Blok 17 Sk 1 Ikterus Fisiologis

22
Ikterus Fisiologis Pada Neonatal Edward Sundoro 102013010 A7 Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Pendahuluan Hiperbilirubinemia merupakan salah satu fenomena klinis yang paling sering ditemukan pada bayi baru lahir. Lebih dari 85% bayi cukup bulan yang kembali dirawat dalam minggu pertama kehidupan disebabkan oleh keadaan ini. Hiperbilirubinemia menyebabkan abayi terlihat kuning, keadaan ini timbul akibat akumulasi pigmen bilirubin yang berwarna ikterus pada sklera dan kulit. Isomer bilirubin ini berasal dari degradasi heme yang meruapakan komponen hemoglobin mamalia. Pada masa transisi setelah lahir, hepar belum berfungsi secara fungsional, sehingga proses glukoronidase bilirubin terjadi secara tidak maksimal. Keadaan ini menyebabkan dominasi bilirubin tak terkonjungasi dalam darah. Pada kebanyakan bayi baru lahir, hiperbilirubinemia tak terkonjungasi merupakan fenomena transisional yang normal, tapi pada beberapa bayi, terjadi peningkatan secara berlebihan sehingga bilirubin berpotensi menjadi toksik dan dapat menyebabkan kematian dan bila bayi tersebut dapat bertahan hidup akan menimbulkan sekuele neurologis (kernikterus). Dengan demikina, setiap bayi 1

description

i

Transcript of Blok 17 Sk 1 Ikterus Fisiologis

Ikterus Fisiologis Pada NeonatalEdward Sundoro102013010A7Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

PendahuluanHiperbilirubinemia merupakan salah satu fenomena klinis yang paling sering ditemukan pada bayi baru lahir. Lebih dari 85% bayi cukup bulan yang kembali dirawat dalam minggu pertama kehidupan disebabkan oleh keadaan ini. Hiperbilirubinemia menyebabkan abayi terlihat kuning, keadaan ini timbul akibat akumulasi pigmen bilirubin yang berwarna ikterus pada sklera dan kulit. Isomer bilirubin ini berasal dari degradasi heme yang meruapakan komponen hemoglobin mamalia. Pada masa transisi setelah lahir, hepar belum berfungsi secara fungsional, sehingga proses glukoronidase bilirubin terjadi secara tidak maksimal. Keadaan ini menyebabkan dominasi bilirubin tak terkonjungasi dalam darah. Pada kebanyakan bayi baru lahir, hiperbilirubinemia tak terkonjungasi merupakan fenomena transisional yang normal, tapi pada beberapa bayi, terjadi peningkatan secara berlebihan sehingga bilirubin berpotensi menjadi toksik dan dapat menyebabkan kematian dan bila bayi tersebut dapat bertahan hidup akan menimbulkan sekuele neurologis (kernikterus). Dengan demikina, setiap bayi yang mengalami ikterus harus dipastikan apakah ikterus yang terjadi merupakan keadaan fisiologis apa patologis, serta dimonitor apakah mempunyai kecenderungan untuk berkembang jadi hiperbilirubinemia yang berat.1Tinjauan PustakaAnamnesisPada anamnesis, agar diagnosa dapat ditegakkan dengan tepat, beberapa hal yang harus ditanyakan pada pasien adalah :1. Sejak kapan warna kuning ini muncul?2. Dimana saja bagian tubuh yang berwarna kuning?3. Bagaimana warna feses dan urin?4. Apa nafsu makan berkurang?5. Apa daya hisap ASI bayi melemah?6. Apa ada gejala sistemik yang muncul, seperti demam?7. Berapa total masa gestasinya?

Tabel 1. Klasifikasi Ikterus2AnamnesaTanda / GejalaKlasifikasi Ikterus

Mulai kapan ikterus ?

Daerah mana yang ikterus?Bayinya kurang bulan?Warna TinjaIkterus segera setelah lahirIkterus pada 2 hari pertamaIkterus pada usia 14 hariIkterus lutut/siku/lebihBayi kurang bulanTinja pucatIkterus Patologis

Ikterus usia 3-13 hariTanda patologis (-)Ikterus Fisiologis

Dari hasil anamnesa didapatkan data bahwa pasien datang dengan bayi yang tampak kuning sejak usia 2 hari. Bayi dilahirkan secara normal pada usia kehamilan 39 minggu. Bayi masih aktif, menangis kuat, dan menyusu dengan baik.Pemeriksaan FisikTampilan ikterus dapat ditentukan dengan memeriksa bayi dalam ruangan dengan pencahayaan yang baik, dan menekan kulit secara ringan untuk melihat warna kulit dan jaringan subkutan. Ikterus pada kulit bayi tidak akan terlihat pada kadar bilirubin kurang dari 4 mg/dL. Secara klinis ikterus dapat dideteksi dari warna kulit yaitu pemucatan kulit dengan cara menekan kulit dengan jari, ketika bilirubin melebihi 5 mg/dL. Ikterus dimulai dari wajah, kemudian menyebar ke abdomen dan kemudian ke ekstremitas. Ikterus dapat terlewatkan secara klinis dan lebih sulit dideteksi pada bayi preterm dan berkulit hitam/gelap. Jika terdapat pertanyaan mengenai keparahan ikterus, ukur kadar bilirubin dan plotkan pada diagram bilirubin, sesuai dengan usia dalam jam. Secara klinis carilah adanya tanda infeksi, petekie, pucat, hepatomegali, memar kulit yang berlebihan, penurunan berat badan, dan bukti adanya dehidrasi.1,3

Gambar 1. Nomogram penetuan resiko hiperbilirubinemia4

Peningkatan total kadar bilirubin diikuti dengan pergerakan dari ikterus pada kulit bgian sefalokaudal, predileksi dimulai dari bagian wajah, batang tubuh dan ektremitas, dan terakhir pada telapak tangan dan kaki. Total dari serum bilirubin dapat secara klinis diperkirakan dari derajat perluasan ikterusnya. Ikterus pada wajah 5 mg/dL, dada 10 mg/dL, abdomen 12 mg/dL, telapak tangan dan kaki > 15 mg/dL.4 Pada pemeriksaan fisik urin, jika urin berwarna tidak gelap harus dipastikan kemungkinan adanya hiperbilirubinemia indirek yang mungkin disebabkan oleh sindrom penyakit Gilbert dan bukan karena penyakit hepatobiilier. Keadaan ikterus yang berat dengan disertai warna urin yang gelap jelas menandakan adanya penyakit hepatobilier. Jika terdapat tanda-tanda hipertensi portal, asites, perubahan kulit akan lebih mengarah ke proses kronis daripada proses akut. Jika terdapat keluhan mual dan muntah yang mendahului terjadinya warna kuning pada kulit, akan lebih menandakan ke proses hepatitis akut atau sumbatan duktus koledokus karena batu.5 Pemeriksaan PenunjangEvaluasi pada ikterus didasari pada usia dari kelahiran bayi. Jika serum bilirubin konjungasi lebih dari 2 mg/dL, bayi harus dievaluasi untuk kemungkinan adanya penyakit hepatoselular atau obstruksi bilier.4 Selain itu pengukuran bilirubin diindikasikan pada pasien yang mengalami ikterus pada usia < 24 jam. Pemeriksaan lebih lanjut, selain bilirubin total, yang mungkin dibutuhkan adalah (usia < 3 minggu) bilirubin direk, hitung darah lengkap (Hb dan hematokrit), apusan darah tepi, hitung retikulosit, golongan darah, penentuan Rh ibu dan anak, tes antibodi direk (DAT / tes coombs), konsentrasi G6PD, serum albumin, dan urinalisis untuk mengetahui zat pereduksi (galaktosemia), pengukuran ETCO (end-tidal carbon monoxide), tes fungsi hati (SGOT-SGPT), tes untuk kemungkinan adanya infeksi virus atau parasit, pengukuran gas darah. Selain itu pemeriksaan TransCutaneus bilirubin (TcB) dapat digunakan untuk menentukan kadar serum bilirubin total, tanpa harus mengambil sampel darah. Namun alat ini hanya valid untuk kadar bilirubin total < 15 mg/dL, dan tidak reliable pada kasus ikterus yang sedang mendapat terapi sinar. Pemeriksaan serum bilirubin total harus diulang setiap 4-24 jam tergantung usia bayi dan tingginya kadar bilirubin. Kadar serum albumin juga perlu diukur untuk menentukan pilihan terapi sinar atau transfusi tukar.3,6

Gambar 2. Algoritma untuk evaluasi yang dianjurkan pada bayi dengan hipebilirubin4

Diagnosis Banding1. Ikterus PatologisIkterus yang terjadi pada usia bayi < 24 jam, total serum bilirubin > 15 mg/dL, ikterus lebih dari 14 hari, bilirubin direk > 2 mg/dL. Terjadi peningkatan kadar bilirubin > 0,5 mg/dL/jam, adanya tanda-tanda penyakit yang mendasari pada setiap bayi (muntah, letragis, malas menetek, penurunan berat badan yang cepat, apne, takipne atau suhu yang tidak stabil.1 Ikterus yang muncul < 24 jam bisa disebabkan oleh karena penyakit hemolitik seperti penyakit rhesus, iknkompatibilitas ABO, defisiensi G6PD, sterositosis herediter, ataupun karena infeksi kongenital. Ikterus dalam 24 jam dari saat kelahiran paling memungkinkan karena hemolitik, dimana keadaan ini berpotensi berbahaya karena bilirubin yang dominan adalah bilirubin tak terkonjugasi (berpotensi neurotoksik) dan dapat meningkat dengan cepat sampai ke kadar yang tinggi. Penyakit rhesus merupakan bentuk pemyakit hemolitik yang paling berat dan berawal in utero. Saat lahir, bayi mungkin mengalami anemia, hidrops, iktreus, dan hepatosplenomegali. Biasanya teridentifikasi pada skrining antenatal. Kini keadaan ini tidak umum ditemukan akibat adanya profilaksis. Inkompatibilitas ABO biasa terjadi pada (1) ibu yang bergolongan darah O, (2) golongan darah bayi A atau B, lalu IgG antihemolisin maternal melewati plasenta dan menyebabkan hemolisis pada bayi, (3) pemeriksaan antibodi direk (DAT / tes coombs), (4) kakak kandungnya juga terkena. Defisiensi G6PD mengenai lebih dari 100juta orang di dunia, dapat menyebabkan ikterus neonatal yang berat pada ras mediteranian dan amerika afrika, kebanyakan mengenai laki-laki, orangtua bayi yang terkena dianjurkan untuk menghindari obat-obatan tertentu (sulfonamida, asam nalidiksilat), kontak dengan naftalen (kapur barus), dan memakan kacang fava. Sterositosis herediter tidak umum dijumpai, biasanya diturunkan secara autosomal. Infeksi kongenital biasanya memiliki hiperbilirubinemia terkonjugasi yang ringan.3Ikterus yang terjadi pada usia bayi 24 jam - 2 minggu bisa bersifat ikterus fisiologis, ikterus akibat ASI, hemolitik, infeksi, obstruksi gastriontestinal, polisitemia, gangguan metabolik (galaktosemia), defek enzim GT (sindroma Crigler-Najar). Ikterus berkepanjangan yang terjadi pada usia > 3 minggu yang terdiri atas dua macam yaitu ikterus bilirubin terkonjugasi dan bilirubin tak terkonjugasi. Ikterus tak terkonjugasi yang umum dijumpai, penyebabnya karena ikterus akibat ASI, hipotiroidisme, infeksi, obstruksi GIT, gangguan enzim hati. Ikterus tekonjugasi disebabkan oleh atresia biliaris dan sindrom hepatitis neonatal.3Diagnosis KerjaIkterus fisiologis umumnya terjadi pada bayi baru lahir, kadar bilirubin tak terkonjugasi pada minggu pertama > 2 mg/dL. Pada bayi cukup bulan yang mendapat susu formula kadar bilirubin akan mencapai puncaknya sekitar 6-8 mg/dL pada hari ke-3 dan kemudian akan menurun cepat selama 2-3 hari diikuti penurunan yang lambat sebesar 1 mg/dL selama 1-2 minggu. Pada bayi cukup bulan yang mendapat ASI kadar bilirubin puncak akan mencapai kadar yang lebih tinggi 7-14 mg/dL dan penurunan terjadi lebih lambat. Bisa terjadi dalam waktu 2-4 minggu, bahkan dapat mencapai waktu 6 minggu. Pada bayi kurang yang mendapat susu formula juga akan mengalami peningkatan dengan puncak yang lebih tinggi dan lebih lama, begitu juga dengan penurunannya jika tidak diberikan fototerapi pencegahan. Peningkatan sampai 10-12 mg/dL masih dalam kisaran fisiologis, bahkan hingga 15 mg/dL tanpa disertai kelainan metabolisme bilirubin.1Ikterus fisiologis adalah masalah yang sering terjadi pada bayi kurang maupun cukup bulan selama minggu pertama kehidupan. Untuk kebanyakan bayi fenomena ini ringan dan dapat membaik tanpa pengobatan. Ikterus fisiologis tidak disebabkan oleh faktor tunggal tapi kombinasi dari berbagai faktor yang berhubungan dengan maturitas fisiologis bayi baru lahir. Peningkatan kadar bilirubin tidak terkonjugasi dalam sirkulasi pada bayi baru lahir disebabkan oleh kombinasi peningkatan ketersediaan bilirubin dan penurunan clearance bilirubin. Peningkatan ketersediaan bilirubin merupakan hasil dari produksi bilirubin dan early bilirubin yang lebih besar serta penurunan usia sel darah merah. Resirkulasi aktif bilirubin di enterohepatik, yang meningkatkan kadar serum bilirubin tidak terkonjugasi, disebabkan oleh penurunan bakteri flora normal, aktifitas -glukoronidase yang tinggi dan penurunan motilitas usus halus. Ikterus fisiologis adalah ikterus yang timbul setelah 24 jam, kadar tertinggi pada hari ke-5 BCB dan hari ke-7 pada BKB, kadar bilirubin < 15 mg/dL, hilang dalam 14 hari, dan hilang tanpa pengobatan.1 EtiologiPada bayi yang diberi minum lebih awal atau diberi minum lebih sering dan bayi dengan aspirasi mekonium atau pengeluaran mekonium lebih awal cenderung mempunyai insiden yang rendah untuk terjadinya ikterus fisiologis. Pada bayi yang diberi minum susu formula cenderung mengeluarkan bilirubin lebih banyak pada mekonium selama 3 hari pertama kehidupan dibandingkan dengan yang mendapat ASI. Bayi yang mendapat ASI, kadar bilirubin cenderung lebih rendah pada yang defekasinya lebih sering. Bayi yang terlambat mengeluarkan mekonium lebih sering terjadi ikterus fisiologis. Pada bayi yang mendapat ASI terdapat dua bentuk neonatal jaundice yaitu early (berhubungan dengan breast feeding) dan late (berhubungan dengan ASI). Bentuk early onset diyakini berhubungan dengan dengan proses pemberian minum. Bentuk late onset diyakini dipengaruhi oleh kandungan ASI ibu yang mempengaruhi proses konjugasi dan eksresi. Penyebab late onset tidak diketahui, tetapi telah dihubungkan dengan adanya faktor spesifik dari ASI yaitu : 2-20-pregnanediol yang mempengaruhi aktivitas UDGPT atau pelepasan bilirubin konjugasi dari hepatosit ; peningkatan aktifitas lipoprotein lipase yang kemudian melepaskan asam lemak bebas ke dalam usus halus ; penghambatan konjugasi akibat peningkatan asam lemak unsaturated ; atau -glukorunidase atau adanya faktor lain yang mungkin menyebabkan peningkatan jalur enterohepatik.1Asupan cairan : Kelaparan Frekuensi menyusui Kehilangan berat badan / dehidrasi

Hambatan eksresi bilirubin hepatik : Pregnandiol Lipase-free fatty acid Unidentified inhibitor

Intestinal reabsorption of bilirubin : Pasase mekonium terlambat Pembentukan urobiliniol bakteri -glukoronidase Hidrolisis alkaline Asam empedu

Hiperbilirubinemia bisa disebabkan proses fisiologi atau patologis atau kombinasi keduanya. Risiko hiperbilirubinemia meningkat pada bayi yang mendapat ASI, bayi kurang bulan dan bayi mendekati cukup bulan. Neonatal hiperbilirubinemia terjadi karena peningkatan produksi atau penurunan clearance bilirubin dan lebih sering terjadi pada bayi imatur. Bayi yang diberikan ASI memiliki kadar bilirubin serum yang lebih tinggi dibanding bayi yang diberikan susu formula. Hal tersebut mungkin disebabkan oleh beberapa faktor antara lain frekuensi menyusui yang tidak adekuat, kehilangan berat badan / dehidrasi.1Tabel 2. Faktor etiologi yang mungkin berhubungan dengan hiperbilirubinemia pada bayi yang mendapat ASI1

Hiperbilirubinemia yang signifikan dalam 36 jam pertama biasanya disebabkan karena peningkatan produksi bilirubin (terutama karena hemolisis), karena pada periode ini hepatic clearance jarang memproduksi bilirubin lebih 10 mg/dL. Penghancuran hemoglobin 1% akan meningkatkan kadar bilirubin 4x lipat.1

Tabel 3. Penyebab neonatal hipebilirubinemia indirek1DasarPenyebab

Peningkatan produksi bilirubinInkompetibel darah fetomaternal

Peningkatan penghancuran hemoglobin Defisiensi enzim kongenital Sepsis Perdarah tertutup

Peningkatan jumlah hemoglobin Keterlambatan klem tali pusat

Peningkatan sirkulasi enterohepatik Keterlambatan pasase mekonium, ileus mekonium Puasa atau keterlambatan minum Atresia atau stenosis intestinal

Perubahan clearance bilirubin hatiImaturitas

Perubahan produksi atau aktivitas UDT (Uridine Diphosphoglucoronyl Transferase) Gangguan metaboli atau endokrin (C-N disease, hipotiroidisme)

Perubahan fungsi dan perfusi hati (kemampuan konjugasi) Asfiksia, hipoksia, hipotermi, hipoglikem Sepsis Obat-obatan dan hormon

Obstruksi hepatik Anomali kongenital Hepatitis dan sepsis Bilirubin load berlebihan (sering pada hemolisis berat)

EpidemiologiAngka kejadian ikterus pada neonatus di Amerika ditemukan sebanyak 65%. Di Surabaya pada tahun 200 sebanyak 30% kasus dan 2002 ditemukan 13% kasus yang terjadi. Di Jakarta dilaporkan sebanyak 31,19% kasus. Di RSCM Jakarta ialah 32,19 % dengan kadar bilirubin indirek melebih 10 mg%. diperkirakan 60 % bayi cukup bulan dan 80% bayi kurang bulan mengalami ikterus atau hiperbilirubinemia dalam minggu pertama kelahirannya. Angka kematian mencapai 13,1 %.

Metabolisme Bilirubin1. Pembentukan BilirubinSebagian besar bilirubin terbentuk sebagai akibat degradasi hemoglobin pada sistem retikuloendotelial (RES). Tingkat penghancuran hemoglobin ini pada neonatus lebih tinggi dari pada bayi yang lebih tua. Satu gram hemoglobin dapat menghasilkan 34 mg/dL bilirubin indirek. Bilirubin indirek yaitu bilirubin yang bereaksi tidak langsung dengan zat warna diazo (reaksi hymans van den bergh), yang bersifat tidak larut dalam air tetapi larut dalam lemak.2. Transportasi BilirubinBilirubin indirek kemudian diikat oleh albumin sel parenkim hepar mempunyai cara yang selektif dan efektif mengambil bilirubin dari plasma. Bilirubin ditransfer melalui membran sel ke dalam hepatosit sedangkan albumin tidak. Didalam sel bilirubin akan terikat terutama pada ligandin (protein , glutation S-transferase B) dan sebagian kecil pada glutation S-transferase lain dan protein Z. Proses ini merupakan proses dua arah, tergantung dari konsentrasi dan afinitas albumin dalam plasma dan ligandin dalam hepatosit. Sebagian besar bilirubin yang masuk hepatosit di konjugasi dan di ekskresi ke dalam empedu. Dengan adanya sitosol hepar, ligadin mengikat bilirubin sedangkan albumin tidak. Pemberian fenobarbital mempertinggi konsentrasi ligadin dan memberi tempat pengikatan yang lebih banyak untuk bilirubin.3. Konjugasi BilirubinDalam sel hepar bilirubin kemudian dikonjugasi menjadi bilirubin diglukosonide. Walaupun ada sebagian kecil dalam bentuk monoglukoronide. Glukoronil transferase merubah bentuk monoglukoronide menjadi diglukoronide. Pertama-tama yaitu uridin di fosfat glukoronide transferase (UDPGT) yang mengkatalisasi pembentukan bilirubin monoglukoronide. Sintesis dan ekskresi diglokoronode terjadi di membran kanilikulus. Isomer bilirubin yang dapat membentuk ikatan hidrogen seperti bilirubin natural IX dapat diekskresikan langsung kedalam empedu tanpa konjugasi. Misalnya isomer yang terjadi sesudah terapi sinar (isomer foto).4. EkskresiSesudah konjugasi bilirubin ini menjadi bilirubin direk yang larut dalam air dan di ekskresi dengan cepat ke sistem empedu kemudian ke usus. Dalam usus bilirubin direk ini tidak diabsorpsi, sebagian kecil bilirubin direk dihidrolisis menjadi bilirubin indirek dan direabsorpsi. Siklus ini disebut siklus enterohepatis. Pada neonatus karena aktivitas enzim -glukoronidase yang meningkat, bilirubin direk banyak yang tidak dirubah menjadi urobilin. Jumlah bilirubin yang terhidrolisa menjadi bilirubin indirek meningkat dan tereabsorpsi sehingga siklus enterohepatis pun meningkat.1PatogenesisPeningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan. Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban bilirubin pada sel hepar yang terlalu berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia, memendeknya umur eritrosit janin/bayi, meningkatnya bilirubin dari sumber lain, atau terdapatnya peningkatan sirkulasi enterohepatik. Gangguan ambilan bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein Y berkurang atau pada keadaan proten Y dan protein Z terikat oleh anion lain, misalnya pada bayi dengan asidosis atau dengan anoksia/hipoksia. Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar bilirubin adalah apabila ditemukan gangguan konjugasi hepar (defisiensi enzim glukoranil transferase) atau bayi yang menderita gangguan ekskresi, misalnya penderita hepatitis neonatal atau sumbatan saluran empedu intra/ekstra hepatik. Pada derajat tertentu, bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh. Toksisitas ini terutama ditemukan pada bilirubin indirek yang bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. Sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologik pada sel otak apabila bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak ini disebut kernikterus atau ensefalopati biliaris. Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada susunan saraf pusat tersebut mungkin akan timbul apabila kadar bilirubin indirek lebih dari 20 mg/dl. Mudah tidaknya bilirubin melalui sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung dari tingginya kadar bilirubin tetapi tergantung pula pada keadaan neonatus sendiri. Bilirubin indirek akan mudah melalui sawar daerah otak apabila pada bayi terdapat keadaan imaturitas, berat lahir rendah, hipoksia, hiperkarbia, hipoglikemia, dan kelainan susunan saraf pusat yang terjadi karena trauma atau infeksi.6Manifestasi KlinikPengamatan ikterus paling baik dilakukan dengan cahaya sinar matahari. Bayi baru lahir (BBL) tampak kuning apabila kadar bilirubin serumnya kira-kira 6 mg/dl atau 100 mikro mol/L (1 mg mg/dl = 17,1 mikro mol/L). salah satu cara pemeriksaan derajat kuning pada BBL secara klinis, sederhana dan mudah adalah dengan penilaian menurut Kramer (1969). Caranya dengan jari telunjuk ditekankan pada tempat-tempat yang tulangnya menonjol seperti tulang hidung, dada, lutut dan lain-lain. Tempat yang ditekan akan tampak pucat atau kuning. Penilaian kadar bilirubin pada masing-masing tempat tersebut disesuaikan dengan tabel yang telah diperkirakan kadar bilirubinnya. Pada ikterus yang berhubungan dengan syaraf akan terlihat adanya perubahan pada tonus otot, tangisan yang khas, keaktifan yang berkurang adalah tanda kernikterus.6Penatalaksanaana. Non-medika mentosaIkterus mungkin membutuhkan penanganaan dengan fototerapi atau transfusi tukar. Perlunya penanganan dipastikan dengan mengeplot kadar bilirubin pada suatu grafik bilirubin berdasarkan usia (jam). Kadar absolut dan pemeriksaan serial yang menunjukan laju peningkatan bilirubin mengidentifikasi apakah penangan dibutuhkan dan apakah berupa fototerapi atau transfusi tukar. Dehidrasi akibat kegagalan memberikan ASI atau jumlah ASI yang tidak adekuat mungkin membutuhkan penanganan dan dukungan bagi ibu dalam memberikan ASI. Sepsis membutuhkan pemeriksaan dan penanganan. Bayi dengan penyakit yang hemoilitik isoimun yang bilirubinnya meningkat walaupun telah diberi fototerapi intensif harus diberi imunoglobulin intravena. Jika transfusi tukar dipertimbangkan, maka albumin serum yang rendah merupakan faktor risiko tambahan untuk kernikterus.3Fototerapi yang digunakan adalah sinar biru-hijau (panjang gelombang 425-475 nm) yang akan mengubah bilirubin tak terkonjugasi menjadi isomer yang kurang berbahaya. Sinar ini difiltrasi untuk menghilangkan sinar UV. Untuk mengoptimalkan efiksasi membutuhkan sumber sinar efektif yang maksimal, radiasi level tinggi, koreksi jarak antara sinar dan bayi, perluasan pajanan kulit. Agar fototerapi intensif, dipakai sinar overhead optimal (dua jika perlu), dikombinasikan dengan selimut serat optik. Kerugian yang terjadi adalah menghambat keterlibatan parenteral, mata harus ditutup untuk melindungi dari cahay terang, peningkatan kehilangan air melalui evaporasi, suhu tubuh tidak stabil, ruam kulit, tinja yang lembek, sindrom bayi perunggu jika diberikan pada pasien dengan bilirubin terkonjugasi. Oleh karena itu, fototerapi dikontraindikasikan pada pasien dengan kolestasis dan penyakit hati yang mempunyai peningkatan pada bilirubin terkonjugasi.3,4Transfusi tukar dilakukan dengan cara darah bayi dikeluarkan ( biasanya dua kali volume, yaitu 2 x 80 mg/kg) dan diganti dengan darah yang ditransfusikan. Saat ini jarang dilakukan kecuali jika hemolisis berat. Transfusi tukar dapat mengeluarkan bilirubin dan antibodi, serta mengoreksi anemia. Komplikasinya adalah hipokalsemia, hipomagnesia, hipoglikemia, gangguan keseimbangan asam-basa, hiperkalemia, gangguan kardiovaskular (perforasi pembuluh darah, emboli, infark, aritmia, volume overload), pendarahan (trombositopenia, defisiensi faktor pembekuan), infeksi, hemolisis, hipotermia, hipertemia, dan kemungkinan terjadinya enterkolitis nekrotikans. Transfusi tukar direkomendasikan pada pada bayi yang menunjukan gejala ensefalopati akut (hipertoni, high pitch cry, demam).1,3,4

Gambar 3. Nilai rujukan untuk transfusi tukar1

b. Medika mentosaFarmakoterapi telah digunakan untuk mengelola hiperbilirubinemia dengan merangsang induksi enzim-enzim hati dan protein pembawa, guna mempengaruhi penghancuran heme, atau untuk mengangkat bilirubin dalam usus halus sehingga reabsorpsi enterohepatik menurun. Imunoglobulin IV digunakan pada bayi dengan Rh yang berat dan inkompatibilitas ABO untuk menekan hemolisis isoimun dan menurunkan tindakan transfusi ganti. Fenobarbital telah memperlihatkan hasil lebih efektif, merangsang aktivitas, dan konsentrasi UDPGT dan ligandin serta dapat meningkatkan jumlah tempat ikatan bilirubin. Penggunaan fenobarbital setelah lahir masih diperdebatkan dan secara umum tidak diperbolehkan. Pencegahan dengan menggunakan metalloprotoporphyrin juga telah diteliti dan terbukti efektif sebagai inhibitor kompetitif dari heme-oksigenase, enzim ini diperlukan untuk katabolisme heme jadi biliverdin. Pada penelitian terhadap bayi kurang dan cukup bulan, bayi denga atau tanpa penyakit hemolitik, tin-protoporphyrin (Sn-PP) dan tin-mesoporphyrin (Sn-MP) dapat menurunkan kadar bilirubin serum. Penggunaan Sn-PP setelah fototerapi akan menimbulkan efekn eritema foto toksik. Sn-MP kurang bersifat toksik, khususnya jika digunakan bersamaan dengan fototerapi. Pemakaian obat ini hanya dipakai untuk bayi dengan resiko tinggi hiperbilirubinemia yang berkembang jadi disfungsi neurologi dan juga sebagai clinical trial. Baru-baru ini dilaporkan bahwa pemberian inhibitor -glukoronidase pada bayi sehat cukup bulan yang mendapat ASI, seperti asam L-aspartik dan kasein hoidrosilat dalam jumlah kecil (5 mL/dosis - 6 kali/hari) dapat meningkatkan pengeluaran bilirubin feses dan ikterus menjadi berkurang dibandingkan bayi kontrol. Kelompok bayi yang mendapat campuran whey/kasein (bukan inhibitor -glukoronidase) kuningnya akan tampak menurun dibandingkan bayi kontrol, hal ini disebabkan oelh peningkatan ikatan bilirubin konjugasi yang berakibat pada penurunan jalur enetrohepatik.1Komplikasibilirubin ensefalopati lebih menunjukan kepada manisfestasi klinis yang timbul akibat efek toksik bilirubin pada SSP yaitu basal ganglia dan pada berbagai nuklei otak. Keadaan ini tampak pada minggu pertama sesudah bayi lahir dan dipakai istilah akut bilirubin ensefalopati. Sedangkan istilah kernikterus adalah perubahan neuropatologi yang ditandai dengan deposisi pigmen bilirubin pada beberapa daerah otak terutama ganglia basalis, pons, dan serebelum. Kern ikterus digunakan untuk kondisi klinis yang kronik dengan sekuele yang permanen karena toksik bilirubin. Manifestasi klinis akut bilirubin ensefalopati : pada fase awal, bayi dengan ikterus berat akan tampak letargis, hipotonik, dan refleks hisap buruk, sedangkan pada fase intermediate ditandai dengan moderate stupor, iritabilitas, dan hipertoni. Untuk selanjutnya bayi akan demam, high-pitched cry, kemudia akan menjadi drowsiness dan hipotoni. Manifestasi hipertonia dapat berupa retrocollis dan opistotonus (kekakuan pada leher dan batang tubuh). Manifestasi klinis kern ikterus pada tahap yang kronis bilirubin ensefalopati, bayi yang bertahan hidup, akan berkembang menjadi bentuk gangguan pendengaran, paralisis pada gerakan bola mata ke arah atas, palsi serebral atheoid, kesulitan belajar, displasia mental, dan pewarnaan kuning pada gigi.1,3PencegahanPencegahan ikterus neonatal yang baik dicapai dengan memberikan perhatian pada bayi dengan risiko sebelum keluar dari rumah sakit, melalui pendidikan pada orang tua, dan melalui perencanaan yang matang dari tindak lanjut setelah bayi keluar RS. Pengukuran kadar bilirubin melalui pemeriksaan transkutaneus atau pengukuran serum, dan nomogram dapat dipakai sebagai alat yang berguna untuk memperlihatkan persen kemungkinan bayi terkena ikterus. Faktor-faktor risiko yang harus selalu dipantau adalag bayi dengan masa gestasi < 38 minggu, ASI ekslusif, saudara yang pernah terkena ikterus pada masa bayi dan melakukan fototerapi, peningkatan kadar serum bilirubin 6 mg/dL, dan hematoma. Berat bayi juga kadang bisa berhubungan dengan timbulnya ikterus yang signifikan. Bayi dengan berat berlebihan, mempunyai faktor yang tinggi juga.6PrognosisPrognosis baik jika pasien mendapat pengobatan sesuai dengan petunjuk sesuai. Kerusakan otak karena kernikterus akan tetap menjadi resiko dan peningkatan insiden dari kernikterus meningkat selama beberapa tahun terkahir mungkin karena dari kesalahpahaman pemikiran bahwa ikterus pada bayi yang sehat itu tidak berbahaya dan bisa diabaikan.6PenutupPenyebab ikterus pada neonatal yang sering terjadi adalah karena hiperbilirubinemia fisiologis, inkompitibilitas golongan darah ABO, breast milk jaundice, inkompitibilitas golongan darah Rhesus, infeksi, IDM (infant of diabetic mother), polisitemia/hiperviskositas, prematuritas/BBLR, asfiksia (hipoksia, anoksia), dehidrasi-asidosis, hipoglikemia. Penyebab yang jarang terjadi adalah defisiensi G6PD, defisiensi piruvat kinase, hipotiroidism, ikterus neonatorum familial. Pengobatan yang paling sering dilakukan untu bayi dengan ikterus adalah melalui fototerapi atau transfusi tukar.Daftar Pustaka1. Sukadi A. Hiperbilirubinemia. Dalam Buku Ajar Neonatologi. Edisi ke-1. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008.h.147-69.2. Depkes RI. Klasifikasi ikterus fisiologis dan ikterus patologis. Dalam : Buku Bagan MTBM (Manajemen Terpadu Bayi Muda Sakit) Metode Tepat Guna untuk Paramedis, Bidan, dan Dokter. Jakarta : Depkes RI ; 2001.3. Lissauer T, Fanaroff A. Ikterus. At A Glance Neonatologi. Jakarta : Penerbit Erlangga ; 2008.h.96-9.4. Porter ML, Dennis BL. Hyperbilirubinemia in the Term Newborn. Am Fam Physician [serial online] 2002 Feb 15; 65(4) : 599-607. Available from : URL : http://www.aafp.org/afp/2002/0215/p599.html.s5. Sulaiman A. Pendekatan klinis pada pasien ikterus. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Edisi ke-5. Jakarta : Interna Publishing ; 2009.h.634-39.6. Hansen TWR. Neonatal jaundice. MedScape [serial online] 2012 Juni 21. Available from : http://emedicine.medscape.com/article/974786-workup.14