita
karsinoma endometrii oleh karena menghimpun factor-faktor predisposisi
ialah mereka yang :
1. menderita diabetes mellitus
2. hipertensi
3. adipositas (obesitas)
4. nulliparitas karena infertile atau paritas rendah
(subfertil)
5. wanita dengan riwayat perdarahan
dysfungsional akibat hyperoestrogenisme yang juga memberi
predisposisi untuk timbulnya karsinoma mammae
17
6. wanita dengan tumor ovarium yang
memproduksi oestrogen (granulose cell tumor)
Belum ada bukti bahwa wanita yang mendapat terapi hormonal
(oestrogen dan progesterone) merupakan golongan risiko tinggi, bahkan
ada anggapan bahwa justru dengan pemberian obat-obat progestagen
dosis tinggi ini merupakan proteksi terhadap kemungkinan timbulnya
karsinoma, endometrii. Masih perlu diteliti lebih lanjut mengenai efek
karsinogenik pemakaian pil-pil kontrasepsi yang mengandung oestrogen
pada wanita dalam kelompok umur 35-45 tahun (peri-menopausal atau
klimakterium) dalam jangka waktu yang lama.
IV. KANKER KHORION / TROFOBLAS (NTG)
Jaringan trofoblas selama kehamilan dapat mengalami differensiasi
abnormal dan perubahan-perubahan neoplastik yang terjadi dapat berupa
(Hertig, et al., 1956):
80% menjadi molahidatidosa,
15% menjadi mola yang invasive tapi local
(khorioadenoma distruens),
5% menjadi metastatik menyebar kemana-mana
(khoriokarsinoma).
Insidensi mola di USA kira-kira 1 : tiap 200 persalinan atau 1: tiap 1200
kehamilan (Lewis, 1980), sedang di Timur, di negara-negara tepi Laut
Pasifik jauh lebih tinggi, diperkirakan 1 ; tiap (150-200) persalinan.
Insidensi Khoriokarsinoma lebih jarang lagi. Di negara maju tiap 1:
tiap 40.000 persalinan, sedang di negara berkembang 1: (300-400)
18
persalinan. Rupa-rupanya perbedaan insidensi ini banyak dipengaruhi
oleh factor-faktor geografis yang sebabnya belum diketahui dengan pasti;
diduga oleh status social ekonomi dan suku bangsa. Molahidatidosa lebih
sering ditemukan pada wanita berumur di bawah 20 tahun atau di atas 40
tahun dengan paritas lebih dari 3-4. Wanita golongan darah A yang kawin
dengan laki-laki golongan darah A pula. Lebih dari 80% penderita mola
adalah menunjukkan reaksi Barr-Bodies positif (46xx), yang berarti
genotypes adalah wanita (Beecham, et al., 1983).
Stadium pra-maligna
Sebagai tindakan pra-neoplastik dianggap molahidatidosa. Kira-
kira 50% khoriokarsinoma berasal dari molahidatidosa, 25% dari abortus
spontan atau kehamilan ektopik dan sisanya yang 25% dari persalinan
biasa sebagai anteseden kejadiannya (Curry, et al.,1975; Lifshitz, et al.,
1977)
Deteksi dini
Ini lebih mudah bilamana timbulnya khoriokarsinoma pasca
evakuasi molahidatidosa karena follow-up yang ketat mengharuskannya.
Lebih-lebih setelah pengukuran kadar atau titer β-sub unit HCG, baik
dalam serum maupun urin penderita, merupakan tumor marker yang
dapat dipercaya.
Lebih sulit diagnosa dini dibuat, bilamana kelainan ini timbul
sesudah persalinan biasa, sesudah abortus atau kehamilan ektopik yang
terganggu. Kadangkala kecurigaan baru timbul dan diagnosa baru dapat
dibuat atas dasar biopsy dari metastasisnya yang umumnya berlokasi di
19
serviks, vagina atau vulva, bahkan pernah diagnosa khoriokarsinoma
dibuat oleh seorang pulmonolog atas dasar gambaran anak sebar yang
terlihat pada foto roentgen thorax penderita yang mengeluh haemotoe.
Dari segi praktisnya perlu ditekankan betapa pentingnya untuk
senantiasa mengikuti titer gonadotropin air seni wanita dalam rangka
follow-up sesudah evakuasi mola, sesudah persalinan biasa atau sesudah
abortus manakala klinis timbul kecurigaan akan kemungkinan munculnya
khoriokarsinoma seperti:
Sub involusi uterus
Fluxus pervaginam yang berlangsung terus
Kondisi umum menurun; pucat dan subfebril
Batuk-batuk kadang-kadang disertai haemotoe (perlu kontrolo x-
ray foto paru)
Menegakkan diagnosa dengan jalan melakukan kuretase sekarang
dianggap membahayakan di samping belum tentu dapat diandalkan
hasilnya. Hasil kuretemen yang negative belum dapat mengesampingkan
kemungkinan adanya khoriokarsinoma.
Dianggap membahayakan oleh sebab kuretase dapat berakibat:
Perdarahan akut yang banyak
Perforasi dinding uterus
Memudahkan penyebaran sel-sel trofoblas secara hematogen ke
hepar, paru dan otak.
Golongan risiko tinggi
Penderita molahidatidosa dianggap mempunyai risiko tinggi untuk
mengidap khoriokarsinoma. Dari itu kita harus memotivasi penderita
mola yang sudah cukup anaknya, lebih-lebih yang umurnya sudah
melebihi 35 tahun, untuk mau menjalani histerektomi sebagai upaya
20
pencegahan akan kemungkinan munculnya khoriokarsinoma di kemudian
hari. Lebih-lebih pula bila keadaan social ekonominya rendah karena
intake protein hewani yang kurang diduga mempunyai peran terhadap
timbulnya mola maupun khoriokarsinoma.
V. KANKER VULVA
Merupakan kira-kira 4% dari semua tumor ganas alat reproduksi
wanita. Pada tingkatannya yang sangat awal, kesembuhan mudah dicapai.
Pada umunya keterlambatan dalam meminta pertolongan rata-rata satu
tahun yang sebabnya terletak pada penderita sendiri (patients primary
delay), sedang kemungkinan lebih lama lagi oleh karena kesalahan
terletak pada dokternya (physicians secondary delay) karena upaya
pengobatan sebelumnya dengan macam-macam obat topikal dari lesi kulit
vulva dengan gatal-gatal menahun yang tidak dilakukan biopsy.
Karsinoma vulvae umumnya diderita oleh wanita yang sudah
berumur lanjut dengan puncak insidensinya pada golongan umur 70-an.
Obesitas dan hipertensi menyertai lebih dari separoh penderita-penderita
tersebut. Meski umumnya dystrophia vulvae selalu menyertai proses
karsinoma yang invasif, belum ada bukti bahwa dystrophia vulvae sendiri
bila dibiarkan tidak diobati akan berlanjut menjadi karsinoma yang
invasif. Beberapa jenis penyakit kelamin tertentu diduga memegang
peranan dalam memberi predisposisi untuk munculnya karsinoma vulvae
ialah terutama; condyloma accuminata, kemudian lues, granuloma
inguinale dan lymphopathia venereal. Karsinoma in-situ dari vulva
puncak insidensinya jatuh pada golongan umur yang lebih muda (35-40
tahun).
21
Stadium pra-maligna
Tidak seperti pada karsinoma serviks atau endometrii, disini secara
jelas tidak diketahui lesi yang merupakan pelopor atau pendahulu dari
karsinoma vulvae (precursors). Yang jelas lesi ini didahului oleh perasaan
gatal-gatal yang sangat (pruritus vulvae) kadang disertai rasa nyeri atau
panas atau timbul benjolan. Ada dugaan bahwa ujud lain kelainan kulit
berupa leukoplakia dan kraurosis vulvae merupakan tingkatan pra-
neoplastik, dari itu memerlukan biopsy untuk menegaskannya.
Deteksi dini
Deteksi dini sebenarnya mudah dilakukan asalkan penderita tidak
segan-segan datang cepat berkonsultasi. Biopsy eksisional akan
membuktikan apakah ada unsur-unsur keganasannya. Dalam hal dapat
ditemukan awal dan belum ada penyebaran ke kelenjar-kelenjar
lymfainguinal apalagi femoral, eksisi luas atau vulvektomi sederhana
memberi harapan kesembuhan yang besar.
Golongan risiko tinggi
Kelompok wanita yang dianggap mempunyai risiko tinggi untuk
mengidap kelainan ini adalah mereka yang mempunyai factor-faktor
predisposisi:
Diabetes Mellitus
Obesitas
Hygiene seksual yang tidak baik
22
Lichenplanus atau Lichensclerosis atropicans di daerah vulva
Apa yang menjadi sebab primer dari Lichenplanus (menurut
terminology seorang dermatolog) atau leukoplakia dan kraurosis vulvae
belumlah diketahui, akan tetapi dalam banyak kejadian karsinoma vulva
timbulnya atas dasar kelainan-kelainan tersebut, sehingga leukoplakia dan
kraurosis vulvae diduga sebagai stadium preneoplastiknya.
KELAINAN ONKOLOGIK YANG PERLU DICURIGAI KE ARAH
KEMUNGKINAN ADANYA KEGANASAN
1. Fluxus di luar masa haid yang tidak ada hubungannya dengan
menstruasi (menoragia, metroragia, meno-metroragia, perdarahan
inter menstrum)
2. Fluxus pervaginam dalam menopause. Untuk ini perlu kuretase
bertahap (fractional D&C) untuk diagnostic
3. Perdarahan kontak (sesudah koitus) unutk 75 % menunjuk kepada
keganasan serviks, dari itu perlu pemeriksaan yang teliti lebh lanjut
4. Pada karsinoma dari alat reproduksi wanita tidak harus selalu ada
perdarahan, akan tetapi dapat disertai “discharge” yang seperti air atau
pus tanpa perdarahan
5. Ingat bahwa uterus yang kecil pun dapat menyembunyikan proses
ganas
6. Degenerasi maligna di sekitar vulva bukan suatu yang jarang
terjadi; dari itu perlu kontrole teratur
7. Sebelum menopause, semua tumor ovarium dengan diameter lebih
dari 6 cm harus diangkat. Sesudah menopause hal ini berlaku bagi
semua tumor ovarium yang ditemukan tanpa mengingat besar
diameternya. Dari segi pencegahan, pada wanita berumur 45 tahun ke
atas yang karena sesuatu alas an harus mengalami laparotomi atas
23
sesuatu indikasi apapun, seyogyanya kalau kedua ovarinya diangkat
(Mardjikoen, 1983)
8. Fluxus pervaginam selama kehamilan, selain memikirkan
kemungkinan komplikasi obstetric, perlu dipikirkan kemungkinan
adanya proses maligna
9. Sesudah kelahiran gelembung-gelembung mola, kuretase selalu
merupakan indikasi
10. “Discharge” vaginal abnormal pada anak-anak memerlukan
pemeriksaan spesialistik
11. Jangan biarkan tak diobati peradangan-peradangan serviks yang
menahun, robekan-robekan atau perlukaan mulut rahim (erosion,
ektropion) karena dari padanya muncul kegansan di kemudian hari
12. Pengobatan hormonal terhadap wanita dengan syndrome
klimakterik atau menopause hendaknya sangat berhati-hati dan
memerlukan pengawasan cermat.
24
KESIMPULAN
Telah dikemukakan secara singkat tanda-tanda awal dari 5 jenis
keganasan ginekologik menurut urutan tingginya insidensi di daerah
Jogjakarta dan sekitarnya. Sengaja sarcoma uteri, karsinoma tubae dan
vaginae tidak disinggung karena sangat jarangnya ditemukan di sini.
Dari setiap jenis keganasan alat reproduksi wanita ini dicoba untuk
menyampaikan :
a. Stadium pra-neoplastik yang mengawali atau memelopori
keganasan tersebut
b. Mengenal tanda-tanda awal dan cara-cara mendeteksi secara dini,
syukur masih dalam tingkatan pra-neoplastik
c. Golongan risiko tinggi yang banyak menghimpun factor-faktor
predisposisi untuk tiap jenis keganasan tersebut.
Tujuan kuliah ini tiada lain agar pada para pendengarnya dapat
dibangkitkan kesadaran mengenai penyakit ganas yang menyerang alat
reproduksi wanita, dengan harapan masyarakat luas, termasuk profesi
kesehatan yang memang berkewajiban menanganinya, dapat melacaknya
sedini mungkin. Dengan demikian prognosa penderita akan dapat
diharapkan menjadi semakin baik, tegasnya bahwa sebenarnya wanita
kita tidak perlu mati akibat keganasan ginekologik.
Adapun kuncinya untuk keberhasilan upaya tersebut terletak pada:
PENEMUAN SEDINI MUNGKIN DENGAN PENANGANAN
YANG SEBAIK MUNGKIN (ADEKUAT).
25