referat Bronkiolitis
-
Upload
adeline-yustin-pangloro -
Category
Documents
-
view
104 -
download
6
Transcript of referat Bronkiolitis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bronkiolitis adalah infeksi saluran pernafasan bawah akut dengan gejala utama akibat
peradangan bronkioli yang terutama disebabkan oleh virus.
Sering mengenai anak usia dibawah satu tahun dengan insiden tertinggi umur 6 bulan.
Bronkiolitis akut yang terjadi dibawah umur satu tahun kira-kira 12 % dari seluruh kasus,
sedangkan pada tahun kedua lebih jarang lagi, yaitu sekitar setengahnya. Penyakit ini
menimbulkan morbiditas infeksi saluran pernafasan bawah terbanyak pada anak. Penyebab yang
paling banyak adalah virus Respiratory Syncytial, kira-kira 45 – 55 % dari total kasus.
Sedangkan virus lain seperti Parainfluenza, Rhinovirus, Adenovirus dan Enterovirus sekitar
20%.
Bakteri dan Mikoplasma sangat jarang menyebabkan bronkiolitis pada bayi. Belum ada bukti
bahwa bakteri sebagai penyebab bronkiolitis. Sekitar 70 % kasus bronkiolitis pada bayi terjadi
gejala yang berat sehingga harus dirawat dirumah sakit, sedangkan sisanya dirawat dipoliklinik.
Sebagian besar infeksi saluran nafas ditularkan lewat droplet infeksi. Infeksi primer oleh virus
RSV biasanya tidak menimbulkan gejala klinik, tetapi infeksi sekunder pada anak tahun-tahun
pertama kehidupan akan bermanifestasi berat.
Sebanyak 11,4 % anak berusia dibawah 1 tahun dan 6 % anak berusia 1 – 2 tahun di AS pernah
mengalami bronkiolitis. Penyakit ini menyebabkan 90.000 kasus perawatan di RS dan
menyebabkan 4500 kematian setiap tahunnya. Bronkiolitis merupakan 17 % dari semua kasus
perawatan di RS pada bayi. Frekuensi bronkiolitis dinegara-negara berkembang hampir sama
dengan di Amerika Serikat. Insiden terbanyak terjadi pada musim dingin atau musim hujan di
negara-negara tropis.
Diagnosis bronkiolitis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis. Keadaan tersebut harus
dibedakan dengan asma yang kadang-kadang juga timbul pada usia muda. Anak dengan asma
akan memberikan respon terhadap pengobatan dengan bronkodilator, sedangkan anak dengan
1
bronkiolitis tidak. Bronkiolitis juga harus dibedakan dengan bronkopneumonia yang disertai
enfisema obstruktif dan gagal jantung.
Bronkiolitis virus dapat menyebabkan infeksi pernafasan berat pada masa kanak-kanak.
Walaupun demikian pada kondisi yang terbatas seringkali tidak memerlukan pengobatan. Pada
jumlah yang sedikit anak yang mendapatkan pengobatan penanganan utama termasuk pemberian
oksigen dan cairan yang adekuat dan pengawasan hati-hati untuk mendeteksi sebagian anak yang
mungkin memerlukan intervensi lebih.
Infeksi oleh respiratory syncitial virus (RSV) memiliki morbiditas dan mortalitas yang tinggi
terutama pada anak dengan resiko tinggi dan imunokompromise. Oleh karena itu langkah
preventif dilakukan dengan pemberian imunisasi aktif dan pasif. Saat ini juga sedang
dikembangkan vaksin virus. Usaha untuk mengembangkan vaksin virus hidup yang dilemahkan
(attenuated live viral vaccines) mengalami hambatan karena imunogenositas yang rendah dan
kecenderungan virus untuk berubah kembali menjadi tipe liar.
Bronkhiolitis yang disebabkan oleh virus jarang terjadi pada masa neonatus. Hal ini karena
antibodi neutralizing dari ibu masih tinggi pada 4 – 6 minggu kehidupan, kemudian akan
menurun. Antibodi tersebut mempunyai daya proteksi terhadap infeksi saluran nafas bawah,
terutama terhadap virus.
Prognosis dari bronkiolitis tergantung berat ringannya penyakit, cepatnya penangangan dan
penyakit latar belakang (penyakit jantung, defisiensi imun dan prematuritas).
1.2 Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk mengetahui mengenai Bronkiolitis pada anak dan
juga sebagai salah satu kewajiban dari kepaniteraan klinik ilmu Anak di RST Soepraoen Malang.
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Bronkiolitis adalah penyakit Infeksi Respiratorik Akut (IRA) Bawah yang ditandai dengan
adanya inflamasi pada bronkiolus yang sering di derita bayi dan anak kecil yang berumur kurang
dari 2 tahun.
2.2 Etiologi
Bronkiolitis sebagian besar disebabkan oleh Respiratory Syncytial Virus (RSV). Penyebab
lainnya adalah parainfluenza virus, Eaton agent (mycoplasma pneumoniae), adenovirus dan
beberapa virus lainnya. Tetapi belum ada bukti kuat bahwa bronkhiolitis disebabkan oleh bakteri.
2.3 Epidemiologi
Bronkiolitis merupakan infeksi saluran respiratory tersering pada bayi. Paling sering terjadi pada
usia 2 – 24 bulan, puncaknya pada usia 2 – 8 bulan. Sembilan puluh lima persen kasus terjadi
pada anak berusia dibawah 2 tahun dan 75 % diantaranya terjadi pada anak dibawah usia 1
tahun.
Bronkiolitis paling sering terjadi pada bayi laki-laki berusia 3 – 6 bulan yang tidak mendapatkan
ASI, dan hidup dilingkungan padat penduduk.
Bronkiolitis merupakan 17 % dari semua kasus perawatan di RS pada bayi. Frekuensi
bronkiolitis di negara-negara berkembang hampir sama dengan di AS. Insiden terbanyak terjadi
pada musim dingin atau pada musim hujan di negara-negara tropis.
3
Rerata insidens perawatan setahun pada anak berusia di bawah 1 tahun adalah 21,7 per 1000 dan
semakin menurun seiring dengan pertambahan usia, yaitu 6,8 per 1000 pada usia 1 – 2 tahun.
Lama perawatan adalah 2 – 4 hari, kecuali pada bayi prematur dan kelainan bawaan seperti
penyakit jantung bawaan (PJB). Bradley menyebutkan bahwa penyakit akan lebih berat pada
bayi muda. Hal ini ditunjukkan dengan lebih rendahnya saturasi O2 juga pada bayi yang terpapar
asap rokok pasca natal. Beberapa prediktor lain untuk beratnya bronkiolitis atau yang akan
menimbulkan komplikasi yaitu bayi dengan masa gestasi < 34 minggu, usia < 3 bulan, sianosis,
saturasi < 90 %, laju respiratori > 70 x/menit, adanya ronki, dan riwayat displasia
bronkopulmoner (bronchopulmonary displasia, BPD).
Kenaikan jumlah perawatan karena bronkiolitis dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu
perubahan kriteria perawatan anak dengan IRA, kebiasaan pengasuhan dengan lebih banyak anak
yang dititipkan ditempat penitipan anak (TPA), dan faktor virus sendiri yaitu perubahan virulensi
strain RSV. Selain itu terdapat juga faktor perubahan kriteria diagnostik terutama mikrobiologis
dan panduan terapi serta turunya mortalitas bayi prematur dan bayi dengan kelainan bawaan
kompleks yang merupakan resiko tinggi perawatan karena RSV.
Angka morbiditas dan mortalitas lebih tinggi di negara-negara berkembang daripada di negara-
negara maju. Hal ini mungkin disebabkan oleh rendahnya status gizi dan ekonomi, kurangnya
tunjangan medis, serta kepadatan penduduk di negara berkembang. Angka mortalitas di negara
berkembang pada anak-anak yang dirawat adalah 1 – 3 %.
2.4 Patogenesis dan Patofisiologi
RSV adalah single stranded RNA virus yang berukuran sedang (80-350 nm), termasuk
paramyxovirus. Terdapat dua glikoprotein permukaan yang merupakan bagian yang penting dari
RSV untuk menginfeksi sel, yaitu protein G (attachment protein) yang mengikat sel dan protein
F (fusion protein) yang menghubungkan partikel virus dengan sel target dan sel tetangganya.
Kedua protein ini merangsang antibodi neutralisasi protektif pada host. Terdapat dua macam
strain antigen RSV yaitu A dan B. RSV strain A menyebabkan gejala pada pernapasan yang
lebih berat dan menimbulkan sekuele.
4
Sebagian besar infeksi saluran napas ditularkan lewat droplet infeksi. Infeksi primer oleh virus
RSV biasanya tidak menimbulkan gejala klinik, tetapi infeksi sekunder pada anak tahun-tahun
pertama kehidupan akan bermanifestasi berat.
Selain melalui droplet, RSV bisa juga menyebar melalui inokulasi atau kontak langsung dengan
sekresi hidung penderita. Seseorang biasanya aman apabila berjarak lebih 6 feet dari seseorang
yang menderita infeksi RSV. Droplet yang besar dapat bertahan di udara bebas selama 6 jam,
dan seorang penderita dapat menularkan virus tersebut selama 10 hari.
Masa inkubasi RSV 2-5 hari. Virus ini bereplikasi didalam nasofaring kemudian menyebar dari
saluran nafas atas kesaluran nafas bawah melalui penyebaran langsung pada epitel saluran nafas
dan melalui aspirasi sekresi nasofaring. RSV mempengaruhi sistem saluran nafas melalui
kolonisasi dan replikasi virus pada mukosa bronkus dan bronkiolus yang memberi gambaran
patologi awal berupa nekrosis sel epitel silia. Nekrosis sel epitel saluran nafas menyebabkan
terjadi edema submukosa dan pelepasan debris dan fibrin kedalam lumen bronkiolus. Pada
bronkiolus ditemukan obstruksi parsial atau total karena udema dan akumulasi mukus serta
eksudat yang kental. Pada dinding bronkus dan bronkiolus terdapat infiltrat sel radang. Radang
juga bisa dijumpai pada peribronkial dan jaringan interstisial. Obstruksi parsial bronkiolus
menimbulkan emfisema dan obstruksi totalnya menyebabkan atelektasis.
Virus yang merusak epitel bersilia juga mengganggu gerakan mokusilier, mukus tertimbun
didalam bronkiolus. Kerusakan sel epitel saluran nafas juga akan mengakibatkan saraf aferen
lebih terpapar terhadap alergen/iritan sehingga dilepaskan beberapa neuropeptida (neurokinin,
substance P) yang menyebabkan kontraksi otot polos saluran nafas. Pada akhirnya kerusakan
epitel saluran nafas juga meningkatkan ekspresi Intercelluler Adhesion Molecule-1 (ICAM-1)
dan produksi sitokin yang akan menarik eosinofil dan sel-sel inflamasi. Jadi, bronkiolus menjadi
sempit karena kombinasi dari proses inflamasi, edema saluran nafas, akumulasi sel-sel debris dan
mukus serta spasme otot polos saluran nafas.
Adapun respon paru ialah dengan meningkatkan kapasitas fungsi residu, menurunkan
compliance, meningkatkan tahanan saluran nafas, dead space serta meningkatkan shunt.
5
Sumber : http://www.uptodate.com/patients/content
Semua faktor-faktor tersebut menyebabkan peningkatan kerja sistem pernapasan, batuk,
wheezing, obstruksi saluran nafas, hiperaerasi, atelektasis, hipoksia, hiperkapnia, asidosis
metabolik sampai gagal nafas. Karena resistensi aliran udara saluran berbanding terbalik dengan
diameter saluran napas pangkat 4, maka penebalan dinding bronkiolus sedikit saja sudah
memberikan akibat cukup besar pada aliran udara. Apalagi diameter saluran nafas bayi dan anak
kecil lebih sempit. Resistensi aliran udara saluran nafas meningkat pada fase inspirasi maupun
pada fase ekspirasi. Selama fase ekspirasi terdapat mekanisme klep sehingga udara akan
terperangkap dan menimbulkan overinflasi dada. Volume dada pada akhir ekspirasi meningkat
hampir 2 kali diatas normal. Atelektasis dapat terjadi bila terdapat obstruksi total. Proses
patologik ini menimbulkan gangguan pada proses pertukaran udara di paru, ventilasi berkurang,
dan hipoksemia. Pada umumnya, hiperkapnia tidak terjadi kecuali pada keadaan yang sangat
berat.
6
Saluran Pernafasan Anak
Sumber : http://healthlibrary.epnet.com
Berbeda dengan bayi, Anak besar dan orang dewasa jarang mengalami bronkiolitis bila terserang
infeksi virus karena sudah dapat mentoleransi udema saluran nafas dengan baik. Perbedaan
anatomi antara paru-paru bayi muda dan anak yang lebih besar mungkin merupakan konstribusi
terhadap hal ini. 2,5 Respon proteksi imunologi terhadap RSV bersifat transien dan tidak
lengkap. Infeksi yang berulang pada saluran nafas bawah akan meningkatkan resistensi terhadap
penyakit. Akibat infeksi yang berulang-ulang, terjadi cumulatif imwmunity sehingga pada anak
yang lebih besar dan orang dewasa cenderung lebih tahan terhadap infeksi bronkiolitis dan
pneumonia karena RSV.
Fase penyembuhan bronkiolitis akut diawali dengan regenerasi epitel bronkus dalam 3-4 hari,
sedangkan regenerasi dari silia berlangsung lebih lama dapat mencapai 15 hari.
Ada 2 macam fenomena yang mendasari hubungan antara infeksi virus saluran nafas dan asma :
Infeksi akut virus saluran nafas pada bayi atau anak kecil seringkali disertai wheezing.
Penderita wheezing berulang yang disertai dengan penurunan tes faal paru, ternyata
seringkali mengalami infeksi virus saluran nafas pada saat bayi/ usia muda.
7
Infeksi RSV dapat menstimulasi respon imun humoral dan seluler. Respon antibodi sistemik
terjadi bersamaan dengan respon imun lokal. Bayi usia muda mempunyai respon imun yang
lebih buruk.
IgM adalah bersifat sementara dan tampak terlalu lambat untuk membantu patogenesis
bronkiolitis. Antibodi IgA dan IgG spesifik muncul pada minggu kedua, tetapi umurnya begitu
pendek sehingga penderita mudah dapat mendapat serangan reinfeksi dalam 1 tahun.
Ada beberapa keprihatinan bahwa keparahan gejala pada infeksi selanjutnya mungkin lebih besar
pada penderita yang mempunyai kadar IgE spesifik RSV tinggi, biasanya terjadi defisiensi fungsi
sel supresor antigen-spesifik RSV.
Hampir 70-80% anak dengan infeksi RSV memproduksi IgE dalam 6 hari perjalanan penyakit
dan dapat bertahan sampai 34 hari. IgE-RSV ditemukan dalam sekret nasofaring pada 45% anak
yang terinfeksi RSV dengan mengi, tapi tidak pada anak tanpa mengi. Bronkiolitis yang
disebabkan RSV pada usia dini akan berkembang menjadi asma bila ditemukan IgE spesifik
RSV.
Infeksi virus sering berulang pada bayi. Hal ini disebabkan oleh:
1. Kegagalan sistem imun host untuk mengenal epitope protektif dari virus.
2. Kerusakan sistem memori respons imun untuk memproduksi interleukin I inhibitor dengan
akibat tidak bekerjanya sistem antigen presenting.
3. Penekanan pada sistem respons imun sekunder oleh infeksi virus dan kemampuan virus
untuk menginfeksi makrofag serta limfosit. Akibatnya, terjadi gangguan fungsi seperti kegagalan
produksi interferon, interleukin I inhibitor, hambatan terhadap antiobodi neutralizing, dan
kegagalan interaksi dari sel ke sel.
8
2.5 Immunopatologi
Ada pendapat bahwa bronkiolitis merupakan hasil dari reaksi kompleks imun antara antibodi
non-neutralizing dengan virus. Pendapat tersebut berdasarkan pengamatan di mana terjadinya
infeksi oleh virus ketika umur masih muda, terutama kurang dari 6 bulan. Saat itu, antibodi yang
secara pasif didapatkan dari ibu masih cukup tinggi.
RSV-Respons IgE Spesifik
Infeksi oleh virus dapat mengakibatkan respons IgE spesifik. Timbulnya IgE spesifik
berhubungan dengan derajat beratnya penyakit. Respons ini disertai peningkatan kadar histamin
pada sekret hidung yang ditemukan pada anak dengan mengi akibat infeksi saluran napas bawah
oleh virus RSV. Hal ini menunjukkan keterlibatan IgE pada infeksi virus, walaupun pada orang
dewasa dikeluarkannya histamin oleh sel basofil kadang-kadang tidak disertai peningkatan kadar
IgE. Ada beberapa penelitian mengenai hubungan antara serum anti RSV IgE dengan kadar IgG
dengan kecenderungan timbulnya mengi di kemudian hari. Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa atopi bukan merupakan faktor risiko terjadinya bronkiolitis, tetapi respons IgE merupakan
salah satu faktor yang dapat menunjukkan kecenderungan terjadinya mengi berulang.
Efek Infeksi Virus Terhadap Saluran Napas
Efek infeksi virus terhadap inflamasi saluran napas:
1. Sel epitel
Sel epitel merupakan tempat hidup virus saluran napas. Adanya infeksi ini akan menyebabkan
kerusakan selama replikasi virus. Virus ini juga akan merangsang dikeluarkanya mediator
inflamasi (sitokin) dan kemokin seperti interleukin 6, interleukin 8, interleukin 11, Granulocyt
Macrophag Stimulating Factor (GM-CSF), dan Rantes. Dengan dikeluarkanya mediator kimia
tersebut akan menyebabkan inflamasi.
2. Sel endotel
Kelainan sel endotel akan memberikan gangguan pada saluran napas melalui dua mekanisme:
9
a. Terjadinya reaksi inflamasi pada sel endotel.
b. Transudasi protein plasma dari pembuluh darah ke mukosa hidung menyebabkan sekresi
hidung dan bendungan.
Adanya transudasi dapat diketahui dengan pengukuran albumin dan IgG. Kedua zat tersebut
akan meningkat puncaknya 2–4 hari setelah infeksi oleh virus. Mekanisme terjadinya transudasi
ini berkaitan dengan aktivasi mediator kinin, sehingga meningkatkan permeabilitas sel endotel.
3. Granulosit
Sel neutrofil merupakan sel inflamasi yang muncul pada saat infeksi akut oleh virus. Sel ini
berfungsi sebagai kemotaksis faktor seperti IL-8 dan leukotrin B4. Kompleks virus RSV dan
antibodi akan merangsang IL-6 dan IL-8 yang disekresi oleh sel neutrofil, sehingga akan
dilepaskan sitokin. Selain itu, virus dapat juga mengaktivasi granulosit, sel mast, dan basofil.
4. Makrofag dan monosit
Adanya infeksi pada saluran pernapasan oleh virus akan menyebabkan dikeluarkanya mediator
kimia dari sel makrofag dan monosit. Selama infeksi saluran napas sitokin: IL-q, TNF alfa, dan
IL-8 dapat ditemukan pada sekret hidung. Pada fase akut ini, sitokin yang dikeluarkan akan
menyebabkan gejala sistemik seperti demam dan malaise. Adanya interleukin I dan TNF alfa
berhubungan erat dengan timbulnya mengi pada anak-anak dan dapat berkembang menjadi
reaksi alergi serta asma di kemudian hari.
5. T-sel
Infeksi virus dapat merangsang spesifik dan non-spesifik T-sel. T-sel ini dapat menyebabkan
timbulnya asma.
Ada 3 kemungkinan virus dapat menyebabkan eksaserbasi asma:
a. T-sel membantu membersihkan virus, tetapi tidak berhubungan dengan gejala asma.
b. Virus T-sel spesifik dapat menyebabkan gejala asma, tetapi bila infeksinya telah berat.
10
c. Infeksi virus dengan cepat mengaktivasi T-sel sehingga menyebabkan inflamasi dan
gejala-gejala selama infeksi. Beberapa penelitian menunjukan bahwa infeksi virus menyebabkan
rangsangan terhadap T-sel non-spesifik dan terjadi gangguan pada fungsi paru.
2.6 Klasifikasi dan Manifestasi Klinis
Mula-mula bayi menderita gejala ISPA atas ringan berupa pilek yang encer dan bersin. Gejala ini
berlangsung beberapa hari, kadang-kadang disertai demam dan nafsu makan berkurang.
Kemudian timbul distres nafas yang ditandai oleh batuk paroksismal, wheezing, sesak napas.
Bayi-bayi akan menjadi rewel, muntah serta sulit makan dan minum. Bronkiolitis biasanya
terjadi setelah kontak dengan orang dewasa atau anak besar yang menderita infeksi saluran nafas
atas yang ringan. Bayi mengalami demam ringan atau tidak demam sama sekali dan bahkan ada
yang mengalami hipotermi.
Terjadi distres nafas dengan frekuensi nafas lebih dari 60 kali per menit, kadang-kadang disertai
sianosis, nadi juga biasanya meningkat. Terdapat nafas cuping hidung, penggunaan otot bantu
pernafasan dan retraksi. Retraksi biasanya tidak dalam karena adanya hiperinflasi paru
(terperangkapnya udara dalam paru). Terdapat ekspirasi yang memanjang , wheezing yang dapat
terdengar dengan ataupun tanpa stetoskop. Hepar dan lien teraba akibat pendorongan diafragma
karena tertekan oleh paru yang hiperinflasi. Ronkhi nyaring halus kadang-kadang terdengar pada
akhir inspirasi atau pada permulaan ekspirasi. Pada keadaan yang berat sekali suara pernafasan
hampir tidak terdengar karena kemungkinan obstruksi hamper total. Ekspirasi memanjang dan
mengi kadang-kadang terdengar dengan jelas. Beratnya penyakit ditentukan berdasarkan skala
klinis. Digunakan berbagai skala klinis, misalnya Respiratory Distress Assessment Instrument
(RDAI) atau modifikasinya yang mengukur laju pernafasan / respiratory rate (RR), usaha nafas,
beratnya wheezing dan oksigenasi.
Skala klinis yang digunakan Abul – Ainine dan Luyt adalah :
1. Respiratory Rate (RR) : dihitung manual, baik dengan palpasi dan melihat gerakan dada,
dilakukan selama 1 menit penuh, dua kali perhitungan diambil rata-ratanya.
11
2. Heart Rate (HR) diambil dari pulse oxymetri yang dibaca lima kali selama pengamatan 1
menit, diambil rata-ratanya.
3. Saturasi O2 : dari pulse oxymetri yang dibaca lima kali selama pengamatan 1 menit, diambil
rata-ratanya.
4. Respiratory clinical status yang dinilai menggunakan RDAI menurut Lowell dkk.
5. Status aktivitas bayi (empat tingkat : tidur, tenang, rewel dan menangis).
Sedangkan Shuh, yang diadaptasi oleh Dobson, menilai skor klinis sebagai berikut :
1. Keadaan umum : diberi skor 0 (tidur) hingga 4 (sangat rewel)
2. Penggunaan otot bantu nafas : Skor 0 (tidak ada retraksi) hingga 3 (retraksi berat)
3. Wheezing : skor 0 (tidak ada) hingga 3 (wheezing hebat inspiratorik dan ekspiratorik).
Atas dasar frekuensi nafas dan keadaan umum bronkiolitis dibagi menjadi : bronkiolitis ringan
dan bronkiolitis berat (R ≥ 60 x/ menit).
12
Berdasarkan gejala klinis, bronkiolitis juga dibagi menjadi bronkiolitis ringan, sedang, berat
dengan tanda sebagai berikut :
Tabel 1.
Klasifikasi Bronkiolitis berdasarkan gejala klinis
Ringan Sedang Berat
Kemampuan untuk makan
normal
Sedikit atau tidak ada
gangguan pernapasan
Tidak butuh akan oksigen
tambahan (saturasi O2 >
95%)
Gangguan pernapasan
sedang dengan beberapa
kontraksi dinding dada dan
napas cuping hidung
Hipoksemia ringan dan dapat
dikoreksi dengan oksigen
Menampakkan pernapasan
yang pendek ketika makan
Episode apneu yang singkat
Tidak memiliki kemampuan
untuk makan
Gangguan pernapasan berat,
dengan retraksi dinding dada
yang jelas, napas cuping
hidung dan dengkuran
Hipoksemia yang tidak
terkoreksi dengan oksigen
tambahan
Terdapat peningkatan
frekuensi atau episode apneu
yang panjang
Menampakkan peningkatan
kelelahan
13
2.7 Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan laboratorium dan
pemeriksaan penunjang lainnya, berdasarkan gambaran klinis, umur penderita dan adanya
epidemi RSV di masyarakat.
2.7.1 Anamnesis
Gejala awal berupa gejala infeksi saluran nafas atas akibat virus, seperti pilek ringan, batuk dan
demam. Yang mengenai anak usia maksimal 24 bulan yang lebih banyak terkena adalah usia
dibawah 12 bulan. Satu hingga dua hari kemudian timbul batuk yang disertai dengan sesak nafas.
Selanjutnya dapat ditemukan wheezing, merintih, nafas berbunyi, muntah setelah batuk, rewel
dan penurunan nafsu makan. Adanya riwayat kontak dengan penderita infeksi saluran pernafasan
atas.
Kriteria bronkiolitis terdiri dari: (1) wheezing pertama kali, (2) umur 24 bulan atau kurang, (3)
pemeriksaan fisik sesuai dengan gambaran infeksi virus misalnya batuk, pilek, demam
dan menyingkirkan pneumonia atau riwayat atopi yang dapat menyebabkan wheezing.
2.7.2 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada anak yang mengarah ke diagnosis bronkiolitis adalah adanya takipnea,
takikardia, dan peningkatan suhu diatas 38,5 0C dan bisa mencapai suhu 410C. Selain itu dapat
juga ditemukan konjungtivitis ringan faringitis, dan otitis media.
Obstruksi saluran respiratorik bawah akibat respon inflamasi akut akan menimbulkan gejala
ekspirasi memanjang hingga wheezing. Usaha-usaha pernafasan yang dilakukan anak untuk
mengatasi obstruksi akan menimbulkan nafas cuping hidung dan retraksi interkostal. Selain itu
dapat juga ditemukan ronki dari pemeriksaan auskultasi paru. Sianosis dapat terjadi dan bila
gejala menghebat dapat terjadi apnea, terutama pada bayi berusia < 6 minggu. Selain itu
ditemukan pernafasan yang pendek dan saturasi O2 yang rendah dan tanda dehidrasi.
2.7.3 Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
14
Tes laboratorium rutin tidak spesifik. Hitung lekosit biasanya normal demikian pula
dengan elektrolit. Pada pasien dengan peningkatan lekosit biasanya didominasi oleh
PMN dan bentuk batang. Analisa gas darah (AGD) diperlukan untuk anak dengan
gangguan pernafasan berat, khususnya yang membutuhkan ventilator mekanik, gejala
kelelahan dan hipoksia. Analisa gas darah dapat menunjukkan adanya hipoksia akibat
V/Q mismatch dan asidosis metabolik jika terdapat dehidrasi.
Untuk menemukan RSV dilakukan kultur virus, rapid antigen detection test (direct
immunofluoresence assay dan enzyme – linked immunosorbant assay. ELISA).
Atau polimerase chain reaction (PCR), dan pengukuran titer antibody pada fase akut dan
konvalesens.
Untuk menentukan penyebab bronkiolitis, dibutuhkan pemeriksaan aspirasi atau bilasan
nasofaring. Pada bahan ini dapat dilakukan kultur virus tetapi memerlukan waktu yang
lama, dan hanya memberikan hasil positif pada 50% kasus.
Radiologi
Foto Thorak diindikasikan pada :
- Pasien yang diperkirakan memerlukan perawatan lebih
- Pasien dengan pemburukan klinis yang tidak terduga
- Pasien dengan penyakit jantung dan paru yang mendasari
Gambaran radiologik mungkin masih normal bila bronkiolitis ringan. Umumnya terlihat
paru-paru mengembang (hyperaerated). Bisa juga didapatkan bercak-bercak yang
tersebar, atau pneumonia (patchy infiltrates). Tetapi gambaran ini tidak spesifik dan
dapat ditemukan pada asma, pneumonia viral atau atipikal, dan aspirasi. Dapat pula
ditemukan gambaran ateletaksis terutama saat konvalesens akibat secret pekat bercampur
sel-sel mati yang menyumbat, air trapping, diafragma datar, dan peningkatan diameter
anteroposterior.
15
Bronchiolitis Obliterans X-ray imaging
Sumber : www.pharmacology2000.com
Pada x-foto lateral, didapatkan diameter AP yang bertambah dan diafragma tertekan ke
bawah. Pada pemeriksaan x-foto dada, dikatakan hyperaerated apabila kita mendapatkan:
siluet jantung yang menyempit, jantung terangkat, diafragma lebih rendah dan mendatar,
diameter anteroposterior dada bertambah, ruang retrosternal lebih lusen, iga horisontal,
pembuluh darah paru tampak tersebar.
Dalam penegakan diagnosis bronkiolitis perlu memperhatikan manifestasi klinis yang
dapat menyerupai penyakit lain, epidemiologi, rentang usia terjadinya kasus, dan musim-
musim tertentu dalam satu tahun.
2.8 Diagnosis Banding
Asma
16
Bayi-bayi dengan bronkiolitis mengalami wheezing untuk pertama kalinya. Berbeda dengan
asma yang mengalamiwheezing berulang. Asma bronkiale merupakan diagnosis banding yang
tersering
Bronkitis
Congestive heart failure
Miokarditis
Udema pulmonum
Pneumonia (virus atau bakteri) à Lymphoid interstitial pneumonia
Aspirasi benda asing atau terpapar zat beracun (zat kimia, asap,toksin)
Broncomalasia
Cystic fibrosis
Gastroesophageal reflux (GER)
2.9 Penatalaksanaan
Infeksi oleh virus RSV biasanya sembuh sendiri ( self limited) sehingga pengobatan yang
ditujukan biasanya pengobatan suportif. Prinsip dasar penanganan suportif ini mencakup :
oksigenasi, pemberian cairan untuk mencegah dehidrasi dan nutrisi yang adekuat. Bronkiolitis
ringan biasanya bisa rawat jalan dan perlu diberikan cairan peroral yang adekuat. Bayi dengan
bronkiolitis sedang sampai berat harus dirawat inap. Tujuan perawatan di rumah sakit adalah
terapi suportif, mencegah dan mengatasi komplikasi, atau bila diperlukan pemberian antivirus.
Pengobatan Suportif
A. Pengawasan
17
Untuk pasien yang dirawat inap penting dilakukan pengawasan sistem jantung paru dan jika ada
indikasi dilakukan pemasangan pulse oxymetri.
B. Oksigenasi
Oksigen harus diberikan kepada semua penderita, hal ini penting untuk menjaga jangan sampai
terjadi hipoksia, sehingga tidak memperberat penyakitnya. Hipoksia terjadi akibat gangguan
perfusi ventilasi paru-paru. Oksigenasi dengan kadar oksigen 30-40% sering digunakan untuk
mengoreksi hipoksia. Saturasi oksigen menggambarkan kejenuhan afinitas hemoglobin terhadap
oksigen didalam darah. Oksigen dapat diberikan melalui nasal prongs (2 liter/menit), masker
(minimun 4 liter/menit) atau head box. Terapi oksigen dihentikan bila pemeriksaan saturasi
oksigen dengan pulse oximetry (SaO2) pada suhu ruangan stabil diatas 94%.
Penderita bronkiolitis kadang-kadang membutuhkan ventilasi mekanik, yaitu pada kasus gagal
napas, serta apneu berulang. CPAP( continous positive airway pressure) biasa digunakan untuk
mempertahankan tekanan positif paru. CPAP mungkin memberi keuntungan dengan cara
membuka saluran napas kecil, mencegah air trapping dan obstruksi. Bayi dengan hipoksemia
berat yang tidak membaik dengan ventilasi konvensional membutuhkan ventilasi dengan high-
frequency jet ventilation atau extracorporeal membrane oxygenation (ECMO).
Sumber : http://breathebetter.blogspot.com
18
Jika mungkin gunakan oksigen yang dilembabkan. Jika hipoksemia menetap dengan atau tanpa
distress berat, meskipun sudah diberikan oksigen dengan kecepatan tinggi, maka segera lakukan
permintaan untuk penangan ICU anak dengan pemasangan ventilator.
C. Pengaturan Cairan
Pemberian cairan sangat penting untuk mencegah terjadinya dehidrasi akibat keluarnya cairan
lewat evaporasi, karena pernapasan yang cepat dan kesulitan minum. Jika tidak terjadi dehidrasi
diperlukan pemberian cairan rumatan. Cara pemberian cairan ini bisa intravena atau nasogastrik.
Akan tetapi, harus hati-hati pemberian cairan lewat lambung karena dapat terjadi aspirasi dan
menambah sesak napas akibat lambung yang terisi cairan dan menekan diafragma ke paru-paru.
Pemberian cairan dan kalori yang cukup (bila perlu dapat dengan infus dan diet
sonde/nasogastrik). Jumlah cairan disesuaikan dengan berat badan, kenaikan suhu dan status
dehidrasi. Cairan intravena diberikan bila pasien muntah dan tidak dapat minum, panas atau
distres napas untuk mencegah terjadinya dehidrasi. Dapat dibenarkan pemberian retriksi cairan
2/3 dari kebutuhan rumatan untuk mencegah edema paru dan edema otak akibat SIADH
(Sindrome of Inappropriate Anti Diuretik Hormone). Selanjutnya perlu dilakukan koreksi
terhadap kelainan asam basa dan elektrolit yang mungkin timbul.
Pengobatan Medikamentosa
A. Antivirus (Ribavirin)
Bronkiolitis paling banyak disebabkan oleh virus sehingga ada pendapat untuk mengurangi
beratnya penyakit dapat diberikan antivirus.
Ribavirin adalah synthetic nucleoside analogue, menghambat aktivitas virus termasuk RSV.
Ribavirin menghambat translasi messeger RNA (mRNA) virus kedalam protein virus dan
menekan aktivitas polymerase RNA. Titer RSV meningkat dalam 3 hari setelah gejala timbul
19
atau 10 hari setelah terkena virus. Karena mekanisme ribavirin menghambat replikasi virus
selama fase replikasi aktif, maka pemberian ribavirin lebih bermamfaat pada fase awal infeksi.
Efektivitas ribavirin sampai saat ini masih kontroversi mengenai efektivitas dan
keamanannya. Dalam sebuah penelitian dengan pemberian ribavirin ini dapat terjadi perbaikan
SaO2, penurunan penggunaan ventilasi mekanik, lama perawatan di rumah sakit lebih singkat,
dan adanya perbaikan fungsi paru. Tetapi dalam penelitian lain, penggunaan ribavirin tidak
memberikan efek perbaikan. Perbedaan hasil tersebut kemungkinan karena desain, metode yang
dipakai berbeda termasuk jumlah sampel yang terlibat. Dan keterlambatan dalam memulai terapi.
Kekurangan dari terapi ribavirin, harganya yang sangat mahal.
American of Pediatric merekomendasikan penggunaan ribavirin pada keadaan diperkirakan
penyakitnya menjadi lebih berat seperti pada penderita bronkiolitis dengan kelainan jantung,
fibrosis kistik, penyakit paru-paru kronik, immunodefisiensi, dan pada bayi-bayi prematur. Ada
beberapa penelitian prospektif tentang penggunaan ribavirin pada penderita bronkiolitis dengan
penyakit jantung dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian jika diberikan pada saat awal.
Penggunaan ribavirin biasanya dengan cara nebulizer aerosol 12–18 jam per hari atau dosis kecil
dengan 2 jam 3 x/hari.
B. Bronkodilator
Peran bronkodilator sampai saat ini masih kontroversial. Secara umum jangan gunakan
bronkodilator pada pasien anak dengan usia dibawah 6 bulan. Bronkodilator juga tidak
dianjurkan dan sebetulnya merupakan kontra indikasi karena dapat memperberat keadaan anak.
Penderita dapat menjadi lebih gelisah dan keperluan oksigen akan meningkat.
Wohl dan Chernick menyatakan bahwa penyebab obstruksi saluran respiratory adalah inflamasi
dan penyempitan akibat edema mukosa dan sumbatan mukosa, serta kolapsnya saluran
respiratori kecil pada bayi dengan bronkiolitis, sehingga pendekatan logis terapi adalah
kombinasi α-adrenergik dan agonis β-adrenergik.
Kelebihan epinefrin dibandingkan dengan bronkodilator β-adrenergik selektif adalah :
20
- Kerja konstriktor α-adrenergik yang merupakan dekongestan mukosa, membatasi
absorbsinya dan mengatur aliran darah pulmoner, dengan sedikit efek pada ventilation perfusing
matching.
- Relaksasi otot bronkus karena efek β-adrenergik
- Kerja β-adrenergik menekan pelepasan mediator kimiawi
- Efek fisiologik antihistamin yang melawan efek histamin seperti edema
- Mengurangi sekresi kataral.
Beta – agonis masih sering digunakan dengan alasan 15 – 25 % pasien bronkiolitis nantinya akan
menjadi asma. Inhalasi β2-agonis diberikan satu kali sebagai trial dose. Karena efek akan tampak
dalam 1 jam, maka dosis ulangan akan diberikan bila pasien menunjukkan perbaikan klinis
fungsi paru yang jelas dan menetap.
C. Kortikosteroid
Pemakaian kortikosteroid pd bronkiolitis masih kontroversial. Banyak studi terdahulu yang telah
dilakukan untuk mencari efektivitas kortikosteroid pada pengobatan bronkiolitis. Penelitian pada
61 penderita bronkiolitis anak dengan menggunakan deksametason oral pada anak yang telah
menggunakan nebulasi salbutamol tidak didapatkan perbedaan antara grup perlakuan plasebo
terhadap saturasi oksigen, laju napas, skor RDAI dan lamanya rawat inap. Hasil yang hampir
sama juga didapatkan pada pemberian deksametason intravena pada penderita bronkiolitis, dan
ternyata tidak didapatkan perbedaan terhadap skor klinis, laju napas, dan tes fungsi paru pada
hari ke-3. Tetapi Schuh dkk (2002) yang melakukan penelitian pada penderita bronkiolitis yang
dirawat jalan mendapatkan hasil bahwa dengan pemberian deksametason oral 1 mg/kgBB
mengurangi angka rawat inap penderita bronkiolitis.
D. Antibiotik
Pemberian antibiotik biasanya tidak diperlukan pada penderita bronkiolitis, karena sebagian
besar disebabkan oleh virus, kecuali jika ada tanda-tanda infeksi sekunder dan diberikan
antibiotik spektrum luas. Pemberian antibiotik justru akan meningkatkan infeksi sekunder oleh
21
kuman yang resisten terhadap antibiotik tersebut. Antibiotik bila dicurigai adanya infeksi bakteri
dapat digunakan ampisilin 100-200 mg/kgBB/hr secara intravena dibagi 4 dosis. Bila ada
konjungtivitis dan bayi berusia 1 – 4 bulan kemungkinan sekunder oleh Chlamidia trachomatis.
Pengobatan Intensive Care Unit
Dilakukan konsultasi untuk perawatan pada ICU anak jika :
- Terjadi progresivitas untuk gangguan pernafasan berat terutama pada kelompok yang
beresiko.
- Terdapat episode apnoe yang signifikan dengan gangguan saturasi atau adanya frekuensi
pernafasan pendek lebih dari 15 detik.
- Saturasi oksigen rendah yang menetap
- Ketika pemeriksaan analisa gas darah telah selesai dan menggambarkan gangguan
pernafasan dimana pada darah arteri didapatkan : pO2 < 80 mmHg; pCO2 > 50 mmHg; pH <
7,25.
2.10 Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan dengan menghindari faktor paparan asap rokok dan polusi udara,
membatasi penularan terutama dirumah sakit misalnya dengan membiasakan cuci tangan dan
penggunaan sarung tangan dan masker, isolasi penderita, menghindarkan bayi/anak kecil dari
tempat keramaian umum, pemberian ASI, menghindarkan dari kontak dengan penderita ISPA.
Penggunaan imunoglobulin (RSV-Ig) pada bayi berumur kurang dari 24 bulan
dengan Bronchopulmonary dysplasia(BPD), bayi prematur (< 35 minggu) menunjukkan hasil
penurunan signifikan terhadap jumlah yang terinfeksi RSV, jumlah penderita masuk RS serta
memperpendek waktu perawatan. RSV-Ig dapat ditoleransi dengan baik.
22
Palivizumab adalah humanized murine monoclonal anti F glycoprotein antibody, yang mencegah
masuknya RSV kedalam sel host. Respigram adalah human polyclonal hyperimmune globulin,
diberikan secara intravena, juga bisa digunakan sebagai imunoprofilaksis pasif pada bronkiolitis.
Penelitian penggunaan vaksin RSV menggunakan virus hidup (live attenuated, subunit, live
recombinat) dan synthetic peptide sampai saat ini tidak memberikan proteksi yang adekuat.
Indikasi dirawat pasien bronkiolitis adalah :
Umur <3 bulan (meningkatnya resiko apneu dan penyakit menjadi lebih berat ).
Usia kehamilan kurang 34 minggu
Adanya faktor resiko
Adanya apneu, takipneu, retraksi, gizi buruk dan agitasi.
Pulse oximetry <95%
Pada foto rontgen terlihat adanya atelektasis.
Kriteria pulang pada pasien ini adalah :
Tidak ada lagi tanda-tanda gawat napas (HR<60 menit) baik ketika istirahat maupun saat
makan.
Retraksi minimal saat istirahat (tidak menangis)
Cairan yang masuk adekuat
Saturasi O2 > 93 %
Umur diatas 2 bulan tanpa riwayat kelahiran prematur
Tidak riwayat penyakit jantung-paru
23
2.10 Komplikasi
Biasanya komplikasinya bisa berupa apneu, pneumonia, sindrom aspirasi, gagal nafas yang
membutuhkan ventilator mekanik, dehidrasi, atrial tachycardia. Pneumothorak dapat juga terjadi
pada penyakit obstruksi yang berat Ada beberapa kelompok pasien yang beresiko tinggi terhadap
infeksi RSV yang berat yaitu : bayi prematur (usia kehamilan <35 minggu), penyakit jantung
kongenital, penyakit paru kronik, fibrosis kistik, dan kelainan fungsi imunologi (bisa karena
kemoterapi, transplantasi, dan kelainan imunodefisiensi kongenital atau didapat)
Komplikasi seperti otitis media akut, pneumonia bakterial dan gagal jantung jarang dijumpai.
2.11 Prognosis
Kebanyakan prognosis pasien dengan bronkiolitis adalah baik. Anak biasanya dapat mengatasi
serangan tersebut dalam waktu sesudah 48-72 jam. Prognosis menjadi buruk pada pasien dengan
kelainan imunologi atau penyakit kardiopulmoner yang kronik. Perjalanan penyakit biasanya 7-
10 hari tapi pada beberapa pasien mencapai 3-4 minggu. Sekitar 30-40% anak-anak dengan
bronkiolitis akan timbul wheezing berikutnya hingga umur 7 tahun, yang ditandai dengan
peningkatan eosinofil selama infeksi RSV masih ada. Mortalitas karena infeksi RSV primer
kurang dari 1%. Anak dapat meninggal karena komplikasi pneumonia, apneu yang lama, asidosis
respiratorik yang tidak terkoreksi, karena dehidrasi atau superinfeksi bakteri yang tidak
terobati. Pada beberapa penelitian dinyatakan bahwa pasien yang mempunyai riwayat
bronkiolitis sebelumnya akan menjadi faktor resiko tinggi timbulnya wheezing yang berulang
atau predisposisi terjadinya asma pada masa kanak-kanak. Dan juga bisa dijumpai kelainan
fungsi pernapasan yang minimal pada anak-anak usia sekolah.
24
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Bronkhiolitis adalah penyakit IRA – bawah yang ditandai dengan adanya inflamasi pada
bronkiolus. yang sering di derita bayi dan anak kecil yang berumur kurang dari 2 tahun.
Bronkiolitis sebagian besar disebabkan oleh Respiratory syncytial virus(RSV), penyebab lainnya
adalah parainfluenza virus, Eaton agent (mycoplasma pneumoniae), adenovirus dan beberapa
virus lainnya. tetapi belum ada bukti kuat bahwa bronkhiolitis disebabkan oleh bakteri.
Bronkiolitis merupakan infeksi saluran respiratory tersering pada bayi. Paling sering terjadi pada
usia 2 – 24 bulan, puncaknya pada usia 2 – 8 bulan. Sebanyak 11,4 % anak berusia dibawah 1
tahun dan 6 % anak berusia 1 – 2 tahun di AS pernah mengalami bronkhiolitis. Penyakit ini
menyebabkan 90.000 kasus perawatan di rumah sakit dan menyebabkan 4500 kematian setiap
tahunnya.
Faktor resiko terjadinya bronkiolitis adalah jenis kelamin laki-laki, status sosial ekonomi rendah,
jumlah anggota keluarga yang besar, perokok pasif, berada pada tempat penitipan anak atau ke
25
tempat-tempat umum yang ramai, rendahnya antibodi maternal terhadap RSV, dan bayi yang
tidak mendapatkan air susu ibu.
Bronkiolitis secara klinis ditandai dengan pernafasan cepat, retraksi dinding dada dan whezing.
Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan laboratorium dan
pemeriksaan penunjang lainnya, berdasarkan gambaran klinis, umur penderita dan adanya
epidemi RSV di masyarakat.
Diagnosis banding sebaiknya dipikirkan, misalnya asma bronkiale serangan pertama, bronkhitis,
gagal jantung kongestif, edema paru, pneumonia, aspirasi benda asing, refluks gastroesophageal,
sistik fibrosis, miokarditis, pneumothorak, pertussis.
Infeksi virus RSV biasanya sembuh sendiri (self limited) sehingga sebagian besar tatalaksana
bronkiolitis pada bayi bersifat suportif, yaitu pemberian oksigen, minimal handling pada bayi,
cairan intravena dan kecukupan cairan, penyesuaian suhu lingkungan agar konsumsi oksigen
minimal, tunjangan respirasi bila perlu, dan nutrisi. Setelah itu baru pemberian medikamentosa.
Komplikasi dari bronkiolitis sangat minimal dan tergantung dari penatalaksanaan penyakit
sebelumnya. Pada beberapa kasus didapatkan adanya gangguan fungsi paru yang menetap,
dimana timbulnya whezing berulang dan hiperaktifitas bronkial.
Pencegahan dengan imunisasi aktif dan pasif serta menghindari penyebaran virus RSV.
Prognosis tergantung berat ringannya penyakit, cepatnya penanganan, dan penyakit latar
belakang (penyakit jantung, defisiensi imun, prematuritas).
26
DAFTAR PUSTAKA
1. Herry Garna, Prof, dr. Sp.A(K), Ph.D, Heda Melinda D. Nataprawira, dr. Sp.A(K),
Bronkhiolitis dalam Pedoman Diagnosis dan Terapi, Ilmu Kesehatan Anak, Edisi Ke -3, Bagian
Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran, Rs. Dr. Hasan Sadikin
Bandung, 2005. Hal : 400-402
2. Edi Hartoyo dan Roni Naning, Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Gajah Mada/ Instalasi Kesehatan Anak RSUP dr. Sardjito Yogyakarta. Mengi
Berulang Setelah Bronkhiolitis Akut Akibat Infeksi Virus.
3. Staff Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI, Bronkiolitis Akut dalam Buku Kuliah 3 Ilmu
Kesehatan Anak, Bagian Ilmu Kesehatan FKUI, 1985, hal : 1233-1235
27
4. Magdalena Sidharta Zain, Bronkhiolitis dalam Buku Ajar Respirology Anak, Edisi
Pertama, Ikatan Dokter Anak Indonesia, Badan Penerbit IDAI, 2008
5. NSW HEALTH, Acut Management of Infant and Children with Acute Bronchiolitis.
Revision December 2006 www.health.nsw.gov.au
6. Ikatan Dokter Anak Indonesia, Bronkiolitis dalam Standar Pelayanan Medis Kesehatan
Anak, Edisi I, Badan Penerbit IDAI, 2005. Hal : 348 - 350
7. A Tam, SY Lam, et all. Clinical Guideline on The Management pf Acute Bronchiolitis,
Hongkong Journal Pediatric (New Series) 2006; 11; 235 – 241.
8. Mary Ellen B, Wohl, MD. Bronchiolitis in Kendig’s Disorder of The Respiratory Tract in
Children. Seventh Edition, Elsevier Inc, 2006 page : 423 – 431.
9. Mark Louden, MD, FACEP. Pediatric Bronchiolitis. Update 1 November 2007
http://www.emedicine.com/emerg/topic365.htm
10. Administrator, Tata Laksana Bronkhiolitis, Desember 2007,
http://cpddokter.com/home/index.php?option=com_content&task=view&id=140&Itemid=38
28
11. Departemen Kesehatan RI, Profil Kesehatan Provinsi NAD tahun
2005 .www. depkes.go.id /downloads/profil/NAD05/profil_dinkes05baru.pdf
12. Dominic A Fitzgerald and Henry A Kilham, Bronchiolitis : Assesment and Evidence - Based
Management. MJA volume 180, 19 April 2004, Page : 399 – 404.
13. Chris Bolling, MD, et all. Evidence Based Clinical Practice Guideline For Medical
Management of Bronchiolitis in Infants less than 1 years of age presenting with a first time
episode. Cincinati Children’s Hospital Medical Center. 2006. www.cincinatichildrens.org
29