Case Spondilitis TB
-
Upload
anitacharis -
Category
Documents
-
view
215 -
download
0
description
Transcript of Case Spondilitis TB
BAB I
REKAM MEDIS
1.1. IDENTITAS PASIEN
Nama : Nn. ER
Umur : 16 Tahun
Pekerjaan : Siswa
Alamat : Marga Catur
Jenis kelamin : Perempuan
Kebangsaan : Indonesia
No. Reg : 02.15.01.201400000963.001
1.2. ANAMNESIS
Diambil dari Autoanamnesis tanggal 28 Agustus 2014. Pukul 16.00 WIB
Keluhan Utama
Nyeri pinggang sejak 1 bulan SMRS
Keluhan Tambahan
Timbul benjolan pada punggung kiri, tulang belakang menonjol, lemas pada kaki, batuk
lama, penurunan berat badan dan keringat malam
Riwayat Perjalanan Penyakit
Os datang ke RSAM dengan keluhan nyeri pinggang sejak 1 bulan SMRS. Os
mengatakan keluhan nyeri dirasakan hilang timbul dan memberat akhir-akhir ini. Selain
itu Os mengatakan sejak 1,5 bulan SMRS os mengeluhkan timbul benjolan pada bagian
punggung. Benjolan dirasakan nyeri apabila ditekan, berbatas tegas dan dapat
digerakkan. Os mengatakan sejak 1 bulan SMRS tulang belakangnya menonjol
kebelakang dan menyebabkan os bungkuk. Os juga mengatakan kami pasien mulai
terasa lemas dan sulit untuk berjalan lama. Os mengatakan buang air besar dan buang
air kecil masih dapat dikendalikan oleh os.
Sebelumnya sekitar 2 bulan SMRS os mengalami batuk hingga saat ini. Keluhan batuk
tidak disertai dahak ataupun darah. Keluhan batuk dirasakan Os hilang timbul. Selain
itu os juga mengatakan mengalami penurunan berat badan hingga saat ini dan nafsu
makan os juga menurun. Os juga mengeluh sering berkeringat apabila pada malam hari.
Riwayat meminum obat paket 6 bulan dikatakan os tidak ada.
Riwayat Penyakit dalam Keluarga
- Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama dalam keluarga dikatakan tidak ada.
- Riwayat penyakit batuk-batuk lama dalam keluarga dan orang di sekitar pasien
dikatakan os tidak ada
Riwayat Masa Lampau
a. Penyakit terdahulu : R/hipertensi -, R/ Kencing Manis –
b. Trauma Terdahulu : tidak ada
c. Operasi : Tidak ada
d. Sistem Saraf : Tidak ada
e. Sistem Kardiovaskular : Tidak ada
f. Sistem Gastrointestinal : Tidak ada
g. Sistem Urinarius : Tidak ada
h. Sistem genitalis : Tidak ada
i. Sistem Muskuloskeletal : Tidak ada
II. STATUS PRESENT
A. Status Umum
- Keadaan umum : Tampak sakit sedang
- Kesadaran : Compos Mentis
- Tinggi badan : 155 cm
- Berat badan : 40 kg
- IMT : 16,65 (Underweight)
- Kulit : Edema -, Sianosis –
B. Pemeriksaan Fisik
Tanda Vital
- Tekanan Darah :
- Nadi : 92 x/menit
- Pernafasan : 20 x/menit
- Suhu : 36,5 oC
Kepala Dan Muka
- Pupil : Isokor, refleks cahaya +/+
- Kepala : Tidak ada kelainan
- Kelenjar - kelenjar: Tidak ada kelainan
- Thoraks : Lihat status lokalis
- Abdomen : Tidak ada kelainan
- Vertebra Lumbal: Lihat status lokalis
- Ekstremitas atas : Tidak ada kelainan
- Ekstremitas bawah: Lihat status lokalis
Status Lokalis
Regio thorax
I : statis dinamis simetris kanan = kiri
P : stemfremitus kanan = kiri
P : sonor pada kedua hemithorax
A : Cor: denyut jantung 92 x/menit. Murmur (-), gallop (-)
Pulmo: vesikuler (+) normal pada kedua hemithorax, ronchi basah (-), Wheezing
(-)
Regio Vertebra Lumbal
I : benjolan setinggi L3.
P : keras, fluktuasi (-)
Regio Ekstremitas inferior dextra et sinistra
I : tidak tampak kelainan
P : rangsangan nyeri (+)
Status Neurologikus
Ekstremitas Superior Ekstremitas Inferior
Kanan Kiri Kanan Kiri Motorik +5 +5 +3 +3Sensorik N N Parastesi
Femur anteriorParastesiFemur anterior
- Refleks patologis (-)
1.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Hemoglobin : 113,6 g/dl
Hematokrit : 39 vol %
Leukosit : 7600 /mm3
LED : 57 mm/jam
Hitung jenis :0/5/0/65/26/4
BSS : 105 mg/d1
Natrium : 140 mmol/l
Kalium : 3,5 mmol/l
Pemeriksaan Sputum
BTA I : (-)
BTA II : (-)
BTA III : (-)
Radiologis:
1.5. DlAGNOSA KERJA
Spondilitis TB
1.6 DIAGNOSIS BANDING
Tumor vertebra
1.6. PENATALAKSANAAN
o Rifampisin oral 1 x 450 mg
o INH oral 1 x 400 nmg
o Etambutol oral 1 x 500 mg
o Pirazinamid 1 x 250 mg
o PSSW 3 minggu setelah kemoterapi anti.tuberkulosis
o Rencana pemeriksaan Kultur BTA dan Tes Mantoux
o Rencana Fisioterapi
1.7. PROGNOSIS
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad fungtionam : Dubia ad bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 PENDAHULUAN
Tuberkulosis tulang belakang atau dikenal juga dengan spondilitis tuberkulosa
merupakan peradangan granulomatosa yang bersifat kronik destruktif oleh
mikobakterium tuberkulosa. Tuberkulosis tulang belakang selalu merupakan infeksi
sekunder dari fokus di tempat lain dalam tubuh. Percivall Pott (1793) yang pertama kali
menulis tentang penyakit ini dan menyatakan bahwa terdapat hubungan antara penyakit
ini dengan deformitas tulang belakang yang terjadi, sehingga penyakit ini disebut juga
sebagai penyakit Pott.1
Spondilitis tuberkulosa merupakan 50% dari seluruh tuberkulosis tulang dan
sendi yang terjadi. Di Ujung Pandang insidens spondilitis tuberkulosa ditemukan
sebanyak 70% dan Sanmugasundarm juga menemukan persentase yang sama dari
seluruh tuberkulosis tulang dan sendi. Spondilitis tuberkulosa terutama ditemukan pada
kelompok umur 2-10 tahun dengan perbandingan yang hampir sama antara wanita dan
pria.
Spondilitis paling sering ditemukan pada vertebra T8-L3, dan paling jarang pada
vertebra C1-C2. Spondilitis tuberculosis biasanya mengenai korpus vertebra, tetapi
jarang menyerang arkus vertebra.2
2.2 ETIOLOGI
Tuberkulosis tulang belakang merupakan infeksi sekunder dari tuberkulosis di
tempat lain di tubuh, 90-95% disebabkan oleh mikobakteriumn tuberkulosis tipik (2/3
dari tipe human dan 1/3 dari tipe bovin) dan 5-10% oleh mikobakterium tuberkulosa
atipik. Lokalisasi spondilitis tuberkulosa terutama pada daerah vertebra torakal bawah
dan lumbal atas1, sehingga diduga adanya infeksi sekunder dari suatu tuberkulosis
traktus urinarius, yang penyebarannya melalui pleksus Batson pada vena
paravertebralis.
2.3 PATOFISIOLOGI
Penyakit ini pada umumnya mengenai lebih dari satu vertebra. Infeksi berawal
dari bagian sentral, bagian depan atau daerah epifisial korpus vertebra. Kemudian
terjadi hiperemi dan eksudasi yang menyebabkan osteoporosis dan perlunakan korpus.
Selanjutnya terjadi kerusakan pada korteks epifisis, diskus intervertebralis dan
vertebra sekitarnya. Kerusakan pada bagian depan korpus ini akan menyebabkan
terjadinya kifosis (Gambar 1).
Gambar 1. Gambar skematis terjadinya kifosis pada tulang belakang (penyakit Pott) akibat osteomielitis
tuberkulosa.
Kemudian eksudat (yang terdiri atas serum, leukosit, kaseosa, tulang yang
fibrosis serta basil tuberkulosa) menyebar ke depan, di bawah ligamentum longitudinal
anterior. Eksudat ini dapat menembus ligamentum dan berekspansi ke berbagai daerah
di sepanjang garis ligamen yang lemah.
Pada daerah servikal, eksudat terkumpul di belakang fasia paravertebralis dan
menyebar ke lateral di belakang muskulus sternokleidomastoideus. Eksudat dapat
mengalami protrusi ke depan dan menonjoi ke dalam faring yang dikenal sebagai abses
faringeal. Abses dapat berjalan ke mediastinum mengisi tempat trakea, esofagus atau
kavum pleura.
Abses pada vertebra torakalis biasanya tetap tinggal pada daerah toraks setempat
menempati daerah paravertebral, berbentuk massa yang menonjol dan fusiform. Abses
pada daerah ini dapat menekan medula spinalis sehingga timbul paraplegia.
Abses pada daerah lumbal dapat menyebar masuk mengikuti muskulus psoas
dan muncul di bawah ligamentum inguinal pada bagian medial paha. Eksudat juga
dapat menyebar ke daerah krista iliaka dan mungkin dapat mengikuti pembuluh darah
femoralis pada trigonum skarpei atau regio glutea. Kumar membagi perjalanan penyakit
ini dalam 5 stadium yaitu:
1. Stadium implantasi.
Setelah bakteri berada dalam tulang; maka bila daya tahan tubuh penderita
menurun, bakteri akan berduplikasi membentuk koloni yang berlangsung selama 6-
8 minggu. Keadaan ini umumnya terjadi pada daerah paradiskus dan pada anak-
anak umumnya pada daerah sentral vertebra.
2. Stadium destruksi awal.
Setelah stadium implantasi, selanjutnya terjadi destruksi korpus vertebra serta
penyempitan yang ringan pada diskus. Proses ini berlangsung selama 3-6 minggu.
3. Stadium destruksi lanjut.
Pada stadium ini terjadi destruksi yang masif, kolaps vertebra dan terbentuk massa
kaseosa serta pus yang berbentuk coldabses (abses dingin), .yang terjadi 2-3 bulan
setelah stadium destruksi awal. Selanjutnya dapat terbentuk sekuestrum serta
kerusakan diskus intervertebralis. Pada saat ini terbentuk tulang baji terutama di
sebelah depan (wedging anterior) akibat kerusakan korpus vertebra, yang
menyebabkan terjadinya kifosis atau gibus.
4. Stadium gangguan neurologis.
Gangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang terjadi,
tetapi terutama ditemukan oleh tekanan abses ke kanalis spinalis. Gangguan ini
ditemukan 10% dari seluruh komplikasi spondilitis tuberkulosa. Vertebra
torakalis mempunyai kanalis spinalis yang lebih kecil sehingga gangguan
neurologis lebih mudah terjadi pada daerah ini.
Bila terjadi gangguan neurologis, maka perlu dicatat derajat kerusakan paraplegia, yaitu:
1. Derajat I
Kelemahan pada anggota gerak bawah terjadi setelah melakukan aktivitas atau
setelah berjalan jauh. Pada tahap ini belum terjadi gangguan saraf sensoris.
2. Derajat II
Terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah tapi penderita masih dapat
melakukan pekerjaannya
3. Derajat III
Terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah yang membatasi
gerak/aktivitas penderita serta hipestesia/anestesia
4. Derajat IV
Terjadi gangguan saraf sensoris dan motoris disertai gangguan defekasi dan
miksi. Tuberkulosis paraplegia atau Pott paraplegia dapat terjadi secara dini
atau lambat tergantung dari keadaan penyakitnya.
Pada penyakit yang masih aktif, paraplegia terjadi oleh karena tekanan
ekstradural dari abses paravertebral atau akibat kerusakan langsung sumsum tulang
belakang oleh adanya granulasi jaringan. Paraplegia pada penyakit yang sudah
tidak aktif/sembuh terjadi oleh karena tekanan pada jembatan tulang kanalis
spinalis atau oleh pembentukan jaringan fibrosis yang progresif dari jaringan
granulasi tuberkulosa. Tuberkulosis paraplegia terjadi secara perlahan dan dapat
terjadi destruksi tulang disertai angulasi dan gangguan vaskuler vertebra.
Derajat I-III disebut sebagai paraparesis dan derajat IV disebut sebagai paraplegia.
5. Stadium deformitas residual.
Stadium ini terjadi kurang lebih 3-5 tahun setelah timbulnya stadium
implantasi. Kifosis atau gibus bersifat permanen oleh karena kerusakan vertebra
yang masif di sebelah depan.
2.4 GAMBARAN KLINIS
Secara klinik gejala tuberkulosis tulang belakang hampir sama dengan
gejala tuberkulosis pada umumnya, yaitu badan lemah/lesu, nafsu makan
berkurang, berat badan menurun, suhu sedikit meningkat (subfebril) terutama
pada malam . hari serta sakit pada punggung. Pada anak-anak sering disertai
dengan menangis pada malam hari (night cries).
Pada tuberkulosis vertebra servikal dapat ditemukan nyeri di daerah
belakang kepala, gangguan menelan dan gangguan pernapasan akibat adanya
abses retrofaring. Kadangkala penderita datang dengan gejala abses pada
daerah paravertebral, abdominal, inguinal, poplitea atau bokong, adanya
sinus pada daerah paravertebral atau penderita datang dengan gejala-gejala
paraparesis, gejala paraplegia, keluhan gangguan pergerakan tulang belakang
akibat spasme atau gibus (gambar 2).
A B C
Gambar 2. Gambaran lesi lanjut osteomielitis tuberkulosa pada lulang belakang.
Gambaran kilnis gibbus (A) gambaran destruksl korpus disertai penyempltan ruang
intervertebral (B) dan gambaran patologis (C).
2.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium
1. Peningkatan laju endap darah dan mungkin disertai dengan leukositosis
2. Uji Mantoux positif
3. Pada pemeriksaan biakan kuman mungkin ditemukan mikobakterium
4. Biopsi jaringan granulasi atau kelenjar linfe regional
5. Pemeriksaan histopatologis dapat ditemukan tuberkel
Pemeriksaan radiologis
1. Pemeriksaan foto toraks untuk melihat adanya tuberkulosis paru
2. Poto polos vertebra, ditemukan osteoporosis, osteolitik dan destruksi korpus vertebra,
disertai penyempitan diskus intervertebralis yang berada diantara korpus tersebut dan
mungkin dapat ditemukan adanya massa abses paravertebral.
3. Pada foto AP, abses paravertebral di daerah servikal berbentuk sarang burung (bird's
nets), di daerah torakal berbentuk bulbus dan pada daerah lumbal abses terlihat
berbentuk fusiform
4. Pada stadium lanjut terjadi destruksi vertebra yang hebat sehingga timbal kifosis
5. Pemeriksaan foto dengan zat kontras
6. Pemeriksaan mielografi dilakukai bila terdapat gejala-gejala penekanan sumsum
tulang
7. Pemeriksaan CT scan atau CT dengan mielografi
8. Pemeriksaan MRI
2.6. Diagnosis Diferensial
Spondilitispiogenik
salah satu penyakit dengan presentasi gejala yang serupa dengan spondilitis TB dan
tidak mudah untuk membedakan keduanya tanpa pemeriksaan penunjang yang
adekuat. Spondilitis piogenik umumnya disebabkan oleh Staphylococcusaureus,
Streptococcus, dan Pneumococcus. Secara epidemiologi, spondilitis piogenik lebih
sering menyerang usia produktif, sekitar usia 30–50 tahun. Hingga saat ini, prevalensi
spondilitis piogenik dilaporkan meningkat diakibatkan banyaknya penyalahgunaan
antibiotik, tindakan invasif spinal, pembedahan spinal. Dilain pihak, jumlah kasus baru
spondilitis TB semakin berkurang dengan penggunaan OAT. Spondilitis piogenik
memiliki perjalanan yang lebih akut dengan gejala yang hamper sama dengan
spondilitis TB. Vertebra servikal dan lumbal lebih sering terlibat, dibandingkan dengan
spondilitis TB yang lebih sering menyerang vertebra torakolumbal lebih dari satu
vertebra
Dari segi hematologis, CRP, laju endap darah (LED), jumlah leukosit,dan hitung jenis dapat
membantu diagnosis. Pada spondilitis piogenik, peningkatan CRP lebih bermakna
dibandingkan peningkatan LED, meskipun pada beberapa kasus dapat normal. Telah
dilakukan studi untuk membedakan kedua penyakit melalui MRI . Jung dkk menjabarkan
beberapa perbedaan temuan MRI secara rinci yang mengarahkan pada infeksiTB:
1) Sinyal abnormal paraspinal berbatas tegas.
2) Dinding abses tipis dan halus.
3) Adanya abses paraspinal dan intraoseus.
4) Penyebaran subligamen lebih dari vertebra.
5) Keterlibatanvertebra torakal.
6) Lesimultipel. Bila ada temuan radiologisselainyang disebutkan diatas, tampaknya
diagnosis infeksi piogenik lebih mungkin. Penelitian oleh Harada
dkkmenambahkan bahwa adanya sinyal abnormal pada sendi faset merupakan
karakteristik infeksi piogenik. Kulturdan pewarnaanGram spesimentulangyang
diambilmelalui biopsiperkutan/terbuka dapat memastikan diagnosisnamun
tindakan initermasuktindakaninvasif.
Tumor metastatik spinal
mencakup persen bagian dari semua tumor tulang belakangyang mengakibatkankompresi
medula spinalis. Insiden tertinggi kasus tumormetastasikspinal padausiadiatas50 tahun.
Urutansegmen yangseringterlibat yaitutorakal,lumbardanservikal.Neoplasma
dengankecenderunganbermetastasis ke medula spinalismeliputi tumor payudara,
prostat,paru,limfoma, sarkoma,danmieloma multipel.Metastasiskeganasansalurancerna
danronggapelvisrelatifmelibatkanvertebra lumbosakral, sedangkankeganasanparudan
mamaelebihsering melibatkanvertebra torakal.
Keganasanprimerpada pasienanak-anak yangcukupseringmenyebabkan kompresi
medulaspinalis meliputineuroblastoma, SarkomaEwing,dan hemangioma. Formasi
absesdanadanya fragmen tulangadalah temuanMRIyang dapatmembedakan
spondilitisTBdarineoplasma.1
DIAGNOSIS
Diagnosis spondilitis tuberkulosa dapat ditegakkan berdasarkan
gambaran klinis dan pemeriksaan radiologis. Untuk melengkapkan
pemeriksaan, maka dibuat suatu standar pemeriksaan pada penderita tuberkulosis
tulang dan sendi, yaitu:
1. Pemeriksaan klinik dan neurologis yang lengkap
2. Foto tulang belakang posisi AP dan lateral
3. Foto polos toraks posisi PA
4. Uji Mantoux
5. Biakan sputum dan pus untuk menemukan basil tuberkulosa
2.7 PENGOBATAN
Prinsipnya pengobatan tuberkulosis tulang belakang harus dilakukan
sesegera mungkin untuk menghentikan progresivitas penyakit serta mencegah
paraplegia.
Pegobatan terdiri atas:
1. Terapi konservatif berupa:
a. Tirah baring (bed rest)
b. Memperbaiki keadaan umum penderita
c. Pemasangan brace pada penderita, baik yang dioperasi ataupun yang tidak
dioperasi
d. Pemberian obat antituberkulosa
Obat-obatan yang diberikan terdiri atas:
· Isonikotinikhidrasit (INF) dengan dosis oral 5 mg/kg berat badan per
hari dengan dosis maksimal 300 mg. Dosis oral pada anak-anak 10 mg/kg
berat badan.
· Asam para amino salisilat Dosis oral 8-12 mg/kg berat badan.
· Etambutol. Dosis oral 15-25 mg/kg berat badan per hari.
· Rifampisin. Dosis oral 10 mg/kg berat badan diberikan pada anak-anak.
Pada orang dewasa 300-400 mg per hari.
Untuk mendapatkan hasil pengobatan yang efektif dan mencegah
terjadinya kekebalan kuman tuberkulosis terhadap obat yang diberikan maka
diberikan kombinasi beberapa obat tuberkulostatik. Regimen yang
dipergunakan di Amerika dan di Eropa adalah INH dan Rifampisin selama 9
bulan. INH + Rifampisin + Etambutol diberikan selama 2 bulan dilanjutkan
dengan pemberian INH + Rifampisin selama 7 bulan, Di Korea diberikan
kombinasi antara INH + Rifampisin selama 6-12 bulan atau INH + Etambutol
selama 9-18 bulan
Standar pengobatan di Indonesia berdasarkan program,P2TB paru adalah:
· Kategori 1
Untuk penderita baru BTA (+) dan BTA (-)/rontgen (+), diberikan dalam dua
tahap, yaitu:
o Tahap I, diberikan Rifampisin 450 mg, Etambutol 750 mg, INH 300
mg dan Pirazinamid 1.500 mg. 0bat diberikan setiap hari selama 2 bulan
pertama (60 kali).
o Tahap II, diberikan Rifampisin 450 mg dan INH 600 mg. Obat
diberikan tiga kali seminggu (intermiten) selama 4 bulan (54 kali).
· Kategori 2
Untuk penderita baru BTA . (+) yang sudah pernah minum obat selama
lebih sebulan, termasuk penderita dengan BTA (+) yang kambuh/gagal yang
diberikan dalam dua tahap, yaitu:
o Tahap I, diberikan Streptomisin 750 mg (injeksi), INH 300 mg,
Rifampisin 450 mg, Pirazinamid 1.500 mg dan Etambutol 750 mg, Obat
diberikan setiap hari, Streptomisin injeksi hanya 2 bulan pertama (60
kali) dan obat lainnya selama 3 bulan (90 kali).
o Tahap II, diberikan INH 600 mg, Rifampisin 450 mg dan Etambutol
1.250 mg. Obat diberikan 3 kali seminggu (intermiten) selama 5 bulan (66
kali),
Kriteria penghentian pengobatan yaitu apabila:
· Keadaan umum penderita bertambah baik
· Laju endap darah menurun dan menetap
· Gejala-gejala klinis berupa nyeri dan spasme berkurang
· Gambaran radiologik ditemukan adanya union pada vertebra
2. Terapi Operatif
Walaupun pengobatan kemoterapi merupakan pengobatan utama bagi
penderita tuberkulosis tulang belakang, namun tindakan operatif masih
memegang peranan penting dalam beberapa hal, yaitu bila terdapat cold
abses (abses dingin), lesi tuberkulosa, paraplegia dan kifosis.
· Abses dingin (Cold Abses)
Cold abses yang kecil tidak memerlukan tindakan operatif oleh karena
dapat terjadi resorpsi spontan dengan pemberian obat tuberkulostatik.
Pada abses yang besar dilakukan drainase bedah.
Ada tiga Cara untuk menghilangkan lesi tuberkulosa, yaitu:
a.debridemen fokal
b.kosto-transversektomi
c.debridemen fokal radikal yang disertai bone graft di bagian depan
· Paraplegia
Penanganan yang dapat dilakukan pada paraplegia, yaitu:
a. Pengobatandengankemoterapisemata-mata
b. Laminektomi
c. Kosto-transveresektomi
d. Operasiradikal
e. Osteotomi pada tulang baji secara tertutup dari belakang
lndikasi operasi
a. Bila dengan terapi konservatif tidak terjadi perbaikan paraplegia atau malah
semakin berat. Biasanya tiga minggu sebelum tindakan operasi dilakukan,
setiap spondilitis tuberkulosa diberikan obat tuberkulostatik.
b. Adanya abses yang besar sehingga diperlukan drainase abses secara terbuka dan
sekaligus debrideman serta bone graft
c. Pada pemeriksaan radiologis baik dengan foto polos, mielografi ataupun pemeriksaan
CT dan MRI ditemukan adanya penekanan langsung pada medula spinalis
Operasi kifosis
Operasi kifosis dilakukan bila terjadi deformitas yang hebat. Kifosis mempunyai
tendensi untuk bertambah berat terutama pada anak-anak.Tindakan operatif dapat
berupa fusi posterior atau melalui operasi radikal.