Dermatitis Kontak Iritan (Kulkel)

download Dermatitis Kontak Iritan (Kulkel)

of 12

description

mmmm

Transcript of Dermatitis Kontak Iritan (Kulkel)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, oleh karenanya makalah ini dapat selesai dibuat. Banyak ragam penyakit kulit yang dapat mengenai manusia, satu diantaranya adalah penyakit kulit yang dibahas di makalah ini (Dermatitis Kontak Iritan). Saya sadar makalah ini mungkin masih banyak kekurangan. Namun, semoga makalah ini dapat berguna bagi para pembaca.

Akhirul kata, saya ucapkan terima kasih kepada dokter pembimbing spesialis penyakit kulit dan kelamin (dr. Dedy Maizal, SpKK) yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini.

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....1

DAFTAR ISI......2

PENDAHULUAN.....3

ISI..4-11

Definisi...4

Epidemiologi..4

Etiologi...5

Patogenesis.....6

Gejala Klinis...7

Diagnosis....8

Diagnosis Banding....10

Penatalaksanaan....10

Komplikasi....11

Prognosis.......11

DAFTAR PUSTAKA.......12

PENDAHULUAN

Dermatitis adalah suatu peradangan kulit (lapisan epidermis dan dermis) sebagai respon tubuh terhadap pengaruh faktor eksogen (dari luar tubuh) maupun faktor endogen (dari dalam tubuh) yang menimbulkan kelainan klinis berupa efloresensi polimorfik (eritema, edema, papul, vesikel, skuama, likenifikasi) dan keluhan gatal [1]. Banyak orang sering menyebut dermatitis sebagai ekzem. Namun ada beberapa orang membedakan dermatitis dengan ekzem, tetapi pada umumnya banyak yang mengatakan dermatitis dan ekzem itu sama.

Faktor eksogen (dari luar tubuh) yang dapat menyebabkan dermatitis, misalnya bahan kimia (seperti detergen, sabun, oli, asam, basa, oli, semen dan lain lain), fisik (sinar matahari, suhu), mikroorganisme (bakteri, jamur, virus) sedangkan faktor endogen (dari dalam tubuh) yang dapat menyababkan dermatitis, misalnya faktor keturunan (pada dermatitis atopik) [1].

Penyakit dermatitis ini sangat luas cakupannya. Adanya reaksi antigen dan antibodi terhadap faktor eksogen maupun faktor endogen yang dapat menyebabkan proses radang pada kulit disebut dermatitis, sehingga dermatitis digunakan sebagai nama tong sampah (catch basket term) oleh banyak orang [6].

Manifestasi klinis pada dermatitis berupa rasa gatal (pruritus) dan kelainan kulit yang dapat ditemukan tergantung dari stadium penyakit. Stadium penyakit yang dimaksud adalah stadium akut, stadium sub akut atau stadium kronis. Pada stadium akut, kelainan yang dapat ditemukan berupa efloresensi eritema, edema, vesikel atau bula, erosi dan eksudasi sehingga tampak basah (madidans). Pada stadium subakut, eritema dan edema berkurang sedangkan eksudat sudah mongering menjadi krusta. Pada stadium kronis, lesi tampak kering, skuama, hiperpigmentasi, papul dan likenifikasi atau juga erosi dan ekskoriasi sebagai bekas garukan [1].

Dermatitis yang paling sering terjadi adalah dermatitis kontak iritan (DKI). Dermatitis kontak iritan (DKI) adalah dermatitis yang disebabkan adanya kontak dengan bahan yang bersifat iritan. Dermatitis kontak ini memiliki prevalensi yang tinggi oleh karena berhubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang.

Banyak pekerjaan yang dapat menyebabkan dermatitis kontak iritan (DKI), misalnya pada pekerja pabrik bahan kimia yang sering kali terkena bahan kimia tersebut yang menyebabkan dermatitis baik luas maupun tidak yang bersifat akut, pada pekerja rumah tangga (pembantu, tukang cuci pakaian, dan ibu rumah tangga).

Definisi

Dermatitis kontak adalah dermatitis (reaksi inflamasi akut dan kronik) yang disebabkan oleh suatu bahan atau substansi eksternal yang menepel pada kulit [1-6,8]. Dermatitis kontak dibagi menjadi dua yaitu dermatitis kontak iritan (dulu disebut dermatitis kontak toksik) dan dermatitis kontak alergik. Dermatitis kontak iritan (DKI) merupakan reaksi peradangan kulit non imunologik, jadi kerusakan kulit terjadi langsung tanpa didahului reaksi sensitisasi. Sedangkan pada dermatitis kontak alergik terjadi sebaliknya, mangalami reaksi sensitisasi [1,3-6].Epidemiologi

Dermatitis kontak iritan (DKI) sangat banyak terjadi sehingga prevalensinya cukup tinggi di dunia. DKI dapat diderita oleh semua orang dari berbagai golongan umur, ras dan jenis kelamin. Jumlah penderita DKI diperkirakan cukup banyak terutama yang berhubungan dengan pekerjaan (DKI akibat kerja), namun dikatakan angkanya secara tepat sulit diketahui. Hal ini disebabkan antara lain oleh banyaknya penderita dengan kelainan ringan tidak datang berobat, atau bahkan tidak mengeluh.

Di Amerika, DKI sering terjadi di pekerjaan yang melibatkan kegiatan mencuci tangan atau paparan berulang kulit terhadap air, bahan makanan atau iritan lainnya. Pekerjaan yang berisiko tinggi meliputi bersih-bersih, pelayanan rumah sakit, tukang masak, dan penata rambut. 80%. Prevalensi dermatitis tangan karena pekerjaan ditemukan sebesar 55,6% di ICU dan 69,7% pada pekerja yang sering terpapar (dilaporkan dengan frekuensi mencuci tangan >35 kali setiap pergantian). Penelitian menyebutkan frekuensi mencuci tangan >35x tiap pergantian memiliki hubungan kuat dengan dermatitis tangan karena pekerjaan. Di Jerman, angka insiden DKI adalah 4,5 setiap 10.000 pekerja, dimana insiden tertinggi ditemukan pada penata rambut (46,9 kasus per 10.000 pekerja setiap tahunnya), tukang roti dan tukang masak [3,9,10]

Berdasarkan jenis kelamin, DKI secara signifikan lebih banyak pada perempuan dibanding laki-laki. Tingginya frekuensi ekzem tangan pada wanita dibanding pria karena faktor lingkungan, bukan genetik. Berdasarkan usia, DKI bisa muncul pada berbagai usia. Banyak kasus karena dermatitis diaper (popok) terjadi karena iritan kulit langsung pada urine dan feses. Seorang yang lebih tua memiliki kulit lebih kering dan tipis yang tidak toleran terhadap sabun dan pelarut. DKI bisa mengenai siapa saja, yang terpapar iritan dengan jumlah yang sufisien, tetapi individu dengan dengan riwayat dermatitis atopi lebih mudah terserang [3,9,10].Etiologi

Penyebab dari DKI ini adalah bahan bahan yang bersifat iritan. Iritan adalah substansi yang akan menginduksi dermatitis pada setiap orang jika terpapar pada kulit dalam konsentrasi, waktu dan frekuensi yang cukup. Bahan iritan tersebut misalnya bahan pelarut, deterjen, minyak pelumas, asam dan alkali (asam hydrofluoric, asam kromat, fosfat, dan phenol metal salts), bahan-bahan industry (petroleum, klorinat hidrokarbon, etil eter) dan serbuk kayu [1-3-6,8-10].

Gb1. Dermatitis akibat detergen

Gb2. Dermatitis akibat bahan kosmetik

Gb3. Dermatitis akibat deodorant

Gb4. Dermatitis akibat popok

Patogenesis

Kelainan kulit timbul akibat kerusakan sel yang disebabkan oleh bahan iritan melalui kerja kimiawi atau fisis. Bahan iritan merusak lapisan tanduk, denaturasi keratin, menyingkirkan lemak lapisan tanduk dan mengubah daya ikat air kulit.

Kebanyak bahan iritan (toksin) merusak membran lemak keratinosit tetapi sebagian dapat menembus membran sel dan merusak lisosom, mitokondria atau komplemen inti. Kerisakan membran mengaktifkan fosfolipase dan melepaskan asam arakidonat (AA), diasilgliserida (DAG), platelet actifating factor (PAF) dan inositida (IP3). AA dirubah menjadi prostaglandin (PG) dan leukotrin (LT). PG dan LT menginduksi vasodilatasi, dan meningkatkan permeabilitas vaskuler sehingga mempermudah transudasi komplemen dan kinin. PG dan LT juga bertindak sebagai kemoatraktan kuat untuk limfosit dan neutrofil, serta mengaktifasi sel mas melepaskan histamin, LT dan PG lain, dan PAF, sehingga memperkuat perubahan vaskuler.

DAG dan second messenger lain mengstimulasi ekspresi gen dan sintesis protein, misalnya interleukin-1 (IL-1) dan granulocyt-macrophage colony stimulating factor (GMCSF). IL-1 mengaktifkan sel T-penolong mengeluarkan IL-2 an mengekspresi reseptor IL-2 yang menimbulkan stimulasi autokrin dan proliferasi sel tersebut. Keratinosit juga membuat molekul permukaan HLA-DR dan adesi intrasel- (ICAM-1). Pada kontak dengan iritan, keratinosit juga melepaskan TNF, suatu sitokin proinflamasi yang dapat mengaktifasi sel T, makrofag dan granulosit, menginduksi ekspresi molekul adesi sel dan pelepasan sitokin.

Rentetan kejadian tersebut menimbulkan gejala peradangan klasik di tempat terjadinya kontak di kulit berupa eritema, edema, panas, nyeri, bila iritan kuat. Bahan iritan lemah akan menimbulkan kelainan kulit setelah berulang kali kontak, dimulai dengan kerusakan stratum korneum oleh karena delipidasi yang menyebabkan desikasi dan kehilangan fungsi sawarnya, sehingga mempermudah kerusakan sel dibawahnya oleh iritan [1].Gejala Klinis

DKI dapat dibagi atas DKI akut dan DKI kronis. Pada DKI akut penyebabnya iritan kuat, biasanya karena kecelakaan. Kulit terasa pedih atau panas, eritema, vesikel, atau bula [1-10]. Luas kelainan umumnya sebatas daerah yang terkena, berbatas tegas. Pada umumnya kelainan kulit muncul segera, tetapi ada sejumlah bahan kimia yang menimbulkan reaksi akut lambat misalnya podofilin, antralin, asam fluorohidrogenat. Pada DKI akut lambat, kelainan kulit baru terlihat setelah 12-24 jam atau lebih. Contohnya ialah dermatitis yang disebabkan oleh bulu serangga yang terbang pada malam hari (dermatitis venenata); penderita baru merasa pedih setelah esok harinya, pada awalnya terlihat eritema dan sorenya sudah menjadi vesikel atau bahkan nekrosis [1,3].

Pada DKI kronis yang disebut juga dermatitis iritan kumulatif, disebabkan oleh kontak dengan iritan lemah yang berulang-ulang (oleh faktor fisik, misalnya gesekan, trauma mikro, kelembaban rendah, panas atau dingin, juga bahan contohnya detergen, sabun, pelarut, tanah, bahkan juga air). DKI kronis mungkin terjadi oleh karena kerjasama berbagai faktor. Bisa jadi suatu bahan secara sendiri tidak cukup kuat menyebabkan dermatitis iritan, tetapi bila bergabung dengan faktor lain baru mampu. Kelainan baru nyata setelah berhari-hari, berminggu atau bulan, bahkan bisa bertahun-tahun kemudian. Sehingga waktu dan rentetan kontak merupakan faktor paling penting. Dermatitis iritan kumulatif ini merupakan dermatitis kontak iritan yang paling sering ditemukan [1,3].

Gejala klasik pada DKI kronis berupa kulit kering, eritema, skuama, lambat laun kulit tebal (hiperkeratosis) dan likenifikasi, batas kelainan tidak tegas (lihat gambar 2). Bila kontak terus berlangsung akhirnya kulit dapat retak seperti luka iris (fisur), misalnya pada kulit tumit tukang cuci yang mengalami kontak terus menerus dengan deterjen. Ada kalanya kelainan hanya berupa kulit kering atau skuama tanpa eritema, sehingga diabaikan oleh penderita. Setelah kelainan dirasakan mengganggu, baru mendapat perhatian. Banyak pekerjaan yang beresiko tinggi yang memungkinkan terjadinya dermatitis kontak iritan kumulatif, misalnya : mencuci, memasak, membersihkan lantai, kerja bangunan, kerja di bengkel dan berkebun [1,3].Diagnosis

Dalam mendiagnosis penyakit DKI (akut, atau kronis), diperlukan beberapa langkah pemeriksaan. Langkah langkah menegakkan diagnosis dimulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang (histopatologik).

A. Anamnesis

Riwayat yang terperinci sangat dibutuhkan karena diagnosis dari DKI tergantung pada adanya riwayat paparan iritan kutaneus yang mengenai tempat-tempat pada tubuh. Tes tempel juga digunakan pada kasus yang berat atau persisten untuk menyingkirkan DKA. Gejala subjektif primer biasanya meliputi riwayat paparan yang cukup terhadap iritan kulit.

Onset gejala muncul dalam beberapa menit hingga beberapa jam pada DKI akut. Pada DKI subakut merupakan ciri iritan tertentu seperti benzalkonium klorida (ada pada disinfektak) yang mendatangkan reaksi radang 8-24 jam setelah paparan. Onset dan gejala bisa tertunda beberapa minggu pada DKI kumulatif. Nyeri, rasa terbakar, rasa tersengat atau tidak nyaman pada fase awal [9,10].

Gejala subjektif lainnya meliputi: onset dalam 2 minggu paparan dan adalanya keluhan yang sama pada rekan kerja atau anggota keluarga lainnya. DKI okupasional biasanya terjadi pada karyawan baru atau mereka yang belum belajar untuk melindungi kulitnya dari iritan. Individu dengan dermatitis atopik (khususnya pada tangan) rentan terhadap DKI tangan [9,10].

B. Pemeriksaan Fisik

Kriteria diagnostik primer DKI menurut Rietschel meliputi [9]:

1. Makula eritema, hiperkeratosis atau fisura yang menonjol

2. Kulit epidermis seperti terbakar

3. Proses penyembuhan dimulai segera setelah menghindari paparan bahan iritan

4. Tes tempel negatif dan meliputi semua alergen yang mungkin

Kriteria objektif minor meliputi:

1. Batas tegas pada dermatitis

2. Bukti pengaruh gravitasi seperti efek menetes

3. Kecenderungan untuk menyebar lebih rendah dibanding DKA

C. Pemeriksaan Penunjang (Histopatologik)

Gambaran histtopatologik DKI tidak karakteristik. Pada DKI akut (oleh iritan primer), dalam dermis terjadi vasodilatasi dan sebukan sel mononuklear di sekitar pembuluh darah dermis bagian atas. Eksositosis di epidermis diikuti spongiosis dan edema intrasel dan akhirnya menjadi nekrosis epidermal. Pada keadaan berat, kerusakan epidermis dapat menimbulkan vesikel atau bila. Di dalam vesikel atau bula ditemukan limfosit atau neutrofil [1,9,10].

Gb5. Irisan melintang

Gb6. Irisan memanjang

Diagnosis DKI didasarkan anamnesis yang cermat dan pengamatan gambaran klinis. DKI akut lebih mudah diketahui karena munculnya lebih cepat sehingga penderita pada umumnya masih ingat apa yang menjadi penyebabnya. Sebaliknya DKI kronis timbul lambat serta mempunyai variasi gambaran klinis yang luas, sehingga kadang sulit dibedakan dengan DKA. Untuk ini diperlukan uji tempel dengan bahan yang dicurigai [1].

Gb7. Uji tempel

Gb.8. Skin test multipleDiagnosis Banding

Diagnosa banding dermatitis kontak iritan adalah dermatitis kontak alergika. Yang membedakan antara dermatitis kontak iritan dengan dermatitis kontak alergika terlatak pada reaksi kuit terhadap antigen alergen yang terjadi lebih lambat (pemakaian berulang bahan alergen) dari pada pada dermatitis kontak iritan yang lebih cepat menyebabkan dermatitis. Selain itu, dermatitis alergi dapat memberikan gambaran yang sesuai dengan benda alergen yang dipakai seperti gambaran ikat pinggang, kalung, jam tangan.Penatalaksanaan

Upaya pengobatan DKI yang terpenting adalah menghindari pajanan bahan iritan, baik yang bersifat mekanik, fisis atau kimiawi serta menyingkirkan faktor yang memperberat. Bila dapat dilakukan dengan sempurna dan tanpa komplikasi, maka tidak perlu pengobatan topikal dan cukup dengan pelembab untuk memperbaiki kulit yang kering [1].

Apabila diperlukan untuk mengatasi peradangan dapat diberikan kortikosteroid topikal. Pemakaian alat perlindungan yang adekuat diperlukan bagi mereka yang bekerja dengan bahan iritan sebagai upaya pencegahan [1].

a. Dermatitis akut

Untuk dermatitis akut, secara lokal diberikan kompres larutan garam fisiologis atau larutan kalium permanganas 1/10.000 selama 2-3 hari dan setelah mengering diberi krim yang mengandung hidrokortison 1-2,5%.

Secara sistemik diberikan antihistamin (CTM 3x1 tablet.hari) untuk menghilangkan rasa gatal. Bila berat/luas dapat diberikan prednison 30 mg/hari dan bila sudah ada perbaikan dilakukan tapering. Bila terdapat infrksi sekunder diberikan antibiotik dengan dosis 3x500 mg selama 5-7 hari [9,10].

b. Dermatitis kronik

Topikal diberikan salep mengandung steroid yang lebih poten seperti hidrokortison yang mengalami fluorinasi seperti desoksimetason, diflokortolon. Sistemik diberikan antihistamin (CTM 3x1 tablet.hari) untuk menghilangkan rasa gatal [9,10].

Komplikasi

Adapun komplikasi DKI adalah sebagai berikut [9]:

1. DKI meningkatkan risiko sensitisasi pengobatan topical

2. Lesi kulit bisa mengalami infeksi sekunder, khususnya oleh Stafilokokus aureus

3. Neurodermatitis sekunder (liken simpleks kronis) bisa terjadi terutapa pada pekerja yang terpapar iritan di tempat kerjanya atau dengan stres psikologik

4. Hiperpigmentasi atau hipopignemtasi post inflamasi pada area terkena DKI

5. Jaringan parut muncul pada paparan bahan korosif, ekskoriasi atau artifak.

Prognosis

Prognosis baik pada individu non atopi dimana DKI didiagnosis dan diobati dengan baik. Individu dengan dermatitis atopi rentan terhadap DKI. Bila bahan iritan tidak dapat disingkirkan sempurna, prognosisnya kurang baik, dimana kondisi ini sering terjadi DKI kronis yang penyebabnya multifaktor [1,9].

Daftar Pustaka

1. Sularsito SA, Djuanda S. Dermatitis. Dalam: Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Ed. 5. Jakarta; 2005. hlm.129-53.

2. Siregar RS. Dermatitis kontak toksik. Atlas berwarna saripati penyakit kulit. EGC. Ed. 2. Jakarta; 2005. hlm.107-8.3. Wolff K, Johnson RA, Suurmond D. Irritant Contact Dermatitis. Colour atlas & synopsis of clinical dermatology. Mc Graw-Hill. Ed. 5. New York; 2005. p: 18-23.4. Harahap M. Ekzema dan dermatitis. Ilmu penyakit kelamin. Hipokrates. Jakarta; 2000. hlm. 6-30.

5. Barakbah J, Pohan S S, Sukanto H, dkk. Dermatitis kontak. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. FK Universitas Airlangga/RSU dr. Soetomo. Surabaya; 2008. hlm. 104-11.6. Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R. Wardhani WI, Setiowulan W. Dermatitis. Ed. 3; Vol. 2. Jakarta: Media Aesculapius; 1999. hlm.86-9.

7. Dwikarya M. Hermawan DA, Hendra W, Unandar. Dermatitis. Panduan kepaniteraan klinik pendidikan dokter. Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana. Jakarta; 2009. hlm.52-3.8. Siregar RS. Dermatosis akibat kerja. Diunduh dari www.cerminduniakedokteran.com, 3 Agustus 2010.

9. Hogan D. Contact Dermatitis, Irritant. Available at: www.emedicine.com, August 3th 2010.

10. [Editorial]. Irritant Contact Dermatitis. Available at: www.dermnetnz.org, August 3th 2010.

10