Cme Infeksi Laten Tuberculosis

4
CONTINUING MEDICAL EDUCATION Akreditasi IDI - 3 SKP

description

tuberkulosis

Transcript of Cme Infeksi Laten Tuberculosis

Page 1: Cme Infeksi Laten Tuberculosis

CONTINUING MEDICAL EDUCATION CONTINUING MEDICAL EDUCATION

Akreditasi IDI - 3 SKP

Page 2: Cme Infeksi Laten Tuberculosis

101CDK 183/Vol.38 no.2/Maret - April 2011 102 CDK 183/Vol.38 no.2/Maret - April 2011

multiplikasi dan menyebabkan reaktivasi. Gangguan lain adalah netralisasi fungsi TNF yang menyebabkan sel-sel dalam granuloma tidak lagi terikat secara kuat, sehingga terjadi disregulasi molekul adhesi. Keadaan ini me- nyebabkan disorganisasi granuloma sehingga tidak mampu mengontrol infeksi.(3)

Peranan Sel-Sel T dalam Tuberkulosis LatenInterferon gamma (IFN-γ) adalah sitokin kunci respons imun melawan M. tuberculosis. Sitokin ini akan mengaktifkan makrofag untuk mem- bunuh bakteri intraseluler. Interferon γ memi-liki beberapa peran dalam mengontrol infeksi; mencit yang telah direkayasa sehingga tidak memproduksi IFN-γ menjadi lebih rentan ter- hadap infeksi tuberkulosis.(6,7) Mutasi genetik tertentu pada manusia juga menyebabkan keku- rangan dalam sinyal interferon gamma sehingga lebih rentan terhadap infeksi tuberkulosis.(8)

Terdapat beberapa kemungkinan peranan sel-sel T CD4 dalam mengontrol infeksi laten tuberkulosis. Sel-sel CD4 ini dapat mempro-mosikan proses apoptosis makrofag yang terinfeksi di paru. Apoptosis ini dapat sangat merugikan bagi M. tuberculosis yang hidup-nya intra seluler.(9) Selain apoptosis sel-sel CD4 akan memproduksi beberapa sitokin lain yang di dalam granuloma berperan mengon-trol infeksi, seperti IL-2 dan TNFα. Sel-sel CD4 juga dapat menginduksi produksi sitokin penting oleh sel-sel makrofag dan dendritik, seperti IL-12, Il-10, dan IL-15. Sel-sel tersebut dapat mengaktifkan makrofag melalui kontak langsung secara bebas dengan NOS2.(3)

Seluruh peran ini bertujuan untuk mengelimi-nasi M. tuberculosis dari tubuh pejamu.

Strategi M. tuberculosis untuk bertahan hidupInfeksi laten tuberkulosis menunjukkan suatu infeksi yang persisten atau menetap yang me- merlukan berbagai mekanisme menghindari atau menekan imunitas tubuh yang bertujuan mengeliminasi patogen tersebut. Dalam kasus infeksi laten tuberkulosis, respons imun pejamu hanya mampu melokalisasi mikobakterium tetapi tidak mampu mengeliminasinya. Menu-runnya sistem imun tubuh dapat menyebab-kan reaktivasi patogen yang tinggal diam ter- sebut. Kemampuan M. tuberculosis untuk ber- tahan terhadap serangan respons imun yang kuat, menunjukkan sebuah rangkaian meka-nisme pengelakan oleh patogen tersebut.

Gambar 2 memperlihatkan beberapa meka- nisme pengelakan M. tuberculosis terhadap mekanisme imun tubuh. Proses pematangan pagosom yang berisi M. tuberculosis tampak-nya berhenti pada tahap dekat dengan akuisisi GTPase Rab5. Berhentinya perkembangan bio- logis pagosom ini mencegah penggabungan pagosom dengan lisosom, yang mempunyai aktivitas kuat sebagai anti mikrobial. Di dalam pagosom, M. tuberculosis adalah subyek untuk efek anti mikobakterial reactive nitrogen inter- mediate (RNI) yang dihasilkan NOS2 makrofag. Dengan kemampuannya menghentikan per- kembangan pagosom, M. tuberculosis dapat menghindari efek anti mikrobial RNI. Sebagai tambahan, makrofag yang terinfeksi M. tuber- culosis dapat menyebabkan penurunan regulasi ekspresi dan presentasi MHC class II. sehingga M. tuberculosis dapat menekan berbagai fungsi anti mikobakterial makrofag.(3)

Gambar 2. Strategi M. tuberculosis menghindari sistem Imun: Interaksi dengan Makrofag(3)

Makrofag yang terinfeksi M. tuberculosis men- jadi kurang efektif terhadap rangsangan pro- liferasi atau produksi sitokin oleh sel T CD4 yang spesifik terhadap mikobakteria.(5) Salah satu studi terkini melaporkan bahwa makro- fag yang terinfeksi M. tuberculosis menjadi kebal terhadap efek IFN-γ.(10) M. tuberculosis memodulasi makrofag melalui berbagai cara untuk melindungi dirinya terhadap respons sel T yang bertujuan untuk mengenali dan meng- eliminasi patogen tersebut.

Efek lain M. tuberculosis yang ada di dalam pagosom adalah menghambat proses fusi pagosom dengan lisosom sehingga enzim- enzim yang berfungsi mencerna dan memati-kan M. tuberculosis tidak terbentuk.(11) Pagosom tersebut juga akan mengalami gangguan pro- ses pembentukan keasaman (acidification) se- hingga tidak mampu mematikan M. tubercu-losis yang ada di dalamnya.(12)

DIAGNOSIS INFEKSI TUBERKULOSIS LATEN

Tes Kulit TuberkulinInfeksi tuberkulosis laten umumnya didiagno-sis melalui tes kulit tuberkulin positif. Sebuah penelitian serial pada tahun 1950an yang me- ngevaluasi tes kulit PPD (Purified Protein Deriva- tive) M. tuberculosis menunjukkan reaksi silang dengan tes kulit nontuberkulosis, sehingga dibuat nilai standar ukuran positif untuk me- ningkatkan sensitivitas tes dan mengurangi kemungkinan reaksi positif palsu. Nilai standar (cut-offs) ini bervariasi bergantung pada per- kiraan insidens infeksi di suatu populasi yang diteliti (tabel 1).(1)

Tabel 1. Kriteria Tes Kulit Tuberkulin Positif.(13)

Tes kulit tuberkulin positif palsu dapat terjadi pada infeksi mikobakterium bukan tuberkulosis (nontuberculous mycobacteria) dan vaksinasi BCG (Bacille Calmette-Guerin). Hasil positif palsu ini makin berkurang bila selang waktu dari vaksinasi BCG lebih dari 15 tahun.(14) Sementara itu kondisi yang menekan sistem imun penderita merupakan penyebab utama hasil negatif palsu, di samping kesalahan melakukan tes.

TINJAUAN PUSTAKA TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUANSalah satu keunikan M. tuberculosis adalah kemampuannya untuk tetap bertahan di dalam tubuh pejamu. Pada saat seseorang terpapar M. tuberculosis dan mengalami infeksi, infeksi tersebut dapat terus berkembang menjadi penyakit tuberkulosis aktif dengan gejala- gejala kerusakan jaringan yang terserang, atau tetap dalam keadaan subklinis tanpa gejala yang dikenal sebagai infeksi tuberkulosis laten.

Sebagian infeksi laten tersebut dapat berkem-bang menjadi penyakit tuberkulosis aktif; jangka waktunya dalam beberapa bulan bahkan ber- tahun-tahun. Kondisi mikrobiologi organisme tersebut tidak jelas; mungkin berada dalam kondisi yang benar-benar laten, dalam sebuah kondisi metabolisme anaerob tetapi bukan laten, atau dalam kondisi berganti-ganti antara dorman dan replikasi. Jadi istilah infeksi laten untuk penyakit tuberkulosis haruslah mengacu pada kondisi klinis dan bukan mikrobiologi.(1)

IMUNOPATOGENESIS INFEKSI LATEN TUBERKULOSISInfeksi tuberkulosis awalnya terjadi di paru, tetapi patogen tersebut dapat tinggal di ber- bagai organ tubuh manusia lewat penyebaran darah (hematogen). Beberapa kemungkinan dapat terjadi pada seseorang yang terinfeksi M. tuberculosis. Kemungkinan pertama, pato- gen yang masuk ke paru tersebut dapat lang- sung dihancurkan oleh respons awal pejamu (innate immunity). Kemungkinan kedua, infeksi

M. tuberculosis akan berkembang menjadi penyakit tuberkulosis aktif dalam jangka waktu tertentu (umumnya satu sampai tiga tahun). Kemungkinan ketiga, sebagian besar akan ber- kembang menjadi infeksi laten; mereka ter- infeksi dan tes kulit tuberkulin menjadi positif, tetapi tidak muncul gejala klinis infeksi aktif dan tidak menular ke individu lain.(2)

Respons Imun PejamuRespons imun pejamu terhadap M. tuberculo-sis sangat kompleks. Sel T adalah komponen utama respons perlindungan. Interaksi sel T dengan makrofag yang terinfeksi sangat pen- ting untuk mengontrol infeksi. Respons imun dimulai ketika M. tuberculosis sampai ke rongga alveoli, kemudian bertemu dengan makrofag alveoli yang akan memproduksi sitokin dan ke- mokin inflamasi sebagai sinyal infeksi.(3) Bakteri akan memasuki parenkim paru dan bereplikasi di dalam makrofag alveoli atau makrofag paru. Sinyal infeksi yang dihasilkan akan merang-sang migrasi makrofag dan sel dendritik ke arah lokasi infeksi di paru. Sel dendritik yang menelan bakteri tersebut akan matang dan bermigrasi ke kelenjar limfe regional.(4, 5)

Sesampainya di sana, sel T CD4 dan CD8 akan dipersiapkan melawan antigen mikobakterial. Sel T akan berekspansi dan migrasi kembali ke paru dan kemudian lewat jaringan paru me- nuju ke fokus infeksi. Mekanisme ini mungkin merupakan respons terhadap sinyal seperti kemokin atau sebagai respons sel terinfeksi.(3)

Gambar 1 menjelaskan migrasi makrofag dan sel T (juga sel B) ke tempat infeksi akan ber- akhir dengan pembentukan granuloma, yang merupakan salah satu karakteristik tuberkulo-sis. Sel T memproduksi IFN-γ yang akan meng- aktifkan makrofag. Sel T CD8 dapat melisis makrofag yang terinfeksi atau membunuh bakteri intraseluler. Tumor Necrosis Factor (TNF) diproduksi oleh makrofag dan sel T. Sel dendritik juga ada di dalam granuloma. M. tuberculosis berada di dalam makrofag dan akan berada di ekstraseluler jika terjadi nekro-sis. Apabila jumlah sel T CD4 menurun, granu- loma tidak dapat berfungsi baik, produksi IFN-γ berkurang dan makrofag kurang ter- aktivasi; akibatnya, M. tuberculosis mulai ber-

Infeksi Laten Tuberkulosis :Keseimbangan antara Sistem Imun Pejamu

dan Strategi Bertahan M. tuberculosisJ. Teguh Widjaja

Bagian Pulmonologi Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Maranatha, RS Immanuel, Bandung, Indonesia

ABSTRAKInfeksi M. tuberculosis pada sebagian individu akan berkembang menjadi infeksi aktif, sebagian akan mampu mengeliminasi total kuman tersebut sehingga tidak menjadi sakit, sedangkan sebagian besar dalam keadaan subklinis tanpa gejala apapun tetapi tetap mengandung kuman tersebut dalam organ tubuhnya, keadaan ini yang disebut sebagai infeksi laten tuberkulosis.Secara imunologis, infeksi laten merupakan keseimbangan antara virulensi M. tuberculosis dan sistem imunitas tubuh pejamu. Apabila suatu saat terjadi penurunan atau gangguan pada sistem imunitas tubuh maka akan terjadi reaktivasi dan individu tersebut mengalami infeksi aktif tuberkulosis.Diagnosis infeksi laten tuberkulosis sampai saat ini masih menggunakan tes kulit tuberkulin; beberapa metode baru seperti Interferon-Gamma Release Assays (IGRAs) dikembangkan untuk mengatasi kelemahan tes tuberkulin. Terapi infeksi laten tuberkulosis menggunakan paket pengobatan yang mengandung Isoniazid atau Rifampicin atau keduanya.

Gambar 1. Mekanisme Imun Penting dalam Memper-tahankan Tuberkulosis Laten(3)

Kriteria Keterangan

> 5 mm • Diketahui atau diduga

infeksi HIV, atau kondisi-kondisi lain yang

menurunkan imunitas tubuh

• Kontak dekat yang baru terjadi dengan

individu yang menderita tuberkulosis aktif

• Kelainan foto toraks sesuai dengan gambaran

tuberkulosis lama

> 10 mm • Orang-orang yang lahir

di daerah dengan prevalensi tinggi TB

• Pengguna injeksi obat-obatan terlarang

• Populasi dengan resiko tinggi, sulit mendapat

pelayanan medis, penghasilan rendah

• Penghuni fasilitas perawatan jangka panjang

(rumah perawatan, pusat rehabilitasi, penjara,

dan lain-lain)

• Orang-orang dengan kondisi medis yang

meningkatkan resiko terinfeksi tuberkulosis

> 15 mm • Semua selain kriteria

diatas

> 5 mm

Kriteria Keterangan

• Diketahui atau diduga infeksi HIV,

atau kondisi-kondisi lain yang

menurunkan imunitas tubuh

• Kontak dekat yang baru terjadi

dengan individu yang menderita

tuberkulosis aktif

• Kelainan foto toraks sesuai dengan

gambaran tuberkulosis lama

• Orang-orang yang lahir di daerah

dengan prevalensi tinggi TB

• Pengguna injeksi obat-obatan

terlarang

• Populasi dengan resiko tinggi, sulit

mendapat pelayanan medis,

penghasilan rendah

• Penghuni fasilitas perawatan

jangka panjang (rumah perawatan,

pusat rehabilitasi, penjara, dan

lain-lain)

• Orang-orang dengan kondisi medis

yang meningkatkan resiko terinfeksi

tuberkulosis

• Semua selain kriteria diatas

> 10 mm

> 15 mm

Page 3: Cme Infeksi Laten Tuberculosis

TINJAUAN PUSTAKA

104 CDK 183/Vol.38 no.2/Maret - April 2011

RISIKO REAKTIVASI TUBERKULOSIS DI ANTARA INDIVIDU DENGAN INFEKSI LATEN TUBERKULOSISPada individu dengan infeksi laten tuberkulosis, resiko tahunan (annual risk) reaktivasi tergan-tung pada apakah individu tersebut baru saja terpapar atau sudah terpapar bertahun-tahun yang lalu. Risiko reaktivasi tuberkulosis dike- lompokkan berdasarkan apakah infeksi terjadi dalam dua tahun terakhir yang disebut kon-versi baru (recent conversion), atau infeksi telah

terjadi lebih dari dua tahun yang disebut tanpa konversi (nonconversion). Apabila saat terjadinya infeksi tidak diketahui, diasumsikan terjadi lebih dari dua tahun sebelumnya. Kemungkinan in- feksi baru dalam dua tahun terakhir cenderung berkurang dengan bertambahnya usia karena rerata resiko infeksi tahunan berkurang dengan bertambahnya usia dan karena periode dua tahun hanyalah suatu masa yang pendek di- bandingkan panjangnya usia yang bertambah.

Keterangan :a) Risiko tahunan reaktivasi TB pada orang- orang yang terinfeksi lebih dari dua tahun.b) Rata-rata risiko tahunan reaktivasi TB pada dekade pertama pada orang-orang yang terinfeksi kurang dari dua tahun atau kontak dekat dengan penderita TB. Angka-angka tersebut adalah jumlah kasus per jumlah orang per tahun.

Gambar 3. Diagram Skrining Tuberkulosis(13)

Tabel 3. Risiko Tahunan Reaktivasi Tuberkulosis(1)

Ukuran Tes Kelompok Usia (Tahun)

0 - 5 6 - 10 16 - 35 36 - 55 > 56

a) Resiko tahunan reaktivasi TB

5 - 9 mm 11/18644 27/34545 4/3243 4/5548 6/8279

10 - 14 mm 22/11815 37/48227 8/5390 9/9220 14/13759

> 15 mm 79/33179 149/105654 10/5390 11/9220 17/13759

b) Rata-rata risiko tahunan reaktivasi TB pada dekade pertama

5 - 9 mm 4/136 3/494 14/468 8/535 2/162

10 - 14 mm 8/217 6/519 28/751 16/569 4/259

> 15 mm 11/202 9/736 39/697 22/529 4/240

Ukuran TesKelompok Usia (Tahun)

a) Resiko tahunan reaktivasi TB

b) Rata-rata risiko tahunan reaktivasi TB pada dekade pertama

5 - 9 mm

10 - 14 mm

> 15 mm

5 - 9 mm

10 - 14 mm

> 15 mm

11/18644

22/11815

79/33179

4/136

8/217

11/202

27/34545

37/48227

149/105654

4/3243

8/5390

10/5390

4/5548

9/9220

11/9220

6/8279

14/13759

17/13759

3/494

6/519

9/736

14/468

28/751

39/697

8/535

16/569

22/529

2/162

4/259

4/240

0 - 5 6 - 10 16 - 35 36 - 55 > 56

Tabel 2. Penyebab Potensial Tes Kulit Tuber- kulin Negatif Palsu(15)

Metode Interferon-Gamma Release Assays (IGRAs)Metode IGRAs lebih maju dibandingkan tes kulit tuberkulin terutama pada subyek yang pernah mendapat vaksinasi BCG, karena anti- gen yang terdapat pada BCG maupun M. tuberculosis telah disingkirkan. Karena IGRA hanya mengukur rangsang imun yang baru terjadi, mungkin metode ini hanya dapat men- deteksi individu dengan periode infeksi aktif yang masih baru. Subyek yang baru saja menga- lami reaktivasi dari infeksi latennya dan sedang berkembang menjadi infeksi aktif akan ter- deteksi positif oleh tes IGRA, tetapi mereka yang tetap dalam kondisi laten dan mungkin baru akan reaktivasi di kemudian hari, tes IGRA akan negatif. Karena spesifisitasnya yang tinggi, IFN-γ assays mungkin akan berguna di daerah dengan prevalensi tuberkulosis yang rendah tetapi banyak sumber penularan, dimana reaksi silang dengan BCG mempersulit interpretasi tes kulit tuberkulin. Pada situasi tersebut IFN-γ assays akan mengurangi kemungkinan positif palsu sehingga meningkatkan efisiensi skrining infeksi laten tuberkulosis dan efekstifitas terapi infeksi laten.(16)

• Infeksi-infeksi yang terjadi bersamaan - Human Immunodeficiency Virus (HIV) - Infeksi virus lainnya (measles, mumps, chickenpox) - Penyakit-penyakit bakteri (typhoid fever, brucellosis, typhus, leprosy, pertussis, overwhelming tuberculosis) - Vaksinasi virus hidup (measles, mumps, polio)

• Penyakit-penyakit yang mempengaruhi organ- organ limfoid - (Hodgkin's disease, lymphoma, chronic lymphocytic leukemia, sarcoidosis)

• Obat-obat yang menekan imunitas (imunosupresif) - (kortikosteroid dan lain-lain)

• Usia (bayi baru lahir atau usia lanjut)

• Kondisi-kondisi metabolik (gagal ginjal lanjut, malnutrisi)

• Sesudah operasi

• Luka bakar

• Hilangnya potensi antigen (pajanan dengan panas atau cahaya)

• Cara yang tidak benar (terlalu sedikit antigen atau injeksi terlalu dalam)

• Pembacaan hasil yang salah (pembaca kurang pengalaman, bias, pencatatan salah)

Faktor-faktor yang berhubungandengan individu yang dites

• Penyakit-penyakit yang mempengaruhi organ- organ limfoid - (Hodgkin's disease, lymphoma, chronic lymphocytic leukemia, sarcoidosis)

• Usia (bayi baru lahir atau usia lanjut)

• Cara yang tidak benar (terlalu sedikit antigen atau injeksi terlalu dalam)

• Sesudah operasi

Faktor-faktor yang berhubungandengan prosedur tes

Clinical or epidemiologicrisk factor for tuberculosis

No

No

No tuberculin test Tuberculin test

Negative

High-risk exposurewithin 3 mo

Treatment oflatent tuberculosis

not indicated

Chest radiographyclinical evaluation

Normal chestradiograph

Symptoms (e.g., fever,cough, weight loss)

or abnormalchest radiograph

Evaluate for activetuberculosis

Positive

Yes

Yes

Evaluate for treatment oflatent tuberculosis infection

Page 4: Cme Infeksi Laten Tuberculosis

TINJAUAN PUSTAKA TINJAUAN PUSTAKA

105CDK 183/Vol.38 no.2/Maret - April 2011 106 CDK 183/Vol.38 no.2/Maret - April 2011

PENDAHULUANTuberkulosis (TB) merupakan penyakit dengan frekuensi cukup tinggi di negara berkembang seperti Indonesia. Sebagian besar penduduk, terutama di daerah-daerah endemis TB meru- pakan pembawa bakteri TB walaupun tidak menunjukkan gejala klinis (1,2).

Peningkatan jumlah penderita TB sangat mungkin dengan meningkatnya jumlah penderita HIV- AIDS karena penurunan sistem pertahanan tubuh penderita HIV-AIDS memudahkan penularan bakteri Mycobacterium tuberculosis (3-6).

Penderita TB dapat menunjukkan gejala klinis di rongga mulut, walaupun sangat jarang dan pada umumnya merupakan manifestasi sekun- der dari TB paru. (7,8,9)

Manifestasi TB di rongga mulut dapat berben-tuk ulserasi di dorsum lidah, gingiva, dasar mulut, mukosa bukal dan labial, palatum molle, tersering ditemukan di lidah. Sedangkan manifestasi HIV-AIDS di rongga mulut dapat bermacam-macam, di antaranya juga dapat berbentuk ulserasi. (2,5,7,8,10)

Ulserasi TB dan HIV-AIDS klinis sulit dibedakan, terutama apabila penderita HIV-AIDS juga penderita TB. Perlu keahlian untuk mendiag-nosis penderita TB, HIV-AIDS dan penderita HIV-AIDS disertai TB. (1)

TINJAUAN PUSTAKA1. Tuberkulosis Rongga MulutTuberkulosis rongga mulut (oral tuberculosis) dapat primer, tetapi umumnya merupakan mani- festasi sekunder tuberkulosis paru, (Eng, et al., 1996, cit Von Arx, Husain, 2001). Pada umum- nya lesi tuberkulosis terletak di lidah, kadang- kadang juga di gusi, dasar mulut, palatum, bibir, mukosa bukal. Di lidah dapat menyebabkan makroglosia dan memberi kesan glossitis(2).

Pada TB rongga mulut dijumpai pembesaran kelenjar limfe daerah preaurikular, trismus, trak- heitis dan laringitis (2).Tipe lesi tuberkulosis rongga mulut adalah granuloma, fissure, glossitis dan ulkus (2,8,9,10).

Gambaran klinis lesi ulkus TB rongga mulut bervariasi (Gambar. 1); umumnya :1. Tidak berbatas jelas 2. Terdapat granulasi pada dasar lesi.3. Tidak selalu nyeri

Diagnosis banding ulkus TB rongga mulut meliputi RAU (Recurrent Aphthous Ulceration), traumatic ulcer, syphilitic ulcers dan keganasan termasuk squamous cell carcinoma primer, limfoma. Oleh karena itu biopsi/pemeriksaan histopatologi sangat penting (2,12).

Jika histopatologis berbentuk granulomatosa, diagnosis banding adalah sarkoid, Crohn’s dise- ase, reaksi benda asing, sifilis tersier, dan Sindrom Melkersson-Rosenthal (2).

Diperlukan juga pemeriksaan sputum untuk mencari Mycobacterium tuberculosis dan pe- meriksaan radiologi (3).

2. Manifestasi HIV Rongga MulutA. ThrushCandida oral biasa ditemukan pada penderita HIV/AIDS, jarang pada penderita non-HIV/AIDS.B. LeukoplakiaHiperkeratinisasi dan infeksi virus Epstein Barr sering menimbulkan hairy leukoplakia yang jarang di- temukan pada penderita non-imunokompromis.C. GingivostomatitisKondisi rongga mulut penderita HIV-AIDS dapat sangat buruk sehingga mudah terkena stomatitis.Ulkus sangat sering terjadi pada penderita HIV-AIDS, baik disebabkan infeksi atau trauma.

HIV-AIDS dan Tuberkulosis Rongga MulutAnitasari S

Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman/PPDGS Bedah MulutFakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia

Gambar 1: Manifestasi Tuberkulosis Rongga Mulut (11)

TERAPI INFEKSI LATEN TUBERKULOSISSebuah serial penelitian klinik pembanding plasebo (Placebo-Controlled Clinical Trial) yang dilakukan oleh US Public Health Service (USPHS) telah mengukuhkan efektivitas pemberian paket pengobatan Isoniazid untuk mencegah reaktivasi tuberkulosis di antara individu dengan infeksi laten tuberkulosis.(17) Mekanisme kerja obat ini diperkirakan untuk sterilisasi basili tuberkel yang tidak aktif (quiescent tubercle bacilli) di dalam granuloma. Hasil penelitian studi besar di Eropa dan analisis penelitian USPHS men- dapatkan bahwa 9 bulan terapi adalah durasi yang optimal, sehingga masa durasi 9 bulan ini menjadi rekomendasi durasi terapi infeksi laten tuberkulosis. Terapi ini diharapkan dapat mengurangi risiko reaktivasi penyakit sebesar 75-90%. Meskipun demikian durasi terapi 6

bulan juga dapat mengurangi risiko reaktivasi sebesar 65%.(18) Oleh karena itu, baik 6 bulan maupun 9 bulan keduanya direkomendasi-kan, tetapi lebih dianjurkan paket 9 bulan. Paket rekomendasi ke tiga adalah Rifampicin selama 4 bulan, meskipun paket ini belum secara langsung dievaluasi. Paket rifampicin selama 3 bulan sama efektifnya dengan 6 bulan isoniazid (INH) pada infeksi laten tuberkulosis dan silikosis.(19)

Tabel 5. Paket Terapi Infeksi laten Tuberkulosis untuk Mencegah Reaktivasi Penyakit Tuberkulosis pada Orang Dewasa.(1)

Peranan program terapi infeksi laten tuberku-losis untuk mengontrol tuberkulosis tergan-tung pada prevalensi penyakit tuberkulosis di suatu populasi. Jika prevalensi di populasi ter- sebut tinggi maka fokus program Kontrol TB harus berupa pencegahan peningkatan muncul- nya infeksi laten tuberkulosis melalui identi-fikasi dan terapi kasus-kasus aktif secara tepat. Setelah hal ini telah tercapai maka fokus se- lanjutnya dapat diarahkan untuk identifikasi dan terapi individu dengan infeksi laten tuber- kulosis. Mereka yang berisiko paling tinggi untuk berkembangnya infeksi laten tuberkulosis menj- adi penyakit aktif harus menjadi target terapi.(1)

SIMPULANInfeksi laten M. tuberculosis menantang atau menghambat usaha dunia untuk mengontrol penyakit tuberkulosis. Kurangnya informasi tentang kondisi basilus selama periode klinis laten menyulitkan pembuatan model-model penelitian di laboratorium. Model-model hewan yang dapat merefleksikan kondisi tubuh manusia juga sulit dibuat dan dipelajari. Meskipun demikian sistem-sistem in vitro maupun in vivo terus dikembangkan untuk memberikan kon- tribusi pemahaman kita tentang proses tuber- kulosis laten ini.

Respons pejamu yang penting dalam mengon- trol infeksi laten antara lain: aktivasi makrofag, mempertahankan struktur granuloma, sel-sel T CD4 dan CD8, IFN-γ, dan TNF-α. Meskipun demikian perlu juga diteliti kontribusi sitokin- sitokin atau kemokin-kemokin lain, termasuk faktor-faktor imun pejamu lain dalam peranan- nya untuk mengontrol infeksi laten tuberkulosis.

Di samping faktor-faktor penjamu, M. tuber- culosis juga berperan menciptakan kondisi infeksi laten tersebut melalui serangkaian mekanisme atau strategi untuk menghindari eliminasi oleh sistem imun pejamu. Mikobakterium dapat me- nunggu turunnya sistem imun untuk kembali menyebabkan infeksi aktif tuberkulosis.

Pertempuran konstan dan terus menerus antara sistem imun pejamu dengan M. tuberculosis umumnya terjadi di dalam granuloma. Keseim- bangan dalam lingkungan imun lokal di granu- loma ini akan menentukan apakah infeksi akan tetap laten atau mengalami reaktivasi menjadi infeksi aktif tuberkulosis. Penelitian-penelitian lebih lanjut pada tingkat granuloma atau imu- nologi seluler akan makin menjelaskan meka-nisme interaksi yang sangat kompleks ini.

DAFTAR PUSTAKA1. Harsburgh-Jr CR. Latent Tuberculosis Infection. In: Helden SHEKdPv, ed. Handbook of Tuberculosis: Clinics, Diagnostics, Therapy and Epidemiology. Weinheim: Wiley-VCH Verlag GmbH&Co; 2008.2. Manabe YC, Bishai WR. Latent Mycobacterium tuberculosis-persis- tence, patience, and winning by waiting. Nat Med. 2000;6(12).3. Tufariello JM, Chan J, Flynn JL. Latent tuberculosis: mechanisms of host and bacillus that contribute to persistent infection. Lancet Infect Dis. 2003 Sep;3(9):578-90.4. Hertz CJ, Kiertscher SM, Godowski PJ. Microbial lipopeptides stimulates dendritic cell maturation via Toll-like receptor 2. J Immunol. 2001; 166:2444-50.5. Bodnar KA, Serbina NV, Flynn JL. Interaction of Mycobacterium tuber- culosis with murine dendritic cells. Infect Immun. 2001;69:800-9.6. Flynn JL, Chan J, Triebold KJ, Dalton DK, Stewart TA, Bloom BR. An Essential Role for Interferon g in Resistance to Mycobacterium tuberculosis Infection. J Exp Med.1993;178:2249-54.7. Cooper AM, Dalton DK, Stewart TA, Griffen JP, Russell DG, Orme IM. Disseminated tuberculosis in interferon gamma genedisrupted mice. J Exp Med. 1993;178:2243-8.8. Ottenhof TH, Kumararatne D, Cassanova JL. Novel human immuno- deficiencies reveal the essential role of type-1 cytokines in immunity to intracellular bacteria. Immunol Today. 1998;19:491-4.9. Oddo M, Renno T, Attinger A, Bakker T, MacDonald HR, Meylan PRA. Fas-ligand induced apoptosis of infected human macro- phages reduces the viability of intracellular Mycobacterium tuberculosis. J Immunol. 1998;160:5448-54.10. Ting LM, Kim AC, Cattamanchi A, Ernst JD. Mycobacterium tuberculosis inhibits IFN-gamma transcriptional responses without inhibiting activation of STAT1. J Immunol. 1999;163(7):3898-906.11. Maglione PJCJ. Killing mechanisms of the host against Mycoba- cterium tuberculosis. In: Kaufmann SHEBW, editor. Handbook of Tuberculosis. Weinheim: Wiley-VCH; 2008.12. Sturgill-Koszycki S, Schlesinger PH, Chakraborty P, Haddix PL, Collins HL, Fok AK, et al. Lack of acidification in Mycobacterium phago- somes produced by exclusion of the vesicular proton- ATPase. Science. 1994;263:678-81.13. Jasmer RM, Nahid P, Hopewell P. Latent tuberculosis infection. N Engl J Med. 2002;347(23).14. Wang L, Turner MO, Elwood RK, Schulzer M, FitzGerald JM. A meta- analysis of the effect of Bacille Calmette Guerin vaccination on tuberculin skin test measurements. Thorax. 2002;57:804-9.15. Hopewell PC, Bloom BR. Tuberculosis and other mycobacterial diseases. In: Murray, Nadel, Mason, Boushey, editors. Textbook of Respiratory Medicine: W B Saunders Company; 2000.16. Nahid P, Pai M, Hopewell PC. Advances in the diagnosis and treatment of tuberculosis. Proc Am Thorac Soc. 2006;3:103-10.17. Ferebee SH. Controlled chemoprophylaxis trials in tuberculosis. Bibliotheca Tuberculosea. 1970;26:28-106.18. Efficacy of various durations of isoniazid preventive therapy for tuberculosis: five years of follow-up in the IUAT trial: International Union against Tuberculosis Committee on Prophylaxis1982.19. Service HC, Centre TR. A double-blind placebo-controlled clinical trial of three antituberculosis chemoprophylaxis regimens in patients with silicosis in Hong Kong. Am Rev Respir Dis. 1992;145:36-41.

Sejumlah kondisi medis telah dihubungkan dengan peningkatan risiko reaktivasi tuberku-losis apabila tanpa terapi infeksi laten tuber- kulosis. Tidak ada studi yang melaporkan per- kiraan risiko relatif obat penekan sistem imun, seperti prednison, tetapi diasumsikan risiko penggunaan jangka panjang obat kortikos- teroid dosis tinggi adalah sama dengan peng- gunaan infliximab. Selain itu, tidak ada studi yang memperkirakan derajat peningkatan risiko pada penderita kanker baik dengan mau- pun tanpa kemoterapi.(1)

Tabel 4. Risiko Relatif Reaktivasi Tuberkulosis Individu dengan Kondisi Medis yang Menurunkan Kontrol Imunologi terhadap M. tuberculosis.(1)

Infeksi HIV lanjut

Bekas TB yang telah sembuh

Gagal Ginjal Kronis

Terapi Infliximab

Diabetes Tidak terkontrol

Berat Badan Kurang (> 10%)

Gastrektomi

Semua kasus Diabetes

Silikosis

Kondisi Medis Risiko Relatif (95% CI)

9.8 (8.1 - 13)

5.2 (3.4 - 8.0)

2.4 (2.1 - 2.8)

2.0 (1.1 - 3.5)

1.7 (1.5 - 2.2)

1.6 (1.1 - 2.2)

1.3 (1.1 - 1.7)

1.3 (1.1 - 1.4)

1.3 (1.1 - 1.7)

Bekas TB yang telah sembuh 5.2 (3.4 - 8.0)

Terapi Infliximab 2.0 (1.1 - 3.5)

Berat Badan Kurang (> 10%) 1.6 (1.1 - 2.2)

Semua kasus Diabetes 1.3 (1.1 - 1.4)

Obat Dosis Interval dan Durasi

Isoniazid

Rifampicin

Isoniazid

300 mg per oral

600 mg per oral

600 mg per oral

Setiap hari

selama 6 - 9 bulan

Dua kali seminggu

selama 6 - 9 bulan

Setiap hari

selama 4 bulan