Bronko Pneumonia

63
Case Report PNEUMONIA NEONATAL Oleh : Marhamah Hasnul 0910312138 Preseptor: Prof . dr. Darfious Basir, Sp. A (K) dr. Didik Hariyanto, Sp. A (K) BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK

Transcript of Bronko Pneumonia

Page 1: Bronko Pneumonia

Case Report

PNEUMONIA NEONATAL

Oleh :

Marhamah Hasnul

0910312138

Preseptor:

Prof. dr. Darfious Basir, Sp. A (K)

dr. Didik Hariyanto, Sp. A (K)

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

PADANG

2014

Page 2: Bronko Pneumonia

BAB 1

TINJAUAN PUSTAKA

1.1. Pneumonia Neonatal

1.1.1. Definisi

Pneumonia adalah infeksi akut parenkim paru yang meliputi

alveolus dan jaringan interstisial.1 Salah satu definisi klinis klasik

menyatakan pneumonia adalah penyakit respiratorik yang ditandai dengan

batuk, sesak napas, demam, ronki basah, dengan gambaran infiltrat pada

foto rontgen toraks.2 Dikenal istilah lain yang mirip yaitu pneumonitis

yang maksudnya lebih kurang sama. Banyak yang menganut pengertian

bahwa pneumonia adalah inflamasi paru karena proses infeksi sedangkan

pneumonitis adalah inflamasi paru non-infeksi.3

1.1.2. Epidemiologi

Menurut Riskesdas 2007 pneumonia merupakan penyebab

kematian kedua setelah diare pada bayi dan anak balita di Indonesia.4

Pneumonia merupakan penyakit yang menjadi masalah di berbagai negara

terutama di negara berkembang termasuk Indonesia. Insiden pneumonui

pada anak usia dibawah 5 tahun di negara maju adalah 2-4 kasus/100

anak/tahun, sedangkan di negara berkembang 10-20 kasus/100

anak/tahun.1 Insiden penyakit ini pada negara berkembang hampir 30%

pada anak-anak di bawah umur 5 tahun dengan resiko kematian yang

tinggi, sedangkan di Amerika pneumonia menunjukkan angka 13% dari

seluruh penyakit infeksi pada anak di bawah umur 2 tahun. Laporan WHO

1999 menyebutkan bahwa penyebab kematian tertinggi akibat penyakit

infeksi di dunia adalah infeksi saluran napas akut termasuk

bronkopneumonia dan influenza.5 Pneumonia menyebabkan lebih dari 5

juta kematian per tahun pada anak balita di negara berkembang.1

1.1.3. Klasifikasi

Beberapa ahli telah membuktikan bahwa pembagian pneumonia

berdasarkan etiologi terbukti secara klinis dan memberikan terapi yang

lebih relevan.6

2

Page 3: Bronko Pneumonia

a. Berdasarkan lokasi lesi di paru

Pneumonia lobaris

Pneumonia lobularis

neumonia intersitialis

b. Berdasarkan asal infeksi

Pneumonia yang didapat dari masyarakat (community acquired

pneumonia)

Pneumonia yang didapat dari Rumah Sakit (hospital acquired

pneumonia)

c. Berdasarkan mikroorganisme penyebab

Pneumonia bakteri

Pneumonia virus

Pneumonia mikoplasma

Pneumonia jamur

d. Berdasarkan karakteristik penyakit pneumonia

Pneumonia tipikal

Pneumonia atipikal

e. Berdasarkan lama penyakit

Pneumonia akut

Pneumonia persisten

Klasifikasi ISPA dalam program P2 ISPA juga dibedakan untuk golongan

umur kurang dari 2 bulan dan golongan umur balita 2 bulan – 5 tahun :

a. Golongan umur kurang dari 2 bulan ada 2 klasifikasi yaitu:

1. Pneumonia Berat.

Anak dengan tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam atau

nafas cepat (60 kali per menit atau lebih). Tarikan dinding dada

kedalam terjadi bila paru-paru menjadi “kaku” dan mengakibatkan

perlunya tenaga untuk menarik nafas. Anak dengan tarikan dinding

dada ke dalam, mempunyai resiko meninggal yang lebih besar

dibanding dengan anak yang hanya menderita pernafasan cepat.

Penderita pneumonia berat juga mungkin disertai tanda-tanda lain

seperti :

3

Page 4: Bronko Pneumonia

a) Napas cuping hidung, hidung kembang kempis waktu bernafas.

b) Suara rintihan

c) Sianosis (Kulit kebiru-biruan karena kekurangan oksigen).

d) Wheezing yang baru pertama dialami.

2. Bukan Pneumonia

Bila tidak ditemukan adanya tarikan kuat ke dalam dinding dada

bagian bawah atau nafas cepat yaitu < 60 kali per menit (batuk,

pilek, biasa). Tanda bahaya untuk golongan umur kurang dari 2

bulan ini adalah : kurang bisa minum, kejang, kesadaran menurun,

stridor, wheezing, gizi buruk, demam/dingin.

b. Golongan umur 2 bulan – 5 tahun ada 3 klasifikasi, yaitu :

1. Pneumonia Berat, bila disertai nafas sesak dengan adanya tarikan

dada bagian bawah ke dalam waktu anak menarik nafas, dengan

catatan anak harus dalam keadaan tenang, tidak menangis dan

meronta.

2. Pneumonia, bila hanya disertai nafas cepat dengan batasan :

a. Untuk usia 2 bulan – kurang 12 bulan = 50 kali per menit.

b. Untuk usia 1 tahun – 5 tahun = 40 kali per menit atau lebih.

3. Bukan Pneumonia, bila tidak ditemukan tarikan dinding dada

bagian bawah kedalam atau nafas cepat (batuk pilek biasa). Tanda

bahaya untuk golongan umur 2 bulan – 5 tahun adalah : tidak dapat

minum, kejang, kesadaran menurun, stridor, wheezing dan gizi

buruk.

1.1.4. Etiologi

Patogen penyebab pneumonia pada anak bervariasi tergantung : 6

a. Usia

b. Status imunologis

c. Status lingkungan

d. Kondisi lingkungan (epidemiologi setempat, polusi udara)

e. Status imunisasi

f. Faktor pejamu (penyakit penyerta, malnutrisi)

4

Page 5: Bronko Pneumonia

Usia pasien mrupakan peranan penting pada perbedaan dan kekhasan

pneumonia anak, terutama dalam sprectrum etiologi, gambaran klinis dan

strategi pengobatan. Berikut daftar etiologi pneumonia pada anak sesuai

dengan usia yang bersumber dari data di negara maju : 6,7

Usia Etiologi tersering Etiologi terjarangLahir – 20 hari Bakteri : E.colli,

Streptococcus grup B, Listeria monocytogenes

Bakteri : Bakteri anaerob, Streptococcus grup D, Haemophilus influenza, Streptococcus pneumoniae Virus : CMV, HMV

3 minggu – 3 bulan Bakteri : Clamydia trachomatis, Streptococcus pneumoniae Virus : Adenovirus, Influenza, Parainfluenza 1, 2, 3

Bakteri : Bordetella pertusis, Haemophilus influenza tipe B, Moraxella catharalis, Staphylococcus aureus Virus : CMV

4 bulan – 5 tahun Bakteri : Clamydia pneumoniae, Mycoplasma pneumoniae, Streptococcus pneumoniae Virus : Adenovirus, Rinovirus, Influenza, Parainfluenza

Bakteri : Haemophilus influenza tipe B, Moraxella catharalis, Staphylococcus aureus, Neisseria meningitidis Virus : Varicela zoster

5 tahun - remaja Bakteri : Clamydia pneumoniae, Mycoplasma pneumoniae

Bakteri : Haemophilus influenza, Legionella sp.

1.1.5. Patogenesis

Dalam keadaan sehat pada paru tidak akan terjadi pertumbuhan

mikroorganisme, keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme

pertahanan paru. Terdapatnya bakteri di dalam paru merupakan

ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh sehingga mikroorganisme

dapat berkembang biak dan berakibat timbulnya infeksi penyakit. Bila

pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme dapat melalui jalan

nafas sampai ke alveoli yang menyebabkan radang pada dinding alveoli

dan jaringan sekitarnya. Setelah itu mikroorganisme tiba di alveoli

membentuk suatu proses peradangan yang meliputi empat stadium, yaitu :

5

Page 6: Bronko Pneumonia

1. Stadium I/Hiperemia (4-12 jam pertama/kongesti)

Pada stadium I, disebut hyperemia karena mengacu pada

respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah baru

yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan

permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat

pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast setelah

pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut

mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga

mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan

histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler

paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini

mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang

interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler

dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus

meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan

karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling

berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen

hemoglobin.

2. Stadium II/Hepatisasi Merah (48 jam berikutnya)

Pada stadium II, disebut hepatisasi merah karena terjadi

sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat dan fibrin yang

dihasilkan oleh penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan.

Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan

leukosit, eritrosit dan cairan sehingga warna paru menjadi merah dan

pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada

atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini

berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.

3. Stadium III/Hepatisasi Kelabu (3 – 8 hari)

Pada stadium III/hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-

sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat

ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan

terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli

6

Page 7: Bronko Pneumonia

mulai di reabsorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan

leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak

lagi mengalami kongesti.

4. Stadium IV/Resolusi (7-11 hari)

Pada stadium IV/resolusi yang terjadi sewaktu respon imun

dan peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan

diabsorpsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya

semula.

1.1.6. Gambaran Klinis

Gejala dan tanda klinis pneumonia bervariasi tergantung dari

kuman penyebab, usia pasien, status imunologis pasien, dan beratnya

penyakit. Manifestasi klinis biasanya berat yaitu sesak, sianosis, tetapi

dapat juga gejalanya tidak terlihat jelas seperti pada neonatus. Gejala dan

tanda pneumonia dapat dibedakan menjadi gejala umum infeksi

(nonspesifik), gejala pulmonal, pleural, atau ekstrapulmonal. Gejala

nonspesifik meliputi demam, menggigil, sefalgia, resah dan gelisah.

Beberapa pasien mungkin mengalami gangguan gastrointestinal seperti

muntah, kembung, diare, atau sakit perut.8

Gejala infeksi umum, yaitu demam, sakit kepala, gelisah,

malaise, penurunan napsu makan, keluhan gastrointestinal seperti mual,

muntah, atau diare, kadang-kadang ditemukan gejala infeksi

ekstrapulmoner.

Gejala gangguan respirasi, yaitu batuk, sesak napas, retraksi

dada, takipnea, napas cuping hidung, merintih, dan sianosis. Otot bantu

napas interkostal dan abdominal mungkin digunakan. Batuk umumnya

dijumpai pada anak besar, tapi pada neonatus bisa tanpa batuk. 3

Frekuensi napas merupakan indeks paling sensitif untuk

mengetahui beratnya penyakit. Hal ini digunakan untuk mendukung

diagnosis dan memantau tata laksana pneumonia.

Pengukuran frekuensi napas dilakukan dalam keadaan anak tenang

atau tidur. Tim WHO telah merekomendasikan untuk menghitung

frekuensi napas pada setiap anak dengan batuk. Dengan adanya batuk,

7

Page 8: Bronko Pneumonia

frekuensi napas yang lebih dari normal serta adanya tarikan dinding dada

bagian bawah ke dalam (chest indrawing), WHO menetapkan sebagai

pneumonia (di lapangan), dan harus memerlukan perawatan dengan

pemberian antibiotik. Perkusi toraks pada anak tidak mempunyai nilai

diagnostik karena umumnya kelainan patologinya menyebar; suara redup

pada perkusi biasanya karena adanya efusi pleura.3

Suara napas yang melemah seringkali ditemukan pada auskultasi.

Ronkhi basah halus yang khas untuk pasien yang lebih besar, mungkin

tidak terdengar pada bayi. Pada bayi dan balita kecil karena kecilnya

volume toraks biasanya suara napas saling berbaur, dan sulit untuk

diidentifikasi.3

Secara klinis pada anak sulit membedakan pneumonia bakterial

dengan pneumonia viral. Namun sebagai pedoman dapat disebutkan

bahwa pneumonia bakterial awitannya cepat, batuk produktif, pasien

tampak toksik, leukositosis, dan perubahan nyata pada pemeriksaan

radiologis.3

Namun keadaan seperti ini kadang-kadang sulit dijumpai pada

seluruh kasus.

a. Pneumonia pada neonatus dan bayi kecil

Pneumonia ini sering terjadi akibat transmisi vertikal ibu-anak

yang berhubungan dengan proses persalinan, misalnya melalui aspirasi

mekonium, cairan amnion, dari serviks ibu, atau berasal dari

kontaminasi dengan sumber infeksi dari rumah sakit (hospital-acquired

pneumonia) atau akibat kontaminasi dengan sumber infeksi dari

masyarakat (community-acquired pneumonia). Gambaran klinis

pneumonia pada neonatus dan bayi kecil tidak khas, mencakup

serangan apnea, sianosis, merintih, napas cuping hidung, takipnea,

letargi, muntah, tidak, mau minum, takikardi atau bradikardi, retraksi

subkosta dan demam. Pada bayi BBLR sering terjadi hipotermi.

Keadaan ini sering sulit dibedakan dengan keadaan sepsis dan

meningitis.7

b. Pneumonia pada balita dan anak yang lebih besar

8

Page 9: Bronko Pneumonia

Gejala klinis yang timbul pada pneumonia yang terjadi pada

balita dan anak yang lebih besar meliputi demam, menggigil, batuk,

sakit kepala, anoreksia, dan kadang-kadang keluhan gastrointestinal

(muntah dan diare). Secara klinis gejala respiratori seperti takipnea,

retraksi subkosta (chest indrwaing), napas cuping hidung, ronki, dan

sianosis. Penyakit ini sering ditemukan bersama konjungtivitis, otitis

media, faringitis, dan laringitis. Anak besar dengan pneumonia lebih

suka berbaring pada sisi yang sakit dengan lutut tertekuk karena nyeri

dada. Ronki hanya ditemukan bila ada infiltrat alveoler. Bila terjadi

efusi pleura atau empiema, gerakan ekskursi dada tertinggal di daerah

efusi. Gerakan dada juga terganggu bila terdapat nyeri dada akibat

iritasi pleura. Bila efusi bertambah, sesak napas akan semakin

bertambah, tetapi nyeri pleura akan semakin berkurang dan berubah

menjadi nyeri tumpul.

Kadang timbul nyeri abdomen bila terdapat pneumonia lobus

kanan bawah yang menimbulkan iritasi diafragma. Nyeri ini dapat

menyebar ke kuadran kanan bawah dan menyerupai appendisitis.

Abdomen mengalami distensi akibat dilatasi lambung yang disebabkan

oleh aerografi atau ileus paralitik. Hati akan teraba bila tertekan oleh

diafragma, atau memang membesar karena terjadi gagal jantung

kongestif sebagai akibat komplikasi pneumonia.7

1.1.7. Diagnosis

Diagnosis etiologi berdasarkan pemeriksaan mikrobiologis dan/atau

serologis merupakan dasar terpi yang optimal. Akan tetapi penemuan

bakteri penyebab tidak selalu mudah karena memerlukan laboratorim yang

memadai. Prediktor paling kuat adanya pneumonia adalah demam,

sianosis, dan lebih dari satu gejala respiratori sebagai berikut : takipnea,

batuk, nafas cuping hidung, rtraksi, ronki dan suara nafas melemah serta

didukung oleh gambaran radiologis. 7

Akibat tingginya angka morbiditas dan mortalitas pneumonia pada balita,

maka dalam upaya peanggulangannya WHO mengembangkan pedoman

diagnosis dan tatalaksana pneumonia yang sederhana.7

9

Page 10: Bronko Pneumonia

Berikut adalah klasifikasi pneumonia berdasarkan pedoman tersebut.1,7

Bayi dan anak berusia 2 bulan – 5 tahun

Pneumonia sangat berat

o Tidak dapat minum/makan

o Kejang

o Letargis

o Malnutrisi

Pneumonia berat

o Bila ada sesak nafas, ada retraksi

o Harus dirawat dan diberikan antibiotik

Pneumonia

o Bila tidak ada sesak nafas

o Ada nafas cepat dengan laju nafas

> 50 x / menit untuk anak usia 2 bulan – 1 tahun

> 40 x / menit untuk anak usia >1-5 tahun

o Tidak perlu dirawat, diberikan antibiotik oral

Bukan pneumonia

Bila tidak ada nafas cepat dan sesak nafas. Tidak perlu dirawat dan

tidak perlu antibiotik, hanya diberikan pengobatan simptomatis seperti

penurun panas.

Bayi berusia dibawah 2 bulan

Pada bayi berusia dibawah usia 2 bulan, perjalanan penyakitnya lebih

bervariasi, mudah terjadi komplikasi dan sering menyebabkan

kematian. Klasifikasi pneumonia pada kelompok usia ini adalah:

Pneumonia

o Bila ada napas cepat (>60 x/menit) atau sesal napas

o Harus dirawat dan diberikan antibiotik

Bukan pneumonia

o Tidak ada nafas cepat atau sesak nafas

o Tidak perlu dirawat, cukup diberikan pengobatan simptomatis

Pemeriksaan :

10

Page 11: Bronko Pneumonia

a) Darah Perifer Lengkap

Pada pneumoia virus dan juga mikoplasma umumnya ditemukan

leukosit dalam batas normal atau sedikit meningkat. Akan tetapi pada

pneumonia bakteri didapatkan leukositosis ( 15.000 – 40.000/mm3 ).

Dengan prdominan PMN. Leukopenia ( < 5000/mm3 ) menunjukkan

prognosis yang buruk. Pada infeksi Chlamydia kadang – kadang

ditemukan eosinofilia. Pada efusi pleura didapatkan sel PMN pada cairan

eksudat berkisar 300-100.000/mm3, protein > 2,5 g/dl, dan glukosa

relatif lebih rendah daripada glukosa darah. Kadang – kadang terdapat

anemia ringan dan LED yang meningkat. Secara umum hasil peneriksaan

darah perifer lengkap tidak dapat membedakan antara infeksi virus dan

bakteri secara pasti.7

b) C- Reaktif Protein ( CRP )

CRP adalah suatu protein fase akut yang disisntesis oleh

hepatosit. Sebagai respon infeksi atau inflamasi jaringan, produksi CRP

secara cepat distimulasi oleh sitokin, terutama IL-6, IL-1 da TNF.

Meskipun fungsi pastinya belum diketahui, CRP sangat mungkin

berperan dalam opsonisasi mikroorganisme atau sel rusak.7

Secara klinis CRP digunakan sebagai alat diagnostik untuk membedakan

antara faktor infeksi dan noninfeksi, infeki virus dan bakteri, atau infeksi

superfisialis atau profunda. Kadar CRP biasanya lebih rendah pada

infeksi virus atau infeksi superfisialis daripada profunda.7

c) Uji Serologis

Uji serologik untuk mendateksi antigen dan antibodi pada

infeksi bakteri tipik mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang rendah.

Secara umum, uji serologis tidak terlalu bermanfaat dalam mendiagnosis

infeksi bakteri tipik, namun bakteri atipik seperti Mycoplasma dan

chlamydia tampak peningkatan antibodi IgM dan IgG.7

d) Pemeriksaan mikrobiologis

11

Page 12: Bronko Pneumonia

Untuk pemeriksaan mikrobiologik, spesimen dapat diambil dari

usap tenggorok, sekret nasofaring, bilasan bronkus, darah, punksi pleura

atau aspirasi paru. Diagnosis dikatakan definitif apabila kuman

ditemukan dari darah, cairan pleura, atau aspirasi paru. Kultur darah

jarang positif pada infeksi Mycoplasma dan Chlamydia.7

e) Pemeriksaan rontgen Thoraks

Secara umum gambaran foto thoraks terdiri dari :

Infiltrat interstisial, ditandai dengan peningkatan corakan

bronkovaskuler, peribronchial cuffing dan hiperaerasi.7

Infiltrat alveoler, merupakan konsolidasi paru dengan air

bronchogram. Konsolidasi dapat mengenai satu lobus ( pneumonia

lobaris ), atau terlihat sebagai lei tunggal yang biasanya cukup besar,

berbentuk sferis, batas tidak terlalu tegas, menyerupai lesi tumor paru,

dikenal sebagai round pneumonia.7

Bronkopneumonia, ditandai dengan gambaran difus merata pada

kedua paru, berupa bercak – bercak infiltrat yang meluas hingga ke

daerah perifer paru, disertai dengan peningkatan corakan

peribronkial.7

Gambaran radiologis pneumonia meliputi infiltrat ringan pada satu paru

hingga konsolidasi luas pada kedua paru. Pada satu penelitian, ditemukan

bahwa lesi pneumonia pada anak terbanyak berada di paru kanan,

terutama di lobus atas. Bila ditemukan di pru kiri dan terbanyak di olbus

bawah, hal itu merupakan prediktor perjalanan penyakit yang lebih berat

dengan resiko terjadinya pleuritis lebih besar.7

1.1.8. Tatalaksana

Sebagian pneumoni pada anak tidak perlu dirawat inap. Indikasi

perawatan trutama berdasarkan berat ringannya penyakit, misalnya

toksis,disters pernafasan, tidak mau makan atau minum, atau ada penyakit

dasaryang lain, komplikasi, dan terutama mempertimbangkan usia pasien.

Neonatus dan bayi kecil dengan kemungkinan klinis pneumonia harus

dirawat inap.7

Kriteria rawat inap1 :

12

Page 13: Bronko Pneumonia

1. Bayi :

Saturasi oksigen ≤92%, sianosis

Frekuensi napas >60 x/menit

Distres pernapasan, apnea intermitten, atau grunting

Tidak mau minum/menetek

Keluarga tidak bisa merawat di rumah

2. Anak :

Saturasi oksigen <92%, sianosis

Frekuensi nafas >50 x/menit

Distres pernapasan

Grunting

Terdapat tanda dehidrasi

Keluarga tidak bisa merawat di rumah

Tatalaksana umum1 :

Pasien dengan saturasi oksigen ≤92% pada saat bernapas dengan udara

kamar harus diberikan terapi oksigen dengan kanul nasal, head boox, atau

sungkup untuk mempertahankan saturasi oksigen >92%.

Pada pneumonia berat atau asupan per oral kurang, diberikan cairan

intervena dan dilakukan balans cairan ketat

Antipiretik dan analgetik dapat diberikan untuk menjaga kenyamanan

pasien dan mengontrol batuk

Nebulisasi dengan β2 agonis dan/atau NaCl dapat diberikan untuk

memperbaiki mucocilliary clearance

Pasien yang mendapatkan terapi oksigen harus diobservasi setidaknya

setiap 4 jam sekali, termasuk pemeriksaan saturasi oksigen

Pemberian antibiotik :

Amoksisilin merupakan pilihan pertama untuk antibiotik oral pada

anak <5 tahun karena efektif melawan sebagian besar patogen yang

menyebabkan pneumonia pada anak, ditoleransi dengan baik, dan

murah. Alternatifnya adalah co-amoxiclav, ceflacor, eritromisin,

claritromisin, dan azitromisin.

13

Page 14: Bronko Pneumonia

M. pneumoniae lebih sering terjadi pada anak yang lebih tua maka

antibiotik golongan makrolid diberikan sebagai pilihan pertama secara

empiris pada anak ≥5 tahun

Makrolid diberikan jika M. pneumoniae atau C. Pneumoniae dicurigai

sebagai penyebab

Amoksisilin diberikan sebagai pilihan pertama jika S. Pneumoniae

sangat mungkin sebagai penyebab.

Jika S. Aureus dicurigai sebagai penyebab, diberikan makrolid atau

kombinasi flucloxacillin dengan amoksisilin

Antibiotik intravena diberikan pada pasien pneumonia yang tidak

dapat menerima obat per oral (misal karena muntah) atau termasuk

dalam derajat pneumonia berat.

Antibiotik intravena yang dianjurkan adalah ampisilin dan

kloramfenikol, co-amoxiclav, ceftriaxone, cefuroxime, dan cefotaxime.

Pemberian antibiotik oral harus dipertimbangkan jika terdapat

perbaikan setelah mendapat antibiotik intravena.

Rekomendasi UKK Respirologi, antibiotik untuk community acquired

pneumonia1 :

Neonatus hingga 2 bulan : Ampisilin + gentamisin

Lebih dari 2 bulan :

Lini pertama Ampisilin bila dalam 3 hari tidak ada perbaikan dapat

ditambahkan kloramfenikol

Lini kedua Seftriakson

Bila klinis perbaikan, antibiotik intravena dapat diganti preparat oral

dengan antibiotik golongan yang sama dengan antibiotik intravena

sebelumnya.

Nutrisi yang diberikan1 :

Pada anak dengan distres pernafasan berat, pemberian makanan per

oral harus dihindari. Makanan dapat diberikan lewat nasogastric tube

(NGT)/ OGT atau intravena.

14

Page 15: Bronko Pneumonia

Perlu dilakukan pemantauan balans cairan ketat agar anak tidak

mengalami overhidrasi karena pada pneumonia berat terjadi

peningkatan sekresi hormon antidiuretik.

Kriteria pulang1 :

Gejala dan tanda pneumonia menghilang

Asupan per oral adekuat

Pemberian antibiotik dapat diteruskan di rumah (per oral)

Keluarga mengerti dan setuju untuk pemberian terapi dan rencana

kontrol

Kondisi rumah memungkinkan untuk perawatan lanjutan di rumah

1.1.9. Komplikasi7

• Komplikasi yang dapat terjadi meliputi empiema torasis (komplikasi

tersering oleh pneumonia bakteri)

• perikarditis purulenta

• Pneumotoraks

• infeksi ekstrapulmoner (meningitis purulenta)

• Miokarditis

1.1.10. Prognosis

Dengan pemberian antiboitik yang tepat dan adekuat, mortalitas

dapat diturunkan sampai kurang dari 1%. Anak dalam keadaan malnutrisi

energi protein dan yang datang terlambat menunjukan mortalitas yang

lebih tinggi.1

1.2. Penyakit jantung bawaan

1.2.1. Definisi

Penyakit Jantung Bawaan merupakan istilah umum untuk

abnormalitas jantung atau pembuluh darah besar yang muncul sejak lahir.

Sebagian besar penyakit jantung bawaan ini terjadi akibat kesalahan

embriogenesis antara minggu ke-3 sampai minggu ke-8 gestasi, ketika

struktur-struktur utama jantung sudah terbentuk dan mulai untuk

berfungsi.10

15

Page 16: Bronko Pneumonia

1.2.2. Epidemiologi

Insidens PJB di dunia memiliki angka yang konstan, sekitar 8-10

dari 1000 kelahiran hidup.11 Data dari the nothern region paediatric

cardiology data base memperkirakan insiden PJB di UK sebesar 6,9/1000

kelahiran, atau 1 di antara 145 kelahiran bayi.12 Penelitian di Beijing, Cina

mendapatkan insiden PJB 8,2/1000 dari total kelahiran, dimana

168,9/1000 lahir mati dan 6,7/1000 lahir hidup.13 Ras Asia memiliki angka

yang lebih besar dibandingkan non Asia karena pengaruh perkawinan

konsanguinus yang tinggi.5 World health organization (WHO) berturut-

turut melaporkan di antara penyakit kardiovaskular, insidens PJB di

Bangladesh (6%), India (15%), Burma (6%), dan Srilangka (10%).7

Di Indonesia belum terdapat angka yang pasti, namun penelitian di

RS. Dr.Sutomo pada tahun 2004-2006 sudah mendapatkan angka kematian

yang tinggi dari pasien PJB setiap tahunnya, berturut-turut 11,64%,

11,35%, dan 13,44%.7 Insidensi PJB di RSUP Dr. M. Djamil Padang dari

Januari 2008 sampai Februari 2011 berjumlah 98 orang, perempuan lebih

banyak daripada laki-laki, yaitu berturut-turut 51% dan 49%. Rata-rata

pasien yang dirawat berumur 1 bulan sampai 1 tahun 45,9% sedangkan

pasien neonatus 16,3%. Dua pasien meninggal usia neonatus dengan

diagnosis TGA dan PDA besar dengan prematuritas. Satu pasien usia 9

bulan dengan VSD besar dengan pneumonia berat. Jenis PJB yang banyak

ditemukan VSD, ASD, PDA, TOF, dan TGA, berturut-turut 35%, 35%,

33%, 15%, dan 8%.14

1.2.3. Etiologi dan Faktor Risiko

Etiologi penyakit jantung bawaan masih belum diketahui secara

pasti. Pada studi awal epidemiologik melaporkan pengaruh multifaktorial

merupakan penyebab pada 90% kasus anomali jantung, dengan kadar

rekurensi 2%-6%. Faktor resiko yang berhubungan termasuk kondisi

maternal, gestasi, dan familial.

Defek ekstrakardiak ditemukan pada 35% anak dengan lesi

jantung. Aberrasi kromosom dijumpai pada 6% kasus penyakit jantung

bawaan dan 50% anak dengan trisomi 21 menderita kelainan ini. Kelainan

16

Page 17: Bronko Pneumonia

genetik dan herediter dicurigai berhubungan dengan penyakit jantung

bawaan, namun mekanisme pasti masih belum diketahui.15

1.2.4. Patofisiologi

Beberapa penelitian telah dilakukan terhadap gen pengkode faktor

transkripsi yang meregulasi kardiogenesis. Penelitian terbaik adalah pada

gen Csx/NKX2.5, gen ini merupakan homolog mamalia dari gen NK4

Drosophila yang juga dikenal sebagai tinman. Delesi daripada gen ini akan

menyebabkan kegagalan dalam spesifikasi miosit jantung dan gangguan

formasi jantung. Ekspresi dari beberapa gen jantung turut berkurang,

termasuk gen pengkode rantai miosin, cardiac ankyrin repeat protein, dan

berbagai faktor transkripsi seperti dHAND dan eHAND, yang berperan

dalam pembentukan dan perkembangan ventrikel kiri dan kanan .16

1.2.5. Klasifikasi Penyakit Jantung Bawaan

Penyakit jantung bawaan dapat dibagi menjadi dua kelompok

besar, yaitu penyakit jantung bawaan sianotik dan asianotik.

Pengelompokan ini dapat ditentukan dengan melakukan pemeriksaan fisik

dibantu oleh pulse oximetry.17

1.2.5.1. Penyakit Jantung Bawaan Asianotik

Penyakit jantung bawaan asianotik adalah kelainan struktur dan

fungsi jantung yang dibawa lahir yang tidak ditandai dengan sianosis.18

Park membagi penyakit jantung bawaan asianotik kepada dua kelompok

yaitu kelompok dengan pirau dari kiri ke kanan dan kelompok dengan

lesi obstruktif. Kelompok dengan pirau dari kiri ke kanan adalah sebagai

berikut:

1. Defek Septum Ventrikel

Defek Septum Ventrikel merupakan kelainan jantung yang

muncul sejak lahir berupa lubang pada septum di antara kedua

ventrikel jantung. Kelainan ini merupakan penyakit jantung bawaan

yang paling sering dengan insiden 1 dari 500 kelahiran.19

Gejala defek ini cukup bervariasi, bergantung dari ukuran lesi

dan derajat piraunya sendiri. Pada defek kecil, pasien biasanya tidak

17

Page 18: Bronko Pneumonia

menunjukkan gejala, pertumbuhan normal dan kelainan di deteksi

ketika terdengar murmur pada pemeriksaan rutin.

Pasien dengan defek sedang biasanya menunjukkan gejala awal

seperti takipnea, keringat berlebihan, dan fatigue ketika disusui.

Infeksi respiratorik dapat terjadi, dan peningkatan tekanan vena

pulmonal dapat menyebabkan edema pulmonal. Pada defek berukuran

besar, gejala mirip dengan defek sedang namun dengan derajat

keparahan yang lebih besar.20

2. Defek Septum Atrium

Defek septum atrium merupakan kelainan jantung yang dibawa

lahir ditandai dengan adanya defek pada septum interatrial

menyebabkan darah dari atrium kiri masuk ke atrium kanan. Insiden

defek septum atrial adalah 5-10% dari semua penyakit jantung

bawaan, dengan rasio antara perempuan dan laki-laki adalah 2:1.21

Defek septum atrium pada bayi dan anak sering bersifat

asimptomatik dan biasanya didiagnosa pada pemeriksaan fisik rutin,

dan penemuan abnormal dari observasi pada foto rontgen dada dan

elektrokardiogram.22

3. Duktus Arteriosus Persisten

Duktus arteriosus persisten merupakan kelainan pada duktus

arteriosus dimana duktus ini seharusnya menutup secara fungsional

segera setelah lahir namun tetap membuka dan membentuk pirau,

menyebabkan darah aorta dapat masuk ke arteri pulmonal.

Pada bayi matur dengan duktus arteriosus persisten, dinding

duktus kekurangan lapisan epitel mukoid dan lapisan muskularis

media sehingga jarang dapat menutup secara spontan dan memerlukan

intervensi farmakologik. Berbeda pada bayi prematur dengan duktus

arteriosus persisten, struktur duktus normal dan defek disebabkan oleh

hipoksia dan immaturitas, duktus akan menutup secara spontan pada

sebagian besar kasus.17

Pada defek kecil, pasien biasanya tidak menunjukkan gejala,

namun pada defek yang besar gejala dapat berupa dispnea setelah

18

Page 19: Bronko Pneumonia

beraktivitas berat, infeksi saluran pernafasan bawah, atelektasis, dan

gagal jantung kongestif (jika disertai dengan takipnea dan poor weight

gain).

Bayi prematur dengan duktus arteriosus persisten menunjukkan

perbaikan dalam beberapa hari pertama setelah lahir. Namun pada

umur 4 hingga 7 hari, keadaan bayi dapat memburuk sehingga alat

ventilator tidak dapat dilepaskan dari bayi. Episode apnea dan

bradikardi merupakan tanda awal pada bayi prematur dengan duktus

arteriosus persisten yang tidak dipasang ventilator.21

4. Defek Septum Atrioventrikularis

Defek septum atrioventrikularis disebut juga defek kanalis

atrioventrikularis atau defek bantalan endokardial merupakan defek

septum atrium dan ventrikel yang menyatu, disertai kelainan yang

jelas pada katup atrioventrikularis.17

Klasifikasi defek septum atrioventrikularis:

Komplit, adanya defek septum atrium tipe ostium primum, defek

septum ventrikel tipe inlet, dan celah pada anterior katup mitral

dan daun katup septal pada katup trikuspid. Insiden defek ini

adalah 2% dari semua penyakit jantung bawaan, dan 70% dari

jumlah tersebut adalah anak dengan Sindroma Down.

Parsial, adanya dua orifisium dari katup atrioventrikularis tanpa

defek septum ventrikel. Disebut juga defek septum atrium tipe

ostium primum.

Gejala pada defek septum atrioventrikularis komplit berupa

infeksi respiratorik berulang, gagal tumbuh, dan tanda-tanda gagal

jantung kongestif seperti takikardi dan takipne.21

5. Partial Anomalous Pulmonary Venous Return

Partial anomalous pulmonary venous return merupakan

kelainan pada satu atau beberapa vena pulmonalis yang tidak berakhir

pada atrium kiri, tetapi pada vena kava superior atau inferior, atrium

kanan, atau sinus koroner dan menyebabkan pirau darah beroksigen

dari kiri ke kanan.17

19

Page 20: Bronko Pneumonia

Insiden defek ini adalah kurang dari 1% dari semua penyakit

jantung bawaan, dan biasanya tidak menunjukkan gejala.21

Kelompok dengan lesi obstruktif adalah sebagai berikut:

1. Stenosis Pulmonalis

Stenosis pulmonalis merupakan deformitas pada daun katup

arteri pulmonalis dengan derajat yang bervariasi, menyebabkan katup

tidak dapat membuka secara sempurna saat sistolik.17 Insiden stenosis

pulmonal adalah 8%-12% dari semua penyakit jantung bawaan. Defek

ini sering berhubungan dengan penyakit jantung bawaan lain seperti

Tetralogi Fallot dan Ventrikel Tunggal.

Klasifikasi stenosis pulmonalis dibagi berdasarkan letak defek

yang terjadi, yaitu:

Valvular, dimana katup pulmonal menebal, dengan fusi atau tidak

terdapat commisura, dan orifisium yang kecil.

Subvalvular, sering berhubungan dengan defek septum ventrikel

yang besar, seperti pada Tetralogi Fallot.

Supravalvular, dimana terjadi penyempitan dari arteri pulmonal.

Penyempitan dapat terjadi secara single, hanya mengenai arteri

pulmonal utama, atau mengenai cabang arteri pulmonal, dan

dapat juga terjadi secara multiple, mengenai arteri pulmonal

sekaligus cabang-cabangnya.

Anak dengan stenosis pulmonal ringan sering asimptomatik

komplit. Pada kasus sedang, anak akan menunjukkan gejala berupa

dispnea saat beraktivitas, dan mudah letih. Gagal jantung dan nyeri

dada saat beraktivitas muncul pada anak dengan stenosis pulmonal

berat.21

2. Stenosis Aorta

Stenosis aorta merupakan penyempitan yang abnormal pada

katup aorta.23 Insiden stenosis aorta adalah sebanyak 10% dari semua

penyakit jantung bawaan dengan rasio antara laki-laki dan perempuan

adalah 3:1. Tipe valvular merupakan tipe terbanyak (71%), diikuti

oleh tipe subvalvular (23%), dan supravalvular (6%).

20

Page 21: Bronko Pneumonia

Klasifikasi stenosis aorta berdasarkan letak defek adalah seperti

berikut:

Valvular, dapat disebabkan oleh jumlah katup aorta yang

abnormal, atau penyempitan pada katup aorta tricuspid.

Supravalvular, konstriksi pada anular marginal atas pada sinus

valsalva.

Subvalvular, penyempitan pada saluran keluar ventrikel kiri.

Neonatus dengan stenosis aorta yang berat dapat menunjukkan

tanda-tanda hipoperfusi atau respiratory distress dalam beberapa hari

atau beberapa minggu setelah lahir. Sebagian besar anak dengan

stenosis aorta ringan dan sedang tidak menunjukkan gejala, namun

kadang-kadang intoleransi latihan dapat terjadi. Pada defek berat, anak

terlihat mudah letih, nyeri dada saat beraktivitas atau pingsan.21

3. Koarktasio Aorta

Koarktasio aorta merupakan kelainan aorta dimana terdapat

penyempitan pada pembuluh aorta itu sendiri, penyempitan biasanya

terjadi pada distal aorta hingga origin arteri subklavia kiri

bersebelahan dengan ligamentum arteriosum.20

Insiden koarktasio aorta adalah 8-10% dari semua penyakit

jantung bawaan. Rasio antara laki-laki dan perempuan adalah 2:1, dan

30% pasien dengan Sindrom Turner mengidap koarktasio aorta.

Sebagian besar pasien dengan defek ringan tidak menunjukkan

gejala, namun kadang mengeluhkan nyeri atau kelemahan pada

tungkai atau keduanya setelah berolahraga. Pasien dengan defek berat

menunjukkan gejala berupa dispnea, poor feeding, dan poor weight

gain atau tanda-tanda syok sirkulatorik akut yang dapat terlihat pada 6

minggu pertama kehidupan.21 Pada defek berat, gejala dapat terlihat

sejak neonatus, sebaliknya pada defek ringan gejala biasanya tidak

kelihatan dan didiagnosa pada usia anak dan dewasa dengan

perkembangan sirkulasi kolateral ke bagian bawah tubuh.20

21

Page 22: Bronko Pneumonia

4. Interrupted Aortic Arch

Interrupted aortic arch merupakan bentuk ekstrim koarktasio

aorta dimana terdapat segmen arkus aorta yang hilang atau atretik.

Insiden interrupted aortic arch adalah sebanyak 1% dari semua

penyakit jantung bawaan. Kelainan ini sering berhubungan dengan

penyakit jantung bawaan lain, terutama penyakit duktus arteriosus

persisten dan defek septum ventrikel (90%).

Gejala interrupted aortic arch pada neonatus berupa takipnea,

poor feeding, dan letargi.24

1.2.5.2. Penyakit Jantung Bawaan Sianotik

Manifestasi klinis yang ditemukan pada penyakit jantung

bawaan sianotik adalah sianosis.25 Sianosis adalah kebiruan pada kulit

dan membran mukosa disebabkan oleh peningkatan konsentrasi

hemoglobin tereduksi sampai 5 g/100 mL dalam vena kutaneus.

Perubahan konsentrasi ini dapat diakibatkan oleh desaturasi darah arteri

atau peningkatan ekstraksi oksigen oleh jaringan perifer dalam keadaan

saturasi arteri yang normal.21

Menurut Park, sianosis yang berhubungan dengan desaturasi

darah arteri disebut sianosis sentral, dan sianosis dengan saturasi oksigen

normal disebut sianosis perifer.

1. Tetralogi Fallot

Tetralogi fallot merupakan penyakit jantung bawaan dengan 4

karakteristik abnormalitas; yaitu defek septum ventrikel yang besar,

obstuksi saluran keluar ventrikel kanan, hipertrofi ventrikel kanan, dan

overriding aorta.

Insiden tetralogi fallot adalah sebanyak 5%-10% dari semua

penyakit jantung bawaan, dan kemungkinan merupakan penyakit

jantung bawaan sianotik yang paling sering. Prevalensi antara laki-laki

dan perempuan adalah sama.21

Sebagian besar pasien adalah simptomatik dengan sianosis saat

lahir atau beberapa waktu setelah lahir. Dispnea ketika melakukan

kerja berat, squatting, atau hypoxic spells akan muncul kemudian,

22

Page 23: Bronko Pneumonia

walaupun pada bayi dengan sianotik ringan. Segera selepas lahir,

sianosis berat akan terlihat pada pasien dengan tetralogi fallot dan

atresia pulmonal. Pasien dengan tetralogi fallot asianotik dapat

bersifat asimptomatik atau menunjukkan tanda-tanda gagal jantung

kongestif dari defek septum ventrikel kiri ke kanan.21

2. Transposisi Arteri Besar

Transposisi arteri besar merupakan transposisi antara aorta dan

arteri pulmonal sehingga aorta keluar dari ventrikel kanan dan arteri

pulmonal keluar dari ventrikel kiri.21

Insiden transposisi arteri besar adalah sebanyak 5%-7% dari

semua penyakit jantung bawaan, dan lebih sering pada laki-laki

berbanding perempuan dengan rasio 3:1. Angka kejadian pertahun

defek ini adalah 20-30 dari seratus ribu kelahiran hidup.21

Pasien dengan transposisi arteri besar akan menunjukkan gejala

sianotik sejak lahir. Tanda-tanda gagal jantung kongestif dengan

dispnea dan feeding difficulties muncul saat periode newborn. Pasien

transposisi arteri besar dengan duktus arteriosus persisten, dan defek

septum ventrikel yang besar mungkin tidak terdiagnosa sampai

beberapa minggu kehidupan.21

3. Artresia Trikuspid

Atresia trikuspid merupakan kelainan dimana tidak terbentuknya

katup trikuspid, dan hipoplastik ventrikel kanan dengan tidak

terdapatnya aliran darah masuk ke ventrikel kanan.

Insiden atresia trikuspid adalah 1%-3% dari semua penyakit

jantung bawaan. Kelainan ini sering berhubungan dengan penyakit

jantung bawaan yang lain seperti defek septum atrium, defek septum

ventrikel, atau duktus arteriosus persisten, yang mana sangat penting

untuk kelangsungan hidup.

Pasien dengan kelainan ini biasanya menunjukkan gejala

sianosis berat sejak lahir. Selain itu, takipnea dan poor feeding sering

terlihat. Hypoxic spells juga dapat terjadi pada pasien dengan atresia

tricuspid.21

23

Page 24: Bronko Pneumonia

4. Total Anomalous Pulmonary Venous Return

Total anomalous pulmonary venous return merupakan kelainan

dimana tidak terdapatnya komunikasi secara langsung antara vena

pulmonalis dengan atrium kiri. Sebaliknya, aliran masuk ke cabang-

cabang vena sistemik atau ke atrium kanan.

Insiden kelainan ini adalah sebesar 1% dari semua penyakit

jantung bawaan. Pada tipe infrakardiak, prevalensi laki-laki lebih

tinggi berbanding perempuan dengan rasio 4:1.

Gejala pada kelainan ini bervariasi, tergantung ada atau tidaknya

obstruksi pada vena pulmonalis. Pasien total anomalous pulmonary

venous return tanpa obstruksi vena pulmonalis menunjukkan gejala

gagal jantung kongestif dengan gangguan pertumbuhan dan infeksi

pulmonal berulang. Sianosis ringan dapat terlihat sejak lahir.

Pada pasien total anomalous pulmonary venous return dengan

obstruksi vena pulmonalis, akan terlihat sianosis dan respiratory

distress sejak periode neonatal dengan gagal tumbuh. Sianosis akan

bertambah parah ketika menyusui atau makan, terutama pada tipe

infrakardiak, ini disebabkan oleh kompresi pada vena pulmonalis saat

esofagus terisi makanan atau cairan.21

5. Trunkus Arteriosus

Trunkus arteriosus merupakan penyakit jantung bawaan yang

jarang ditemukan, dimana hanya terdapat satu trunkus arteriosus yang

keluar dari ventrikel yang normal, dengan kata lain hanya terdapat

satu katup semilunar. Insiden trunkus arteriosus adalah sebesar 1%-

2% dari semua penyakit jantung bawaan. Berdasarkan estimasi

penyakit jantung bawaan yaitu 8 dari 1000 kelahiran hidup, trunkus

arteriosus ditemukan pada 5 sampai 15 per 100 000 kelahiran hidup.26

Gejala trunkus arteriosus dapat berupa sianosis, yang terlihat

segera setelah lahir, dan tanda-tanda gagal jantung kongestif yang

muncul kemudian, beberapa hari setelah lahir. Pasien juga sering

dispnea saat menyusui, minum atau makan, gagal tumbuh, dan infeksi

respiratorik yang berulang.21

24

Page 25: Bronko Pneumonia

1.2.6.Diagnosis

Diagnosis penyakit jantung bawaan sebaiknya diawali dengan

anamnesis dan perkembangan bayi atau anak secara teliti dan lengkap

termasuk riwayat kehamilan, riwayat kesehatan ibu dan penggunaan obat-

obatan ( alkohol, fenitoin, amfetamin, litium, steroid estrogenik dan lain-

lain) saat hamil, dan riwayat keluarga dengan abnormalitas jantung, diikuti

dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.21

Pada bayi baru lahir dengan tanda-tanda penyakit jantung bawaan

sianotik, diagnosa biasanya dapat ditegakkan secara dini. Berbeda dengan

penyakit jantung bawaan asianotik, diperlukan waktu yang lama bahkan

pada kasus yang ringan dapat tidak terdiagnosa sampai dewasa.27

Pemeriksaan penunjang awal dalam penentuan PJB adalah foto toraks dan

EKG (elektrokardiogram), diagnosis pasti ditegakkan menggunakan

ekokardiografi. Pada bayi dengan takipnea, tanda radiologi menunjukkan

kardiomegali, corakan pembuluh darah paru yang bertambah atau edema

interstisiel umumnya sudah terlihat, walaupun tanda-tanda khas barulah

kemudian terdapat. Problem pernapasan adalah masalah yang sering terlihat

menyertai problem jantung. Gambaran EKG pada PJB sering abnormal,

tetapi kadang-kadang hanya terdapat ventrikel kanan dominan yang umum

ditemukan pada bayi normal. Pada keadaan demikian, diperlukan re-

evaluasi dalam jangka waktu pendekberulang kali.28

1.2.7.Komplikasi

Komplikasi pada PJB dapat terjadi baik cepat maupun lambat.

Hipertensi pulmonal, aritmia, kelainan katup, endokarditis infeksiosa,

pneumonia berulang maupun gagal jantung merupakan konsekuensi yang

dapat terjadi.17 Malnutrisi pada anak PJB berkaitan juga dengan

meningkatnya morbiditas dan mortalitas akibat seringnya anak dilakukan

perawatan, Hasil operasi yang tidak memuaskan, kegagalan yang menetap

dari pertumbuhan somatis dan meningkatnya kematian.29 Pasien dengan

aliran darah ke paru yang bertambah dan hipertensi pulmonal akan lebih

banyak mengalami malnutrisi dan gangguan pertumbuhan yang

berhubungan dengan hipoksia pada pasien dengan PJB sianotik.30 Keadaan

25

Page 26: Bronko Pneumonia

tersebut akan mempermudah infeksi sehingga akan memperparah keadaan

anak. Anoreksia, asupan nutrisi yang tidak adekuat, hipoksemia jaringan,

status hipermetabolik, asidemia, dan ketidakseimbangan kation, aliran darah

perifer yang berkurang, dekompensasi jantung kronis, malabsorbsi maupun

kehilangan protein, infeksi saluran pernafasan berulang, faktor hormonal,

dan genetik akhirnya akan menyebabkan malnutrisi.28

Pneumonia menempati urutan pertama penyakit penyerta yang

membawa anak datang berobat. Hasil penelitian di RSUP Dr. M. Djamil

Padang dari tahun 2008 hingga 2011 didapatkan sebagian besar pasien PJB

menderita kelainan paru terutama bronkopneumonia (32,6%).14 Infeksi

menjadi masalah pada PJB khususnya infeksi saluran pernafasan bawah.

Penelitian yang dilakukan oleh MacDonald dkk menunjukkan mortalitas

infeksi RSV pada bayi dengan PJB mencapai 44%. Penyakit jantung

bawaan adalah salah satu faktor risiko terjadinya pneumonia berulang pada

anak.

Berdasarkan penelitian oleh Hariyanto, kelainan kongenital

terbanyak menyertai suatu PJB adalah Down’s syndrome dengan 50%

kasusnya disertai dengan VSD.14 Hal tersebut berbeda dengan sebagian

besar hasil penelitian yang mendapatkan AVSD adalah kelainan terbanyak

yang ditemukan pada penderita Down syndrome, diikuti dengan VSD, ASD

skundum, koartasio aorta, TOF, dan kelainan lain.32

1.2.8.Tatalaksana

Sebagian kecil penyakit jantung bawaan membaik dengan

sendirinya tanpa membutuhkan pengobatan, atau jika defek sangat kecil

tidak memerlukan tindakan. Namun demikian, mayoritas kasus berada

dalam kondisi yang berat dan memerlukan tindakan dengan pengobatan

maupun operasi.27

Pada kasus akut yang berat, pasien mungkin memerlukan tindakan

resusitasi segera, dan perawatan rumah sakit. Jika gangguan sangat berat

sehingga mengganggu sirkulasi dan oksigenisasi, atau membebankan

jantung dan paru, maka intervensi non operasi seperti valvotomi, atau

26

Page 27: Bronko Pneumonia

tindakan operasi mungkin diperlukan. Pada sebagian kasus yang sangat

berat, transplantasi jantung mungkin menjadi pilihan utama pengobatan.

1.3. Penyakit Jantung Bawaan (PJB) pada Sindroma Down

Secara umum insidensi PJB pada populasi umum adalah 0,8

persen. Insidensi PJB pada anak dengan Sindroma Down dapat mencapai 50

persen. Tipe cacat jantung pada anak dengan Sindroma Down dapat dibagi

menjadi tiga kategori umum:

1. Atrioventricular septal defects (AVSD)

2. Ventricular septal defect (VSD), atrial septal defect (ASD), atau patent

ductus arteriosus(PDA)

3. Penyakit jantung kompleks lainnya.

Atrioventricular septal defects paling sering terjadi pada pasien ini,

yaitu sekitar 60% dari seluruh PJB yang ditemukan pada Sindroma Down.

Ventricular septal defect, ASD, dan PDA terjadi pada 20 persen dari kasus,

meskipun cacat ini lebih sering terjadi pada populasi umum dibandingkan

AVSD. Penyakit jantung bawaan kompleks lainnya adalah Tetralogy of Fallot

dan sindroma hipoplastik jantung kiri.33 Namun, hasil penelitian yang berbeda

didapatkan di RSUP DR M. Djamil Padang bahwa jenis PJB yang terbanyak

yang didapatkan pada kasus Down’s syndrome adalah VSD, yaitu sebesar

50% kasus.14

Sebagai tambahan pada PJB pada Sindroma Down, peningkatan

tekanan darah pada paru (hipertensi pulmonal) memiliki frekuensi yang lebih

tinggi pada pasien dengan Sindroma Down. Tekanan yang tinggi ini mungkin

berkaitan dengan malformasi jaringan paru, meskipun penyebab pastinya tidak

diketahui. Tekanan yang lebih tinggi itu dapat mengurangi aliran darah ke

paru sehingga mengurangi gejala yang mirip gagal jantung kongestif pada

bayi dengan AVSD lengkap atau VSD yang besar.33

27

Page 28: Bronko Pneumonia

BAB 2

LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien

Nama : IF

No. MR : 87.01.73

Jenis Kelamin : Laki-laki

Umur : 11 hari

Alamat : Jalan Kampung Baru No. 45 Air Camar, Padang

Tanggal Masuk : 01 Juni 2014

2.2 Alloanamnesis : oleh Ibu Kandung

Seorang pasien neonatus laki-laki berumur 11 hari dirawat di perinatologi IKA

RSUP DR M. Djamil Padang sejak tanggal 1 Juni 2014 (hari rawatan ke 2)

dengan:

Keluhan Utama :

Sesak nafas sejak 8 jam sebelum masuk rumah sakit

Riwayat Penyakit Sekarang :

NBBLC 3200 gram, PBL 46 cm, lahir secara sectio caesarea atas indikasi

bekas sectio caesarea, Apgar score langsung menangis (partus luar),

ketuban kehijauan, tidak berbau.

Demam sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit, tidak tinggi, tidak terus-

menerus.

Sesak nafas sejak 8 jam sebelum masuk rumah sakit, kebiruan tidak ada.

Kejang tidak ada.

Muntah tidak ada, riwayat tersedak disangkal.

Bayi menyusu langsung pada ibu, setiap 2-3 jam, lama menyusu ± 5-10

menit per kali.

Buang air kecil ada, frekuensi 5-8 kali sehari, warna biasa.

Buang air besar warna dan konsistensi biasa, frekuensi 5-8 kali sehari.

28

Page 29: Bronko Pneumonia

Riwayat ibu demam saat hamil tidak ada. Riwayat ibu keputihan saat

hamil tidak ada. Riwayat ibu nyeri buang air kecil saat hamil tidak ada.

Bayi sebelumnya dibawa ke Sp.A, kemudian di rujuk ke RSUP Dr. M.

Djamil Padang dengan keterangan observasi sesak nafas, suspect sindrom

down dan VSD.

Riwayat Keluarga :

Nama saudara kandung :

1. Calista, perempuan, umur 7 tahun, keadaan sehat

Riwayat Kehamilan Ibu Sekarang :

P 2 A 0 H 2

Presentasi bayi : kepala

Penyakit selama hamil : tidak ada

Pemeriksaan kehamilan :

Kontrol teratur ke dokter, 4 kali selama kehamilan.

HPHT : lupa

TM : tidak dapat ditentukan

Kesan : lama hamil tidak dapat ditentukan berdasarkan HPHT

Kebiasaan ibu saat hamil :

Kualitas dan kuantitas makanan cukup, kebiasaan merokok dan

mengkonsumsi obat-obatan tidak ada.

Pemeriksaan waktu hamil :

Tekanan darah : tidak diketahui

Suhu : tidak diketahui

Hb : tidak diketahui

Leukosit : tidak diketahui

Gula darah : tidak diketahui

29

Page 30: Bronko Pneumonia

Riwayat Persalinan :

Persalinan di RS bersalin swasta, lahir sectio caesarea atas indikasi bekas

sectio caesarea, cukup bulan, Apgar score langsung menangis (partus luar),

ketuban kehijauan.

Keadaan bayi saat lahir :

Lahir tanggal :23 Mei 2014

Jenis Kelamin : Laki-laki

APGAR SCORE : Langsung menangis (partus luar)

2.3 Pemeriksaan Fisik

Status Generalis

Keadaan Umum : Cukup aktif

Berat Badan : 3200 gram

Frekuensi jantung : 142x / menit

Frekuensi Nafas : 70 x/menit

Suhu : 37,9 °C

Panjang badan : 46 cm

Sianosis : tidak ada

Ikterus : tidak ada

Anemis : tidak ada

Kepala : Bentuk : brachycephaly

Ubun – ubun besar : 1,5 x 1,5 cm

Ubun – ubun kecil : 0,5 x 0,5 cm

Jejas persalinan : Tidak ada

Wajah dismorfik.

Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil isokor

diameter 2mm/2mm, refleks cahaya +/+ normal, jarak epikantus

2cm (Epicantal index = 2/34 x 100% = 5,8%)

Telinga : Low set ear ada.

Hidung : hidung kecil, flat nasal bridge

30

Page 31: Bronko Pneumonia

Mulut : mukosa mulut dan bibir basah, sianosis sirkum oral tidak ada,

palatum letak tinggi ada, makroglosia ada.

Leher : Tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening, JVP sukar dinilai.

Thoraks

Bentuk : Normochest

Jantung :

Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat

Palpasi : ictus cordis teraba pada LMCS RIC V

Perkusi : batas jantung sukar dinilai

Auskultasi : irama teratur, bising kontinu di sela iga ke-2 tepi kiri

sternum yang menjalar ke daerah infraklavikular, derajat

bising 3/6.

Paru :

Inspeksi : simetris, retraksi epigastrium ada

Palpasi : fremitus kiri sama dengan kanan, normal

Perkusi : tidak dilakukan

Auskultasi : Suara nafas bronkovesikuler, ronkhi basah halus nyaring

ada, wheezing tidak ada.

Abdomen :

Permukaan : Datar

Kondisi : Lemas

Hati : Hepar teraba ¼ - ¼, pinggir tajam, konsistensi kenyal,

permukaan rata.

Limpa : Tidak teraba

Tali pusat : kering, tidak berbau.

Umbilikus : Sekitar umbilikus tidak hiperemis

Genitalia : Fimosis ada.

Ekstrimitas :

Atas : Akral hangat, perfusi baik, simian crease ada.

Bawah : Akral hangat, perfusi baik, jarak antara ibu jari kaki dengan jari

ke II lebar.

Kulit : Teraba hangat, turgor baik-kembali cepat

31

Page 32: Bronko Pneumonia

Anus : Ada

Tulang-tulang : Tidak ada kelainan

Reflek : Moro : + Isap : +

Rooting : + Pegang : +

Ukuran : Lingkar kepala : 34 cm

2.4 Laboratorium Rutin

Darah : Hb : 15,3 gr/dL

Leukosit : 16.200/mm3

Trombosit : 133.000/mm3

Hitung jenis : 0/0/2/46/51/1

Urin : tidak dilakukan pemeriksaan

Feses : tidak dilakukan pemeriksaan

2.5 Diagnosis Kerja

1. Respiratory distress ec. Suspect pneumonia

2. Penyakit jantung bawaan non sianotik ec. Suspect VSD

3. Suspect Sindrom Down

4. Fimosis

2.6 Diagnosis Banding

Aspirasi pneumonia

2.7 Terapi

1. Diet

Sementara dipuasakan

2. Farmakologis

Oksigen ½ L/i via nasal cannule

IVFD D 12,5% 330 cc/hari, 13,8 cc/jam

Aminosteril infant 6% 54 cc/hari, 2,2 cc/jam

Ampicillin sulbactam 3 x 160 mg iv

Gentamicin 1 x 16 mg iv

32

Page 33: Bronko Pneumonia

2.8 Rencana

Pemeriksaan Rontgen Foto thorax AP

Kultur darah

Echocardiography

Analisa kromosom

2.9 Follow up

Hari rawatan I (2 Juni 2014)

S : demam tidak ada

Sesak nafas ada

Kebiruan tidak ada

Kejang tidak ada

Muntah tidak ada

Buang air kecil dan besar ada, warna dan konsistensi biasa

O : Keadaan umum : cukup aktif

HR : 144 x/menit

RR : 64 x/menit

Suhu : 36,6C

Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik

Hidung : nafas cuping hidung tidak ada

Thoraks : retraksi epigastrium minimal

Cor : irama teratur, tidak terdengar bising

Pulmo : Suara nafas bronkovesikuler, ronkhi basah halus

nyaring ada, wheezing tidak ada

Abdomen : distensi tidak ada, bising usus (+) normal.

Ekstremitas : akral hangat, perfusi baik

A : Takipneu

Ekspertise rontgen foto thoraks AP :

Cor membesar (CTR 66%), apex terangkat, pinggang jantung menonjol,

kedua hilus tertutup bayangan jantung. Infiltrat di kedua perihiler dan

parakardial. Diafragma dan sinus kostofrenikus baik.

Kesan :

Kardiomegali (Suspect RVH)

33

Page 34: Bronko Pneumonia

BP

Sikap :

1. Diet

ASI 8 x 4 cc/jam via OGT

2. Farmakologis

Oksigen ½ L/i via nasal cannule

IVFD D 12,5% 330 cc/hari, 13,8 cc/jam

Aminosteril infant 6% 54 cc/hari, 2,2 cc/jam

Ampicillin sulbactam 3 x 160 mg iv

Gentamicin 1 x 16 mg iv

Rencana :

Kultur darah

Echocardiography

Analisa kromosom

Hari rawatan II (3 Juni 2014)

S : demam tidak ada

Sesak nafas berkurang

Kebiruan tidak ada

Kejang tidak ada

Muntah tidak ada

Intake masuk, toleransi baik

Buang air kecil dan besar ada, warna dan konsistensi biasa

O : Keadaan umum : cukup aktif

HR : 146 x/menit

RR : 62 x/menit

Suhu : 37C

Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik

Hidung : nafas cuping hidung tidak ada

Thoraks : retraksi epigastrium minimal

Cor : irama teratur, tidak terdengar bising

34

Page 35: Bronko Pneumonia

Pulmo : Suara nafas bronkovesikuler, ronkhi basah halus

nyaring ada minimal, wheezing tidak ada

Abdomen : distensi tidak ada, bising usus (+) normal.

Ekstremitas : akral hangat, perfusi baik

A : Takipneu

Sikap :

1. Diet

ASI 8 x 4 cc/jam via OGT

2. Farmakologis

a. Oksigen ½ L/i via nasal cannule

b. IVFD D 12,5% 330 cc/hari, 13,8 cc/jam

c. Aminosteril infant 6% 54 cc/hari, 2,2 cc/jam

d. Ampicillin sulbactam 3 x 160 mg iv

e. Gentamicin 1 x 16 mg iv

Rencana :

Kultur darah

Echocardiography

Analisa kromosom

Hari rawatan III (4 Juni 2014)

S : demam tidak ada

Sesak nafas berkurang

Kebiruan tidak ada

Kejang tidak ada

Muntah tidak ada

Intake masuk, toleransi baik

Buang air kecil dan besar ada, warna dan konsistensi biasa

O : Keadaan umum : cukup aktif

HR : 140 x/menit

RR : 58 x/menit

Suhu : 37C

Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik

35

Page 36: Bronko Pneumonia

Hidung : nafas cuping hidung tidak ada

Thoraks : retraksi epigastrium minimal

Cor : irama teratur, tidak terdengar bising

Pulmo : Suara nafas bronkovesikuler, ronkhi basah halus

nyaring ada minimal, wheezing tidak ada

Abdomen : distensi tidak ada, bising usus (+) normal.

Ekstremitas : akral hangat, perfusi baik

A : Takipneu

Hasil Echocardiography: Small PDA

Rencana : kontrol 3 bulan berikutnya

Sikap :

1. Diet

ASI 8 x 4cc/jam via OGT

2. Farmakologis

a. Oksigen ½ L/i via nasal cannule

b. IVFD D 12,5% 330 cc/hari, 13,8 cc/jam

c. Aminosteril infant 6% 54 cc/hari, 2,2 cc/jam

d. Ampicillin sulbactam 3 x 160 mg iv

e. Gentamicin 1 x 16 mg iv

Rencana :

Kultur darah

Analisa kromosom

36

Page 37: Bronko Pneumonia

BAB 3

DISKUSI

Telah dilaporkan seorang neonatus laki-laki usia 11 hari dirawat di di

perinatologi IKA RSUP DR M. Djamil Padang sejak 2 hari yang lalu dengan

diagnosis kerja Respiratory distress ec. Suspect pneumonia, Penyakit jantung

bawaan non sianotik ec. Small PDA, Suspect Sindrom Down, dan Fimosis.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan

laboratorium rutin.

Pada anamnesis didapatkan keluhan Sesak nafas sejak 8 jam yang lalu,

kebiruan tidak ada. NBBLC 3200 gram, PBL 46 cm, lahir secara sectio caesarea

atas indikasi bekas sectio caesarea, Apgar score langsung menangis (partus luar),

ketuban kehijauan, tidak berbau. Demam sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit,

tidak tinggi, tidak terus-menerus. Sesak nafas sejak 8 jam yang lalu, kebiruan

tidak ada. Kejang tidak ada. Muntah tidak ada, riwayat tersedak disangkal. Bayi

menyusu langsung pada ibu, setiap 2-3 jam, lama menyusu ± 5-10 menit per kali.

Buang air kecil ada, frekuensi 5-8 kali sehari, warna biasa. Buang air besar warna

dan konsistensi biasa, frekuensi 5-8 kali sehari. Riwayat ibu demam saat hamil

tidak ada. Riwayat ibu keputihan saat hamil tidak ada. Riwayat ibu nyeri buang air

kecil saat hamil tidak ada. Bayi sebelumnya dibawa ke Sp.A, kemudian di rujuk

ke RSUP Dr. M. Djamil Padang dengan keterangan observasi sesak nafas, suspect

sindrom down dan VSD.

Berdasarkan pemeriksaan fisik didapatkan pasien demam dengan suhu

37,9C, nafas sesak 70x/menit, adanya retraksi epigastrium, suara nafas

bronkovesikuler, ronkhi basah halus nyaring, tidak ada wheezing. Hasil

pemeriksaan ini mengarahkan pada kriteria pneumonia. Selain itu, pada

pemeriksaan fisik juga ditemukan wajah dismorfik, hidung low set ear, palatum

letak tinggi, mikroglosia yang mengarah pada karakteristik sindrom down. Pada

pemeriksaan fisik jantung didapatkan ictus cordis teraba pada lateral LMCS RIC

V, dan pada auskultasi ditemukan irama teratur, bising kontinu di sela iga ke-2

tepi kiri sternum yang menjalar ke daerah infraklavikular, derajat bising 3/6,

berdasarkan pemeriksaan fisik jantung ini dicurigai adanya suatu kelainan pada

37

Page 38: Bronko Pneumonia

jantung. Berdasarkan lokalisasi bising, kemungkinan kelainan adalah patent

ductus arteriosus (PDA), stenosis aorta, atau insufisiensi pulmonal. Namun,

berdasarkan jenis bising, kemungkinan kelainannya adalah PDA.

Dari hasil pemeriksaan laboratorium rutin didapatkan leukosit 16.200/mm3

dengan kesan leukositosis yang menunjukkan adanya suatu infeksi. Pada kasus ini

dibutuhkan beberapa pemeriksaan penunjang, seperti pemeriksaan rontgen foto

thoraks AP, dengan kesan bronkopneumonia dan kardiomegali. Hasil pemeriksaan

foto thoraks ini memperkuat diagnosis bronkopneumonia. Gambaran

kardiomegali membutuhkan pemeriksaan lanjutan berupa pemeriksaan

echocardiography untuk menunjang diagnosis pada pasien ini. Berdasarkan

pemeriksaan echocardiography yang telah dilakukan pada pasien ini, ditemukan

adanya patent ductuc arteriosus kecil. Persentase kejadian PDA pada pasien

dengan sindrom down adalah sekitar 20 persen dari kasus.33 Untuk menegakkan

diagnosis sindrom down dibutuhkan pemeriksaan penunjang analisis kromosom.

Pada awalnya, pasien dipuasakan karena pasien mengalami sesak. Pada

hari rawatan kedua, keluhan sesak pasien berkurang dan mulai diberikan ASI via

OGT. ASI yang diberikan 4 cc diberikan 8 kali pemberian sehari. Terapi yang

diberikan pada pasien ini adalah Oksigen ½ L/i via nasal cannule untuk mengatasi

sesak. Pemberian cairan IVFD D 12,5% 330 cc/hari, 13,8 cc/jam dan pemberian

Aminosteril infant 6% 54 cc/hari, 2,2 cc/jam. Untuk penatalaksanaan infeksi pada

pasien ini diberikan Ampicillin sulbactam 3 x 160 mg iv dan Gentamicin 1 x 16

mg iv.

38

Page 39: Bronko Pneumonia

DAFTAR PUSTAKA

1. Pedoman Pelayanan Medis. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta: 2009.

2. Price, Sylvia.2009. Pathophysiology : Clinical Concepts of Disease

Processes. Alih Bahasa Peter Anugrah. Edisi 4. Jakarta: EGC.

3. Supriyatno B. Infeksi Respiratori Akut pada Anak. September 2006. Diunduh

dari : Sari Pediatri, Vol.8, No.2. h.100-6

4. Riskesdas, 2007, Balitbang Depkes RI.

5. Alberta Medical Association. 2002. Guideline For The Diagnosis and

Management Of Community Acquired Pneumonia: Pediatrics.Available from

url:http://www.centralhealth.nl.ca/assets/PandemicInfluenza/PNEUMONIAP

EDIATRICS.pdf

6. Pedoman Diganosis dan Terapi Kesehatan Anak, UNPAD, Bandung: 2005

7. Said M. Pneumonia. Buku Ajar Respiratori Anak. Edisi II. Ikatan Dokter

Anaka Indonesia. Jakarta: 2008.h.350-64.

8. Guyton, Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Buku Kedokteran EGC.

Jakarta : 1997. Hal 633.

9. Supriyatno B. Infeksi Respiratori Akut pada Anak. September 2006. Diunduh

dari : Sari Pediatri, Vol.8, No.2. h.100-6

10. Kumar, Vinay dkk, 2010. Pathologic Basis of Disease. 8th Ed, Philadelphia :

Saunders Elsevier.

11. Hoffbrand, A.V. dkk, 2005. Essential Haematology. 4th Ed, Jakarta : EGC.

12. British Heart Foundation Statistics. Incidence of congenital heart disease.

Didapat dari: http://www.heartstat.org.

13. Xue-young Y, Xiao-feng L, Xiao-dong L, Ying-long L. Incidence of

congenital heart disease in Beijing, China. Chin Med J 2009; 122:1128-32.

14. Hariyanto, Didik. Profil Penyakit Jantung Bawaan di Instalasi Rawat Inap

Anak RSUP Dr. M. Djamil Padang Januari 2008 – Februari 2011. Sari

Pediatri. 2012;14(3):152-157

15. Mc Cance, Kathryn L, 2006. Structure and Function of The Cardiovascular

and Lymphatic Systems dalam : Pathophysiology - The Biologic Basis for

Disease in Adults and Children. 5th Ed, Canada : Mosby Elsevier.

39

Page 40: Bronko Pneumonia

16. Rubin, Raphael, dkk, 2012. Rubin’s Pathology “Clinicopathologic

Foundation of Medicine”. 6th Ed, Philadelphia : Lippincott Williams and

Wilkins, a Wolters Kluwer business.

17. Bernstein, Daniel, 2007. The Cardiovascular System. Dalam: Kliegman,

Robert M. et al. 2007. Nelson Textbook of Pediatrics. 18th ed, Saunders

Elsevier, Philadelphia: 1828 – 1928.

18. Roebiono, Poppy S, 2003. Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Jantung

Bawaan. Diunduh dari : http://repository.ui.ac.id/dokumen/lihat/2454.pdf .

[diakses tanggal 6 Juni 2014]

19. Mersch, John, 2008. Ventricular Septal Defect. Diunduh dari :

http://www.medicinenet.com/ventricular_septal_defect/article.htm. [diakses

tanggal 6 Juni 2014]

20. Willacy, Hayley, 2010. Ventricular Septal Defects. Diunduh dari :

http://www.patient.co.uk/doctor/Ventricular-Septal-Defects.htm. [diakses 6

Juni 2014]

21. Park, Myung K, 2008. Pediatric Cardiology for Practitioners. 5th Ed,

Philadelphia : Mosby Elsevier.

22. Markham, Larry W, 2011. Atrial Septal Defect. Diunduh dari :

http://emedicine.medscape.com/article/162914-overview. [Diakses 6 Juni

2014]

23. Kulick, Daniel Lee, 2007. Aortic Valve Stenosis. Diunduh dari :

http://www.medicinenet.com/aortic_stenosis/article.htm. [Diakses 6 Juni

2014]

24. Chin, Alvin J, 2011. Interrupted Aortic Arch. Diunduh dari :

http://emedicine.medscape.com/article/896979-overview. [Diakses 6 Juni

2014]

25. Prasodo, A. M, 1994. Penyakit Jantung Bawaan Sianotik. Dalam: Buku Ajar

Kardiologi Anak. Binarupa Aksara, Jakarta: 234 – 277.

26. McElhinney, Doff B, 2012. Truncus Arteriosus. Diunduh dari :

http://www.emedicine.medscape.com/article/892489-overview. [Diakses 6

Juni 2014]

40

Page 41: Bronko Pneumonia

27. Nordqvist, Christian, 2010. What is Congenital Heart Disease?. Diunduh

dari: http://www.medicalnewstoday.com/articles/181142.php. [Diakses 5 Juni

2014]

28. Baraas H. Penyakit jantung pada anak. Dalam: Kardiologi klinis dalam

praktek diagosis dan tatalaksana penyakit jantung pada anak. Jakarta: FKUI;

1995.h.3-27

29. Okoromah CAN, Ekure EN, Lesi FE, Okunowo WO, Tijani BO, Okeiyi JC.

Prevalence, profile and predictors of malnutrition in children with congenital

heart defects : a case control observational study. Arch Dis

Child.2011;10:1136-43

30. Savitri S. Malnutrition in congenital heart disease. Indian Pediatrics 2008;45:

535-4.

31. Owayed AF, Campbell DM, Wang EL. Underlying cause of recurrent

pneumonia in children. Arch Pediatr Adolesc Med 2000;154:190-4.

32. Freeman SB, Taft LF, Dooley KJ, Allran K, Sherman SL, Hassold TJ,

Khoury MJ, dkk. Population-based study of congenital heart defects in down

syndrome. Am J Med Genet 1998;80:213-7.

33. Cincinnati Chlidren’s Hospital Medical Center, 2006. Down Syndrome:

Trisomy 21. Diunduh dari: http://www.cincinnatichildrens.org/health/heart-

encyclopedia/disease/syndrome/down.htm [Diakses 5 Juni 2014]

41