BP Dan Bronkiolitis Pada Anak

28
SMF/Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak Tutorial Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman BRONKOPNEUMONIA DAN BRONKIOLITIS PADA ANAK Disusun oleh : Cempaka Kusuma Dewi & Mirza Syarischa Pembimbing dr. Hj. Sukartini, Sp. A PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MULAWARMAN SAMARINDA 2015 LEMBAR PENGESAHAN BRONKOPNEUMONIA DAN BRONKIOLITIS PADA ANAK Tutorial Klinik Diajukan Dalam Rangka Tugas Ilmiah Kepaniteraan Klinik pada Bagian Ilmu Kesehatan Anak Disusun oleh: Cempaka Kusuma Dewi & Mirza Syarischa Dipresentasikan pada 24 Maret 2015 Pembimbing

description

kesehatan

Transcript of BP Dan Bronkiolitis Pada Anak

Page 1: BP Dan Bronkiolitis Pada Anak

SMF/Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak Tutorial Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman BRONKOPNEUMONIA DAN BRONKIOLITIS PADA ANAK Disusun oleh : Cempaka Kusuma Dewi & Mirza Syarischa Pembimbing dr. Hj. Sukartini, Sp. A PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MULAWARMAN SAMARINDA 2015 LEMBAR PENGESAHAN BRONKOPNEUMONIA DAN BRONKIOLITIS PADA ANAK Tutorial Klinik Diajukan Dalam Rangka Tugas Ilmiah Kepaniteraan Klinik pada Bagian Ilmu Kesehatan Anak Disusun oleh: Cempaka Kusuma Dewi & Mirza Syarischa Dipresentasikan pada 24 Maret 2015 Pembimbing

Page 2: BP Dan Bronkiolitis Pada Anak

dr. Hj. Sukartini, Sp. A PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MULAWARMAN SAMARINDA 2015 DAFTAR ISI DAFTAR ISI .................................................................................... iii BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................ 1 1.1 Latar Belakang ................................................................. 1 BAB 2 LAPORAN KASUS ............................................................. 2 2.1 Identitas Pasien ................................................................. 2 2.2 Anamnesis ........................................................................ 2 2.3 Pemeriksaan Fisik ............................................................ 2 2.4 Pemeriksaan Penunjang ................................................... 3 2.5 Diagnosis Kerja ................................................................ 4 2.6 Penatalaksanaan ............................................................... 4 2.7 Prognosis .......................................................................... 4 2.8 Lembar Follow-Up ........................................................... 5 BAB 3 TINJAUAN PUSTAKA ....................................................... 8 3.1 Pneumonia ........................................................................ 8 3.1.1 Definisi ................................................................... 8 3.1.2 Fisiologi ................................................................ 8 3.1.3 Klasifikasi ............................................................. 9 3.2 Bronkopneumonia ............................................................ 9 3.2.1 Definisi .................................................................. 9 3.2.2 Epidemiologi ......................................................... 9 3.2.3 Etiologi .................................................................. 9 3.2.4 Patogenesis .......................................................... 10 3.2.5 Manifestasi Klinis ............................................... 12 3.2.6 Diagnosis ............................................................. 12 3.2.7 Diagnosis Banding .............................................. 13

Page 3: BP Dan Bronkiolitis Pada Anak

3.2.8 Penatalaksanaan .................................................. 13 3.2.9 Komplikasi .......................................................... 16 3.2.10 Prognosis ............................................................ 16 3.3 Bronkiolitis ..................................................................... 16 3.3.1 Definisi ................................................................ 16 3.3.2 Etiologi ................................................................ 16 3.3.3 Epidemiologi ....................................................... 17 3.3.4 Patogenesis .......................................................... 17 3.3.5 Manifestasi Klinis ............................................... 18 3.3.6 Diagnosis ............................................................. 18 3.3.7 Penatalaksanaan .................................................. 20 3.3.8 Prognosis ............................................................. 21 BAB 4 PEMBAHASAN ................................................................. 22 4.1 Anamnesis ...................................................................... 22 4.2 Pemeriksaan Fisik .......................................................... 23 4.3 Penatalaksanaan ............................................................. 24 BAB 5 PENUTUP .......................................................................... 28 5.1 Kesimpulan .................................................................... 28 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................... 29 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dunia Internasional tahun 2000 dalam menyongsong abad ke 21 bersepakat menetapkan Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals/MDG). Ada 8 tujuan yang ingin dicapai satu di antaranya adalah MDG-4 penurunan angka kematian anak dengan target Angka Kematian Anak-Balita berkurang dua-pertiga. Tujuan ini hanya dapat dicapai melalui upaya-upaya intensif yang fokus pada penyebab utama kematian anak, yaitu : pneumonia, diare, malaria, kekurangan gizi, dan masalah neonatal. Diperkirakan dari 8,8 juta kematian anak di dunia pada tahun 2008, 1,6 juta adalah akibat pneumonia dan 1,3 juta karena diare. Kematian karena penyakit ini sangat terkait dengan kekurangan gizi, kemiskinan dan kurangnya akses perawatan kesehatan. Lebih dari 98% kematian pneumonia dan diare

Page 4: BP Dan Bronkiolitis Pada Anak

pada anak-anak terjadi di 68 negara berkembang. Pneumonia di Indonesia dari tahun ke tahun pneumonia selalu menduduki peringkat teratas penyebab kematian bayi dan anak balita. Menurut Riskesdas 2007, pneumonia merupakan penyebab kematian kedua setelah diare (15,5% diantara semua balita) dan selalu berada pada daftar 10 penyakit terbesar setiap tahunnya di fasilitas kesehatan. Prevalensi pada anak balita (1-4 tahun) adalah 1,00% dengan prevalensi tertinggi adalah provinsi Gorontalo (19,9%) dan Bali (13,2%), sedangkan Kalimantan Timur menempati posisi ke 20 dengan prevalensi sebesar 0,9% menurut Survei Demografi Kesehatan Indonesia 2007. 2 BAB 2 LAPORAN KASUS 2.1 Identitas Pasien Nama : An. J Jenis kelamin : Perempuan Umur/TTL : 4 bulan Alamat : Desa Muara Cepak, Muara Kaman Anak ke : 1 (tunggal) Tanggal MRS : 5 Maret 2015 2.2 Anamnesis Anamnesis dilakukan pada tanggal 9 Maret 2015 pukul 11.00 WITA, di ruang Melati RSUD A.W. Sjahranie Samarinda berupa alloanamnesa kepada ibu kandung pasien. 1. Keluhan Utama Sesak napas 2. Riwayat Penyakit Sekarang Sesak napas dialami tiba-tiba malam hari, kemudian pasien batuk-batuk sampai memerah wajahnya dan pucat bibirnya. Sebelumnya pasien mengalami demam dan rewel dari biasanya. Batuk berdahak hingga suaranya serak dan pilek dengan ingus berwarna putih kental sejak 1 hari sebelum MRS. Pasien muntah susu dan lendir setelah batuk-batuk sebanyak 1 kali ± 2 sdm. Ibu menyangkal riwayat tersedak sebelumnya. Semua gejala muncul dalam 1 hari. Tidak ada mencret maupun perut kembung. 3. Riwayat Penyakit Dahulu � MRS 3 Februari 2015 dengan keluhan sesak napas dan batuk disertai BAB cair (riwayat tersedak (+)) � Sakit campak saat usia 2 bulan 4. Riwayat Penyakit Keluarga � Riwayat mengalami keluhan yang serupa disangkal � Riwayat DM (-), asma (+) [kakak ayah], tumor (-), penyakit jantung (-), hipertensi (+) [ibu], alergi dingin (+) [ayah] 3

Page 5: BP Dan Bronkiolitis Pada Anak

5. Faktor Lingkungan Pasien tinggal bersama orang tuanya di rumah bersama (bangsal) milik PT K dimana ayah pasien bekerja. Rumah berisi 10 orang pekerja, dengan 2 orang pekerja sudah menikah dan termasuk ayah pasien ini yang sudah memiliki anak. Kondisi rumah cukup besar, namun tidak memiliki sekat dan jendela hanya ada satu. Di dalam rumah banyak pekerja yang merokok termasuk ayahnya. 6. Pertumbuhan dan Perkembangan Anak Berat badan lahir : 2.800 grm Panjang badan lahir : 43 cm Berat badan sekarang : 5,2 kg Tinggi badan sekarang : 58 cm Gigi keluar : ibu lupa Tersenyum : 3 bulan Miring : 4 bulan Tengkurap : belum Duduk : belum Merangkak : belum Berdiri : belum Berjalan : belum Berbicara 2 kata : belum7. Makan dan Minum Anak ASI : sejak lahir – usia 1 minggu, karena bayi menolak ASI Susu formula : 1 minggu – sekarang, susu Lactogen® (2 sdt + 60 cc air) 8. Pemeriksaan Prenatal Periksa di : bidan (kontrol 1 x saat usia kehamilan 8 bulan) Penyakit kehamilan : - Obat-obatan : vitamin 9. Riwayat Kelahiran Lahir di : klinik Ditolong oleh : bidan Usia dalam kandungan : cukup bulan (9 bulan) Jenis partus : spontan 10. Pemeliharaan Postnatal Jum’at, 14 Nov 2015 (22.00 WITA), bayi terlahir tidak menangis dan membiru, namun setelah dirangsang dan dihisap lendir dari hidung dan mulutnya bayi kemudian menangis kuat dan memerah kulitnya. 2 11. Jadwal Imunisasi Imunisasi Usia Saat Imunisasi I II III IV Booster I Booster II BCG 2 bulan //////////// //////////// //////////// //////////// //////////// Polio 0 bulan 1 bulan - - - - Campak - //////////// //////////// //////////// //////////// //////////// DPT 1 bulan 2 bulan - //////////// - - Hepatitis B 0 bulan - - //////////// - -

Page 6: BP Dan Bronkiolitis Pada Anak

2.3 Pemeriksaan Fisik Kesan umum : sakit berat Kesadaran : E4V5M6 Tanda Vital � Nadi : 120 x/menit � Pernapasan : 60 x/menit � Temperatur : 38,4o C Berat badan : 5,2 kg Panjang badan : 58 cm Status gizi : baik Kepala Rambut : warna hitam, tidak mudah dicabut Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor diameter 3mm/3mm, refleks cahaya (+/+) Hidung : sekret hidung (+), pernafasan cuping hidung (-) Mulut : mukosa bibir tampak lembab, sianosis (-), faring hiperemis (-) Leher : kaku kuduk (-), pembesaran kelenjar getah bening (-) Toraks a. Pulmo Inspeksi : bentuk dan pergerakan dada simetris, retraksi subkostal (+) Palpasi : fremitus raba simetris D = S Perkusi : sonor di semua lapangan paru Auskultasi : vesikuler, rhonki (+/+), wheezing (-/-) 3 b. Cor Inspeksi : ictus cordis tidak tampak Palpasi : ictus cordis teraba di ICS V MCLS Perkusi : batas jantung kanan : ICS III right parasternal line kiri : ICS V left midclavicular line Auskultasi : S1, S2 tunggal reguler, gallop (-), murmur (-) Abdomen Inspeksi : flat Palpasi : soefl, nyeri tekan (-), hepatomegali (-), splenomegali (-), turgor kulit baik Perkusi : timpani Auskultasi : bising usus (+) kesan normal Ekstremitas : akral hangat (+), edem (-) 2.4 Pemeriksaan Penunjang � Pemeriksaan Laboratorium (IGD) Laboratorium 5/Maret/2015 Darah Lengkap Hb [g/dL] 11,2 HCT [%] 32,1 Leukosit [103/µL] 21,9 Trombosit [103/µL] 370 Kimia Darah GDS [mg/dl] 93

Page 7: BP Dan Bronkiolitis Pada Anak

Natrium [mmol/L] 135 Kalium [mmol/L] 4,9 Chloride [mmol/L] 97 4 � Roentgen toraks (IGD) 2.5 Diagnosis Kerja Suspek bronkopneumonia ddx. bronkiolitis 2.6 Penatalaksanaan IGD : � O2 ½ - 1 lpm (nasal kanula) � Nebulisasi combivent ½ flz Ruangan Melati : � IVFD D5 ¼ NS 520 cc/ 24 jam � O2 1 lpm (nasal kanula) � Nebulisasi combivent ½ flz + NACL 0,9% 2 cc per 8 jam � Paracetamol syr 3 x ½ cth � Cefotaxime 3 x 180 mg, IV 2.7 Prognosis Dubia ad bonam 5 2.8 Lembar Follow-Up Tanggal Perjalanan Penyakit Pengobatan 9/3/2015 BB = 5,2 kg S : sesak napas, batuk berdahak dan pilek, demam, muntah susu dan lendir putih O : KU : tampak sakit berat Kesadaran : E4V5M6 TTV : N 100 x/i, RR 42 x/i, T 35,9o C ane (-), ikt (-), limfadenopati (-), vesikuler +/+, Rh +/+, Wh +/+, ekspirasi memanjang(+), retraksi subkostal (+), S1/S2 tunggal reguler, murmur (-), BU(+)N, NTE (-), akral hangat, edema (-) A : Bronkopneumonia dan bronkiolitis ddx. wheezing atopi � O2 1 lpm (nasal kanula) � IVFD D5 ¼ NS 520 cc/ 24 jam � Cefotaxime 3 x 180 mg, IV

Page 8: BP Dan Bronkiolitis Pada Anak

� Dexamethasone 3 x 1 mg, IV � Nebulisasi ventolin ½ amp + NaCl 0,95% 2 cc, per 8 jam � Puyer (ambroxol 2,5 mg, salbutamol 0,5 mg, CTM 0,5 mg dan efedrin 2,5 mg) 3 x 1 pulv 10/3/2015 BB = 5,2 kg S : sesak napas, batuk berdahak dan pilek, dan demam O : KU : tampak sakit sedang Kesadaran : E4V5M6 TTV : N 110 x/i, RR 41 x/i, T 36,3o C ane (-), ikt (-), limfadenopati (-), vesikuler +/+, Rh +/+, Wh +/+, retraksi subkostal (+), S1/S2 tunggal reguler, murmur (-), BU(+)N, NTE (-), akral hangat, edema (-) A : Bronkopneumonia dan bronkiolitis ddx. wheezing atopi � O2 1 lpm (nasal kanula) � IVFD D5 ¼ NS 520 cc/ 24 jam � Cefotaxime 3 x 180 mg, IV � Dexamethasone 3 x 1 mg, IV � Nebulisasi ventolin ½ amp + NaCl 0,95% 2 cc, per 8 jam � Puyer (ambroxol 2,5 mg, salbutamol 0,5 mg, CTM 0,5 mg dan efedrin 2,5 mg) 3 x 1 pulv 6 11/3/2015 BB = 5 kg S : sesak napas berkurang, batuk berdahak dan pilek berkurang, masih demam O : KU : tampak sakit sedang Kesadaran : E4V5M6 TTV : N 100 x/i, RR 37 x/i, T 35,8o C ane (-), ikt (-), limfadenopati (-), vesikuler +/+, Rh +/+, Wh +/+, ekspirasi memanjang(+), retraksi subkostal (+), S1/S2 tunggal reguler, murmur (-), BU(+)N, NTE (-), akral hangat, edema (-) A : Bronkopneumonia dan bronkiolitis ddx. wheezing atopi

Page 9: BP Dan Bronkiolitis Pada Anak

� O2 1 lpm (nasal kanula) → stop � IVFD D5 ¼ NS 520 cc/ 24 jam � Cefotaxime 3 x 180 mg, IV � Dexamethasone 3 x 1 mg, IV � Nebulisasi ventolin ½ amp + NaCl 0,95% 2 cc, per 8 jam � Puyer (ambroxol 2,5 mg, salbutamol 0,5 mg, CTM 0,5 mg dan efedrin 2,5 mg) 3 x 1 pulv � Susu PHP pro 8 x 30 cc, PO [saran dokter tidak dipenuhi orang tua] 12/3/2015 BB = 5 kg S : sesak napas berkurang, batuk berdahak dan pilek berkurang, disertai demam O : KU : tampak sakit sedang Kesadaran : E4V5M6 TTV : N 130 x/i, RR 59 x/i, T 36,3o C ane (-), ikt (-), limfadenopati (-), vesikuler +/+, Rh +/+, Wh +/+, ekspirasi memanjang(+), retraksi subkostal (+), S1/S2 tunggal reguler, murmur (-), BU(+)N, NTE (-), akral hangat, edema (-) A : Bronkopneumonia dan bronkiolitis ddx. wheezing atopi � IVFD D5 ¼ NS 520 cc/ 24 jam � Cefotaxime 3 x 180 mg, IV � Dexamethasone 3 x 1 mg, IV � Nebulisasi ventolin 1 amp + NaCl 0,95% 4 cc, selang-seling dengan budesonide 1 amp + NaCl 0,95% 4 cc, per 8 jam � Puyer (ambroxol 2,5 mg, salbutamol 0,5 mg, CTM 0,5 mg dan efedrin 2,5 mg) 3 x 1 pulv 7 � Susu PHP pro 8 x 30 cc, PO [saran dokter tidak dipenuhi orang tua] 13/3/2015 BB = 5,2 kg S : sesak napas berkurang, batuk berdahak dan pilek berkurang, tidak ada demam

Page 10: BP Dan Bronkiolitis Pada Anak

O : KU : tampak sakit sedang Kesadaran : E4V5M6 TTV : N 120 x/i, RR 57 x/i, T 36,7o C ane (-), ikt (-), limfadenopati (-), vesikuler +/+, Rh +/+, Wh +/+, ekspirasi memanjang(+), retraksi subkostal (-), S1/S2 tunggal reguler, murmur (-), BU(+)N, NTE (-), akral hangat, edema (-) A : Bronkopneumonia dan bronkiolitis ddx. wheezing atopi � IVFD D5 ¼ NS 520 cc/ 24 jam � Cefotaxime 3 x 180 mg, IV � Dexamethasone 3 x 1 mg, IV � Nebulisasi ventolin 1 amp + NaCl 0,95% 4 cc, selang-seling dengan budesonide 1 amp + NaCl 0,95% 4 cc, per 8 jam � Puyer (ambroxol 2,5 mg, salbutamol 0,5 mg, CTM 0,5 mg dan efedrin 2,5 mg) 3 x 1 pulv � Susu PHP pro 8 x 30 cc, PO [saran dokter tidak dipenuhi orang tua] 8 BAB 3 TINJAUAN PUSTAKA 3.1 Pneumonia 3.1.1 Definisi Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru (Said, 2010) yang biasanya disebabkan oleh infeksi (Kabra, 2013) bakteri, virus, jamur dan benda asing (Hassan & Alatas, 1998), serta secara radiografik diasosiasikan sebagai suatu opacity parenkimal (Haddad & Cornfield, 2009). Definisi klasik dari pneumonia adalah penyakit respiratorik yang ditandai dengan batuk, sesak napas, demam, ronki basah halus, dengan gambaran infiltrat pada foto polos dada (Retno, Landia, & Makmuri, 2006). 3.1.2 Fisiologi Mekanisme daya tahan traktus respiratorius bagian bawah sangat efisien untuk mencegah infeksi dan terdiri dari (Hassan & Alatas, 1998) : � susunan anatomis rongga hidung � jaringan limfoid di naso-oro-faring � bulu getar yang meliputi sebagian besar epitel traktus respiratorius dan sekret

Page 11: BP Dan Bronkiolitis Pada Anak

lain yang dikeluarkan oleh sel epitel tersebut � refleks batuk � refleks epiglotis yang mencegah terjadinya aspirasi sekret yang terinfeksi � drainase sistem limfatik dan fungsi menyaring kelenjar limfe regional � fagositosis, aksi enzimatik dan respon imunohumoral terutama dari IgA Anak dengan daya tahan yang terganggu akan mudah menderita pneumonia berulang atau tidak mampu mengatasi penyakit ini dengan sempurna. Faktor lain yang mempengaruhi timbulnya pneumonia adalah daya tahan tubuh yang menurun, misalnya akibat malnutrisi energi protein, penyakit menahun, faktor iatrogenik seperti trauma pada paru, anestesi, aspirasi, maupun pengobatan dengan antibiotika yang tidak sempurna (Hassan & Alatas, 1998). 9 3.1.3 Klasifikasi Pembagian pneumonia tidak ada yang memuaskan. Pada umumnya dibedakan berdasarkan anatomis dan etiologis. Secara anatomis, pneumonia dibagi menjadi (1) pneumonia lobaris, (2) pneumonia lobularis (bronkopneumonia), dan (3) pneumonia interstisialis (bronkiolitis). Sedangkan secara etiologis, pneumonia dibagi menjadi : (1) bakteri, (2) virus, (3) Mycoplasma pneumonia, (4) jamur, (5) aspirasi, (6) pneumonia hipostatik, (7) sindrom Loeffler (Hassan & Alatas, 1998). 3.2 Bronkopneumonia 3.2.1 Definisi � Bronkopneumonia adalah peradangan pada parenkim paru yang melibatkan bronkus atau bronkiolus yang berupa distribusi berbentuk bercak-bercak (patchy distribution) (Rahajoe, Supriyatno, & Setyanto, 2010). � Bronkopneumonia adalah radang paru-paru yang mengenai satu atau beberapa lobus paru-paru yang ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrat (WHO, 2013). 3.2.2 Epidemiologi Pneumonia di Indonesia dari tahun ke tahun pneumonia selalu menduduki peringkat teratas penyebab kematian bayi dan anak balita. Menurut Riskesdas 2007, pneumonia merupakan penyebab kematian kedua setelah diare (15,5% diantara semua balita) dan selalu berada pada daftar 10 penyakit terbesar setiap tahunnya di fasilitas kesehatan. Prevalensi pada anak balita (1-4 tahun) adalah 1,00% dengan prevalensi tertinggi adalah provinsi Gorontalo (19,9%) dan Bali (13,2%), sedangkan Kalimantan Timur menempati posisi ke 20 dengan prevalensi sebesar 0,9% menurut Survei Demografi Kesehatan Indonesia 2007 (Kemenkes RI, 2010). 3.2.3 Etiologi Penyebab bronkopneumonia yang biasa dijumpai adalah :

Page 12: BP Dan Bronkiolitis Pada Anak

10 � Faktor Infeksi � Faktor Non Infeksi (Fadhila, 2013) Terjadi akibat disfungsi menelan atau refluks esophagus meliputi : � Bronkopneumonia hidrokarbon. Terjadi oleh karena aspirasi selama penelanan muntah atau sonde lambung (zat hidrokarbon seperti pelitur, minyak tanah dan bensin). � Bronkopneumonia lipoid. Terjadi akibat pemasukan obat yang mengandung minyak secara intranasal, termasuk jeli petroleum. Setiap keadaan yang mengganggu mekanisme menelan seperti palatoskizis, pemberian makanan dengan posisi horizontal, atau pemaksaan pemberian makanan seperti minyak ikan pada anak yang sedang menangis. Keparahan penyakit tergantung pada jenis minyak yang terinhalasi. Jenis minyak binatang yang mengandung asam lemak tinggi bersifat paling merusak contohnya seperti susu dan minyak ikan. 3.2.4 Patogenesis Dalam keadaan sehat pada paru tidak akan terjadi pertumbuhan mikroorganisme, keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan paru. Terdapatnya bakteri di dalam paru merupakan ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, sehingga mikroorganisme dapat berkembang biak dan berakibat timbulnya infeksi penyakit. Masuknya mikroorganisme ke 11 dalam saluran nafas dan paru dapat melalui berbagai cara, antara lain : inhalasi langsung dari udara, aspirasi dari bahan-bahan yang ada di nasofaring dan orofaring, perluasan langsung dari tempat-tempat lain, penyebaran secara hematogen (Retno, Landia, & Makmuri, 2006). Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme dapat melalui jalan nafas sampai ke alveoli yang menyebabkan radang pada dinding alveoli dan jaringan sekitarnya. Setelah itu mikroorganisme tiba di alveoli membentuk suatu proses peradangan yang meliputi empat stadium, yaitu (Setyoningrum, Setiawati, & Makmuri, 2006) : Stadium I (4 – 12 jam pertama/kongesti) disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi (Secticsh & Prober, 2003). Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di

Page 13: BP Dan Bronkiolitis Pada Anak

tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin. Stadium II (48 jam berikutnya) disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam. Stadium III (3 – 8 hari) disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti. Stadium IV (7 – 11 hari) disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula. 12 3.2.5 Manifestasi Klinis Bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas selama beberapa hari. Suhu dapat naik secara mendadak sampai 39-40˚C dan mungkin disertai kejang karena demam yang tinggi. Anak sangat gelisah, dispnea, pernafasan cepat dan dangkal disertai pernafasan cuping hidung dan sianosis di sekitar hidung dan mulut. Batuk biasanya tidak dijumpai pada awal penyakit, anak akan mendapat batuk setelah beberapa hari, di mana pada awalnya berupa batuk kering kemudian menjadi produktif (Hassan & Alatas, 1998).

Page 14: BP Dan Bronkiolitis Pada Anak

3.2.6 Diagnosis Diagnosis etiologi dibuat berdasarkan pemeriksaan mikrobiologi serologi, karena pemeriksaan mikrobiologi tidak mudah dilakukan dan bila dapat dilakukan kuman penyebab tidak selalu dapat ditemukan. Oleh karena itu, WHO (2013) mengajukan pedoman diagnosa dan tata laksana yang lebih sederhana. Berdasarkan pedoman tersebut bronkopneumonia dibedakan berdasarkan : � Bronkopneumonia sangat berat : Bila terjadi sianosis sentral dan anak tidak sanggup minum,maka anak harus dirawat di rumah sakit dan diberi antibiotika. � Bronkopneumonia berat : Bila dijumpai adanya retraksi, tanpa sianosis dan masih sanggup minum,maka anak harus dirawat di rumah sakit dan diberi antibiotika. � Bronkopneumonia : Bila tidak ada retraksi tetapi dijumpai pernafasan yang cepat : � 60 x/menit pada anak usia < 2 bulan � 50 x/menit pada anak usia 2 bulan – 1 tahun � 40 x/menit pada anak usia 1 - 5 tahun. � Bukan bronkopenumonia : Hanya batuk tanpa adanya tanda dan gejala seperti diatas, tidak perlu dirawat dan tidak perlu diberi antibiotika. Diagnosis pasti dilakukan dengan identifikasi kuman penyebab: � Kultur sputum atau bilasan cairan lambung � Kultur nasofaring atau kultur tenggorokan (throat swab), terutama virus � Deteksi antigen bakteri 13 Pemeriksaan Penunjang (IDAI, 2009) Radiologi : direkomendasikan pada pasien yang dirawat inap atau bila tanda klinis membingungkan. Laboratorium : pemeriksaan jumlah leukosit, kultur dan pewarnaan gram sputum, kultur darah, kultur virus, pungsi pleura (jika ada efusi pleura), pemeriksaan CRP, LED, uji tuberkulin (jika ada riwayat kontak TB). 3.2.7 Diagnosis Banding � Bronkiolitis � Aspirasi benda asing � Asma � Bronkiektasis (Bennett, 2014) 3.2.8 Penatalaksanaan Sebaiknya pengobatan diberikan berdasarkan etiologi dan uji resistensi tetapi hal ini tidak dapat selalu dilakukan dan memakan waktu yang cukup lama, maka dalam praktek diberikan pengobatan empiris (WHO, 2013) : � Antibiotik (WHO, 2013) - Beri ampisilin/amoksisilin (25-50 mg/kgBB/kali IV atau IM setiap 6 jam), yang

Page 15: BP Dan Bronkiolitis Pada Anak

harus dipantau dalam 24 jam selama 72 jam pertama. Bila anak memberi respons yang baik maka diberikan selama 5 hari. Selanjutnya terapi dilanjutkan di rumah atau di rumah sakit dengan amoksisilin oral (15 mg/ kgBB/kali tiga kali sehari) untuk 5 hari berikutnya. - Bila keadaan klinis memburuk sebelum 48 jam, atau terdapat keadaan yang berat (tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau memuntahkan semuanya, kejang, letargis atau tidak sadar, sianosis, distres pernapasan berat) maka ditambahkan kloramfenikol (25 mg/kgBB/kali IM atau IV setiap 8 jam). - Bila pasien datang dalam keadaan klinis berat, segera berikan oksigen dan pengobatan kombinasi ampilisin-kloramfenikol atau ampisilin-gentamisin. - Sebagai alternatif, beri seftriakson (80-100 mg/kgBB IM atau IV sekali sehari). - Bila anak tidak membaik dalam 48 jam, maka bila memungkinkan buat foto dada. - Apabila diduga pneumonia stafilokokal (dijelaskan di bawah untuk pneumonia stafilokokal), ganti antibiotik dengan gentamisin (7.5 mg/kgBB IM sekali sehari) dan kloksasilin (50 mg/kgBB IM atau IV setiap 6 jam) atau klindamisin (15 14 mg/kgBB/hari –3 kali pemberian). Bila keadaan anak membaik, lanjutkan kloksasilin (atau dikloksasilin) secara oral 4 kali sehari sampai secara keseluruhan mencapai 3 minggu, atau klindamisin secara oral selama 2 minggu. - Terapi berdasarkan usia (IDAI, 2009) : � Neonatus – 2 bulan : ampisilin + gentamisin � 2 bulan – 5 tahun : Ampisilin/amoksisilin (bila dalam 3 hari tidak membaik bisa ditambahkan kloramfenikol) Seftriakson Co-amoxiclav Cefaclor Eritromisin Claritromisin Azitromisin � Anak ≥ 5 tahun : makrolid (IDAI, 2009) � Terapi oksigen (WHO, 2013) - Beri oksigen pada semua anak dengan pneumonia berat. Bila tersedia pulse oximetry, gunakan sebagai panduan untuk terapi oksigen (berikan pada anak dengan saturasi oksigen < 90%, bila tersedia oksigen yang cukup). Lakukan periode uji coba tanpa 15 oksigen setiap harinya pada anak yang stabil. Hentikan pemberian oksigen bila saturasi tetap stabil > 90%. Pemberian oksigen setelah saat ini tidak berguna Gunakan nasal prongs, kateter nasal, atau kateter nasofaringeal.

Page 16: BP Dan Bronkiolitis Pada Anak

- Penggunaan nasal prongs adalah metode terbaik untuk menghantarkan oksigen pada bayi muda. Masker wajah atau masker kepala tidak direkomendasikan. - Oksigen harus tersedia secara terus-menerus setiap waktu. - Lanjutkan pemberian oksigen sampai tanda hipoksia (seperti tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam yang berat atau napas > 70/menit) tidak ditemukan lagi. - Perawat sebaiknya memeriksa sedikitnya setiap 3 jam bahwa kateter atau prong tidak tersumbat oleh mukus dan berada di tempat yang benar serta memastikan semua sambungan baik. - Sumber oksigen utama adalah silinder. Penting untuk memastikan bahwa semua alat diperiksa untuk kompatibilitas dan dipelihara dengan baik, serta staf diberitahu tentang penggunaannya secara benar. � Perawatan suportif (WHO, 2013) - Bila anak disertai demam (> 39o C) yang tampaknya menyebabkan distres, beri parasetamol. - Bila ditemukan adanya wheeze, beri bronkhodilator kerja cepat. Bila terdapat sekret kental di tenggorokan yang tidak dapat dikeluarkan oleh anak, hilangkan dengan alat pengisap secara perlahan. - Pastikan anak memperoleh kebutuhan cairan rumatan sesuai umur anak, tetapi hati-hati terhadap kelebihan cairan/overhidrasi. o Anjurkan pemberian ASI dan cairan oral. o Jika anak tidak bisa minum, pasang pipa nasogastrik dan berikan cairan rumatan dalam jumlah sedikit tetapi sering. Jika asupan cairan oral mencukupi, jangan menggunakan pipa nasogastrik untuk meningkatkan asupan, karena akan meningkatkan risiko pneumonia aspirasi. - Jika oksigen diberikan bersamaan dengan cairan nasogastrik, pasang keduanya pada lubang hidung yang sama. - Bujuk anak untuk makan, segera setelah anak bisa menelan makanan. - Beri makanan sesuai dengan kebutuhannya dan sesuai kemampuan anak dalam menerimanya. 16 3.2.9 Komplikasi � Efusi pleura � Empiema � Pneumotoraks � Pneumatokel � Abses paru � Sepsis � Gagal napas (Retno, Landia, & Makmuri, 2006) 3.2.10 Prognosis Secara keseluruhan prognosis bronkopneumonia cukup baik. Kebanyakan pneumonia yang

Page 17: BP Dan Bronkiolitis Pada Anak

disebabkan oleh virus dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan. Bakteri patogen tipikal dan organisme atipikal penyebab pneumonia berespon baik terhadap terapi yang diberikan. Gangguan fungsi paru jangka panjang sangatlah arang, bahkan pada anak-anak yang telah berkomplikasi empiema dan abses paru (Bennett, 2014). 3.3 Bronkiolitis 3.3.1 Definisi Bronkiolitis adalah penyakit IRA-bawah yang ditandai dengan adanya inflamasi pada bronkiolus (Zain, 2010) dan manifestasi berupa panas, pilek, batuk dan mengi (IDAI, 2009). Infeksi saluran respiratorik bawah yang disebabkan virus ini biasanya lebih berat pada bayi muda, terjadi epidemik setiap tahun dan ditandai dengan obstruksi saluran pernapasan dan wheezing (WHO, 2013). 3.3.2 Etiologi Penyebab tersering adalah Respiratory Syncytial Virus (RSV) (Zain, 2010). Penyebab lainnya adalah rhinovirus, adenovirus, parainfluenza virus, enterovirus, influenza virus (WHO, 2013), mycoplasma pneumoniae (Hassan & Alatas, 1998), tetapi belum ada bukti kuat bahwa bronkiolitis disebabkan oleh bakteri (Zain, 2010). Infeksi bakteri sekunder bisa terjadi dan biasa terjadi pada keadaan tertentu (WHO, 2013). 17 3.3.3 Epidemiologi Penyakit bronkiolitis akut merupakan infeksi respiratorik akut bagian bawah (IRA-B) yang sering pada bayi. Sekitar 20% anak pernah mengalami satu episode IRA-B dengan mengi pada tahun pertama (Subanada, Setyanto, Supriyatno, & Boediman, 2009). Paling sering terjadi pada usia 2-24 bulan, puncaknya pada usia 2-8 bulan. Bayi laki-laki berusia 3-6 bulan yang tidak mendapatkan ASI dan hidup di lingkungan padat penduduk dikatakan paling sering mengalami bronkiolitis (Zain, 2010). 3.3.4 Patogenesis Infeksi virus pada epitel bersilia bronkiolus menyebabkan respon inflamasi akut, ditandai dengan obstruksi bronkiolus akibat edema, sekresi mukus, timbunan debris seluler/sel-sel mati yang terkelupas, kemudian diikuti dengan infiltrasi limfosit peribronkial dan edema submukosa. Karena tahanan aliran udara berbanding terbalik dengan diameter penampang saluran respiratorik, maka sedikit saja penebalan mukosa akan memberikan hambatan aliran udara yang besar, terutama pada bayi yang memiliki penampang saluran respiratori kecil. Resistensi pada bronkiolus meningkat selama fase inspirasi dan ekspirasi

Page 18: BP Dan Bronkiolitis Pada Anak

, tetapi karena radius saluran respiratori lebih kecil selama ekspirasi, maka akan menimbulkan air trapping dan hiperinflasi. Atelektasi dapat terjadi pada saat obstruksi total dan udara yang terjebak diabsorpsi (Zain, 2010). Proses patologis ini akan mengganggu pertukaran gas normal di paru. Penurunan kerja ventilasi paru akan menyebabkan ketidakseimbangan ventilasi-perfusi yang berikutnya akan menyebabkan terjadinya hipoksemia dan kemudian terjadi hipoksia jaringan. Retensi karbondioksida tidak selalu terjadi, kecuali pada beberapa pasien. Semakin tinggi laju respirasi, maka semakin rendah tekanan oksigen arteri. Kerja pernapasan akan meningkat selama end-expiratory lung volume meningkat dan komplians paru menurun. Hiperkapnea biasanya baru terjadi apabila respirasi mencapai 60x/menit (Zain, 2010). Pemulihan sel epitel paru tampak setelah 3-4 hari. Tetapi silia akan diganti setelah 2 minggu. Jaringan mati akan dibersihkan oleh makrofag (Zain, 2010). Anak besar dan orang dewasa jarang mengalami bronkiolitis bila terserang infeksi virus. Perbedaan anatomi antara paru-paru bayi muda dan anak yang lebih besar mungkin merupakan kontribusi terhadap hal ini. Respon proteksi imunologi terhadap RSV bersifat transien dan tidak lengkap. Infeksi berulang akan meningkatkan resistensi terhadap penyakit karen terjadi cumulative imunity, sehingga pada anak yang lebih besar dan orang dewasa 18 cenderung resisten terhadap infeksi bronkiolitis dan pneumonia akibat RSV (Landia, Retno, & Makmuri, 2005). 3.3.5 Manifestasi Klinis Mula-mula bayi mengalami ISPA atas ringan berupa pilek yang encer dan bersin. Gejala ini berlangsung beberapa hari, kadang-kadang disertai demam dan nafsu makan berkurang. Kemudian timbul distres napas yang ditandai oleh batuk paroksismal, wheezing, dan sesak napas. Bayi akan menjadi rewel, muntah, serta sulit makan dan minum. Bronkiolitis biasanya terjadi setelah kontak dengan orang dewasa atau anak besar yang menderita ISPA yang ringan (Landia, Retno, & Makmuri, 2005). Biasanya tanpa disertai kenaikan suhu atau hanya subfebris. Anak mulai mengalami sesak napas, makin lama makin hebat, pernapasan dangkal dan cepat, serta retraksi interkostal dan supra sternal, anak gelisah dan sianotik. Perkusi ditemukan hipersonor, eksperium memanjang disertai mengi (Hassan & Alatas, 1998). 3.3.6 Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan serangkaian proses, meliputi anamnesis,

Page 19: BP Dan Bronkiolitis Pada Anak

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang (IDAI, 2009), yakni : � Anamnesis - Sering terjadi pada anak usia < 2 tahun. Insiden tertinggi pada usia 3-6 bulan. - Mengalami demam atau riwayat demam, namun jarang terjadi demam tinggi. - Rhinorrhe, nasal discharge, sering timbul sebelum gejala lain seperti batuk, takipneu, sesak napas dan kesulitan makan. - Batuk disertai gejala nasal adalah gejala yang pertama muncul pada bronkiolitis. Batuk kering dan mengi khas untuk bronkiolitis. - Poor feeding. Banyak penderita mempunyai kesulitan makan yang berhubungan dengan sesak napas, namun gejala tersebut bukanlah hal mendasar untuk diagnosis bronkiolitis. - Bayi dengan bronkiolitis tampak ‘toksik’ (mengantuk, letargis, gelisah, pucat, mottling dan takikardi) membutuhkan penanganan segera. � Pemeriksaan Fisik - Takikardia - Peningkatan suhu diatas 38,5oC 19 - Dapat ditemukan konjungtivitis ringan dan faringitis - Napas cepat sebagai gejala utama LRTI terutama pada bronkiolitis dan pneumonia - Retraksi dinding dada sering terjadi. Batuk dada tampak hiperinflasi dan keadaan tersebut membedakan bronkiolitis dengan pneumonia - Fine inspiratory crackles pada seluruh lapangan paru sering ditemukan pada bronkiolitis. Bayi dengan mengi tanpa crackles lebih sering dikelompokkan sebagai viral induced wheeze - High pitched expiratory wheeze - Apnea dapat terjadi terutama pada bayi prematur, BBLR atau usia yang sangat muda (< 6 minggu) - Untuk menilai berat-ringannya penyakit secara klinis dapat menggunakan skor Respiratory Distress Assessment Instrument (RDAI), yakni bila skor >15 dimasukkan kategori berat, bila skor < 3 dimasukkan kategori ringan (Landia, Retno, & Makmuri, 2005). � Pemeriksaan Penunjang - Saturasi oksigen dengan pulse oxymetry - Analisis gas darah, untuk menilai bayi dengan distres napas berat dan kemungkinan gagal napas - Foto toraks, dipertimbangkan pada bayi dengan diagnosis meragukan atau penyakit atipikal - Pemeriksaan virologi - Pemeriksaan bakteriologi secara rutin tidak diindikasikan pada kasus

Page 20: BP Dan Bronkiolitis Pada Anak

tipikal. Bakteriologi urin dipertimbangkan pada bayi berusia < 60 hari - Hematologi - CRP 20 3.3.7 Penatalaksanaan Sebagian besar tatalaksana bronkiolitis pada bayi bersifat suportif, yakni pemberian oksigen, minimal handling pada bayi, IVFD, kecukupan cairan, penyesuaian suhu lingkungan agar konsumsi oksigen minimal, tunjangan respirasi bila perlu dan nutrisi. Setelah itu barulah digunakan bronkodilator, anti inflamasi, anti viral dan preventif dengan vaksin RSV (Zain, 2010). � Antibiotik (WHO, 2013) - Apabila terdapat napas cepat saja, pasien dapat rawat jalan dan diberikan kotrimoksazol (4 mg TMP/kgBB/kali) 2 kali sehari, atau amoksisilin (25 mg/kgBB/kali), 2 kali sehari, selama 3 hari. - Apabila terdapat tanda distres pernapasan tanpa sianosis tetapi anak masih bisa minum, rawat anak di rumah sakit dan beri ampisilin/amoksisilin (25-50 mg/ kgBB/kali IV atau IM setiap 6 jam), yang harus dipantau dalam 24 jam selama 72 jam pertama. Bila anak memberi respons yang baik maka terapi dilanjutkan di rumah atau di rumah sakit dengan amoksisilin oral (25 mg/kgBB/kali, dua kali sehari) untuk 3 hari berikutnya. Bila keadaan klinis memburuk sebelum 48 jam, atau terdapat keadaan yang berat (tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau memuntahkan semuanya, kejang, letargis atau tidak sadar, sianosis, distres pernapasan berat) maka ditambahkan kloramfenikol (25 mg/kgBB/kali IM atau IV setiap 8 jam) sampai keadaan membaik, dilanjutkan per oral 4 kali sehari sampai total 10 hari. - Bila pasien datang dalam keadaan klinis berat (pneumonia berat) segera berikan oksigen dan pengobatan kombinasi ampilisin-kloramfenikol atau ampisilin-gentamisin. - Sebagai alternatif, beri seftriakson (80-100 mg/kgBB/kali IM atau IV sekali sehari). � Oksigen (WHO, 2013) - Beri oksigen pada semua anak dengan wheezing dan distres pernapasan berat. - Metode yang direkomendasikan untuk pemberian oksigen adalah dengan nasal prongs atau kateter nasal. Bisa juga menggunakan kateter nasofaringeal. - Pemberian oksigen terbaik untuk bayi muda adalah menggunakan nasal prongs. - Teruskan terapi oksigen sampai tanda hipoksia menghilang � Perawatan suportif (WHO, 2013) - Jika anak demam (≥ 390 C) yang tampak menyebabkan distres, berikan parasetamol. 21

Page 21: BP Dan Bronkiolitis Pada Anak

- Pastikan anak yang dirawat di rumah sakit mendapatkan cairan rumatan harian secara tepat sesuai umur, tetapi hindarkan kelebihan cairan/overhidrasi. - Anjurkan pemberian ASI dan cairan oral. - Bujuk anak untuk makan sesegera mungkin setelah anak sudah bisa makan. 3.3.8 Prognosis Anak biasanya dapat mengatasi serangan sesudah 48-72 jam. Anak biasanya meninggal karena jatuh dalam keadaan apneu yang lama, asidosis respiratorik yang tidak terkoreksi atau karena dehidrasi yang disebabkan oleh takipneu dan kurang makan minum (Hassan & Alatas, 1998). Beberapa studi menemukan bahwa 23% dari bayi dengan riwayat bronkiolitis akan berkembang menjadi asma pada usia 3 tahun dan penurunan fungsi paru saat berusia 7 tahun (Zain, 2010). 22 BAB 4 PEMBAHASAN 4.1 Anamnesis Teori Fakta 1. Bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas selama beberapa hari. Suhu dapat naik secara mendadak sampai 39-40˚C dan mungkin disertai kejang karena demam yang tinggi. Anak sangat gelisah, dispnea, pernafasan cepat dan dangkal disertai pernafasan cuping hidung dan sianosis di sekitar hidung dan mulut. Batuk biasanya tidak dijumpai pada awal penyakit, anak akan mendapat batuk setelah beberapa hari, di mana pada awalnya berupa batuk kering kemudian menjadi produktif. 2. Pada bronkiolitis, mula-mula bayi

Page 22: BP Dan Bronkiolitis Pada Anak

mengalami ISPA atas ringan berupa pilek yang encer dan bersin. Gejala ini berlangsung beberapa hari, kadang-kadang disertai demam dan nafsu makan berkurang. Kemudian timbul distres napas yang ditandai oleh batuk paroksismal, wheezing, dan sesak napas. Bayi akan menjadi rewel, muntah, serta sulit makan dan minum. Bronkiolitis biasanya terjadi setelah kontak dengan orang dewasa atau anak besar yang menderita ISPA yang ringan (Landia, Retno, & Makmuri, 2005). 1. Keluhan Utama Sesak napas 2. Riwayat Penyakit Sekarang Sesak napas dialami tiba-tiba malam hari, kemudian pasien batuk-batuk sampai memerah wajahnya dan pucat bibirnya. Sebelumnya pasien mengalami demam dan rewel dari biasanya. Batuk berdahak hingga suaranya serak dan pilek dengan ingus berwarna putih kental. Pasien muntah susu dan lendir setelah batuk-batuk sebanyak 1 kali � 2 sdm. Ibu menyangkal riwayat tersedak sebelumnya. Semua gejala muncul dalam 1 hari. Tidak ada mencret maupun perut kembung. 23 Anak mulai mengalami sesak napas, makin lama makin hebat, pernapasan dangkal, dan cepat serta retraksi interkostal dan supra sternal, anak gelisah dan sianotik (Hassan & Alatas, 1998). 4.2 Pemeriksaan Fisik Teori Fakta 1. Bronkopneumonia Hasil pemeriksaan fisik tergantung pada luasnya daerah yang terkena. Pada perkusi toraks sering tidak dijumpai adanya kelainan. Pada auskultasi mungkin hanya terdengar ronki basah gelembung halus sampai sedang. Bila sarang bronkopneumonia menjadi satu (konfluens) mungkin pada perkusi terdengar suara yang meredup dan suara pernafasan pada auskultasi terdengar mengeras. Pada stadium resolusi ronki dapat terdengar lagi. Tanpa pengobatan biasanya proses penyembuhan dapat terjadi antara 2-3 minggu. 2. Bronkiolitis : - Takikardia - Peningkatan suhu diatas 38,5

Page 23: BP Dan Bronkiolitis Pada Anak

oC - Dapat ditemukan konjungtivitis ringan dan faringitis Kesan umum : sakit berat Kesadaran : E4V5M6 Tanda Vital � Nadi : 120 x/menit � Pernapasan : 60 x/menit � Temperatur : 38,4o C Berat badan : 5,2 kg Panjang badan : 58 cm Status gizi : baik Kepala Rambut : warna hitam, tidak mudah dicabut Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor diameter 3mm/3mm, refleks cahaya (+/+) Hidung : sekret hidung (-), napas cuping hidung (-) Mulut : mukosa bibir tampak lembab, sianosis (-), lidah bersih, faring hiperemis (-) Leher : kaku kuduk (-), pembesaran KGB (-) 24 - Napas cepat sebagai gejala utama LRTI terutama pada bronkiolitis dan pneumonia - Retraksi dinding dada sering terjadi. Batuk dada tampak hiperinflasi dan keadaan tersebut membedakan bronkiolitis dengan pneumonia - Fine inspiratory crackles pada seluruh lapangan paru sering ditemukan pada bronkiolitis. Bayi dengan mengi tanpa crackles lebih sering dikelompokkan sebagai viral induced wheeze - High pitched expiratory wheeze - Apnea dapat terjadi terutama pada bayi prematur, BBLR atau usia yang sangat muda (< 6 minggu) - Untuk menilai berat-ringannya penyakit secara klinis dapat menggunakan skor Respiratory Distress Assessment Instrument (RDAI), yakni bila skor >15 dimasukkan kategori berat, bila skor < 3 dimasukkan kategori ringan (Landia, Retno, & Makmuri, 2005) Thoraks a. Pulmo

Page 24: BP Dan Bronkiolitis Pada Anak

Inspeksi : bentuk dan pergerakan dada simetris, retraksi subkostal (+) Palpasi : fremitus raba simetris D =S Perkusi : sonor di semua lapangan paru Auskultasi : vesikuler, rhonki (+/+), wheezing (-/-) b. Cor Inspeksi : ictus cordis tidak tampak Palpasi : ictus cordis teraba di ICS V MCLS Perkusi : batas jantung dbn Auskultasi : S1, S2 tunggal reguler, gallop (-), murmur (-) Abdomen Inspeksi : flat Palpasi : soefl, nyeri tekan (-), hepatomegali (-), splenomegali (-), turgor kulit baik Perkusi : timpani Auskultasi : bising usus (+) N Ekstremitas : akral hangat (+), edem (-) 4.3 Penatalaksanaan Teori Fakta � Bronkopneumonia 1. Antibiotik � IVFD D5 ¼ NS 520 cc/ 24 jam � Cefotaxime 3 x 180 mg, IV 25 - Beri ampisilin/amoksisilin (25-50 mg/kgBB/kali IV atau IM setiap 6 jam), yang harus dipantau dalam 24 jam selama 72 jam pertama. Bila anak memberi respons yang baik maka diberikan selama 5 hari. Selanjutnya terapi dilanjutkan di rumah atau di rumah sakit dengan amoksisilin oral (15 mg/ kgBB/kali tiga kali sehari) untuk 5 hari berikutnya. - Bila keadaan klinis memburuk sebelum 48 jam, atau terdapat keadaan yang berat (tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau memuntahkan semuanya, kejang, letargis atau tidak sadar, sianosis, distres pernapasan berat) maka ditambahkan kloramfenikol (25 mg/kgBB/kali IM atau IV setiap 8 jam). - Bila pasien datang dalam keadaan klinis berat, segera berikan oksigen dan pengobatan kombinasi ampilisin-kloramfenikol atau ampisilin-gentamisin.

Page 25: BP Dan Bronkiolitis Pada Anak

- Sebagai alternatif, beri seftriakson (80-100 mg/kgBB IM atau IV sekali sehari). - Bila anak tidak membaik dalam 48 jam, maka bila memungkinkan buat foto dada. � Dexamethasone 3 x 1 mg, IV � Nebulisasi ventolin 1 amp + NaCl 0,95% 4 cc, selang-seling dengan budesonide 1 amp + NaCl 0,95% 4 cc, per 8 jam � Puyer (ambroxol 2,5 mg, salbutamol 0,5 mg, CTM 0,5 mg dan efedrin 2,5 mg) 3 x 1 pulv � Susu PHP pro 8 x 30 cc, PO [saran dokter tidak dipenuhi orang tua] 26 � Terapi oksigen - Beri oksigen pada semua anak dengan pneumonia berat Bila tersedia pulse oximetry, gunakan sebagai panduan untuk terapi oksigen (berikan pada anak dengan saturasi oksigen < 90%, bila tersedia oksigen yang cukup). Lakukan periode uji coba tanpa oksigen setiap harinya pada anak yang stabil. Hentikan pemberian oksigen bila saturasi tetap stabil > 90%. Pemberian oksigen setelah saat ini tidak berguna Gunakan nasal prongs, kateter nasal, atau kateter nasofaringeal. - Penggunaan nasal prongs adalah metode terbaik untuk menghantarkan oksigen pada bayi muda. Masker wajah atau masker kepala tidak direkomendasikan. - Oksigen harus tersedia secara terus-menerus setiap waktu. - Lanjutkan pemberian oksigen sampai tanda hipoksia (seperti tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam yang berat atau napas > 70/menit) tidak ditemukan lagi. � Perawatan suportif - Bila anak disertai demam (> 390 C) yang tampaknya menyebabkan distres, beri parasetamol. 27 - Bila ditemukan adanya wheeze, beri bronkhodilator kerja cepat. Bila terdapat sekret kental di tenggorokan yang tidak dapat dikeluarkan oleh anak, hilangkan dengan alat pengisap secara

Page 26: BP Dan Bronkiolitis Pada Anak

perlahan. - Pastikan anak memperoleh kebutuhan cairan rumatan sesuai umur anak, tetapi hati-hati terhadap kelebihan cairan/overhidrasi. 2. Bronkiolitis Sebagian besar tatalaksana bronkiolitis pada bayi bersifat suportif, yakni pemberian oksigen, minimal handling pada bayi, IVFD, kecukupan cairan, penyesuaian suhu lingkungan agar konsumsi oksigen minimal, tunjangan respirasi bila perlu dan nutrisi. Setelah itu barulah digunakan bronkodilator, anti inflamasi, anti viral dan preventif dengan vaksin RSV (Zain, 2010). 28 BAB 5 PENUTUP 5.1 Kesimpulan Bronkopneumonia dan bronkiolitis adalah penyakit saluran napas bawah yang seringkali dialami oleh anak-anak. Penyebabnya bervariasi, mulai dari virus, bakteri, jamur, aspirasi, dsb. Diagnosis dini dan terapi yang adekuat diharapkan mampu menurunkan angka morbiditas dan mortalitas pada anak, yang pada akhirnya bertujuan agar tercapainya MDG poin ke-4 yakni penurunan angka kematian anak dengan target Angka Kematian Anak-Balita berkurang dua-pertiga.

Page 27: BP Dan Bronkiolitis Pada Anak

29 DAFTAR PUSTAKA Bennett, N. J. (2014). Pediatric Pneumonia. Medscape. Fadhila, A. (2013). Penegakan Diagnosis Dan Penatalaksanaan Bronkopneumonia Pada Pasien Bayi Laki-Laki Berusia 6 Bulan. Medula. Haddad, I. Y., & Cornfield, D. N. (2009). Pneumonia and Empyema. In D. S. Wheeler, H. R. Wong, & T. P. Shanley, The Respiratory Tract in Pediatric Critical Illness and Injury. London: Springer. Hassan, R., & Alatas, H. (1998). Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Bagian IKA FK UI. IDAI. (2009). Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta: IDAI. Kabra, S. K. (2013). Community Acquired Pneumonia. In A. Parthasarathy, Textbook of Pediatric Infectious Diseases (pp. 147-153). New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publisher. Kemenkes RI. (2010). Situasi Pneumonia Balita di Indonesia. Buletin Jendela Epidemiologi. Landia, S., Retno, A. S., & Makmuri, M. (2005, September). Tata Laksana Bronkiolitis. Continuing Education : Ilmu Kesehatan Anak XXXV, Kapita Selekta IKA IV. Surabaya: SMF IKA FK UNAIR. Rahajoe, N. N., Supriyatno, B., & Setyanto, D. B. (2010). Buku Ajar Respirologi Anak, Edisi Pertama. Jakarta: Badan Penerbit IDAI. Retno, A. S., Landia, S., & Makmuri, M. (2006, Juli). Pneumonia. Continuing Education : Ilmu Kesehatan Anak XXXVI, Kapita Selekta IKA VI. Surabaya: SMF IKA FK UNAIR. Said, M. (2010). Pneumonia. In N. N. Rahajoe, B. Supriyatno, & D. B. Setyanto, Buku Ajar Respirologi Anak, Edisi Pertama (pp. 350-365). Jakarta: Penerbit IDAI. Secticsh, T., & Prober, C. (2003). Pneumonia. In R. Behrman, R. Kliegman, & H. Jenson, Nelson Textbook of Pediatrics, 17th. Philadelphia: Saunders. Setyoningrum, R., Setiawati, L., & Makmuri, M. (2006). Pneumonia. Continuing Education Ilmu Kesehatan Anak XXXVI. Subanada, I. B., Setyanto, D. B., Supriyatno, B., & Boediman, I. (2009). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Bronkiolitis Akut. Saripediatri, 392-396. 30 WHO. (2013). Pocket Book of Hospital Care for Children, 2nd Ed. Geneva: World

Page 28: BP Dan Bronkiolitis Pada Anak

Health Organization. Zain, M. S. (2010). Bronkiolitis. In N. N. Rahajoe, B. Supriyatno, & D. B. Setyanto, Buku Ajar Respirologi Anak, Edisi Pertama (pp. 333-349). Jakarta: Penerbit IDAI.