67838258 Referat Bronkiolitis Pada Anak
-
Upload
shaoran-aulia -
Category
Documents
-
view
146 -
download
34
description
Transcript of 67838258 Referat Bronkiolitis Pada Anak
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bronkiolitis adalah penyakit saluran pernapasan bayi yang lazim, akibat dari
obstruksi radang saluran pernapasan kecil. Penyakit ini terjadi selama umur 2 tahun
pertama, dengan insiden puncak pada sekitar umur 6 bulan dan kebanyakan kasus
gambaran klinisnya menghilang dalam 1 minggu. Namun sekitar 50% kasus muncul
episode berulang berupa wheezing dan berkembangnya asma dalam waktu 2 tahun setelah
onset dari infeksi. Insidensi tertinggi selama musim dingin dan awal musim semi. Penyakit
ini terjadi secara sporadik dan endemic.1,2
Bronkiolitis terutama disebabkan oleh Respiratory Syncitial Virus (RSV), 60–90%
dari kasus, dan sisanya disebabkan oleh virus Parainfluenzae tipe 1,2, dan 3, Influenzae B,
Adenovirus tipe 1,2, dan 5, atau Mycoplasma. RSV adalah penyebab utama bronkiolitis
dan merupakan satu-satunya penyebab yang dapat menimbulkan epidemi. Hayden dkk
(2004) mendapatkan bahwa infeksi RSV menyebabkan bronkiolitis sebanyak 45%-90%
dan menyebabkan pneumonia sebanyak 40%. 3
Makin muda umur bayi menderita bronkiolitis biasanya akan makin berat
penyakitnya. Bayi yang menderita bronkiolitis berat mungkin oleh karena kadar antibodi
maternal (maternal neutralizing antibody) yang rendah. Selain usia, bayi dan anak dengan
penyakit jantung bawaan, bronchopulmonary dysplasia, prematuritas, kelainan neurologis
dan immunocompromized mempunyai resiko yang lebih besar untuk terjadinya penyakit
yang lebih berat. Insiden infeksi RSV sama pada laki-Iaki dan wanita, namun bronkiolitis
berat lebih sering terjadi pada laki – laki.3
1.2 Batasan Masalah
Pembahasan referat ini dibatasi pada epidemiologi, etiologi, patogenesis, diagnosis,
dan tata laksana bronkiolitis pada anak.
1.3 Tujuan Penulisan
Referat ini bertujuan menambah pengetahuan dan pemahaman tentang
epidemiologi, etiologi, patogenesis, diagnosis, dan tata laksana bronkiolitis pada anak.
1
1.4 Metode Penulisan
Penulisan referat ini berdasarkan tinjauan kepustakaan yang merujuk pada literatur-
literatur yang berkaitan dengan epidemiologi, etiologi, patogenesis, diagnosis, dan
tatalaksana bronkiolitis pada anak.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Defenisi
Bronkiolitis adalah penyakit saluran pernafasan bagian bawah dengan karakteristik
klinis berupa batuk, takipnea, wheezing, dan / atau rhonki. Bronkiolitis adalah sebuah
2
kelainan saluran penafasan bagian bawah yang biasanya menyerang anak-anak kecil dan
disebabkan oleh infeksi virus-virus musiman seperti RSV. Walaupun kata bronkiolitis
berarti inflamasi bronkioles, hal ini jarang ditemukan secara langsung, tapi diduga pada
anak kecil dengan distres pernafasan yang memiliki tanda-tanda infeksi virus.4
Di United Kingdom, kata ini digunakan secara lebih spesifik. Penulis penelitian
dari Universitas Nottingham mengambil definisi konsensus dari “penyakit virus musiman
dengan karakteristik demam, nasal discharge, dan batuk kering dan berbunyi menciut.
Pada pemeriksaan ada crackles inspirasi halus dan / atau wheezing ekspirasi nyaring.
Di Amerika Utara, bronkiolitis biasanya digunakan secara lebih luas, tapi berhubungan
dengan penemuan spesifik berupa wheezing.4
Pedoman APP (American Academy of Pediatrics) mendefinisikan bronkiolitis
sebagai “sebuah kumpulan gejala-gejala dan tanda-tanda klinis termasuk prodromal virus
pernafasan atas, diikuti peningkatan wheezing dan usaha bernafas dari anak-anak kurang
dari 2 tahun”. Perbedaan ini penting, karena wheezing berulang pada anak-anak yang lebih
besar sering dicetuskan oleh virus-virus yang khas untuk saluran pernafasan bagian atas,
seperti rhinovirus.5
2.2 Etiologi
Bronkiolitis terutama disebabkan oleh Respiratory Syncitial Virus (RSV), 60–90%
dari kasus, dan sisanya disebabkan oleh virus Parainfluenzae tipe 1,2, dan 3, Influenzae B,
Adenovirus tipe 1,2, dan 5, atau Mycoplasma.1
RSV adalah single stranded RNA virus yang berukuran sedang (80-350 nm),
termasuk paramyxovirus. Terdapat dua glikoprotein permukaan yang merupakan bagian
penting dari RSV untuk menginfeksi sel, yaitu protein G (attachment protein ) yang
mengikat sel dan protein F (fusion protein) yang menghubungkan partikel virus dengan sel
target dan sel tetangganya. Kedua protein ini merangsang antibodi neutralisasi protektif
pada host. Terdapat dua macam strain antigen RSV yaitu A dan B. RSV strain A
menyebabkan gejala yang pernapasan yang lebih berat dan menimbulkan sekuele. Masa
inkubasi RSV 2 - 5 hari.1
Sejumlah virus dikenal sebagai penyebab bronkiolitis telah secara nyata diperluas
dengan keberadaan tes diagnosis yang sensitif dengan menggunakan teknik molekular
tambahan.
RSV tetap menjadi penyebab 50 % – 80 % kasus. Penyebab lain termasuk virus
parainfluenza, terutama parainfluenza tipe 3, influenza, dan human metapneumovirus
3
(HMPV). HMPV ditaksir menyebabkan 3 % – 19 % kasus bronkiolitis. Kebanyakan anak-
anak terinfeksi selama epidemik luas musim dingin tahunan.5
Teknik diagnosis molekular juga telah mengungkapkan bahwa anak-anak kecil
dengan bronkiolitis dan penyakit-penyakit respirasi akut lainnya sering diinfeksi oleh lebih
dari satu virus. Jumlah coinfeksi ini sekitar 10 % – 30 % pada sampel anak-anak yang
dirawat di rumah sakit, kebanyakan oleh RSV dan salah satu dari HMPV atau rhinovirus.5
2.3 Epidemiologi
RSV adalah penyebab utama bronkiolitis dan merupakan satu-satunya penyebab
yang dapat menimbulkan epidemi. Hayden dkk (2004) mendapatkan bahwa infeksi RSV
menyebabkan bronkiolitis sebanyak 45%-90% dan menyebabkan pneumonia sebanyak
40%.5
Bronkiolitis sering mengenai anak usia dibawah 2 tahun dengan insiden tertinggi
pada bayi usia 6 bulan.1,3 Pada daerah yang penduduknya padat insiden bronkiolitis oleh
karena RSV terbanyak pada usia 2 bulan. Makin muda umur bayi menderita bronkiolitis
biasanya akan makin berat penyakitnya. Bayi yang menderita bronkiolitis berat mungkin
oleh karena kadar antibodi maternal (maternal neutralizing antibody) yang rendah. Selain
usia, bayi dan anak dengan penyakit jantung bawaan, bronchopulmonary dysplasia,
prematuritas, kelainan neurologis dan immunocompromized mempunyai resiko yang lebih
besar untuk terjadinya penyakit yang lebih berat. Insiden infeksi RSV sama pada laki-Iaki
dan wanita, namun bronkiolitis berat lebih sering terjadi pada laki-Iaki.5
2.4 Patogenesis
Virus bereplikasi di dalam nasofaring kemudian menyebar dari saluran nafas atas
ke saluran nafas bawah melalui penyebaran langsung pada epitel saluran nafas dan melalui
aspirasi sekresi nasofaring. RSV mempengaruhi sistem saluran napas melalui kolonisasi
dan replikasi virus pada mukosa bronkus dan bronkiolus yang memberi gambaran patologi
awal berupa nekrosis sel epitel silia. Nekrosis sel epitel saluran napas menyebabkan terjadi
edema submukosa dan pelepasan debris dan fibrin kedalam lumen bronkiolus .2
4
Gambar 1. Respon inflamasi selular pada infeksi virus saluran nafas 2
(Sumber : The Internet Journal of Pediatricsnand Neonatology 2)
Virus yang merusak epitel bersilia juga mengganggu gerakan mukosilier, mukus
tertimbun di dalam bronkiolus. Kerusakan sel epitel saluran napas juga mengakibatkan
saraf aferen lebih terpapar terhadap alergen/iritan, sehingga dilepaskan beberapa
neuropeptida (neurokinin, substance P) yang menyebabkan kontraksi otot polos saluran
napas. Pada akhirnya kerusakan epitel saluran napas juga meningkatkan ekspresi
Intercellular Adhesion Molecule-1 (ICAM-1) dan produksi sitokin yang akan menarik
eosinofil dan sel-sel inflamasi. Jadi, bronkiolus menjadi sempit karena kombinasi dari
proses inflamasi, edema saluran nafas, akumulasi sel-sel debris dan mukus serta spasme
otot polos saluran napas
5
.
2.5 Patofisiologi
Adapun respon paru ialah dengan meningkatkan kapasitas fungsi residu,
menurunkan compliance, meningkatkan tahanan saluran napas, dead space serta
meningkatkan shunt. Semua faktor-faktor tersebut menyebabkan peningkatan kerja sistem
pernapasan, batuk, wheezing, obstruksi saluran napas, hiperaerasi, atelektasis, hipoksia,
hiperkapnea, asidosis metabolik sampai gagal napas.5
Karena tahanan/resistensi terhadap aliran udara di dalam saluran besarnya
berbanding terbalik dengan radius/jari-jari pangkat empat, maka penebalan yang sedikit
sekalipun pada dinding bronkhiolus bayi dapat sangat mempengaruhi aliran udara.
Tahanan pada saluran udara kecil bertambah selama fase inspirasi dan fase
ekspirasi, namun karena selama ekspirasi radius jalan nafas menjadi lebih kecil, maka
hasilnya adalah obstruksi pernafasan katup bola yang menimbulkan perangkap udara awal
dan overinflasi. Volume dada pada akhir ekspirasi meningkat hampir 2 kali di atas normal.
Atelektasis dapat terjadi ketika obstruksi menjadi total dan udara yang terperangkap di
absorbsi.1
Proses patologis mengganggu pertukaran gas normal di dalam paru. Perfusi
ventilasi yang tidak sepadan menimbulkan hipoksemia, yang terjadi pada awal
perjalanannya. Retensi karbondioksida (hiperkapnea) biasanya tidak terjadi kecuali pada
penderita yang terkena berat. Makin tinggi frekuensi pernafasan makin rendah tekanan
oksigen arteri. Hiperkapnea biasanya tidak terjadi sampai pernafasan melebihi 60
kali/menit; selanjutnya proporsi hiperkapnea ini bertambah menjadi takipnea.1
6
Gambar 2. Pembengkakan bronkioli pada bronkiolitis 6
Anak yang lebih besar dan orang dewasa jarang mengalami bronkiolitis bila
terserang infeksi virus. Perbedaan anatomi antara paru-paru bayi muda dan anak yang
lebih besar mungkin merupakan kontribusi terhadap hal ini. Respon proteksi imunologi
terhadap RSV bersifat transien dan tidak lengkap. Infeksi yang berulang pada saluran
napas bawah akan meningkatkan resistensi terhadap penyakit. Akibat infeksi yang
berulang-ulang, terjadi cumulatif immunity sehingga pada anak yang lebih besar dan orang
dewasa cenderung lebih tahan terhadap infeksi bronkiolitis dan pneumonia karena RSV.5
Penurunan ventilasi dari bagian paru-paru menyebabkan ventilasi / perfusi
mismatching, mengakibatkan hipoksia. Selama fase ekspirasi respirasi, dinamis lebih
lanjut penyempitan saluran udara menghasilkan penurunan aliran udara yang tidak
proporsional dan menyaring udara yang dihasilkan. Kerja pernapasan meningkat karena
volume paru-paru meningkat akhir-ekspirasi dan penurunan kepatuhan paru-paru.
Penyembuhan bronkiolitis akut diawali dengan regenerasi epitel bronkus dalam 3-4 hari,
7
sedangkan regenerasi dari silia berlangsung setelah 2 minggu. Jaringan mati (debris) akan
dibersihkan oleh makrofag.7
Infeksi RSV dapat menstimulasi respon imun humoral dan selular. Respon antibodi
sistemik terjadi bersamaan dengan respon imun lokal. Bayi usia muda mempunyai respon
imun yang lebih buruk. 1
Glezen dkk (dikutip dari Bar-on, 1996) mendapatkan bahwa terjadi hubungan
terbalik antara titer antibodi neutralizing dengan resiko reinfeksi. Tujuh puluh sampai
delapan puluh persen anak dengan infeksi RSV memproduksi IgE dalam 6 hari perjalanan
penyakit dan dapat bertahan sampai 34 hari. IgE-RSV ditemukan dalam sekret nasofaring
45% anak yang terinfeksi RSV dengan mengi, tapi tidak pada anak tanpa mengi.
Bronkiolitis yang disebabkan RSV pada usia dini akan berkembang menjadi asma bila
ditemukan IgE spesifik RSV .5
2.5 Manifestasi klinis
Mula-mula bayi menderita gejala ISPA atas ringan berupa pilek yang encer dan
bersin. Gejala ini berlangsung beberapa hari, kadang-kadang disertai demam dan nafsu
makan berkurang. Kemudian timbul distres nafas yang ditandai oleh batuk paroksismal,
wheezing, sesak napas. Bayi-bayi akan menjadi rewel, muntah serta sulit makan dan
minum. Bronkiolitis biasanya terjadi setelah kontak dengan orang dewasa atau anak besar
yang menderita infeksi saluran nafas atas yang ringan.Bayi mengalami demam ringan atau
tidak demam sama sekali dan bahkan ada yang mengalami hipotermi. 1,3,6
Terjadi distress nafas dengan frekuensi nafas lebih dari 60 kali per menit, kadang-
kadang disertai sianosis, nadi juga biasanya meningkat.
Terdapat nafas cuping hidung, penggunaan otot bantu pernafasan dan retraksi.
Retraksi biasanya tidak dalam karena adanya hiperinflasi paru (terperangkapnya
udara dalam paru).
Terdapat ekspirasi yang memanjang , wheezing yang dapat terdengar dengan
ataupun tanpa stetoskop, serta terdapat crackles.
Hepar dan lien teraba akibat pendorongan diafragma karena tertekan oleh paru
yang hiperinflasi.
Sering terjadi hipoksia dengan saturasi oksigen <92% pada udara kamar.
Pada beberapa pasien dengan bronkiolitis didapatkan konjungtivitis ringan, otitis
media serta faringitis.
8
Ada bentuk kronis bronkiolitis, biasanya disebabkan oleh karena adenovirus atau
inhalasi zat toksis (hydrochloric, nitric acids ,sulfur dioxide). Karakteristiknya:
o gambaran klinis & radiologis hilang timbul dalam beberapa minggu atau
bulan dengan episode atelektasis, pneumonia dan wheezing yang berulang.
o Proses penyembuhan, mengarah ke penyakit paru kronis.
o Histopatologi: hipertrofi dan timbunan infiltrat meluas ke peribronkial,
destruksi dan deorganisasi jaringan otot dan elastis dinding mukosa.
Terminal bronkiolus tersumbat dan dilatasi. Alveoli overdistensi, atelektasis
dan fibrosis.
2.6 Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya. Pertama sekali dapat dicatat bahwa bayi
dengan bronkiolitis menderita suatu infeksi ringan yang mengenai saluran pernapasan
bagian atas disertai pengeluaran sekret-sekret encer dari hidung dan bersin-bersin. Gejala-
gejala ini biasanya akan berlangsung selama beberapa hari dan disertai demam dari 38,50C
hingga 390C, akan tetapi bisa juga tidak disertai demam, bahkan pasien bisa mengalami
hipotermi. Pasien mengalami penurunan nafsu makan, kemudian ditemukan kesukaran
pernafasan yang akan berkembang perlahan-lahan dan ditandai dengan timbulnya batuk-
batuk, bersin paroksimal, dispneu, dan iritabilitas. Pada kasus ringan gejala akan
menghilang dalam waktu 1-3 hari. Kadang-kadang, pada penderita yang terserang lebih
berat, gejala-gejala dapat berkembang hanya dalam beberapa jam serta perjalaan
penyakitnya akan berlangsung berkepanjangan. Keluhan muntah-muntah dan diare
biasanya tidak didapatkan pada pasien ini.1
Kebanyakan bayi-bayi dengan penyakit tersebut, mempunyai riwayat keberadaan
mereka diasuh oleh orang dewasa yang menderita penyakit saluran pernafasan ringan pada
minggu sebelum awitan tersebut terjadi pada mereka. Disamping itu, kita juga harus
menyingkirkan pneumonia atau riwayat atopi yang dapat menyebabkan wheezing.8
Pemeriksaan fisik memperlihatkan seorang bayi mengalami distres nafas dengan
frekuensi nafas lebih dari 60 kali per menit (takipneu), kadang-kadang disertai sianosis,
dan nadi juga biasanya meningkat. Terdapat nafas cuping hidung, penggunaan otot
pembantu pernafasan yang mengakibatkan terjadinya retraksi pada daerah interkostal dan
daerah sub kostal. Retraksi biasanya tidak dalam karena adanya hiperinflasi paru
9
(terperangkapnya udara dalam paru). Terdapat ekspirasi yang memanjang , wheezing yang
dapat terdengar dengan ataupun tanpa stetoskop, serta terdapat crackles.1
Hepar dan lien akan teraba beberapa cm dibawah tepi batas bawah tulang iga.
Keadaan ini terjadi akibatt pendorongan diafragma kebawah karena tertekan oleh paru
yang hiperinflasi. Suara riak-riak halus yang tersebar luas juga dapat terdengar pada bagian
akhir inspirasi. Fase ekspirasi pernafasan akan memanjang dan suara-suara pernapasan
juga bisa hampir tidak terdengar jika sudah berada dalam kasus yang berat.1
Untuk menilai kegawatan penderita dapat dipakai skor Respiratory Distress
Assessment Instrument (RDAI), yang menilai distres napas berdasarkan 2 variabel
respirasi yaitu wheezing dan retraksi. Bila skor lebih dari 15 dimasukkan kategori berat,
bila skor kurang 3 dimasukkan dalam kategori ringan.Pulse oximetry merupakan alat yang
tidak invasif dan berguna untuk menilai derajat keparahan penderita. Saturasi oksigen <
95% merupakan tanda terjadinya hipoksia dan merupakan indikasi untuk rawat inap.6
Tes laboratorium rutin tidak spesifik. Jumlah dan hitung jenis lekosit biasanya
normal. Limfopenia yang biasanya berhubungan dengan penyakit-penyakit virus, tidak
ditemukan pada penyakit ini. Biakan-biakan bahan yang berasal dari nasofaring akan
menunjukkan flora normal. Virus dapat dapat diperlihatkan di dalam sekresi nasofaring
melalui fluresensi imunologis dalam suatu peningkatan titer-titer darah atau dalam biakan.1
Gambaran radiologik mungkin masih normal bila bronkiolitis ringan. Umumnya
terlihat paru-paru mengembang ( hyperaerated ). Bisa juga didapatkan bercak-bercak yang
tersebar, mungkin atelektasis ( patchy atelectasis ) atau pneumonia ( patchy infiltrates ).
Pada rontgen -foto lateral, didapatkan diameter AP yang bertambah dan diafragma tertekan
ke bawah. Pada pemeriksaan rontgen foto dada, dikatakan hyperaerated apabila kita
mendapatkan: siluet jantung yang menyempit, jantung terangkat,diafragma lebih rendah
dan mendatar, diameter anteroposterior dada bertambah, ruang retrosternal lebih lusen, iga
horizontal, pembuluh darah paru tampak tersebar.1
Untuk menentukan penyebab bronkiolitis, dibutuhkan pemeriksaan aspirasi atau
bilasan nasofaring. Pada bahan ini dapat dilakukan kultur virus tetapi memerlukan waktu
yang lama, dan hanya memberikan hasil positif pada 50% kasus. Ada cara lain yaitu
dengan melakukan pemeriksaan antigen RSV dengan menggunakan cara imunofluoresen
atau ELISA. Sensitifitas pemeriksaan ini adalah 80-90%.8
Tabel 1. Skor Respiratory Distress Assessment Instrument (RDAI)
10
SKOR Skor
maksimal0 1 2 3 4
Wheezing :
-Ekspirasi
-Inspirasi
-Lokasi
(-)
(-)
(-)
Akhir
Sebagian
2 dr 4 lap
paru
Semua
3 dr 4 lap paru
Semua
4
2
2
Retraksi :
-Supraklavikular
-Interkostal
-Subkostal
(-)
(-)
(-)
Ringan
Ringan
Ringan
Sedang
Sedang
Sedang
Berat
Berat
Berat
3
3
3
TOTAL 17
(Sumber : )
2.7 Tatalaksana
Sebagian besar tatalaksana bronkiolitis pada bayi bersifat suportif yaitu pemberian
oksigen, minimal handling pada bayi, cairan intravena, dan kecukupan cairan, penyesuaian
suhu lingkungan agar konsumsi oksigen minimal, tunjangan respirasi bila perlu, dan
nutrisi. Setelah itu barulah digunakan bronkodilator, anti inflamasi seperti kortikosteroid,
antiviral seperti ribavirin, dan pencegahan dengan vaksin RSV, RSV immunoglobulin
( polyclonal ) atau Humanis RSV monoclonal antibody ( palivizumab ).7
Terapi oksigen harus diberikan kepada semua penderita kecuali untuk kasus-kasus
yang sangat ringan. Saturasi oksigen menggambarkan kejenuhan afinitas haemoglobin
terhadap oksigen di dalam darah. Oksigen dapat diberikan melalui nasal prongs (2
liter/menit) , masker (minimum 4 liter/menit) atau head box. Terapi oksigen dihentikan
bila pemeriksaan saturasi oksigen dengan pulse oximetry (SaO2) pada suhu ruangan stabil
diatas 94%. Pemberian oksigen pada saat masuk sangat berpengaruh pada skor beratnya
penyakit dan lama perawatan di rumah sakit.Pemberian cairan dan kalori yang cukup (bila
perlu dapat dengan infuse dan diet sonde/nasogastrik). Jumlah cairan disesuaikan dengan
berat badan, kenaikan suhu dan status hidrasi. Cairan intravena diberikan bila pasien
muntah dan tidak dapat minum, panas, distress napas untuk mencegah terjadinya dehidrasi.
Dapat dibenarkan pemberian retriksi cairan 2/3 dari kebutuhan rumatan, untuk mencegah
edema paru dan edema otak akibat SIADH (Syndrome of Inappropriate Anti Diuretic
Hormone). Selanjutnya perlu dilakukan koreksi terhadap kelainan asam basa dan elektrolit
11
yang mungkin timbul.Apabila terdapat perubahan pada kondisi umum penderita,
peningkatan leukosit atau pergeseran hitung jenis, atau tersangka sepsis maka diperiksa
kultur darah, urine, feses dan cairan serebrospinal, secepatnya diberikan antibiotika yang
memiliki spectrum luas. Pemberian antibiotik secara rutin tidak menunjukkan pengaruh
terhadap perjalanan bronkiolitis. Akan tetapi keterlambatan dalam mengetahui virus RSV
atau virus lain sebagai penyebab bronkiolitis dan menyadari bahwa infeksi virus
merupakan predisposisi terjadinya infeksi sekunder dapat menjadi alasan diberikan
antibiotika.Ribavirin adalah purin nucleoside derivate guanosine sintetik, bekerja
mempengaruhi pengeluaran messenger RNA (mRNA). Ribavirin menghambat translasi
mRNA virus kedalam protein virus dan menekan aktivitas polymerase RNA. Titer RSV
bisa meningkat dalam tiga hari setelah gejala timbul atau sepuluh hari setelah terkena
virus. Karena mekanisme ribavirin menghambat replikasi virus selama fase replikasi aktif,
maka pemberian ribavirin lebih bermanfaat pada fase awal infeksi. 1-2Penggunaan
bronkodilator untuk terapi bronkiolitis telah lama diperdebatkan selama hampir 40
tahun.Terapi farmakologis yang paling sering diberikan untuk pengobatan bronkiolitis
adalah bronkodilator dan kortiko steroid. Dapat diberikan nebulasi β agonis (salbutamol
0,1mg/kgBB/dosis, 4-6 x/hari) diencerkan dengan salin normal untuk memperbaiki
kebersihan mukosilier.Kortikosteroid yang digunakan adalah prednison, metilprrednisolon,
hidrokortison, dan deksametason. Untuk penyamaan dilakukan konversi rata-rata dosis per
hari serta rata-rata total paparan obat tersebut dengan ekuivalen mg/kgBB prednison. Rata-
rata dosis per hari berkisar antara 0,6-6,3 mg/kgBB, dan rata-rata total paparan antara 3,0-
18,9 mg/kgBB. Cara pemberian adalah secara oral, intramuskular, dan intravena. Tidak
ada efek merugikan yang dilaporkan.7Gambar 3. Tatalaksana BronkioloitisBAB
IIIKESIMPULAN DAN SARANKesimpulan
Bronkiolitis adalah penyakit saluran pernapasan bayi yang lazim, akibat dari
obstruksi radang saluran pernapasan kecil. Penyakit ini terjadi selama umur 2 tahun
pertama, dengan insiden puncak pada sekitar umur 6 bulan. Bronkiolitis terutama
disebabkan oleh Respiratory Syncitial Virus (RSV) dan sisanya disebabkan oleh virus
Parainfluenzae tipe 1,2, dan 3, Influenzae B, Adenovirus tipe 1,2, dan 5, atau
Mycoplasma. Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya.
Secara umum tatalaksana bronkiolitis yang dianjurkan adalah :
1. Pemberian oksigenasi; dapat diberikan oksigen nasal atau masker, monitor dengan
pulse oxymetry. Bila ada tanda gagal nafas diberikan bantuan ventilasi mekanik.
12
2. Pemberian cairan dan kalori yang cukup (bila perlu dapat dengan cairan
parenteral). Jumlah cairan sesuai berat badan, kenaikan suhu dan status hidrasi.
3. Koreksi terhadap kelainan asam basa dan elektrolit yang mungkin timbul.
4. Antibiotik dapat diberikan pada keadan umum yang kurang baik, curiga infeksi
sekunder (pneumonia) atau pada penyakit yang berat.
5. Kortikosteroid : deksametason 0,5 mg/kgBB dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgBB/hari
dibagi 3-4 dosis.
6. Dapat diberikan nebulasi β agonis (salbutamol 0,1mg/kgBB/dosis, 4-6 x/hari)
diencerkan dengan salin normal untuk memperbaiki kebersihan mukosilier.
3.2 Saran
1. Perlunya diagnosis yang tepat agar dapat dilakukan penatalaksanaan penyakit
secara optimal.
2. Perlunya peningkatan status gizi dan usaha peningkatan imunitas anak untuk
mengurangi angka kejadian bronkiolitis pada anak
DAFTAR PUSTAKA
1. Orenstein DM, Bronchiolitic. Dalam Nelson WE, Editor Nelson, Textbook of
Pediatric, 15th edition, Philadelphia, 1996, hal : 1484-85.
2. A. P. Uyan, H. Ozyurek, M. Keskin, Y. Afsar & E. Yilmaz : Comparison Of Two
Different Bronchodilators In The Treatment Of Acute Bronchiolitis . The Internet
Journal of Pediatrics and Neonatology. 2003 Volume 3 Number 1
3. Setiawati Landia, MS Makmuri. Tatalaksana Bronkiolitis (Treatment
Bronchiolitis). Dalam Continuing Education, Ilmu Kesehatan Anak XXXV, Kapita
Selekta Ilmu Kesehatan Anak IV, Hot Topics in Pediatrics; FK UNAIR, Surabaya :
2005. Diunduh dari www.pediatrik.com
4. Zorc JJ, Hall CB, Bronchiolitis: recent evidence on diagnosis and management.
Paediatrics 2010; 125; 342-49.
13
5. Carroll KN, et.all. increasing burden and risk factor for bronchiolitis. Related
medical visits in infants enrolled in a state health care insurance plan. Pediatrics
2008; 122; 58-64.
6. Louden Mark. Pediatrik, bronchiolitis. Diunduh dari
www. emedicine.medscape.com
7. Zain, Magdalena sidhartani.Bronkiolitis. Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi
pertama. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2010. Hal. 334-343
8. DeNicola CL. Bronchiolitis. 2010 (cited 5 Mei 2010). Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/961963-overview
14