bronkiolitis
-
Upload
sarah-andriani -
Category
Documents
-
view
16 -
download
1
Transcript of bronkiolitis
II.1. Definisi
Bronkiolitis adalah penyakit inflamasi akut dari saluran atas dan bawah menyebabkan
obstruksi dari saluran napas kecil.(3)
II.2. Etiologi
Respiratory Syncytial Virus (RSV) adalah agen yang paling sering yang ditemukan dalam
isolasi sebanyak 75% pada anak-anak kurang dari 2 th yang menderita bronkiolitis dan dirawat di
rumah sakit. Penyebab lain yang menyebabkan bronkiolitis termasuk didalamnya adalah virus
para influenza tipe 1 dan 3, influenza B, para influenza tipe 2, adenovirus tipe 1,2,5 dan
mycoplasma yang paling sering pada anak-anak usia sekolah. Terdapat pembuktian bahwa
kompleks imunologis yang memainkan peranan penting dari patogenesis dari bronkiolitis dengan
RSV. Reaksi alergi tipe 1 dimediasi oleh antibodi Ig E hal ini dapat dihitung untuk signifikansi
dari bronkiolitis. Bayi yang meminum ASI dengan colustrum tinggi yang didalamnya terdapat Ig
A tampaknya lebih relaktif terproteksi dari bronkiolitis.(4)
Adenovirus dapat dihubungkan dengan komplikasi jangka lama, termasuk bronkiolitis
obliterans dan sindrom paru hiperlusen unilateral (sindrom Swyer-James).
Virus sinsisial respiratorik
VSR adalah virus RNA terikat membran berukuran medium yang berkembang dalam
sitoplasma sel yang terinfeksi dan matang dengan pertunasan dari membran plasma. Berbagai
strain VSR menunjukan beberapa heterogenitas antigenik. Variasi ini terutama ditemukan pada
hanya satu dari dua glikoprotein permukaan dari virus menunjukan reaksi pada hospes manusia
seperti satu serotip. VSR menghasilkan sitopatologis sinsitial khas dalam biakan jaringan
spesimen dikirim dengan cepat dalam es basah karena labil. (4)
Adeno virus
Adenovirus adalah virus DBA ukuran sedang, yang diklasifikasikan menjadi subgena A
sampai G. Tipe 1-39 ada dalam subgena A sampai E, tipe 40 adalah subgenus F, dan tipe 41
adalah subgenus G, virion mempunyai pembungkus ikosahedral yang tersusun dari berbagai
protein, yang paling berlebihan darinya adalah “hexon”, antigen biasa yang bereaksi silang
dengan semua adenovirus mammalia. “penton” memberi spesifisitas tipe, dan antibodi
terhadapnya adalah protektif. Penton ini juga sitotoksik pada biakan jaringan, dan sifat sofatoksik
telah dianggap berasal darinya juga in vivo. Adenovirus dapat juga diklasifikasikan dengan
mencetakkan “sidik jari” DNAnya pada jelli sesudah terdigesti dengan pembatasan
endonuklease, dan klasifikasi ini biasanya sesuai dengan tipe-tipe antigeniknya. (4)
Semua tipe adenovirus kecuali tipe 40 dan 41 tumbuh dalam sel ginjal embrional manusia
primer, dan kebanyakan tumbuh pada sel Hep-2 atau HeLa, menghasilkan pengaruh sitopatik,
destruktif khas. Tipe 40 dan 41 (dan serotip lain juga), tumbuh pada 293 sel, deretan sel ginjal
embrional manusia yang kepadanya telah dimasukkan gena adenovirus “awal” tertentu.
Banyak tipe adenovirus, tetapi terutama tipe anak biasa (1,2 dan 5), dilepas selama masa
yang panjang dari saluran pernafasan maupun saluran cerna. Tipe ini juga menyebabkan infeksi
tonsil ringan dan kronik. (4)
Virus para influenza
Ada empat virus dalam famili parainfluenza yang menyebabkan sakit pada manusia,
ditandai tipe 1-4. Virus mempunyai genom RNA helai tunggal, tidak bersegmen dengan
pembungkus mengandung lipid yang berasal dari pertunasan melalui membran sel. Bagian
antigenik utama adalah tonjolan-tonjolan protein pembungkus yang menunjukan sifat-sifat
hemaglutinasi (protein HN) dan fusi sel (protein F). (4)
II.3 Klasifikasi
Bronkiolitis dapat diklasifikasikan menjadi :
Bronkiolitis akut
Bronkiolitis obliteran.
Bronkiolitis akut dengan bronkiolitis obliteran dibedakan pada bronkhiolus dan saluran
pernafasan yang lebih kecil terjejas, karena upaya perbaikan menyebabkan sejumlah besar
jaringan granulasi yang menyebabkan obstruksi jalan nafas, lumen jalan nafas terobliterasi oleh
masa noduler granulasi dan fibrosis. Bronkiolitis obliterans merupakan komplikasi yang lazim
pada transplantasi paru.(1)
II.4. Epidemiologi
Epidemi dari RSV berkembang pada iklim dengan musim hujan dan menjelang kemarau,
dan biasanya juga muncul pada musim yang bersamaan dengan menjangkitnya para-influenza.
Terdapat bukti bahwa RSV endemik di daerah sub tropis dari Asia Tenggara sepanjang tahun ,
dan memuncak antara bulan Oktober sampai Februari dan berkurang pada bulan Maret sampai
Juli. 2 dari sub tipe RSV telah di ketahui, yaitu tipe A dan tipe B, dengan tipe yang paling sering
menyebabkan infeksi yang berat. Tipe B biasanya mendominasi apabila tipe A tidak dalam
musim endemi. Penyakit ini sangat menular, penularan disebarkan melalui sekresi hidung yang
keluar dan sangat menular pada hari ke 6 sampai hari ke 21 setelah gejala muncul. Waktu
inkubasi antara 2 - 5 hari. Infeksi terjadi pada anggota keluarga sebanyak 46 %, 98 % pada anak
yang dititipkan pada perawatan harian, 42 % pada staff rumah sakit dan sebanyak 45 % pada
bayi yang dirawat di RS tetapi tidak terinfeksi. Infeksi menyebar melalui muntahan dan
penggunaan sarung tangan, sedangkan baju khusus dapat mengurangi penyebaran infeksi
nosokomial. 25 % anak umur dibawah 1 tahun dan 13 % anak umur antara 1 sampai 2 tahun
akan mendapatkan infeksi saluran nafas. Separuh dari angka tersebut didapatkan gejala bersin
yang diasosiasikan dengan infeksi saluran nafas. RSV dapat ditemukan pada kultur pasien yang
dirawat di RS yang menderita infeksi tersebut dan 80 % nya berumur kurang dari 6 bulan.
Diantaranya bayi yang sehat 80 % dirawat di RS pada tahun pertama kehidupannya dan sekitar
50 % perawatan di rumah sakit adalah bayi antara umur 1-3 bulan. Kurang dari 5 % perawatan di
RS pada neonatus, kemungkinan dengan adanya antibodi yang masih terdapat dari
transplasental-maternal. Faktor resiko untuk onset yang dini dari penyakit ini dan kemungkinan
perawatan intensif dihubungkan dengan berat badan lahir rendah, prematuritas, sosio-ekonomi
rendah, hidup didaerah padat, orang tua perokok, tidak diberikannya ASI ekslusif, dan perawatan
harian.(4)
Pada satu laporan, pemeriksaan fungsi paru yang canggih dilakukan terhadap populasi
besar bayi-bayi normal. Analisis tindak lanjut menunjukan bahwa penyakit paru mengi secara
bermakna lebih lazim dijumpai pada bayi yang hantaran pernafasan total awalnya ada pada
sepertiga terendah dari mereka yang diuji. Penurunan fungsi paru dapat memainkan peran
penting dalam menentukan bayi mana yang dengan infeksi virus yang akan berkembang
bronkiolitis.(1)
II.5. Patogenesis
Bronkiolitis akut ditandai dengan obstruksi bronkiolus yang disebabkan oleh edema dan
kumpulan mukus dan oleh invasi bagian-bagian bronkus yang lebih kecil oleh virus. Karena
tahanan/ resistensi terhadap aliran udara didalam saluran besarnya berbanding terbalik dengan
radius/ jari-jari pangkat empat, maka penebalan yang sedikit sekali pun pada dinding bronkiolus
bayi dapat sangat mempengaruhi aliran udara. Tahanan pada saluran udara kecil bertambah
selama fase inspirasi dan ekspirasi, namun karena selama ekspirasi jalan nafas menjadi lebih
kecil, maka hasilnya adalah obstruksi pernafasan katup yang menimbulkan udara terperangkap
dan overinflasi. Atelektasis dapat terjadi ketika obstruksi menjadi total dan udara yang
terperangkap diabsorbsi.(1)
Proses patologis menggangu pertukaran gas normal di dalam paru. Perfusi ventilasi yang
tidak seimbang mengakibatkan hipoksemia, yang terjadi pada awal perjalanannya. Retensi
karbondioksida (hiperkapnia) biasanya tidak terjadi kecuali pada pasien yang terkena berat.
Makin tinggi frekuensi pernapasan melebihi 60/menit; selanjutnya hiperkapnia berkembang
menjadi takipnea.(1)
Beberapa fakta memberi kesan cidera imunologis sebagai faktor faktor pada patogenesis
bronkiolitis yang disebabkan VSR : (1) bayi yang sekarat karena bronkitis telah menunjukkan
imunoglobulin maupun virus dalam jaringan bronkiolus yang terjejas; (2) anak yang mendapat
vaksin RSV yang diberikan secara parenteral sangat antigenik, inaktif pada pemajanan RSV
berikutnya, penyakitnya menjadi lebih berat dan lebih sering kambuh dibandingkan anak-anak
lainnya ; (3) bronkiolitis yang bergabung kedalam asma pada bayi yang lebih tua, dan RSV
seringkali merupakan serangan asma akut yang dikenali pada anak usia 1-5 tahun; dan (4)
antibodi imunoglobulin E (IgE) yang mengarah langsung ke RSV ditemukan pada sekresi
konvalesen pada bayi dengan bronkiolitis.(1)
Disamping pengruh destruktif virus dan respons hospes yang menyertai, belum jelas
peran apa yang dimainkan oleh bakteri yang menumpanginya. Pada kebanyakan bayi dengan
bronkiolitis, dengan atau tanpa pneumonia interstitial, pengalaman klinis memberi kesan bahwa
bakteri memainkan peran yang tidak berarti.(1)
Penyakit ini juga berkembang pada bayi-bayi yang biasanya terdapat titer antibodi
maternal (IgG) menetralkan RSV tetapi tidak terdapat antibodi sekretorik (IgA) pada saluran
nafas, sehingga terdapat pada sekret hidung yang memproteksi terhadap infeksi RSV. Fakta
tersebut telah mengarah ke spekulasi bahwa fakta tersebut penyebab alamiah terjadinya
bronkiolitis.(5)
Berbeda antara bayi, anak besar dan orang dewasa dapat mentoleransi udem saluran
napas dengan lebih baik. Oleh karena itu, pada anak besar dan orang dewasa jarang terjadi
bronkiolitis bila terkena infeksi oleh virus.(2)
Ada pendapat bahwa bronkiolitis merupakan hasil dari reaksi kompleks imun antara
antibodi non-neutralizing dengan virus. Pendapat tersebut berdasarkan pengamatan di mana
terjadinya infeksi oleh virus ketika umur masih muda, terutama kurang dari 6 bulan. Saat itu,
antibodi yang secara pasif didapatkan dari ibu masih cukup tinggi.(2)
Gambar 1. Pembengkakan Bronkiolus akibat Infeksi RSV.(6)
II.6. Manifestasi Klinis
Bronkiolitis Akut
Mula-mula bayi mendapatkan infeksi saluran napas ringan berupa pilek encer, batuk,
bersin-bersin, dan kadang-kadang demam. Gejala ini berlangsung beberapa hari, kemudian
timbul distres respirasi yang ditandai oleh batuk paroksimal, mengi, dispneu, dan iritabel.
Timbulnya kesulitan minum terjadi karena napas cepat sehingga menghalangi proses menelan
dan menghisap. Pada kasus ringan, gejala menghilang 1-3 hari. Pada kasus berat, gejalanya dapat
timbul beberapa hari dan perjalananya sangat cepat. Kadang-kadang, bayi tidak demam sama
sekali, bahkan hipotermi. Terjadi distres pernapasan dengan frekuensi napas 60 x/menit, terdapat
napas cuping hidung, penggunaan otot pernapasan tambahan, retraksi, dan kadang-kadang
sianosis. Retraksi biasanya tidak dalam karena adanya hiperinflasi paru (terperangkapnya udara
dalam paru). Hepar dan lien bisa teraba karena terdorong diafragma akibat hiperinflasi paru.
Mungkin terdengar ronki pada akhir inspirasi dan awal ekpirasi. Ekpirasi memanjang dan mengi
kadang-kadang terdengar dengan jelas.(2)
Gambaran radiologik biasanya normal atau hiperinflasi paru, diameter anteroposterior
meningkat pada foto lateral. Kadang-kadang ditemukan bercak-bercak pemadatan akibat
atelektasis sekunder terhadap obtruksi atau anflamasi alveolus. Leukosit dan hitung jenis
biasanya dalam batas normal. Limfopenia yang sering ditemukan pada infeksi virus lain jarang
ditemukan pada brokiolitis. Pada keadaan yang berat, gambaran analisis gas darah akan
menunjukkan hiperkapnia, karena karbondioksida tidak dapat dikeluarkan, akibat edem dan
hipersekresi bronkiolus.(2)
Bronkiolitis Obliterans
Bronkiolitis obliterans adalah suatu peradangan kronik pada bronkiolitis dimana sudah
terjadi obliterasi pada bronkiolus.Pada mulanya dapat terjadi batuk, kegawatan pernafasan dan
sianosis dan disertai dengan periode perbaikan nyata yang singkat. Penyakit yang progresif
terlihat dengan bertambahnya dispnea, batuk, produksi sputum, dan mengi. Polanya dapat
menyerupai bronkitis, bronkiolitis atau pneumonia.(7)
Temuan rontgenografi dada berkisar dari normal sampai pola yang memberi kesan
tuberkulosis milier. Sindrom Swyer James dapat berkembang dengan dijumpainya hiperlusensi
unilateral dan pengurangan corak pembuluh darah paru pada sekitar 10% kasus. Bronkografi
menunjukan obstruksi bronkiolus, dengan sedikit atau tidak ada bahan kontras yang mencapai
perifer paru. Tomografi terkomputasi (CT) dapat menunjukan bronkiektasia yang terjadi pada
banyak penderita. Temuan-temuan uji fungsi paru bervarisasi, yang paling sering adalah
obstruksi berat, namun demikian retreksi atau kombinasi obstruksi dan retraksi dapat ditemukan.
Diagnosis dapat dikonfirmasikan melalui biopsi paru.(7)
II.8. Diagnosis
Bronkiolitis adalah diagnosa klinis. Keterlibatan VSR pada setiap penyakit anak tertentu
dapat dicurigai pada berbagai tingkat kepastian dari musim tahunan dan adanya wabah khas pada
saat tersebut. Tanda lain yang mungkin membantu adalah umur anak ( selain VSR, satu-satunya
virus respiratori yang sering menyerang bayi umur beberapa bulan pertama adalah virus
parainfluenza tipe-3 ) dan epidemiologi keluarga.(10)
Masalah terbesar dalam diagnostik bronkiolitis adalah adanya kemungkinan keterlibatan
infeksi bersama dengan bakteri atau klamidia. Bila bronkiolitis ringan atau infiltrat tidak tampak
pada roentgenogram, ada kemungkinan infeksi komponen dengan bakteri. Pada bayi usia 1-4
bulan, pneumonitis interstisial dapat disebabkan oleh chlamydia trakhomatis. Pada keadaan ini
mungkin riwayat konjungtivitis, dan penyakit cenderung subakut. Terdapat keluhan batuk sering
tetapi tidak ada mengi dan tanpa demam.(10)
Konsolidasi tanpa tanda-tanda lain atau dengan efusi pleura dianggap berasal dari bakteri
sampai terbukti lain. Tanda-tanda lain yang mengarah pada pneumonia bakteri adalah kenaikan
angka neutrofil, depresi jumlah sel darah putih bila ada penyakit berat, ileus atau tanda-tanda
perut lain, demam tinggi, dan kolaps sirkulasi.(10)
Diagnosis pasti infeksi VSR didasarkan pada deteksi virus atau antigen virus dalam
sekresi pernafasan. Spesimen harus diletakkan diatas es, dan langsung dibawa ke laboratorium
untuk diproses dengan deteksi antigen atau ditanamkan pada suatu sel yang rentan. Aspirat
mukus dari lubang hidung posterior ( nasal washing ) merupakan spesimen yang optimal.
Pulasan nasofaring atau tenggorok juga dapat diterima. Aspirat trakhea tidak perlu.(10)
II.9. Diagnosis Banding
Keadaan yang paling lazim terancu dengan bronkiolitis akut adalah asma, satu atau lebih
dari yang berikut ini mendukung diagnosis asma, riwayat keluarga asma, episode berulang kali
pada bayi yang sama, mulainya mendadak tanpa infeksi yang mendahului, ekspirasi sangat
memanjang, eosinofilia, dan respons pembaikan segera pada pemberian satu dosis albuterol
aerosol. Serangan berulang menggambarkan titik pembeda yang penting kurang dari 5%
serangan berulang bronkiolitis klinis mempunyai penyebab infeksi virus. Wujud lain yang dapat
terancukan dengan bronkiolitis akut adalah gagal jantung kongesif, benda asing di dalam trakhea,
pertusis, keracunan organofosfat, kistik fibrosia, dan bronkopneumonia bakteri yang disertai
dengan overinflasi paru obstruktif menyeluruh.(1)
II.10. Pemeriksaan penunjang
Darah lengkap
Dengan hitungan jumlah sel darah lengkap jarang bermanfaat karena sel darah putih pada
umumnya di dalam batas normal atau naik dan hitung jenis mungkin normal atau
bergeser kekanan atau kekiri
Urin
Berat jenis urin dapat menyediakan informasi bermanfaat mengenai balance cairan dan
kemungkinan dehidrasi.
Serum darah
Kimia serum darah tidaklah terpengaruh secara langsung oleh infeksi/peradangan tetapi
dapat membantu menerka beratnya derajat dehidrasi.
Analisa gas darah
Analisa gas darah mungkin diperlukan pada pasien yang sakitnya berat, terutama yang
menuntut ventilasi mekanik atau buatan.
Radiologi
Foto sinar x dada cukup diperlukan meliputi foto anterior-posterior dan lateral. dapat
terlihat gambaran (tergantung berat ringannya penyakit)
o Hiperinflasi dan infiltrat yang tertutup, gambaran ini adalah nonspesifik dan mungkin
juga dapat pada gambaran pasien dengan sakit asma, pneumonia yang tidak lazim
atau karena virus, dan aspirasi cairan.
o Ateletaksis fokal
o Gambaran udara yang terperangkap
o Gambaran sekat diafragma yang rata
o Peningkatan gambaran Garis tengah Antero posterior
o Peribronchial Cuffing
o Foto sinar x dapat juga mengungkapkan bukti alternatif untuk diagnosa banding,
seperti pneumonia lobaris , gagal jantung kongestif, atau aspirasi benda asing.
Pemeriksaan lainnya:
o Antigen Test pada nasal wash, dapat mengungkap dengan cepat ( pada umumnya di
dalam 30 min) dan akurat ( kepekaan 87-91%, ketegasan 96-100%) dalam
pendeteksian RSV.
o Kultur positif dengan direct fluorescent antibody, test hasil percobaan dapat
mengkonfirmasikan infeksi karena RSV .
o Nasal washing test harus diperoleh dari anak-anak yang diperlukan opname dan anak-
anak yang berhadapan dengan resiko berat.
o Kultur RSV lebih sedikit sensitip ( 60%) tetapi spesifitas mencapai 100%.
o Panel karena virus yang berhubungan dengan pernapasan, kultur untuk RSV atau lain
virus, atau pendeteksian dengan direct fluorescent antibody atau dengan polymerase
chain reaction mungkin bermanfaat untuk pertimbangan yang berikut:
Sebagai pemeriksaan konfirmasi lainnya
Untuk mencari agen lain infeksius yang lain
Karena tujuan epidemiologik. (11)
II.11. Penatalaksanaan dan Pengobatan
II.11.a Penatalaksanaan
Bayi umur kurang dari 6 bulan dengan bronkiolitis akut dan distress pernafasan
sebaiknya dirawat di rumah sakit bila ditemukan kadar SpO2 kurang dari 92 %, tidak dapat
mempertahankan hidrasi oral, dan meningkatkan angka respirasi, atau mempunyai riwayat
penyakit kardio-respiratori yang kronik. Desaturasi di 40 %O2 (3-4 l/mnt) biasanya muncul
sianosis, gejala extra pulmonal, apnea dan asidosis merupakan tanda bayi di rawat di ruang rawat
intensif. Hipoksemia merupakan tanda kelainan laboratorium yang tampak untuk itu diperlukan
tambahan oksigen bagi pasien. Arah utama untuk pengobatan pasien dengan bronkiolitis adalah
dengan penggantian cairan dan suplemen cairan. Pada pasien tersebut biasanya mengalami
dehidrasi ringan dikarenakan berkurangnya asupan cairan dan banyak kehilangan cairan melalui
demam dan takipnea. Pengguanan cairan tambahan agar diawasi agar tidak terbentuknya formasi
edema paru. Terapi supportive adalah mendeteksi cepat bila ada apnea dan memberikan
perhatian khusus terhadap demam pada neonatus .(4)
II.11.b.Pengobatan
Bronkodilator
Penggunaan bronkodilator merupakan kontroversi pada neonatus dan bayi. Pada tahun
1993 editorial dari Lancet masih tidak memperkenankan penggunaan bronkodilator pada pasien-
apsien bronkiolitis yang jelas tidak efektif. Kellner dkk., mereka menyimpulkan bahwa terdapat
peningkatan ringan dari perbaikan sementara pada pasien dengan bronkiolitis sedang sampai
berat. (4)
Kortikosteroid
Disamping aturan utama inflamasi sebagai patoghenesis terjadinya sumbatan saluran
nafas, kortikosteroid sebagai anti inflamsi tidak terbukti menguntungkan untuk meningkatkan
status klinis pada studi klinis multi-instusional. Dibuktikan dalam penelitan yang ada maka
penggunaan dexamethasone atau glukokortikosteroid lain pada anak-anak tidak dapat didukung.
Nebulasi ephinefrin (0,1 mg/Kg BB) ditemukan lebih efektif daripada B-agonis salbutamol pada
bayi dengan bronkiolitis akut. Pada studi yang dilakukan henderson dkk, tidak ditemukannya
peningkatan signifikan fungsi respirasi pada penggunaan inhalasi adrenalin. Kesimpulan yang
didapat bahwa adrenalin inhalasi tidak mengurangi obstruksi saluran nafas. Berdasarkan
percobaan random terkontrol untuk membandingkan subcutaneus ephinefrin dan nebulalisasi
ephinefrin dengan plasebo ditemukan peningkatan yang signifikan pada pasien yang diterapi
dengan ephinefrin dalam hal peningktan perbaikan oksigenasi dan tanda klinis. (4)
Antikolinergik
Ipratropium bromide adalah zat antikolinergik dalam bentuk aerosol, tidak dapat
menunjukkan bukti dapat membantu dalam manajemen dari bayi yang sakit. Hal ini
menunjukkan tidak ada keuntungan klinis dibandingkan dengan pengobatan albuterol tersendiri
pada kasus bronkiolitis sedang sampai berat. (4)
Antibiotik
Virus adalah etiologi utama pada bronkiolitis untuk itu penggunaan rutin dari antibiotik
sebaiknya dihindari untuk penyakit ini. Apabila bayi mengarah ke arah lebih buruk dan
menunjukkan kenaikan dari hitung sel darah putih kedepannya menunjukkan tanda-tanda sepsis,
selanjutnya kultur bakteri dari darah, urine, dan cairan LCS sebaiknya diambil dan di follow up
segera dengan pemberian antibiotik spektrum luas. Penelitian yang dilakukan oleh Kupperman
dkk. dari 156 bayi dibawah umur 24 bulan yang sebelumnya sehat dengan sedikit demam dan
menderita bronkiolitis, menunjukkan bahwa bayi-bayi ini mau tidak mau menderita bakteremia
dan menderita infeksi saluran kemih.penggunaan rutin dari antibiotik tidak menunjukkan
perbaikan dari bronkiolitis. (4)
Heliox
Heliox (campuran antara helium dengan oxygen) telah digunakan pada pasien asma akut.
telah ada laporan kasus yang menyatakan dan menjelaskan tentang penggunaan heliox pada bayi
laki-laki umur 4 bulan dengan bronkiolitis positif RSV. Heliox mungkin bermanfaat sebagai
tambahan untuk terapi konvensional pada pasien bronkiolitis dalam keadaan kritis.
Bagaimanapun studi klinis dari terapi ini sangat diperlukan untuk mengetahui keefektifan terapi
ini. Hal ini dimungkinkan bahwa heliox dengan terapi nebulalisasi dapat sangat berguna pada
bayi dengan bronkiolitis berat atau pasien terpasang intubasi dan tidak merespon dengan terapi
konvensional. (4)
Ventilasi mekanik
Bayi dengan bronkiolitis kadang-kadang memerlukan ventilasi mekanik khususnya pada
kasus apneu berulang atau peningkatan usaha nafas pada gagal nafas. Terapi pada pasien seperti
ini adalah terapi suportif , dengan pemberian oksigen yang adekuat baik continous positive
airway pressure (CPAP) dan intermitent mandattory ventilation (IMV) dengan possitive end-
distending pressure (PEEP) telah digunakan dan sukses sebagai terapi pada bayi tersebut.
Penyapihan awal pada hari ke-2 sampai ke-3 biasanya tidak sukses setelah kesakitan berkurang,
untuk itu penyapihan dilakukan segera. Bayi dengan hypoxemia progresiv tidak merespon
ventilasi konvensional biasanya merespon penggunaan ventilasi frekuensi tinggi atau
extracorporeal oksigenasi membran. experimen terapi terkini untuk bayi dengan insuffisiensi
pulmonal dari bronkiolitis meliputi surfaktan dan nitrit oksida. (4)
Antivirus ( Ribavirin )
Ribavirin ( 1 beta-D-ribafuranosyl-1,2,4-triazole-3-carbox-amide) adalah analog
nukleosida sintetik yang menggabungkan guanosin dan inosin tampaknya di buat untuk
mempengaruhi RNA massenger dan menghambat sintesis protein virus. Ribavirin mempunyai
spektrum luas aktivitas antiviral invitro. Terapi ribavirin untuk infeksi RSV masih kontroversial
dikarenakan masih ada penggunaan aerosol, harga yang relatif mahal, toxisitas dan efek
samping. (4)
Saat ini rekomendasi dari AAP terapi dengan ribavirin aerosol sedang dipertimbangkan
untuk bayi-bayi dengan resiko tinggi penderita penyakit karena RSV :
a. Diantara mereka dengan komplikasi penyakit jantung kongenital termasuk didalamnya
hipertensi portal dan juga mereka yang menderita displasie bronkopulmonar, kistik fibrosis
dan penyakit paru kronik lainnya.
b. Mereka yang menderita penyakit yang didasari oleh penyakit imun.
c. Pasien yang dirawat di rumah sakit dengan umur kurang dari 6 minggu dengan penyakit
penyerta seperti anomali kongenital multipel atau penyakit neurologi metabolik.
Kesimpulannya ribavirin merupakan terapi yang aman tapi mahal, efisiensi dan
keefektifannya tidak tampak jelas menunjukan dalam penelitian. Penggunaan ribavirin secara
rutin pada saat ini kurang direkomendasikan. (4)